Anda di halaman 1dari 20

Dignitatis Humanae

Dignitatis Humanæ atau Pernyataan tentang Kebebasan Beragama adalah salah


satu dokumen penting dari Konsili Vatikan Kedua. Pernyataan ini disetujui oleh para Uskup
dalam sebuah pemungutan suara 2.308 berbanding 70.

TENTANG HAK PRIBADI DAN MASYARAKAT ATAS KEBEBASAN SOSIAL DAN


SIPIL DALAM HAL KEAGAMAAN

1. MARTABAT PRIBADI MANUSIA semakin disadari oleh manusia zaman


sekarang[1]. Bertambahlah juga jumlah mereka yang menuntut, supaya dalam bertindak
manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang
bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan, melainkan karena menyadari
tugasnya. Begitu pula mereka menuntut supaya wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis,
supaya batas-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok-kelompok
jangan dipersempit. Dalam masyarakat manusia tuntutan kebebasan itu terutama menyangkut
harta-nilai rohani manusia, dan teristimewa berkenaan dengan pengalaman agama secara
bebas dalam masyarakat. Dengan saksama Konsili Vatikan ini mempertimbangkan aspirasi-
aspirasi itu, dan bermaksud menyatakan betapa keinginan-keinginan itu selaras dengan
kebenaran dan keadilan. Maka Konsili ini meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja, dan dari
situ menggali harta baru, yang selalu serasi dengan khazanah yang sudah lama.

Oleh karena itu Konsili suci pertama-tama menyatakan, bahwa Allah sendiri telah
menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya, dan dengan demikian
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam Kristus. Kita percaya, bahwa satu-satunya
Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus
diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para
Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa
dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran,
terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal
kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya.

Begitu pula Konsili suci menyatakan, bahwa tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat
suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri, yang merasuki akal budi secara halus dan kuat.
Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas berbakti
kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat. Kebebasan itu
sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan
masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus. Selain itu dalam
menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud mengembangkan ajaran para paus
akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga
tentang penataan yuridis masyarakat.

I. AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. (Objek dan dasar kebebasan beragama)

Konsili vatikan ini menyatakan, bahwa pribadi manusia berhak atas kebebasan beragama.
Kebebasan itu berarti, bahwa semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-
orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga,
sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak
melawan suara hatinya, atau dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak
menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun dimuka umum, baik sendiri maupun
bersama dengan orang-orang lain. Selain itu Konsili menyatakan, bahwa hak menyatakan
kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana
dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi[2]. Hak pribadi manusia
atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa,
sehingga menjadi hak sipil.

Menurut martabat mereka semua orang – justru sebagai pribadi, artinya berakalbudi dan
berkehendak bebas, oleh karena itu mengemban tanggung jawab pribadi, – berdasarkan
kodrat mereka sendiri terdorong, dan karena kewajiban moral terikat untuk mencari
kebenaran, terutama yang menyangkut Agama. Mereka wajib juga berpegang pada kebenaran
yang mereka kenal, dan mengatur seluruh hidup mereka menurut tuntunan kebenaran. Tetapi
manusia hanyalah dapat memenuhi kewajiban itu dengan cara yang sesuai dengan kodrat
mereka, bila mereka mempunyai kebebasan psikologis pun sekaligus bebas dari paksaan dari
luar. Jadi hak atas kebebasan beragama tidak didasarkan pada keadaan subjektif seorang
pribadi, melainkan pada kodratnya sendiri. Maka dari itu hak atas kebebasan itu tetap masih
ada juga pada mereka, yang tidak memenuhi kewajiban mereka mencari kebenaran dan
berpegang teguh padanya; dan menggunakan hak itu tidak dapat dirintangi, selama tata
masyarakat tetap berdasarkan keadilan.

3. (Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah)

Itu semua menjadi lebih jelas lagi, bila dipertimbangkan bahwa tolok ukur hidup manusia
yang tertinggi ialah hukum ilahi sendiri, yang bersifat kekal serta obyektif, dan berlaku bagi
semua orang, yakni bahwa menurut ketetapan kebijaksanaan dan cinta kasih-Nya Allah
mengatur, mengarahkan serta memerintahkan alam semesta dan perjalanan masyarakat
manusia. Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya itu, sehingga manusia, berkat
penyelenggaraan ilahi yang secara halus mengatur segalanya, dapat semakin menyelami
kebenaran yang tak dapat berubah. Maka dari itu setiap orang mempunyai tugas dan karena
itu juga hak untuk mencari kebenaran perihal keagamaan, untuk dengan bijaksana, melalui
upaya-upaya yang memadai, membentuk pendirian suara hatinya yang cermat dan benar.

Adapun kebenaran harus dicari dengan cara yang sesuai dengan martabat pribadi manusia
serta kodrat sosialnya, yakni melalui penyelidikan yang bebas, melalui pengajaran atau
pendidikan, komunikasi dan dialog. Melalui cara-cara itu manusia menjelaskan kepada
sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya, atau yang ia telah merasa menemukan,
sehingga mereka saling membantu dalam mencari kebenaran. Atas persetujuannya sendiri
manusia harus berpegang teguh pada kebenaran yang dikenalnya.

Manusia menangkap dan mengakui ketentuan-ketentuan hukum ilahi melalui suara hatinya.
Ia wajib mematuhi suara hatinya. Ia wajib mematuhi suara hati dengan setia dalam seluruh
kegiatannya, untuk mencapai tujuannya yakni Allah. Jadi janganlah ia dipaksa untuk
bertindak melawan suara hatinya. Tetapi jangan pula ia dirintangi untuk bertindak menurut
suara hatinya, terutama dalam hal keagamaan. Sebab menurut sifatnya sendiri pengalaman
agama pertama-tama terdiri dari tindakan-tindakan batin yang dikehendaki orang sendiri serta
bersifat bebas, dan melalui tindakan-tindakan itu ia langsung mengarahkan diri kepada Allah:
tindakan-tindakan seperti itu tidak dapat diperintahkan atau dihalang-halangi oleh kuasa
manusiawi semata-mata[3]. Sedangkan kodrat sosial manusia sendiri menuntut, supaya ia
mengungkapkan tindakan-tindakan batin keagamaannya secara lahiriah, berkomunikasi
dengan sesama dalam hal keagamaan, dan menyatakan agamanya secara bersama-sama.

Maka terjadilah ketidak-adilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan oleh
Allah baginya, bila ia tidak diperbolehkan mengamalkan agamanya secara bebas dalam
masyarakat, padahal ketertiban umum yang adil tetap dihormatinya.

Kecuali itu tindakan-tindakan keagamaan, yang dijalankan manusia untuk sebagai pribadi
maupun dimuka umum mengarahkan diri kepada Allah berdasarkan keputusan pribadi, pada
hakekatnya mengatasi tata duniawi yang fana. Maka dari itu pemerintah, yang bertujuan
mengusahakan kesejahteraan umum di dunia ini memang wajib mengakui kehidupan
beragama para warganegara dan mendukungnya. Tetapi harus dikatakan melampaui batas
wewenangnya, bila memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius.

4. (Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan)

Kebebasan dari paksaan dalam hal agama, yang menjadi hak setiap pribadi yang harus diakui
juga bila orang-orang bertindak bersama. Sebab kodrat sosial manusia maupun hakekat sosial
agama menuntut adanya jemaat-jemaat keagamaan.

Maka asal tuntutan-tuntutan ketertiban umum yang adil jangan dilanggar, jemaat-jemaat itu
berhak atas kebebasan, untuk mengatur diri menurut kaidah-kaidah mereka sendiri, untuk
menghormati Kuasa ilahi yang tertinggi dengan ibadat umum, untuk membantu para anggota
mereka dalam menghayati hidup keagamaan serta mendukung mereka dengan ajaran, dan
untuk mengembangkan lembaga-lembaga, tempat para anggota bekerja sama untuk mengatur
hidup mereka sendiri menurut azas-azas keagamaan mereka.

Begitu pula jemaat-jemaat keagamaan berhak untuk memilih, membina mengangkat dan
memindahkan petugas-petugasnya sendiri, untuk berkomunikasi dengan para pemimpin dan
jemaat-jemaat keagamaan, yang berada di kawasan-kawasan lain di dunia, untuk mendirikan
bangunan-bangunan bagi keperluan keagamaan, dan untuk memperoleh serta mengelola
harta-milik yang mereka perlukan; itu semua tanpa dihalang-halangi oleh upaya-upaya
hukum atau oleh tindakan administratif kuasa sipil.

Jemaat-jemaat keagamaan berhak pula untuk tidak dirintangi dalam mengajarkan iman
mereka dan memberi kesaksian tentangnya di muka umum, secara lisan maupun melalui
tulisan. Tetapi dalam menyebarluaskan iman dan memasukkan praktik-praktik keagamaan
janganlah pernah menjalankan kegiatan mana pun juga, yang dapat menimbulkan kesan
seolah-olah ada paksaan atau bujukan atau dorongan yang kurang tepat, terutama bila
menghadapi rakyat yang tidak berpendidikan dan serba miskin. Cara bertindak demikian
harus dipandang sebagai penyalahgunaan hak mereka sendiri dan pelanggaran hak pihak-
pihak lain.

Selain itu kebebasan beragama berarti juga, bahwa jemaat-jemaat keagamaan tidak dilarang
untuk secara bebas menunjukkan daya-kemampuan khusus ajaran mereka dalam mengatur
masyarakat dan dalam menghidupkan seluruh kegiatan manusiawi. Akhirnya pada kodrat
sosial manusia dan pada sifat Agama sendiri didasarkan hak orang-orang, untuk – terdorong
oleh cita rasa keagamaan mereka – mengadakan dengan bebas pertemuan-pertemuan atau
mendirikan yayasan-yayasan pendidikan, kebudayaan, amal kasih dan sosial.
5. (Kebebasan beragama dan keluarga)

Setiap keluarga, sebagai rukun hidup dengan hak aslinya sendiri, berhak untuk dengan bebas
mengatur hidup keagamaan dalam pangkuannya sendiri dibawah bimbingan orang tua.
Mereka itu berhak menentukan menurut keyakinan keagamaan mereka sendiri, pendidikan
keagamaan manakah yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu
pemerintah wajib mengakui hak orang tua, untuk dengan kebebasan sepenuhnya memilih
sekolah-sekolah atau upaya-upaya pendidikan lainnya. Pun janganlah karena kebebasan
memilih itu mereka secara langsung atau tidak langsung diharuskan menanggung beban yang
tidak adil. Kecuali itu hak orang tua dilanggar, bila anak-anak dipaksa mengikuti pelajaran-
pelajaran sekolah, yang tidak cocok dengan keyakinan keagamaan orang tua mereka, atau
bila hanya ada satu cara pendidikan saja yang diwajibkan, tanpa pendidikan keagamaan sama
sekali.

6. (Tanggung jawab atas kebebasan beragama)

Kesejahteraan umum masyarakat, yakni keseluruhan kondisi-kondisi hidup sosial, yang


memungkinkan orang-orang mencapai kesempurnaan mereka secara lebih utuh dan lebih
mudah, terutama terletak pada penegakan hak-hak serta tugas-tugas pribadi manusia[4].
Maka ada kewajiban menjaga hak atas kebebasan beragama pada para warganegara, pada
kelompok-kelompok sosial, pada pemerintah-pemerintah, pada Gereja dan jemaat-jemaat
keagamaan lainnya, demi tugas mereka memelihara kesejahteraan umum.

Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak
manusia yang tak dapat di ganggu-gugat[5]. Maka kuasa sipil wajib, melalui hukum-hukum
yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung
perlindungan kebebasan beragama semua warganegara, dan menciptakan kondisi-kondisi
yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian para
warga negara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas
keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang
muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci[6].

Bila karena keadaan istimewa bangsa-bangsa tertentu suatu jemaat keagamaan mendapat
pengakuan sipil istimewa dalam tata hukum masyarakat, sungguh perlulah bahwa hak semua
warganegara dan jemaat-jemaat keagamaan atas kebebasan beragama diakui dan dipatuhi.

Akhirnya pemerintah wajib mengusahakan, supaya kesamaan yuridis para warganegara, yang
termasuk kesejahteraan umum masyarakat, jangan pernah secara terbuka ataupun diam-diam
dilanggar berdasarkan alasan-alasan agama, pun juga supaya diantara mereka jangan sampai
ada diskriminasi.

Oleh karena itu pemerintah sama sekali tidak boleh – melalui paksaan atau ancaman atau
upaya-upaya lainnya – mengharuskan para warganegara untuk mengakui atau menolak
agama mana pun juga, atau menghalang-halangi siapa pun juga untuk memasuki atau
meninggalkan jemaat keagamaan tertentu. Masih lebih lagi merupakan tindakan melawan
kehendak Allah dan melawan hak-hak keramat pribadi serta keluarga bangsa-bangsa, bila
dengan cara manapun digunakan kekerasan untuk menghancurkan atau merintangi agama,
entah diseluruh bangsa manusia entah dikawasan tertentu entah dalam kelompok tertentu.
7. (batas-batas kebebasan beragama)

Hak atas kebebasan beragama dilaksanakan dalam masyarakat manusia. Maka dari itu
penggunaannya harus mematuhi kaidah-kaidah tertentu yang mengaturnya.

Dalam penggunaan semua kebebasan harus ditaati azas moral tanggung jawab pribadi dan
sosial: Dalam memakai hak-haknya setiap orang maupun kelompok sosial diwajibkan oleh
hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan wajib-wajibnya sendiri
terhadap orang-orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang . Semua orang harus
diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan.

Selain itu, karena masyarakat sipil berhak melindungi diri terhadap penyalahgunaan yang
dapat timbul atas dalih kebebasan beragama, terutama pemerintahlah yang wajib memberi
perlindungan itu. Tetapi itu harus terjadi bukan sewenang-wenang, atau dengan cara tidak
adil memihak pada satu golongan, melainkan menurut kaidah-kaidah hukum yang sesuai
dengan tata moral yang objektif. Kaidah-kaidah itu diperlukan demi kehidupan mereka
bersama secara damai; diperlukan juga untuk menjalankan usaha-usaha secukupnya demi
ketentraman umum yang sepantasnya, yakni kehidupan bersama dan teratur dalam keadilan
yang sejati; diperlukan pula untuk menjaga kesusilaan umum sebagamana harusnya. Itu
semua merupakan unsur dasar kesejahteraan umum, dan termasuk tata-tertib umum. Memang
dalam masyarakat pada umumnya perlu dipertahankan kebebasan seutuhnya. Itu berarti,
bahwa harus diakui kebebasan manusia sepenuh mungkin; dan kebebasan itu jangan dibatasi
kecuali bila dan sejauh memang perlu.

8. (Pembinaan penggunaan kebebasan)

Manusia zaman sekarang menghadapi pelbagai tekanan, dan terancam bahaya kehilangan
kebebesan mengikuti cara berfikirnya sendiri. Tetapi dilain pihak tidak sedikit orang yang
agaknya begitu condong untuk dengan dalih mau bebas menolak setiap bentuk kepatuhan dan
meremehkan ketaatan yang sewajarnya.

Itulah sebabnya mengapa Konsili ini menganjurkan kepada semua, terutama mereka yang
bertugas sebagai pendidik, supaya berusaha membina orang-orang, yang mematuhi tata-
kesusilaan, mentaati kekuasaan yang sah, dan mencintai kebebasan sejati. Dengan kata lain:
orang-orang, yang dengan pertimbangannya sendiri menilai kenyataan dalam terang
kebenaran, mengatur kegiatannya dengan kesadaran bertanggungjawab, dan berusaha
mencari apa pun yang benar dan adil, dengan hati yang rela untuk bekerja sama dengan
orang-orang lain.

Demikianlah termasuk hasil dan tujuan kebebasan beragama juga, bahwa dalam menunaikan
tugas-tugasnya sendiri manusia bertindak dalam hidup memasyarakat dengan tanggung jawab
yang lebih besar.

II. KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. (Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam wahyu)

Apa yang oleh Konsili Vatikan ini dinyatakan tentang hak manusia atas kebebasan beragama,
mempunyai dasarnya dalam masyarakat pribadi. Tuntutan-tuntutan martabat itu disadari
semakin mendalam oleh akalbudi manusia melalui pengalaman berabad-abad. Bahkan ajaran
tentang kebebasan itu berakar dalam Wahyu ilahi. Oleh karena itu harus semakin dipatuhi
oleh Umat kristiani. Sebab Wahyu memang tidak dengan jelas sekali mengiyakan hak atas
kebebasan terhadap paksaan dari luar dalam hal kegamaan. Namun memaparkan martabat
pribadi manusia dalam arti yang sepenuhnya. Wahyu memperlihatkan, bagaimana Kristus
mengindahkan kebebasan manusia dalam menunaikan wajibnya beriman akan sabda Allah.
Wahyu mengajar kita tentang semangat, yang dalam segalanya harus diterima dan diikuti
oleh para murid Sang Guru itu. Dengan itu semua diperjelas azas-azas umum, yang
mendasari ajaran Pernyataan tentang kebebasan beragama ini. Terutama kebebasan beragama
dalam masyarakat selaras sepenuhnya dengan kebebasan beragama dalam masyarakat selaras
dengan kebebasan faal iman kristiani.

10. (Kebebasan dan faal iman)

Salah satu pokok amat penting ajaran katolik, yang tercantum dalam sabda Allah dan terus-
menerus diwartakan oleh para Bapa Gereja[7], yakni: manusia wajib secara sukarela
menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seorang pun boleh dipaksa melawan
kemauannya sendiri untuk memeluk iman[8]. Sebab pada hakekatnya kita menyatakan iman
kita dengan kehendak yang bebas, karena manusia – yang ditebus oleh Kristus Sang
Penyelamat, dan dengan perantaraan Yesus Kristus dipanggil untuk diangkat menjadi anak
Allah[9], – tidak dapat mematuhi Allah yang mewahyukan Diri, seandainya Bapa tidak
menariknya[10], dan ia tidak dengan bebas menyatakan kepada Allah ketaatan imannya yang
menurut nalar dapat dipertanggungjawabkan. Jadi sama selaras dengan sifat iman, bahwa
dalam hal keagamaan tidak boleh ada bentuk paksaan mana pun juga dari pihak manusia.
Oleh karena itu ketetapan tentang adanya kebebasan beragama sangat membantu untuk
memelihara kondisi hidup, yang memungkinkan manusia dengan mudah diajak menerima
iman kristiani, memeluknya secara suka rela, dan secara aktif mengakuinya dengan seluruh
cara hidupnya.

11. (cara bertindak Kristus dan para Rasul)

Memang Allah memanggil manusia untuk mengabdi diri-Nya dalam roh dan kebenaran.
Maka ia juga terikat dalam suara hati, tetapi tidak dipaksa. Sebab Allah memperhitungkan
martabat pribadi manusia yang diciptakan-Nya, yang harus di tuntun oleh pemikirannya
sendiri dan mempunyai kebebasan. Adapun itu nampak paling unggul dalam Kristus Yesus,
yang bagi Allah menjadi Perantara untuk dengan sempurna menampakkan Diri serta jalan-
jalan-Nya. Sebab Kristus, Guru dan Tuhan kita[11], yang lemah-lembut dan rendah [12],
dengan sabar mengambil hati dan mengajak para murid-Nya[13]. Memang dengan mukjizat-
mukjizat Ia mendukung dan meneguhkan pewartaan-Nya, untuk membangkitkan dan
mengukuhkan iman para pendengar-Nya, bukan untuk memaksa mereka[14]. Memang Ia
mengecam ketidak-percayaan para pendengar-Nya, tetapi sambil menyerahkan hukuman
kepada Allah pada hari Pengadilan[15]. Ketika mengutus para Rasul ke dunia Ia bersabda:
“Barang siapa beriman dan dibabtis akan selamat; tetapi siapa tidak percaya akan dihukum”
(Mrk 16:16). Tetapi, melihat bahwa bersama gandum telah ditaburkan lalang, Ia
memerintahkan supaya keduanya dibiarkan tumbuh sampai waktu menuai, yakni pada akhir
zaman[16]. Yesus tidak mau menjadi Almasih tokoh politik yang memerintah dengan
kekerasan[17]. Ia lebih senang menyebut diri Putera Manusia yang datang “untuk melayani
dan menyerahkan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Ia
membawakan Diri sebagai Hamba Allah yang sempurna[18], yang “tidak akan memutuskan
buluh yang patah terkulai, dan tidak akan memadamkan sumbu yang pudar nyalanya” (Mat
12:20). Ia mengakui pemerintah serta hak-haknya, ketika menyuruh membayar pajak kepada
kaisar, tetapi dengan jelas mengingatkan, bahwa hak-hak Allah yang lebih tinggi wajib di
patuhi: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada
Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21). Akhirnya Ia
menyempurnakan perwahyuan-Nya ketika menyelesaikan karya penebusan-Nya di salib,
untuk memperoleh keselamatan dan kebebasan sejati bagi manusia. Sebab Ia memberi
kesaksian dan kebenaran[19], tetapi tidak mau memaksakannya kepada mereka yang
membantahnya. Kerajaan-Nya tidak dibela dengan menghantam dengan kekerasan[20],
melainkan dikukuhkan dengan memberi kesaksian akan kebenaran serta mendengarkannya.
Kerajaan itu berkembang karena cinta kasih, cara Kristus yang ditinggikan di salib menarik
manusia kepada diri-Nya[21].

Para Rasul belajar dari sabda dan teladan Kristus, serta menempuh jalan yang sama. Sejak
masa awal Gereja para murid Kristus berusaha, supaya orang-orang bertobat dan mengakui
Kristus Tuhan, bukan dengan tindakan memaksa atau dengan siasat-siasat yang tak layak
bagi Injil, melainkan pertama-tama dengan kekuatan sabda Allah[22]. Dengan berani mereka
mewartakan kepada semua orang rancana Allah Penyelamat, “yang menghendaki semua
orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim 2:4). Tetapi
sekaligus para murid Tuhan menghormati mereka yang lemah, juga bila sedang sesat; dan
dengan demikian mereka menunjukkan , bagaimana “setiap orang diantara kita akan memberi
pertanggungjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Rom 14:12)[23], dan sejauh itu wajib
menganut suara hatinya sendiri. Seperti kristus, begitu pula para Rasul selalu bermaksud
memberi kesaksian akan kebenaran Allah, penuh keberanian untuk di hadapan rakyat serta
para penguasa mewartakan “sabda Allah dengan kepercayaan” (Kis 4:31)[24]. Dengan iman
yang teguh mereka yakin, bahwa Injil sendiri benar-benar merupakan kekuatan Allah demi
keselamatan setiap orang yang beriman[25]. Maka dari itu mereka meremehkan “senjata
duniawi”[26], mengikuti teladan kelemah-lembutan serta keugaharian Kristus, dan
mewartakan sabda Allah, dengan penuh kepercayaan akan kekuatan ilahi sabda itu untuk
menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang Allah[27], dan untuk mengembalikan
orang-orang kepada iman serta kepatuhan terhadap Kristus[28]. Seperti Sang Guru, begitu
pula para Rasul mengakui pemerintahan yang sah: “setiap orang hendaklah takhluk kepada
pemerintah yang diatasnya; … barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan
Allah” (Rom 13:1-2)[29]. Tetapi serta merta mereka tidak takut menyanggah pemerintah
yang menentang kehendak Allah yang suci: “kita harus lebih taat kepada Allah daripada
kepada manusia” (Kis 5:29)[30]. Jalan itu disepanjang zaman dan diseluruh dunia ditempuh
juga oleh para martir dan kaum beriman yang tak terhitung jumlahnya.

12. (Gereja menempuh jalan Kristus dan para Rasul)

Maka Gereja, yang setia kepada kebenaran Injil, menempuh jalan Kristus dan para Rasul, bila
mengakui dan mendukung azas kebebasan beragama sebagai prinsip yang selaras dengan
martabat manusia dan wahyu Allah. Ajaran yang diterima dari Sang Guru dan dari para Rasul
oleh Gereja dipelihara dan diteruskan di sepanjang masa. Sungguhpun dalam kehidupan
Umat Allah, melalui silih-bergantinya kenyataan-kenyataan sejarah bangsa manusia yang
sedang berziarah, ada kalanya ditempuh cara bertindak yang kurang selaras dengan semangat
Injil, bahkan bertentangan dengannya, namun selalu tetaplah ajaran gereja, bahwa tak
seorangpun boleh dipaksa untuk beriman.

Demikianlah ragi Injil cukup lama merasuki jiwa orang-orang, dan menyumbangkan banyak,
sehingga dari masa ke masa makin bertambahlah jumlah mereka yang mengakui martabat
pribadinya, dan makin masaklah keyakinan bahwa dalam masyarakat kebebasannya perihal
keagamaan harus tetap dipertahankan dari setiap paksaan manusia.

13. (Kebebasan gereja)

Di antara hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja, bahkan kesejahteraan masyarakat


dunia, dan yang di mana-mana selalu harus dipelihara serta dilindungi terhadap segala
ketidakadilan, pasti yang paling utama yakni: supaya Gereja menikmati kebebasan bertindak
yang secukupnya untuk mengusahakan keselamatan manusia[31]. Sebab sungguh kuduslah
kebebasan, yang dikurniakan oleh Putera Tunggal Allah kepada Gereja yang diperoleh-Nya
dengan darah-Nya. Kebebasan itu begitu khas bagi Gereja, sehingga barang siapa
menentangnya bertindak melawan kehendak Allah. Kebebasan Gereja merupakan azas dasar
dalam hubungan antara Gereja dan pemerintah-pemerintah serta seluruh tata masyarakat.

Dalam masyarakat manusia dan terhadap pemerintah mana pun Gereja menuntut kebebasan,
sebagai kewibawaan rohani yang ditetapkan oleh Kristus Tuhan, dan yang atas perintah ilahi
bertugas pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada semua makluk[32]Begitu pula
Gereja mengutarakan haknya atas kebebasan, sebagai masyarakat manusia juga, yang berhak
hidup dalam masyarakat menurut kaidah-kaidah iman kristiani[33].

Adapun hanya bila berlakulah ketetapan tentang kebebasan beragama, yang bukan saja
dimaklumkan dengan kata-kata atau melulu dikukuhkan dengan undang-undang, melainkan
secara jujur dipraktikkan juga, maka Gereja akan memperoleh kondisi stabil menurut hukum
maupun dalam kenyataan, yakni kemerdekaan dalam menunaikan perutusan ilahinya, yang
secara makin mendesak dituntut oleh para pemimpin Gereja dalam masyarakat[34]. Sekaligus
Umat beriman kristiani, seperti semua orang lainnya, mempunyai hak sipil untuk tidak
dirintangi dalam menghayati hidup menurut suara hati mereka. Jadi terdapat keselarasan
antara kebebasan Gereja dan kebebasan keagamaan, yang oleh semua orang dan jemaat harus
diakui sebagai hak dan dikukuhkan dalam perundang-undangan.

14. (Peran Gereja)

Untuk mematuhi perintah ilahi: “Ajarilah semua bangsa” (Mat 28:19), Gereja katolik wajib
sungguh-sungguh mengusahakan, supaya “sabda Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan”
(2Tes 3:1).

Maka dari itu Gereja meminta dengan mendesak, supaya para putera-puterinya pertama-tama
menganjungkan “permohonan-permohonan, doa-doa syafaat serta ucapan syukur bagi semua
orang … Sebab itu baiklah dan berkenan kepada Allah Penyelamat kita, yang menghendaki
agar semua orang diselamatkan dan mencapai pengertian tentang kebenaran” (1Tim 2:1-4).

Tetapi kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan
dengan saksama ajaran Gereja yang suci dan pasti[35]. Sebab atas kehendak Kristus Gereja
Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik
Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaannya
azas-azas kesusilaan, yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya
Umat kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar,
“dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2Kor
6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan[36] dan
kekuatan rasuli, hingga penumpahan darah.
Sebab seorang murid terikat oleh kewajiban yang berat terhadap Kristus Sang Guru, yakni
semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya
dengan setia, membelanya dengan berani, tanpa menggunakan upaya-upaya yang berlawanan
dengan semangat Injil. Tetapi sekaligus cinta kasih Kristus mendesaknya, untuk bertindak
penuh kasih, kebijaksanaan dan kesabaran terhadap mereka, yang berada dalam keadaan sesat
atau tidak tahu menahu mengenai iman[37]. Maka perlu dipertimbangkan baik tugas-tugas
terhadap Kristus Sabda yang menghidupkan, yang harus diwartakan, pun juga hak-hak
pribadi manusia, maupun besarnya rahmat yang oleh Allah dikurniakan melalui Kristus
kepada manusia, yang diundang untuk dengan suka rela menerima dan mengakui iman.

15. (Penutup)

Maka jelaslah manusia zaman sekarang menghendaki untuk dengan bebas dapat mengakui
agamanya baik secara perorangan maupun di muka umum. Bahkan jelas pula kebebasan
beragama dalam kebanyakan Undang-Undang Dasar sudah dinyatakan sebagai hak
warganegara dan dalam dokumen-dokumen internasional diakui secara resmi[38].

Akan tetapi ada pula sitem-sistem pemerintahan, yang – meskipun dalam Undang-Undang
Dasar kebebasan ibadat keagamaan diakui, namun pemerintah-pemerintahnya sendiri
berusaha menjauhkan para warganegara dari pengakuan agama mereka, dan sangat
mempersukar dan membahayakan kehidupan jemaat-jemaat keagamaan.

Dengan gembira Konsili suci menyambut gejala-gejala pertama sebagai tanda-tanda zaman
sekarang yang sungguh baik, sedangkan fakta-fakta lainnya yang layak disesalkan dan
dikecamnya dengan sedih hati. Konsili menganjurkan Umat katolik, tetapi mengajukan
permohonan mendesak kepada semua orang, supaya mereka penuh perhatian
mempertimbangkan, betapa perlulah kebebasan beragama, terutama dalam keadaan keluarga
manusia zaman sekarang.

Sebab jelaslah, bahwa semua bangsa makin bersatu, bahwa orang-orang dari pelbagai
kebudayaan dan agama saling terikat secara semakin erat, akhirnya bahwa bertambahlah
kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Maka dari itu, supaya hubungan-hubungan
damai dan kerukunan pada bangsa manusia diperbaharui dan diteguhkan, perlulah bahwa
dimana-mana kebebasan beragama didukung dengan perlindungan hukum yang tepat guna,
dan bahwa tugas-tugas serta hak-hak manusia yang tertinggi untuk secara bebas menghayati
hidup beragama dalam masyarakat dipatuhi.

Semoga Allah dan Bapa semua orang menganugerahkan, supaya keluarga manusia, berkat
usaha yang tekun untuk menegakkan kebebasan beragama dalam masyarakat, karena rahmat
Kristus dan kekuatan Roh Kudus dihantar kepada “kebebasan kemuliaan putera-puteri Allah”
(Rom 8:21) yang amat luhur dan kekal.

Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Pernyataan ini telah berkenan kepada para
Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada
Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta
mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah
ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian
( Justitia et Pax )
Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian (Justitia et Pax) adalah sebuah bagian
dari Kuria Romawi yang khusus mengurus "pembelajaran-pembelajaran yang berorientasi
pada tindakan" bagi penyebaran dan perkembangan keadilan, perdamaian dan hak-hak asasi
manusia di level internasional dari sudut pandang Gereja Katolik Roma. Untuk tujuan ini,
dewan ini bekerja sama dengan berbagai ordo religius dan kelompok-kelompok advokat,
termasuk juga organisasi-organisasi cendekiawan, ekumene, dan internasional.

Kardinal Presiden dewan ini sekarang adalah Peter Kodwo Appiah Cardinal Turkson. Sekretarisnya
adalah Uskup Mario Toso, S.D.B.. Wakil Skretarisnya adalah Flaminia Giovanelli. Ia saat ini
merupakan wanita awam dengan jabatan tertinggi di Kuria Romawi.

 Asal usul

Konsili Vatikan Kedua telah mengusulkan pembentukan sebuah badan Gereja universal yang
perannya adalah "untuk merangsang komunitas Katolik untuk menggerakkan perkembangan
di wilayah-wilayah yang membutuhkan dan dalam keadilan sosial di panggung internasional"
[1]
. Sebagai tanggapan atas permintaan ini Paus Paulus VI mendirikan Komisi Kepausan
"Justitia et Pax" lewat sebuah motu proprio tertanggal 6 Januari 1967 (Catholicam Christi
Ecclesiam).

Dua bulan kemudian, dalam Populorum Progressio, Paus Paulus VI secara singkat
menyatakan mengenai badan yang baru ini bahwa "namanya, termasuk juga programnya,
adalah Keadilan dan Perdamaian" (No. 5). Gaudium et Spes dan ensiklik ini, yang "dalam
suatu jalan tertentu ... menerapkan ajaran Dewan" [2], merupakan teks pendiriannya dan
menjadi pokok-pokok rujukan badan yang baru ini.

Setelah melalui periode uji-coba selama sepuluh tahun, Paus Paulus VI memberikan komisi
ini status resmi melalui motu proprio Iustitiam et Pacem pada tanggal 10 Desember 1976.
Ketika Konstitusi Apostolik Pastor Bonus tanggal 28 Juni 1988 menata ulang Kuria Romawi,
Paus Yohanes Paulus II mengubah namanya dari Komisi menjadi Dewan Kepausan, dan
menegaskan kembali garis-garis besar kerjanya.

 Tujuan dan mandat

Pastor Bonus menjabarkan tujuan dan mandat Dewan Kepausan untuk Keadilan dan
Perdamaian ini dalam kata-kata berikut: "Dewan ini akan mendorong perkembangan keadilan
dan perdamaian di dunia, dalam bimbingan Injil dan ajaran sosial Gereja (art. 142). § 1.
Dewan ini akan memperdalam doktrin sosial Gereja dan berusaha untuk membuatnya lebih
dikenal dan lebih dilaksanakan secara luas, baik oleh individu maupun oleh komunitas,
terutama dalam hubungannya dengan hubungan antara para pekerja dan para pengusaha.
Hubungan-hubungan ini harus semakin lama semakin bercirikan semangat dari Injil. § 2.
Dewan ini akan mengumpulkan dan mengevaluasi berbagai bentuk informasi dan berbagai
hasil penelitian mengenai keadilan dan perdamaian, perkembangan manusia serta
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Apabila dirasa tepat, dewan ini akan melaporkan semua
kesimpulan yang diambil ke badan-badan Episkopal (gerejawi). Dewan ini akan mendorong
perkembangan hubungan dengan organisasi-organisasi Katolik internasional dan badan-
badan lainnya, baik Katolik maupun bukan, yang secara tulus berkomitmen pada
perkembangan nilai-nilai keadilan dan perdamaian di dunia. § 3. Dewan ini akan
memperbesar kesadaran akan kebutuhan untuk mengembangkan perdamaian, terutama di
dalam program Hari Perdamaian Dunia (art. 143). Dewan ini akan menjaga hubungan yang
erat dengan Sekretariat Negara, terutama ketika dewan ini berurusan secara publik dengan
masalah-masalah keadilan dan perdamaian dalam dokumenpdokumen atau deklarasi-
deklarasinya (art. 144)"[3].

 Struktur

Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian memiliki seorang Presiden yang dibantu
oleh seorang Sekretaris dan seorang Wakil Sekretaris, semuanya diangkat oleh Sri Paus untuk
masa jabatan selama lima tahun. Sekumpulan pegawai yang terdiri atas orang awam, religius
dan imam dari berbagai negara bekerja dengan mereka dalam pelaksanaan program dan
kegiatan Dewan. Sri Paus juga mengangkat sekitar empat puluh Anggota dan Konsultan yang
bekerja dalam kapasitas pribadi untuk periode selama lima tahun. Berasal dari berbagai
bagian dunia. Para anggota ini bertemu di Roma dalam interval waktu tertentu untuk
mengadalan Sidang Pleno di mana tiap orang, menurut latar belakang dan pengalaman
profesional atau pastoral, memberikan masukan dalam rencana keseluruhan terhadap
kegiatan-kegiatan Dewan Kepausan ini. Sebagai titik puncak dari aktivitas Dewan, Sidang
Pleno adalah sebuah waktu untuk penegasan murni dari "tanda-tanda peradaban".

Para konsultan, di mana beberapa di antaranya adalah para ahli di bidang ajaran sosial Gereja,
dapat dipanggil untuk berpartisipasi di dalam kelompok-kelompok kerja mengenai topik-
topik tertentu.

1. Presiden

 Maurice Roy (6 Jan 1967 - 16 Des 1976)


 Bernardin Gantin (15 Des 1976 - 8 Apr 1984)
 Roger Etchegaray (8 Apr 1984 - 24 Jun 1998)
 François-Xavier Nguyễn Văn Thuận (24 Jun 1998 - 16 Sep 2002)
 Renato Martino (1 Okt 2002 - 24 Okt 2009)
 Peter Turkson (24 Okt 2009 - )

2. Sekretaris

 Joseph Gremillion (1966–1974)


 Andrea Cordero Lanza di Montezemolo (1976 – 5 Mei 1977)
 Roger Joseph Heckel, S.J. (1977 – 27 Maret 1980)
 Jan Pieter Schotte, C.I.C.M. (27 Juni 1980 – 20 Desember 1983)
 Diarmuid Martin (1994 – 17 Januari 2001)
 Giampaolo Crepaldi (3 Maret 2001 – 4 Juli 2009)
 Mario Toso, S.D.B. (22 Oktober 2009 - )
HUMANAE VITAE
 Makna luhur Sakramen Perkawinan sebagai latar belakang Humanae Vitae

Perkawinan memiliki arti luhur karena merupakan gambaran tujuan akhir hidup manusia
yang adalah persatuan yang erat antara manusia dengan Tuhan dan sesama ((Lihat Lumen
Gentium, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, 1)) Persatuan ini
sungguh luhur dan tak terbayangkan oleh pemikiran kita. St. Yohanes Salib bahkan
mengatakan, persatuan tersebut merupakan ‘perkawinan mistik’ dengan Allah. Kitab Suci
sendiri menyatakan hal ini dengan Allah berkali-kali menyebutkan umat-Nya sebagai
mempelai-Nya, yang diwujudkan dengan sempurna oleh Yesus yang telah menyerahkan diri
kepada mempelai-Nya yaitu Gereja-Nya. Dengan melihat Yesus di kayu salib, kita melihat
gambaran kasih Allah yang tak terbatas, yang sekaligus mengajarkan kepada kita jalan untuk
mencapai kebahagiaan: yaitu dengan memberikan diri kita kepada Tuhan dan sesama.
Dengan pemberian diri ini, kita mengambil bagian di dalam kasih Allah yang sejati, yang
secara khusus terwujud di dalam hubungan suami istri. ((Juga dengan cara pandang demikian,
kita semakin menghargai makna panggilan hidup membiara, karena kehidupan membiara
merupakan gambaran pemberian diri yang total kepada Allah dan sesama.))

Oleh karena Sakramen Perkawinan adalah gambaran kasih Allah, maka kita dapat
memahami betapa Allah menguduskan hubungan suami istri. Melalui hubungan ini
manusia diingatkan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah keselamatan yang merupakan
persatuan yang mendalam dengan Allah. Maka, hubungan suami istri yang merupakan
‘persiapan’ untuk persatuan yang sempurna dengan Allah itu merupakan tanda kehadiran
Allah di dunia. Begitu dalamnya makna persatuan suami istri ini, sebab Allah hadir di
dalamnya dengan Roh Kudus-Nya yang memberi hidup (lih. Yoh 6:63); dan sesuai dengan
kehendakNya Ia dapat mengikutsertakan suami istri di dalam karya penciptaanNya
mendatangkan suatu kehidupan baru. Maka hubungan suami istri menjadi cerminan kasih
Allah yang total dan setia, atas misteri penciptaan dan keselamatan. Karena Allah-lah yang
menjadi Sumber penciptaan dan keselamatan, maka sudah selayaknya manusia tunduk
kepada kehendak Tuhan di dalam perwujudan hubungan suami istri, dan ya, termasuk di
dalam pengaturan kelahiran, karena hal itu tidak terlepas dari hubungan tersebut.

Sekilas sejarah tentang Humanae Vitae

Gambaran kasih Allah dalam Perkawinan ini ternyata mendapat tantangan yang cukup besar
dengan adanya penemuan alat-alat kontrasepsi, yang pada dasarnya ingin mengambil peran
Allah dalam hal pengaturan kelahiran. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui, bahwa
dengan mengambil kontrol ini, sesungguhnya manusia jaman sekarang bersikap seperti Adam
dan Hawa, yang tidak mau mengikuti kehendak Tuhan, tetapi ingin mengikuti kehendak
sendiri. Dengan demikian, manusia menolak salah satu karunia Allah yang terbesar dalam
perkawinan, yaitu keikutsertaan mereka dalam misteri penciptaan kehidupan baru, yang
dipercayakan Tuhan kepada mereka.

Sebenarnya sejak jaman abad awal sampai tahun 1930, semua Gereja baik non Katolik
maupun Katolik selalu bersepakat bahwa kontrasepsi adalah perbuatan dosa. Namun pada
tahun 1930, gereja Anglikan pertama kali menyetujui kontrasepsi. Dan gereja-gereja lain
mulai mengubah posisi mereka, kecuali Gereja Katolik. Pada tahun yang sama Paus Pius XI
mengeluarkan surat ensiklik Casti Connubii (=Tentang Perkawinan) yang pada prinsipnya
menegaskan kembali pengajaran Gereja sejak awal, bahwa kontrasepsi adalah perbuatan
yang salah. ((Casti Connubii menyatakan, “Tidak ada alasan betapapun besarnya, yang dapat
dikemukakan yang melaluinya apapun yang pada dasarnya bertentangan dengan alam dapat
sesuai dengan alam dan baik secara moral. Dengan demikian, karena hubungan suami istri
ditujukan terutama oleh alam untuk menghasilkan keturunan, maka mereka yang dengan
sengaja mengacaukan kekuatan dan maksud alam ini, berdosa melawan alam dan melakukan
perbuatan yang memalukan dan pada dasarnya keji…. Pelaksanaan perkawinan yang
sedemikian sehingga dengan sengaja mengacaukan kekuatan alam untuk mendatangkan
kehidupan adalah suatu perbuatan yang menentang hukum Tuhan dan hukum alam, dan
mereka yang terus menerus melakukan hal ini melakukan dosa yang berat.”)) Maka, seperti
yang terlihat dalam survey, umat Katolik pada saat itu tetap berpegang pada pengajaran
Gereja.

Keadaan berubah pada sekitar akhir tahun 1950-an sampai awal 60-an, saat pertama kali pil
KB marak digunakan. Banyak orang berpikir, bahwa penggunaan pil ini kelihatannya secara
moral dapat diterima, sebab tidak seperti alat KB lainnya, pil tidak memutuskan/
mengganggu hubungan seksual antara suami istri. Maka Paus Yohanes XXIII menunjuk
enam orang Teolog yang bertugas untuk meneliti hal ini, untuk membantunya membuat
keputusan. Setelah Paus Yohanes XXIII wafat, Paus Paulus VI melanjutkan tugas tersebut. Ia
menambah jumlah anggota komite dengan melibatkan para ahli dari segala bidang terkait,
termasuk beberapa pasangan suami istri. Mayoritas dari komite mengatakan bahwa Gereja
harus mengubah ajarannya, dan hanya minoritas yang mengatakan bahwa Gereja tidak
seharusnya mengubah, atau lebih tepatnya tidak dapat mengubah ajaran mengenai
kontrasepsi, sebab hal itu berkaitan dengan hukum Tuhan. Apa yang dilarang oleh Tuhan
tidak dapat diubah oleh seseorang, ataupun oleh Gereja.

Sebagian dari laporan kerja komite ini yang seharusnya hanya untuk diketahui oleh Paus
Paulus VI- akhirnya bocor dan beredar ke kalangan luas. Mereka menyelesaikan laporan
tersebut sekitar tahun 1967, yang tadinya diperkirakan akan dimasukkan oleh Paus ke dalam
dokumen tentang pengajaran hal kontrasepsi. Pada saat itu banyak tulisan beredar, yang
arahnya setuju dengan pemakaian kontrasepsi, sehingga berkembanglah harapan bahwa
Gereja akan mengubah ajarannya. Maka, ketika Paus Paulus VI mengeluarkan surat ensiklik
Humanae vitae pada bulan Juli 1968, yang isinya menentang pemakaian kontrasepsi, banyak
orang tercengang, sebab hal itu sama sekali di luar dugaan!

Reaksi terkeras datang dari para Theolog seperti Fr. Robert Fuchs, Fr. Bernard Haering, Fr.
Charles Curran, dan Fr. Karl Rahner. Sejak saat itu mulai banyak terdapat perbedaan-
perbedaan pendapat antara para Teolog dengan ajaran Gereja dalam hal-hal seperti
perceraian, masturbasi, homoseksualitas, dst. Namun demikian, Gereja tetap menegaskan
kembali ajarannya sejak semula: bahwa praktek kontrasepsi adalah perbuatan dosa karena
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena bertentangan dengan hakekat ‘pemberian diri
(self-giving) yang total’ kepada pasangan. Terima kasih kepada Paus Yohanes Paulus II,
yang kemudian secara jelas dan mendalam menjelaskan alasannya kenapa demikian, seperti
yang dipaparkannya dalam Theology of the Body (=Teologi Tubuh). Sekilas mengenai
Theology of the Body akan dibahas pada artikel terpisah.
 Prinsip Pengajaran Humanae Vitae

Secara garis besar, Humanae Vitae (HV) menegaskan bahwa karena Perkawinan adalah
institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara
perwujudannya haruslah disesuaikan dengan kehendakNya. Tuhan berkehendak agar suami
istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan
dapat bekerjasama dengan-Nya dalam mendatangkan kehidupan baru.

Gereja menyadari bahwa peran serta manusia dalam menurunkan kehidupan baru, merupakan
sumber suka cita yang besar bagi suami istri, namun dapat juga disertai dengan kesulitan dan
tantangan (HV 1). Misalnya, tantangan bagaimana menghidupi/ membesarkan keturunan,
yang dalam skala negara akhirnya dapat menghasilkan kekuatiran apakah sumber alam dapat
cukup mendukung manusia. Maka dalam hal ini negara ikut turun tangan mengatur kelahiran.
Juga ada tuntutan lain, misalnya, para feminis, yang ingin membatasi jumlah anak atau tidak
menginginkan anak, karena ingin mencapai jenjang karir yang sama dengan kaum pria. Di
sini terlihat bahwa ada usaha untuk mengatur kelahiran berdasarkan akal dan kehendak
manusia, dan ‘mencoret’ keterlibatan ritme biologis (HV 3), yang merupakan hukum alam
yang sudah ditanamkan oleh Tuhan di dalam tubuh manusia. Singkatnya, manusia mau turut
andil mengatur urusan penciptaan, bukannya bekerjasama dengan Tuhan Sang Pencipta.

Menyikapi hal ini, Paus mengingat mandat yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para
rasul sebelum Ia naik ke surga, yaitu untuk mengajar semua bangsa segala perintah-Nya
(Yoh 21:15-17; Mat 28:18-20). Maka Paus selaku penerus Rasul Petrus, bertanggung jawab
untuk mempertahankan kebenaran seluruh ajaran Tuhan, termasuk mengenai Perkawinan.
Jika tidak demikian, berarti Paus melanggar perintah Yesus. Jadi, walaupun Paus mengakui
kontribusi dari komite yang membuka wawasan akan kompleksitas masalah ini dan iapun
berterimakasih kepada mereka, namun pada akhirnya, ia tetap mengumumkan kebenaran
Tuhan tentang larangan kontrasepsi, berdasarkan atas mandat yang dipercayakan Kristus
kepadanya (HV 6).

Untuk memahami pengaturan kelahiran, seseorang harus mempunyai gambaran yang total
tentang manusia. Jadi, haruslah dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan
bukan hanya dimensi jasmani manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat
sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Bahkan oleh partisipasinya
dalam penciptaan manusia baru, para suami di dunia dipanggil pula sebagai ‘bapa’. ((Justru
panggilan ‘bapa’ ini mengandung tugas yang sangat penting untuk menghadirkan peran
kebapakan (‘Fatherhood’) Tuhan di dunia. Dengan dasar ini, kita juga dapat lebih memahami
peran yang dijalankan oleh para pastor, ‘romo’ dan Paus, yang juga menjadi ‘bapa rohani’
bagi kita.))

Allah menginginkan agar di dalam Perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara
total, agar mereka dapat saling menguduskan dan bekerjasama untuk mendatangkan
kelahiran. Dengan demikian mereka dapat menjadi gambaran kasih Allah sendiri. Maka
untuk kedua orang yang sudah dibaptis, Perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat
Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8).

Kasih antara suami istri dalam Perkawinan memiliki lima ciri, yaitu manusiawi (fisik dan
spiritual), total, setia dan eksklusif/monogami, dan menghasilkan buah/ ‘fruitful‘ (HV 9).
Kasih manusiawi suami istri yang dimaksud di sini tidak hanya berdasarkan naluri dan
perasaan, tetapi atas perbuatan kehendak bebas yang ditujukan untuk terus bertahan di dalam
suka duka sehingga suami istri dapat bertumbuh sempurna menjadi satu hati dan satu jiwa.
Kasih semacam ini adalah total, yang tidak menahan sebagian, dan tidak melibatkan
perhitungan untung rugi. Kasih ini tidak berdasarkan apa yang dapat ia terima dari pasangan,
tetapi atas kebahagiaan untuk memperkaya pasangan dengan memberikan diri seutuhnya.
Karena itu, kasih suami istri adalah kasih yang setia dan ekslusif, yaitu satu suami, satu istri.
Tidak dapat dipungkiri, kesetiaan yang sedemikian dapat sulit diterapkan, namun selalu
mungkin; luhur dan mulia, yang akhirnya menghantar pada kebahagiaan yang sejati. Yang
terakhir, kasih suami istri harus ‘berbuah‘ (fruitful), yang artinya terbuka pada kelahiran
anak-anak.

Penting di sini disebutkan juga bahwa suami istri perlu memahami pengertian Responsible
Parenthood ((Responsible Parenthood yang dijabarkan di sini adalah menyangkut beberapa
hal. Dalam hal biologis, berarti mengetahui dan menghormati fungsi-fungsi proses regenerasi
ini, dengan mempelajari hukum biologis tubuh manusia untuk meneruskan keturunan. Dalam
hal menyangkut naluri dan nafsu, responsible parenthood berarti penguasaan diri di mana
akal dan kehendak dapat mengatasi dorongan nafsu. Dalam hal fisik, ekonomi, psikologi dan
sosial, responsible parenthood ini dapat dinyatakan dengan kesediaan untuk menerima anak-
anak yang dipercayakan Tuhan, atau dengan pengaturan yang alamiah untuk membatasi
jumlah kelahiran jika itu sungguh diperlukan. Di atas semuanya itu, responsible parenthood
melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan.)) yang pada
prinsipnya melibatkan kesadaran akan ketentuan moral yang berasal dari Tuhan (HV
10). Jadi dalam hal meneruskan keturunan ini, pasangan tidak sepenuhnya mempunyai
otonomi sesuai kehendak sendiri, melainkan mereka harus menyesuaikan diri dengan
kehendak Tuhan. Ibaratnya, karena peran ‘pro-creation’ ini datang dari Tuhan, maka
manusia yang menerima peran ini harus menggunakannya sesuai dengan kehendak Dia yang
memberi.

Persatuan suami istri yang dapat mendatangkan kehidupan manusia dipandang Gereja sebagai
sesuatu yang baik dan luhur, dan kesatuan ini tetap berlaku meskipun pasangan tidak
dikaruniai keturunan, yang bukan disebabkan karena kesalahan mereka. Hal ini menunjukkan
bahwa Tuhanlah yang berkuasa menentukan, dan bahwa tidak semua hubungan suami istri
pasti menghasilkan keturunan. Dalam kebijaksanaan-Nya. Tuhan mengatur hukum alam dan
ritme kesuburan yang membawa pemisahan pada kelahiran yang satu dengan yang lain (HV
11).

Dalam Perkawinan ini terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu Union dan Procreation
(HV 12), artinya, Perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami dan istri, dan
persatuan itu selayaknya harus terbuka bagi kelahiran kehidupan baru. Jadi, suami dan istri
yang saling mengasihi dengan tulus harusnya bersedia untuk menjadi orang tua jika Tuhan
mengaruniakan anak sebagai buah kasih mereka. Dalam hal ini, kesuburan dan anak harus
dilihat sebagai berkat dari Tuhan (lih. Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus
dihilangkan.

Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak, maka hal itu bukan
merupakan tindakan kasih yang sejati. Juga tindakan yang mencegah sebagian atau seluruh
bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan,
termasuk di dalamnya sterilisasi ((Dewasa ini di Amerika Serikat, sterilisasi bahkan sudah
semakin tidak populer, karena terlalu banyaknya kasus penunutan ke pihak produsen karena
terlalu banyak menimbulkan efek samping.)) (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak pro-
creation dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran
adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala
dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik, sebagai bukti kasih
sejati (HV 16). Namun demikian, Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi sebagai
‘dosa’, dan pada kasus tertentu untuk menyembuhkan penyakit, Gereja memperbolehkan
tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV
15).

Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri
mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari
kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16). Walaupun ajaran ini sulit
diterapkan, namun bukannya tidak mungkin; dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah
yang baik bagi suami istri dan komunitas. Kekerasan hati manusia untuk menolak ajaran ini
hanya akan membuahkan kondisi negatif yang sudah ‘dinubuatkan’ oleh Paus Paulus VI,
yaitu naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, dan pemerosotan
moral. Sebab dengan mental kontraseptif, sedikit demi sedikit suami cenderung menjadikan
istri sebagai objek untuk pemuasan diri daripada menghormatinya sebagai pasangan yang
terkasih. Lama kelamaan respek kepada istri akan hilang, dan suami akan menjadi kurang/
tidak peduli dengan kesehatan fisik dan mental istri (HV 17). Hal ini nyata sekali terjadi saat
ini, misalnya saja di Amerika, dengan angka perceraian 50% pada pernikahan pertama, 67%
pada pernikahan kedua, dan 74% pada pernikahan ketiga. ((Data diambil dari internet
http://www.divorcerate.org/ menurut survey yang diadakan oleh Jennifer Baker dari the
Forest Institute of Professional Psychology in Springfield, Missouri.)) Dan survey
mengatakan hampir semua dari pasangan yang bercerai itu menggunakan kontrasepsi.
Penggunaan alat kontrasepsi juga mengakibatkan pemerosotan moral generasi muda,
sehingga lama kelamaan mereka tidak lagi menjunjung tinggi makna Perkawinan.

Untuk maksud melindungi Perkawinan inilah, Gereja mengajarkan pengaturan kelahiran


dengan cara alamiah, dan bukan dengan kontrasepsi. Ajaran ini bertentangan dengan
pendapat media dan dunia, namun Paus tetap mengajarkannya; dengan kesadaran akan
konsekuensi bahwa Gereja, seperti Kristus, dapat dianggap sebagai ‘tanda pertentangan/
‘sign of contradiction’ (HV 18). Hal ini bahkan menunjukkan ‘keaslian’ ajaran ini, yang
mengakibatkan Gereja menjadi semakin serupa dengan Kristus yang mendirikannya.
Pendapat dunia menghalalkan segala bentuk kenikmatan daging, sedangkan Tuhan
mengajarkan kita untuk mengatasinya, dengan penguasaan diri. Dalam Perkawinan
penguasaan diri dinyatakan oleh suami dan istri dengan menghilangkan rasa saling
mementingkan diri sendiri -‘musuh’ dari cinta sejati- dan memperdalam rasa tanggung jawab
(HV 21).

Selanjutnya, Paus Paulus VI memberikan seruan kepada pihak-pihak yang terkait agar
memperhatikan dan mendukung ajaran ini. Seruan ini ditujukan kepada para penguasa/
pemerintah, cendekiawan, suami-istri, petugas medis, imam dan uskup (HV 23-30?).
((Kepada para pemerintah, Paus menyerukan agar mengusahakan solusi problem
kependudukan, tanpa mengesampingkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (HV
23). Kepada para cendekiawan, agar mereka terus mengembangkan penelitian untuk
memberikan dasar yang pasti bagi pengaturan kelahiran berdasarkan pengamatan ritme
natural, sehingga memungkinkan dibuatnya peraturan yang layak dalam hal pro-creation ini
(HV 24). Kepada para suami istri, agar mereka memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang
mereka terima dalam Pembaptisan, dengan melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan
sampai pada kesempurnaannya, dan dengan demikian menjadi saksi Kristus yang hidup
kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa
dan terutama pada Ekaristi (HV 25). Kepada para pasangan suami istri, agar mereka dapat
membantu pasangan yang lain dan membagikan pengalaman mereka (HV 26). Kepada para
medis, agar mendukung dengan solusi yang berdasarkan iman dan akal yang benar (HV 27).
Kepada para imam, agar menjadi yang pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada
Magisterium, terutama karena terang Roh Kudus sendiri. Karena itu, para imam diminta
untuk mengajarkan pasangan suami istri tentang kuasa doa, dan agar mereka menimba
kekuatan di dalam sakramen Ekaristi dan Pengakuan dosa (HV 28). Dan kepada para
uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam dan umat untuk menjaga Perkawinan dan
menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
Kristiani (HV 30).)) Khususnya para suami istri, Paus menyerukan agar mereka
memperkokoh panggilan hidup Kristiani yang mereka terima dalam Pembaptisan, dengan
melakukan tugas panggilan hidup Perkawinan sampai pada kesempurnaannya, dan dengan
demikian menjadi saksi Kristus yang hidup kepada dunia. Untuk itu, para suami dan istri
dipanggil untuk menyandarkan diri kepada doa dan terutama pada Ekaristi, dan Pengakuan
dosa (HV 25, 28). Selanjutnya, kepada para imam, Paus menyerukan agar menjadi yang
pertama dalam memberi contoh ketaatan kepada Magisterium, terutama karena terang Roh
Kudus sendiri (HV 28). Dan kepada para uskup, agar mereka bekerjasama dengan para imam
dan umat untuk menjaga Perkawinan dan menguduskannya, sehingga dapat dipenuhi oleh
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Kristiani (HV 30).

Akhirnya, Paus mengingatkan kembali bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa
menghormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati
dengan pengertian dan kasih (HV 31).

 Bagaimana sebaiknya menyikapi Humanae Vitae?

Banyak orang, termasuk kalangan umat Katolik sendiri, berpendapat bahwa pengajaran
Humanae vitae merupakan ajaran yang mustahil diterapkan, karena sangat bertentangan
dengan kondisi alamiah suami istri, dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar,
terutama dari pihak suami. Bahkan kita pernah mendengar bahwa dalam urusan hubungan
suami istri, sebaiknya diserahkan kepada yang bersangkutan, daripada mengikuti ajaran
Gereja. Namun sesungguhnya, jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan mengasihi kita, dan Ia
melalui Gereja-Nya, mengajar demi kebahagiaan kita, pantaskah kita berkeras pada pendirian
kita?

Mari kita renungkan ajaran Yesus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia (Mat 19:6)”. Allah telah mempersatukan suami dan istri melalui
sakramen Perkawinan. Namun demikian, persatuan ini ‘diceraikan’ oleh pemakaian
kontrasepsi. Karena dengan kontrasepsi, persatuan antara suami istri menjadi tidak
menyeluruh, tidak tanpa syarat, dan tidak mengacu pada komitmen ‘for better for worse’.
Pendek kata, kasih suami istri yang total dan tak bersyarat diwujudkan dengan tindakan yang
tidak mencerminkan hal itu. Secara objektif hal yang seperti ini sesungguhnya dapat
dikatakan sebagai ‘ketidakjujuran’, karena apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa
yang dilakukan.
Setelah satu generasi berlalu dari tahun ensiklik itu dikeluarkan, kita melihat bukannya buah
yang baik dari kontrasepsi, namun sebaliknya, buah yang memprihatinkan. Atau tepatnya,
untuk jangka pendek mungkin tidak kelihatan jelas akibatnya, tetapi dengan berjalannya
waktu, kita melihat jelas efek negatifnya. Contohnya, meningkatnya perceraian dan aborsi,
seks bebas, kehamilan di luar nikah, masalah anak terkena narkoba karena retaknya keluarga,
meningkatnya jumlah dan jenis penyakit wanita sebagai akibat penggunaan kontrasepsi, dll.
Untuk hal-hal kemerosotan moral ini kita bahkan tidak perlu lagi melihat kepada data
statistik, karena telah begitu jelas terlihat di dalam masyarakat kita, dan mungkin saja di
dalam lingkaran sanak keluarga kita sendiri. Jika kita dengan rendah hati mau menerima
perkataan Yesus, bahwa untuk mengetahui baik atau tidaknya pohon, kita melihat dari
buahnya (lih. Mat 12:33), maka kita dapat menerima bahwa penerapan kontrasepsi bukanlah
sesuatu yang baik. Jadi larangan kontrasepsi yang diajarkan oleh Gereja adalah pertama-tama
demi menciptakan kebahagiaan suami istri dan melindungi Perkawinan itu sendiri.

Sebenarnya, seperti dikatakan oleh Janet Smith, ((Janet Smith adalah Associate Professor of
Philosophy di Universitas Dallas, Amerika Serikat. Karangannya yang terkenal tentang
Humanae vitae, A Generation Later dapat dilihat di internet, di
http://www.goodmorals.org/smith6.htm)) Gereja tidak melarang kontrasepsi karena akibat-
akibat buruk seperti yang dikatakan di atas. Namun karena pada dasarnya tindakan
kontraseptif itu sendiri adalah ‘jahat/ evil‘, maka tak mengherankan jika membuahkan hal-hal
yang buruk.

Kontrasepsi adalah tindakan dosa karena perbuatan tersebut bertentangan dengan akal,
kebenaran, dan hati nurani yang benar. (KGK, 1849) Jika kita mau jujur, maka kita dapat
melihat bahwa kontrasepsi, (1) melawan kehendak Tuhan yang telah memberi tugas untuk
mengambil bagian dalam karya penciptaan-Nya, sebab sejak awal Allah menjadikan
hubungan suami istri sebagai sesuatu yang sakral yang terbuka pada kemungkinan akan
kelahiran ciptaan-Nya yang baru; (2) melawan tubuh karena memasukkan benda ataupun
‘racun’ yang merusak tubuh, dan (3) melawan hakekat hubungan kasih yang total antara
suami istri. Singkatnya, kontrasepsi melawan hukum alam dan hukum Tuhan, yang juga
berakibat merendahkan martabat manusia, karena manusia dibuat tunduk kepada nafsu,
daripada berusaha menguasai diri dan mengalahkan nafsu tersebut.

Suatu permenungan adalah, pada saat pertama seseorang membeli alat kontrasepsi, adakah
hatinya bergumul? Umumnya ya. Kenapa demikian? Karena suara hati mereka melarangnya.
Dalam kasus ini, suara hati mereka yang ‘melarang’ adalah suara Tuhan, karena dalam hal ini
Roh Kudus sebenarnya mendorong mereka untuk tidak melakukan dosa. Jika kemudian orang
tersebut merasa ‘terbiasa’, hal ini disebabkan karena suara hatinya berangsur ‘tumpul’ karena
pengaruh media dan dunia, seolah mengatakan, “semua orang melakukan hal ini, maka tentu
hal ini tidak apa-apa…” Atau, jika seorang suami mengatakan dia mengasihi istrinya seperti
mengasihi tubuhnya sendiri (seperti yang dikatakan Ef 5:28); maka dapatkah ia
menganjurkan istri atau bahkan memaksa istri untuk menelan pil KB yang berpengaruh
negatif terhadap kesehatan istri? Dr. Chris Kahlenborn menyimpulkan bahwa wanita yang
mengkonsumsi pil KB dan pernah melakukan aborsi, mempunyai resiko yang tinggi untuk
mengidap kanker payudara, hati dan leher rahim. ((Lih. Chris Kahlenborn, MD, Breast
Cancer: Its Link to Abortion and the Birth Control Pill (Dayton, Ohio: One more Soul,
2000.))

Sekarang mari kita lihat kata ‘kontrasepsi‘ yang artinya ‘melawan permulaan’, dalam hal
ini permulaan kehidupan. Jadi di sini terjadi pertentangan. Singkatnya, mereka yang berbuat
mau melakukan tindakan, tetapi tidak mau menanggung akibatnya. Mereka yang katanya
saling mencintai malah memakai alat kontrasepsi sebagai ‘proteksi’, atau mengenakan alat
‘pembunuh’ sperma, seolah-olah menghadapi ‘perang’. Bukankah jika kita renungkan, ini
bertentangan dengan hakekat kasih yang saling memberi dan menerima seutuhnya?

Perlu kita ketahui beberapa cara kerja alat kontrasepsi yaitu pil/ terapi hormon. ((Lihat ulasan
John F. Kippley, Understanding Humanae Vitae, yang dapat diakses di internet,
http://www.nfpandmore.org/understandinghumanae.shtml , penjelasan n.15.)) Pertama,
menekan ovulasi, sehingga fungsinya seperti sterilisasi sementara. Kedua, mempertebal
dinding leher rahim/cervical mucus, sehingga menghambat aliran sperma. Ketiga, jika kedua
hal di atas tak terbendung, maka langkah terakhir adalah mencegah melekatnya sel telur yang
telah dibuahi ke dinding rahim, sehingga mahluk sangat kecil yang sudah berjiwa itu mati.
Dalam hal ini, kontrasepsi bersifat abortif awal. Penolakan atas hadirnya bakal anak ini
menjadi akibat dari sikap yang seolah mengatakan, “Aku mau memberikan seluruh diriku,
kecuali kesuburanku.” Kesuburan dianggap sebagai penyakit sehingga perlu diobati, dan anak
dianggap sebagai beban dan bukan sebagai berkat. Atau, “aku mau menikmati kesenanganku
bersamamu, tapi aku tidak mau menaruh komitmen dengan kamu.” Padahal, kasih yang sejati
selalu menghasilkan komitmen selamanya, dan kelahiran seorang bayi adalah salah satu yang
mengakibatkan komitmen tersebut.

 Solusi yang ditawarkan Gereja: KB Alamiah (Natural Family Planning)

Gereja tidak pernah mengajarkan, “Kalau begitu beranak-lah sebanyak-banyaknya…”;


melainkan menganjurkan pengaturan kelahiran yang alamiah, jika pasangan suami istri
memiliki alasan yang kuat untuk membatasi kelahiran anak. Pengaturan KB secara alamiah
ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami
istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “Janganlah kamu
saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu
mendapat kesempatan untuk berdoa” (1Kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di
dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur
(lih. Ibr 13:4).

Dewasa ini pengaturan KB alamiah sudah semakin akurat, karena tidak hanya berdasarkan
penghitungan kalender, tetapi berdasarkan tanda-tanda fisik wanita yang menyertai
kesuburannya/ ketidaksuburannya, yang dikenal dengan Metoda Billing atau
pengembangannya, yaitu Metoda Creighton. Data statistik menunjukkan metode KB alamiah
yang sedemikian memiliki tingkat kesuksesan 99%, bahkan penelitian di Jerman tahun 2007
yang lalu mencapai 99.6%. Lebih lanjut mengenai KB Alamiah (Natural Family Planning)
yang cukup akurat, yaitu Metoda Creighton, silakan klik di sini

Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi
dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan
kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami menjadi lebih mengenal istri
dan peduli akan kesehatan istri. Latihan penguasaan diri ini dapat pula menghasilkan
kebajikan lain seperti kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan, kebijaksanaan, dll yang
semuanya baik untuk kekudusan suami istri. Istripun dapat merasa ia dikasihi dengan tulus,
dan bukannya hanya dikasihi untuk maksud tertentu. Teladan kebajikan suami istri ini
nantinya akan terpatri di dalam diri anak-anak, sehingga merekapun bertumbuh menjadi
pribadi yang beriman dan berkembang dalam berbagai kebajikan.

 Kesimpulan

Perkawinan Katolik mengandung makna yang sangat indah dan dalam, karena melaluinya
Tuhan mengikutsertakan manusia untuk mengalami misteri kasih-Nya dan turut mewujudkan
karyaNya dalam penciptaan kehidupan baru: yaitu janin yang memiliki jiwa yang kekal.
Perkawinan merupakan sakramen, karena menjadi gambaran persatuan Kristus dan
Gereja-Nya. Hanya dengan menyadari kedalaman arti Perkawinan ini, yaitu untuk maksud
persatuan (union) suami istri dengan pemberian diri mereka secara total, dan turut sertanya
mereka dalam karya penciptaan Tuhan (pro-creation), kita lebih dapat memahami pengajaran
Gereja Katolik yang menolak aborsi, kontrasepsi dan sterilisasi. Karena semua praktek
tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan dan martabat manusia, baik
pasangan suami istri maupun janin keturunan mereka. Aborsi dan penggunaan alat-alat
kontrasepsi merendahkan nilai luhur seksualitas manusia, dengan melihat wanita dan janin
sebagai hanya seolah-olah ‘tubuh’ tanpa jiwa. Penggunaaan alat kontrasepsi menghalangi
union suami istri secara penuh dan peranan mereka dalam pro-creation, sehingga kesucian
persatuan perkawinan menjadi taruhannya. Betapa besar perbedaan cara pandang yang seperti
ini dengan rencana awal Tuhan, yang menciptakan manusia menurut gambaran-Nya: manusia
pria dan wanita sebagai mahluk spiritual yang mampu memberikan diri secara total, satu
dengan lainnya, yang dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan dan pengaturan
dunia!

Anda mungkin juga menyukai