Anda di halaman 1dari 3

Nama : Hotmaritua Simbolon

Nim : 16.3120

Mata Kuliah : Teologi Sosial

Dosen : Pdt. Riris Johana Siagian

BAB IV Sahala (Bagi Pemimpin Dulu dan Kini) & BAB IV Gereja dan
Kekuasaan

Bila disebutkan pemimpin agama batak ialah datu, imam, sibaso raja, pangulubalang.
Sahala seorang raja diperlihatkan dari bagaimana ia melaksanakan tugasnya serta tanggung
jawabnya. Sahala yang dimiliki oleh seorang raja atau datu atau orang dengan kemampuan
tertentu akan dianggap memiliki sahala yang lebih besar dari orang biasa maka artinya setiap
orang memiliki sahala tersendiri1. Maka orang batak percaya bahwa sahala itu telah ada sejak
ia dilahirkan, kemudian ketika orang itu sudah meninggal makan sahalanya akan kembali
kepada dewa tertinggi yaitu Mulajadi Nabolon2.

Namun Persentasi sahala sebagai suatu jabatan yang sakral tampak dari penanaman
pohon harihara (beringin) yang juga sebagai tanda terbentuknya sebuah kampung yang
mandiri. Pohon harihara juga melambangkan kekuatan dari Mulajadi Nabolon. Maka
manifestasi Sahala dalam kehidupan batak sebelum kekristenan dipengaruhi kuat oleh figur-
figur yang berkharisma yang cenderung berkaitan dngan hal hal sakral. Kesungguhan
menghidupi ritual-ritual baik ditengah-tengah orang batak sesungguhnya menifestasi
penghayatan keagamaan batak yang menegaskan teologi batak yang diperlihatkan dalam
mitos-mitos batak. Sifat Fisioner juga tercermin dari figur sakral dimana itu bagian dari sifat
mulajadi nabolon, digambarkan dengan dialog antara mulajadi nabolon dan suruan nya. sifat
dasar mengayomi menegaskan sebuah sifat yang menjaga, dan sifat ini juga hidup dalam
sebuah karakter pemimpin.

Kemudian pemanggilan kata ompung kepada mulajadi nabolon dianggap tepat karena
pemanggilan tersebut ditujukan utuk menyatakan keahlian dari mulajadi nabolon. Dalam
mitos penciptaan yang ketiga meunjukkan kata ompung yang ditunjukkan kepada mulajadi

1
Bungaran Antonius Simanjuntak, Arti dan Fungsi tanah bagi masyarakat Batak Toba, Karo, Simalungun,
(Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), hal 17 & 18
2
Jamaludin S. Hasibuan, Seni Budaya Batak (J.S. Hasibuah, 1985), hal 265
nabolon sebagai pencipta segala sesuatu. Raja patik tampubolon mengatakan kata panggilan
ompung merupakan kata panggilan yang tertinggi dan terhormat utuk menyatakan dari benua
atas. Dalam realitas nya penyebutakn kata ompung juga dikenakan jeoada figur-figur magis
sebagaimana hal itu dapat dicermati dalam tonggotonggo (doa-doa).

Dalam pemahaman batak sistem sosial batak dahlian na tolu berakar dari pemaknaan
atas interaksi ketiga figur debata na tolu. Ketiga nya bersifat fungsional tidak sturktural. Hal
ini tampak dari percakapan antara soripada dengan balabulan. Maka dengan demikian
interaksi yang terdapat dalam dahlian natolu merukapan interkasi dari figur-figur yang penuh
dengan sahala, dimana setiap orang yang berposisi sebagai hula-hula, boru, dongan tubu,
dalam berinteraksi merupakan reprentasi dari figur-figur bersahala.

Sahala dalam pengetian kharisma atau wibawa juga dikenal baik dalam teologi agama
kristen. Dalam perjanjian lama dan perjanjian baru terdapat beberapa tokoh yang dipandang
memiliki sahala karena sifat dasar mereka yang membentuk karakter. Sahala itu sendiri
berkaitan dengan hal baik atau perbuatan baik. Secara teolgis sahala itu dipahami dengan \,
pemberian Tuhan kepada seseorang3, dimana seluruh muara dan tujuan pemberitaan Alkitab
ialah perbuatan baik. Kemudian visioner, kemampuan menatap jauh kedepan ialah bagian
dari sahala yang merupakan pemberian atau anugrah Tuhan. Dapat dilihat dari pemberitaan
yang ada pada alkitab akan peristiwa besar akan terjadi kemudian hari.

Istila Marmami sangat menekan pada kehadiran dan eksitensi pendeta sebagai
gembala. Bagaimanapun injil harus diberitakan melalui tritugas panggilan gereja yaitu
memberitakan injil, koinonia, marturia, dan diakonia. Seorang pendeta harus melaksanakan
tugas seperti perkunjungan. Namun dalam waktu ke waktu semua perlahan berubah, pelayan
cenderung tercabut dari akar pergumulan, alhasih khobah-khotbah minggu baik harian tidak
lagi membumi karena tidak berangkat dari konteks pergumulan yang utuh dalam konteks
jemaat. Dalam hal ini menjadi saksi kritus tidalah mudah, mengacu dari konteks permuridan,
kesetiaan, ketaatan, dan pengorbanan.

Sementara itu ada fenomena pendeta bukan lagi dianggap sebagai panggilan
melainkan prestise. Ada kecenderungan dimana pelayan tidak dapat lagi mengucapkan
syukur atas apa yang ia miliki. Pada dasarnya tugas seorang pelayan yang dilakukan oleh

3
M. A. Marbun, Idris M Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba (Balai Pustaka 1987), Hal 147
pendeta harus dilakukan diatas nama Yesus Kristus sebagai kepala gereja. Da secara teologis
tugas itu harus ia pertanggungjawabkan atas dirinya yangempunya panggilan tersebut. Disisi
lain pedelegasian tugas dipahami sebagai Allah mendelegasikan tugas pelaya kepada orang
yang dipanggilanya, hal ini berfungsi agar wewenang dapat dibagi tidak dibebankan kepada
satu orang.

Ada fenomena realita kekuasaan itu dipahami berbeda yang kenyataan nya kekuasaan
itu terlihat dari otoritas kelompok tertinggi. Kelompok yang kuat akan mengklaim diri
mereka sebagai pemenang dalam pertarungan dan dalam hal ini hal yang berkaitan dengan
kesejahteraan keseluruhan akan terabaikan. Bila kekuasaan dipahami berdasar dari Allah,
kekuasaan itu harus berlangsung atas dia.

Dalam konfesi Hkbp, Tuhan Yesus sebagai imam, atau raja dan nabi merujuk pada
tugas dan wewenang yang didelegasikan kepada pendeta. Sebagai raja pendeta harus bersikap
mengayomi, sebagai imam pendeta harus bertindak sebagai pemimpin spritual dan menuntun
jemaat. Dalam konteks kehidupan keluarga ia akan menjadi kepala keluarga dan menuntut
setiap anggota keluarga hidup taat kepada kristus.

Hal yang mendasar kepemimpinan gereja dmana Allah turut campur tangan. Gereja
sebagai tubuh kristus maka gereja perlu bercermin terhadap pemimpin-pemimpin umat Allah
sebagaimana disaksikan dalam akitab. Perlunya kepemimpinan yang sederhana yang bersifat
Influence dimana artinya terdapat pengaruh s4erta kepemimpinan yang Spritual dimana
kepemimpinan nya tersebut berada dibawah Tuhan. Dalam konteks Kristosenstris, pilar
utama yang vertikal itu adalah Yesus itu sendiri.

Persoalan ditengah pelayan yang mencuat terutama pelecehan seks, seks diluar nikah
dan sebagainya. Gereja harus berupaya dalam tindakan konkrit dalam penegakan HAM.
Dalam hal ini panggilan gereja dituntut dan bukan hanya dianggap sebagai Ecclesia Docens
saja, namun perlunya Ecclesia Discens mengenai HAM. Ecclesia Discens sangat diperlukan
oleh gereja masa kini dalam menghadapi tantangan yang ada tertuama dalam HAM5.

4
Benny Hutahaean, Peran Kepemimpinan Spiritual Dan Media Sosial Pada Rohani Pemuda Di Gereja Batak
Karo Protestan (GBKP) Cililitan, (Deepublish) hal hal 6 & 7
5
Ruddy Tindage, Rainy M. P. Hutabarat, Gereja dan Penegakan HAM, (Kansius, 2008), hal 76

Anda mungkin juga menyukai