Anda di halaman 1dari 260

Deklarasi Bersama

Tentang
Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Ramli SN Harahap

PENERBIT PT KANISIUS
Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman
10150003048
© 2015 - PT Kanisius

PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.com
Website : www.kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 3 2 1

Tahun 17 16 15

Editor : FX. Setyawibawa


Desain isi : Oktavianus
Desain sampul : Joko S.

ISBN 978-979-21-4227-3

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


iii

PRAKATA

Skisma Gereja pada abad ke15 telah menghasilkan masalah


yang berkepanjangan di antara Gereja Katolik Roma (GKR) dengan
kalangan Gereja Protestan. Kedua belah pihak saling mengutuk dan
mengklaim diri masing-masing sebagai yang benar. Martin Luther
sebagai salah satu tokoh reformasi dianggap sebagai penyesat oleh
kalangan GKR. Perseteruan yang panjang ini berlangsung selama
hampir lima abad. Pertikaian ini tidak hanya dirasakan di belahan
benua Eropa, tetapi pertikaian ini merembes ke seluruh penjuru
dunia.
Kecederungan yang terjadi pada awal skisma besar itu adalah
masing-masing pihak semakin sibuk dengan penggalian doktrin-
doktrinnya. Doktrin-doktrin tersebut semakin kuat memisahkan
kedua belah pihak yang berseteru. Ternyata, dalam kurun waktu
lebih kurang lima abad itu, kedua belah pihak merasa “bosan” dalam
pertikaian tersebut. Akhirnya, kedua belah pihak memiliki kerinduan
untuk menghentikan pertikaian dan kutukan di antara mereka.
Buku ini dihadirkan sebagai upaya untuk memberikan penjelasan
atas salah satu topik pertikaian panjang di antara kedua Gereja
tersebut, yakni ajaran “Pembenaran oleh Iman”. Baik GKR maupun
Lutheran sepakat merumuskan sebuah “Deklarasi Bersama tentang
Ajaran Pembenaran” di Augsburg pada 31 Oktober 1999 untuk
menghentikan pertikaian dan kutukan di antara mereka.
Buku ini merupakan sebuah karya yang saya pertahankan
dalam menyelesaikan program Magister Teologi di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta (STT Jakarta). Tentu keberhasilan buku ini terletak di
tangan seorang pembimbing yang handal dan ahli di bidang Sejarah
iv  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Gereja, Pdt. Prof. Dr. Jan Sihar Aritonang, Ph.D. Beliaulah yang sabar
membimbing penulis sejak awal studi hingga akhir. Tentunya, buku
ini telah diberi masukan yang berharga dari para penguji tesis saya,
yakni Dr. Yusak Soleiman, Rebecca Young, Ph.D, dan Dr. Samuel B.
Hakh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang telah memberikan
dukungan doa dan materiil. Terima kasih kepada Pucuk Pimpinan
GKPA (2006-2011), Pdt. Abraham L. Hutasoit, M.A. (Ephorus) dan
Pdt. Pinda H. Harahap, S.Th. (Sekjen). Terima kasih pula kepada
Pucuk Pimpinan GKPA 2011-20016, Pdt. Adolv B. Marpaung,
M.Min, M.Th. (Ephorus), dan Pdt. TS. Simatupang, M.Th. (Sekjen),
dan seluruh rekan-rekan pendeta GKPA. Juga terima kasih kepada
seluruh rekan sepelayanan di Jakarta pada saat studi, St. dr. Esanov
Hasibuan, Sp.OG, St. Ny. Jenny Marpaung-Siregar, Ny. Martina Lubis-
Siregar, Drs. S.R. Siregar, St. Indra Rambe, S.E., St. Sontang Siregar,
S.E., Manahan Marpaung, Prof. Dr. dr. Parlin Siregar, Sp.KGH, St.
Edwin Nainggolan, St. Indomora Harahap/Tuti Br. Siregar, St. Drs.
Parsaulian Tambunan, M.Pd., Jeffry Ritonga, St. J. Sitorus/C. Br.
Pangaribuan, P.B.H. Panggabean/St. Clara Br. Sitompul, Pdt. K.
Simamora, S.Th. (+)/T. Br. Sitorus, dan Rosna Siregar, S.Th., M.Min.,
serta seluruh civitas akademika STT Jakarta, dan seluruh karyawan/ti
perpustakaan STT Jakarta.
Buku ini juga bisa terbit atas dukungan dari para lembaga bea
siswa yang telah mendukung proses studi di STT Jakarta, Lutheran
Church of Australia (LCA) di Australia, United Evangelism Mission
(UEM) di Jerman, dan teristimewa Lutheran World Federation (LWF)
di Geneva, khususnya buat Pdt. Dr. G.P. Harahap, M.S.T. (yang pada
saat itu menjabat DMD Asia Secretary Area Desk), Abebe Yohannes
Saketa (Secretary for Human Resources Development), dan Pauline
Smith (Administrative Assistant).
Buku ini tentunya hadir berkat dukungan keluarga saya yang
terkasih, Ayahanda Huria Harahap (†) dan Ibunda Bataur Pakpahan
(†) (Op.Maria), St. K.Silitonga (†)/Rosmawati Harahap (Op.Kesti), Toho
L. Harahap/Susana Endang Supraptimi, St. Mannen K. Harahap/Domi
Siregar, Torus Nainggolan/Tio L. Harahap, Order Ritonga/Tirasmita
Harahap, Taman Zulkifly Harahap, S.E./Sylvia Silitonga,SH, Pdt.
PRAKATA — v

Dr. GP. Harahap, MST, St. Halasan Harahap/Br. Siregar, Drs. Dahlan
Harahap/M. Br. Simatupang, Martin Harahap, SE./T. Br. Simatupang,
BA, keluarga mertua, Timbang Hutabarat (†) dan Mauli H.D. Sianipar
(†), Supardi Hutabarat/Minar Panjaitan, Anggiat Simanjuntak (†)/
Sri Kartika Hutabarat, Karyadi/Nefrida Hutabarat, S.Pd., Baginda
Tambunan/Devi Hutabarat.
Buku ini berada di tangan kita atas dukungan yang paling terkasih
dan tercinta isteri penulis, Pdt. Tuty Zastini Hutabarat, S.Th. dan anak-
anak: Fidei Felix Depensor Harahap dan Gladys Letitia Harahap,
yang selalu memberi inspirasi dan dukungan yang mendalam bagi
penulis.
Harapan penulis, kiranya tesis ini berguna bagi per­kembangan
gerakan ekumene di kalangan Gereja-gereja Protestan dan Katolik
di Indonesia, juga lembaga-lembaga pendidikan teologi di Indonesia
menuju arah yang lebih baik. Akhirnya, segala puji syukur hanya
bagi Bapa Surgawi atas rampungnya tugas mulia ini demi kejayaan
Kerajaan Tuhan di dunia serta kemuliaan bagi Bapa Surgawi. Bagi
Dialah kemuliaan kekal selama-lamanya. Amin!

Penulis

vii

Sambutan Sukacita

Mengkaji ajaran Gereja, pun bila dibatasi pada dokumen tertentu,


dalam hal ini Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh
Iman, apalagi kalau ajaran itu menyangkut Gereja-gereja yang sempat
berseteru dalam kurun waktu yang panjang, bukanlah pekerjaan
yang mudah dan menarik. Yang harus dikaji bukan hanya seluk-
beluk dan proses perumusan ajaran dan dokumen itu, melainkan
juga berbagai peristiwa dan pemikiran yang menjadi latar belakang
dan konteks ajaran dan dokumen itu, serta dampak ajaran dan
dokumen itu bagi kehidupan Gereja dan masyarakat. Kajian dan
penelusuran tidak cukup secara deskriptif dan analitis, melainkan
juga interpretatif; penulis harus berani menafsirkan dokumen ajaran
itu maupun dokumen-dokumen dan pemikiran-pemikiran yang
melatarbelakanginya.
Pdt. Ramli Selamat Natal M.Th. telah berupaya, dan menurut
saya berhasil, melakukan semua itu, walaupun harus bekerja keras,
terutama pada waktu melakukan penelitian dan menyusun tesis
ketika menempuh program studi Magister Theologiae di STT Jakarta.
Apresiasi dan penilaian secara akademis atas karya tulis ini cukup
tinggi dan beliau lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Tentu
karya tulis itu dibuat bukan hanya untuk memenuhi persyaratan
formal-akademik agar dapat meraih gelar tertentu. Sebuah karya
karya tulis menjadi semakin bernilai bila memberi manfaat bagi
kalangan yang lebih luas, terutama Gereja yang ikut menggumuli
pokok itu. Itulah sebabnya karya Pdt. Ramli Harahap ini sekarang
dipublikasikan agar dapat dibaca dan diperoleh manfaatnya oleh
banyak orang. Melalui karya tulis ini banyak kalangan, termasuk
viii  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

lembaga Gereja, belajar tentang bagaimana suatu pokok ajaran


digumuli sebelum dicanangkan, dan bagaimana dokumen yang
memuat ajaran itu harus dipahami dan ditindak-lanjuti.
Karena itu saya selaku pembimbing studi Pdt. Ramli Harahap
menyambut penerbitan karya ini dengan sukacita, sambil berharap,
kiranya karya ini mendorong banyak Gereja untuk lebih giat dan
bersungguh-sungguh merumuskan dan menyampaikan ajarannya,
tidak hanya untuk kalangan sendiri. Juga mendorong banyak
pembelajar teologi untuk meneliti pemikiran, ajaran, dan dokumen
dari masa lalu untuk dikembangkan ke masa depan. Semoga karya ini
menjadi berkat besar bagi Gereja dan komunitas pembelajar teologi,
khususnya Sejarah Kekristenan, bahkan juga bagi masyarakat dan
umat manusia yang mengalami kemurahan Allah yang membenarkan
orang yang beriman kepada-Nya.

9 Februari 2015
Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D.
ix

Daftar Isi

PRAKATA ............................................................................................................................................... iii


SAMBUTAN SUKACITA................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................................................................... ix

Pendahuluan.......................................................................................................................................... 1
1. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan....................... 1
2. Perumusan Masalah...................................................................................... 2
3. Pembatasan Masalah.................................................................................... 4
Bab I Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman............................................. 7
1. Definisi Pembenaran..................................................................................... 7
2. Dasar Alkitabiah Ajaran Pembenaran oleh Iman......... 9
3. Pandangan Augustinus dan Thomas Aquinas
tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman................................... 15
4. Pandangan para Reformator tentang Ajaran
Pembenaran oleh Iman.............................................................................. 19
5. Pandangan Katolik tentang Ajaran Pembenaran
oleh Iman................................................................................................................... 29
6. Ajaran Pembenaran oleh Iman dalam
Deklarasi Bersama........................................................................................... 34
Bab II Sejarah Deklarasi Bersama Tentang Ajaran
Pembenaran Oleh Iman........................................................................................ 37
1. Cikal-bakal Lahirnya Deklarasi Bersama.............................. 38
2. Dialog-dialog ....................................................................................................... 40
3. Lahirnya Deklarasi Bersama (DB)................................................. 44
4. Reaksi Atas dan Penerimaan terhadap
x  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Deklarasi Bersama........................................................................................... 49
5. Alasan-alasan Lutheran dan Katolik Membuat
Deklarasi Bersama........................................................................................... 53
6. Pandangan Umum terhadap Deklarasi Bersama......... 55
Bab III Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama
Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman........................................... 59
1. Teks Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran 59
2. Analisa Atas Teks Deklarasi Bersama....................................... 77
3. Eksegese terhadap Deklarasi Bersama ................................... 89
Bab IV Pengaruh Deklarasi Bersama Tentang Ajaran
Pembenaran Oleh Iman terhadap Gereja-gereja
Protestan dan Katolik di Indonesia........................................................ 125
1. Analisis dan Interpretasi Kuesioner............................................ 127
2. Pengaruh Deklarasi Bersama.............................................................. 141
Bab V Refleksi Teologis........................................................................................................... 181
1. Pentingnya Membangun Kajian-kajian Teologis........... 182
2. Deklarasi Lanjutan.......................................................................................... 185
3. Menafsir Ulang Ajaran Pembenaran. ......................................... 189
4. Arah Baru.................................................................................................................. 191
5. Membangun Jiwa Protestanisme (Lutheranisme). ...... 197
Bab VI Rangkuman dan Saran.......................................................................................... 203
1. Rangkuman-rangkuman ......................................................................... 203
2. Saran-saran.............................................................................................................. 214
Kepustakaan........................................................................................................................................... 217
A. Alkitab. ......................................................................................................................... 217
B. Buku................................................................................................................................ 217
C. Almanak, Kamus, dan Ensiklopedia ........................................ 222
D. Jurnal, Makalah, Artikel, dan Website...................................... 223
E. Wawancara............................................................................................................... 226
Lampiran ............................................................................................................................................... 229
Lampiran 1.......................................................................................................................... 231
Lampiran 2.......................................................................................................................... 246
1

Pendahuluan

1. Latar Belakang dan Konteks Permasalahan

Sejak munculnya gerakan Reformasi pada 1500-an, khususnya


Reformasi Martin Luther (1517), Gereja Katolik Roma menganggap
Gereja Reformasi atau Protestan sebagai musuh, bahkan bidat.
Kecaman demi kecaman disampaikan Gereja Katolik Roma kepada
para Reformator seperti Martin Luther yang dianggap sebagai
penyesat.1 Kutukan ini tidak hanya dikenakan kepada para Reformator
itu saja, melainkan juga kepada para pengikut Reformator. Banyak hal
yang diprotes oleh para Reformator terhadap Gereja Katolik Roma,
baik dalam ajaran maupun dalam ritus-ritus keagamaan.
Dengan adanya gerakan Reformasi ini maka kedua belah
pihak, baik Gereja Katolik Roma maupun Lutheran (Protestan), se­
makin menggali dan mengembangkan doktrin-doktrinnya. Di satu
sisi Gereja Katolik Roma membarui diri dari dalam dan melawan
doktrin-doktrin Lutheran melalui Konsili-konsili, dan hasil Konsili-
konsili ini mau melawan doktrin yang dikeluarkan oleh pihak
Lutheran. Sementara itu, pihak Lutheran pun semakin gencar dengan
sejumlah ajaran dan melawan praktik Gereja Katolik Roma yang
dianggap tidak sesuai dengan iman Lutheran. Secara umum doktrin
yang berseberangan di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran
(Protestan) adalah Sakramen, Mariologi, pemahaman tentang Kitab
Suci sebagai sumber kebenaran, penafsiran Kitab Suci, simbol-simbol
atau ikon-ikon, devosi-devosi kepada orang kudus, dan doktrin yang

1 Lih. Kurt Aland, A History of Christianity, (Philadelphia: Fortress Press, Vol.II, 1986), hlm. 43-
75.
2  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

selalu diperdebatkan adalah doktrin tentang keselamatan (soteriologi)


khususnya mengenai pembenaran oleh iman.
Pertikaian doktrin antara Gereja Katolik Roma dan Protestan ini
sudah berlangsung selama hampir lima abad sejak 1500-an hingga
1960-an. Jurang pemisah di antara Gereja Katolik Roma dan Protestan
khususnya Lutheran sudah perlu diperbaiki kembali. Kerinduan
untuk menjembatani pertemuan di antara Gereja Katolik Roma dan
Lutheran ini pun dimulai dengan membahas salah satu di antara
perbedaan itu, yakni doktrin pembenaran oleh iman.
Tesis ini akan membahas dan menguraikan sejarah pertemuan
Gereja Katolik Roma dan Lutheran dalam sebuah dokumen yang
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 31 Oktober 1999
di Augsburg yakni ”Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran”
(The Joint Declaration on the Doctrine of Justification).

2. Perumusan Masalah

Setelah dokumen Deklarasi Bersama (DB) ini ditandatangani di


Augsburg pada 31 Oktober 1999, banyak reaksi yang bermunculan dari
berbagai Gereja, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan yang
menerima dan bahkan menolak DB ini. Dokumen ini menjadi bahan
pembicaraan yang serius di kalangan Gereja Protestan dan Katolik. Ada
yang mengatakan bahwa dokumen ini telah menyimpang dari ajaran
Luther dan Reformator lainnya. Di Jerman, sekitar 243 akademisi dari
teolog Protestan dari berbagai fakultas teologi Protestan mengkritik
dokumen DB ini.2 Dari kalangan Katolik Jerman, reaksi kritikan
hanya datang dari ”Vereinigung der Initiativkreise der katholischen
Laien und Priester”. Penilaian lainnya diberikan oleh Lane3 yang
mengatakan bahwa: pertama, teologi Gereja Katolik Roma secara
signifikan bergerak semakin dekat kepada doktrin Protestan. Kedua,
Gereja Katolik Roma pada level tertinggi telah membuat perubahan

2 Mattias Turk, ”Report on Reaction from Different Countries to the Signing of the Joint
Declaration on the Doctrine of Justification on October 31, 1999, in Augsburg”, dalam Unity in
Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a Wider Ecumenical Context, (Geneva:
LWF Office for Ecumenical Affairs, 2002), hlm. 1.
3 Anthony N.S.Lane, Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical
Assesment, (London: T & T Clark, 2002), hlm. 228-231.
Pendahuluan — 3

yang signifikan dalam arahan ini, dalam DB, yang menyatakan bahwa
doktrin Protestan bukan lagi untuk dikutuk.
Dari reaksi yang terlihat tersebut berarti ada banyak permasalahan
yang timbul akibat ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini.
Hal itulah yang membuat penulis tertarik melihat pengaruh dokumen
Deklarasi Bersama ini bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di
Indonesia. Memang harus diakui bahwa pengaruh dokumen ini
di Indonesia sebenarnya belum begitu terasa. Hal ini disebabkan
dokumen ini masih berumur hampir 10 tahun, dan bahkan dokumen
ini belum banyak dikenal oleh orang Kristen di Indonesia, baik
Protestan maupun Katolik. Dokumen DB ini belum cukup dikenal
oleh kalangan warga jemaat bahkan pendeta dan pastor itu sendiri.
DB ini belum betul-betul meresap di kalangan Gereja-gereja sehingga
masih dianggap sebagai hal sampingan saja. Padahal DB ini adalah
sebuah dokumen yang sangat berharga, sebab melalui dokumen
DB ini pihak Protestan dan Katolik bisa menghasilkan pemahaman
bersama tentang ajaran pembenaran oleh iman yang menjadi per­
debatan kedua belah pihak hampir lima abad. Dokumen DB ini juga
belum dipakai oleh Gereja-gereja di Indonesia sebagai acuan pokok
dalam membangun hubungan di antara Gereja Protestan dan Katolik
di Indonesia.
Permasalahan lain yang bisa dikemukakan, ajaran pembenaran oleh
iman di dalam setiap dokumen Gereja-gereja Protestan dan Katolik di
Indonesia belum mencerminkan isi dari DB ini. Karena memang ajaran
pembenaran oleh iman setiap Gereja sudah ditetapkan jauh sebelum
DB ini ditandatangani. Jika dokumen DB sudah sah menjadi sebuah
dokumen bersama antara Protestan dan Katolik di seluruh dunia,
apakah ke depan Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia
akan merumuskan ulang ajarannya tentang pembenaran oleh iman
dengan mengacu pada DB ini? Inilah yang menjadi permasalahan yang
harus dihadapi oleh Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia
selanjutnya. Karena itulah penulis mencoba meneliti Gereja-gereja
Protestan dan Katolik termasuk dokumen-dokumen ajaran Gereja-
gereja Protestan untuk melihat sejauh manakah pengaruh dokum DB
ini bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia.
Di samping itu juga, sosialisasi dokumen ini kepada warga jemaat
kedua belah pihak, baik Protestan dan Katolik, kurang begitu intens
4  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dilakukan, sehingga di kalangan warga jemaat dokumen ini belum


begitu dirasakan pengaruhnya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan
atas dokumen ini masih terbatas pada kalangan birokrat Gereja
kedua belah pihak. Padahal dokumen ini adalah dokumen yang harus
disosialisasikan hingga ke aras warga jemaat, karena isi dokumen
ini sangat bermanfaat untuk semakin mempererat hubungan warga
jemaat Gereja Protestan dan Katolik.
Memang di beberapa perguruan teologi Gereja Protestan4 dan
Katolik5 di Sumatera bagian Utara, dokumen ini telah pernah dise­
minar­kan. Namun seminar ini masih terbatas pada sosialisasi DB
agar dikenal dan diketahui bersama oleh Gereja-gereja Protestan
dan Katolik di Sumatera bagian Utara. Seminar seperti ini hanya
membuka wawasan baru tentang pemahaman pembenaran oleh iman
yang sudah diterima dan diakui secara bersama antara Protestan dan
Katolik. Hingga sekarang belum ada Gereja-gereja Protestan maupun
Katolik yang berupaya untuk merumuskan ulang ajaran pembenaran
oleh iman yang mengacu pada isi DB ini. Karena upaya merumuskan
ulang ajaran sebuah Gereja bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Hal ini membutuhkan waktu, tenaga, pemikiran yang sangat serius
dan matang.
Melihat permasalahan yang ada di atas, maka penulis mencoba
memaparkannya dalam buku ini serta memberikan saran-saran demi
terciptanya keutuhan dan kerukunan umat percaya untuk saling
menghormati dan menghargai.

3. Pembatasan Masalah

Dari uraian di atas, terlihat bahwa pengajaran tentang keselamatan


(soteriologi) khususnya pembenaran oleh iman, dipahami secara
berbeda oleh kalangan Protestan dan Katolik. Karena keterbatasan
penelitian dalam hal waktu, tenaga dan biaya, serta menjaga agar
penelitian lebih terarah dan fokus, maka diperlukan pembatasan
masalah. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian historis. Kendati
penelitian ini merupakan kajian historis, penelitian ini juga akan

4 Misalnya: Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar.


5 Misalnya: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St.Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar.
Pendahuluan — 5

berkaitan dengan kajian dogmatis maupun pastoral sepanjang ber­


kaitan dengan kajian historis penelitian ini. Penelitian ini juga akan
dibatasi kepada Gereja-gereja Protestan dan Katolik yang ada di
Indonesia. Penelitian ini akan dilaksanakan kepada Gereja Protestan
seperti: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI), Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA), Gereja
Kristen Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Kristen
Jawa (GKJ), dan Gereja Betel Indonesia (GBI). Sementara dari Gereja
Katolik diwakili Keuskupan Medan. Dengan pertimbangan tersebut,
maka penelitian ini dibatasi pada dokumen ajaran pembenaran oleh
iman di kalangan Protestan (khususnya Lutheran dan Calvinis) dan
Katolik, sehingga judul buku ini menjadi: Deklarasi Bersama tentang
Ajaran Pembenaran oleh Iman.
7

Bab I
Sejarah Ajaran Pembenaran
Oleh Iman

1. Definisi Pembenaran

Menurut KUBI, kata ”membenarkan” adalah membuat supaya


benar; meluruskan; membetulkan, memperbaiki, mengatakan benar,
menganggap benar. Pembenaran itu sendiri berarti proses, perbuatan,
cara membenarkan.6 Menurut Kamus Teologi, justification adalah
anugerah penyelamatan berupa pembenaran membuat manusia
berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang karena
iman akan Yesus Kristus (Rm 1:17; 9: 30-31), bukan dari pekerjaan
hukum (Rm 3:28; Gal 2:16).7 Sementara dalam Kamus Alkitab, kata
kerja ‘membenarkan’ lebih berkenaan dengan pemulihan hubungan,
daripada menjadikan, atau seolah-olah menjadikan sifat yang baru.8
Istilah ”pembenaran” dan kata kerja ”membenarkan” kalau di­
pakai dalam konteks teologi mempunyai arti ”masuk ke dalam
suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau mungkin juga
”dijadikan benar di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran
berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan
oleh seorang individu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini di se­
panjang sejarah Gereja masih terus diperdebatkan, bahkan mengalami

6 Team Penyusun Kamus, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, ed. ke-2, cet.4,
1995), hlm. 114.
7 Gerald O’Collins & Edward G.Farrugia, Kamus Teologi, (terj.) (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hlm. 237.
8 W.R.F.Browing, Kamus Alkitab, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm. 315.
8  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

kekacauan. Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang


menyebabkannya. Pertama, tidak adanya pengumuman resmi
dari Gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu tahun.
Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik
perdebatan yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad
Pertengahan dengan hasil bahwa sejumlah pendapat yang tidak
proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam peredaran.9
Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan
saja merupakan anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan
pelanggaran dan kejahatan (Rm 3:23; 5:6-10; Ef 2:1-3; Kol 1:21; Tit
3:3). Ketika dilahirkan kembali, maka seseorang menerima hidup dan
perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima
kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tin­
dakan Allah yang menyatakan sebagai benar orang yang percaya
kepada Kristus.10 Menurut Ladd, ”Pokok gagasan pembenaran ialah
penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang percaya kepada
Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang
sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki
suatu hubungan yang benar dengan Allah”.11
Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah
sesuatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang di­
nyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang
benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Menurut Thiessen, ada
beberapa hal yang tercakup dalam pembenaran:12 (1) pembenaran
adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya
dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam
kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di
dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes 53: 5-6; 1 Ptr 2: 24).13 (2) Pem­
benaran adalah pemulihan hubungan baik. Artinya orang yang telah
dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Taw 20: 7; Yak 2: 23). (3)

9 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4,
2002), hlm.115-117.
10 Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (terj.) (Malang: Gandum Mas, 2008), hlm. 421.
11 George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans
Publishing Co., 1974), hlm.437.
12 Henry C. Thiessen, Op.Cit., hlm. 422-424.
13 Bdk. pendapat Ladd, ”Doktrin pembenaran berarti bahwa sekarang ini Allah telah
menyatakan pembebasan orang beriman dari penghukuman pada akhir zaman, bahkan
sebelum penghukuman akhir itu terjadi.”(George Eldon Ladd, Op.Cit.,hlm.437).
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 9

Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya


dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan.Yang dimasukkan
bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan
ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya
kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu
telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga
telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui
penghitungan kebenaran Kristus.

2. Dasar Alkitabiah Ajaran Pembenaran oleh Iman

Pembenaran bukan hanya merupakan salah satu manfaat yang


besar dari kematian Kristus, tetapi juga merupakan ajaran yang pokok
dalam kekristenan, karena hal itu membedakan kekristenan sebagai
agama anugerah dan iman. Dan anugerah serta iman merupakan
dasar dalam ajaran tentang pembenaran.
Kata yang dipergunakan untuk ”membenarkan” di dalam Per­
janjian Lama (PL) adalah hitsdik (Ibrani), yang dalam sebagian besar
pemakaiannya berarti ”secara yuridis mengumumkan bahwa keadaan
seseorang selaras dengan tuntutan hukum” (Kel 23: 7; Ul 25: 1; Ams
17: 15; Yes 5: 23).14 Artinya, kata pembenaran itu lebih bersifat hukum.
Kata kerja lainnya adalah (tsadaq). Istilah ini lebih bersifat religius
daripada etis. Kata kerja ini artinya ”sesuai dengan tolok-ukur yang
diberikan”; dalam bentuk hifil kata kerja ini artinya ”menyatakan
sebagai benar atau membenarkan”.15
Kata yang digunakan dalam Perjanjian Baru (PB) lebih variatif
seperti: (1) ‘dikaio-o’ yang berarti ”menyatakan bahwa seseorang benar”
dan kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk suatu pernyataan
pribadi sesuai menurut hukum (Mat 12: 37; Luk 7: 29; Rm 3: 4). (2)
‘Dikaios’. Kata ini dipakai dalam kaitan dengan manusia jika manusia
dalam penilaian Tuhan mempunyai hubungan yang sesuai dengan

14 Louis Berkhof, Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan, (terj.) (Surabaya: Momentum, cet. Ke
6, 2006), hlm. 217.
15 Millard J.Erickson, Teologi Kristen, (terj.) (Malang: Gandum Mas, vol.3, 2004), hlm. 173. Millard
mengutip pendapatnya ini dari Francis Brown, S.R.Driver, & Charles A.Briggs, Hebrew and
English Lexicon of the Old Testament, (New York: Oxford University, 1955), hlm. 842-843; J.A.
Ziesler, The Meaning of Righteousness in Paul, (Cambridge: Cambridge University, 1972), hlm.
18.
10  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

hukum. (3) ‘Dikaiosis’, pembenaran yang dijumpai di dua tempat,


yaitu Roma 4: 25, 5: 18 yang menunjukkan tindakan Tuhan yang
menyatakan bahwa manusia bebas dari kesalahan dan dapat diterima
oleh-Nya.16Berdasarkan data tersebut, maka pembenaran dalam PB
merupakan tindakan Allah yang bersifat hukum atau menyatakan
kita benar seperti halnya keputusan hakim yang membebaskan
seorang terdakwa.17
Membenarkan berarti menyatakan benar.Baik kata Ibrani
(tsadaq) maupun kata Yunani (dikaio-o) berarti mengumumkan
putus­an yang menyenangkan, menyatakan benar.Konsep ini tidak
ber­arti menjadikan benar, tetapi menyatakan kebenaran.Hal itu
merupakan konsep dalam persidangan, sehingga membenarkan
ber­arti memberikan putusan benar. Perhatikan perbedaan antara
membenarkan dan menyatakan salah dalam Ulangan 25:1; 1Raja-raja
8:32; dan Amsal 17:15. Sama halnya seperti menyatakan salah tidak
membuat seseorang jahat, demikian pula menyatakan benar tidak
menjadikan seseorang benar.Namun demikian, mempersalahkan atau
membenarkan itu berarti mengumumkan keadaan yang benar dan
sesungguhnya dari orang itu.Akan tetapi, orang yang jahat memang
sudah jahat pada waktu putusan hukuman diumumkan.Demikian
juga, orang yang benar memang sudah benar pada waktu putusan
pembenaran diumumkan.18
Dalam Perjanjian Baru, pembenaran oleh iman ini kita temukan
dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut
cukai (Luk. 18:9-14). Orang Farisi dan pemungut cukai pergi ke Bait
Allah untuk berdoa. Orang Farisi bangga dan sombong terhadap
apa yang telah diperolehnya, mengucap syukur kepada Allah atas
kekudusan dan moralitasnya yang baik. Hal yang kontras, pemungut
cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke
langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah

16 Louis Berkhof, Op.Cit., hlm. 218-219.


17 Millard J.Erickson, Op.Cit., hlm. 176-177.
18 Bdk. R.Sudarmo, IkhtisarDogmatika, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-14, 2006), hlm. 210-
212. Menurut Sudarmo, di dalam pembenaran kita dapat membedakan 3 unsur: (1) Allah
Bapa yang membenarkan, yaitu: Ia yang menganggap hak Tuhan Yesus Kristus sebagai hak
orang percaya. (2) Kristus yang membenarkan, artinya: Ia juga mencapai segala sesuatu
hingga tidak dapat diberikan kepada manusia. (3) Roh Suci membenarkan, yaitu: Ia yang
melanjutkan, mengenakan pembenaran kepada orang percaya, hingga orang yang dibenarkan
merasakan kegirangan.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 11

aku orang berdosa ini. Yesus menyimpulkan bahwa tindakan


pemungut cukai ini disebut sebagai dedikaiomenos (perfek pasif dari
dikaio-o). Kata Yunani dedikaiomenos dalam Lukas 18: 14 diterjemahkan
bervariasi: ”justified” (KJV/AV; RV; RSV), ”justified before God” (NIV),
”acquitted of sins” (NEB), ”at rights with God” (JB), ”in the right with
God” (TEV) dan ”orang yang dibenarkan Allah” (LAI).19
Dalam Perjanjian Lama (PL), kata yang digunakan untuk me­
nerjemahan sdq (bahasa Ibrani) adalah kata Yunani dikaio-o. Para ahli
menyetujui kata ini dikaitkan dengan keadilan di dalam perjanjian
yang Allah buat dalam pemilihan umat Israel. Dikaio-o merujuk pada
hukum tanah dan tradisi dalam penafsiran mereka. Dalam kenyataan,
tidak ada kata di dalam PL Ibrani yang secara harfiah berarti ”sebuah
pengadilan” (a court). Kata yang biasa digunakan adalah ”pintu
kota” (the gate of the city). Kata Ibrani sdq berarti ”menjadi benar” atau
”menyatakan menjadi benar”.20
Dalam tulisan-tulisan Paulus, pembenaran oleh iman ditemukan
dalam surat Galatia dan Roma, namun masih ditemukan juga
dalam tulisan-tulisan lainnya seperti dalam Filipi 3: 9-11 dan Titus
3: 3-7. Ajaran pembenaran oleh iman bukanlah berita yang aktual
yang harus dikhotbahkan kepada orang kafir oleh Paulus. Namun,
pembenaran oleh iman ini merupakan penjelasan bagaimana Injil
didasarkan pada tema-tema PL mengenai kebenaran Allah dan iman
manusia. Ajaran pembenaran oleh iman ini ditujukan Paulus kepada
orang kafir di Galatia.21 Menurut Paulus, pembenaran manusia di
dalam Allah tidak tergantung pada banyaknya atau sedikitnya ia
mematuhi hukum Taurat; manusia dibenarkan oleh anugerah semata-
mata. Manusia tidak dapat mengusahakan sendiri anugerah itu,
tetapi harus menerimanya dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus.22
Bagi Paulus, iman bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebaliknya
penerimaan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (bdk. Rm. 1:6-7) dan
dengan demikian justru iman itulah merupakan inti dan sumber dari
kehidupan rohani, termasuk perbuatan-perbuatan (bdk. Rm 9: 31-10:

19 Peter Toon, Justification and Sanctification, (London: Marshall Morgan & Scott, 1983), hlm.13.
20 Ibid., hlm. 14.
21 Ibid., hlm.21.
22 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996), hlm. 34.
12  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

3).23 Maksud Allah membenarkan manusia oleh karena iman (Rm


3: 30; Gal 3: 8) adalah bahwa Ia menerima manusia, bukan karena
manusia itu beriman (karena manusia itu benar), melainkan karena
kebaikan-Nya sendiri. Kebenaran manusia bukanlah dasar bagi
kebenaran Allah. Sebaliknya kebenaran Allah adalah kesempatan
bagi manusia untuk menerima (= percaya kepada) kebenaran Allah
itu. Dengan membenarkan manusia yang berdosa, Allah tidak berarti
membenarkan dosa manusia itu sendiri. Kebenaran oleh iman
bukanlah asuransi hidup kekal, melainkan kesempatan baru yang
diberikan Allah kepada manusia yang dilumpuhkan dosa, untuk
hidup sebagai anak-anak-Nya.24
Dalam surat Roma, secara ringkas dapat dikatakan, ajaran Paulus
tentang pembenaran didasarkan pada kenyataan bahwa semua
manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rm 3:23),
entah dia adalah orang Yahudi atau bukan, dan oleh anugerah-Nya
telah dibenarkan dengan cuma-cuma melalui penebusan dalam Yesus
Kristus (Rm 3:24). Karena itulah dalam ayat 21 dikatakan bahwa
tanpa hukum Taurat pembenaran Allah telah dinyatakan, seperti
yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab Para Nabi.
Dasar untuk memperolehnya bukanlah perbuatan tetapi berdasarkan
iman (Rm 3: 27), karena manusia dibenarkan karena iman, bukan
karena melakukan hukum Taurat (Rm 3: 28). Mengenai iman, Paulus
tidak memberikan rumusan pengertian yang eksplisit. Van den
End25 mengatakan bahwa makna dari kata ”iman” dalam pengajaran
Paulus ini baru dapat dilihat sepenuhnya jika dipertentangkan
dengan ”perbuatan hukum Taurat”. Keselamatan melalui hukum
Taurat akan berpasangan dengan sikap manusia yang berusaha
memenuhi tuntutan Taurat itu. Sedangkan keselamatan tanpa hukum
Taurat berpasangan dengan sikap yang sama sekali lain, yaitu sikap
manusia yang mengharapkan keselamatan sepenuhnya dari rahmat
Allah saja. Itulah iman. Mengenai perbuatan, Rasul Paulus sangat
pesimis terhadap setiap upaya manusia untuk melakukan setiap
tuntutan Hukum Taurat. Dalam ayat 20, dengan tegas Rasul Paulus

23 J.J. Gunning, Tafsiran Alkitab: Surat Galatia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 36.
24 Ibid., 38-39.
25 Th.van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 142-
148.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 13

menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di


hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat. Justru oleh hukum
Taurat orang mengenal dosa. Ajaran Rasul Paulus ini sebenarnya
merupakan refleksi dari perjalanan kehidupannya, sekaligus menjadi
keyakinannya. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang sangat jauh
dari iman kepada Kristus bahkan menjadi penganiaya jemaat, dia
diterima oleh Allah untuk perkerjaan Pemberitaan Injil. Perbuatan-
perbuatan yang dulu dianggapnya baik karena didasarkannya pada
ketaatan kepada Taurat, justru menjadi suatu hal yang dianggapnya
sebagai suatu hal yang tidak berguna.26 Manusia dibenarkan oleh
iman, artinya kita boleh memiliki damai dengan Allah karena
kita percaya dengan segenap hati, bahwa apa yang Yesus katakan
kepada kita tentang Allah adalah benar.27 Roma 1: 16-17 berbunyi:
”Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang
percaya. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari
iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, orang benar
akan hidup oleh iman”. Kebenaran Allah adalah tindakan Allah yang
mendirikan dan memelihara hubungan yang ‘benar’ antara diri-Nya
dengan manusia dan antara manusia dengan sesama. Maka, kalau
manusia mau memiliki kebenaran, datangnya harus dari Allah.28
Di bagian lain, Yakobus memberikan kontribusi pengajaran
teologis yang cukup kontroversial mengenai hubungan iman (faith),
perbuatan-perbuatan baik (works), dan pembenaran (justification).
Yakobus menekankan kepercayaan yang benar harus diikuti dengan
perbuatan yang benar (Yak 2: 17, 20, 26). Dia mengkhawatirkan
tentang orang-orang yang membatasi iman hanya dengan pengakuan
verbal saja (Yak 2: 19) atau berpura-pura, tidak bersungguh-sungguh
mengharapkan yang baik (Yak 2: 15-16). Iman seperti ini adalah
iman yang mati (Yak 2: 17, 26) dan bebal (Yak 2: 20) serta tidak akan
bermanfaat pada hari penghakiman (Yak 2:14). Iman seperti ini, diakui
oleh banyak orang yang tidak sama dengan iman yang diajarkan oleh
Yakobus. Yakobus melihat iman sebagai sebuah keyakinan, ketetapan

26 Christian Tanduk, ”Iman, Perbuatan dan Pembenaran”, dalam http: // forumteologi.com /


blog / 2007/04/24/ iman-perbuatan-dan-pembenaran.
27 William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Rom, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), hlm. 92.
28 Th.van den End, Op.Cit., hlm. 151.
14  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

hati yang tidak terselubung bagi Allah dan Kristus (Yak 2: 1) yang
diuji dan disaring dengan pencobaan-pencobaan (Yak 1: 2, 4) dan
yang mengandung berkat Allah dalam doa (Yak 1: 5-8; 5: 14-18).29
Adalah salah jika menganggap konsep iman milik Yakobus
sebagai bagian lain atau berbeda dengan ajaran Paulus atau Kristen.
Sebaliknya, menurut penulis sendiri ajaran Paulus dan Yakobus saling
melengkapi. Sebagaimana Paulus sendiri mengatakan di Galatia 5: 6,
”hanya iman yang bekerja oleh kasih” yang berkenan kepada Allah,
dan Yakobus mencatat, ”iman tanpa perbuatan adalah mati”. Di sisi
lain, Yakobus dan Paulus dianggap tidak sepakat: mengajarkan iman
sebagai syarat pembenaran. Paulus menekankan bahwa iman saja
cukup untuk membenarkan: ”karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat” (Rm 3: 28). Sedangkan, Yakobus mengklaim bahwa ”manusia
dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena
iman” (Yak 2: 24). Beberapa orang telah melihat dua perspektif ini
sebagai kontradiksi, dan menganggapnya sebagai dua reprensentasi
permasalahan doktrin keselamatan dalam Gereja perdana. Padahal
dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah seradikal itu. Berdasarkan
konteks masing-masing, dan dengan berhati-hati memperhatikan
penggunaan istilah-istilah kunci yang mereka gunakan, kita dapat
dengan mudah mengharmoniskan kedua pandangan ini.30
Pertama, Paulus dan Yakobus mengkombinasikan dua permasa­
lahan yang berbeda. Paulus mempertentangkan suatu kecenderungan
orang Yahudi yang mengandalkan Hukum Taurat untuk keselamatan.
Sedangkan Yakobus berjuang melawan sikap yang membelokkan
doktrin ortodoks: oleh iman saja. Secara wajar, apa yang mereka
katakan dalam kasus ini merupakan dua perspektif yang berbeda.
Kedua, Paulus mengklaim bahwa seseorang tidak dapat dibenar­
kan atas dasar perbuatan hukum yang menyebutkan bahwa pekerjaan

29 Bdk. H.P. Hamann & W.J.Hassold, James-Jude: ChiRho Commentary Series, (Adelaide: Lutheran
Pubishing House, 1986), hlm. 38-42.
30 Walter A. Elwell, EDBT: ”James” (G.R. Michigan: BakerBook, 1996), hlm. 386-387; bdk. J.J.
Gunning, Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 33. Paulus
dan Yakobus setuju dalam hal berikut: perbuatan-perbuatan harus ada. Tetapi mereka berbeda
dalam menghadapi ketidak-adaan perbuatan itu. Yakobus memberikan kesan bahwa kita
harus menyempurnakan iman dengan perbuatan, barulah kita akan dibenarkan. Paulus akan
tetap mempertahankan: bila perbuatan-perbuatan sudah mulai mempunyai peran dalam hal
keselamatan, maka iman itu sendiri akan dirugikan.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 15

baik yang mendahului pertobatan. Sedangkan Yakobus berbicara


tentang pekerjaan baik yang berasal dan dihasilkan oleh iman:
pekerjaan baik didahului oleh pertobatan, yaitu pekerjaan baik yang
dilakukan sebagai akibat dari iman di dalam Kristus.
Ketiga, yang paling penting di sini adalah masalah pembenaran
(justification). Dalam membicarakan pembenaran ini, Paulus dan
Yakobus sedang berbicara tentang dua hal yang berbeda. Paulus
menggunakan kata kerja bahasa Yunani, dikaio-o, justify, untuk meng­
gambarkan dinamika aktivitas rahmat Allah yang memberikan
kepada orang berdosa sebuah status baru. Status baru bagi orang
berdosa ini didasarkan pada kesatuan orang berdosa dengan Kristus
melalui iman. Oleh sebab itu, menurut Paulus, dikaio-o adalah sebuah
tema yang merujuk kepada pemindahan seseorang dari kuasa dosa
dan kematian ke dalam kuasa kekudusan dan kehidupan. Sedangkan
Yakobus menggunakan istilah dikaio-o dengan arti yang didukung
dalam Perjanjian Lama, dalam sumber-sumber Yahudi, dan di dalam
Injil Matius (misalnya di Mat 12: 37). Yakobus merujuk kepada
sebuah keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan kasus-
kasus aktual: Allah membenarkan seseorang berdasarkan perbuatan
yang berdasarkan iman. Paulus melihat pada permulaan kehidupan
Kristen. Sedangkan Yakobus melihat akhir kehidupan Kristen. Paulus
menjelaskan bahwa oleh iman saja kita masuk ke dalam sebuah
persekutuan dengan Allah. Sedangkan Yakobus mengajarkan bahwa
persekutuan atau hubungan dengan Allah itu diteguhkan dan
ditunjukkan dengan perbuatan yang keluar dari iman inilah yang
akan digunakan oleh Allah pada saat penghakiman terakhir sebagai
bukti dari kemurnian kesatuan kita dengan Kristus.

3. Pandangan Augustinus dan Thomas Aquinas tentang Ajaran


Pembenaran oleh Iman

Ajaran Protestan khususnya Martin Luther (1483 – 1546) tentang


pembenaran oleh iman pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh
ajaran Augustinus dari Hippo. Hal ini dibuktikan oleh G.S. Faber
dalam karyanya The Primitive Doctrine of Justification (1837) yang
mengklaim bahwa pengajaran Protestanisme memiliki substansi yang
sama dengan pengajaran Yunani mula-mula dan Bapa-bapa Gereja
16  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Latin.31 Misalnya saja Augustinus mengerti bahwa kata ‘membenarkan’


(‘to justify’) berarti ‘memegang’ (‘to hold just’) atau ‘menghitung’ (‘to
account just’).32
Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak
hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat
ilahi.33 Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya
dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa,
yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu, dan
memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut ”dosa asal”.
Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan
yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat
oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap
dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan
atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak
dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harfiah manusia berada dalam
kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa
itu hanyalah Allah. Dan Allah memang membebaskan manusia dari
”lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus
disebut ”rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah
itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata
karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cuma-
cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya, Allah masuk ke dalam
hati manusia dan mengubahnya secara radikal.34
Secara ringkas pengajaran Augustinus tentang pembenaran dapat
diringkas sebagai berikut:35 (1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran
Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian Allah
membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang berdosa.
Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar pembenarannya
(Rm 1: 17; 3: 21). (2) Membenarkan artinya membuat benar.

31 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 45.


32 Anthony N. S. Lane, Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue, An Evangelical
Assessment, (London: T & T Clark, 2002), hlm. 45.
33 Lih. Augustinus, Pengakuan-pengakuan, (terj.) (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia &
Kanisius, 1997), hlm. 243-244.
34 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, jilid 2,
2004), hlm. 155-156; bdk. L. Berkhof, The History of Christian Doctrines, (Grand Rapids Michigan:
Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1953), hlm. 135.
35 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 48-50. Uraian lebih dalam lih. John Burnaby, Augustine: Later Works,
(Philadelphia: Westminster, vol. VIII, 1980).
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 17

Augustinus memutuskan bahwa justificare berarti ”membuat benar”.


Augustinus menyakini orang berdosa dijadikan benar di dalam
pembenaran. (3) Pembenaran terlihat dalam keseluruhan hidup orang
Kristen. Pembenaran terlihat melalui baptisan, di mana saat itu Allah
mengampuni dosa. Sejak baptisan itu maka orang berdosa telah
dibenarkan sepanjang perjalanan kehidupannya. (4) Pembenaran oleh
iman dan kasih. Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas
Gereja perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. (5) Anugerah
Allah mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran
dan menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus
membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif
di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan
setiap manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kebebasan yang se­
pantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah ilahi
di dalam hidupnya.
Berbeda dengan Thomas Aquinas yang mengajarkan Allah sebagai
”ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah ”ada yang
tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah
penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat
Aristoteles dalam pandangannya. Dunia ini dan hidup manusia
terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat
atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami
dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna
dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup
rahmat (adikodrati). ”Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan
disempurnakan oleh rahmat”, demikian kata Thomas Aquinas.36
Mengenai manusia, Aquinas mengajarkan bahwa pada mulanya
manusia mempunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi
rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah
(rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi
kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih
tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan
kepada manusia lewat Gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati

36 F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1993), hlm. 19.
18  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan me­


mungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Mengenai pembenaran, Aquinas menguraikannya dalam tiga
hal dalam tulisannya.37 Pertama, Aquinas mendiskusikannya dalam
hubungannya dengan sakramen tobat dalam karyanya Commentary on
the Sentences of Peter Lombard (1252 dan 1256). Permulaan pembenaran
sebagai proses membuat benar dapat dilihat dalam baptisan. Restorasi
pembenaran dilihat sebagai efek anugerah Allah melalui sakramen
tobat. Kedua, dalam tulisannya Quaestiones Disputate de Veritate
(1256-1259). Baptisan adalah sakramen yang melaluinya pembenaran
dimulai, dengan sakramen tobat dan perjamuan kudus memberikan
proses pembenaran. Dan ketiga, diskusi yang matang tentang topik ini
diulasnya dalam Summa Theologiae (Blackfriars edition, vol. 30). Dalam
buku ini, Aquinas secara ringkas menjelaskan: (1) anugerah diberikan
kepada manusia dari luar manusia sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus
yang bekerja di dalam nama Yesus Kristus; (2) Anugerah dimasukkan
ke dalam esensi jiwa dan tinggal di dalamnya; (3) Anugerah tidak
perlu bagi manusia untuk memenuhi tujuannya di dalam kodratnya
sebagai manusia, tetapi penting bagi manusia untuk memperoleh
hidup yang kekal. Mengenai pembenaran, Aquinas berkeyakinan
bahwa anugerah sekaligus membenarkan dan menguduskan orang
berdosa. Pembenaran orang yang tidak benar adalah akibat operatif
anugerah. Allah sendiri yang membuat proses pembenaran itu.
Allah adalah Pemindah supernatural, dan orang yang tidak benar
dipindahkan-Nya menjadi benar. Dikatakan pembenaran sebab
pembenaran adalah proses orang berdosa menjadi memiliki kebenaran
supernatural. Dengan memperhatikan pembenaran sebagai proses
atau perpindahan, pembenaran boleh dikatakan memiliki empat
unsur logika yang membedakan yakni: ”pembangkitan anugerah”
(the infusion of grace), perpindahan pemilihan bebas langsung kepada
Allah oleh iman, perpindahan pilihan bebas langsung kepada dosa,
dan pengampunan dosa. Lebih dalam Aquinas beranggapan, di
dalam proses pembenaran baptisan Kristen memperoleh keuntungan
akibat operatif anugerah (gratia cooperans).

37 Peter Toon, Op.Cit., hlm. 50-54.


Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 19

4. Pandangan para Reformator tentang Ajaran Pembenaran oleh


Iman

Pandangan Protestan tentang pembenaran oleh iman ini lahir dari


hasil pergumulan dari para reformator atas doktrin yang dipahami
Gereja Katolik Roma (GKR) dan para Bapa-bapa Gereja. Tema besar
pertama dari pemikiran Reformasi adalah ajaran tentang pembenaran
oleh iman.38 Rumusan doktrin pembenaran ini banyak ditemukan
dalam dokumen-dokumen Reformasi seperti dalam Buku Konkord,
Luther’s Work, Rumus Konkord, Konfesi Augusburg, Institutio, Katekismus
Dr.Martin Luther (kecil dan besar), Katekismus Heidelberg, Pengakuan
Iman Reformasi (1561), dan lain sebagainya.
Dokumen-dokumen tersebut membahas doktrin pembenaran oleh
iman. Misalnya, dalam Konfesi Augsburg disebutkan, kita tidak dapat
memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah
dengan kebaikan, perbuatan baik atau kekudusan kita, melainkan
kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan
Allah hanya oleh anugerah, demi Kristus melalui iman, ketika kita
percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi dosa kita agar
kita memperoleh kehidupan yang kekal.39
Di kalangan kami juga diajarkan bahwa kita tidak dapat memperoleh
pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah dengan jasa-jasa,
perbuatan-perbuatan, atau dengan menebus dosa-dosa kita sendiri;
sebaliknya kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di
hadapan Allah oleh anugerah, demi Kristus, melalui iman, apabila kita
percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi Dia dosa kita
diampuni dan kita diberi kebenaran serta hidup yang kekal. Sebab Allah
akan memandang dan memperhitungkan iman ini sebagai kebenaran,
seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 3: 21-26 dan 4: 5.40

Hal ini juga ditegaskan dalam Rumus Kesepakatan (Formula of


Concord): manusia yang berdosa dibenarkan di hadapan Allah dan
diselamatkan semata-mata hanya oleh iman dalam Yesus Kristus,
maka Kristus sendiri adalah kebenaran kita. Dia sungguh-sungguh
Allah dan manusia karena di dalam Dia hakikat ilahi dan manusia

38 Alister E.McGrath, Op.Cit., hlm. 111.


39 The Augsburg Confession, (Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980), hlm. 11.
40 Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm. 38-39.
20  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dipersatukan satu dengan yang lain secara pribadi (Yer 23: 6; 1 Kor 1:
30; 2 Kor 5: 21).41 Lebih lanjut dikatakan, kebenaran manusia semata-
mata hanya oleh anugerah Allah, tanpa pekerjaan, jasa, atau kebajikan
kita yang mendahuluinya sehingga kita diterima oleh Allah ke dalam
anugerah-Nya dan kita dianggap benar. Iman adalah satu-satunya
alat dan jalan untuk menerima Kristus dan di dalam Yesus Kristus
kita mendapatkan ”kebenaran yang menolong di hadapan Allah” dan
bahwa demi Yesus Kristus iman seperti itu diperhitungkan menjadi
kebenaran (Rm 4: 5).42
Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikung­
kungi oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan
ketidakmampuannya untuk menemukan perdamaian dengan Allah.
Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan
persoalan tentang dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam
Surat Paulus, ”Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1:17).43
Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan bagian surat yang
di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan
ungkapan:44
Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah
Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang
rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati
dan kehendak Allah, sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni
dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman
sehingga kamu akan memandang hati-Nya yang ramah, kebapaan,
yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia
yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar,
tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun
melintasi wajah-Nya.

Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-


kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mula­

41 Ibid., hlm. 662.


42 Ibid., hlm. 663-664.
43 Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (terj.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), hlm. 155. Luther menulis kerisauannya sendiri sebagai berikut: Aku sangat rindu
untuk memahami Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan tidak ada sesuatu pun yang
menghalanginya kecuali pernyataan tersebut, ”kebenaran Allah”, karena aku mengambilnya
dengan arti bahwa kebenaran di mana Allah itu benar dan bertindak adil dalam menghukum
orang yang tidak benar.
44 Urban, Ringkas, hlm. 157 mengutip tulisan Roland Bainton, Here I Stand: A Life of Martin
Luther, (New York: Abingdon Press, 1950), hlm. 66.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 21

nya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via
moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan
manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa
saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est).
Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-
Nya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang
merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk
dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang
berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada
Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan
Allah di bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian
membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa
memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa
dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah
menjawab dengan membenarkan dia.45
Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa
hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang nyata
di dalam diri Yesus Kristus (LW25). Perbuatan baik sama seperti buah
pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka
perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan
baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman sama seperti
buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan
baik (LW 35-36).46 Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak
berbagian dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau
buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan.47 Bagi
Luther, Hukum Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau
kebenaran kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah
diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita untuk
mengadakan penebusan dosa dan telah dipilih sebagai perantara
dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa kita, melainkan
pengampunan dosa dan pembenaran diberikan dengan cuma-cuma.
Seperti Paulus berkata, ”Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia,

45 Alister E.McGrath, Op.Cit., hlm. 117-119.


46 Luther’s Works, vol. 34, (ed. Lewis W. Spitz) (Philadelphia: Muhlenberg Press, 1960), hlm.
111.
47 Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2, (terj.) (Malang: Literatur SAAT, cet. ke-4, 2007),
hlm.79.
22  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka
kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rm 11:6). Pendamaian
tidak terletak pada jasa kita karena jika hal itu terletak pada jasa
kita, maka hal itu menjadi tak berguna (Apol. IV. 40-42).48 Pembenaran
itu bukan persetujuan terhadap satu lakon (perbuatan) yang tertentu
melainkan terhadap pribadi itu keseluruhan… Kita dibenarkan bila
kita berpegang kepada Kristus, Juru-damai, dan percaya bahwa demi
Dia, Allah bermurah hati kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran
tanpa Kristus, Juru-damai itu (Apol. IV. 222).49
Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah
adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan ”pembenaran
oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran
itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas
anugerah dan diterima melalui iman. Luther berkata, ”Anugerah
Allahlah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman,
tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu
berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang
pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa
Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan
iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia.50
Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih
karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan
jelas di dalam penafsiran dan pengandalan Gereja-gereja Lutheran
atas Alkitab, dan dalam cara mereka merayakan perjamuan kudus. Di
dalam pemberitaan Firman dan pelayanan perjamuan kudus selalu
ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan
Allah lewat pengorbanan Kristus.51
Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah status sebelah
luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo),
sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dari
orang berdosa itu.52 Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai

48 G.D. Dahlenburg, Konfesi-konfesi Gereja Lutheran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 2, 2000),
hlm. 38-39.
49 Ibid., 40.
50 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran, hlm. 129.
51 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), hlm. 44.
52 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 147-148.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 23

kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai


apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi
keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka.
”Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat
jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa
adalah di luar mereka.53 Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak
lain dari keyakinan akan kemurahan Allah yang mengampuni dosa
demi Kristus. Konsili Trente54 sendiri sepenuhnya mengakui bahwa
kehidupan Kristen dimulai melalui iman, jadi sebenarnya sangat
dekat dengan pandangan Luther.55 Bagi Luther, seseorang dapat
benar-benar yakin akan keselamatannya. Keselamatan didasarkan
pada kesetiaan Allah pada janji-janji kemurahan-Nya.56
Menurut Ernst Ziegler, istilah ”pembenaran oleh iman” secara
mencolok tidak terdapat di dalam tulisan-tulisan para reformator
Swiss. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang mempengaruhi
Gereja dan masyarakat yang bersifat moral dan spiritual. Tekanan
pembenaran iman tidak ditemukan dalam ajaran Zwingli. Namun
bagi Zwingli, pembenaran iman itu cenderung untuk memperlakukan
Kristus sebagai suatu teladan moral yang dari luar daripada suatu
kehadiran yang pribadi sifatnya di dalam diri orang percaya. Tidak
benar mengatakan bahwa Zwingli mengajarkan pembenaran oleh
perbuatan dalam periode awal dari pembaruannya. Ide-ide Zwingli
mengenai pembenaran iman ini lebih dekat dengan Luther. Bagi
Luther, Kitab Suci menyatakan janji-janji Allah, yang memulihkan
kembali dan menghiburkan orang percaya. Bagi Zwingli, Kitab Suci
menyatakan tuntutan-tuntutan moral yang dibuat Allah untuk orang-
orang percaya.57
Bagi Bucer,58 pembenaran itu ada dua tahap yang dikenal dengan
”pembenaran ganda”. Tahap pertama, ”pembenaran orang yang
tidak beriman” (iustificatio impii) yang terdiri atas pengampunan yang
penuh kemurahan dari Allah atas dosa manusia (bagi Protestan =

53 Ibid., hlm. 149-150.


54 Konsili Trente ini berlangsung di Italia dalam tiga sesi, yakni: 1545-1547, 1551-1552, dan 1562-
1563.
55 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 150-151.
56 Ibid., hlm. 151-152.
57 Ibid., hlm. 142-144.
58 Bdk. J.L.Ch. Abineno, Bucer & Calvin, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 1, 2006), hlm. 71-
72.
24  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

”pembenaran”). Tahap kedua, ”pembenaran orang salah” (iustificatio


pii) yang terdiri atas suatu tanggapan ketaatan manusia akan tuntutan-
tuntutan moral dari Injil (bagi Protestan = kelahiran kembali). Dengan
demikian, suatu hubungan kausal didirikan antara pembenaran
dan kelahiran kembali. Orang berdosa tidak dapat disebut telah
dibenarkan kecuali jika keduanya terjadi. Sedangkan menurut Calvin,
iman mempersatukan orang percaya dengan Kristus di dalam suatu
”kesatuan mistis”. Persatuan dengan Kristus ini mempunyai dampak
rangkap dua yang disebut sebagai anugerah ganda yakni: pertama,
persatuan antara orang percaya dengan Kristus membawa secara
langsung pada pembenaran dirinya. Melalui Kristus orang percaya
di­nyatakan menjadi benar dalam pandangan Allah. Kedua, oleh
karena persatuan orang percaya dengan Kristus, orang percaya itu
mulai melakukan proses menjadi seperti Kristus melalui kelahiran
kembali.
Pada umumnya Calvin sepakat dengan Luther dalam hal pem­
benar­an oleh iman. Calvin juga menekankan pembenaran sebagai
tindakan forensik (legal), di mana Allah mendeklarasikan orang
berdosa yang percaya sebagai orang benar, suatu tindakan yang
dimungkinkan berdasarkan anugerah Allah. Kontras dengan Luther,
Calvin memulai doktrin keselamatan dengan pemilihan Allah atas
orang berdosa. Calvin memahami pemilihan untuk keselamatan
sebagai tanpa syarat, karena ”apabila pemilihan bergantung pada
iman dan perbuatan baik manusia, maka anugerah itu tidak cuma-
cuma, dan pada faktanya akan berhenti menjadi anugerah”.59 Menurut
Calvin, manusia dikatakan dibenarkan di hadapan Allah, bila ia
menurut penilaian Allah dianggap benar, dan karena kebenarannya
itu berkenan pada Allah. Dan dibenarkanlah barangsiapa yang tidak
dianggap sebagai orang yang berdosa, tetapi sebagai orang yang
benar, dan karena itu dapat bertahan di hadapan peradilan Allah,
tempat semua orang yang berdosa tersungkur. Jadi, barangsiapa
dalam kehidupannya menunjukkan kemurnian dan kesucian yang
begitu besar di hadapan Allah, dialah yang dibenarkan karena
perbuatan-perbuatannya.60 Bagi Calvin, hanya dengan perantaraaan

59 Paul Enns, The Moody Handbook, hlm. 80.


60 Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.
ke-6, 2008), hlm. 164.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 25

kebenaran Kristuslah kita dapat dibenarkan di hadirat Allah. Sama


artinya bila dikatakan bahwa manusia tidak benar dalam dirinya
sendiri, tetapi karena kebenaran Kristus diperhitungkan kepadanya
sehingga ia mendapat bagian di dalamnya.61
Doktrin keselamatan Calvin menghasilkan tonggak peringatan,
di mana ia menghubungkan pembenaran dengan pengudusan.
Kristus tidak membenarkan seseorang yang Ia tidak juga kuduskan.
Pembenaran, menurut Calvin, menjadi motivasi seseorang untuk pe­
ngu­dusan. Meskipun pembenaran cuma-cuma, pengudusan menjadi
respons ucapan syukur dari orang percaya.62
Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan di mana orang
berdosa yang tidak benar dibenarkan di hadapan Allah yang kudus
dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah
kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh
Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan
iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus
semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan
baik kita.
Fokus dari perihal pembenaran terletak pada pertanyaan usaha
dan anugerah atau kasih karunia. Pembenaran berdasarkan iman
berarti usaha yang kita lakukan tidak cukup baik untuk menghasilkan
pembenaran. Paulus menyatakan sebagai berikut: ”Sebab tidak
seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena
melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang
mengenal dosa” (Rm 3:20). Pembenaran adalah forensik, yaitu kita
dinyatakan, diperhitungkan atau dianggap benar pada waktu Allah
mengaruniakan kebenaran Kristus pada diri kita. Kondisi yang
dibutuhkan untuk ini adalah iman.
Teologi Protestan mengakui bahwa iman merupakan alat yang
menyebabkan pembenaran, dengan demikian iman merupakan alat
di mana karya Kristus teraplikasi di dalam diri kita. Teologi Katolik
Roma mengajarkan bahwa baptisan merupakan penyebab utama
untuk pembenaran dan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan
penyebab kedua, dalam kaitan dengan pemulihan. (Teologi Katolik

61 Ibid., hlm.166-167.
62 Paul Enns, Op.Cit., hlm. 80.
26  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Roma melihat pengakuan dosa sebagai tingkat kedua dari pembenaran


bagi mereka yang telah menghancurkan jiwa mereka, yaitu mereka
yang telah kehilangan anugerah pembenaran karena melakukan dosa
yang fatal, seperti membunuh). Sakramen pengakuan dosa menuntut
usaha pemuasan di mana umat manusia mencapai usaha yang
dibutuhkan untuk mendapatkan pembenaran. Pandangan Katolik
Roma menerima bahwa pembenaran adalah berdasarkan iman, tetapi
menyangkal bahwa pembenaran itu hanya berdasarkan iman. Dengan
kata lain, perbuatan-perbuatan baik perlu ditambahkan untuk dapat
dibenarkan. Gereja Katolik Roma dikepung oleh nominalisme, ide
bahwa semua yang ada dalam tubuh Gereja Katolik Roma terjamin
oleh jalan keselamatan yang diwakili oleh Gereja. Keselamatan hanya
melalui sakramen.63
Iman yang membenarkan adalah iman yang hidup, bukan iman
pengakuan yang kosong. Iman merupakan kepercayaan yang bersifat
pribadi yang bergantung kepada Kristus saja untuk keselamatan.
Iman yang menyelamatkan juga merupakan iman pertobatan yang
menerima Kristus sebagai Juruselamat dari Tuhan.
Alkitab mengatakan bahwa kaum Reformed tidak dibenarkan
oleh karena perbuatan-perbuatan baik kita, tetapi dengan apa yang
diberikan kepada kita berdasarkan iman, yaitu kebenaran Kristus.
Sebagai sintesis, sesuatu yang baru ditambahkan pada sesuatu yang
dasar. Pembenaran kita merupakan sintesis, oleh karena kita memiliki
kebenaran Kristus yang ditambahkan kepada kita. Pembenaran
kita adalah berdasarkan imputasi (pelimpahan), yang artinya Allah
memindahkan kebenaran Kristus kepada kita berdasarkan iman. Ini
bukan merupakan ”legal yang bersifat fiksi.” Allah telah melimpahkan
kepada kita karya Kristus yang nyata, dan sekarang kita telah
menerima karya-Nya. Ini merupakan pelimpahan yang nyata.
Tidak seorang pun yang ”cukup baik” untuk memperoleh pem­
benaran di dalam pandangan Tuhan. Alkitab meneguhkan apa yang
sudah diketahui oleh orang yang jujur: ”Karena semua orang telah
berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Tuhan” (Rm 3: 23).
Karena kita sekalian berdosa, maka mustahil kita ”dibenarkan” di

63 Bdk. Reformation Today, ”Iman Yang Menyelamatkan”, Majalah Momentum No.13 – September


1991, yang diakses dari www.geocities.com/thisisreformed/artikel/iman.html.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 27

hadapan Tuhan berdasarkan perbuatan kita sendiri. Hidup kita


berlimpah dengan dosa, kelemahan, dan kegagalan di mana Alkitab
berkata: ”Demikianlah kita sekalian seperti seorang najis dan segala
kesalehan kami seperti kain kotor” (Yes 64:6). Kita sangat sering
berbuat dosa sehingga jauh dari keadaan dibenarkan di hadapan
Tuhan melalui perbuatan kita sendiri, tetapi kita dapat dibenarkan
di hadapan-Nya melalui iman kita dalam Yesus Kristus. Tuhan
tahu bahwa tidak seorang pun sanggup memperoleh keadaan yang
benar di hadapan-Nya, jadi kasih karunia-Nya dan kemurahan
Tuhan memberikan pembenaran kepada kita sebagai suatu hadiah.
Surat Roma mengatakan bahwa maut masuk melalui Adam, tetapi
kita memiliki pemberian pembenaran Tuhan melalui Yesus Kristus.
Tuhan tahu bahwa tidak seorang pun sanggup memperoleh keadaan
yang benar di hadapan-Nya, jadi kasih karunia-Nya dan kemurahan
Tuhan memberikan pembenaran kepada kita sebagai suatu hadiah.
Kitab Roma mengatakan bahwa maut masuk melalui Adam, tetapi
kita memiliki pemberian pembenaran Tuhan melalui Yesus Kristus.64
Bahkan dengan pertolongan anugerah Allah, tidak seorang pun
yang dapat memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat untuk dapat
dibenarkan. Itulah sebabnya Kitab Suci secara tegas mengontraskan
kebenaran melalui hukum Taurat dan melalui Injil, dan menolak
semua perbuatan baik, apa pun kondisi yang disyaratkan, sebagai
jalan mendapatkan kebenaran. Bersama Paulus kita mengaku bahwa
orang yang melakukan hukum Taurat akan dibenarkan di hadapan
Allah; tetapi karena semua orang jauh dari memenuhi tuntutan
hukum Allah, maka perbuatan Taurat yang mestinya memberikan
kebenaran, ternyata tidak menolong kita karena kegagalan kita sendiri.
Ketika kaum Skolastis memahami anugerah sebagai pertolongan Roh
Kudus untuk mengejar kekudusan sebagai jasa untuk dibenarkan,
mereka gagal untuk memahami anugerah Allah sebagai pemberian
kebenaran secara cuma-cuma.65
Ketika Kitab Suci berbicara tentang kebenaran melalui iman, ia
mengalihkan pandangan kita (Calvinis) dari perbuatan kita sendiri
supaya kita bersandar semata-mata pada kemurahan Allah. Inilah

64 Bdk. ”The Fruit of the Spirit”, yang dikutip dari www.truthortradition.com./ modules.php.
65 John Calvin, Institutes of the Christian Religion, III, hlm.11, yang dikutip dari http://www.
grii-andhika.org/ready_bread/main/102c. htm.
28  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

urutan pembenaran: Pertama, Allah merangkul orang berdosa dalam


keadaannya yang menyedihkan; Kedua, kesadaran akan kebaikan
Allah membuat hati orang berdosa tersentuh, dan menyadari kega­
galan perbuatan baiknya, ia berpaling kepada kemurahan Allah
untuk mendapatkan keselamatannya. Urutan hal ini dapat berbeda,
tetapi isinya tetap sama.66
Inilah hubungan iman dan Injil: Kita dikatakan dibenarkan
oleh iman, karena melalui iman kita menerima kebenaran yang
ditawarkan dalam Injil. Inilah perbedaan Taurat dan Injil: Sementara
hukum Taurat mengaitkan kebenaran dengan perbuatan baik – yang
sayangnya, tidak memuaskan (Rm 8:3); maka Injil mengaruniakan
kebenaran secara cuma-cuma terlepas dari perbuatan hukum Taurat
(Rm 10; Gal 3: 18). Abraham dikatakan tidak memiliki alasan untuk
membanggakan dirinya, karena kebenarannya itu sesuatu yang di­
perhitungkan kepadanya, bukan upah perbuatan baiknya. Dan
wa­lau­pun perbuatan sangat berharga, sehingga melaluinya kita
diberikan pahala, namun nilainya tidak terdapat di dalam dirinya,
tetapi dari perkenanan Allah, sehingga Kitab Suci menegaskan bahwa
perbuatan kita tidak dapat membenarkan kita. Demikian juga, ketika
dikatakan bahwa iman bekerja di dalam kasih, tidak berarti bahwa
kita dibenarkan dari perbuatan kasih itu.67
Dosa dihapuskan hanya melalui kebenaran Kristus. Kebenaran
melalui iman merupakan rekonsiliasi dengan Allah, yang terjadi
karena adanya pengampunan dosa. Dosa menyebabkan manusia
terpisah dari Allah, dan akan tetap menjadi musuh Allah sampai ia
dipulihkan di dalam anugerah melalui kebenaran Kristus. Karena itu,
orang yang Allah terima ke dalam persatuan dengan-Nya, dikatakan
dibenarkan oleh-Nya, karena Dia tidak dapat menerima orang tersebut
kecuali Dia terlebih mengubahnya dari seorang berdosa menjadi
orang yang benar. Augustinus menyatakan, ”kebenaran orang-orang
kudus di dunia ini lebih merupakan pengampunan dosa ketimbang
kesempurnaan kebajikannya.” Demikian juga pendapat Bernard
dari Clairvaux, ”Tidak berbuat dosa adalah kebenaran Allah; tetapi
kebenaran manusia ialah anugerah pemberian Allah.” Dari dirinya

66 Ibid.
67 Ibid.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 29

sendiri, tidak seorang pun yang benar, tetapi kebenaran Kristus


yang diperhitungkan kepadanya menjadikannya didapati memenuhi
tuntutan penghakiman Allah yang adil.68

5. Pandangan Katolik tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman

Kontroversi doktrin pembenaran iman akhirnya benar-benar


melahirkan pemisahan pendukung Konfesi Augsburg dari Gereja
Katotik Roma. Gereja Katotik Roma sendiri yang akhirnya mengambil
garis pemisah itu, dengan menempatkan pendukung Konfesi
Augsburg sebagai ajaran sesat. Pada konsili Gereja Katotik Roma ke
IX, yang berlangsung dalam kurun waktu 13 Desember 1545 sampai
4 Desember 1563, yang dikenal dengan Konsili Trente, ditetapkan
bahwa ajaran pembenaran dan ajaran tentang sakramen menurut
kaum reformasi atau protestan adalah ajaran sesat yang harus dikutuk.
Konsili Trente itu sepertinya berusaha memobilisasi segala kekuatan
Gereja Katotik Roma untuk menumpas gerakan reformasi melalui
dokumen Tridentinum atau Tridentine Profession of Faith.69 Beberapa
pasal dari Tridentium itu berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 : Apabila seseorang mengatakan bahwa orang berdosa
dibenarkan oleh iman saja, terkutuklah dia.
Pasal 11 : Apabila seseorang mengatakan bahwa seseorang dibe­
narkan hanya dengan pembenaran Yesus Kristus atau
hanya dengan penghapusan dosa, maka terkutuklah
dia.
Pasal 24 : Apabila seseorang mengatakan bahwa pembenaran
dapat diterima tanpa memelihara dan juga tanpa ber­
tumbuh dalam melakukan perbuatan baik di hadapan
Allah, tetapi mengatakan perbuatan baik itu adalah
hanya buah dan tanda bahwa seseorang telah menerima
pembenaran dan bukan sebab pertumbuhannya, maka
terkutuklah dia.

68 Ibid.; bdk. Ted M.Dorman, ”The Joint Declaration of the Doctrine of Justification: Retrospect
and Prospects”, dalam Journal of the Evangelical Theological Society, Sept. 2001, yang diakses dari:
http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3817/is_200109/ai_n8997756/pg_11?tag=artBody;col1.
69 The Encyclopaedia of the LutheranChurch. vol.III, (Minneapolis: Augsburg Publishing House,
1965), hlm. 2413.
30  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Pasal 30 : Apabila seseorang mengatakan bahwa setelah menerima


anugerah pembenaran, maka kesalahan seseorang telah
dihapuskan; demikian juga penghakiman kekal kepada
semua orang berdosa yang bertobat itu tidak ada lagi
penghakiman di dunia ini maupun di purgatorium se­
belum pintu surga dibukakan kepadanya, maka ter­
kutuk­lah dia.
Pasal 32 : Apabila seseorang mengatakan bahwa perbuatan baik
hanya dapat dibenarkan sebagai pemberian Allah
dan tidak diperhitungkan sebagai jasa baik. Atau, se­
seorang dibenarkan melalui perbuatan baik dengan
memberlakukan anugerah Allah dan pahala dari Yesus
Kristus, tetapi hal itu bukanlah jasa dari anugerah yang
sebenarnya dan tidak berfaedah dalam memperoleh
kehidupan yang kekal, maka terkutuklah dia.

Konsili Trente merupakan tanggapan Gereja Katotik Roma ter­


hadap tantangan yang ditumbulkan Reformasi. Dari berbagai tan­
tangan, menurut Tanner, konsili Trente menghadapi dua dari ma­
salah yang paling menegangkan dalam perdebatan Reformasi: per­
tama, hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi sebagai sumber ke­wibawaan
dalam Gereja.70 Luther menekankan prinsip sola scriptura, bahwa
hanya Alkitab sebagai satu-satunya peraturan dan norma yang
kepadanya semua doktrin harus dinilai dan ditimbang. Alkitab tidak
membutuhkan penerangan dan pelengkapan dari Gereja, Tradisi
dan Paus, tapi sebaliknya, Gereja bukanlah Gereja jika Gereja tidak
berlandaskan Alkitab. Alkitab tidak membutuhkan penafsiran dari
luar Alkitab.
Masalah kedua yang dihadapi konsili Trente adalah peran iman
dan amal baik dalam pembenaran kita. Luther secara fundamental
menekankan bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman, bukan oleh
pelaksanaan kesalehan atau hukum maupun jasa. Prinsip Reformasi
dinamai dengan sola fide, hanya iman saja.

70 Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm.99.


Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 31

Lebih dalam Tanner menjelaskan pemahaman Gereja Katotik


Roma tentang pembenaran yang tertuang dalam Konsili Trente
tersebut sebagai berikut:
Pembenaran dalam diri orang dewasa yang sebenarnya-benarnya
berasal dari rahmat Allah yang memberikan kecenderungan melalui
Yesus Kristus, yakni dari ajakan-Nya yang memanggil mereka tanpa jasa
dari pihak mereka; dengan demikian mereka yang telah menjauh dari
Allah karena dosa diberi kecenderungan oleh rahmat Allah yang melecut
dan membantu dia untuk berpaling ke pembenaran diri mereka sendiri
dengan memberikan persetujuan bebas pada rahmat itu dan bekerja
sama dengan rahmat ini pula. Oleh karenanya, meski Allah menyentuh
hati seseorang melalui cahaya Roh Kudus, orang itu bukannya sama
sekali tidak melakukan apa-apa dalam menerima gerakan rahmat
itu, karena ia juga dapat menolaknya; dan ia atas kehendak bebasnya
sendiri menuju kebenaran dalam pandangan Allah ... Dengan demikian,
orang yang telah dibenarkan dengan cara ini, ... diperbarui dari hari
ke hari dengan mematikan sesuatu yang duniawi yang ada dalam diri
mereka (Kol 3: 5) dan menyerahkan diri sebagai alat kebenaran untuk
pengudusan (Rm 6: 13, 19) dengan menaati perintah-perintah Allah dan
perintah-perintah Gereja.71

Dekrit Konsili Trente meneguhkan bahwa iman merupakan


dasar dan akar pembenaran dalam arti bahwa rahmat pembenaran
tidak dapat diperoleh lewat jasa manusia, dan bahwa pembenaran
merupakan karya Allah dalam Kristus sejak awal karena manusia tanpa
rahmat Allah tidak mampu membuat dirinya benar di hadapan Allah.
Dekrit ini juga menekankan bahwa iman tidak dapat menyatukan
orang secara sempurna pada Kristus tanpa harapan dan cinta kasih,
karena iman tanpa perbuatan adalah mati. Perhatian utama dalam
soal ini adalah melindungi peran aktif kebebasan manusia dalam
proses pembenaran. Jadi manusia tidak hanya pasif, melainkan harus
bekerja sama dengan rahmat Allah.72
Mengapa Katolik menaruh perhatian atas ajaran pembenaran
ini? Menurut Schmidt,73 setidaknya ada tiga alasan yakni: pertama,
pembenaran membutuhkan sebuah internalisasi kehidupan keagama­

71 Ibid., hlm. 101.


72 Ibid., hlm. 133.
73 Alister E.McGrath, Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of Justification From 1500
to the Present Day, (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm.54.
32  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

an, yang secara tajam berbeda dari bentuk eksistensi orang Kristen.
Kedua, pembenaran memperbaiki aturan ilahi di dalam pembenaran,
melawan kecenderungan pemusatan pada aturan manusia. Dan
ketiga, pembenaran diperhitungkan sebagai sebuah deklarasi yang
tersembunyi atas perang kepausan Roma. Sangat sedikit dokumen
yang dipublikasikan Katolik yang membicarakan ajaran ini periode
1520-1545, misalnya karya Tommaso de Vio Cajetan, De fide et operibus
(1532).
Menurut pemahaman Gereja Katotik Roma, rahmat Roh Kudus
mempunyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh
Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia ”kebenaran
Allah karena iman dalam Yesus Kristus” (Rm 3: 22) melalui Pem­
baptisan.74 Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan
yang menghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat
supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari
dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan dan
pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari ”pembenaran itu
sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga
pengudusan dan pembaruan manusia batin” (Konsili Trente: DS
1528). Pembenaran melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan
dengan kasih kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran
terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan
pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah,
membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya.75
Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran
Allah melalui iman akan Yesus Kristus. ”Kebenaran” menyatakan
keluhuran kasih ilahi. Pembenaran diperoleh bagi kita melalui sengsara
Kristus, yang menyerahkan Diri di salib sebagai persembahan yang
hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah dan yang darah-Nya telah
menjadi alat pemulih bagi dosa semua manusia. Pembenaran itu
diberikan kepada manusia melalui Pembaptisan dan Sakramen iman.
Tujuan pembenaran itu sendiri adalah untuk kemuliaan Allah dan
Kristus demikian juga kehidupan abadi (Konsili Trente: DS 1529).76

74 Lih. Katekismus Gereja Katolik, (Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998), hlm. 486.
75 Ibid.
76 Ibid., hlm.487.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 33

Lebih jauh menurut pemahaman Katolik, pembenaran mendasari


satu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Ia
terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan percaya menerima
Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat dan bahwa ia bekerja
sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yang mendahului
persetujuan kita dan menopangnya.77 Katolik mengakui, pembenaran
adalah karya kasih Allah yang paling agung. Ia diwahyukan dalam
Yesus Kristus dan diberikan oleh Roh Kudus. Santo Augustinus
beranggapan bahwa ”pembenaran seorang yang hidup tanpa Allah
adalah karya yang jauh lebih besar daripada penciptaan langit dan
bumi”, karena ”langit dan bumi akan lenyap, sementara keselamatan
dan pembenaran orang terpilih akan tetap tinggal”. Malahan
Augustinus berpendapat, pembenaran orang berdosa melampaui pen­
ciptaan para malaikat dalam kebenaran, karena ia memberi kesaksian
mengenai kerahiman yang lebih besar lagi.78
Bagi Katolik, pembenaran ”bukanlah hanya suatu pengampunan
dosa tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin
seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan
pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi
seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan dengan
sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-mula
dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran
itu dapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibarui
kembali dengan sakramen penebusan dosa.79
Beratus tahun lamanya keputusan konsili Trente ini menjadi
sikap akhir Gereja Katotik Roma terhadap Gereja Lutheran. Namun
beberapa dekade sebelum penandatanganan Deklarasi Bersama, banyak
usaha pendekatan yang dilakukan untuk menemukan pemahaman
bersama tentang doktrin pembenaran itu. Hal itu dilakukan baik
oleh pihak Gereja Katotik Roma maupun Gereja Reformasi Lutheran;
baik melalui diskusi dan konsultasi resmi maupun informal.
Semua pendekatan, dialog, dan konsultasi teologis yang membahas

77 Ibid. Kalau Allah menjamah hati manusia melalui terang Roh Kudus, maka manusia di satu
pihak bukan tidak aktif sama sekali, karena ia menerima ilham yang dapat ia tolak juga, di
lain pihak ia tidak dapat mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke
dalam keadilan di hadapan Allah (Konsili Trente: DS 1525).
78 Ibid., hlm. 488.
79 Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran, hlm.149.
34  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pembenaran itu akhirnya bermuara kepada peristiwa penting dalam


sejarah hubungan Gereja Katotik Roma dan Lutheran, yaitu dengan
ditandatanganinya Deklarasi Bersama tentang Pembenaran 31 Oktober
1999 di Augsburg, di tempat di mana dahulu Konfesi Augsburg dan
Konfutasi Roma terhadap Konfesi Augsburg dibacakan.
Dokumen DB ini masih hangat dibicarakan oleh para teolog
yang dikaitkan dengan hubungan Lutheran dan Katolik. Karena
akhir-akhir ini hubungan Lutheran dan Katolik khususnya para
tokoh-tokoh Gerejanya terlihat semakin menjalin hubungan yang
baik. Kedekatan tokoh-tokoh non-Katolik dengan Gereja Katotik
Roma lebih diperkuat dengan menjamurnya proyek bersama atau
proyek ekumenis antara Gereja non-Katolik dengan Gereja Katotik
Roma. Salah satu contoh yang paling populer sekarang ini adalah
tercapainya penandatanganan The Joint Declaration on the Doctrine of
Justification antara LWF dan Gereja Katotik Roma tersebut. Deklarasi
ini berisi beberapa ketetapan yang dianggap sebagai ”jalan tengah”
antara konsep pembenaran iman Gereja Lutheran dan konsep yang
sama yang dipegang oleh Gereja Katotik Roma.80 Proyek-proyek
ekumenis lainnya, antara lain adalah: Evangelical and Catholic Together
(dimulai 1992), The Ekklesia Project (sebuah proyek ”friendship” yang
melibatkan berbagai denominasi), Reformed Catholicism (konferensi
pertama dilaksanakan Februari 2008), dan dialog yang terus-menerus
berlangsung antara denominasi Baptis dan Katolik.81

6. Ajaran Pembenaran oleh Iman dalam Deklarasi Bersama

Dalam dokumen DB ini ditemukan definisi pembenaran. Definisi


pembenaran itu sebagai berikut:
Pembenaran adalah pengampunan dosa (bdk. Rm 3: 23-25; Kis 13:
39; Luk 18:14), pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian
(Rm 5: 12-21) dan dari kutukan karena Taurat (Gal 3: 10-14). Pembenaran
adalah penerimaan masuk pada persekutuan dengan Allah yang sudah
berlaku kini, namun akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang
akan datang (Rm 5: 1-2). Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus

80 Kalvin S. Budiman, ”Bersikap Katolik Tanpa Menjadi Katolik”, yang diakses dari http://
groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/7087.
81 Ibid.
Sejarah Ajaran Pembenaran Oleh Iman — 35

dan dengan kematian serta kebangkitan-Nya (Rm 6: 5). Penyatuan ini


terjadi di saat seseorang menerima Roh Kudus pada waktu baptisan
dan yang memungkinkan masuk ke dalam satu Tubuh (Rm 8: 1-2, 9-11;
1 Kor 12: 12-13). Semuanya ini berasal hanya dari Allah, demi Kristus,
oleh anugerah melalui iman dalam ”Injil tentang Anak Allah ” (Rm 1:
1-3)”82

Lebih dalam dokumen tersebut menyatakan bahwa hidup yang


dibenarkan oleh iman datang dari firman Kristus (Rm 10:17), menjadi
nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun
karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari dalam dan dari
luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39); Gal
5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1Yoh 1: 8, 10), mereka harus
senantiasa mendengar janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-
dosa mereka (1Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh
Kristus, dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan
dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya Rasul menganjurkan pada
orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu
dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih
hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena
Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun
pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13). Namun demikian
berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman
bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan bahwa
Kristus hidup di dalam mereka (Gal. 2:20); dan bahwa Kristus adalah
”kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Rm.
5:18).83

82 Joint Declaration, hlm. 13-14.


83 Ibid., hlm.14.
37

Bab II
Sejarah Deklarasi Bersama Tentang
Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Pertikaian doktrin (ajaran) di antara Protestan84 dan Gereja


Katolik Roma ini tidak perlu lagi diperpanjang. Perubahan dunia
yang semakin cepat menuntut manusia mencari titik-titik temu yang
bisa mempersatukan perbedaan yang ada, baik di dalam sesama
agama maupun – jika memungkinkan – di antara berbagai agama.
Misalnya saja, salah satu usaha untuk mempertemukan Protestan dan
Gereja Katolik Roma yang ‘bertikai’ selama ± 450 tahun ialah dengan
dibukanya pintu dialog Lutheran-Katolik dalam bidang doktrin
”pembenaran oleh iman”.
Salah satu hasil gerakan ekumenis yang paling menonjol adalah
adanya konsensus yang dicapai atas masalah-masalah yang telah
memisahkan Gereja-gereja sejak abad ke-16, yaitu ajaran mengenai
pembenaran. Mungkin saja akan menyusul konsensus-konsensus
lain­nya seperti: pemahaman mengenai hakikat ekaristi, teologi
dan struktur pelayan tertahbis, pelaksanaan kewenangan pejabat
Gereja, soal uskup, dan bahkan masalah kedudukan Paus sebagai
pe­mimpin umat Kristiani universal. Sejumlah besar kemajuan telah

84 Bdk. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, hlm. 5. Istilah Protestan di sini maksudnya lebih
mengacu pada Gereja Lutheran dan Calvinis. Walaupun istilah ini sebenarnya tidak lazim
digunakan oleh Gereja-gereja produk Reformasi. Gereja atau jemaat-jemaat Lutheran
misalnya, menyebut diri Evangelisch (Injili); jemaat-jemaat Calvinis menyebut diri Reformed;
Gereformeerd, Reformiert dan sejenisnya; sementara yang di Inggris menyebut diri Anglikan.
Istilah ini muncul sebagai ejekan dari pihak Gereja Katolik Roma terhadap para pengikut
Luther yang mengajukan protes di hadapan sidang Gereja Katolik Roma seluruh Jerman
Raya pada 1529.
38  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dicapai selama bertahun-tahun dalam kesepakatan-kesepakaan yang


dikerjakan antara para wakil dan teolog Gereja, tetapi ada juga yang
belum bisa diterima resmi oleh Gereja-gereja yang mensponsori
dialog.

1. Cikal-bakal Lahirnya Deklarasi Bersama

Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan di atas, bahwa


sebelum Deklarasi ini tercapai, kedua belah pihak – Protestan dan
Katolik – telah memulai pembicaraan tentang Deklarasi Bersama ini. Di
satu sisi, sejumlah teolog Gereja Katolik Roma telah berusaha mem­
bahas topik pembenaran ini sejak tahun 1960-an yang dipublikasikan
melalui disertasi. Misalnya disertasi Otto H. Pesch, yang membahas
‘memperbaiki perbedaan’ di antara Luther dan Thomas Aquinas
tentang dokrin pembenaran. Dalam karyanya ini, Pesch membicarakan
sejumlah unsur doktrin pembenaran yang tersembunyi dalam
Deklarasi Bersama, misalnya: hukum Taurat dan Injil / hukum Taurat
dan anugerah; kuasa dosa; Propter Christum / Kristus sebagai penebus;
pembenaran oleh iman / pembenaran oleh anugerah; pribadi yang
berubah / pribadi yang dioperasikan anugerah. Demikian juga
disertasi Prof. Joseph Ratzinger (Paus Benedictus XVI) tahun 1960-an
di Bonn yang menginvestigasi Konfesi Augsburg (25 Juni 1530) dan
respons apologetik Katolik terhadap Konfesi Augsburg tersebut. Di
sisi lain, teolog Lutheran juga melakukan pembahasan atas Deklarasi
Bersama sejak tahun 1960-an, misalnya studi atas pemikiran Thomas
Aquinas oleh Hans Vorster dan Ulrich Kuhn.
Usaha dialog Protestan-Katolik ini besar kaitannya dengan ulasan
Hans Küng dalam disertasi doktoralnya yang berjudul Justification:
The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection (”Pembenaran Doktrin
Karl Barth dan sebuah refleksi Katolik”).85 Dalam disertasinya ini,
Küng mencoba membuka peluang dialog antara Protestan-Katolik
mengenai doktrin pembenaran oleh iman itu. Küng memaparkan
hal-hal yang bisa membuka peluang untuk dialog itu dengan
mengatakan bahwa apa yang diputuskan di dalam Konsili Trente

85 Disertasinya ini telah diterbitkan dengan oleh Hans Küng dengan judul Justification  : The
Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection, (Philadelphia: The Westminster Press, 1981).
Sejarah Deklarasi Bersama — 39

tentang ajaran pembenaran iman Reformasi merupakan keputusan


yang salah, karena keputusan itu didasarkan atas kesalahpahaman
dan kekurang-mengertian tentang ajaran pembenaran iman itu
sendiri. Padahal, di dalam deklarasi Lutheran – Gereja Katolik Malta
Report disebutkan: ”Lutheran dan Gereja Katolik Roma setuju bahwa
Injil adalah dasar atas kebebasan Kristen. Kebebasan ini digambarkan
di dalam Perjanjian Baru (PB) seperti bebas dari dosa, bebas dari
kuasa Hukum Taurat, bebas dari kematian, dan kebebasan melayani
Allah dan sesama manusia….”86
Harus diakui, pemrakarsa dialog Lutheran-Katolik ini adalah
dari kalangan Lutheran itu sendiri. Pada 1972 sebuah pernyataan di­
publikasikan oleh Komite Studi Bersama yang diundang oleh Federasi
Gereja-gereja Lutheran Se-Dunia (The Lutheran World Federation [LWF])
dan Sekretariat Promosi Kesatuan Gereja Kristen (The Secretariate for
Promoting Christian Unity [SPCU]). Inilah yang dikenal dengan Laporan
Malta (Malta Report), yang draft akhir dokumen ini selesai dikerjakan
di San Anton, Malta, 1971 dan dipublikasikan atas nama ‘The Gospel
and the Church’. Ulasan tentang pembenaran sangat singkat sekali,
dan mengatakan, ”today … a far-reaching consensus is developing in the
interpretation of justification”.87
Setelah Laporan Malta 1971, dialog internasional Lutheran -
Katolik mulai produktif dilakukan dalam fase kedua. Peringatan 450
tahun Konfesi Augsburg 1980 di bawah tema ‘Seluruhnya di bawah
Satu Kristus’ menghasilkan sebuah deklarasi:88
A broad consensus emerges in the doctrine of justification, which was
decisively important for Reformation (CA IV): it is solely by grace and by faith
in Christ’s saving work and not because of any merit in us… Together we
testify that the salvation accomplished by Christ in his death and resurrection
is bestowed on and effectively appropriated by humanity in the proclaim of the
gospel in the holy sacrament through the Holy Spirit.

86 Ibid., hlm. xviii.


87 Klaas Runia, ”Justification and Roman Catholicism”, dalam D.A.Carson (ed.), Right With God:
Justification in the Bible and the World, (London: The Paternoster Press & Baker Book House,
1992), hlm. 202.
88 Jared Wicks, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification: The Remote and Immediate
Background”, diacu dalam Milan Opocensky & Paraic Reamonn (ed.), Justification and
Sanctification: In the Traditions of the Reformation, (Geneva: World Alliance of Reformed
Churches, 1999), hlm. 133.
40  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

2. Dialog-dialog

Peranan dialog-dialog untuk mencapai sebuah deklarasi sangatlah


penting. Karena melalui dialog-dialog yang dibangun itulah terjadi
kesepahaman di antara Protestan dan Katolik. Paralel dengan dialog
Lutheran - Katolik di atas, di Amerika sejak 1978 telah dilaksanakan
dialog bilateral antara Lutheran dan Katolik yang membahas pem­
benaran dan hasil dialog ini dipublikasikan pada Tahun Luther
(Luther Year) 1983 dengan sebuah dokumen konsensus Pembenaran
oleh Iman (Justification by Faith), yang menjadi dasar penting bagi
perumusan Deklarasi Bersama.89 Dokumen ini berisikan: (1) Pemahaman
pembenaran, (2) Orang berdosa dibenarkan, (3) Kebutuhan iman, (4)
Jasa baik, (5) Kepuasan batin, dan (6) Pembenaran oleh iman sebagai
Kriteria Otentisitas orang Kristen.
Sejak Konsili Vatikan II, iklim dialog pun mulai berubah. Salah
satu dialog yang terbaik terjadi di Amerika antara Gereja Katolik
Roma dan Lutheran World Ministries, cabang Lutheran World
Federation. Seri ketujuh pertemuan ini disempurnakan 1983 yang
diberi judul Pembenaran oleh Iman (Justification by Faith). Pernyataan
umum pertemuan ini diterbitkan pada tahun itu dan dua tahun
berikutnya dalam sebuah himpunan dokumen. Evangelical Lutheran
Church of America (ELCA) sangat merespons dialog ini dengan
positif. Menurut mereka, Injil seharusnya berfungsi sebagai kritik
norma bagi seluruh orang percaya Kristen dan mempraktikkannya.
Setahun berikutnya, respons lainnya bermunculan seperti dari
Komisi Teologi dan Hubungan Gereja dari Gereja Lutheran Sinode
Missouri (LCMS). Menurut mereka, Katolik dan Lutheran semakin
dekat hubungannya sejak perjanjian Regensburg.90 Dalam dialog ini
tercapailah sebuah Pernyataan Resmi (Common Statement) yang terdiri
dari tiga bab yakni: bab pertama membahas ”Sejarah Perdebatan
dari Augustinus hingga kini”. Bab kedua, membahas enam isu
kunci: (1) Kesalahan atau kebenaran hukum; (2) orang berdosa yang
dibenarkan; (3) Iman sendiri; (4) Perbuatan baik; (5) Kepuasan; (6)

89 Ibid., 134. Deklarasi ini ditemukan dalam, H.G. Anderson, dkk, Justification by Faith: Lutherans
and Catholics in Dialog, vol. 7, (Minneapolis, 1985), hlm. 13-74. Peserta dialog ini diundang
oleh Gereja Katolik Amerika Komisi Bidang Ekumenis dan Dewan Nasional LWF Amerika.
90 Anthony N.S.Lane, Justification, hlm. 96.
Sejarah Deklarasi Bersama — 41

Pembenaran sebagai kriteria Injil yang otentik. Bab kedua berisikan


gambaran pemikiran dan perhatian Katolik dan Lutheran dengan
berbagai perbedaan penekanan di antara mereka. Bab kedua ini
ditutup dengan kesimpulan: Lutheran dan Katolik dapat berbagi di
dalam setiap perhatian masing-masing pada pembenaran dan dapat
saling mengakui legitimasi perbedaan perspektif teologi dan struktur
pemikiran masing-masing. Bab ketiga membahas ”Perspektif bagi
Rekonstruksi”.91
Perkembangan selanjutnya, pada awal tahun 1980-an, ketika dis­
kusi Protestan–Katolik berlangsung di Amerika, di Jerman telah diada­
kan sebuah pertemuan Komisi Ekumenis Gabungan (Joint Ecumenical
Commission) pada 1986 yang membahas pengujian atas pengutukan-
pengutukan pada abad ke-16.92 Pertemuan ini merupakan tindak
lanjut dari kunjungan Paus ke Jerman 1980. Tugas kelompok ini
adalah melihat secara khusus isu pengutukan pada abad ke-16 oleh
kedua belah pihak, baik dari Katolik maupun Protestan. Konsili Trente
misalnya, mengutuk setiap pernyataan orang Protestan. Apakah
seluruh pengutukan itu masih berlaku hingga sekarang? Kelompok
ini meneliti pengutukan ini dari tiga subjek yakni: pembenaran,
sakramen dan pelayanan. Tahun 1985, Komisi ini menghasilkan
Laporan Singkat Akhir yang diterbitkan di Jerman 1986 yang terdiri
dari lima belas esei tentang pembenaran. Laporan akhir dari komisi
ini melahirkan kontroversi, khususnya di kalangan Protestan Jerman.
Respons terhadap laporan ini datang dari Sinode Am Persekutuan
Gereja Evangelikal Lutheran di Jerman 1994. Mereka (Sinode Am)
mengidentifikasikan empat perbedaan di antara Protestan (Lutheran
dan Reformed) dan Katolik tentang anugerah dan iman yaitu:93
1. Pengertian anugerah sebagai pemberian Allah kepada manusia
(extra nos), atau sebagai ‘realitas di dalam jiwa manusia’
(qualitas in nobis).
2. Pengertian iman sebagai percaya pada firman Allah yang
dijanjikan dalam Injil, atau ‘menyetujui pengertian peng­

91 Ibid., hlm. 98
92 Ibid., hlm. 99-100.
93 Ibid., hlm. 102.
42  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

ungkapan firman Allah’ yang ditemukan di dalam pengharap­


an dan kasih.
3. Pengertian tentang hubungan manusia pada Allah.
4. Pengertian tentang hubungan dan perbedaan hukum dan
Injil.

Dua tahun kemudian, Konferensi Bishop Katolik Jerman mem­


bicarakan respons positif tentang masalah ini dengan berdialog.
Paus mendorong dialog tentang topik pembenaran ini dengan pihak
Protestan Jerman 1996. Akhirnya, respons Katolik terhadap dialog
inilah yang melahirkan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) itu.
Selain itu, pada 1986 Anglican - Roman Catholic International
Commission (ARCIC II) kedua menghasilkan sebuah Pernyataan
Persetujuan yang berjudul Keselamatan dan Gereja yang diterbitkan
pada 1987.94 Gereja dan keselamatan menelusuri aturan Gereja dalam
keselamatan. Kesimpulannya adalah visi Gereja sebagai sakramen
keselamatan dan khususnya dimensi sakramen pembenaran manusia
dan pengudusan adalah samar-samar dan lemah untuk mengizinkan
kita untuk menegaskan bahwa ARCIC-II telah tiba pada persetujuan
substansial.
Proses lahirnya Deklarasi Bersama ini juga erat kaitannya dengan
dialog Komite Gereja Katolik Roma Inggris dengan Methodis
(1988/1992) yang mendiskusikan tema pembenaran pada sejumlah
pertemuan mereka dari musim gugur 1983.95 Diskusi tentang topik ini
sangat sulit dan pada tahun 1988 mereka menghasilkan ‘pernyataan
se­mentara’ tentang pembenaran ini. Empat tahun kemudian,
Komite ini menyetujui revisi dan perkembangan pernyataan ini
dan mempublikasikan ulang dalam bentuk yang baru. Dokumen
ini mencatat bahwa pembenaran adalah kategori yang penting bagi
Pro­testan, tetapi tidak pernah menjadi sebuah kategori kunci bagi
Katolik. John Wesley pada awalnya menyetujui pemikiran Luther,
namun kemudian dia mengkritik Luther dan mengembangkan
sebuah doktrin yang baru, yaitu pengudusan yang sangat berkaitan
dengan ajaran Katolik.

94 Ibid., hlm. 107.


95 Ibid., hlm. 111.
Sejarah Deklarasi Bersama — 43

Dari 1986 hingga 1993, Komisi Bersama Lutheran - Katolik Roma


telah bertemu membahas hubungan di antara pembenaran dan
eklesiologi yang menghasilkan laporan yang sangat panjang yang
dipublikasikan di Jerman tahun 1994 dan di dalam bahasa Inggris
pada tahun yang sama. Sebuah konsensus dalam doktrin pembenaran
harus membuktikan dirinya sendiri secara eklesiologis. Doktrin Gereja
dan pembenaran harus dimengerti dalam terang keduanya. Dalam
dokumen ini ada dua pertanyaan dari kedua belah pihak: Katolik
bertanya apakah pemahaman Lutheran tentang pembenaran tidak
mengurangi realitas Gereja; Lutheran bertanya apakah pengertian
Katolik tentang Gereja tidak mengaburkan Injil sebagai doktrin
pembenaran menjelaskan Gereja.96
Sementara dialog Lutheran – Katolik berlangsung, Gereja
Evangelikal dan Katolik Roma di Amerika juga melakukan diskusi
informal. Orang-orang yang terlibat di dalamnya merupakan yang
sangat berpengaruh seperti J.J. Packer dan Avery Dulles, tetapi
diskusi mereka ini masih bersifat pribadi, bukan bersifat lembaga.
Pernyataan pertama adalah Katolik dan Evangelikal Bersama (Evangelicals
and Catholics Together [ECT]), yang dibuat / dirumuskan pada 29
Maret 1994. Pernyataan ini diproklamirkan delapan pemimpin Gereja
Evangelikal dan tujuh pemimpin Gereja Katolik Roma yang dipimpin
oleh Charles Colson dan Richard John Neuhaus. Dokumen ini berisi
ringkasan pernyataan tentang pembenaran: ”Kami menyatakan
bersama bahwa kami dibenarkan oleh anugerah melalui iman sebab
Kristus. Iman yang hidup adalah aktif di dalam kasih ...” Namun
dokumen ini dikritik oleh beberapa pemimpin Gereja Evangelikal
dengan membuat tujuh pernyataan Resolusi atas Dialog Katolik Roma
dan Evangelikal yang ditandatangani tahun 1994 oleh 33 pemimpin
Gereja Evangelikal.97 Dialog Gereja Lutheran - Katolik Roma di
Amerika Serikat 1978 tentang pembenaran dan pada Tahun Luther
1983, telah menerbitkan pernyataan-pernyataan yang disetujui
mengenai pokok-pokok iman, Ekaristi sebagai kurban, pelayanan
tahbisan, pelayanan oleh Paus, ajaran ketidak-sesatan (infallibility)
Paus, pembenaran, maupun mengenai Maria dan para santo. Dialog

96 Ibid., hlm. 112-113.


97 Ibid., hlm. 113-119.
44  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Lutheran - Katolik Roma di Amerika Serikat telah mengungkap


minat akan kepemimpinan paus yang diperbarui dalam terang Injil
bagi Gereja masa depan. Pernyataan Amerika ini dimulai dengan
sejarah permasalahan pada abad keduapuluh, yang menempatkan
para Reformator dan Trente dalam konteks perkembangan yang luas.
Hal-hal yang dibahas dalam pernyataan ini adalah:98 (1) Forensik
Pembenaran, (2) pembenaran orang berdosa, (3) kecukupan iman,
(4) jasa baik, (5) kepuasan, dan (6) pembenaran oleh iman sebagai
kriteria otentisitas orang Kristen.

3. Lahirnya Deklarasi Bersama (DB)

Setelah Konsili Vatikan II, didirikanlah sebuah Sekretariat bagi


Kesatuan di Roma. LWF memulai kegiatan kesatuan ini melalui
dialog-dialog internasional. Pertemuan pertama dilaksanakan pada
1967 yang membahas tema Injil dan Gereja (The Gospel and the
Church) yang laporan akhirnya dipublikasikan 1972.99 Dialog ini
berlanjut hingga 1994 dengan membahas dialog eklesiologi tentang
”Perjamuan Kudus” dan hasil dialog ini dilaporkan dalam Church and
Justification.100
Lahirnya Deklarasi Bersama ini sangat dipengaruhi oleh kunjungan
Paus Yohanes Paulus II ke Jerman pada 17 November 1980 dengan
mengadakan pertemuan dengan Gereja Lutheran dan Reformed
(Calvinis) di Mainz. Pada saat itu, Landesbischof Eduard Lohse –
Ketua Dewan Gereja Evangelis Jerman [The Council of the Evangelical
Church in Germany (EKD)] – menyampaikan kebutuhan kerja sama
yang lebih baik dengan Gereja Katolik Roma pada Ibadah Minggu,
Perjamuan Kudus, dan perkawinan campur.
Maka dibentuklah sebuah Komisi Ekumenis Bersama (A Joint
Ecumenical Commission). Komisi ini mengadakan pertemuan pertama
pada 6-7 Mei 1981. Ketua pertemuan ini adalah Bishop Lohse dari
Hannover dan bishop Gereja Katolik Roma Munich, Cardinal Joseph

98 Jared Wicks, Op.Cit., hlm. 134; bdk. Martien E.Brinkman, Justification in Ecumenical Dialog-
Central Aspects of Christian Soteriology in Debate, (Utrecht: Interuniversitaire Institute for
Missiology and Ecumenical Research, 1996), hlm. 135-139.
99 Ibid., hlm. 137. Seluruh teks dialog ini dipublikasikan dalam Growth in Agreement, (Geneva/
New York, 1984) dan Church and Justification, (Geneva, 1994).
100 Ibid., hlm. 138.
Sejarah Deklarasi Bersama — 45

Ratzinger. Pada pertemuan ini dirasakan sangat perlu membahas


penghapusan pengutukan-pengutukan mengenai doktrin, dan hal-
hal praktis dalam pengakuan Lutheran abad keenambelas dan Gereja
Katolik Roma.
Sejak 1990-an telah dimulai gerakan dialog tentang Deklarasi
Bersama, yang dibangun dalam dokumen-dokumen sebelumnya, khu­
susnya laporan Pembenaran Iman Amerika dan laporan pengutukan-
pengutukan Jerman. Tahun 1993 Lutheran - Katolik membentuk
Komite Koordinasi Bersama (Joint Coordinating Committee). Komite
Nasional Amerika mengirim surat segera setelah Sekjen LWF meminta
penasihat LWF atas proposal ekumenikal ELCA (Evangelical Lutheran
Church of Amerika) mengenai kemungkinan deklarasi ketidaklayakan
pengutukan Lutheran pada Gereja Katolik Roma saat ini.
Tahun 1995 sebuah draft telah dibagikan pada Gereja-gereja
untuk dibahas dan dikomentari. Dan pada 1997 Deklarasi Bersama
ini dipublikasikan yang diikuti dengan berbagai diskusi. LWF telah
meminta anggota-anggota Gereja LWF untuk memberi masukan dan
jawaban Mei 1998 apakah anggota-anggota Gereja LWF menerima
kesimpulan Deklarasi Bersama tersebut. Atas dasar masukan-masukan
dari anggota-anggota Gereja LWF tersebut, maka LWF mengelaborasi
dokumen di Wǜrzburg (FRG) Juni 1996. Kemudian dikirimkan ke
Gereja-gereja untuk lebih dipertajam dan dikoreksi untuk lebih
matang. Januari 1997, draft akhir telah dikirimkan ke Gereja-gereja
dengan harapan agar draft akhir ini dibahas dalam setiap sinode
Gereja masing-masing dan hasil akhir dari Gereja-gereja akan
dikirimkan kembali ke LWF pada akhir Pebruari 1997.101
Musim panas 1997, diskusi teologis tentang isi dokumen deklarasi
dimulai di Jerman. Banyak teolog meminta Gereja-gereja agar tidak
menerima dan menyetujui Deklarasi Bersama. Diskusi ini menjadi
permasalahan di seluruh Gereja Lutheran se-dunia. Juni 1998, LWF
menetapkan dokumen Deklarasi Bersama atas dasar suara terbanyak

101 Ibid., hlm. 139. Di LWF, langkah-langkah yang dilakukan untuk menghasilkan rumusan-
rumusan Deklarasi Bersama ini adalah: pertama, draft versi pertama deklarasi yang telah
disepakati oleh panitia khusus dikirimkan ke Gereja-gereja untuk konfirmasi dan dibahas
oleh para teolog masing-masing Gereja pada musim semi 1995. Sebagian besar anggota LWF
menerima isi draft dokumen ini, hanya Gereja Lutheran Perancis yang mengusulkan beberapa
perubahan. Gereja Lutheran Jerman dan Finisia (Finlandia) membuat draft bandingan yang
berisikan bantahan-bantahan atas beberapa isi dokumen.
46  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dari sinode-sinode Gereja yang menyetujui dokumen Deklarasi Bersama


ini. LWF menggarisbawahi bahwa masih banyak pergumulan teologis
yang membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam; walaupun
dokumen ini telah diterima dan disepakati.102
Deklarasi Bersama ini adalah hasil dialog-dialog resmi yang
dilakukan secara bersama sebelum 1999. Kedua belah pihak terutama
memperhatikan hasil-hasil dialog mereka, seperti percakapan tentang
”Injil dan Gereja” (1972), Pembenaran oleh iman” (1983), ”Gereja
dan Pembenaran” (1994)”, dan tentang ”Penghukuman atas dasar
ajaran pada reformasi – masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986).
Hasil dialog-dialog tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak,
sehingga secara bersama telah merumuskan ”Deklarasi Bersama”
tersebut mengenai pembenaran ”kita” (kedua belah pihak Lutheran
dan Katolik) oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus.
Namun Deklarasi Bersama ini tidak bermaksud untuk memuat semua
ajaran Gereja tentang pembenaran, tetapi apa yang dimuat dalam
Deklarasi Bersama ini hanyalah ”suatu persetujuan akan kebenaran
dasar dari ajaran Gereja tentang pembenaran dan menunjukkan
bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya, tidak
lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis”. Artinya,
bahwa Deklarasi Bersama ini menunjukkan dengan jelas, kutukan-
kutukan historis tentang ajaran pembenaran yang dilakukan kedua
belah pihak pada abad ke-16 itu (dari pihak Lutheran dalam Konfesi
Augsburg dan tulisan-tulisan lainnya dalam buku Konkord, sedang dari
pihak Katolik adalah hasil keputusan konsili Trente) tidak digunakan
dalam persetujuan ini (bdk. butir 18 Deklarasi Bersama).
Naskah asli Deklarasi Bersama ini ditulis dalam versi bahasa
Jerman dan telah diterbitkan oleh William B. Eerdmans Publisching
Company Grand Rapids, Michigan / Cambridge, U.K. 2000. Naskah
asli yang ditandatangani adalah dalam bahasa Jerman ”Gemeinsame
Erklaerung zur Rechstfertigungslehre”, diterbitkan oleh Verlag Otto
Lambeck 1999.
Dengan proses dialog-dialog yang cukup panjang mulai 1995
hingga 1997, maka Gereja Lutheran dan Katolik mulai mencapai
kata sepakat. Draft deklarasi mulai disosialisasikan sejak 1997 hingga

102 Ibid., hlm. 139-140.


Sejarah Deklarasi Bersama — 47

1998. Dari hasil pemantauan Sekjen LWF atas respons Gereja-gereja


Lutheran atas draft yang dikirimkan kepada setiap Gereja maka ada
89 Gereja dari 122 ditambah 2 Gereja anggota / calon anggota LWF
dan yang mengirimkan jawaban kepada LWF hinggga 12 Juni 1998.103
Respons ini diterima dari seluruh Gereja anggota LWF yang tersebar
di Afrika (19 Gereja), Asia (23 Gereja), Eropa (33 Gereja), Amerika
Latin (11 Gereja), dan Amerika Utara (3 Gereja).
Dari 89 respons yang masuk tersebut, LWF membuat analisa atas
jawaban Gereja-gereja anggota LWF. Dari hasil analisa mereka tampak
bahwa respons itu bervariasi, misalnya: 80 Gereja menjawab ”ya”
(89.9%), 5 Gereja menjawab ”tidak” (5.6%), satu Gereja menjawab
dengan dengan penafsiran yang sulit dimengerti namun tampaknya
menjawab ”ya”, dan 3 Gereja yang juga sulit untuk ditafsirkan
jawabannya namun kelihatan mereka ”tidak” setuju sama sekali.104

Dari kiri: Bishop Dr. Christian Krause dan Edward Idris Cardinal Cassidy
menandatangani Deklarasi Bersama [The Joint Declaration on the Doctrine of
Justification (JDDJ)]

Dengan melihat respons yang diterima LWF tersebut, maka


LWF dan Gereja Katolik Roma akhirnya menandatangani Deklarasi
Bersama ini. Pada 31 Oktober 1999 Federasi Gereja-gereja Lutheran Se-

103 Lih. ”DOCUMENTATION: Action taken by the LWF Council on the recommendation of the
Standing Committee for Ecumenical Affairs”, dalam www.lutheranworld.org/../Beschle.pdf.
104 Ibid.
48  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Dunia (Lutheran World Federation – LWF) dan Gereja Katolik Roma


menandatangani ”Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran -
DBAP” (The Joint Declaration on the Doctrine of Justification – JDDJ) di
kota Augsburg, Jerman. Kardinal Edward Idris Cassidy, pemimpin
Badan Kepausan untuk Usaha Penyatuan Kekristenan (Pontifical
Council for Promoting Christian Unity – PCPCU) dan Bishop Kasper
sekretaris PCPCU bertindak mewakili Gereja Katolik Roma dalam
penandatanganan itu, dan Presiden LWF Bishop Dr. Christian Krause
dan sekretaris jenderal LWF Dr. Ishmael Noko mewakili Gereja-
gereja Lutheran. Wakil-wakil dari Gereja Katolik dan Lutheran
hadir juga pada saat itu. Deklarasi Bersama ini ditandatangani pada
Minggu Reformasi, 31 Oktober 1999, bertempat di Sankt Anna
Kirche, Augsburg, tempat di mana dahulu dibacakan naskah Konfesi
Augsburg dan naskah Konfutasi Roma.

Dari kiri: Pdt. Dr. Ishmael Noko dan Bishop Dr. Walter Kasper menandatangani
Deklarasi Bersama

Beberapa minggu kemudian, Paus Johanes Paulus II mengatakan


kepada Presiden LWF bahwa dokumen ini tanpa diragukan lagi
menjadi dasar yang kokoh dalam langkah dialog ekumenis selanjutnya.
Setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini, kedua
belah pihak sangat berperan aktif untuk mensosialisasikan dokumen
ini di dalam berbagai kegiatan, seperti konsultasi di Columbus,
Ohio, USA, pada 27-30 November 2001 dan juga perayaan 5 tahun
dokumen Deklarasi Bersama di STFT St.Yohanes Pematangsiantar
Sejarah Deklarasi Bersama — 49

pada 30 Oktober 2004, serta Seminar Sehari Gereja-gereja Lutheran


di Jakarta pada 31 Oktober 2008 yang membahas dokumen Deklarasi
Bersama ini.
Dokumen Deklarasi Bersama bukanlah sesuatu yang baru yang
terpisah dari dokumen-dokumen ajaran pembenaran yang sudah
dibahas oleh Gereja Lutheran dan Katolik selama ini. Namun semua
ajaran pembenaran di dalam kedua belah pihak diformulasikan dalam
Deklarasi Bersama ini menjadi sebuah ”konsensus” dan ”pernyataan
bersama” tentang ajaran pembenaran. Sehingga dokumen Deklarasi
Bersama ini merupakan sebuah dasar konsensus akan ajaran pembe­
naran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak walaupun di da­
lamnya masih tampak perbedaan-perbedaan tradisi masing-masing.
Melalui dokumen Deklarasi Bersama ini diharapkan Gereja Lutheran
dan Katolik saling mendorong dan memahami perbedaan ajaran yang
ada tanpa melihat perbedaan itu sebagai sebuah perpecahan, namun
melihat perbedaan itu sebagai keberagaman dalam beriman.

4. Reaksi Atas dan Penerimaan terhadap Deklarasi Bersama

Pertikaian antara Gereja Katolik Roma dan pengikut Luther akhir­


nya melahirkan sejumlah pernyataan yang saling mengutuk ajaran-
ajaran pihak lawan. Di pihak Lutheran, fenomena ini, misalnya,
terlihat jelas dari Rumusan Kesepakatan (Formula of Concord) yang
disusun setelah wafatnya Luther (1546). Dalam dokumen ini, ajaran
Lutheran yang ”murni” ditegaskan kembali, sementara ajaran-ajaran
yang dinilai bertentangan dengan itu ditolak dan dikutuk. Sebagai
reaksi balik terhadap gerakan reformasi, Gereja Katolik Roma meng­
gelar konsili di Trente. Konsili ini menghasilkan sejumlah kanon
yang mengutuk ajaran-ajaran para reformator. Hampir semua aspek
ajaran reformasi dikutuk, termasuk ajaran-ajaran yang dirangkum
dalam asas-asas yang bersifat eksklusif ”hanya oleh Kitab Suci” (sola
scriptura), ”hanya oleh anugerah” (sola gratia), dan ”hanya oleh iman”
(sola fide).
Hingga kini kutukan timbal-balik itu belum pernah ditarik, seperti
yang disadari dalam Deklarasi Bersama. Namun dalam dialog-dialog
ekumenis antara kedua belah pihak akhirnya dihasilkan keterbukaan
untuk mencapai pemahaman bersama mengenai salah satu ajaran
50  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

terpenting yang dipertikaikan (DB 5). Deklarasi Bersama sendiri bukanlah


dokumen yang mengikat pihak-pihak yang menandatanganinya,
namun menyediakan bahan dasar untuk mengambil keputusan-
keputusan oleh Gereja-gereja yang bersangkutan (DB 4).105
Sekalipun dinyatakan bahwa telah tercapai konsensus dalam
”kebenaran-kebenaran azasi” (basic truth), Deklarasi Bersama tidak
berpretensi mengabaikan begitu saja perbedaan-perbedaan yang
masih ada dari segi bahasa, penjelasan teologis maupun penekanan
mengenai ajaran pembenaran (DB 13, 40). Tetapi, perbedaan-per­
bedaan demikian diharapkan tidak menghancurkan konsensus
yang telah dicapai. Salah satu implikasi yang kelihatan anakronistis
dari dokumen ini adalah bahwa ajaran-ajaran Lutheran dan Katolik
yang diketengahkan dalam Deklarasi Bersama tidak berada di bawah
kecaman atau kutukan, baik dari Konsili Trente maupun dari konfesi-
konfesi Lutheran (DB 13, 40).106
Bagi Bishop Paul-Werner Scheele, 31 Oktober 1999 adalah kairos
(waktu) bukan hanya bagi orang-orang Katolik dan Lutheran saja
melainkan juga bagi seluruh orang Kristen di seluruh dunia ini.
Kendati Deklarasi Bersama ini merupakan hasil kesepakatan di
antara dua tradisi Lutheran dan Katolik saja, tetapi kebenaran yang
dikumandangkan Deklarasi Bersama ini sangat mempengaruhi orang
percaya di dunia ini.107
Pendapat lain disampaikan oleh Anna Case-Winters108, seorang
teolog Reformed di Sekolah Tinggi Teologi McCormick. Baginya
ada beberapa catatan tentang penerimaannya terhadap dokumen
Deklarasi Bersama ini. Pertama, 31 Oktober 1999 sungguh sebuah
tanda langkah yang diambil dalam rangka mempersatukan Gereja.
Gereja Katolik Roma dan Lutheran menandatangani Deklarasi Bersama

105 Anwar Tjen, ”Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran: Beberapa Catatan dari sudut
pandangan Lutheran”, Makalah Seminar Sehari Lutheran - Katolik dalam rangka Lustrum
Lima Tahun The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, STFT St. Thomas, 30
Oktober 2004, hlm. 1.
106 Ibid.
107 Paul-Werner Scheele, ”Consultation ‘Unity in Faith’ in Colombus”, Ohio, USA, Kata pengantar
pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26
November - 1 Desember 2001, hlm. 1.
108 Anna Case-Winters, ”The Joint Declaration on Justification: A Reformed Commentary
Colloquium on Justification, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine
of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1.
Sejarah Deklarasi Bersama — 51

tentang Pembenaran.109 Kedua, pendekatan dokumen dibangun atas


pengenalan pernyataan dan perbedaan di antara kedua belah pihak.
Artinya, kedua belah pihak mampu ”sepakat di atas perbedaan”.
Kesimpulan pembenaran adalah ada pemahaman dasar tentang
pembenaran walaupun masih ada pemahaman yang berbeda di kedua
belah pihak.110 Ketiga, dokumen ini memberikan sebuah peluang
(opportunity). Dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan dokumen
yang terbuka bagi setiap orang untuk terlibat di dalamnya.111
Darlis J. Swan112 mengungkapkan lebih dalam lagi komentar atas
reaksi dan sikap penerimaan Gereja-gereja atas dokumen Deklarasi
Bersama ini. Pertama, dokumen Deklarasi Bersama memberikan bim­
bingan studi mengenai keselamatan sebagaimana dituangkan
dalam Deklarasi Bersama dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam bimbingan katekisasi sidi dan program pendidikan bagi
orang dewasa. Dokumen ini juga telah dipublikasikan ke umum
baik melalui website maupun dengan menerjemahkannya ke dalam
bahasa-bahasa daerah agar mudah dimengerti dan dipahami isinya.
Di negara-negara Amerika Utara, misalnya dokumen ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Inggris oleh Gereja
Lutheran dan Gereja Katolik di Kanada, dan juga hal yang sama
telah dilaksanakan di Amerika Serikat.113 Beberapa jemaat Gereja
Evangelis Lutheran Amerika (Evangelical Lutheran Church of America
[ELCA]) telah menjadikan Deklarasi Bersama ini sebagai bagian dari
iman dan kehidupan mereka. Bahkan ELCA membuat satu minggu
khusus dalam setahun yang memperingati Deklarasi Bersama, yakni
pada setiap minggu pertama Oktober.114 Gereja lain yang menyambut
baik Deklarasi Bersama ini adalah Sinode Upper Susquehanna di
Pennsylvania. Mereka menyepakati memperingati Deklarasi Bersama
sebagai ”Lutherans and Roman Catholics: Called to Unity” (Lutheran

109 Ibid.
110 Ibid .
111 Ibid., hlm. 2.
112 Darlis J.Swan, ”The Reception of the Joint Declaration on the Doctrine of Justification: A
Report from the Lutheran World Federation”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration
on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 3.
113 Lebih dalam dapat dilihat dalam Justification by Faith Through Grace: Joint Declaration on the
Doctrine of Justification, yang diterbitkan oleh Konferensi Uskup Katolik Kanada dan Gereja
Evangelis Lutheran di Kanada sebagai bahan pelajaran bagi jemaat dan pendeta-pendeta
jemaat.
114 Darlis J. Swan, Op.Cit., hlm. 4
52  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dan Gereja Katolik Roma: Dipanggil Menyatu) dalam empat minggu


setiap Oktober dan pada minggu terakhir diperingati dalam ibadah
bersama Lutheran dan Katolik. Kedua kelompok saling belajar tema-
tema Deklarasi Bersama dan menyimpulkan bersama-sama hal-hal
yang bisa dikerjakan secara bersama-sama dalam rangka mendukung
persekutuan dan persaudaraan.115
Kedua, Deklarasi Bersama ini menciptakan pedoman dan sumber-
sumber ibadah dihubungkan dengan Deklarasi Bersama yang di­
adaptasikan pada Gereja lokal. Contoh dari ibadah ini terlihat pada
saat ibadah penandatanganan Deklarasi Bersama ini. Sebab ibadah
bersama memberikan bukti yang nyata atas penerimaan dokumen
Deklarasi Bersama ini.116
Ketiga, Deklarasi Bersama ini mendesain pengertian yang mencer­
minkan sikap Gereja-gereja anggota menunjukkan bagaimana pene­
rimaan mereka atas dokumen Deklarasi Bersama ini dan selanjutnya
diteruskan ke pusat informasi LWF. Misalnya saja, di Amerika Utara
dilaksanakan dua kali konferensi yang disponsori oleh North American
Academy of Ecumenists dalam 2000 dan 2001 yang membahas
implikasi dokumen Deklarasi Bersama ini. Hasil dari konferensi ini
telah dipublikasikan dalam Journal of Ecumenical Studies, 2001. LWF
juga mensponsori sebuah konsultasi di Amerika Utara tahun 2002
yang membahas tentang pembenaran dan sosialisasi dokumen
Deklarasi Bersama.117
Geoffrey Wainwright118, seorang teolog Methodist, sangat me­
nyam­but baik dokumen Deklarasi Bersama yang ditandatangani
Lutheran - Katolik ini. Menurutnya, dokumen Deklarasi Bersama ini
tidak begitu jauh berbeda dari hasil dialog yang telah dilaksanakan
oleh Lutheran - Methodist dan Methodist - Katolik.
Namun harus kita akui, di samping reaksi dan sambutan positif di
atas pasti ada juga reaksi dan penerimaan yang negatif atas dokumen
ini. Misalnya saja, sebuah diskusi yang hangat terjadi di Jerman,

115 Ibid.
116 Ibid.
117 Ibid., hlm. 5.
118 Geoffrey Wainwright, ”The Luhteran-Roman Catholic Agreement on Justification: Its
Ecumenical Significance and Scope from a Methodist Point of View”, Makalah pada Konsultasi
The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1
Desember 2001, hlm. 1.
Sejarah Deklarasi Bersama — 53

seperti pertemuan yang diprakarsai Frankfurter Algemeine Zeitung.


Pada bulan Januari 1998 sebuah kelompok lebih dari 150 teolog yang
dipimpin Gerhard Ebeling dan Eberhard Jungel, menandatangani
pernyataan oposisi pada Deklarasi Bersama ini. Tetapi akhirnya, pada
saat sinode Gereja-gereja Lutheran Jerman ternyata akhirnya mereka
menerima Deklarasi Bersama ini melalui pemungutan suara. Para
teolog tidak merasa puas, sehingga tahun 1999 lebih dari 250 teolog
menandatangani sebuah dokumen memprotes dan melawan Deklarasi
Bersama itu. Dari seluruh respons yang diterima LWF dari seluruh
anggota-anggota LWF, maka pada bulan Juni 1998, LWF mengeluarkan
respons resmi dari LWF terhadap deklarasi ini. Sementara di pihak
Katolik, penerimaan deklarasi ini tidak sedramatik pihak Lutheran.
Gereja Katolik juga mengeluarkan sikap resmi mereka terhadap
deklarasi ini pada bulan Juni 1998. Tetapi respons Katolik ini tidak
sepositif respons dari Gereja Lutheran,119 walaupun ada juga reaksi
negatif dari kalangan Katolik terhadap dokumen Deklarasi Bersama
ini, antara lain yang mengatakan bahwa dokumen Deklarasi Bersama
ini sangat prematur dan mengandung penolakan terhadap Injil.120

5. Alasan-alasan Lutheran dan Katolik Membuat Deklarasi


Bersama

Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama mengguna­


kan istilah ”pembenaran”, tetapi memberinya makna yang berbeda.
Kita berhadapan dengan masalah semantik-eksegetis dalam hal ini.
Ajaran Gereja Katolik Roma, seperti diformulasikan oleh dekrit Trente
(ps. 4 dan 7) dan masih dipegang dalam Katekismus Gereja Katolik
Roma, yaitu yang mengartikan pembenaran sebagai perubahan
sta­tus dari orang berdosa menjadi anak Allah, yang meliputi juga
trans­formasi hidup batin oleh Roh Kudus. Ajaran ini berakar pada
pandangan Augustinus yang mengartikan ”pembenaran” se­bagai

119 Lih. Pernyataan resmi Katolik ini dalam Origins 28 (16 Juli 1998), hlm. 130-132; dalam http://
www.ewtn.com/library/CURIA/PCPULUTH.HTM; dan www.pcj.edu/journal, bdk. Anthony
N.S.Lane, Op.Cit., hlm. 119-122; bdk. Jared Wicks, Op.Cit., hlm. 139-140.
120 Lih. ”Liberal Lutherans and Roman Catholics Agree to Deny the Gospel”, dalam www.
wayoflife.org.
54  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

peristiwa ”dinyatakan benar” dan proses ”dibuat benar”.121 Pan­


dang­an Luther sendiri pada awalnya mencerminkan pandangan
Augustinus ini, misalnya dalam kuliahnya mengenai surat Roma
(1515-1516). Luther cenderung memahami pembenaran sebagai suatu
proses ”menjadi”, yang berarti bahwa orang berdosa secara ber­­
angsur disesuaikan dengan keserupaan dengan Yesus Kristus me­
lalui proses pembaruan internal.122 Baru kemudian, agaknya di ba­
wah pengaruh Melanchthon, Luther memperlihatkan pemahaman
foren­sik mengenai ajaran pembenaran, yakni bahwa orang berdosa
divonis benar oleh Allah. Rumusan Deklarasi, misalnya mengartikan
”di­benar­kan” dalam arti ”dinyatakan benar dan bebas dari dosa ...
ber­dasarkan kebenaran Kristus yang diperhitungkan Allah” (DB III:
17)
Di sisi lain, Lutheran dan Katolik berkeyakinan yang sama bahwa
pembenaran diberikan langsung kepada kita melalui cara khusus
di dalam hati berdasarkan kesaksian Perjanjian Baru di mana Allah
bertindak menyelamatkan manusia di dalam Kristus (DB III:17)
Artinya, ajaran pembenaran bukanlah hanya merupakan kekhususan
Lutheran atau Katolik, melainkan sangat relevan bagi semua orang
Kristen dan Gereja Kristen. Hal inilah yang menjadi alasan pertama
mengapa Gereja Lutheran dan Katolik membuat Deklarasi Bersama
ini.123
Alasan kedua, karena ajaran pembenaran ini merupakan hal yang
sangat penting bagi kesaksian orang Kristen dan pelayanannya di
dunia ini. Melalui ajaran ini, kita dimampukan mengidentifikasikan
apakah sebuah kesaksian atau praktik kehidupan kita itu merupakan
kesaksian dan praktik hidup yang benar-benar Kristiani. Artinya,
kesaksian orang Kristen itu tidak boleh kontra-produktif dengan
kehidupan nyata. Oleh karena itulah Gereja Lutheran dan Katolik
menandatangani Deklarasi Bersama ini.124

121 Bdk. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, (terj.) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.
ke 4, 2002), hlm. 141.
122 Ibid., hlm. 147.
123 Theodor Dieter, ”Joining in the Agreements Reached in the Joint Declaration on the Doctrine
of Justification Procedural Aspects”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on the
Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember 2001, hlm. 1.
124 Ibid., hlm. 1-2.
Sejarah Deklarasi Bersama — 55

Alasan ketiga, karena Gereja-gereja belum memiliki tolok ukur


atau batu penguji bagi iman Kristen, sehingga Gereja-gereja sangat
membutuhkan tolok ukur atau batu penguji iman tersebut. Dengan
adanya tolok ukur ini maka Gereja-gereja akan bisa saling memahami
satu dengan yang lainnya sebagai satu Tubuh di dalam Kristus.
Artinya, dengan adanya Deklarasi Bersama ini, Gereja-gereja menjadi
saling menghargai satu dengan yang lain. Gereja Lutheran memahami
pemahaman iman Katolik, demikian juga Katolik dapat memahami
iman Lutheran, sehingga kedua belah pihak sama-sama mengerti dan
memahami ajaran yang diimani masing-masing pihak tanpa ada yang
saling menuding dan menjelek-jelekkan.125 Dengan kata lain Deklarasi
Bersama ini mampu menjelaskan pembenaran di dalam cara yang
berbeda, tetapi saling mengisi dalam dasar pemahaman bersama.126

6. Pandangan Umum terhadap Deklarasi Bersama

Berhubung oleh karena pertikaian antara Gereja Katolik Roma


dan Lutheran berakar pada pemahaman ajaran pembenaran, maka
yang sangat pokok dipertanyakan setelah penandatanganan Deklarasi
Bersama ini adalah: Apakah Gereja Katolik Roma telah mengubah
ajarannya tentang pembenaran sebagaimana dirumuskan pada konsili
Trente? Apakah Gereja Reformasi Lutheran telah mengubah sikap
teologisnya, di mana para reformator Lutheran selalu menekankan
bahwa doktrin pembenaran oleh iman adalah dasar berdiri atau
jatuhnya Gereja? (confussio articulus stantis et cadentis ecclesiae). Apakah
kutukan-kutukan yang dikeluarkan masing-masing pihak, dan yang
ditujukan kepada lawan bertikai, masih relevan dan masih berlaku?
Jawabannya dapat ditemukan dalam Deklarasi Bersama ini.
Dalam butir 7 Deklarasi Bersama dikatakan, Deklarasi Bersama ini di­
dasarkan pada keyakinan bahwa dalam mengatasi pertikaian dan
doktrin pengutukan masa lalu, Gereja-gereja tidak dengan mudah
menerapkan pengutukan itu, sekalipun tidak dapat memungkiri
masa lalunya. Sebaliknya, deklarasi ini diupayakan dengan dasar
pemahaman bahwa masing-masing pihak telah memasuki pandangan

125 Ibid., hlm. 2.


126 John Bookser Feister, ”Faith and Works: Catholics and Lutherans Find Agreement”, dalam
www.americancatholic.org.
56  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

yang baru. Perkembangan itulah yang mengisyaratkan Gereja-gereja


untuk menguji segala rumusan dan hukuman yang memecah Gereja
dan melihatnya di dalam suatu terang yang baru.127 Dengan demikian,
kedua belah pihak – Lutheran dan Gereja Katolik Roma – bergerak
menuju perubahan dan berada pada posisi paradigma baru dalam
memahami doktrin pembenaran itu.
Adanya paradigma baru terhadap doktrin pembenaran itu juga
dirumuskan dalam butir 13 Deklarasi Bersama. Dikatakan, penafsiran
dan penerapan pesan alkitabiah tentang pembenaran adalah penyebab
utama terjadinya perpecahan Gereja Barat pada abad ke 16, yang
pada gilirannya mendorong Gereja mengeluarkan ajaran pengutukan.
Oleh karena itu pemahaman bersama tentang pembenaran itu adalah
sangat mendasar dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi perpecahan
tersebut. Melalui kajian yang tepat berdasarkan studi alkitabiah
terakhir, sebagaimana digambarkan dalam penelitian sejarah teologi
dan dogma modern, maka diadakanlah dialog ekumenis pasca-Vatikan
II untuk mempertemukan para tokoh Gereja yang menaruh minat
tentang doktrin pembenaran. Hasilnya adalah ditandatanganinya
Deklarasi Bersama.
Berdasarkan Deklarasi Bersama ini, maka pengutukan yang di­
lakukan Gereja pada abad ke-16, sepanjang berhubungan dengan
doktrin pembenaran, dipahami secara baru: Doktrin Lutheran se­
bagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bersama ini tidak berada di
bawah pengutukan konsili Trente. Sebaliknya, pengutukan yang
dijatuhkan Lutheran juga tidak dikenakan kepada ajaran Gereja
Katolik Roma yang dimuat dalam Deklarasi Bersama ini.128
Secara jujur, Gereja Katolik Roma dan Lutheran mengakui
bahwa mereka telah memperhatikan kembali kabar baik yang
diberitakan Alkitab. Berdasarkan pemahaman Alkitab itu dan diskusi
teologi akhir-akhir ini, mereka dapat sharing pemahaman tentang
pembenaran, mencakup konsensus, perbedaan penjelasan-penjelasan,
dan pernyataan khusus dari masing-masing pihak.129
Oleh karena itulah dalam Annex to the Official Common Statement
(AOCS) LWF dan Gereja Katolik Roma kembali menekankan bahwa

127 Joint Declaration, hlm. 11.


128 Ibid., hlm. 14-15.
129 Ibid., hlm. 15.
Sejarah Deklarasi Bersama — 57

melalui Deklarasi Bersama itu telah dicapai suatu konsensus pe­


mahaman tentang doktrin pembenaran. Berdasarkan konsensus itulah
ditemukan pemahaman bersama dan kemudian menjadi Deklarasi
Bersama.
Dengan demikian, yang menjadi pokok dari Deklarasi Bersama ini
adalah adanya pemahaman bersama tentang doktrin pembenaran,
sesuai dengan pesan dan kesaksian Alkitab. Di samping itu, ada
yang berupa konsensus, yaitu hal-hal yang perlu dijelaskan secara
khusus, baik oleh pihak Gereja Katolik Roma maupun oleh Gereja
Lutheran, yaitu menyangkut tafsiran, penjelasan dan respons terhadap
kesaksian Alkitab tentang pembenaran tersebut. Oleh karena itu
dalam memahami Deklarasi Bersama ini harus diperhatikan pokok-
pokok yang disepakati bersama dan penjelasan masing-masing pihak
tentang pokok-pokok yang disepakati tersebut.
59

Bab III
Analisa dan Eksegese Atas
Deklarasi Bersama Tentang Ajaran
Pembenaran Oleh Iman

Setelah memahami sejarah lahirnya dokumen Deklarasi Bersama


ten­tang Ajaran Pembenaran di atas, pada bab ini kita akan menganalisa
dan mengeksegese dokumen Deklarasi Bersama tersebut, agar kita
dapat memahami dan mengerti lebih dalam isi dokumen itu dan apa
makna dokumen Deklarasi Bersama dalam perjalanan sejarah doktrin
Gereja-gereja Lutheran dan Katolik.

1. Teks Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran

Untuk dapat menganalisa dokumen Deklarasi Bersama tentang


Ajaran Pembenaran oleh Iman ini, di bawah ini disajikan dokumen
tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia. Namun tidak semua isi
dokumen tersebut dituangkan dalam terjemahan. Yang diterjemahkan
dalam bagian ini hanya isi dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran
Pembenaran tanpa menerjemahkan Sumber-sumber untuk Deklarasi
Bersama tentang ajaran pembenaran. Sedangkan dua dokumen
lainnya tidak diterjemahkan, yaitu: Pernyataan Resmi Bersama dan
Tambahan pada Pernyataan Resmi Bersama.
60  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN


PEMBENARAN130

Pembukaan
1) Ajaran tentang pembenaran adalah bagian terpenting bagi
Reformasi Lutheran pada abad ke-16. Ajaran ini dipertahankan
sebagai ”pasal yang pertama dan terutama”131 dan serentak den-
gan itu sebagai ”pengemudi serta hakim terhadap seluruh ajaran
Kristen lainnya”.132 Secara khusus, ajaran tentang pem­benaran
menurut rumusan para reformator dinyatakan dan dipertahank-
an dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada
zaman itu; pada saat yang sama Gereja Katolik Roma juga mem-
pertegas dan mempertahankan suatu ajaran tentang pembenaran
dengan ciri yang berbeda. Dari sudut pandang reformasi, pembe-
naran merupakan inti dari seluruh perdebatan-perdebatan lain-
nya. Di dalam Pengakuan-pengakuan Lutheran133 dan oleh putu-
san Konsili Trente yang diadakan Gereja Katolik Roma, dirumus-
kanlah kutukan-kutukan. Kutukan itu masih berlaku hingga hari
ini dan berpengaruh pada terpisahnya kedua Gereja tersebut.
2) Ajaran tentang pembenaran mempunyai tempat sangat
khusus dalam tradisi Lutheran. Itulah sebabnya ajaran ini sejak
semula menjadi bagian terpenting dalam dialog-dialog resmi
antara Gereja Lutheran dan Katolik.
3) Sebagian dari laporan dialog-dialog tersebut perlu diper­
hatikan secara khusus seperti: percakapan tentang ”Injil dan
Gereja” (1972)134 dan ”Gereja dan Pembenaran” (1994)135 yang dilaku­

130 Naskah dalam bahasa Indonesia ini diambil dari terjemahan sementara dari pihak Lutheran
untuk disetujui bersama oleh Keuskupan Agung Medan dan Komite Nasional (KN) –
Lutheran World Federation (LWF) Indonesia dalam Seminar Sehari Lutheran – Katolik
dalam rangka perayaan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran antara LWF
dan Gereja Katolik Roma, 30 Oktober 2004 di STFT St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar,
yang kemudian disunting oleh penulis untuk kepentingan penulisan tesis ini.
131 Pasal-pasal Smalkalden, II,1; Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran, hlm. 371.
132 ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum” Edisi Weimar untuk Karya Luther (WA),
39, I, 205.
133 Perlu dicatat bahwa beberapa Gereja-gereja Lutheran hanya memasukkan Konfessi Augsburg
dan Katekhismus Kecil dari Martin Luther di antara konfesi-konfesi mereka. Naskah-naskah
tersebut tidak memuat kutukan-kutukan pada Gereja Katolik Roma.
134 Laporan dari The Joint Lutheran-Roman Catholic Study Commision, terbitan Growth in
Agreement, (New York: Geneva 1984), hlm. 168-189.
135 Diterbitkan oleh The Lutheran World Federation (Geneva, 1994).
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 61

kan oleh Komisi Bersama Lutheran - Katolik Roma; dialog tentang


”Pembenaran oleh Iman” (1983)136 yang diadakan di Amerika
Serikat dan tentang ”Kutukan atas dasar ajaran pada masa reformasi
– masihkah menimbulkan perpisahan?” (1986)137 yang dilaksanakan
oleh Kelompok Kerja ekumenis teolog Lutheran dan Katolik di
Jerman. Beberapa laporan dialog-dialog tersebut telah disambut
secara resmi oleh Gereja. Salah satu contoh penting darinya adalah
pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-
gereja di Jerman pada 1994. Pernyataan itu berisi pengakuan
gerejawi pada tingkat tertinggi terhadap Pengkajian atas Kutukan-
kutukan.138
4) Seluruh laporan dialog tersebut dan juga pernyataan-per­
nyataan yang muncul sebagai tanggapan padanya menunjukkan
bahwa cara pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat
tentang ajaran tentang pembenaran itu, semuanya sangat sesuai.
Oleh karena itu sudah saatnyalah kini mengambil kesimpulan
dan meringkaskan hasil dialog-dialog tentang pembenaran
itu, sehingga Gereja-gereja kita dapat memperoleh informasi
tentang hasil-hasil menyeluruh dengan tepat dan bijaksana,
sehingga Gereja selanjutnya dimampukan untuk mengutarakan
pendapatnya.
5) Hal itulah yang dimaksud Deklarasi Bersama ini, yaitu
untuk menunjukkan bahwa atas dasar dialog-dialog yang
telah mereka adakan tersebut, dapatlah Gereja-gereja Lutheran
yang turut menandatanginya dengan Gereja Katolik Roma139
mengemukakan pemahaman bersama tentang pembenaran kita
oleh anugerah Allah melalui iman akan Kristus. Pemahaman
bersama itu tentunya tidak akan memuat semua ajaran Gereja

136 Lutheran and Catholic in Dialog, VII (Minneapolis, 1985).


137 Minneapolis, 1990.
138 ”Gemeinsame Stellungnahme der Arnoldshainer Konferenz, der Vereinigten Kirche
und des Deutschen Nationalkomitees des Lutherischen Weltbundes zum Dokument
‘Lehrverurteilungen – kirchentrennend?’” Őkumenische Rundschau 44 (1995): hlm. 99-102. Lihat
juga ceramah pendahuluan yang mendasari resolusi ini, bdk. Lehrverurteilungen im Gesprāch,
Die ersten offiziellen Stellungnahmen aus den evangelischen Kirchen in Deutschland (Göttingen:
Vandenhoeck & Ruprecht, 1993).
139 Kata ”gereja” digunakan dalam deklarasi ini untuk mencerminkan pemahaman pribadi
Gereja-gereja yang terlibat di sini, tanpa bermaksud memecah masalah-masalah eklesiologis
yang berkaitan dengan terminologi ini.
62  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

tentang pembenaran; tetapi mencakup suatu persetujuan akan


kebenaran dasar dari ajaran pembenaran dan menununjukkan
bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal penerapannya,
tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan dogmatis.
6) Deklarasi kita ini bukanlah suatu penguraian yang baru
dan berdiri sendiri lepas dari laporan dan dokumen-dokumen
dari dialog yang lalu dan bukan juga merupakan penggantinya,
tetapi sebagaimana dinyatakan oleh sumber-sumber terlampir,
Deklarasi ini selalu menunjuk pada laporan-laporan dan dokumen-
dokumen itu dan menggunakan argumentasi-argumentasinya.
7) Sama seperti dialog-dialog tersebut, Deklarasi Bersama
ini juga yakin bahwa untuk mengatasi masalah-masalah yang
menjadi perdebatan dan kutukan-kutukan pada masa lalu,
Gereja tentunya tidak menganggap remeh kutukan-kutukan itu
dan juga tidak memungkiri masa lalunya. Sebaliknya, Deklarasi
Bersama ini dibentuk oleh keyakinan, bahwa Gereja kita meng­
alami perkembangan pandangan dalam perjalanan sejarah.
Perkembangan yang terjadi tidak hanya memberi kemungkinan,
tetapi juga menantang Gereja-gereja untuk mengkaji kutukan-
kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa pe­
misahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru.

Pasal 1. Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran


8) Cara kami yang sama dalam mendengar firman Allah da­
lam Alkitab telah membimbing kami pada sudut pandang yang
baru itu. Kita bersama-sama mendengar kabar sukacita, ”Ka­
rena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal” (Yoh 3: 16). Berita sukacita ini disampaikan
lagi dengan berbagai cara di dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian
Lama (PL) kita mendengar firman Allah tentang keberdosaan ma­
nusia (Mzm 51: 1-5; Dan 9: 5 dab, Pkh 8: 9 dab; Ezr 9: 6 dab) dan
ke­tidaktaatan manusia (Kej 3: 1-19; Neh 9: 16 dab, 26) dan juga
tentang ”kebenaran” Allah (Yes 46: 13; 51: 5-8; 56: 1 [bdk. 53: 11];
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 63

Yer 9: 24) dan ”penghakiman” (Pkh 12: 14; Mzm 9: 5 dab; 76:
7-9).
9) Dalam Perjanjian Baru (PB) terdapat tema yang berbeda
tentang ”kebenaran” dan ”pembenaran”, seperti dalam Injil
Matius (5: 10; 6: 33; 21: 32), Yohanes (16: 8-11), surat Ibrani (5: 1-3;
10: 37-38), dan Yakobus (2: 14-26).140 Di dalam surat-surat Paulus
juga anugerah karena keselamatan diuraikan dengan berbagai
cara, antara lain: ”Kristus telah membenarkan kita” (Gal 5: 1-13;
bdk. Rm 6: 7), ”diperdamaikan dengan Allah” (2 Kor 5: 18-21; bdk.
Rm 5: 11), ”berdamai dengan Allah” (Rm 5: 1), ”ciptaan baru”
(2 Kor 5: 17), ”Hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 6:
11, 23) atau ”dikuduskan dalam Kristus Yesus” (lih. 1 Kor 1: 2;
1: 31; 2 Kor 1: 1). Tema paling menentukan dalam hal ini adalah
”pembenaran” manusia berdosa oleh anugerah Allah melalui
iman (Rm 3: 23-25), yang merupakan tema penting dalam zaman
Reformasi.
10) Paulus menguraikan Injil sebagai kekuatan Allah untuk
keselamatan bagi orang yang jatuh di bawah kuasa dosa, sebagai
pemberitaan yang menyampaikan bahwa ”kebenaran Allah
yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman” (Rm 1:
16-17) dan yang menganugerahkan ”pembenaran” (Rm 3: 21-
31). Dia memberitakan Kristus sebagai ”kebenaran kita” (1 Kor
1: 30); melalui pemberitaan ini Paulus mengenakan pemberitaan
Yeremia tentang Allah sendiri (Yer 23: 6) pada Yesus yang bangkit.
Seluruh segi-segi karya keselamatan-Nya berakar dalam kematian
dan kebangkitan Kristus, sebab Dialah ”Tuhan kita, yang telah
diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena
pembenaran kita” (Rm 4:25). Seluruh manusia membutuhkan
kebenaran Allah, ”Karena semua orang telah berbuat dosa dan
telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3: 23; bdk. Rm 1: 18 -
3: 22; 11: 32; Gal 3: 22). Dalam surat kepada jemaat Galatia (3:
26) dan kepada jemaat Roma (4: 3-9), Paulus memahami iman

140 Bdk. Laporan Malta, alinea 26-30; Justification by Faith, alinea 122-147. Atas permintaan dialog
di Amerika Serikat tentang Pembenaran, ayat-ayat PB di luar surat-surat Paulus disampaikan
dalam ”Righteousness in the New Testament, oleh John Reumann, dengan tanggapan dari
Joseph A.Fitzmyer dan Jerome D.Quinn (Philadelphia dan New York: 1982), hlm. 124-180.
Hasil studi ini diringkaskan dalam laporan ”Justification by Faith” dalam alinea 139-142.
64  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Abraham (Kej 15: 6) sebagai iman pada Allah yang membenarkan


orang berdosa dan dia menunjuk pada kesaksian PL untuk
menggarisbawahi kabar baik yang Paulus sampaikan, bahwa
kebenaran ini akan diperhitungkan bagi semua orang yang
seperti Abraham percaya janji Allah karena ”orang benar itu
akan hidup oleh percayanya” (Hab 2: 4; bdk. Gal 3: 11; Rm 1:
17). Dalam suratnya, Paulus memberitakan bahwa kebenaran
Allah adalah juga kekuatan bagi mereka yang beriman (Rm 1:
17; 2 Kor 5: 21). Di dalam Kristuslah kebenaran mereka (2 Kor 5:
21). Pembenaran menjadi bagian kita melalui Kristus Yesus yang
”telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman,
dalam darah-Nya” (Rm 3: 25; lih. 3: 21-28). ”Sebab karena kasih
karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu,
tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada
orang yang memegahkan diri” (Ef 2: 8-9).
11) Pembenaran adalah pengampunan dosa (bdk. Rm 3: 23-
25; Kis. 13: 39; Luk 18: 14), pembebasan dari kungkungan kuasa
dosa dan kematian (Rm 5: 12-21) dan dari kutukan karena Taurat
(Gal 3: 10-14). Pembenaran adalah penerimaan masuk pada
persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun akan
disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang (Rm 5:
1-2). Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus dan dengan
kematian serta kebangkitan-Nya (Rm 6: 5). Penyatuan ini terjadi
di saat seseorang menerima Roh Kudus pada waktu baptisan dan
yang memungkinkan masuk ke dalam satu Tubuh (Rm 8: 1-2,
9-11; 1 Kor 12: 12-13). Semuanya ini berasal hanya dari Allah,
demi Kristus, oleh anugerah melalui iman dalam ”Injil tentang
Anak Allah” (Rm 1: 1-3).
12) Hidup yang dibenarkan oleh iman datang dari firman
Allah (Rm 10: 17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan
dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang
dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa
dan keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39; Gal 5: 16-21) sehingga jatuh
dalam dosa (1 Yoh 1: 8, 10), mereka harus senantiasa mendengar
janji-janji Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1
Yoh 1: 9), mengambil bagian dalam darah dan tubuh Kristus,
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 65

dan dianjurkan untuk hidup dengan benar berpadanan dengan


kehendak Allah. Itulah sebabnya rasul menganjurkan pada orang
yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu
dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih
hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena
Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan
maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2: 12-13). Namun
demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada
penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus”
(Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2:
20); dan bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh
pembenaran untuk hidup” (Rm 5: 18).

Pasal 2. Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis


13) Penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada
abad keenambelas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda
terhadap pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran. Itu jugalah
yang mengakibatkan munculnya kutukan-kutukan. Oleh karena
itu, suatu pemahaman akan pembenaran sangatlah mendasar
dan tidak dapat ditawar-tawar untuk mengatasi perpecahan ini.
Melalui penggunaan pandangan-pandangan yang dihasilkan
oleh penelitian alkitabiah masa kini dan juga penelitian modern
tentang sejarah teologi dan dogma, terciptalah pendekatan yang
sangat penting tentang ajaran pembenaran dalam dialog ekumenis
sesudah Vatikan II. Buahnya terlihat dalam keberhasilan Deklarasi
Bersama untuk merumuskan suatu kesepakatan akan kebenaran-
kebenaran dasariah tentang ajaran pembenaran. Dari sudut
pandang kesepakatan ini, kutukan-kutukan yang digunakan
pada abad keenambelas, kini tidak lagi digunakan pada kedua
belah pihak.

Pasal 3. Pemahaman Bersama atas Pembenaran


14) Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma senan­
tiasa dengar-dengaran pada kabar gembira yang diberitakan
dalam Kitab Suci. Kesediaan mendengar seperti itu, bersama
dengan percakapan teologis pada tahun-tahun belakangan ini,
66  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

memungkinkan adanya pemahaman bersama akan ajaran pem­


benaran. Pemahaman ini mencakup kesepakatan dalam kebenar­
an-kebenaran dasariah; kalaupun ada penguraian lanjutan yang
berbeda dalam pernyataan-pernyataan yang lebih terperinci,
semuanya itu dapat dipersatukan dengan kebenaran dasariah
ini.
15) Kami bersama-sama mengakui bahwa pembenaran
adalah karya Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus anak-Nya
ke dunia ini untuk menyelamatkan orang berdosa. Dasar dan
syarat pembenaran adalah inkarnasi, kematian, dan kebangkitan
Kristus. Oleh karena itu, pembenaran berarti bahwa Kristus
sendiri adalah kebenaran kita; dan kita mengambil bagian dengan
kebenaran ini melalui Roh Kudus sesuai dengan kehendak Bapa.
Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman
akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan
kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang
memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita
untuk perbuatan-perbuatan baik.141
16.) Seluruh manusia dipanggil oleh Allah untuk keselamatan
di dalam Kristus. Melalui Kristus sendirilah kita dibenarkan,
pada saat kita menerima keselamatan ini dalam iman. Iman itu
sendiri pun adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus yang
bekerja melalui firman dan sakramen di dalam persekutuan
orang percaya, melalui Roh Kudus yang pada saat yang sama
memimpin orang-orang percaya ke dalam pembaruan hidup itu
yang Allah akan pimpin pada kepenuhannya di dalam kehidupan
yang kekal.
17) Kami juga bersama-sama mengakui bahwa pemberitaan
ajaran pembenaran mengarahkan kita pada jalan khusus menuju
pusat kesaksian Perjanjian Baru, yaitu karya keselamatan Allah
dalam Kristus: ini menjelaskan pada kita bahwa sebagai orang
berdosa, hidup kita yang baru itu hanyalah karena pengampunan
dan anugerah yang memberi pembaruan, yang Allah berikan bagi
kita sebagai anugerah dan kita menerimanya dalam iman, tetapi

141 ”All Under One Christ”, alinea 14, dan dalam Growth in Agreement, hlm. 241-247.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 67

kita tidak pernah memperoleh hidup seperti itu dengan cara apa
pun.
18) Oleh karena itu ajaran pembenaran, yang mengemban
dan memperkembang berita tersebut, lebih dari hanya suatu
ajaran Kristen saja. Dia secara nyata mempunyai hubungan
dengan seluruh kebenaran-kebenaran iman, yang satu sama lain
mempunyai keterkaitan dalam dirinya sendiri. Dia adalah suatu
ukuran yang secara terus-menerus mengarahkan keseluruhan
ajaran dan karya Gereja pada Kristus. Jika kaum Lutheran
menekankan makna khusus dari ukuran ini, mereka tidak menolak
keterkaitan dan makna dari seluruh kebenaran-kebenaran iman.
Bila kaum Katolik melihat dirinya sendiri tunduk dari beberapa
kriteria, mereka tidak menolak kegunaan yang khusus dari pesan
pembenaran. Kaum Lutheran dan Katolik mempunyai tujuan
yang sama, yaitu mengaku Kristus, yang melampaui segalanya
dipercaya sebagai satu-satunya Perantara (1 Tim 2: 5-6) yang
melaluinya Allah dalam Roh Kudus memberikan diri-Nya sendiri
dan mencurahkan anugerah-Nya yang memberi pembaruan.

Pasal 4. Pengembangan Pemahaman Bersama tentang


Pembenaran

4.1 Ketidakberdayaan Manusia dan Dosa dalam Kaitan dengan


Pembenaran
19) Kami bersama-sama mengakui bahwa setiap orang,
dalam rangka keselamatannya, tergantung sepenuhnya pada
anugerah penyelamatan Allah. Kebebasan yang dia miliki dalam
kaitan dengan manusia dan segala apa yang ada di dunia ini,
bukanlah kebebasan yang berkaitan dengan keselamatan, sebab
sebagai orang berdosa mereka berada di bawah penghakiman
Allah dan dari dirinya sendiri tidak mampu untuk berbalik pada
Allah untuk memperoleh kelepasannya, untuk memperoleh
pembenaran mereka di hadapan Allah, atau mengusahakan
keselamatan melalui kemampuan sendiri. Pembenaran terjadi
hanya karena anugerah. Karena Katolik dan Lutheran mengaku
hal ini secara bersama, maka patutlah dikatakan:
68  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

20) Ketika Katolik mengatakan bahwa manusia ”turut bekerja


sama” dalam mempersiapkan dan menerima pembenaran me­
lalui persetujuannya akan karya Allah yang membenarkan,
mereka melihat persetujuan pribadi seperti itu sebagai akibat dari
anugerah, bukan sebagai tindakan yang muncul dari kemampuan
batin manusiawi.
21) Menurut ajaran Lutheran, manusia tidak mampu untuk
turut mengusahakan keselamatannya, sebab sebagai orang ber­
dosa, mereka dari dirinya sendiri melawan Allah dan tindakan
keselamatan-Nya. Kalau mereka menekankan bahwa manusia
hanya dapat menerima (secara pasif) pembenaran, melaluinya
mereka mau menyatakan bahwa tidak ada kemungkinan manusia
untuk turut serta membantu usaha pembenarannya, namun tidak
menolak bahwa orang-orang percaya sepenuhnya terlibat secara
pribadi dalam iman mereka, yang muncul karena Firman Allah.

4.2 Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat


Jadi Benar
22) Kami bersama-sama mengaku bahwa Allah mengampuni
dosa melalui anugerah dan pada saat yang sama membebaskan
manusia dari kuasa dosa yang selama ini memperbudak manusia
dan memberikan anugerah hidup baru dalam Kristus. Bila
manusia dalam iman mengambil bagian dalam Kristus, Allah
tidak memperhitungkan dosa-dosanya dan melalui Roh Kudus
Allah menumbuhkan dalam diri mereka karya kasih. Kedua segi
dari anugerah Allah ini tidaklah dilihat terpisah, sebab seseorang
melalui iman dipersatukan dalam Kristus, yang pada Diri-Nya
sendiri adalah pembenaran kita (1 Kor 1: 30): baik pengampunan
dosa maupun kehadiran Allah yang menyelamatkan. Karena
Gereja Katolik dan Lutheran mengakui hal ini bersama-sama,
maka dapatlah dikatakan hal berikut ini:
23) Jika Gereja Lutheran menekankan bahwa kebenaran Kristus
adalah kebenaran kita, mereka ingin secara khusus menekankan,
bahwa orang berdosa dianugerahi kebenaran di hadapan Allah
di dalam Kristus melalui pernyataan pengampunan dosa, dan
bahwa hanya di dalam kesatuan dengan Kristuslah hidup ma­
nusia diperbarui. Kalau mereka menekankan bahwa anugerah
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 69

Allah adalah kasih yang mengampuni (”kemurahan Allah”),142


melaluinya mereka tidak menolak pembaruan hidup orang
Kristen. Malah mereka ingin menyatakan bahwa pembenaran
tetap lepas dari usaha manusia dan tidak tergantung pada buah-
buah pembaruan hidup baru yang ada dalam diri manusia, yang
berasal dari anugerah itu.
24) Jika Gereja Katolik Roma menekankan pembaruan ma­
nusia ke dalam dirinya melalui penerimaan akan rahmat yang
diberikan padanya sebagai anugerah bagi orang percaya,143 me­
reka ingin menekankan bahwa anugerah pengampunan Allah
selalu membawa anugerah hidup baru, yang di dalam Roh
Kudus menjadi nyata dalam karya kasih. Melaluinya mereka
tidak menolak bahwa pemberian Allah akan rahmat dalam
pembenaran tetap lepas dari karya manusia.

4.3 Pembenaran oleh Iman dan melalui Anugerah


25) Kami bersama-sama mengaku, bahwa orang-orang
berdosa dibenarkan oleh iman dalam karya penyelamatan Allah
di dalam Kristus. Melalui karya Roh Kudus dalam baptisan,
mereka dilimpahi dengan anugerah keselamatan; itulah yang
menjadi dasar bagi keseluruhan hidup kristiani. Mereka menaruh
kepercayaan mereka pada janji anugerah Allah dalam pembenaran
iman, yang di dalamnya termasuk harapan akan Allah dan kasih
pada-Nya. Iman yang demikian berkarya dalam kasih, sehingga
orang Kristen tidak dapat dan juga seharusnya tidak tinggal diam
tanpa perbuatan. Tetapi segala sesuatu yang bagi orang yang
dibenarkan merupakan persyaratan ataupun buah dari anugerah
iman, tidak akan pernah menjadi dasar pembenaran dan tidak
pernah dapat diusahakan.
26) Menurut pemahaman Gereja Lutheran, Allah membenarkan
orang berdosa karena iman semata (sola fide). Di dalam iman
mereka menaruh percaya sepenuhnya akan Pencipta dan Pene­
bus mereka dan dengan demikian hidup dalam persekutuan
dengan-Nya. Allah sendirilah yang menyebabkan munculnya

142 Bdk. WA 8:106; Edisi Amerika 32:227.


143 Bdk. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion symbolorum … 1528.
70  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

iman, pada saat Dia menimbulkan kepercayaan yang demikian


melalui firman-Nya yang penuh daya cipta. Karena karya Allah
adalah ciptaan baru, maka seluruh segi-segi dalam diri manusia
dipengaruhi dan dipimpin menuju suatu hidup yang penuh
pengharapan dan kasih. Dalam ajaran tentang ”dibenarkan oleh
iman semata”, dibuatlah pembedaan, namun bukan pemisahan,
antara pembenaran itu sendiri dengan pembaruan jalan hidup
seseorang yang diakibatkan oleh pembenaran itu dan yang tanpa
itu iman tidak ada. Dengan demikian dasar itu ditunjukkan, yang
darinya hidup yang diperbarui muncul; dasar itu keluar dari
kasih Allah yang dianugerahkan pada orang yang dibenarkan.
Pembenaran dan pembaruan dipersatukan di dalam Kristus,
yang hadir dalam iman.
27) Pemahaman Gereja Katolik Roma juga melihat iman
sebagai suatu yang mendasar dalam pembenaran. Sebab tanpa
iman tidak akan terdapat pembenaran. Seseorang dibenarkan
melalui baptisan sebagai pendengar firman dan yang percaya
akan firman itu. Pembenaran orang berdosa adalah pengampun­
an dosa dan dijadikan benar oleh rahmat yang membenar­kan,
yang membuat kita menjadi anak-anak Allah. Dalam pem­
benaran, orang yang dibenarkan itu menerima dari Kristus iman,
pengharapan, dan kasih dan dengan demikian dipersatukan
dengan-Nya.144 Hubungan pribadi dengan Allah ini didasarkan
sepenuhnya pada kemahamurahan Allah tetap tergantung
pada karya keselamatan yang penuh daya cipta yang berasal
dari rahmat Allah yang tetap setia, sehingga seseorang dapat
menyandarkan diri pada-Nya. Oleh karena itu, anugerah yang
membenarkan itu tidak pernah menjadi milik manusia untuk
digunakan membela dirinya di hadapan Allah. Bila Gereja
Katolik Roma menekankan pembaruan hidup melalui rahmat
yang membenarkan, pembaruan dalam iman, harap, dan kasih
ini selalu tergantung para rahmat Allah yang tanpa alasan itu,
dan pembaruan hidup ini tidak mengakibatkan pembenaran dan
inilah yang disyukuri orang di hadapan Allah (Rm 3:27).

144 Bdk. DS 1530.


Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 71

4.4 Orang Berdosa yang Dibenarkan


28) Kami bersama-sama mengakui bahwa dalam baptisan Roh
Kudus mempersatukan manusia dengan Kristus, membenarkan
dan memperbarui orang itu sepenuhnya. Tetapi orang yang dibe­
narkan harus dalam keseluruhan hidupnya senantiasa bergantung
pada rahmat Allah yang membenarkan dan tanpa syarat itu.
Rahmat ini tanpa henti-hentinya mendapat perlawanan dari kuasa
dosa yang masih melancarkan serangannya (bdk. Rm 6:12-14) dan
tidak dibebaskan dari pergumulan sepanjang hayat melawan
pertentangan pada Allah dalam keinginan dari Adam yang lama
(bdk. Gal 5:16; Rm 7:7-10). Orang yang dibenarkan harus memohon
setiap hari pada Allah pengampunan dosa dalam Doa Bapa Kami
(Mat 6: 12; 1 Yoh 1: 9), dan selalu dipanggil untuk pengakuan dan
penyesalan dan selalu dianugerahi pengampunan dosa.
29) Gereja Lutheran memahami keberadaan orang Kristen
sebagai orang yang ”serentak benar dan berdosa”. Orang-orang
percaya sepenuhnya benar, karena Allah mengampuni dosa-dosa
mereka melalui firman dan sakramen dan menganugerahkan
kebenaran Kristus yang mereka miliki dalam iman. Di dalam
Kristus mereka dinyatakan benar di hadapan Allah. Bila mereka
melihat diri mereka melalui Taurat, mereka juga menyadari
bahwa mereka tetap sebagai orang yang berdosa sepenuhnya.
Dosa masih tinggal di dalam diri mereka (1 Yoh 1: 8; Rm 7: 17,
20), sebab mereka berulang-ulang berbalik pada ilah-ilah palsu
dan tidak mengasihi Allah dengan kasih yang tak terbagi yang
Allah sebagai Pencipta tuntut dari mereka (Ul 6: 5; Mat 22: 36-40).
Pertentangan dengan Allah ini adalah benar-benar dosa. Namun
demikian, kuasa dosa yang memperbudak ini dihancurkan atas
dasar pemilikan orang percaya akan Kristus. Dosa tidak lagi
”memerintah” orang Kristen, sebab mereka sendiri ”dikuasai”
oleh Kristus, dan orang yang dibenarkan terikat pada Kristus di
dalam iman. Kemudian dalam hidup seperti ini orang Kristen
dipimpin pada hidup yang benar. Meskipun berdosa, orang
Kristen tidak lagi terpisah dari Allah, sebab setiap hari mereka
kembali pada baptisan, karena orang yang sudah dilahirkan
kembali oleh baptisan dengan Roh Kudus telah diampuni dari
72  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dosa-dosa ini. Oleh karena itu, dosa ini tidak lagi membawa
kutuk dan kematian yang kekal.145 Oleh karena itu, bila Gereja
Lutheran mengatakan bahwa orang yang dibenarkan adalah juga
orang yang berdosa dan bahwa perlawanan mereka pada Allah
adalah memang benar-benar dosa, mereka tidak menolak bahwa,
meskipun karena adanya dosa ini, mereka tidak terpisah dari
Allah dan dosa ini adalah dosa yang sudah ”dikuasai”. Dalam
pernyataan seperti ini, mereka setuju dengan Gereja Katolik
Roma, meskipun terdapat perbedaan dalam pemahaman akan
dosa dan pembenaran.
30. Gereja Katolik Roma meyakini bahwa anugerah Yesus
Kristus yang diberikan dalam baptisan melenyapkan apa yang
benar-benar dosa ”dalam pengertian sebenarnya” dan ”layak
menerima penghukuman” (Rm 8:1).146 Namun dalam diri manusia
itu tetap tinggal kecenderungan yang datang dari dosa dan selalu
ditundukkan pada dosa. Karena, sesuai dengan keyakinan Gereja
Katolik Roma, dosa manusia selalu melibatkan unsur pribadi
dan karena unsur ini selalu memunculkan kecenderungan
tersebut, Gereja Katolik Roma tidak melihat kecenderungan
ini sebagai dosa dalam arti yang asli. Melaluinya mereka tidak
menolak bahwa kecenderungan ini tidak berhubungan dengan
rencana Allah yang semula tentang kemanusiaan ini, dan bahwa
kecenderungan itu pada dasarnya bertentangan dengan Allah
dan tetap musuh seseorang dan orang itu akan terus bergumul
dengannya sepanjang hidupnya. Bersyukur atas pelepasan oleh
Kristus, mereka ingin menekankan bahwa kecenderungan yang
selalu bertentangan dengan Allah tersebut tidak membawa
penghakiman dan kematian kekal147 dan tidak memisahkan
orang yang dibenarkan dari Allah. Tetapi bila seseorang secara
sengaja memisahkan diri dari Allah, tidaklah cukup dengan
hanya melakukan Taurat, sebab mereka harus menerima peng­
ampunan dan dialami dalam sakramen pendamaian melalui

145 Bdk. Apologi II: 38-45; Buku Konkord, hlm.99-100.


146 Bdk. DS 1515.
147 Bdk. DS 1515.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 73

firman pengampunan dosa yang dianugerahkan bagi mereka


berdasarkan karya pendamaian Allah di dalam Kristus.

4.5 Taurat dan Injil


31) Kami bersama-sama mengakui bahwa orang dibenarkan
oleh iman dalam Injil ”Karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat” (Rm 3:28). Kristus telah memenuhi Taurat, dan melalui
kematian dan kebangkitan-Nya Dia telah menyelesaikannya
sebagai suatu jalan menuju keselamatan. Kami juga mengakui
bahwa perintah-perintah Allah tetap berlaku bagi orang-orang
yang dibenarkan, dan bahwa Kristus telah menyatakan kehendak
Allah melalui ajaran dan teladan yang Kristus berikan. Perintah
Allah ini jadinya menjadi ukuran bagi kehidupan orang percaya
juga.
32) Gereja-gereja Lutheran menyatakan bahwa pembedaan
dan urutan yang benar dari Taurat dan Injil sangatlah penting
dalam pemahaman akan pembenaran. Makna teologis Taurat
adalah tuntutan dan dakwaan. Di sepanjang hidup mereka,
seluruh manusia termasuk orang Kristen, karena mereka semua
adalah orang berdosa, berada di bawah dakwaan ini dan dosa
mereka menjadi nyata; dengan demikian di dalam iman akan
Injil itu mereka tanpa ragu-ragu berbalik pada pengasihan Allah
di dalam Kristus, yang merupakan satu-satunya pembenaran
mereka.
33) Karena Taurat sebagai jalan menuju keselamatan telah
dipenuhi dan diatasi melalui Injil, umat Katolik dapat mengatakan
bahwa Kristus bukanlah pemberi Taurat seperti halnya Musa.
Jika Gereja Katolik Roma menekankan bahwa orang benar terikat
untuk melaksanakan perintah Allah, tidaklah dimaksudkan bahwa
dengan mengatakan itu mereka menolak bahwa melalui Yesus
Kristuslah Allah menjanjikan pada anak-anak-Nya anugerah
hidup yang kekal.148

148 Bdk. DS 1545.


74  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

4.6 Kepastian Keselamatan


34) Kami bersama-sama mengakui bahwa orang beriman
dapat mengandalkan anugerah dan janji-janji Allah. Di dalam
kelemahan dan ancaman yang berat bagi iman mereka, atas
dasar kuasa kematian dan kebangkitan Kristus mereka dapat
bergantung pada janji Allah yang berdaya guna dalam firman
dan sakramen; dengan demikianlah mereka menjadi pasti akan
anugerah ini.
35) Hal ini ditekankan oleh para reformator dengan cara
yang khusus: di tengah pencobaan, orang percaya kiranya jangan
melihat diri mereka sendiri tetapi melihat Yesus saja, dan hanya
percaya pada-Nya. Dalam percaya akan janji Allah keselamatan
mereka terjamin, tetapi tidak pernah terjamin karena melihat diri
sendiri.
36) Penekanan para reformator tersebut dapat dibagi-bagi­
kan oleh umat Katolik pada beberapa hal, yaitu: membangun
iman atas kenyataan objektif dari janji Kristus, mengalihkan
pandangan dari pengalaman sendiri dan percaya hanya pada
firman pengampunan Kristus (bdk. Mat 16: 19; 18: 18). Melalui
Konsili Vatikan ke II, umat Katolik menyatakan: memiliki iman
berarti mempercayakan diri sendiri sepenuhnya pada Allah149
yang membebaskan kita dari kegelapan dosa dan kematian, dan
membangkitkan kita pada hidup yang kekal.150 Dalam pengertian
demikian, seseorang tidak dapat percaya pada Alllah serentak
dengan anggapan bahwa janji Ilahi tidak dapat dipercaya.
Tidak seorang pun yang meragukan kemurahan Allah dan
anugerah Kristus. Namun setiap orang dapat juga memelihara
keselamatannya di saat dia melihat kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangannya. Dengan mengakui kelemahannya
sendiri, orang percaya tetap dapat merasa pasti bahwa Allah
menginginkan keselamatannya.

149 Bdk. Dei Verbum (Vatikan II) 5.


150 Bdk. Ibid.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 75

4.7 Perbuatan Baik dari Orang yang Dibenarkan


37) Kami bersama-sama mengakui bahwa perbuatan baik
– yaitu kehidupan kristiani di dalam iman, pengharapan dan
kasih – muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya.
Jika orang yang dibenarkan hidup dalam Kristus dan bertindak
dalam anugerah yang dia terima, mereka akan menghasilkan
buah dalam pengertian alkitabiah. Karena orang-orang Kristen
bergumul melawan dosa dalam seluruh hidupnya, buah dari
pembenaran ini juga menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang
harus mereka penuhi. Itulah sebabnya Yesus dan surat-surat para
rasul menasihatkan orang-orang Kristen untuk menghasilkan
karya kasih.
38) Menurut pemahaman umat Katolik, perbuatan baik,
yang dimungkinkan oleh rahmat dan karya Roh Kudus,
mempengaruhi pertumbuhan dalam rahmat, sehingga kebenaran
yang datang dari Allah dipelihara dan persekutuan dengan
Kristus diperdalam. Jika umat Katolik menyatakan ciri ”jasa”
dari perbuatan baik, mereka ingin mengatakan bahwa, menurut
kesaksian Alkitab, upah di surga dijanjikan atas perbuatan baik
ini. Maksud mereka adalah untuk menekankan tanggung jawab
seseorang untuk perbuatan mereka, bukan mempertunjukkan ciri
perbuatan itu sebagai hadiah, dan juga tidak dimaksudkan untuk
menolak bahwa pembenaran adalah anugerah dari rahmat yang
bukan karena jasa baik.
39) Pengertian tentang pemeliharaan anugerah dan pertum­
buhan dalam anugerah dan iman dikenal oleh Lutheran. Mereka
mau menekankan bahwa kebenaran sebagai penerimaan melalui
Allah dan ambil bagian dalam kebenaran Kristus sudahlah
sempurna. Pada saat yang sama, mereka menyatakan bahwa
terdapat juga pertumbuhan atas pengaruh kebenaran itu dalam
hidup orang Kristen. Jika mereka melihat perbuatan baik orang
Kristen sebagai ”buah” dan ”tanda” pembenara dan bukan
sebagai ”jasa”, mereka juga memahami hidup yang kekal menurut
Perjanjian Baru sebagai ”hadiah” yang tidak atas dasar jasa dalam
arti pemenuhan janji Allah pada orang percaya.
76  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Pasal 5. Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah


Dicapai
40) Pemahaman akan ajaran tentang pembenaran yang
dijelaskan dalam Deklarasi ini menunjukkan bahwa di antara
Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu persesuaian akan
kebenaran dasar ajaran pembenaran. Perbedaan lainnya dari segi
bahasa dan penguraian teologis dan penekanan akan pemahaman
pembenaran seperti yang terdapat dalam alinea 18 hingga 39,
dapat diterima dilihat dari sudut pandang persesuaian ini. Oleh
karena itu, dilihat dari sudut persesuaian ini, penguraian lanjutan
dari Lutheran dan umat Katolik tentang ajaran pembenaran
terbuka satu sama lain di dalam perbedaannya dan tidak akan
menghancurkan persesuaian tentang kebenaran-kebenaran
dasariah.
41) Dengan demikian, kutukan-kutukan dari abad keenam­
belas, sejauh itu berkaitan dengan ajaran tentang pembenaran,
muncul dalam terang yang baru: ajaran Gereja-gereja Lutheran
yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di bawah
kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan dalam
Konfesi-konfesi Lutheran tidak dikenakan pada ajaran Gereja
Katolik Roma yang terdapat dalam Deklarasi ini.
42) Melalui itu, tidak ada yang disingkirkan dari kesungguh­
an kutukan-kutukan itu bila dihubungkan dengan ajaran pem­
benar­an. Beberapa darinya bukanlah tanpa alasan. Semuanya
itu bukannya tidak berlaku lagi, tetapi tetaplah merupakan
”peringatan tentang keselamatan” yang sebaiknya kita perhatikan
dalam ajaran dan perilaku kita.151
43) Kesepakatan kami dalam kebenaran dasariah akan
ajaran pembenaran seharusnya mempengaruhi hidup dan ajaran
Gereja-gereja kami dan juga tetap dipelihara. Dalam kaitan
dengan itu, memang masih terdapat perbedaan penekanan
yang membutuhkan penjelasan. Selain dari pokok-pokok yang
lain, termasuklah di dalamnya hubungan antara Firman Allah

151 ”Condemnations of the Reformation Era”, hlm. 27.


Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 77

dan ajaran Gereja, demikian juga ajaran Gereja tentang susunan


pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara
pembenaran dan etika sosial. Kami yakin bahwa kesepakatan
yang telah kami capai menyuguhkan dasar yang teguh untuk
penjelasan ini. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma
akan terus mengusahakan pendalaman pemahaman bersama
tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam hidup
dan ajaran Gereja.
44) Kami mengucapkan syukur pada Tuhan atas langkah maju
menuju usaha mengatasi keterpisahan Gereja. Kami memohon
Roh Kudus membimbing kami selanjutnya ke arah keesaan yang
terlihat, sesuai dengan kehendak Kristus.

2. Analisa Atas Teks Deklarasi Bersama

2.1 Struktur Teks


Teks asli dokumen Deklarasi Bersama ini ditulis dalam bahasa
Jerman yang berjudul Gemeinsame Erklärung zur Rechtfertigungslehre.
Dokumen ini dicetak oleh Verlag Otto Lembeck, Frankfurt am Main
1999. Dokumen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh The
Lutheran World Federation (LWF) dan The Pontificial Council for
Promoting Christian Unity 2000 yang dicetak oleh Wm. B. Eerdmans
Publishing Co., Grand Rapids, Michigan. Secara keseluruhan dokumen
Deklarasi Bersama berisikan 4 bagian, yaitu:
a. Kata pengantar (Preface),
b. Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran (Joint Declaration
on the Doctrine of Justification), dan Sumber-sumber untuk
Deklarasi Bersama tentang ajaran pembenaran (Sources for the
Joint Declaration of Justification),
c. Pernyataan Resmi Bersama (Official Common Statement), dan
d. Tambahan pada Pernyataan Resmi Bersama (Annex to the
Official Common Statement).

Khusus untuk bagian kedua, yakni Deklarasi Bersama tentang


ajaran pembenaran, terdiri dari:
a. Pembukaan (Preamble) butir 1-7,
78  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

b. Lima pasal konsensus, yaitu:


Pasal 1. Pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran (butir l8-
12);
Pasal 2. Ajaran pembenaran sebagai masalah ekumenis (butir
13);
Pasal 3. Pemahaman bersama atas pembenaran (butir 14-18);
Pasal 4. Pengembangan pemahaman bersama tentang pem­
benaran [terdiri dari tujuh pokok penjelasan] (butir
19-39); dan
Pasal 5. Makna dan cakupan dari kesepakatan yang telah
dicapai (butir 40-44).
c. Sumber-sumber untuk Deklarasi Bersama tentang ajaran
pembenaran (Sources for the Joint Declaration of Justification)

Dari struktur teks di atas dapat terlihat bahwa ada tiga ruang
khusus untuk pemahaman tentang ajaran pembenaran, yakni: satu
untuk pemberitaan alkitabiah, satu untuk pemahaman bersama
tentang pembenaran, dan satu untuk pengembangan pemahaman
bersama tentang pembenaran.
Pasal 1 butir 8 - 12 menyajikan ”pemberitaan alkitabiah tentang
pembenaran”. Kedua pihak memahami bahwa perumusan ajaran
pembenaran harus berlandaskan Alkitab, dan rumusan pemahaman
bersama itu harus merupakan pesan-pesan Alkitab. Dengan demikian,
pasal 1 ini diterima sebagai pemahaman bersama. Kemudian
pada pasal 2 dijelaskan bahwa ajaran pembenaran itu merupakan
permasalahan ekumenis. Selanjutnya bertolak dari pasal 1, kedua
pihak merumuskan pemahaman bersama tentang pembenaran
pada pasal 3 butir 14 - 18. Pasal 3 ini disepakati sebagai konsensus,
karena rumusan itu oleh kedua pihak masih mengandung perbedaan
pemahaman dan penafsiran. Maka untuk itu dalam pasal 4 masing-
masing pihak diberi ruang untuk menjelaskan pemahaman bersama
pada pasal 3 menurut penafsiran dan pemahaman masing-masing.
Untuk pokok-pokok penjelasan pada pasal 4, pihak Lutheran maupun
Katolik mencoba dalam paradigma baru melihat dan menafsirkan
ulang tradisi ajaran masing-masing. Dengan demikian dari ketiga
ruang khusus ini, pasal 1 diakui sebagai pemahaman bersama; pasal
3 sebagai konsensus bersama dan pasal 4 sebagai pokok-pokok
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 79

penjelasan terhadap pasal 3. Pasal 3 sebagai konsensus dapat diartikan


sebagai hasil kompromi atau joint, bisa diterima atau tidak. Dengan
demikian pasal 3 belum merupakan hasil pemahaman bersama, tetapi
merupakan kesepakatan bersama tentang arah ke mana pemahaman
yang sempurna harus dicari. Dengan demikian, dapat disimpulkan
pasal 3 dan 4 disebut sebagai konvergensi. Artinya, kesepakatan yang
menyatakan bahwa kedua pihak sedang berjalan menuju kepada
pemahaman bersama.152 Akhirnya, pasal 5 membicarakan makna
dan cukupan dari kesepakatan yang telah dicapai itu bagi Gereja
Protestan dan Katolik.

2.2 Analisa Teks


Analisa teks ini tidak akan menganalisa dokumen Deklarasi
Bersama secara keseluruhan. Namun analisa ini akan difokuskan
pada bagian kedua dokumen ini yakni Deklarasi Bersama tentang
ajaran pembenaran, khususnya bagian pembukaan dan lima pasal
konsensus, karena dalam bagian inilah isi konsensus-konsensus
Gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma dituangkan.

a. Pembukaan (Preamble) butir 1-7


Teks-teks dalam pembukaan ini memberikan gambaran sejarah
doktrin ajaran pembenaran itu dari zaman reformasi hingga di­
tandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama. Ada beberapa hal
yang menjadi penekanan dalam pembukaan ini. Pertama, teks
dalam pembukaan ini membentangkan sejarah ajaran pembenaran
dari zaman Reformasi Martin Luther yang mempertahankan ajaran
pembenaran sebagai ”pasal yang pertama dan terutama” dan sebagai
”pengemudi serta hakim terhadap seluruh ajaran Kristen lainnya”.
Ajaran pembenaran dinyatakan dan dipertahankan dalam rangka
menilai Gereja Katolik Roma dan teologi pada zaman itu; dan
pada saat yang sama Gereja Katolik Roma juga mempertegas dan
mempertahankan suatu ajaran tentang pembenaran dengan ciri yang
berbeda (DB 1-2).
Kedua, teks pembukaan ini menyebutkan adanya dokumen-
dokumen ajaran kedua belah pihak seperti Pengakuan-pengakuan

152 Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 110.
80  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Lutheran dan oleh putusan Konsili Trente yang diadakan Gereja


Katolik Roma yang merumuskan kutukan-kutukan. Isi dokumen-
dokumen kedua belah pihak tersebut masih berlaku hingga hari ini
dan berpengaruh pada terpisahnya kedua Gereja tersebut (DB 1-2).
Ketiga, teks ini membentangkan proses dialog-dialog yang di­
bangun oleh Lutheran dan Gereja Katolik Roma dalam rangka
mencapai sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran
itu. Dialog-dialog itu dimulai 1972 hingga 1994. Artinya, untuk me­
lahirkan sebuah pemahaman bersama tentang ajaran pembenaran
oleh iman dibutuhkan waktu lebih kurang 22 tahun. Perdebatan
teologis selama 22 tahun ini akhirnya memampukan Gereja untuk
meringkaskan hasil-hasil dialog tentang ajaran pembenaran itu,
sehingga Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik Roma dapat
memperoleh informasi tentang hasil-hasil menyeluruh dengan tepat
dan bijaksana, sehingga Gereja selanjutnya dimampukan untuk
mengutarakan pendapatnya tentang ajaran pembenaran itu (DB 3-4).
Perdebatan teologis ini sebenarnya bermula dari kebutuhan bersama,
artinya baik warga jemaat di arah bawah bukan hanya di Gereja-gereja
Barat tapi juga bagi seluruh umat Kristen di dunia ini, menginginkan
adanya suatu pemahaman-pemahaman yang dasariah tentang ajaran
pembenaran itu. Untuk mewujudnyatakan itu, maka para teolog di
kedua belah pihak melakukan serangkaian diskusi yang diwakili oleh
komisi dialog LWF dan Vatikan.
Keempat, teks ini menjelaskan kedua belah pihak bahwa: (a) pe­
nandatanganan dokumen ini atas dasar dialog-dialog Gereja Lutheran
dan Gereja Katolik Roma tentang pembenaran bersama oleh anugerah
Allah melalui iman akan Kristus; (b) dokumen ini tidak akan memuat
semua ajaran Gereja tentang pembenaran; tetapi mencakup suatu
persetujuan akan kebenaran dasar dari ajaran pembenaran dan
menununjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam hal
penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-kutukan
dogmatis; (c) dokumen ini bukanlah suatu penguraian yang baru dan
berdiri sendiri lepas dari laporan dan dokumen-dokumen dari dialog
yang lalu dan bukan juga merupakan penggantinya; (d) dokumen
ini tidak menganggap remeh kutukan-kutukan dan juga tidak me­
mungkiri masa lalunya. Sebaliknya, Deklarasi Bersama ini dibentuk oleh
keyakinan, bahwa Gereja kita mengalami perkembangan pandangan
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 81

dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi tidak hanya


memberi kemungkinan, tetapi juga menantang Gereja-gereja untuk
mengkaji kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini
membawa pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru
(DB 5-7).
Secara keseluruhan teks dalam butir 1 - 7 ini banyak dikutip dan
diambil dari naskah-naskah pihak Lutheran.153 Sementara naskah-
naskah Gereja Katolik Roma tidak banyak dikutip dalam ketujuh
butir ini.

b. Lima Pasal Konsensus


Dokumen ini berisikan lima pasal konsensus yang disepakati
oleh kedua belah pihak. Teks-teks yang diuraikan dalam lima pasal
konsensus ini adalah teks-teks yang disepakati bersama walaupun
di dalamnya terdapat teks-teks yang menunjukkan perbedaan
pemahaman di antara kedua belah pihak. Artinya lima pasal teks
konsensus ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Pasal 1. Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran (butir l8-


12)
Pasal satu ini terdiri dari lima butir teks yang menguraikan ajaran
pembenaran dari sudut pandang alkitabiah. Dalam kelima butir teks
ini dijelaskan pengertian ajaran pembenaran dari sudut Perjanjian
Lama, Perjanjian Baru, dan uraian-uraian Paulus tentang pembenaran
dalam surat-suratnya.
Harus diakui bahwa setiap Gereja memiliki cara pandang yang
berbeda tentang sebuah ajaran yang tertulis dalam Alkitab. Pandangan
Luther tentang pembenaran berdasarkan Alkitab sangat berbeda
de­ngan pandangan Gereja Katolik Roma tentang pembenaran itu
sendiri. Perbedaan pandangan inilah yang membuat kedua belah
pihak berseteru selama kurang lebih lima abad. Namun yang menarik
dalam teks ini adalah kedua belah pihak telah memiliki cara pandang
yang sama dalam mendengar firman Allah dalam Alkitab dan telah

153 Seperti naskah Pasal-pasal Smalkalden, II,1; ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum”
Edisi Weimar untuk Karya Luther (WA), 39, I ,205; Konfessi Augsburg dan Katekhismus Kecil
Martin Luther.
82  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

membimbing kedua belah pihak pada sudut pandang yang baru (DB
8).
Teks ini memberikan pemahaman tentang ajaran pembenaran
dari sudut pandang alkitabiah. Pembenaran adalah pengampunan
dosa, pembebasan dari kungkungan kuasa dosa dan kematian dan
dari kutukan karena Taurat. Pembenaran adalah penerimaan masuk
pada persekutuan dengan Allah yang sudah berlaku kini, namun
akan disempurnakan dalam Kerajaan Allah yang akan datang.
Pembenaran menyatukan kita dengan Kristus dan dengan kematian
serta kebangkitan-Nya (DB 11).
Seorang teolog Gereja Katolik Roma, Donald J. Sanborn154 mem­
berikan analisanya atas teks ini. Menurutnya, rahasia Kitab Suci adalah
milik Gereja Katolik Roma, yang dirahasiakan Allah pada siapa pun.
Hanya Gereja Katolik Roma-lah yang benar untuk menafsirkan dan
mengajarkan arti yang direncanakan Allah pada penulis Kitab Suci
itu. Kecenderungan analisa Sanborn ini terlampau mengutamakan
dan menekankan hasil-hasil Konsili Trente yang mengutuk seluruh
ajaran reformator. Sanborn menyimpulkan bahwa Deklarasi Bersama
merupakan sebuah keputusan yang sesat yang tidak sesuai dengan
ajaran Konsili Trente. Menurut penulis, analisa Sanborn ini sangat
dipengaruhi oleh isi dokumen Trente.155 Padahal dalam dokumen
Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (Dei Verbum) Konsili Vatikan
II Bab Enam pasal 23 menyebutkan bahwa para ahli Kitab Suci Katolik
dan ahli teologi lainnya dalam kerja sama yang erat harus berusaha
supaya mereka di bawah pengawasan Wewenang Mengajar yang suci
dan dengan upaya-upaya yang tepat menyelidiki dan menguraikan
Kitab Suci sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin pelayan
sabda Ilahi dengan hasil yang baik dapat menyajikan santapan

154 Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration on the Doctrine of
Justification”, yang diakses dari internet: http://www.traditionalmass.org/articles/article.
php?id=31&catname=15.
155 Keputusan Konsili Trente khususnya sesi keempat pada tanggal 8 April 1546 menyimpulkan
dan menetapkan keberatan-kebaratan terhadap posisi Protestan tentang Kitab Suci sebagai
berikut: (1) Kitab Suci tidak dapat dilihat sebagai satu-satunya sumber pernyataan, tradisi
merupakan suatu pelengkap yang vital. (2) Daftar kitab kanonis Protestan tidak mencukupi
dan menerbitkan satu daftar lengkap dari karya-karya yang diterima sebagai berwibawa. (3)
Edisi Vulgata dari Kitab Suci ditegaskan dapat diandalkan dan berwibawa. (4) Kewenangan
Gereja untuk menafsirkan Kitab Suci dipertahankan. (5) Tidak ada orang Katolik Roma yang
diizinkan untuk menerbitkan karya tulis apa pun yang berkenaan dengan penafsiran Kitab
Suci.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 83

Kitab Suci kepada Umat Allah, untuk menerangi budi, meneguhkan


kehendak, dan mengobarkan hati sesama untuk mengasihi Allah.156
Analisa Sanborn ini tidak mencerminkan isi Konsili Vatikan II yang
telah membuka pintu bagi pemahaman bersama tentang Kitab Suci.
Para teolog Katolik dan Lutheran telah bisa sama-sama memahami
Alkitab dari sudut pandang yang baru.

Pasal 2. Ajaran Pembenaran sebagai Masalah Ekumenis (butir


13)
Pasal dua adalah pasal terpendek dalam dokumen ini yang hanya
terdiri dari satu butir saja. Teks ini menjelaskan bahwa penyebab
utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad keenambelas adalah
tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap pemberitaan alkitabiah
tentang pembenaran yang mengakibatkan munculnya kutukan-
kutukan. Oleh karena itu, suatu pemahaman akan pembenaran
sangatlah mendasar dan tidak dapat ditawar-tawar untuk mengatasi
perpecahan ini. Ajaran pembenaran bukan lagi hanya persoalan
ajaran salah satu Gereja, melainkan sudah menjadi sebuah masalah
ekumenis, maka salah satu untuk mengatasi perbedaan ajaran ini
adalah melalui pendekatan dialog ekumenis. Pendekatan dialog
ini dikembangkan setelah Konsili Vatikan II. Buahnya terlihat
dalam keberhasilan Deklarasi Bersama ini untuk merumuskan suatu
kesepakatan akan kebenaran-kebenaran dasariah tentang ajaran
pembenaran. Dari sudut pandang kesepakatan ini, kutukan-kutukan
yang digunakan pada abad keenambelas, kini tidak lagi digunakan
pada kedua belah pihak (DB 13).

Pasal 3. Pemahaman Bersama atas Pembenaran (butir 14-18)


Pasal tiga terdiri dari lima butir konsensus. Kelima teks butir
konsensus ini banyak digali dari sumber ”All under One Christ”,
pernyataan atas Konfesi Augsburg oleh Komisi Bersama Gereja
Katolik Roma dan Lutheran, ”Growth in Agreement”, yang diedit
oleh Harding Meyer dan Lukas Vischer, ”The Condemnations of the
Reformation Era: Do They Still Divide?” (1990) selanjutnya dinamakan
dengan dokumen LV: E, ”Lutherans and Catholics in Dialogue”, VII

156 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 2004), hlm.
344.
84  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

(1985) selanjutnya dinamakan dengan dokumen USA, ”Position


Paper of the Joint Committee of the United Evangelical Lutheran Church of
Germany and the LWF German National Committee regarding the document
’The Condemnation of the Reformation Era: Do They Still Divide? dalam
Lehrverurteilungen im Gespräch, Göttingen (1993) selanjutnya dinamakan
dengan dokumen VELKD, dan dokumen ”Evaluation of the Pontifical
Council for Promoting Christian Unity of the Study ’Lehrverurteilungen
– kirchentrennend?’”, (1992) selanjutnya dinamakan dengan dokumen
PCPCU.157
Teks butir 14 digali dari dokumen LV:E 69 yang memuat butir-
butir kesepakatan antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran tentang
”dasar-dasar alkitabiah tentang pembenaran”.
Teks butir 15 digali dari dokumen USA nomor 160 yang memuat
banyak butir-butir kesepakatan antara Gereja Katolik Roma dan
Lutheran tentang ”pembenaran hanya oleh iman”.
Teks-teks dalam butir 17 dan 18 merupakan pengembangan
teks dialog tentang ”Pembenaran oleh Iman” yang tertuang dalam
dokumen USA nomor 146, 153. Juga teks ini digali dari dokumen
LV:E 69 dan PCPCU 96.

Pasal 4. Pengembangan Pemahaman Bersama tentang Pembenar­


an [terdiri dari tujuh pokok penjelasan] (butir 19-39)
Pasal empat ini merupakan pengembangan teks pasal tiga khusus­
nya pengembangan dari pendirian masing-masing pihak tentang
ajaran pembenaran itu. Teks-teks dikembangkan dan dijelaskan lagi
oleh kedua belah pihak dengan pemahaman-pemahaman masing-
masing. Pada teks ini kita akan menjumpai rumusan-rumusan
kata-kata seperti: ”Kami bersama-sama mengakui...” (We confess
together…); ”Menurut pandangan Katolik ….” (Catholics say…);
”Menurut pandangan Lutheran …” (Lutherans say...). Kata-kata ini
mau menunjukkan bahwa di dalam pengembangan teks pemahaman
bersama itu dijumpai dua pemahaman yang berbeda yang mau
dipahami secara bersama-sama.
Hal-hal yang dikembangkan kedua belah pihak dalam pasal
ini terdiri dari tujuh pengembangan dan penjelasan seperti: (1)

157 Joint Declaration, hlm. 27-30.


Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 85

ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan pem­


benaran [butir 19-21]; (2) pembenaran sebagai pengampunan dosa
dan membuat jadi benar [butir 22-24]; (3) pembenaran oleh iman dan
melalui anugerah [butir 25-27]; (4) orang berdosa yang dibenarkan
[butir 28-30]; (5) Taurat dan Injil [butir 31-33]; (6) kepastian keselamatan
[butir 34-36]; (7) perbuatan baik dari orang yang dibenarkan [butir
37-39].
Teks-teks ketujuh butir pengembangan dan penjelasan ini digali
dari dokumen-dokumen sebagai berikut:
(1) Teks ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan
pembenaran [butir 19-21] dikembangkan dari dokumen LVE:
42dyb, 46; VELKD 77-81, 83dyb.
(2) Teks pembenaran sebagai pengampunan dosa dan membuat
jadi benar [butir 22-24] dikembangkan dari dokumen USA
nomor 98-101; LVE: 47dyb; VELKD 84dyb.
(3) Teks pembenaran oleh iman dan melalui anugerah [butir 25-
27] dikembangkan dari dokumen USA nomor 105dyb, LVE:
49-53; VELKD 87-90.
(4) Teks orang berdosa yang dibenarkan [butir 28-30] dikembang­
kan dari dokumen USA nomor 102dyb, LVE: 44dyb; VELKD
81dyb.
(5) Teks Taurat dan Injil [butir 31-33] dikembangkan dari dokumen
VELKD 89, 28-36.
(6) Teks kepastian keselamatan [butir 34-36] dikembangkan dari
dokumen LVE: 53-56; VELKD 90dyb.
(7) Teks perbuatan baik dari orang yang dibenarkan [butir 37-39]
dikembangkan dari dokumen LVE: 66dyb; VELKD 90dyb

Ketujuh butir pengembangan dan penjelasan kedua belah pihak


ini selalu berisi tiga butir, yakni satu butir berisikan pengembangan
pemahaman bersama dan dua butir pengembangan dan penjelasan
kedua belah pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma.
Pasal empat ini merupakan pasal yang sangat penting, sebab di
dalam pasal ini pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama
membentangkan pemahamannya tentang ajaran pembenaran itu dari
sudut pandang masing-masing tanpa menyalahkan dan menghukum
ajaran kedua belah pihak yang saling berseberangan.
86  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Jika diamati teks-teks yang dimuat dalam pasal ini, maka akan
kita akan melihat bahwa kedua belah pihak benar-benar menggali
dan mendasarkan pengembangan dan penjelasan teks itu dari doku­
men-dokumen ajaran masing-masing.158 Artinya, dokumen-dokumen
ajaran ini digali dari ajaran atau teologi formal dengan memperhatikan
teologi-teologi lainnya yang hidup dalam Gereja-gereja Lutheran.

Pasal 5. Makna dan Cakupan dari Kesepakatan yang Telah


Dicapai (butir 40-44)
Pasal lima ini menguraikan makna dan cakupan dari kesepakatan
yang telah dicapai. Kesepakatan yang telah dicapai itu adalah:
pertama, bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik terdapat suatu
persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran. Walaupun
perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan
penekanan akan pemahaman pembenaran seperti yang terdapat
dalam alinea 18 hingga 39, dapat diterima dilihat dari sudut pandang
persesuaian ini dan tidak akan menghancurkan persesuaian tentang
kebenaran-kebenaran dasariah (DB 40). Kedua, ajaran Gereja- Gereja
Lutheran yang dihadirkan dalam pernyataan ini tidak berada di
bawah kutukan-kutukan dari Konsili Trente; kutukan-kutukan
dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak dikenakan pada ajaran Gereja
Katolik Roma yang terdapat dalam Deklarasi ini (DB 41). Ketiga,
kutukan-kutukan yang termaktub dalam ajaran kedua belah pihak
tidak dihapuskan, melainkan tetaplah merupakan ”peringatan
tentang keselamatan” yang sebaiknya diperhatikan dalam ajaran
dan perilaku sehari-hari (DB 42). Keempat, kesepakatan akan ajaran
pembenaran harus mempengaruhi hidup dan ajaran Gereja-gereja
kedua belah pihak dan juga tetap dipelihara. Gereja-gereja Lutheran
dan Gereja Katolik Roma akan terus mengusahakan pendalaman
pemahaman bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya
berbuah dalam hidup dan ajaran Gereja (DB 43). Kelima, kedua belah
pihak mengucapkan syukur pada Tuhan atas langkah maju menuju
usaha mengatasi keterpisahan Gereja dan memohon Roh Kudus

158 Lutheran menggali dan mengembangkan ajarannya dari sumber WA 8:106; Edisi Amerika
32: 227; Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion symbolorum; Apologi II. Katolik menggali dan
mengembangkan ajarannya dari sumber Dei Verbum (Vatikan II) 5.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 87

membimbing kedua belah pihak ke arah keesaan yang terlihat, sesuai


dengan kehendak Kristus (DB 44).
Teks Deklarasi Bersama bukanlah hadir begitu saja, melainkan
merupakan hasil diskusi, konsultasi dan dialog teologi yang berke­
sinambungan di antara Gereja- Gereja Lutheran dan Gereja Katolik
Roma. Teks-teks yang dimuat dalam dokumen Deklarasi ini merupakan
teks-teks pilihan yang mencoba memadukan dua pemahaman iman
yang berbeda agar bisa dipahami secara bersama.

2.3 Kesimpulan Analisa Teks Deklarasi Bersama


Dengan membaca teks dokumen Deklarasi Bersama dapat diambil
kesimpulan bahwa ditemukan adanya konsensus yang fundamental
yang berisikan perbedaan-perbedaan di bidang bahasa, elaborasi teo­
logi, dan penekanan-penekanan yang dapat memuaskan. Pengajaran
Lutheran yang dikemukakan di dalam dokumen ini tidak berada di
bawah penghukuman konsili Trente; dan pengajaran Katolik yang
dikemukakan di dalam dokumen ini juga tidak berada di dalam
penghukuman Luther (DB 40-41).
Jika memang teks dokumen ini tidak mengindikasikan lagi adanya
penghukuman, sekarang bagaimanakah sebenarnya penghukuman itu
dipandang dalam dokumen ini? Dalam dokumen ini, penghukuman
itu dipandang berguna bagi kita sebagai ”peringatan tentang kese­
lamatan” (‘salutary warnings’) yang sebaiknya diperhatikan dalam
ajaran dan pelaksanaannya (DB 42).
Teks-teks dalam dokumen Bersama ini masih menyisakan banyak
pertanyaan yang membutuhkan klarifikasi seperti: hubungan di antara
Firman Allah dan ajaran Gereja; eklesiologi / otoritas / pelayanan;
sakramen-sakramen; hubungan di antara pembenaran dan etika-etika
sosial (DB 43).
Pertanyaan-pertanyaan klarifikasi ini timbul dari kedua belah
pihak. Misalnya teks-teks yang masih perlu diklarifikasi adalah pada
pragraf 4.4 tentang ”orang berdosa yang dibenarkan”. Dari sudut
pandang Katolik judul ini menyebabkan sebuah kebingungan. Karena
orang benar dan orang berdosa seperti yang dijelaskan pada permulaan
butir 29 tidak dapat diterima pada saat yang sama. Pernyataan ini
bukanlah realis, tampaknya dicocokkan dengan pembaruan hidup
dan pengudusan dari manusia sebagaimana yang telah dibicarakan
88  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pada Konsili Trente. Artinya, kita dapat mengatakan bahwa ajaran ini
tidak menyentuh kutukan Trente.159
Kesulitan yang lain terlihat dalam butir 18 tentang ”pembenaran
sebagai kriteria” (justification as a criterion). Bagi Katolik, hal ini
secara organis diintegrasikan ke dalam kriteria yang mendasar dari
regula fidei, yakni pengakuan satu Allah di dalam tiga pribadi, yang
berpusat pada Kristologi dan berakar di dalam Gereja yang hidup
dan kehidupan sakramen itu sendiri.
Di samping pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya klarifikasi dari
dokumen ini, masih ada lagi pertanyaan yang bersifat pembahasan
yang lebih dalam lagi dari teks-teks dokumen ini. Misalnya, apakah
esensi alami dari pembenaran itu? (Lih. Rm 3: 19-28; 4: 4-8, 25; 5:
6-19; 8: 33; Bil 25: 1; 1 Raj 8: 32; Mzm 143: 2; Ams 17: 15; Yes 5: 23).
Lihat juga Za 3: 1-5, yang tidak menggunakan kata ”membenarkan”
(”justify”) namun menggunakan ungkapan ”menjauhkan kesalahan”.
Pembenaran, yang dimaksudkan Allah, bukan berarti menghitung
dosa seseorang, melainkan secara esensial sama dengan pengampunan
dosa (Mzm 32: 1-2; Rm 4: 1-13) dan rekonsiliasi (2 Kor 5: 14-21).
Bagaimana mungkin hal ini dapat membantu kita memahami
pembenaran lebih baik?160
Pertanyaan lain adalah: apakah anugerah keselamatan itu? (Lih.
Rm 3: 24; 4: 4; 11: 6; 2 Kor 8: 9; 2 Tim 1: 9; Ibr 2: 9; Tit 2:1 1; bdk.
dengan Yoh 3: 16). Apakah aturan pembenaran iman itu? (Lih. Kej 15:
6; Hab 2: 4; Yun 1: 12; Rm 3: 28; 4: 16; Gal 2: 16; Flp 3: 8-10). Apakah
kata Alkitab mengenai dosa yang tinggal bagi orang Kristen? (Lih.
Rm 7: 14-25; Gal 5: 16-21; Kol. 3: 5-11). Bagaimanakah seseorang yakin
akan keselamatannya? (Lih. 2 Kor 1:19–20; 1 Ptr. 1:3-5, 23; 1 Yoh 5:4-
13; Rm 8:28-39).161

159 William J. Cork, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, sebuah bahan ceramah yang
diakses dari www.wquercus.com/faith/JDDJ.ppt pada Kamis, 16 Oktober 2008 pukul 23.50.
160 The Lutheran Church Missouri Synod, The Joint Declaration on the Doctrine of Justification
in Confessional Lutheran Perspective: An Evaluation of the Lutheran-Roman Catholic ”Joint
Declaration on the Doctrine of Justification”, (St. Louis: The Lutheran Church Missouri
Synod, 1999), hlm. 11.
161 Ibid., hlm. 11-12.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 89

3. Eksegese terhadap Deklarasi Bersama

Dalam bagian ini kita akan mengeksegese teks dokumen Deklarasi


Bersama. Eksegese ini akan mencoba melihat apa makna dokumen
Deklarasi Bersama dalam perjalanan sejarah doktrin Gereja. Dokumen
Deklarasi Bersama ini tergolong sangat muda karena masih berumur
sepuluh tahun.162 Karena dokumen Deklarasi Bersama ini masih muda,
tentunya makna dari dokumen ini lebih menonjolkan masa sebelum
deklarasi ini ditandatangani. Artinya eksegese ini akan membahas
apa-apa yang terjadi di lingkungan Gereja Katolik Roma dan Lutheran
menyangkut pokok ajaran pembenaran oleh iman ini. Apakah ajaran
pembenaran ini diabaikan, diakui, dibelakangkan atau diajarkan
oleh Gereja Katolik Roma dan Lutheran dalam kehidupan bergereja?
Bahkan secara sederhana, apakah dampak dokumen ini bagi Gereja-
gereja Lutheran dan Katolik?163

3.1 Eksegese atas Pembukaan


Pembukaan dokumen Deklarasi Bersama menjelaskan bahwa ajaran
pembenaran dalam Gereja Lutheran adalah ajaran yang sangat penting
dan harus dipertahankan dalam rangka menilai Gereja Katolik Roma
dan teologi pada zaman itu. Itulah sebabnya ajaran ini sejak semula
menjadi bagian terpenting dalam dialog-dialog resmi antara Gereja
Lutheran dan Katolik.
Persoalan yang menonjol kemudian pada diskusi teologi antara
Gereja Katolik Roma dan Lutheran adalah mengenai sikap pasif atau
kooperatif manusia dalam keselamatannya. Martin Luther menga­

162 LWF sedang mempersiapkan perayaan 10 tahun penandatanganan Deklarasi Bersama tentang
Ajaran Pembenaran antara LWF dan Gereja Katolik Roma dengan tema ”Happiness”, artinya kita
akan merayakannya dalam semangat sukacita dalam menyambut berita akan pembenaran
hanya oleh iman itu. Dan dalam semangat ”happiness” itulah LWF menghimbau agar setiap
Gereja anggota melakukan perayaan 10 tahun penandatanganan deklarasi tersebut di tempat
masing-masing dengan Gereja Katolik Roma. Kegiatan ini melanjutkan perayaan 5 tahun
penandatanganan itu di Pematangsiantar melalui kerja sama antara STT - HKBP dengan
STFT Sinaksak di komplek STFT St. Yohanes Pematangsiantar, pada 30 Oktober 2004 yang
lalu.
163 Memang sudah ada beberapa karya tulis yang memberikan analisa terhadap dokumen DB
ini, antara lain: tulisan Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration on the
Doctrine of Justification.” Tetapi tulisan ini tidak digunakan pada sub bab 3.3 ini, karena hanya
menyatakan bahwa DB itu sesat, keliru, dan lain sebagainya, sehingga tidak menolong dalam
memahami dokumen DB. (Lih. Donald J. Sanborn, ”Critical Analysis of the Joint Declaration
on the Doctrine of Justification” yang diakses dari internet: http://www.traditionalmass.org/
articles/article.php?id=31&catname=15).
90  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

takan keselamatan diperoleh dengan sola fide, sedangkan Gereja


Katolik Roma menegaskan bahwa keselamatan itu terjadi dengan
fides, spes et charitas – iman, pengharapan, dan perbuatan baik.
Luther menekankan bahwa manusia tidak dapat berbuat baik untuk
keselamatannya, selain membiarkan anugerah Allah dianugerahkan
kepadanya secara penuh. Hal itu bukan berarti manusia tidak dapat
merespons perbuatan Allah sebagaimana dipahami Gereja Katolik
Roma. Akan tetapi menurut ajaran Gereja Katolik Roma justru respons
manusia secara pribadi itulah yang menunjukkan adanya sikap
kooperatif manusia dalam memperoleh keselamatannya. Pembukaan
Deklarasi Bersama ini secara jelas memaparkan apa yang terjadi di
antara kedua belah pihak.
Apakah yang mau disuarakan pembukaan dokumen Deklarasi
Bersama ini? Pertama, kedua belah pihak sama-sama menyadari
bahwa mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang ajaran
pembenaran oleh iman yang menyebabkan kedua belah pihak saling
mengutuk. Ajaran saling mengutuk bukanlah ajaran yang dikehendaki
oleh Yesus Kristus. Yesus sendiri berkata, ”Kasihilah sesamamu
ma­nusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39; bdk. 5: 44; Luk 6: 27,
35). Bahkan Paulus juga mengajak setiap orang yang percaya agar
mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita,
juga memberkati orang yang menganiaya kita, serta jangan mengutuk!
(bdk. Rm 12: 14). Gereja Katolik Roma dan Lutheran bukan berarti
menganggap remeh kutukan-kutukan itu dan juga tidak memungkiri
masa lalunya, tetapi kedua belah pihak terus-menerus akan mengkaji
kutukan-kutukan serta masalah-masalah yang selama ini membawa
pemisahan, dan melihatnya dari sudut pandang yang baru.
Kedua, Gereja Katolik Roma dan Lutheran sama-sama menyadari
bahwa perseteruan itu harus segera diakhiri dengan langkah-langkah
dialog-dialog ekumenis menuju pemahaman yang sama-sama di­
terima kedua belah pihak. Gereja Katolik Roma dan Lutheran
sama-sama sangat menyadari perlunya dialog ekumenis dalam
rangka membangun saling pengertian tentang pemahaman ajaran
yang berbeda dengan umat Kristen lainnya. Hal ini tertuang dalam
dokumen Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme Bab Dua
pasal 11:
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 91

Dalam dialog ekumenis, para teolog Katolik harus setia sepenuhnya


terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan
saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misteri-
misteri Ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih
sayang, dan kerendahan hati … Dengan demikian, akan terbukalah
jalan yang mendorong semua mitra dialog untuk berlomba-lomba
secara persaudaraan menuju pengertian yang semakin mendalam
tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya (Ef 3:8), serta
penampilannya yang makin gemilang.164

Ketiga, kedua belah pihak menyadari bahwa sudah sangat diper­


lukan sebuah pernyataan bersama untuk mengatasi masalah-masalah
yang menjadi perdebatan dan kutukan-kutukan pada masa lalu.
Pernyataan bersama adalah wujud yang nyata dari dialog-dialog
ekumenis yang dibangun di antara kedua belah pihak. Pernyataan
ber­sama tentang ajaran pembenaran oleh iman ini bukanlah yang
pertama dan terakhir dalam dialog-dialog ekumenis, namun per­
nyataan bersama tentang ajaran pembenaran ini merupakan langkah
awal untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan lainnya yang akan
tetap terus dikerjakan kedua belah pihak. Hal ini tertuang dalam isi
butir 7, yang mengatakan bahwa Gereja mengalami perkembangan
pandangan dalam perjalanan sejarah. Perkembangan yang terjadi
... juga menantang Gereja-gereja untuk mengkaji kutukan-kutukan
serta masalah-masalah yang selama ini membawa pemisahan, dan
melihatnya dari sudut pandang yang baru. Kata ’menantang’ berarti
Gereja Katolik Roma dan Lutheran tidak berhenti pada dialog-dialog
tentang ajaran pembenaran oleh iman ini saja, tetapi Gereja Katolik
Roma dan Lutheran akan terus mengkaji ajaran-ajaran lainnya yang
membuat kedua belah pihak saling mengutuk, misalnya ajaran
tentang sakramen-sakramen, jabatan gerejawi, liturgi dan lain
sebagainya. Gerakan pembaruan Gereja ini merupakan salah satu
semboyan Reformasi: ecclesia reformata sed semper reformanda (Gereja
yang dibarui harus terus-menerus dibarui). Hal senada tetuang
dalam dokumen Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme Bab
Dua pasal yang mengatakan bahwa Gereja dipanggil Kristus untuk
terus-menerus merombak dirinya … Maka, pembaruan itu mendapat

164 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 200.


92  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

makna ekumenis yang istimewa. Aneka bentuk kehidupan Gereja,


yang sudah mengalami pembaruan – misalnya, gerakan Kitab Suci
dan Liturgi, pewartaan sabda Allah dan katekese, kerasulan awam,
bentuk-bentuk baru hidup religius, spiritualitas perkawinan, ajaran
serta kegiatan Gereja di bidang sosial, – dapat dipandang sebagai
jaminan dan pertanda, bahwa di masa mendatang ekumenisme akan
berkembang dengan baik.165

3.2 Eksegese Pasal 1 mengenai Pemberitaan Alkitabiah tentang


Pembenaran
Setiap Gereja pasti mengakui dan meyakini bahwa seluruh ajaran-
ajarannya bersumber dari Alkitab. Lantas timbul pertanyaan, jika
Gereja-gereja mengklaim ajarannya berdasar atas Alkitab, mengapa
banyak timbul berbagai aliran di dalam dan sekitar Gereja? Jawaban
sederhana adalah akibat pemahaman dan penafsiran yang berbeda-
beda setiap Gereja atas isi Alkitab itu sendiri. Sepanjang perjalanan
sejarah Gereja terbentang dengan jelas bahwa sejak masa Gereja mula-
mula orang-orang percaya (baca: Kristen) sudah memiliki pemahaman
yang beraneka ragam tentang berbagai ajaran, seperti baptisan,
perjamuan kudus, pertobatan, keselamatan, zaman akhir, dan lain
sebagainya. Perbedaan pemahaman inilah yang akhirnya melahirkan
sekte dan denominasi di kalangan orang Kristen.166 Harus disadari
bahwa ajaran Gereja bisa jatuh pada ajaran yang menyimpang dari apa
yang tertulis di dalam Alkitab. Bahkan bisa juga ajaran Gereja yang
kebablasan. Artinya memakai isi Alkitab untuk meraup keuntungan
tertentu baik bagi Gereja, kelompok, maupun pribadi-pribadi. Karena
ajaran yang kebablasan itu, maka Martin Luther mengajarkan, Gereja
dan hidup kekristenan harus diperbarui dan dikembalikan pada
dasarnya Alkitab.
Dasar ajaran pembenaran setiap Gereja selalu diambil dari Alkitab.
Namun setiap Gereja akan memiliki penjelasan, tafsiran, dan kajian
yang berbeda-beda terhadap ajaran pembenaran secara alkitabiah.

165 Ibid., hlm. 197.


166 Bdk. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, hlm. 1. Pada Buku Data Statistik Keagamaan Kristen
Protestan 1992, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat [Kristen]
Protestan – Departemen Agama RI pada 1993, kita menemukan 275 organisasi Gereja Kristen
Protestan. Di samping itu ada 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 93

Bahkan penyebab mendasar dari timbulnya Reformasi adalah


perbedaan antara ajaran atau teologi dan praktik Gereja Katolik Roma
dengan ajaran Alkitab.167 Gereja Katolik Roma mempraktikkan ajaran
yang sangat menyimpang, misalnya tentang penghapusan dosa,
perolehan keselamatan, kekuasaan paus, otoritas Alkitab, dan lain-
lain. Reformasi Martin Luther meluruskan atau menjaga kemurnian
ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab. Luther melihat bahwa Gereja
Katolik Roma telah menyelewengkan atau paling tidak mengabaikan
pokok-pokok tertentu dari ajaran Alkitab. Itulah sebabnya reformasi
teologi Luther merupakan upaya back to the Bible, kembali ke ajaran
Alkitab.168
Dengan melihat praktik-praktik Gereja yang puncaknya pada
penjualan surat penghapusan dosa (aflat), Martin Luther menyusun
95 Dalil teologis dan menempelkannya di pintu Gereja Wittenberg
pada 31 Oktober 1517. Isi pokoknya meluruskan arti pertobatan yang
terus-menerus sepanjang kehidupan. Berdasarkan pertobatan itulah
Luther sekaligus menentang propaganda Tetzel tentang pembelian
surat aflat dan ajaran indulgensia.169
Ajaran pembenaran oleh iman merupakan ajaran Alkitab yang
sangat mendasar. Hanya dengan ’pembenaran oleh iman’ manusia
berdosa dapat diselamatkan (Rm 1: 17). Sebenarnya pernyataan
Luther ini bukanlah hal baru, karena sebelumnya ajaran ini sudah
diajarkan oleh Thomas Aquinas. Hanya, pernyataan ini tidak pernah
lagi diperdengarkan. Luther hanya menemukan kembali suara
alkitabiah ini melalui pergumulan pribadinya tentang keselamatan.
Pernyataan ’pembenaran oleh iman’ ditentang oleh para ’pejabat
Gereja’ yang pada waktu itu sedang giat-giatnya menjual surat
aflat170 (Latin, afflatoris: penghangusan; afflatus: tiupan; penguapan)
untuk memperoleh indulgensia, penghapusan dosa agar selamat

167 Ibid., hlm. 29.


168 Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP, 2007),
hlm. 186.
169 Timothy F. Full, Martin Luther’s Basic Theological Writings, (Minneapolis: Fortress Press, 1989),
hlm. 21-29.
170 Ibid. Tujuan sebenarnya dari penjualan surat aflat itu adalah mengumpulkan dana bagi
pembangunan gedung gereja raksasa (basilika) Santo Petrus di Roma, tetapi tujuan itu
dibungkus dengan ‘bahasa rohani’ yang berisi janji palsu sekaligus ancaman, seakan-akan
dengan membeli surat itu manusia akan lebih terjamin selamat. ”Pada saat uang gemerincing
di dalam peti, seketika itu juga jiwamu melompat dari api penyucian”, demikian bunyi salah
satu propaganda Tetzel dan kawan-kawan.
94  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pada purgatory – api penyiksaan. Indulgensia itu diperoleh melalui


pembelian surat aflat yang penyerahannya diberikan dengan
memb­aca tulisan yang ada di dalamnya: ego absolvo te, artinya: ’aku
mengampuni engkau’. Luther bermaksud agar penjualan surat aflat itu
segera dihentikan. Penempelan 95 Dalil pada 31 Oktober 1517 tidak
lepas dari tujuan itu.171
Di dalam dalil-dalilnya itu Luther menentang perkataan Tetzel,
bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa dan
memperdamaikan manusia dengan Allah, yang menimbulkan kesan
seakan-akan pengampunan dosa dan pendamaian dapat dibeli dengan
uang, tanpa penyesalan dan pertobatan, bahkan tanpa sakramen.
Sekaligus dengan itu Luther menegaskan bahwa penyesalan yang
sejati bukanlah perkara yang dapat seseorang bereskan dengan
memenuhi syarat yang ditentukan oleh imam setelah pengakuan
dosa. Bagi Luther penyesalan dan pertobatan itu berlangsung di
sepanjang hidup. Itulah makna dalilnya yang pertama yang berbunyi:
Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: ”Bertobatlah ...”, maka
yang dimaksudkan-Nya ialah bahwa seluruh kehidupan orang-orang percaya
haruslah merupakan pertobatan.172
Teologi ’pembenaran oleh iman’ turut mengubah total kehidupan
ekonomi dan status sosial para imam. Bahkan secara psikologis, ajaran
itu telah menghancurkan ’ketakutan’ rakyat yang diciptakan Gereja.
Pembenaran oleh iman dan hanya oleh iman, sola fide, diperoleh
bukan melalui usaha manusia atau melalui pembelian surat afflat,
melainkan hanya melali anugerah Allah, sola gratia. Sola fide dan
sola gratia telah membebaskan jiwa-jiwa yang selama ini terbelenggu
oleh harga secarik kertas, dan oleh bayang-bayang api yang bernyala-
nyala, ciptaan pejabat-pejabat Gereja semata-mata.

171 1 November 1517 adalah hari ulang tahun gereja Wittenberg. Raja Friedrich yang berkuasa di
Wittenberg berkeinginan untuk memperkenalkan kekayaan dan relikwi, benda-benda suci
yang dimilikinya yang disimpan dalam gereja Wittenberg. Untuk itu dia mengundang para
bangsawan, teolog, dan mahasiswa dari kerajaan lain untuk datang ke pesta ulang tahun
gereja itu, dan mereka diharapkan sudah hadir pada 31 Oktober 1517. Johann Tetzel, ketua
satgas penjualan surat aflat di Jerman juga hadir dan membuka depot surat aflat di kompleks
gereja. Pada saat itulah Luther menempelkan 95 Dalilnya di depan pintu gereja Wittenberg.
Luther meyakini hari itu adalah hari yang diberikan Tuhan baginya untuk bersaksi dan
mereformasi Gereja.
172 Jan S.Aritonang, Op.Cit., hlm. 29.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 95

Cara pandang memahami Alkitab dari sudut pandang masing-


masing ini berlangsung hampir lima abad lamanya. Gereja Katolik
Roma sangat kuat memegang pemahaman yang terkandung dalam
surat Paulus: ”Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar (Flp
2: 12). Sedangkan ajaran Lutheran (Protesan) selalu menekankan:
”Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1: 17), ”manusia dibenarkan
karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Rm 3:
28). Artinya, keselamatan bukanlah sebuah usaha (perbuatan baik)
manusia, melainkan hanya anugerah semata dari Allah. Bagi Luther,
perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik
tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa
membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang
yang telah dibenarkan oleh iman, sama seperti buah pohon yang
baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik (LW 35-
36).173 Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian
dalam keselamatan. Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari
keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan.174
Dokumen Deklarasi Bersama memberikan sebuah pemahaman
bersama di antara Gereja Katolik Roma dan Lutheran. Gereja Katolik
Roma dan Lutheran tidak saling mempertahankan cara pandang
masing-masing lagi akan ajaran pembenaran ini dari sudut pandang
alkitabiah. Cara pandang yang berbeda antara Lutheran dan Gereja
Katolik Roma tentang ajaran pembenaran berdasarkan Alkitab
akhirnya disadari oleh kedua belah pihak telah membawa pemisahan
(schisma) bagi Gereja. Sehingga melalui dialog-dialog dan konsultasi-
konsultasi yang panjang, akhirnya kedua belah pihak sepakat memiliki
cara yang sama dalam mendengar firman Allah dalam Alkitab dari
sudut pandang yang baru.
Pasal satu mengenai Pemberitaan Alkitabiah tentang Pembenaran
telah menyatukan kedua belah pihak untuk melihat ajaran pem­
benaran itu dari sudut alkitabiahnya. Kedua belah pihak sama-
sama memahami bahwa hidup yang dibenarkan oleh iman datang
dari firman Allah (Rm 10: 17), menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6)
dan dalam buah Roh (Gal 5: 22). Namun karena orang-orang yang

173 Luther’s Works, hlm.111.


174 Paul Enns, The Moody Handbook, hlm. 79.
96  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dibenarkan digoda dari dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan
keinginan-keinginan (Rm 8: 35-39; Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam
dosa (1 Yoh 1: 8, 10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji
Allah secara baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh 1: 9), mengambil
bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk hidup
dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah sebabnya
rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan: ”karena itu tetaplah
kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti
waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku
tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik
kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13).
Namun demikian berita sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak
ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus”
(Rm 8: 1), dan bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2: 20); dan
bahwa Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran
untuk hidup” (Rm 5: 18) (DB 12).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal satu memberikan
pemahaman bahwa pihak Lutheran dan Gereja Katolik Roma telah
memiliki cara pandang yang sama tentang ajaran pembenaran secara
alkitabiahnya. Hal ini akan berkembang juga untuk melihat ajaran
lainnya dari cara pandang yang sama secara alkitabiah.

3.3 Eksegese Pasal 2 mengenai Ajaran Pembenaran sebagai


Masalah Ekumenis
Pasal dua dokumen Deklarasi Bersama ini menjelaskan posisi
ajar­an pembenaran dalam Gereja Lutheran dan Gereja Katolik
Roma. Penyebab utama perpecahan dalam Gereja Barat pada abad
keenam­­belas adalah tafsiran dan penerapan yang berbeda terhadap
pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran. Itu jugalah yang meng­
akibatkan munculnya kutukan-kutukan.
Namun konflik dan perseteruan akibat ajaran pembenaran itu
harus diselesaikan dan diharapkan agar tidak berkelanjutan lagi.
Karena itu, kedua belah pihak membuka sebuah peluang untuk
sebuah konsensus. Ajaran pembenaran oleh iman ini menjadi jembatan
penyatuan antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma yang selama ini
berseteru. Kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa ajaran
pembenaran oleh iman perlu dibahas secara komprehensif agar
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 97

mencapai sebuah pemahan bersama. Pertikaian di antara Lutheran


dan Gereja Katolik Roma tentang ajaran pembenaran ini menjadi
sebuah peluang untuk sebuah konsensus di antara kedua kubu yang
saling mengutuk ini.
Kontroversi doktrin pembenaran antara dekrit konsili Trente
dengan Formula Konkord telah memposisikan kedua pihak Gereja
sebagai dua kelompok yang bertikai. Berdasarkan penjelasan pihak
Gereja Katolik Roma, paling tidak, Gereja Katolik Roma sepanjang
masih berada dalam pengaruh kuat konsili Trente hingga 1950-
an, memandang Gereja Reformasi sebagai heretical and schismatic,
orang yang sesat atau bidat yang telah dikutuk. Sebaliknya, Gereja
Reformasi, bahkan sejak protes Luther terhadap indulgensia 1517, juga
berdasarkan bunyi konfesi dalam Rumus Konkord tentang wibawa
Kitab Suci, tetap memandang Gereja Katolik Roma sebagai Gereja
yang telah menyimpang dari Alkitab.
Secara mengejutkan, Paus Yohanes XXIII pada 25 Januari 1959,
tiga bulan setelah ia terpilih menjadi sri paus, mengumumkan akan
memanggil konsili ekumenis baru.175 Ini benar-benar mengejutkan
karena konsili Vatikan I (1869-1870) telah memposisikan keputusan
paus sebagai tertinggi dalam mengajarkan iman dan akhlak; dan
bahkan menurut hukum Gereja tiada naik banding dan tidak perlu
memberi pertanggungjawaban kepada siapa pun di dunia ini. Artinya,
dari segi kekuasaannya, paus tidak memerlukan konsili-konsili untuk
mendukung maupun mengabsahkan pemberlakuan keputusannya
menyangkut iman dan moral. Tanner menyebutkan bahwa ada ba­
nyak perdebatan di antara para ahli menyangkut rencana sri paus itu.
Paus berbicara di tengah-tengah suasana demikian, bahwa ia ingin
membuka jendela Gereja untuk memasukkan udara segar; ia juga
mengatakan bahwa ada tiga tujuan utamanya dari konsili itu, yakni
menata urusan dalam Gereja secara lebih baik, memupuk persatuan
di antara orang kristiani, dan memajukan perdamaian di seluruh
dunia.176
Secara spektakuler babak baru pembaruan Gereja Katolik Roma
telah dimulai. Melalui Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik

175 Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja, hlm. 119.


176 Ibid.
98  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Roma telah tiba pada suatu semangat pembaruan Gereja. Menurut


Jacobs,177 tujuan pastoral konsili Vatikan II adalah pembaruan Gereja,
pewartaan Injil di seluruh dunia, dan dialog dengan dunia modern.
Dalam Dekrit konsili Vatikan II tentang ekumenisme (Unitatis
Redintegratio) Bab I pasal 3 mengenai ”hubungan antara saudara-
saudari yang terpisah dari Gereja Katolik Roma”, Gereja Refomasi
benar-benar diterima dengan status yang sama sekali baru, bukan
saja disebut secara tepat menyandang nama Kristen, bahkan diakui
selaku saudara-saudari di dalam Tuhan. Untuk lebih jelas, baiklah
dikutip bagian-bagian terpenting dari dekrit tersebut.
Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awal mula telah
timbul berbagai perpecahan … Dalam abad-abad sesudahnya timbullah
pertentangan-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaat-
jemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya
dengan Gereja Katolik, kadang-kadang bukannya tanpa kesalahan kedua
pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan diperbesarkan dalam
iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan
dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul
mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab
mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis dengan sah, berada
dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, sungguhpun tidak
secara sempurna … Ada banyak hambatan yang menghalangi persekutuan
gerejawi antara Gereja Katolik dengan mereka, baik perihal ajaran dan
ada kalanya juga dalam tata tertib, maupun mengenai tata susunan
Gereja. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan
itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam baptis dibenarkan
berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus. Oleh karena
itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat
pula … diakui selaku saudara-saudari dalam nama Tuhan… Akan tetapi
saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun
sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus
Kristus hendak dikaruniakan kepada mereka semua, yang dilahirkan-
Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu Tubuh, bagi
kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab Suci dan Tradisi
Gereja yang terhormat.178

Dekrit konsili Vatikan II ini secara konkret memacu Gereja


Katolik Roma untuk mempertemukan Gereja-gereja Kristen ke dalam

177 Tom Jacobs, Gereja Menurut Vatikan II, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 11-12.
178 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 191-192.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 99

persekutuan gerejawi. Diakui adanya hambatan-hambatan untuk


mewujudkan persekutuan itu. Khusus untuk persekutuan dengan
Gereja Reformasi misalnya, terutama hambatannya adalah masalah
yang memisahkan Gereja Katolik Roma dengan Gereja Reformasi
pada abad keenambelas yang lalu, seperti Kitab Suci dan tradisi
Gereja, rahmat dan pembenaran, Gereja dan Sakramen, dan lain-lain.
Doktrin Vatikan II secara terbuka melihat hambatan-hambatan itu,
lalu menyatakan bahwa umat Katolik harus mengadakan gerakan
ekumenis yang bertujuan untuk mengatasi hambatan-hambatan itu.
Bagaimana mengatasi hambatan-hambatan itu? Dalam Dekrit Vatikan
II bab I pasal 4 mengenai ”Ekumenisme” disebutkan:
Segenap umat Katolik diundang agar secara aktif berperanserta
dalam kegiatan ekumenis, yaitu segala kegiatan atau usaha-usaha yang
diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat Kristen.
Kegiatan-kegiatan dimaksud antara lain: (1) menghindarkan segala
kata-kata dan penilaian-penilaian serta tindakan-tindakan yang dapat
mempersukar hubungan dengan saudara-sudari yang terpisah; (2)
menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dengan umat Kristen dari
berbagai Gereja dan jemaat, dialog antara pakar yang kaya informasi,
yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara
lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan
jelas menyajikan corak cirinya; (3) menggalang kerja sama dengan
persekutuan-persekutuan itu dalam aneka usaha demi kesejahteraan
umum menurut tuntutan suara hati kristiani.179

Khusus butir (2), selanjutnya dijelaskan dalam dekrit Vatikan


II tentang ekumenisme Bab II pasal 9 mengenai ”Saling mengenal
sebagai saudara” sebagai berikut:
Sebagai saudara, maka umat Katolik dan suadara-saudari yang
terpisah harus saling mengenal dan saling mengerti akan posisi Gereja
masing-masing. Untuk mencapai itu, pertemuan-pertemuan akan banyak
membantu kedua pihak, terutama untuk membahas soal-soal teologis.
Dalam dialog masing-masing sebagai peserta yang sederajat.180

179 Ibid., hlm. 193. M. Purwatma, Gereja Katolik Indonesia Memandang ke Depan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), hlm. 7-8, mengistilahkan ketiga jenis dialog itu sebagai ”dialog kehidupan”,
”dialog iman”, dan ”dialog karya”.
180 Ibid., hlm. 199-200.
100  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Sekarang sudah jelas bahwa sejak 1960-an, Gereja Katolik Roma


telah membuka peluang ”dialog”, baik ‘dialog kehidupan’, ‘dialog
iman’, dan ‘dialog karya’, dengan Gereja Protestan. Bahkan Konsili
Vatikan II secara jelas mengindikasikan peluang itu sebagai reaksi
positif dari Gereja Katolik Roma untuk merangkul saudara-saudari
yang terpisah dengan penuh rasa hormat dan kasih ke dalam
persekutuan gerejawi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal dua Deklarasi
Bersama ini membuka sebuah peluang untuk dialog-dialog ekumenis
untuk mengatasi segala permasalahan yang terjadi di antara Gereja
Katolik Roma dan Lutheran untuk mencapai pemahaman bersama
yang membawa kedamaian di antara kedua belah pihak.
Apa yang mau disampaikan pasal dua ini bagi kita? Yang
mau disampaikan pasal ini adalah hentikan segala jenis kutukan-
kutukan. Kutukan akan semakin menjauhkan hubungan dengan
sesama manusia. Namun persaudaraan yang rukun akan membawa
keindahan dan kesukaan sebab sungguh, alangkah baiknya dan
indahnya, apabila kita diam bersama dengan rukun! (Mzm 133: 1-3).

3.4 Eksegese Pasal 3 mengenai Pemahaman Bersama atas


Pembenaran
Pasal tiga ini terdiri dari lima butir konsensus. Kelima butir
konsensus inilah yang menjadi batang tubuh dari dokumen Deklarasi
Bersama. Sebab dalam pasal inilah kedua belah pihak menuliskan
kesepakatan bersama atas dasar dengar-dengaran pada kabar gembira
yang diberitakan dalam Kitab Suci dan dengan percakapan teologis
yang memungkinkan adanya pemahaman bersama akan ajaran
pembenaran (DB 14).
Mengapa pasal tiga ini disebut sebagai batang tubuh dokumen
ini? Pertama, dalam pasal ini dimuat pernyataan bersama kedua belah
pihak. Dalam teks ini kita temukan tiga kali kalimat ”Kami bersama-
sama mengakui”.181 Apa yang diakui secara bersama-sama? Yang diakui
secara bersama-sama adalah: (a) kedua belah pihak secara bersama-
sama mengakui bahwa pembenaran adalah karya Allah Tritunggal;

181 Dalam bahasa Inggris teks ini dituliskan dalam tiga kalimat yang berbeda. Kalimat pertama
menyebutkan, ”In faith we together hold the conviction”; kalimat kedua menyebutkan,
”Together we confess”; dan kalimat ketiga menyebutkan, ”We also share the conviction”.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 101

(b) kedua belah pihak secara bersama-sama mengakui hanya oleh


anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan
karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh
Roh Kudus, yang memperbarui hati kita serta memampukan dan
memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik; (c) kedua belah
pihak secara bersama-sama mengakui bahwa pemberitaan ajaran
pembenaran mengarahkan kita pada jalan khusus menuju pusat
kesaksian Perjanjian Baru, yaitu karya keselamatan Allah dalam
Kristus (DB 15, 17).
Kedua, dalam pasal ini dimuat pendirian kedua belah pihak
tentang ajaran pembenaran itu yang kemudian dikembangkan pada
pasal keempat. Lutheran menekankan makna khusus dari ukuran
pembenaran, mereka tidak menolak keterkaitan dan makna dari
seluruh kebenaran-kebenaran iman. Kaum Katolik melihat dirinya
sendiri tunduk dari beberapa kriteria, mereka tidak menolak kegu­
naan yang khusus dari pesan pembenaran. Kaum Lutheran dan
Katolik mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengaku Kristus, yang
melampaui segalanya dipercaya sebagai satu-satunya Perantara (1
Tim 2: 5-6) yang melaluinya Allah dalam Roh Kudus memberikan
diri-Nya sendiri dan mencurahkan anugerah-Nya yang memberi
pembaruan (DB 18). Artinya, teks ini menjelaskan bahwa kedua
belah pihak tetap memiliki pemahaman yang berbeda tentang ajaran
pembenaran itu, tetapi kedua belah pihak bisa menerima perbedaan
pemahaman itu tanpa harus menyalahkan ajaran yang satu dengan
ajaran yang lainnya. Dengan kata lain teks ini mau menerangkan
bahwa kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat.
Akan tetapi patut digarisbawahi dalam pasal ini bahwa metodologi
yang ditempuh tidak menyembunyikan begitu saja perbedaan-
perbedaan doktrinal yang ada. Diawali dengan suatu rumusan kon­
sensus, posisi Lutheran maupun Gereja Katolik Roma lalu diberi
penjelasan yang mencoba menafsirkan ulang tradisi masing-masing.
Hal ini terlihat dalam konsensus ajaran pembenaran pada butir 15,
yang dirumuskan sebagai berikut:
Kami bersama-sama mengakui bahwa pembenaran adalah
karya Allah Tritunggal. Allah Bapa mengutus anak-Nya ke dunia ini
untuk menyelamatkan orang berdosa. Dasar dan syarat pembenaran
adalah inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus. Oleh karena itu
102  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pembenaran berarti bahwa Kristus sendiri adalah kebenaran kita; dan


kita mengambil bagian dengan kebenaran ini melalui Roh Kudus sesuai
dengan kehendak Bapa. Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh
anugerah, dalam iman akan karya penyelamatan Kristus dan bukan
karena perbuatan kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh
Kudus, yang memperbarui hati kita dan memampukan dan memanggil
kita untuk perbuatan-perbuatan baik.182

Rumusan yang jelas disusun dengan hati-hati ini menggemakan


nada khas Lutheran tentang ajaran pembenaran (”hanya oleh
anugerah”, ”dalam iman akan karya akan penyelamatan Kristus”,
”bukan karena perbuatan baik”). Namun, nada dasar ini dilengkapi
pula dengan nada-nada lain yang meskipun terkait erat, tidak dilihat
secara ketat sebagai bagian ajaran pembenaran versi Lutheran
(”menerima Roh Kudus”, ”memperbarui hati”, ”memanggil kita
untuk perbuatan-perbuatan baik”). Dalam bagian pengembangan
dan penjelasan (misalnya DB 22-24), perbedaan sudut pandang antara
Gereja Katolik Roma dan Lutheran diberi tempatnya masing-masing
tanpa menolak begitu saja posisi yang berbeda itu.
Kelihatannya rumusan ini sangat kompromistis. Rumusan diawali
dengan pernyataan khas alkitabiah, lalu disusul dengan kalimat khas
Lutheran (huruf tebal) dan selanjutnya ditutup dengan kalimat khas
Gereja Katolik Roma (huruf miring). Rumusan ini memuat ungkapan
yang sangat akrab di telinga Gereja Lutheran: ’hanya oleh anugerah
Allah’ (by grace alone, sola gratia), tetapi pasangan yang khas untuk
kata itu: ”hanya oleh iman” (by faith alone, sola fide) tidak ditemukan
di dalamnya dan kalimatnya disambung dengan kata ”dalam iman”.183
Justru yang kelihatan dalam rumusan ini adalah bahwa kalimat khas
Lutheran: ”hanya oleh anugerah Allah” diikuti secara ketat oleh
kalimat khas Gereja Katolik Roma: ”yang memperbarui hati kita dan
memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-perbuatan baik”. Dapat
dipahami bahwa Gereja Katolik Roma menerima hal pembenaran
hanya berdasarkan anugerah Allah, tetapi tidak menerima jika
pembenaran hanya oleh iman. Ini ternyata dirujuk dari dekrit Vatikan
II tentang Gereja bab V pasal 40: ”Sebab kepada semua diutus-Nya

182 Joint Declaration, hlm. 15, (huruf tebal dan miring merupakan tambahan).
183 Kata sola fide hanya ditemukan sekali, yakni dalam butir 26 atau pada butir 3 dalam pokok-
pokok penjelasan dari pihak Lutheran.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 103

Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi


Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal
budi dan dengan segenap tenaga mereka (Mrk 12:30) ... Para pengikut
Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka,
melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan
dalam Tuhan Yesus, dan dalam ’pembaptisan iman’ mereka sungguh-
sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi,
maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan rahmat Allah mereka
wajib mempertahankan dan menyempurnakan kesucian yang telah
mereka terima itu di dalam hidupnya”.184
Bertolak dari dekrit Vatikan II ini, tampak jelas perbedaan pe­
mahaman antara kedua pihak soal ”anugerah” dan ”iman”.

Anugerah
Luther tidak pernah mengartikan anugerah sebagai sesuatu yang
dicurahkan (gratia infusa) ke dalam jiwa oleh Roh Kudus untuk
menyembuhkannya dari dosa dan menguduskannya, pun tidak
pernah memahaminya sebagai suatu substansi adikodrati yang
dicurahkan oleh Roh Kudus ke dalam jiwa manusia supaya memu­
dahkan pendamaian.185 Tetapi Luther mengartikannya sebagai ”status
dinyatakan benar” oleh Allah, dan anugerah yang demikian mutlak
sebagai pemberian Allah secara cuma-cuma, artinya tidak ada andil
manusia dalam pembenaran dirinya. Anugerah yang demikian
diterima tanpa jasa apa pun dari manusia berdosa. Luther memahami
pembenaran itu sebagai status yang datang dari luar dirinya; sebaliknya
Gereja Katolik Roma memahami pembenaran itu sebagai sesuatu
yang diproses di dalam dirinya. Baik Luther maupun Gereja Katolik
memahami pembenaran hanya berdasarkan anugerah Allah. Gereja
Katolik memahami anugerah itu sebagai inisiatif perdana dari Allah
agar manusia dapat menjalani proses menjadi benar, tetapi dalam
menjalani proses menjadi benar, manusia sendiri mengusahakannya
dengan bantuan anugerah Allah. Jadi yang tidak diperoleh melalui
perbuatan atau jasa manusia adalah anugerah perdana atau panggilan
menjadi anak-anak Allah; sedangkan keselamatan merupakan hasil

184 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 128. Lih. Juga Adolf Heuken, Katekismus
Konsili Vatikan II, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1996), hlm. 86-87.
185 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, hlm. 113.
104  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

yang diperoleh dari kerja sama anugerah dengan kemampuan


manusia. Dengan demikian pembenaran dalam Gereja Katolik Roma
adalah hal menjadi.
Luther juga memahami anugerah sebagai inisiatif Allah, tetapi
bukan sekadar panggilan yang melayakkan manusia memasuki proses
menjadi benar, melainkan mengubah status manusia dari orang
ber­dosa menjadi orang yang dibenarkan. Dengan demikian Luther
cenderung memahami pembenaran sebagai perkara dinyatakan benar
oleh anugerah Allah daripada suatu proses menjadi benar.186 Luther
menekankan pembenaran secara forensik atau berdasarkan hak juridis
Allah sendiri. Maksudnya, Allah menyatakan manusia benar dengan
menghubungkan kebenaran Kristus atas manusia. Ada dua pengertian
benar. Pertama, benar dalam arti dinyatakan tidak bersalah. Kedua,
benar dalam arti telah menjalani atau menebus hukuman. Dalam
pengertian kedua ini, segala hukuman telah dipenuhi di dalam Yesus
Kristus. Pembenaran manusia telah berlangsung dalam pengertian
yang kedua ini, bahwa kebenaran Kristus-lah yang diperhitungkan
pada orang percaya oleh iman, sebagai dasar pembenaran.187 Dengan
kata lain, kebenaran yang menjadi dasar orang berdosa dibenarkan
adalah kebenaran yang diberikan kepadanya oleh Allah, bukan
kebenaran dari orang itu sendiri, maupun oleh usahanya sendiri. Jadi
pembenaran bukan berasal dari diri manusia, melainkan dari Allah.
Pembenaran adalah milik Kristus, dan akan dimiliki orang-orang
yang ada di dalam Kristus.188

Iman
Penggalan kalimat kedua dari ajaran Vatikan II berbunyi: ”...
dalam ’pembaptisan iman’ mereka sungguh-sungguh dijadikan anak-
anak Allah dan ikut serta dalam kodrati ilahi, maka sungguh menjadi
suci. Maka dengan bantuan rahmat Allah mereka wajib mempertahankan
dan menyempurnakan kesucian yang telah mereka terima itu di
dalam hidupnya.” Di sini iman dipahami sebagai sesuatu yang

186 Ibid., hlm. 147.


187 Millard J. Erickson, Christian Theology, (Grand Rapids-Michigan: Baker Book House, 1991),
hlm. 958.
188 Bdk. Gordon J. Spykman, Reformation Theology: A New Paradigm for doing Dogmatics, (Grand
Rapids-Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1992), hlm. 490, 494.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 105

bersumber dari pencurahan anugerah Allah, karena itu dipakai


istilah ’pembaptisan iman’. Baptisan harus selalu dipahami sebagai
sarana dan waktu di mana Allah mencurahkan substansi adikodrati-
Nya ke dalam jiwa manusia. Dalam hubungannya dengan iman,
dengan dicurahkan-Nya substansi adikodrati ke dalam jiwa manusia,
maka jiwa manusia dijadikan / menjadi bebas untuk menyerahkan
diri seutuhnya kepada Allah. Dan dalam keadaan penyerahan diri
secara total, manusia senantiasa dibantu oleh rahmat Allah untuk
menyempurnakan kesucian hidupnya, sehingga pada gilirannya
ia dinyatakan benar. Untuk lebih menjelaskan lagi, dalam dekrit
Vatikan II tentang Wahyu Ilahi bab I pasal 5 disebutkan: ”Kepada
Allah, yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan
’ketaatan iman’. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan
diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan ’kepatuhan
akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah’. Supaya
orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang
mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, dan
menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan
mempercayai kebenaran.”189 Hal mendasar yang harus dipahami
mengapa orang dapat beriman kepada Allah adalah bahwa iman
itu diadakan di dalam manusia berdasarkan rahmat Allah. Oleh
rahmat Allah, Roh Kudus dicurahkan ke dalam manusia, dan Roh
Kudus itu sendiri bekerja menggerakkan hati dan akal budi manusia
untuk mempercayai Allah dan menyerahkan dirinya secara penuh
kepada ketaatan melakukan hukum-hukum Allah. Secara sederhana
dapat diartikan: bukan dengan iman kita menerima anugerah, tetapi
anugerah menghasilkan iman; bukan dengan iman kita menerima
Roh Kudus, tetapi Roh Kudus yang menghasilkan iman, atau iman
adalah bagian dari buah Roh, sebagaimana dikatakan dalam dekrit
Vatikan II bahwa buah Roh adalah iman, harapan, dan cinta kasih190;
dan pada gilirannya bukan oleh iman kita dibenarkan, tetapi dengan
iman kita, kita menjalani proses menjadi benar, dan pembenaran itu
tetap sebagai hasil kerja sama antara anugerah Allah dengan ketaatan
manusia. Dalam pengertian ini, Gereja Katolik juga memahami iman

189 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 330.


190 Lih. Indeks Analitis Konsili Vatikan II tentang karunia-karunia Rohani dalam Ibid., hlm. 670.
106  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

sebagai dasar untuk pembenaran, tetapi pembenaran bukan ”hanya


oleh iman”. Boleh dipahami bahwa iman adalah pengantar (=dasar)
untuk mengejar keselamatan melalui amalan-amalan. Anugerah
membebaskan manusia dari dosa asalinya dan menempatkannya
ke dalam suatu proses untuk mengupayakan keselamatannya, dan
untuk meyakinkan seseorang bahwa ia ada di dalam proses itu, pun
untuk meyakinkan seseorang bahwa di dalam ”proses menjadi” itu
ia dibantu oleh anugerah Allah, itulah yang dimaksud Gereja Katolik
Roma dengan iman.
Lantas bagaimana pemahaman Lutheran soal iman sehingga
begitu kuat menekankan prinsip sola fide? Menurut Luther,191 ada
tiga pokok penting tentang iman yaitu: pertama, iman mempunyai
rujukan yang lebih pribadi / personal ketimbang yang murni
historis. Artinya iman bukanlah semata-mata pengetahuan historis.
Luther berpendapat bahwa iman yang puas dengan percaya pada
keandalan historis dari Injil bukanlah iman yang membenarkan.
Iman yang menyelamatkan menyangkut kepercayaan dan keyakinan
yang sungguh bahwa Kristus telah dilahirkan pro nobis, dilahirkan
untuk kita secara pribadi, dan telah menggenapi untuk kita pekerjaan
keselamatan itu. Kedua, iman menyangkut kepercayaan pada janji-
janji Allah. Artinya iman ini dengan memakai analogi kelautan adalah
iman ”kepasrahan” (fiducia). Maksudnya, iman bukanlah semata-
mata percaya bahwa ada sebuah kapal; iman berarti naik dan masuk
ke dalam kapal dan memasrahkan diri kepada kapal tersebut. Bagi
Luther, iman bukanlah sekedar hanya percaya bahwa sesuatu adalah
benar; iman berarti siap untuk bertindak atas dasar kepercayaan dan
menyandarkan diri padanya. Ketiga, iman mempersatukan orang
percaya dengan Kristus. Bagi Luther, iman bukanlah suatu jawaban
”ya” terhadap seperangkat ajaran yang abstrak. Iman adalah suatu
”cincin perkawinan” yang menunjuk pada komitmen bersama dan
kesatuan antara Kristus di dalam diri orang percaya. Lebih dalam
Luther berkata:
Aku telah sering berbicara tentang dua macam iman. Yang pertama
berbunyi seperti ini: engkau percaya bahwa Kristus adalah benar tokoh
yang dijelaskan dan diproklamasikan di dalam Injil, tetapi engkau tidak

191 Diacu dalam Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm.125-130.


Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 107

percaya bahwa Ia adalah sungguh-sungguh seorang yang diperuntukkan


bagimu ... Ini adalah iman yang berhubungan dengan Kristus, tetapi
bukan iman di dalam Kristus... Satu-satunya iman yang layak disebut
Kristen adalah: engkau percaya tanpa syarat bahwa bukan hanya untuk
Petrus dan orang-orang suci Kristus memberikan diri-Nya, tetapi juga
untuk engkau, engkau sendiri.192

Definisi iman dalam Apologi Konfesi Augsburg 1531 pasal


IV.48 adalah bahwa iman merupakan penerimaan yang bulat akan
pemberian janji Allah tentang pengampunan dosa dan pembenaran.
Jadi iman bukan pengetahuan bahwa oleh anugerah Allah manusia
dilayakkan untuk mengupayakan keselamatannya, tetapi memiliki
iman berarti mengingini dan menerima pemberian janji tentang
pengampunan dosa dan pembenaran.193 Untuk lebih jelasnya, pasal
IV. 49 menggolongkan pemahaman iman Gereja Katolik Roma sebagai
ibadah hukum; sedangkan pemahaman iman Lutheran sebagai
ibadah Injili. Apa perbedaan kedua jenis ibadah itu? Adalah gampang
menentukan perbedaan antara pembenaran oleh iman dengan
kebenaran oleh hukum Taurat. Iman adalah ibadah yang menerima
berkat yang diberikan Allah, yaitu Injil; tetapi hukum Taurat adalah
ibadah yang menawarkan jasa-jasa kita sendiri kepada Allah.194 Luther
dengan menggunakan analogi kelautan menggambarkan keselamatan
itu sama seperti menyeberangi lautan. Iman bukanlah sekedar percaya
bahwa sesuatu adalah benar; iman berarti siap untuk bertindak atas
dasar kepercayaan itu dan menyandarkan diri padanya. Iman adalah
kepasrahan meletakkan kepercayaan kita ke dalam janji-janji Allah,
dan percaya sepenuhnya bahwa dalam integritas dan kesetiaan Allah
akan janji-janji-Nya, maka Allah menyatakan janji-janji-Nya kepada
kita.195
Dari penjelasan di atas posisi pemahaman kedua belah pihak
menjadi jelas. Gereja Katolik Roma memahami anugerah itu datang
dari Allah kepada manusia, sebaliknya iman dipahami datang dari
pihak manusia kepada Allah, sehingga iman selalu dipahami tidak
berdiri sendiri, tetapi selalu harus dinyatakan dalam perbuatan

192 Ibid., hlm.126.


193 Apologi Konfesi Augburg IV.48, Buku Konkord, hlm. 113.
194 Ibid.
195 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm.126-127.
108  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dan upaya dari orang beriman itu. Selain itu, iman, perbuatan
baik, dan pembaruan hidup senantiasa dibutuhkan untuk dapat
menerima anugerah Allah, supaya dengan anugerah itu ia ditolong
menjalani proses menjadi benar di hadapan Allah. Sebab pembenaran
merupakan perubahan status dari orang berdosa menjadi anak
Allah yang meliputi juga transformasi hidup batin oleh Roh Kudus.
Sebaliknya, Luther memahami keselamatan hanya oleh anugerah
Allah dan hanya oleh iman, manusia pasif dan tidak mempunyai
andil apa-apa, kecuali hanya oleh pengasihan Allah semata. Oleh
karena itu sekalipun keadaan manusia masih berada dalam status
berdosa, ia dapat menerima anugerah Allah tersebut. Itulah makna
perkataan yang diungkapkan Luther: simul iustus et peccator.
Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama memahami
bahwa pembenaran diterima hanya dengan anugerah Allah saja,
perbedaannya adalah cara menyikapi pemberian Allah itu. Lutheran
memahami bahwa berkenaan dengan pembenaran manusia, maka
manusia tidak punya andil apa-apa (pembenaran pasif) kecuali hanya
oleh anugerah Allah saja. Tampak bahwa soteriologi Luther bersifat
antropo-teologi yang pesimis. Sebaliknya, soteriologi Gereja Katolik
Roma bersifat antropo-teologi yang optimis, memandang bahwa
dengan bantuan anugerah Allah, kondisi dan kemampuan manusia
dapat beker jasama dengan anugerah Allah untuk keselamatan
manusia itu. Dalam kerja sama itu manusia sebagai orang percaya
harus tanggap atau responsif terhadap anugerah Allah. Respons dan
tanggapan itu bukanlah suatu karya keselamatan dari pihak manusia,
melainkan sebagai sikap kooperatif dari tindakan penyelamatan yang
diperbuat Allah atas dirinya.

3.5 Eksegese Pasal 4 mengenai Pengembangan Pemahaman


Bersama tentang Pembenaran
Bagian ini akan mengeksegese tujuh pokok pengembangan
pemahaman bersama tentang pembenaran.

1) Ketidakberdayaan manusia dan dosa dalam kaitan dengan Pembenaran


Setiap orang, dalam rangka keselamatannya, tergantung sepenuh­
nya pada anugerah penyelamatan Allah. Sebagai orang berdosa,
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 109

kita tidak dapat dan tidak mampu untuk berbalik pada Allah untuk
memperoleh kelepasannya.
Menurut Katolik, seseorang ”turut bekerja sama” (cooperating)
dalam mempersiapkan dan menerima pembenaran melalui per­
setujuannya akan karya Allah yang membenarkan, sebagai akibat dari
anugerah, bukan sebagai tindakan yang muncul dari kemampuan
batin manusiawi (DB 20). Artinya, pembenaran itu merupakan
tindakan yang bersumber dari Allah dan manusia. Pembenaran
mendasar suatu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia.
Pembenaran terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan
percaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat
dan bahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus,
yang mendahului persetujuan kita dan menopangnya.196
Kalau Allah menjamah hati manusia melalui terang Roh Kudus,
maka manusia di satu pihak bukan tidak aktif sama sekali, karena ia
menerima ilham yang dapat ia tolak juga; di lain pihak ia tidak dapat
mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke
dalam keadilan di hadapan Allah” (Konsili Trente: DS 1525).197

Menurut Lutheran, manusia tidak mampu untuk turut meng­


usahakan keselamatannya, dan setiap orang percaya sepenuhnya
terlibat secara pribadi dan tidak dapat menolak pekerjaan anugerah
(DB 21). Artinya, manusia hanya dapat menerima (secara pasif)
pembenaran, dan tidak ada kemungkinan manusia untuk turut serta
membantu usaha pembenarannya. Pembenaran itu seutuhnya berasal
dari luar manusia itu sendiri.
Barth melihat pembenaran manusia sebagai sebuah sejarah
yang secara esensinya terjadi oleh karena orang asing – di dalam
Yesus Kristus.198 Pembenaran manusia adalah penghakiman Allah.
Keadilan Allah datang dari keadilan Allah yang disempurnakan
dalam kematian Kristus di kayu salib dan di dalam kebangkitan-
Nya. Manusia memiliki dual orientation. Manusia diproses dari
ketidakadilan dan kematiannya menuju keadilan dan hidup. Manusia
memiliki pembebasan ilahi, bahwa manusia dapat diproses dari sana

196 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 487.


197 Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the Christian
Tradition, vol. II (London: Yale University Press, 2003), hlm. 828.
198 Hans Kűng, Justification, hlm. 61.
110  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

ke sini: ”Dia menjadi manusia yang dalam setiap saat memiliki dua
kehidupan yakni masa lalu dan masa depan; salah satunya adalah
masa lalu, dan yang satu lagi masa depan; di satu sisi berada di
dalam dirinya, di sisi lain sebagai janji di hadapannya …”199
Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai kebenaran di dalam
diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri
mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang
mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. ”Kebenaran
yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa
kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar
mereka. Hal itu dinyatakan, tidak ditanamkan; eksternal, bukan
internal. Trente dengan kuat mempertahankan ide Augustinus tentang
pembenaran atas dasar suatu kebenaran internal. Trente menyatakan
bahwa alasan yang langsung dari pembenaran adalah kebenaran yang
oleh Allah dengan kemurahan-Nya ditanamkan ke dalam kita.200
Dalam ajaran Lutheran, manusia, dengan perbuatan sebaik apa
pun, tidak dapat berkenan kepada Allah, karena secara total (totus
homo) telah rusak oleh dosa asali, ”semua manusia penuh nafsu
dan kecenderungan yang jahat sejak dalam kandungan ibunya dan
pada hakikatnya tidak mampu memiliki rasa takut dan iman sejati
kepada Allah” (Konf. Augsburg, II.1). Dalam pengakuan yang sama
juga ditegaskan, nafsu (concupiscentia) akibat dosa bawaan itu benar-
benar dimengerti sebagai dosa (II.2). Manusia yang telah dibenarkan
pun masih harus berhadapan dengan keadaan dirinya yang berdosa
sepanjang hidupnya. Dalam kaitan ini, kita mengingat kembali ucapan
Luther yang terkenal: simul iustus et peccator. Dalam pandangannya
sendiri dan dalam kenyataannya, orang yang dibenarkan sadar akan
dosa-dosanya, tetapi oleh iman akan kebenaran Kristus, di hadapan
Allah mereka dilihat sebagai orang benar.201 Di sini juga kedudukan
hukum Taurat menjadi jelas kaintannya dalam pembenaran diri
manusia, yakni mendakwa manusia sebagai orang berdosa, sehingga

199 Ibid., hlm. 63.


200 Alister E. McGrath, Op.Cit, hlm.149.
201 Ibid., hlm. 138-139. Luther menafsirkan Roma 4: 7 sebagai dasar pembenaran. Luther berkata,
”Orang-orang suci adalah tetap orang-orang berdosa dalam pandangan mereka sendiri dan
karena itu selalu dibenarkan dari luar. Tetapi orang-orang munafik selalu benar di dalam
pemandangan mereka sendiri dan dengan demikian tetap menjadi orang berdosa dari
luar.”
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 111

ia harus berpaling pada rahmat Allah (DB 32). Kita dapat melihat
betapa soteriologi Lutheran sangat dipengaruhi antropo-teologis
yang pesimis tersebut.
Berbeda dengan ajaran Lutheran, ajaran Gereja Katolik Roma
lebih optimistis tentang kondisi dan kemampuan manusia yang oleh
bantuan anugerah Allah dapat bekerja sama untuk keselamatannya.
Yang tidak dapat diperoleh sebagai jasa, menurut Gereja Katolik
Roma, adalah anugerah perdana berupa pengampunan dosa. Lagi-
lagi kontras dengan ajaran Lutheran, ajaran Gereja Katolik Roma me­
ne­gaskan hilangnya dosa asali melalui baptisan, sementara concupi­
scentia tidak dilihat sebagai dosa dalam arti sesungguhnya. (DB 30).

2) Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat Jadi Benar


Allah mengampuni dosa melalui anugerah dan pada saat yang
sama membebaskan manusia dari kuasa dosa yang selama ini
memperbudak manusia dan memberikan anugerah hidup baru dalam
Kristus. Secara sederhana teks ini dipahami Gereja Lutheran, hanya
di dalam kesatuan dengan Kristuslah hidup manusia diperbarui (DB
23). Gereja Katolik Roma menekankan bahwa anugerah pengampunan
Allah selalu membawa anugerah hidup baru, yang di dalam Roh
Kudus menjadi nyata dalam karya kasih (DB 24).
Teks Deklarasi Bersama ini tidak bisa bersih dari perdebatan di
antara dokumen Augsburg dan Konsili Trente. Bagi Lutheran,
pembenaran adalah hal yang forensik secara mendasar, yakni Allah
menyatakan orang berdosa dibenarkan di dalam Kristus Yesus.
Sedangkan Gereja Katolik Roma mendefinisikan pembenaran sebagai
transformasi internal dari orang percaya, sebuah ”proses” menjadi
benar. Gereja Katolik Roma mengerti bahwa anugerah adalah sebuah
substansi gratia infusa, yang dicurahkan ke dalam jiwa melalui
baptisan. Lutheran dan Paulus melihat anugerah pembenaran sebagai
favor Dei, anugerah Allah yang menerima orang berdosa.
Judul butir ”Pembenaran sebagai Pengampunan Dosa dan Membuat
Jadi Benar” harus dimengerti dari sudut pandang Lutheran. Butir
72 dari Apologi IV sangat jelas menyebutkan: ”’Dibenarkan’ berarti
membuat orang yang tidak benar menjadi benar atau melahirkan
112  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

mereka kembali, sekaligus dinyatakan atau dianggap benar”.202


Bahkan Formula Konkord secara jelas menolak pandangan bahwa
kebenaran oleh iman di hadapan Allah terdiri dari dua bahagian,
yakni pengampunan dosa dan, sebagai unsur yang kedua, pembaruan
atau pengudusan.203 Dalam Katekismus Gereja Katolik: ”Pembenaran
termasuk pengampunan dosa, pengudusan, dan pembaruan hidup
orang berdosa”.204
Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik Roma sama-sama
menggunakan istilah ”pembenaran” tetapi memberinya makna yang
berbeda. Kita berhadapan dengan masalah semantis-eksegetis dalam
hal ini. Ajaran Gereja Katolik, seperti yang diformulasikan oleh dekrit
Trente (pasal 4 dan 7) dan masih dipegang dalam Katekismus Gereja
Katolik, mengartikan pembenaran sebagai perubahan status dari
orang berdosa menjadi anak Allah yang meliputi juga transformasi
hidup batin oleh Roh Kudus. Ajaran ini berakar pada pandangan
Augustinus yang mengartikan ”pembenaran” sebagai peristiwa
”dinyatakan benar” dan proses ”dibuat benar”.205 Pandangan Luther
sendiri pada awalnya mencerminkan pandangan Augustinus ini,
misalnya dalam kuliahnya mengenai surat Roma (1515-1516).206 Baru
kemudian, Luther memperlihatkan pemahaman forensik mengenai
ajaran pembenaran, yakni bahwa orang berdosa divonis benar oleh
Allah. Rumusan kesepakatan, misalnya mengartikan ”dibenarkan”
dalam arti ”dinyatakan benar dan bebas dari dosa ... berdasarkan
kebenaran Kristus yang diperhitungkan Allah”.
Ajaran Gereja Katolik lebih mencerminkan pemahaman nuansa
kausatif dari kata Latin iustificare, ”membuat benar” (iustum facere).
Dalam pandangan Lutheran, seperti yang terlihat dari acuan Roma
3: 21-28; 4: 5, istilah Yunani dikaioun diartikan ”memperhitungkan”
(imputare). Tampaknya, tekanan Luther mengenai pembenaran
melulu sebagai status yang dianugerahkan hendak menggarisbawahi
bahwa tidak ada andil manusia dalam pembenaran dirinya. Status
yang diterima benar-benar adalah iustitia Christi, ”status benarnya

202 Apologi IV, 72, dalam Buku Konkord, hlm. 116.


203 Formula Konkord, dalam Ibid., hlm. 770.
204 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 486-487.
205 Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, hlm. 141.
206 Ibid., hlm. 147.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 113

Kristus” dan, karena itu, tetap merupakan status benar yang asing
(DB 23-24).

3) Pembenaran oleh Iman dan melalui Anugerah


Kami percaya pada janji anugerah Allah oleh iman, yang bekerja
melalui pengharapan dan kasih. Tetapi perbuatan baik tidak akan
pernah menjadi dasar pembenaran dan tidak pernah dapat diusahakan.
Secara sederhana teks ini dipahami Gereja Lutheran, Allah sendirilah
yang menyebabkan munculnya iman. ”Hanya oleh iman” membuat
pembedaan tetapi bukan pemisahan di antara pembenaran dan
pembaruan hidup baru. Karena pembaruan dipersatukan di dalam
Kristus, yang hadir dalam iman (DB 26). Bagi Gereja Katolik, iman,
pengharapan, dan kasih bersatu dan merupakan pemberian. Anugerah
yang membenarkan itu tidak pernah menjadi milik manusia untuk
digunakan membela dirinya di hadapan Allah. Pembenaran adalah
pengampunan dan dibuat menjadi benar (DB 27).
Setelah melalui diskusi yang intens, utusan LWF Jerman
mengusulkan bahwa butir pembenaran disebut ”sebagai ukuran”
(kriterion) yang secara terus-menerus melayani seluruh orientasi
pengajaran dan praktiknya di Gereja Kristus.207 Perubahan ini telah
diterima secara resmi pada versi Juni 1996 Deklarasi Bersama, tetapi
kemudian diveto oleh Roman Sacred Congregation for Doctrine of the
Faith. Sebagaimana masukan Jüngel, Kardinal Ratzinger membenarkan
Kardinal Cassidy untuk mempengaruhi bahwa Pontifical Council
for Promoting Christian Unity hanya boleh mengakui bahwa ”…
ajaran pembenaran adalah sebuah ukuran yang sangat dibutuhkan”
(an indispensable criterion). Penambahan kata ”sebuah” pada pem­
benaran, mengakibatkan penurunan maksud dari posisinya yang
unik, yang mengatasi ukuran di antara yang lainnya. Gereja Katolik
Roma menambahkan bahwa mereka ”melihat dirinya sendiri
sebagai pengikat banyak ukuran”. Intervensi Jemaat Suci Roma

207 Lih. The Lutheran Church—Missouri Synod, The Joint Declaration on the Doctrine of
Justification in Confessional Lutheran Perspective: An Evaluation of the Lutheran-Roman
Catholic ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”, (Missouri: The Lutheran
Church—Missouri Synod, 1999), hlm. 16 yang mengutip pendapat Eberhard Jüngel, ”Um
Gottes willen—Klarheit! Kritische Bemerkungen zur Verharmlosung der kriteriologischen
Funktion des Rechtfertigungsartikels-aus Anlass einer—ökumenischen ‘Gemein­samen
Erklarung zur Rechtfertigungslehre,’” Zeitschrift für Theologie und Kirche 94 (1997): 394–
406.
114  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

bagi Ajaran Iman memberi isyarat bahwa Vatikan merencanakan


jaminan penundaan untuk teks akhir. Namun isyarat ini akhirnya
termentahkan karena pihak Gereja Katolik tetap memberikan teks
akhir untuk disetujui dan ditandatanganni bersama. Pihak Gereja
Katolik memahami bahwa iman sebagai suatu yang mendasar dalam
pembenaran. Sebab tanpa iman tidak akan terdapat pembenaran.
Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran Allah
melalui iman akan Yesus Kristus.208
Pernyataan Katolik dalam butir 27 mau menjelaskan ajaran
tra­disional Katolik, yaitu bahwa iman, pengharapan, dan kasih
dimasukkan ke dalam pribadi seseorang pada saat pembenaran, tetapi
butir 27 bukan menyatakan bahwa masuknya iman, pengharapan,
dan kasih dapat digambarkan dengan perkataan ”hanya iman”.
Pernyataan Lutheran pada butir 26 yang mengatakan ”hanya iman”
tidak pernah dihubungkan dengan ajaran Katolik tentang iman,
pengharapan, dan kasih yang dimasukkan kepada seseorang pada
saat pembenaran. Ajaran Lutheran dan Katolik menjadi sangat dekat
di dalam pernyataan, ”Dengan demikian dasar ditunjukkan, yang
darinya hidup yang diperbarui muncul; dasar itu keluar dari kasih
Allah yang dianugerahkan pada orang yang dibenarkan.”
Berkaitan dengan anugerah, kembali kita menghadapi persoalan
semantik. Ajaran Lutheran dan Gereja Katolik mengartikannya
dengan muatan masing-masing. Di satu sisi, pandangan Lutheran
mengartikan gratia sebagai favor Dei yang diterima tanpa jasa apa
pun dari manusia berdosa. Inilah posisi yang dipertahankan
Augustinus dalam menghadapi ajaran Pelagius.209 Anugerah tidak
per­nah dimengerti sebagai sesuatu yang dicurahkan (gratia infusa) ke
dalam jiwa oleh Roh Kudus untuk menyembuhkannya dari dosa dan
menguduskannya.
Posisi Lutheran mengenai ”iman” dengan kualifikasi yang tegas
”hanya oleh iman” (sola fide) dengan jelas telah diperlunak dalam
Deklarasi Bersama ini. Posisi yang sangat khas ini bahkan mendorong
Luther menambahkan kata ”allein” (bukan) pada terjemahan PB-
nya, misalnya dalam Roma 3: 28, kata yang masih dipertahankan

208 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 487.


209 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 92-93, 113.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 115

dalam edisi revisi yang terakhir (1984): Karena kami yakin, bahwa
manusia dibenarkan karena iman, dan bukan210 karena ia melakukan
hukum Taurat. Posisi ini kembali berkaitan dengan keyakinan
bahwa berkenaan dengan pembenaran dirinya, manusia tidak punya
andil apa-apa (pembenaran pasif - DB 21). Dapat dimengerti jika
kecenderungan saling menyalahkan ajaran lawan dalam polemik
pada masa reformasi mengakibatkan munculnya kanon 9 dari
konsili Trente yang memberi anathema, kutukan terhadap pandangan
ini. Namun, seperti yang juga diluruskan dalam Deklarasi Bersama,
ajaran Lutheran sebenarnya tidak mengabaikan perbuatan baik yang
merupakan buah iman (Lih. Konfesi Augsburg pasal VI).

4) Orang Berdosa yang Dibenarkan


Di dalam baptisan kita menyatu dengan Kristus, dan dibarui
melalui Roh Kudus; tetapi kita harus selalu berjuang dan memohon
pada Allah setiap hari pengampunan dosa kita. Teks ini dipahami
Gereja Lutheran sebagai orang yang ”serentak benar dan berdosa”
(simul iustus et peccator). Dosa masih tinggal dalam baptisan sebagai
sebuah perlawanan kepada Allah. Pertentangan dengan Allah
ini adalah benar-benar dosa. Namun demikian, dosa tidak lagi
”memerintah” orang Kristen, sebab mereka sendiri ”dikuasai” oleh
Kristus (DB 29). Gereja Katolik Roma - dosa masih tinggal dalam
baptisan (bukan dosa dalam pengertian dosa asali, tetapi dosa
keinginan); ketika manusia berdosa, manusia harus Rekonsiliasi
melalui firman dan pengampunan (DB 30).
Mengenai simul iustus et peccator, menurut Barth, pembenaran
Allah diartikan dalam tiga hal: pengampunan dosa; jaminan anak-
anak Allah dan jaminan mewarisi hidup yang kekal.211 Dalam Konsili
Trente, pengertian simul iustus et peccator terlihat dalam dua dokumen.
Dokumen pertama menyebutkan bahwa dalam pembenaran, ma­
nusia dilahirkan kembali bukan untuk memuliakan tetapi untuk
mengharapkan kemuliaan. Dokumen kedua menyatakan bahwa
seluruh manusia yang memiliki keadilan diberikan kepadanya oleh
anugerah. Dengan demikian, pengajaran Trente tentang simul iustus

210 Kata yang miring adalah kata tambahan Martin Luther.


211 Hans Kung, Justification, hlm. 236.
116  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

et peccator didasarkan pada  : (1) pembenaran manusia adalah dapat


menghapuskan dosa sebelumnya; (2) ciri keadilan dari pembenaran
manusia adalah hal asing yang diberikan kepadanya.212 Menurut
Luther, simul iustus et peccator adalah manusia yang dibenarkan bebas
dari dosa dan pada saat bersamaan bisa saja jatuh ke dalam dosa.213
Pembenaran orang berdosa adalah pekerjaan Allah, tetapi disem­
purnakan di dalam manusia. Menurut Barth, untuk menyempurnakan
pembenaran ini sikap manusia harus menerima dengan iman. Manusia
harus merespons tindakan pembenaran Allah itu dengan iman dan
lebih dalam dengan iman saja.214 Pendapat Luther ini mendapat
respons dari teolog Katolik seperti: Bellarmine yang mengatakan
bahwa terjemahan itu adalah milik tradisi Katolik. Küng mencoba
mengaitkan pemikiran Barth dengan Luther. Mereka berdua pada
dasarnya ajarannya sama dengan ajaran Katolik. Tidak ada usaha
manusia, baik perbuatan sebaik apa pun tak dapat memperoleh
pembenaran itu. Manusia dibenarkan Allah atas dasar iman semata.
Di dalam iman, orang berdosa memasukkan dirinya sendiri pada
pembenaran ilahi yang diperoleh dari kematian dan kebangkitan
Kristus. Pembenaran itu dicirikan dengan tindakan subjektif.215
Bagi Lutheran pembenaran orang berdosa itu adalah sama
sebagaimana pembenaran menurut Mazmur 32: 1, ”Berbahagialah
orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi!”
Manusia memperoleh pengampunan dosa hanya oleh iman pada
Kristus bukan melalui atau oleh sebab kasih atau usaha, walau kasih
mengikuti iman. Oleh sebab itu, manusia dibenarkan hanya oleh
iman, pembenaran dipahami sebagai membuat orang yang tak benar
menjadi benar atau menjadikannya lahir kembali.216
Perhatian utama Luther pada rahmat berpusat pada keberadaan
dosa manusia. Dalam kuliahnya tentang surat Paulus kepada jemaat di
Roma (1515-1516) Luther mengidentikkan dosa dengan konkupisensi.
Dia menulis, ”Maka dari itu dosa aktual sebenarnya merupakan

212 Ibid., hlm. 241.


213 Ibid., hlm. 240.
214 Perdebatan ini dimulai sejak tahun 1521 ketika Luther menerjemahkan Roma 3: 28, ”Manusia
dibenarkan … hanya melalui iman”. Dalam tafsirannya, Luther sebenarnya masih menerima
perbuatan baik, setelah pembenaran, asalkan perbuatan baik itu bukan untuk memperoleh
pembenaran itu (pro quaerenda iustificatione).
215 Hans Kung, Op.Cit., hlm. 259.
216 Buku Konkord, hlm. 117.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 117

pekerjaan dan buah dosa. Dan dosa itu sendiri adalah nafsu dan
konkupisensi, atau kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan
terhadap yang baik…” Karena konkupisensi tetap ada setelah iman
dan pembenaran, seseorang tetap tinggal seorang berdosa bahkan
sesudah menerima maaf dan pengampunan Allah.217
Membandingkan Luther dengan Augustinus yang berpengaruh
kepadanya, kesamaannya ialah titik tolak ajaran keselamatan, yakni
kedosaan manusia dan kerahiman Allah. Perbedaannya menyangkut
jawaban atas masalah kedosaan. Luther berbicara tentang simul iustus
et peccator (serentak orang benar dan pendosa), sedangkan menurut
Augustinus manusia sungguh benar sesudah pembenarannya oleh
Allah, bahkan terjadi reparatio naturae (pembetulan kodrat), yang
berarti bahwa Augustinus meletakkan rahmat dalam manusia (teologi
bersifat antropologi). Luther tidak menghendaki antropologi, tetapi
teologi radikal: rahmat diletakkannya seluruhnya dalam Allah.218

5) Taurat dan Injil


Pembenaran adalah ”bagian dari perbuatan baik dari hukum
Taurat”. Hukum Taurat bukan sebuah jalan keselamatan, melainkan
berfungsi mengingatkan sebuah bimbingan standar bagi pembenaran.
Hukum Taurat menjadi ukuran bagi kehidupan orang percaya juga.
Teks ini dipahami Lutheran bahwa dialektika hukum Taurat /
Injil dipakai untuk berkhotbah. Hukum Taurat adalah tuntutan dan
dakwaan; Injil sendiri menyediakan pembenaran (DB 32). Bagi Gereja
Katolik, Kristus bukanlah pemberi Taurat seperti halnya Musa; hukum
Taurat bukanlah sebuah jalan keselamatan. Orang benar harus terikat
untuk melaksanakan perintah Allah, tetapi kehidupan yang kekal
bersumber dalam janji anugerah Allah (DB 33).
Bagi Luther, mengkhotbahkan hukum Taurat semata tanpa Kritus
akan menghasilkan manusia pongah, yang percaya bahwa mereka
dapat memenuhi hukum Taurat dengan perbuatan-perbuatan
lahiriah, atau menghalau orang ke dalam keputusasaan yang luar
biasa.219 Pemberitaan hukum Taurat tidak cukup untuk pertobatan

217 Roger Haight, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa, (terj.) (Flores: Nusa Indah, 1999), hlm. 96
218 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
hlm. 180.
219 Rumus Konkord V, 10, dalam Buku Konkord, hlm. 788.
118  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

yang murni dan bermanfaat; Injil harus ditambahkan kepadanya.


Jadi ajaran yang dua ini selalu berdampingan, dan keduanya harus
dipergunakan bersama-sama, namun dalam urutan yang pantas dan
perbedaan yang tepat.220
Menurut Luther, Firman Allah dinyatakan kepada manusia dalam
dua bentuk yaitu: Taurat dan Injil, dan Taurat itu sendiri dalam dua
bentuk atau ‘penggunaan’. Firman adalah satu sebagaimana Allah
adalah satu, artinya ada kesatuan ilahi antara Taurat dan Injil. Hanya
satu Taurat yang efektif di dalam semua zaman dan dikenal seluruh
manusia, sebab taurat itu ditulis di dalam setiap hati orang. Ketika
Luther menggunakan pertama taurat itu di dalam ‘masyarakat’ atau di
dalam ‘politik’, maka harus dibedakan identifikasinya dengan ‘Hukum
Alam’ skolastik sebagai kategori metafisika. Pembedaan Luther di
antara ketaatan ‘moral’ dan ‘spiritual’ pada Taurat menjadi tajam
dan relevan di dalam – in loco justificationis – ketika keselamatan kita
dipancangkan. Luther menggunakan ayat dari Yesaya 28: 21, ”Sebab
TUHAN akan bangkit seperti di gunung Perasim, Ia akan mengamuk
seperti di lembah dekat Gibeon, untuk melakukan perbuatan-Nya
-- ganjil perbuatan-Nya itu; dan untuk mengerjakan pekerjaan-Nya
-- ajaib pekerjaan-Nya itu!”. Menurut Luther, Taurat itu digunakan
dalam dua bagian yaitu: jika digunakan dalam kedagingan, maka ia
di bawah Taurat, tetapi jika digunakan sebagai roh, maka ia di bawah
Injil. Taurat dan Injil bukan untuk dua kelas manusia, melainkan bagi
seluruh orang Kristen di sepanjang masa.221
Lebih dalam Luther mengatakan bahwa di dalam dunia kita
memerlukan hukum Taurat untuk menjamin keteraturan dan Injil
sebagai alat untuk mengatur kerohanian. Taurat mempunyai dua
peran. Peran pertama, peran dan pemahaman ‘sipil’, yakni untuk
menghindari kedurhakaan yang luar biasa dan kejahatan-kejahatan
di dalam dosa yang dikontrol oleh Iblis. Peran kedua, peran dan
pemahaman ‘teologis’, yakni yang memiliki suatu taraf yang lebih

220 Ibid., hlm. 789; bdk. Apologi IV, 257.


221 Benjamin Drewery, ”Martin Luther” dalam Hubert Cunliffe-Jones, A History of Christian
Doctrine, (Edinburgh: T & T Clark, 1997), hlm. 311-350.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 119

tinggi, sebab menunjuk pada Injil dan dipenuhi hanya melalui berita
pembenaran oleh iman dalam Kritus.222

6) Kepastian Keselamatan
Orang beriman dapat mengandalkan anugerah dan janji-janji
Allah. Kita dapat bertumbuh di dalam janji anugerah Allah dan yakin
di dalamnya.
Teks ini dipahami Lutheran sebagai berikut: untuk menghadapi
pencobaan, jangan hadapi dengan dirimu sendiri, tetapi semata-mata
dengan Kristus dan percaya pada-Nya (DB 35). Sementara Gereja
Katolik memahami teks ini dengan membangun iman atas kenyataan
objektif dari janji Kristus. Iman berarti mempercayakan diri sendiri
sepenuhnya pada Allah. Dengan mengakui kelemahannya sendiri,
orang percaya tetap dapat merasa pasti bahwa Allah menginginkan
keselamatannya (DB 36).
Pembenaran itu diartikan Luther begitu rupa sehingga manusia
”dinyatakan benar” oleh Tuhan dan diterima oleh-Nya berkat ke­
benaran Kristus. Akan tetapi, dalam dirinya sendiri manusia belum
benar selama masih di dunia ini, dan oleh karena itu ia tetap harus
disebut juga ”pendosa”. Sesudah pembaptisan, tetap ada dosa. Rahmat
berarti penerimaan orang berdosa oleh Allah karena Kristus, dan
bukan pengangkatan manusia kepada hidup adikodrati. Kebenaran
yang diperoleh manusia datangnya dari luar (extra nos), sebab titik
tolak proses pembenaran terletak ”di luar” kita, yakni semata-
mata dalam kebaikan Tuhan, dan juga bersifat ”forensis” (urusan
pengadilan) sebab berdasarkan suatu pernyataan dari Allah sebagai
Hakim.223 Manusia menerima pembenaran ini dengan iman, yaitu
penyerahan total manusia, penuh kepercayaan, kepada kerahiman
Allah (fides fiducialis; [charitate], artinya iman [intelektual belaka]
yang belum dibentuk oleh kasih di satu pihak, dan iman eksistensial
yang bekerja dalam cinta kasih di lain pihak).224 Semboyan sola fide
teologi Reformasi diterima secara penuh oleh Gereja Katolik kalau
yang dimaksudkan adalah bahwa hanya karena imanlah manusia

222 Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, (trans.) (Philadelphia: Fortress Press, 1966), hlm.
253; bdk. Bengt Haegglund, History of Theology, (Saint Lois: CHP, 19680), hlm. 222.
223 Nico Syukur Dister, Teologi, hlm. 178.
224 Ibid., hlm.179.
120  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

diselamatkan, bukan oleh tindakan manusia sendiri terlepas dari


rahmat Allah. Akan tetapi, perbedaan pandangan timbul bila ”iman”
sebagai proses penerimaan pembenaran itu dilukiskan lebih lanjut.
Jika pandangan Gereja Katolik lebih optimis dalam antropo-teo­
logisnya, justru pandangan Lutheran jauh lebih optimis menyangkut
keyakinan akan keselamatan orang percaya. Keyakinan ini tidak
bergantung pada kadar iman manusia, tetapi pada janji-janji Allah
yang sepenuhnya dapat dipercaya seperti yang dinyatakan dalam
Kitab Suci (DB 35-36). Menurut Luther, kemujaraban iman tidaklah
terletak pada kehebatan ajaran yang melaluinya kita percaya,
tetapi dalam keandalan dari Dia yang pada-Nya kita percaya. Yang
diperhitungkan bukanlah kehebatan iman kita, tetapi keagungan
Allah.225 Dalam soal keyakinan ini, tampaknya pandangan Gereja
Katolik lebih reserved, namun seperti disebutkan dalam Deklarasi
Bersama, sejak Konsili Vatikan II, ”percaya” rupanya diartikan sebagai
”mempercayakan diri secara total” kepada Allah yang membebaskan
dari kegelapan dosa dan maut (DB 36).

7) Perbuatan Baik dari Orang yang Dibenarkan


Perbuatan baik muncul dari pembenaran dan merupakan buahnya.
Teks ini dipahami Lutheran bahwa pembenaran sebagai pemberian
Allah dan yang diberikan dalam kebenaran Kristus sudah sempurna.
Pertumbuhan itu atas pengaruh kebenaran Kristus dalam hidup
orang Kristen (DB 39). Bagi Gereja Katolik Roma, perbuatan baik
mempengaruhi pertumbuhan dalam rahmat; sehingga kebenaran
yang datang dari Allah dipelihara dan persekutuan dengan Kristus
diperdalam (DB 38).
Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah
adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan ”pembenaran oleh
anugerah melalui iman” memberikan arti dari ajaran itu dengan
lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah

225 Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 127. Lebih dalam Luther berkata, ”Meskipun imanku
lemah, aku tetap mempunyai kekayaan yang tepat sama dan Kristus yang persis sama pula
seperti yang dimiliki oleh orang-orang lain. Di sini tidak ada perbedaan … Seperti dua orang
masing-masing mempunyai seratus gulden. Yang seorang membawanya ke mana-mana di
dalam kantong kertas, yang lainnya di dalam sebuah peti besi. Tetapi tanpa menghiraukan
perbedaan ini, mereka berdua mempunyai kekayaan yang sama. Jadi, Kristus yang dimiliki
olehmu dan olehku adalah satu dan sama, terlepas dari kekuatan atau kelemahan imanmu
atau imanku.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 121

dan diterima melalui iman. Luther berkata, ”Anugerah Allah yang


membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-
perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam
perbuatan-perbuatan baik”. Artinya ajaran tentang pembenaran hanya
oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan
segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri
adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia. Menurut Luther,
perbuatan baik bukanlah dasar dari pembenaran iman, melainkan
sebagai suatu tindakan pengucapan syukur kepada Allah karena
telah mengampuninya. Artinya perbuatan baik bukan usaha untuk
mencapai Allah supaya mengampuni orang berdosa.226
Pada tahun 1520, Luther telah mempublikasikan tiga ringkasan
pemikirannya yang disebut dengan ‘manifesto Reformasi Jerman’.
Ringkasan ketiganya tersebut dinamakan Mengenai Kebebasan Kristen.
Dalam tulisan ini, Luther menyanjung kebebasan (batin) manusia,
yang dibenarkan oleh karena iman dan kesatuan dengan Kristus.
Baginya perbuatan-perbuatan yang baik tidak bermanfaat samasekali
untuk pembenaran. Manusia tentu saja tetap wajib melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang baik; akan tetapi hal itu tidak lebih daripada
konsekuensi logis dari pembenaran. Dengan kata lain, justru karena
manusia dibenarkan karena imannya, maka ia wajib melakukan
pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan-perbuatan baik. Menurut Luther,
kebebasan sejati kebebasan manusia sebelum kejatuhan dalam dosa,
keinginan manusia hanya untuk menaati Allah secara voluntary dan
spontaneous.227
Bagi Gereja Katolik Roma, kebebasan adalah kemampuan yang
berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak
bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri
melakukan perbuatan dengan sadar. Dengan kehendak bebas, tiap
orang dapat menentukan diri sendiri. Dengan kebebasannya, manusia

226 Bdk. Hans-Peter Grosshans, Tokoh Pemikir Kristen Luther, (terj.) (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
hlm. 44, yang mengatakan bahwa ajaran Luther mengenai pembenaran iman tidak berarti
bahwa orang dapat mencapai keselamatan tanpa usaha apa pun. Pendekatannya penuh
dengan dinamika pengalaman akan rahmat Allah. Allah melakukan segalanya bagi umat-
Nya yang terkasih. Dengan pengalaman iman, seseorang ingin berusaha menuju hidup
baru. Pengalaman itu menciptakan kehendak untuk membawa hidup seseorang ke dalam
kesesuaian dengan kehendak Allah.
227 Uraian lebih jelas dikemukakan dalam buku Jan S. Aritonang, Berbagai, hlm. 31; Alister
E.McGrath, Sejarah, hlm.128.
122  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

harus tumbuh dan menjadi matang dalam kebenaran dan kebaikan.


Kebebasan itu baru mencapai kesempurnaannya apabila diarahkan
kepada Allah, kebahagiaan kita.228 Kebebasan menjadikan manusia
subyek kesusilaan. Kalau ia bertindak dengan sadar, manusia boleh
dikatakan bapa dari perbuatannya. Perbuatan yang sungguh ma­
nusiawi, artinya yang dipilih atas dasar keputusan hati nurani, dapat
dinilai secara susila. Perbuatan macam itu bersifat atau baik atau
jahat.229 Satu perbuatan baik dari segi moral mengandaikan bahwa
baik obyek maupun maksud dan faktor-faktor situasional itu baik.
Maksud buruk membuat suatu perbuatan menjadi buruk, juga apabila
obyeknya sendiri adalah baik (seperti berdoa atau berpuasa ”supaya
dapat dilihat oleh orang lain”). Obyek yang dipilih dengan sendirinya
dapat membuat suatu perbuatan menjadi buruk secara menyeluruh.
Ada tingkah laku konkret seperti umpamanya percabulan itu tidak
pemah boleh dipilih, karena di dalam memilihnya terdapat satu
tindakan kehendak yang salah, artinya sesuatu yang buruk ditinjau
dari segi moral.230

3.6 Eksegese Pasal 5 mengenai Makna dan Cakupan dari


Kesepakatan yang Telah Dicapai
Atas dasar dialog yang dibangun Lutheran dan Gereja Katolik
Roma, dari 1993 -1997 dihasilkan dua kesimpulan yang sangat ber­
arti dan jiwa serta substansinya berkaitan dengan pernyataan yang
lain dalam dokumen ini. Hal ini dituangkan dalam butir 40-41.
”Pemahaman akan ajaran tentang pembenaran yang dijelaskan dalam
Deklarasi ini menunjukkan bahwa di antara Lutheran dan umat Katolik
terdapat suatu persesuaian akan kebenaran dasar ajaran pembenaran.
Perbedaan lainnya dari segi bahasa dan penguraian teologis dan
penekanan akan pemahaman pembenaran ... dapat diterima. Dengan
demikian, kutukan-kutukan dari abad keenambelas, sejauh itu
berkaitan dengan ajaran tentang pembenaran, muncul dalam terang
yang baru: ajaran Gereja-gereja Lutheran yang dihadirkan dalam
pernyataan ini tidak berada di bawah kutukan-kutukan dari Konsili
Trente; kutukan-kutukan dalam Konfesi-konfesi Lutheran tidak

228 Katekismus Gereja Katolik, hlm. 435.


229 Ibid., hlm. 438.
230 Ibid., hlm. 440.
Analisa dan Eksegese Atas Deklarasi Bersama — 123

dikenakan pada ajaran Gereja Katolik yang terdapat dalam Deklarasi


ini (DB 40 - 41).
Maka apa yang mau dilihat dari dua butir ini? Yang mau
disampaikan butir 40 - 41 ini adalah terjadinya pemaknaan ulang
sejarah Gereja yang luar biasa. Artinya, pemahaman tentang dok­
trin pembenaran yang dijelaskan kedua belah pihak merupakan
persetujuan dasar antara Lutheran dan Gereja Katolik Roma. Sifatnya
masih terbuka untuk didiskusikan, diperluas, dan diperdalam. Karena
itu, Lutheran dan Gereja Katolik sepakat untuk meneruskan diskusi
tentang ajaran pembenaran ini guna memperdalam pemahaman
alkitabiah dan untuk menyatukan pandangan terhadap hal-hal yang
masih berbeda. Hal itu dapat juga dilakukan secara ekumenis, baik
bersama-sama atau masing-masing pihak, Lutheran dan Gereja
Katolik.
Lutheran dan Gereja Katolik sepakat akan berusaha memberitakan,
menyaksikan, menemukan, dan menerapkan makna pembenaran itu
ke berbagai bidang kehidupan dalam konteks kehidupan masyarakat
masa kini. Kedua belah pihak mengharapkan agar Deklarasi Bersama
ini dapat mempengaruhi kehidupan Gereja melalui pengajarannya,
yang kemudian diwujudkan di dalam kehidupan bersekutu, bersaksi,
dan melayani.
Deklarasi Bersama ini hanya menyangkut ajaran pembenaran.
Masih banyak topik pengajaran lain yang berdasarkan firman Tuhan
sebagai ajaran Gereja, seperti eklesiologi, Mariologi, Angelologi,
otoritas Gereja, kesatuan Gereja, pelayanan, sakramen dan hubungan
pembenaran etika sosial, yang semuanya itu perlu didiskusikan
untuk menemukan dasar pemahaman bersama. Lutheran dan Gereja
Katolik sepakat akan melanjutkan kerja sama untuk memperdalam
pemahaman bersama terhadap berbagai ajaran Gereja tersebut.
Artinya, peluang masih terbuka bagi Lutheran dan Gereja Katolik
untuk duduk bersama membahas topik-topik yang disebutkan di
atas.
125

Bab IV
Pengaruh Deklarasi Bersama
Tentang Ajaran Pembenaran Oleh
Iman terhadap Gereja-gereja
Protestan dan Katolik di Indonesia

Kata ”pengaruh” yang dimaksud di sini mengacu pada pengertian


”influence” dan ”impact”. Kata ”Influence” berarti pengaruh, seseorang
atau sesuatu yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain. Dengan pengertian ini, Deklarasi Bersama memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi Gereja-gereja, dan orang-orang Kristen baik
Protestan dan Katolik untuk saling menghormati dan menghargai.
Dan kata ”impact” berarti dampak yang kuat dan menimbulkan
perubahan. Artinya, dengan lahirnya dokumen Deklarasi Bersama
diharapkan berdampak kuat dan mampu memberikan perubahan
atas pemahaman keberimanan di antara kedua belah pihak. Dengan
dokumen ini, baik Protestan dan Katolik mampu merubah cara
pandang mereka atas ajaran pembenaran yang ada di antara kedua
belah pihak.
Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja
Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia memang sangat sulit untuk
diukur. Alat ukur yang pasti dan pas belum terlihat nyata, karena
dokumen ini sendiri masih muda, yakni baru sepuluh tahun pada 31
Oktober 2009. Namun pengaruh dokumen ini pasti ada dan dirasakan
dalam kehidupan Gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia.
126  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Tolok ukur yang bisa dipakai untuk melihat pengaruh dari


dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan
Gereja Katolik di Indonesia adalah: pertama, melalui wawancara
kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini, misalnya:
para pendeta, pastor, lembaga-lembaga akademis, dan warga jemaat.
Kedua, melalui kuesioner yang dibagikan kepada pelayan Gereja
(pendeta, sintua) warga jemaat dan mahasiswa/i teologi. Ketiga,
melalui studi pustaka yang berhubungan dengan dokumen Deklarasi
Bersama, yakni dokumen ajaran Gereja-gereja yang ada di Indonesia.
Ketiga metode inilah yang penulis pakai untuk melihat pengaruh
dari dokumen tersebut terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja
Katolik di Indonesia.
Setelah menyajikan analisa dan eksegese atas dokumen Deklarasi
Bersama pada bab III, dalam bab ini akan dipaparkan pengaruh
dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan
Gereja Katolik di Indonesia, melalui hasil penelitian lapangan tentang
pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di tengah-tengah kehidupan
Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik di Indonesia. Karena
keterbatasan waktu dan tenaga, maka ruang lingkup penelitian ini
dibatasi pada Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik yang ada di
Sumatera Utara.
Pembahasan dalam bab ini merupakan analisa dan interpretasi
data yang diperoleh melalui kuesioner yang diedarkan kepada
para pendeta, pastor, akademisi (dosen teologi), baik di lembaga
pendidikan teologi Protestan maupun Katolik, mahasiswa/i teologi
di daerah Pematangsiantar dan Medan, juga kepada majelis jemaat
dan anggota jemaat GKPA Pangkalan Berandan Resort Pangkalan
Berandan Sumatera Utara, serta wawancara kepada Pimpinan Gereja-
gereja Lutheran di Sumatera Utara, Ketua Komite Nasional (KN) LWF,
Ketua STT HKBP Pematangsiantar, Ketua STT Abdi Sabda Medan,
Ketua STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar dan para pendeta
/ pastor, untuk mempertegas kebenaran pengisian angket tersebut.
Hal-hal yang diteliti secara khusus dalam kuesioner adalah sebagai
berikut:
a. Pemahaman umum tentang doktrin Gereja
b. Sejarah doktrin Gereja
Pengaruh Deklarasi Bersama — 127

c. Sejarah doktrin pembenaran oleh iman dalam Gereja


d. Sejarah Deklarasi Bersama tentang doktrin pembenaran oleh
iman.

Seperti yang telah dinyatakan di atas, untuk memperoleh data


yang diperlukan, penulis membagikan kuesioner kepada Pendeta,
Sintua (Penatua), mahasiswa/i teologi dan anggota jemaat sejumlah
40 eksemplar dan semua kuesioner tersebut kembali 100%. Selain itu
penulis juga mendapatkan data melalui wawancara yang dilakukan
kepada para pendeta dan pastor, yakni : Pdt. Dr. Jontor Situmorang
(Ketua STT Abdi Sabda Medan), Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing (Ketua
STT HKBP Pematangsiantar), Pastor Dr. Hieronimus Simorangkir
(Ketua STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar), Pdt. Dr. M.S.E.
Simorangkir (Bishop GKPI / Ketua KN-LWF Indonesia), Pdt.Dr.
J.R.Hutauruk (Ephorus Emeritus HKBP/Anggota Council LWF), Pdt.
Bonar Lumbantobing, M.Th (Dosen PL STT HKBP), Pdt. Pardomuan
Munthe, M.Th (Dosen Dogmatika STT Abdi Sabda Medan), Pastor Dr.
Richard Sinaga (Dosen Dogmatika STFT St. Yohanes Pematangsiantar),
dan Pastor Dr. J. Kosmas Tumanggor (Pastor Jemaat / Dosen STFT St.
Yohanes).
Dari hasil yang diperoleh telah ditabulasikan, sehingga menda­
patkan hasil penelitian yang jelas. Untuk persentase dari tiap-tiap
tabel, penulis menggunakan rumus sebagai berikut :
Persentase (P) = Jawaban responden (N) × 100%
Angket yang kembali (V)

Ada beberapa pokok bahasan dalam bab ini yang akan dibahas
oleh penulis, yaitu sebagai berikut :

1. Analisis dan Interpretasi Kuesioner

Dalam bagian ini penulis akan memberikan analisis dan inter­


pretasi dari hasil kuesioner yang diedarkan kepada para pendeta /
sintua, mahasiwa/i teologi, dan warga jemaat. Dengan analisa dan
penafsiran hasil ini akan terlihat bagaimanakah pengaruh dokumen
Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik
di Indonesia. Penulis menyadari bahwa hasil kuesioner ini tidak
128  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

seutuhnya menjadi representasi dari Gereja-gereja Protestan dan


Gereja Katolik di Indonesia, namun hasil kuesioner ini hanya menjadi
kerangka acuan bagi penulis untuk melihat bagaimanakah pengaruh
dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan
Gereja Katolik di Indonesia.

1.1 Pemahaman Umum tentang Doktrin Gereja


Penelitian ini mau melihat secara umum pemahaman para pelayan
Gereja dan warga jemaat akan ajaran atau dogma yang diajarkan
di tengah-tengah Gereja. Apakah ajaran Gereja itu merupakan alat
yang membedakan Gerejanya dari Gereja lain, atau bagaimanakah
peran doktrin dan ibadah Gereja dalam membangun persekutuan,
kesaksian, dan pelayanan warga jemaat, atau apakah warga jemaat
merasakan bahwa doktrin dan ibadah mereka menjadi dasar yang
membangun rasa persekutuan, kesaksian, dan pelayanan mereka,
dan juga apakah doktrin dan ibadah Gereja itu mampu untuk
menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di tengah kehidupan
berjemaat, dan terakhir apakah sumbangan doktrin dan ibadah dalam
membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan di tengah-tengah
warga jemaat.
Dari hasil kuesioner yang diterima terlihat bahwa secara umum
responden mengerti benar bahwa yang membedakan Protestan
dengan Katolik adalah doktrin / ajaran Gereja (92,5%), bukan ritus-
ritus ibadah / liturginya (7,5%), atau alasan lainnya (Lih. Tabel 1).

TABEL 1
Menurut Anda, hal-hal apa sajakah yang membedakan Protestan
dan Gereja Katolik Roma?

JAWABAN RESPONDEN N %

a. Doktrin / ajaran. 37 92,5


b. Ritus-ritus ibadah / liturgi. 3 7,5
c. Lain-lainnya. 0 0
Jumlah 40 100
Pengaruh Deklarasi Bersama — 129

Hal ini juga diungkapkan oleh Hieronimus Simorangkir231 yang


mengatakan bahwa perbedaan mendasar antara Protestan dan Katolik
terlihat pada dogma atau ajaran Gerejanya. Ajaran Gereja Katolik
memiliki banyak perbedaan dengan ajaran para reformator. Dan
ajaran itulah dulu yang akhirnya memisahkan gerakan Protestan dari
Gereja Katolik Roma. Simorangkir mengakui bahwa hingga sekarang
perbedaan itu masih tetap ada, namun bedanya ialah sekarang,
Protestan dan Gereja Katolik sudah saling menerima perbedaan
yang ada itu sebagai kekayaan keberimanan di dalam tubuh Kritus.
Artinya, perbedaan itu tidak dipandang lagi menjadi sebuah pemisah
di antara Protestan dan Gereja Katolik. Protestan dan Gereja Katolik
sudah bisa saling memahami dan menerima perbedaan yang ada di
antara kedua belah pihak.
Dari hasil kuesioner juga terlihat bahwa responden mengakui
peran doktrin dan ibadah Gereja sangat kuat dalam membangun
persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama
jemaat maupun di luar jemaat (Lih.Tabel 2).

TABEL 2
Bagaimana peran doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan
dan Katolik dalam membangun persekutuan, kesaksian, dan
pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar
jemaat?

JAWABAN RESPONDEN N %
a. Sangat baik 8 20
b. Baik 28 70
c. Kurang baik 2 5
d. Lainnya. 2 5
Jumlah 40 100

70% responden menyetujui bahwa ajaran dan ritus Gereja mampu


membangun persekutuan, kesaksian, dan pelayanan dengan baik di

231 Hieronimus Simorangkir adalah seorang pastor Katolik yang mengajar sebagai dosen di STFT
St. Yohanes Sinaksak, Pematangsiantar, mengampu mata kuliah Filsafat Klasik. Saat ini Pastor
Dr. Hieronimus Simorangkir menjabat sebagai Ketua STFT St. Yohanes Pematangsiantar.
130  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

tengah kehidupan berjemaat. Hal ini terlihat juga dari ungkapan para
warga jemaat dan sintua (penatua) di GKPA Pangkalan Berandan
Resort Pangkalan Berandan.232
Dari data yang dikumpulkan, 77,5% menyatakan setuju bahwa
doktrin dan ibadah Gereja juga merupakan dasar dalam membangun
persekutuan, kesaksian, dan pelayanan warga jemaat bagi sesama
jemaat maupun di luar jemaat (Lih. Tabel 3), dan 67,5% responden
berpendapat bahwa doktrin dan ibadah Gereja mampu menyelesaikan
permasalahan di antara warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di
luar jemaat (Lih. Tabel 4). Bahkan 87,5% responden mengakui bahwa
banyak sumbangan dari doktrin dan ibadah Gereja dalam rangka
membangun kesatuan orang Kristen dalam gerakan ekumenis (Lih.
Tabel 5). Hal inilah yang juga diulas oleh Rasid Rachman dalam
bukunya, Hari Raya Liturgi. Rachman memiliki seberkas idealisme
yakni tersusunnya suatu tata perayaan liturgi yang ekumenis, yang
dapat diterima oleh semua denominasi Gereja, baik Protestan maupun
Katolik, baik evangelikal maupun ekumenikal.233

TABEL 3
Apakah doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik
yang menjadi dasar membangun persekutuan, kesaksian, dan
pelayanan warga jemaat bagi sesama jemaat maupun di luar
jemaat?

JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 31 77,5
b. Tidak. 5 12,5
c. Lainnya. 4 10
Jumlah 40 100

232 Wawancara dan diskusi pada sintua dan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan seusai
ibadah kebaktian keluarga sektor IV pada 29 Oktober 2008. Kebaktian keluarga ini diikuti 25
orang.
233 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, hlm. 3.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 131

TABEL 4
Apakah doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan dan Katolik
bisa menyelesaikan permasalahan di antara warga jemaat bagi
sesama jemaat maupun di luar jemaat

JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 27 67,5
b. Tidak. 8 20
c. Lainnya. 5 12,5
Jumlah 40 100

TABEL 5
Adakah sumbangan doktrin / ajaran dan ibadah / liturgi Protestan
dan Katolik dalam rangka membangun kesatuan orang Kristen
dalam gerakan ekumenis?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 35 87,5
b. Tidak. 5 12,5
c. Lainnya. 0 0
Jumlah 40 100

Hal ini mengindikasikan bahwa warga jemaat sangat kuat meme­


gang ajaran dan ibadah Gereja dalam rangka membangun hubungan
yang baik di antara sesama umat Kristen. Dengan pemahaman seperti
ini maka akan mudahlah dipahami dokumen Deklarasi Bersama seba­
gai salah satu sarana pemersatu umat Protestan dan Katolik yang
selama ini berseteru. Jika masing-masing pihak bisa menerima dan
memahami isi dan makna dari dokumen Deklarasi Bersama, maka
hubungan di antara kedua belah pihak akan dipastikan semakin
membaik dan harmonis. Artinya, jika doktrin dan ibadah merupakan
dasar yang sangat kuat dalam mempengaruhi warga jemaat, dengan
munculnya dokumen bersama ini dan disosialisasikan dengan baik
kepada warga jemaat, maka kesatuan jemaat akan semakin mudah
dicapai.
132  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

1.2 Sejarah Doktrin Gereja


Setiap Gereja pasti memiliki dokumen ajaran atau dogma yang
digali dan dirumuskan sesuai dengan firman Tuhan dalam Alkitab.
Ajaran inilah yang menjadi dasar setiap Gereja menjalankan tugas
pelayanannya bagi seluruh warga jemaat yang digembalakannya.
Dokumen ajaran itu misalnya: Konfesi Augsburg, Konfesi HKBP, Konfesi
GKPA, Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI, dan lain sebagainya.
Tentunya ajaran atau dogma Gereja tidak muncul begitu saja di tengah-
tengah Gereja. Ajaran atau dogma merupakan hasil pergumulan
panjang dari setiap Gereja untuk membahasakan firman Tuhan yang
tertulis dalam Alkitab ke dalam budaya dan kehidupan Gereja. Inilah
yang diteliti dalam bagian ini. Sejauh manakah para pelayan dan
warga jemaat memahami dan mengerti ajaran atau dogma Gerejanya
dalam kehidupan sehari-hari.

TABEL 6
Apakah ada dokumen doktrin / ajaran iman / konfesi di dalam
Gereja Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 39 97,5
b. Tidak ada. 0 0
c. Tidak tahu sama sekali. 1 2,5
Jumlah 40 100

Hasil angket menunjukkan bahwa 39 orang (97,5%) responden


mengetahui bahwa Gereja memiliki dokumen doktrin Gereja, dan
1 orang (2,5%) tidak mengetahui sama sekali dokumen doktrin
Gerejanya (Lih. Tabel 6). Namun dari 40 orang responden, hanya 17
orang (42,5%) responden yang mengetahui sejarah doktrin Gerejanya
dengan baik, 18 orang (45%) responden hanya mengetahui sedikit
saja, dan 5 orang (12,5%) tidak tahu sama sekali dengan alasan Gereja
jarang mensosialisasikan ajaran Gereja tersebut kepada warga jemaat
(Lih. Tabel 7).
Pengaruh Deklarasi Bersama — 133

TABEL 7
Apakah Anda mengetahui sejarah doktrin / ajaran dalam Gereja
Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 17 42,5
b. Mengetahui sedikit saja. 18 45
c. Tidak tahu sama sekali. 5 12,5
Jumlah 40 100

Yang menarik perhatian penulis adalah jawaban responden atas


pertanyaan: ajaran manakah yang diminatinya dalam isi dokumen
ajaran Gereja, sangat bervariasi. Ada yang tertarik pada ajaran:
pembenaran, Yesus, Alkitab, sakramen, Trinitas, Gereja, Pertobatan,
dan Ibadah. Namun ajaran pembenaran lebih banyak disebutkan
sebagai ajaran yang diminati oleh 38 responden (Lih.Tabel 8).

TABEL 8
Menurut Anda dalam dokumen doktrin / ajaran Gereja Anda,
Doktrin / ajaran manakah yang sangat menarik perhatian Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Sebutkan isinya! 38 95
b. Tidak ada. 2 5
c. Lainnya. 0 0
Jumlah 40 100

Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa warga jemaat hanya


mengetahui bahwa Gerejanya memiliki dokumen ajaran atau dogma
Gereja, namun sebagian dari mereka tidak memahami dengan baik
dan benar apa yang menjadi isi dari dokumen itu. Karena itu patut
dipertanyakan, sejauh manakah Gereja-gereja Lutheran yang ada di
Indonesia mensosialisasikan ajaran Gerejanya kepada warga jemaat.
Jika pensosialisasian ajaran Gereja tidak baik, maka akan banyak
warga jemaat yang mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran-
pengajaran baru yang didengar dan diterimanya dari Gereja-gereja
lain ketika mereka bersekutu dengan warga jemaat Gereja lain itu.
134  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Hasil kuesioner juga menunjukkan bahwa ajaran pembenaran


oleh iman sangat diminati oleh responden dengan alasan bahwa hal
keselamatan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam
perjalanan iman mereka. Dari hasil ini terlihat bahwa responden akan
mudah mengalami pengaruh akan isi dokumen Deklarasi Bersama,
jika dokumen ini dibaca oleh responden. Artinya, jika warga jemaat
membaca isi dokumen ini, maka dengan mudah mereka akan semakin
memahami lebih dalam maksud dan tujuan dokumen Deklarasi
Bersama, yakni untuk semakin mempererat hubungan di antara
Gereja Protestan dan Gereja Katolik mengenai ajaran pembenaran.
Karena sejak Konsili Vatikan II 1962, hubungan Protestan dan
Katolik sebenarnya sudah mulai mengalami perubahan dan kedua
belah pihak sudah membangun hubungan yang saling menghargai
dan menerima. Hubungan ini mulai terasa sejak 1970-an dengan
dimulainya membahas isu-isu teologi yang kontroversial di antara
kedua belah pihak.

1.3 Sejarah Doktrin Pembenaran oleh Iman


Pertanyaan dalam bagian ini lebih mengarah pada pertanyaan
mengenai ajaran pembenaran iman di dalam dokumen ajaran Gereja
responden dan bagaimana pengaruh ajaran pembenaran itu bagi
dirinya sendiri dan bagi jemaat. Di bawah ini mari kita lihat hasil
kuesioner tersebut.

TABEL 9
Menurut Anda adakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya
pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja
Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 38 95
b. Tidak ada. 0 0
c. Lainnya. 2 5
Jumlah 40 100

Dari hasil kuesioner terlihat bahwa responden mengetahui


bahwa di dalam dokumen ajaran Gereja mereka ada tertuang ajaran
pembenaran oleh iman. Walaupun menurut responden ajaran itu
Pengaruh Deklarasi Bersama — 135

tidak persis sama dengan rumusan ajaran Luther, tetapi muatan


ajaran pembenaran Luther tersebut telah termaktub dalam dokumen
ajaran pembenaran Gereja responden. Hal ini terlihat bahwa ada 38
orang (95%) responden bisa menuliskan isi ajaran pembenaran itu
berdasarkan konfesi Gereja responden (Lih. Tabel 9).

TABEL 10
Menurut Anda, apakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya
pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja
Anda sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 34 85
b. Berpengaruh sedikit saja. 3 7,5
c. Tidak berpengaruh sama sekali. 1 2,5
d. Lainnya. 2 5
Jumlah 40 100

Mengenai pengaruh ajaran pembenaran dalam kehidupan sehari-


hari, jawaban responden bervariasi. Ada yang menganggap ajaran
pembenaran itu sangat kuat mempengaruhi hidupnya (85%), ada
yang menyebutkan bahwa pengaruh ajaran pembenaran ini hanya
sedikit saja (7,5%), dan ada juga yang tidak merasakan ada pengaruh
ajaran pembenaran ini dalam kehidupannya sehari-hari (2,5%) dan
bahkan ada 5% responden yang merasa acuh-tak acuh dengan ajaran
pembenaran ini (Lih. Tabel 10).

TABEL 11
Menurut Anda, apakah doktrin / ajaran keselamatan khususnya
pembenaran oleh iman dalam Konfesi / Pokok-pokok iman Gereja
Anda sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan jemaat Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 24 60
b. Berpengaruh sedikit saja. 10 25
c. Tidak berpengaruh sama sekali. 4 10
d. Lainnya. 2 5
Jumlah 40 100
136  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Demikian juga dengan pengaruh ajaran pembenaran ini dalam


kehidupan berjemaat. Berdasarkan hasil kuesioner, ajaran pembenaran
sangat kuat mempengaruhi kehidupan berjemaat (60%). Karena
menurut mereka, hanya orang yang merasa berdosalah membutuhkan
pembenaran dari Allah. Karena warga jemaat merasa sama-sama
orang berdosa yang dibenarkan, maka mereka harus menunjukkan
rasa persaudaraan di tengah-tengah kehidupan berjemaat.234 Namun
di sisi lain, ada responden mengatakan bahwa ajaran ini hanya
berpengaruh sedikit saja (25%) dan bahkan tidak berpengaruh sama
sekali (10%), dan 5% lainnya merasa acuh-tak acuh dengan ajaran
ini (Lih. Tabel 11). Memang bagi orang yang merasa tidak berdosa
ajaran pembenaran pasti tidak perlu bagi mereka, sebab mereka telah
‘merasa’ benar. Padahal orang yang ‘merasa’ benar belum tentu benar.
Tetapi orang yang merasa berdosa dan mengaku dosanya, dialah
yang akan mendapat pembenaran itu.
Dari hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa ajaran pem­
benaran sangat dibutuhkan oleh setiap orang, baik secara pri­badi
maupun dalam kehidupan berjemaat. Ajaran pembenaran meru­­
pa­kan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang
berdosa. Karena hanya orang yang merasa berdosalah membutuhkan
pembenaran setiap saat. Setiap saat kita mudah tergoda melakukan
dosa, tetapi ketika kita sadar telah berdosa dan kita mengaku dosa
kita maka Dia akan membenarkan kita (bdk. 1 Yoh 1: 9).

1.4 Sejarah Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran oleh


Iman
Pada bagian ini pertanyaan yang disampaikan kepada responden
adalah berkenaan dengan dokumen Deklarasi Bersama yang ditanda­
tangani oleh Lutheran dan Gereja Katolik Roma 31 Oktober 1999
yang lalu, dan bagaimanakah sikap mereka terhadap dokumen ini
serta berpengaruhkah dokumen ini bagi Gereja-gereja Protestan dan
Katolik di Indonesia.

234 Wawancara dengan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan pada 29 Oktober 2008.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 137

TABEL 12
Apakah Anda pernah mendengar tentang dokumen ” Deklarasi
Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang
ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31
Oktober 1999 yang lalu?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya, dan mempelajarinya dengan serius. 0 0
b. Pernah tetapi tidak memberi perhatian yang serius. 29 72,5
c. Tidak pernah sama sekali. 11 27,5

Jumlah 40 100

Dari hasil kuesioner terlihat bahwa tak seorang pun yang


mengenal dan mempelajari dokumen Deklarasi Bersama dengan
serius, namun 29 orang (72,5%) responden telah mengenal dokumen
ini tetapi tidak memberi perhatian yang serius akan isi dan maksud
dari dokumen tersebut, dan ada 11 orang (27,5%) responden yang
tidak pernah sama sekali mendengar tentang dokumen ini. Hal ini
diakibatkan kurangnya sosialisasi dari kedua belah pihak Gereja
(Lih. Tabel 12). Menurut pengakuan responden, dokumen ini dikenal
mereka saat sosialisasi pertama yang dilakukan oleh Gereja Protestan
dan Katolik pada seminar sehari dalam rangka perayaan ke-5
penandatanganan Deklarasi Bersama ini 30 Oktober 2004 di STFT St.
Yohanes Pematangsiantar. Dan hasil-hasil pertemuan ini diteruskan
kepada warga jemaat kedua belah pihak. Karena kegiatan sosialisasi
dokumen ini tidak terus-menerus dilaksanakan, maka warga jemaat
tidak memberikan perhatian yang serius akan isi dokumen ini.
138  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

TABEL 13
Bagaimanakah pendapat Anda tentang dokumen ” Deklarasi
Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang
ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31
Oktober 1999 yang lalu?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Setuju sekali. 36 90
b. Kurang setuju. 0 0
c. Tidak setuju sama sekali. 0 0
d. Lainnya. 4 10
Jumlah 40 100

Walaupun responden tidak serius memperhatikan isi dan maksud


dokumen Deklarasi Bersama ini, tetapi 36 orang (90%) responden
sangat setuju atas penandatanganan Deklarasi Bersama tentang Ajaran
Pembenaran antara Lutheran dan Gereja Katolik (Lih. Tabel 13).
Bahkan 30 orang (75%) responden merasakan bahwa dokumen itu
bisa mempengaruhi pribadi dan kehidupan ber-Gereja, khususnya
dalam hubungan ekumenisme di antara Lutheran dan Gereja
Katolik di Indonesia. Memang ada sebagian responden mengatakan
bah­wa dokumen ini kurang berpengaruh bagi kehidupan Gereja
(7,5%) dengan alasan karena dokumen ini kurang disosialisasikan
secara baik kepada warga jemaat kedua belah pihak. Ada juga
responden yang berpendapat lain, bahwa dokumen ini sama sekali
tidak mempengaruhi kehidupan ber-Gereja (5%) dan 12,5% lainya
menganggap dokumen ini diacuhkan dalam kehidupan ber-Gereja
(Lih. Tabel 14).
Pengaruh Deklarasi Bersama — 139

TABEL 14
Menurut pendapat Anda, adakah pengaruh dokumen ” Deklarasi
Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman” yang
ditandatangani oleh Protestan dan Katolik di Augsburg pada 31
Oktober 1999 yang lalu bagi diri dan Gereja Anda?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 30 75
b. Kurang berpengaruh. 3 7,5
c. Tidak berpengaruh sama sekali. 2 5
d. Lainnya. 5 12,5
Jumlah 40 100

Menurut Bonar Lumban Tobing,235 setelah diadakan sosialisasi


dokumen Deklarasi Bersama di STT HKBP Pematangsiantar kepada
para pendeta, sintua, dan warga jemaat Oktober 2004, maka dokumen
ini mempengaruhi pelayanan beberapa pendeta HKBP yang berasal
dari Samosir, seperti: Pdt. Sunggul Sirait, S.Th. (Pdt. HKBP Resort
Ambarita), Pdt. Psalmen Manalu, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Tomok),
Pdt. Pangondian Gultom, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Pangururan),
Pdt. Jordan Pakpahan, S.Th. (Pdt. HKBP Resort Parsaoran Nauli).
Atas dasar itu mereka mempunyai kebijakan yang baru terhadap
pernikahan Protestan dan Katolik.

TABEL 15
Menurut pendapat Anda, adakah pengaruh dokumen ” Deklarasi
Bersama tentang Doktrin / ajaran Pembenaran oleh Iman”
terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia?
JAWABAN RESPONDEN N %
a. Ya. 34 85
b. Kurang berpengaruh. 3 7,5
c. Tidak berpengaruh sama sekali. 0 0
d. Lainnya. 3 7,5
Jumlah 40 100

235 Wawancara dengan Pdt.Bonar Lumbantobing pada 29 Oktober 2008 di STT HKBP.
140  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Pada akhir kuesioner ini para responden memberikan jawaban


mereka atas pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-
gereja Protestan dan Katolik di Indonesia. Jawaban responden ini
sangat bervariasi. Dari 40 orang responden, 34 orang (85%) responden
setuju bahwa dokumen Deklarasi Bersama sangat kuat mempengaruhi
hubungan ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik di
Indonesia. Hanya 7,5% responden mengatakan bahwa dokumen
Deklarasi Bersama tidak berpengaruh sama sekali bagi hubungan
ekumenis di antara Protestan dan Katolik di Indonesia, dan sekitar
7,5% lainnya acuh-tak acuh atas dokumen ini.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis berkesimpulan
bahwa warga jemaat memahami ajaran Gereja masing-masing
dan perkembangan ajaran yang terjadi di dalam Gereja sepanjang
perjalanan sejarah Gereja. Warga jemaat menaruh harapan yang besar
akan isi dan maksud penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama
bagi hubungan ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik
di Indonesia. Hal ini terlihat dari jawaban pada tabel 13, 14, dan
15. Namun dalam pelaksanaannya, jemaat menyadari pentingnya
sosialisasi dokumen ini bagi warga jemaat agar warga jemaat semakin
mengerti akan maksud dari dokumen ini bagi warga jemaat.
Karena itu masih dibutuhkan upaya-upaya sosialisasi isi dokumen
Deklarasi Bersama bagi seluruh warga jemaat kedua belah pihak, baik
melalui lembaga Gereja maupun lembaga pendidikan teologi. Hal
ini jugalah yang mendorong Persekutuan Gereja-gereja Lutheran
Jakarta (PGLJ) melaksanakan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama
ini pada 31 Oktober 2008 di Aula Fakultas Ekonomi Universitas
Kristen Indonesia kepada seluruh para pendeta, sintua, dan warga
jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta. Kegiatan ini juga
akan berlanjut dengan melaksanakan Paskah Gereja-gereja Lutheran
Jakarta 2009 yang diisi dengan Seminar Sehari dengan tema:
”Menggali akar ajaran Protestantisme dalam Gereja-gereja Lutheran
yang dihubungkan dengan isi dokumen Deklarasi Bersama” oleh Pdt.
Bonar Lumbantobing, M.Th. (doses STT HKBP Pematangsiantar) bagi
seluruh warga jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta
sekitarnya. Kegiatan ini direncanakan dilaksanakan pada 27April
2009 di HKBP Mampang Prapatan Jakarta.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 141

2. Pengaruh Deklarasi Bersama

Di Indonesia, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama ini banyak


diper­bincangkan oleh umat Lutheran dan Gereja Katolik yang ada
di daerah Sumatera Utara. Dengan dokumen ini kedua belah pihak
telah melaksanakan beberapa kali pertemuan yang membahas makna
dan maksud dokumen terhadap Gereja dan masyarakat yang ada di
Sumatera Utara. Dalam usia kelima tahun dokumen Deklarasi Bersama,
pihak Gereja Katolik yang diwakili Keuskupan Agung Medan dengan
pihak Lutheran yang diwakili Komite Nasional Lutheran World
Federation (KN-LWF) Indonesia telah mengadakan Seminar Sehari
Lutheran – Katolik untukmerayakan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang
Ajaran Pembenaran antara LWF dan GKR, pada 30 Oktober 2004 di
STFT St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar. Dalam pertemuan
ini kedua belah pihak sepakat untuk menerima isi dokumen dan
mensosialisasikannya baik di dalam kehidupan berjemaat dan juga
di lembaga-lembaga pendidikan teologi masing-masing. Pertemuan
inilah yang menjadi pengaruh yang nyata terlihat di Indonesia setelah
ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama tersebut.
Sebelum pelaksanaan perayaan 5 tahun Deklarasi Bersama ten­
tang Ajaran Pembenaran di STFT St. Yohanes, kedua belah pihak
lebih dahulu melaksanakan pembahasan dokumen ini dari sudut
pandang masing-masing. Pihak Gereja-gereja Lutheran mengadakan
pertemuannya di STT HKBP Pematangsiantar pada 10-15 Oktober 2004
dan pihak Gereja Katolik melaksanakan pertemuannya di STFT St.
Yohanes pada saat yang bersamaan. Kemudian pembahasan masing-
masing atas dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran
ini digabungkan dalam seminar Sehari di STFT St. Yohanes Sinaksak
Pematangsiantar.
Seperti yang disebutkan di atas, salah satu cara untuk melihat
pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan dan
Katolik di Indonesia adalah melalui kajian pustaka. Dalam bagian ini,
kita akan melihat kajian pustaka. Kajian pustaka ini akan mencoba
menganalisa bagaimanakah ajaran pembenaran dalam dokumen-
dokumen ajaran / konfesi Gereja-gereja di Indonesia.
142  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

2.1 Posisi Ajaran Pembenaran di dalam Dokumen Ajaran Gereja-


gereja di Indonesia
Pengaruh Deklarasi Bersama bagi ajaran pembenaran terhadap
Gereja-gereja di Indonesia akan terlihat jelas dalam dokumen ajar­
an Gereja-gereja itu sendiri. Apakah ajaran pembenaran yang
disampaikan di Gereja-gereja Lutheran dan Katolik di Indonesia telah
memperhatikan ajaran pembenaran seperti yang termaktub dalam
dokumen Deklarasi Bersama? Atau sebaliknya, ajaran pembenaran
dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja di Indonesia masih me­
rupakan warisan-warisan ajaran pembenaran dari para misionaris
yang masuk ke Indonesia?
Di bawah ini akan disajikan kutipan-kutipan ajaran pembenaran
dari beberapa dokumen-dokumen Gereja Protestan di Indonesia, baik
dari aliran yang Lutheran, dan non-Lutheran, seperti Calvinis, dan
Pentakostal.

2.1.1 Konfesi HKBP (KH) 1951/1996


Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)236 merupakan Gereja
yang beraliran Lutheran dan telah menetapkan konfesinya tahun
1951. Konfesi ini disusun untuk memenuhi persyaratan masuk
menjadi salah satu anggota Federasi Gereja-gereja Lutheran se-Dunia
(LWF).237 Salah satu persyaratan untuk diterima menjadi anggota
LWF adalah harus mengakui Konfesi Augsburg. Karena Konfesi
Augsburg memiliki latar belakang dan konteks yang berbeda dengan
HKBP, maka HKBP membuat konfesinya yang mengadopsi Konfesi
Augsburg dan dikontekstualkan dengan budaya dan tradisi HKBP.
Konfesi HKBP 1951 terdiri dari 18 pasal. Dan ajaran pembenaran
oleh iman termaktub dalam Pasal 7 tentang ”Kelepasan dari dosa”

236 HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861 dan menjadi anggota PGI pada 25 Mei 1950. HKBP
berkantor Pusat di Pearaja – Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Berdasarkan Data
Almanak HKBP 2009, statistik HKBP adalah: Resort 602, Persiapan Resort 4, Jemaat 3.220
dengan 3.750.600 jiwa (Almanak HKBP 2009, hlm. 458). Sampai April 2003, HKBP memunyai
1.115 Pendeta, 250 Calon Pendeta, 550 Guru Jemaat, 28 Calon Guru Jemaat, 309 Bibelvrouw,
49 Calon Bibelvrouw, 193 Diakones, 38 Calon Diakones, dan 5 Evangelis. Keseluruhan
pelayan dan calon pelayan berjumlah 2.537 orang (diakses darihttp://www.sabdaspace.org/
Gereja_top_ten_hkbp_peringkat_2_bagian_2_ending).
237 Lih. ”Protestant Christian Batak Church (Huria Kristen Batak Protestan), Confession of Faith,
1951” dalam Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of Faith in the
Christian Tradition, (London: Yale University Press, vol.III, 2003), hlm. 543-555.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 143

(Haluaon sian dosa). Artinya, dalam dokumen ini tidak tertuang pasal
khusus yang membahas ”Ajaran Pembenaran oleh Iman”. Ajaran
pembenaran itu sendiri hanya merupakan bagian yang tak ter­
pisahkan dari ajaran keselamatan itu sendiri. Untuk lebih jelasnya
mari kita lihat kutipan ajaran tersebut di bawah ini
Tahaporseai jala tahatindanghon do :
 ”Na so dapot haluaon sian dosa marhitehite ulaon na denggan, manang
marhite sian gogo sandiri. Holan sian asi ni roha ni Debata do marhitehite
panobusion ni Jesus Kristus. Ia dalan manjalo i, i ma marhite sian haporseaon
na niula ni Tondi Parbadia, asa diauhon hasesaan ni dosa na pinarade ni Jesus
Kristus marhite hamamateNa i. Haporseaon sisongon on do dirajumi Debata
na gabe hapintoran di joloNa” (Joh 3: 16; II Kor 8: 9;Ul Ap.4: 12). KH 7238
Kita percaya dan menyaksikan:
Tidak dapat diperoleh kelepasan dari dosa dengan jalan pekerjaan
baik, atau dengan tenaga sendiri, hanyalah karena kemurahan Allah di
dalam penebusan Yesus Kristus. Jalan menerimanya ialah kepercayaan
(iman) yang dikerjakan oleh Rohu’lkudus; hanya dengan iman kita
menerima keampunan dosa, yang disediakan Yesus Kristus dengan
kematian-Nya. Iman yang sedemikianlah yang dipandang Allah menjadi
kebenaran di hadapan-Nya (Yoh 3: 16; 2 Kor 8: 9; Kis 4: 12).

Konfesi HKBP ini telah diperbarui dan disahkan pada Sinode


Godang HKBP 17-22 November 1996 di Seminarium Sipoholon.
Konfesi HKBP 1996 ini memiliki pasal yang lebih pendek dari
Konfesi 1951, yakni hanya 17 pasal saja. Pasal yang menyebutkan
tentang pembenaran tidak dituangkan dalam satu pasal tersendiri.
Bahkan Konfesi 1996 telah menghilangkan pasal ”Kelepasan dari
dosa” (1951) dan menggantikannya dengan pasal baru, yakni pasal
6 tentang ”Keselamatan” (Haluaon); dan menambah satu pasal, yakni
pasal 12 tentang ”Perbuatan dan Iman” (Ulaon dohot Haporseaon).
Konfesi HKBP 1996 menuliskan:
Kita mempercayai dan menyaksikan:
Keselamatan adalah karya Allah, yaitu kelepasan dari dosa, dari
kuasa iblis dan maut, dan dari aneka ragam kuasa yang bertentangan
dengan Firman Allah ... Jalan untuk menerima keselamatan itu adalah

238 Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman) HKBP 1951 & 1996, (Pearaja-Tarutung: Kantor
Pusat HKBP, 2006), hlm. 20, 39.
144  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

melalui iman yang dilahirkan oleh Roh Kudus dan iman itulah yang
diperhitungkan Allah sebagai kebenaran manusia. Keselamatan itu
adalah kemuliaan Allah dan kebahagiaan manusia. Orang percaya telah
dibebaskan, walaupun dia masih mengalami pergumulan di dunia ini.
Karunia Allah senantiasa melepaskan orang percaya dari aneka ragam
bahaya dalam kehidupan sehari-hari, secara jasmani maupun rohani,
baik perorangan maupun kelompok. Penampakan dari keselamatan
itu dalam kehidupan orang percaya di dunia ini ialah kehidupan yang
kudus, yang menghasilkan buah-buah Roh ( yoh 3: 16; 2 Kor 8: 9; Kis
4: 12; Gal 5: 22) ... Kita juga menolak ajaran yang mengatakan bahwa
usaha manusialah yang menentukan keselamatannya. KH 6239
Kita mempercayai dan menyaksikan:
Pada mulanya, sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, Allah
mengangkat manusia itu menjadi pengolah dan pemelihara dunia ini.
Pekerjaan manusia berdasar pada kepercayaan bahwa Allah terus-
menerus bekerja ( yoh 5: 17) ... Kepercayaan kepada Yesus Kristus
harus menghasilkan pekerjaan baik. Seseorang adalah sesat kalau
mengharapkan memperoleh kebenaran, kehidupan, ketenangan dan
berkat karena melakukan pekerjaan baik (Ef 2: 8; Rm 5: 1). KH 12240

Dari kedua dokumen konfesi HKBP di atas, penulis melihat


bahwa ulasan tentang ajaran pembenaran dalam Konfesi HKBP 1951
jauh lebih Lutheran dibandingkan Konfesi HKBP 1996. Mengapa?
Karena dalam dokumen Konfesi HKBP 1951 masih ditemukan kalimat
Luther tentang pembenaran oleh iman, yakni ”hanya dengan iman kita
menerima keampunan dosa”. Dalam dokumen Konfesi HKBP 1996,
ajaran tentang pembenaran oleh iman sama sekali tidak ditemukan
lagi. Dokumen ini telah membahas ajaran pembenaran itu dalam
kerangka yang lebih luas, yakni tentang keselamatan (soteriologi).
Memang masih ada indikasi ajaran Luther yang diserap sebagian
dalam dokumen Konfesi HKBP 1996, misalnya: ”Orang percaya telah
dibebaskan, walaupun dia masih mengalami pergumulan di dunia
ini.” Kalimat ini hampir mirip dengan perkataan Luther tentang
simul iustus et peccator – manusia dibenarkan walaupun masih tetap
melakukan dosa. Dalam konfesi ini disebutkan bahwa orang percaya

239 Ibid., hlm. 89.


240 Ibid., hlm. 96.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 145

telah dibebaskan (dibenarkan), walaupun dia masih mengalami per­


gumulan di dunia ini (masih tetap jatuh ke dalam dosa).
Konfesi ini jelas belum dipengaruhi dokumen Deklarasi Bersama,
karena dokumen Deklarasi Bersama sendiri baru ditandatangani 1999,
walaupun pembahasannya sudah berlangsung selama 30 tahun
sebelumnya. Apakah HKBP akan merevisi Konfesi HKBP lagi setelah
ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama ini? Menurut Bonar
Lumbantobing, HKBP tidak akan mengubah Konfesinya lagi, yang
mungkin dilakukan HKBP adalah mengeluarkan Pernyataan Iman
(Statement of Faith). Karena menurutnya, konfesi itu tidak boleh
diubah, namun kepada konfesi itu bisa ditambahkan ’pernyataan iman’
untuk menjawab perkembangan zaman. Artinya, konfesi yang lama
tidak dibatalkan dan tetap dipertahankan, namun untuk menjawab
perkembangan zaman, ke dalam konfesi itu perlu ditambahkan
’pernyataan iman’.
Namun jika kita cermati perubahan isi Konfesi HKBP 1951 ke
Konfesi 1996 akan terlihat sebuah perubahan besar tentang sikap
HKBP melihat Gereja Katolik. Isi Konfesi HKBP 1996 banyak sama
dengan isi Konfesi Augsburg (KA) 1530, tetapi tidak memasukkan lagi
isi KA yang tidak relevan dengan masa penulisan konfesi tersebut.
Ada beberapa catatan dibuat yang menegaskan perbedaan ajaran
HKBP dengan Gereja Katolik. Misalnya dalam hal:
1) Pemahaman mengenai Bunda Maria (KH 1951 ps. 3). Konfesi
HKBP menyebutkan, ”Dengan ajaran ini kita menolak dan
melawan ajaran dari Gereja Katolik Roma yang mengatakan:
1) Bahwa Maria, Ibu dari Tuhan Yesus, yang disebut Kudus,
membela kita kepada Allah. 2) Para pastor berkuasa lagi
mengorbankan daging Kristus di dalam manusia. 3) Paus di
Roma-lah wakil Kristus di dunia.”
2) Pemahaman mengenai sakramen (KH 1951 ps. 10). Dalam
Konfesi HKBP disebutkan: ”Dengan ajaran ini kita menolak
dan melawan ajaran Gereja Katolik Roma yang mengatakan
bahwa ada tujuh sakramen.”
3) Praktik melaksanakan perjamuan kudus / misa / ekaristi (KH
1951 ps. 10. bagian B).
146  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

4) Pemahaman tentang peringatan orang meninggal (KH 1951


ps.16). Konfesi HKBP dengan tegas mengatakan, ”Juga kita
tolak ajaran dari Gereja Katolik Roma yang mengajarkan
tentang api ujian (vagevuur) yang harus dialami seberapa
lama untuk membersihkan roh orang mati, sebelum tiba
kepada hidup yang kekal dan orang dapat melakukan misa
untuk orang mati dan mendoakan orang mati itu supaya lebih
cepat terlepas dari api itu.”

Tetapi sewaktu Konfesi HKBP diperbarui pada 1996, di dalam


pendahuluan atau alasan pembaruan Pengakuan itu maupun dalam
rumusan-rumusan isi konfesi tersebut tidak disebutkan lagi nama
‘Roma Katolik’ dan mana ajaran Katolik Roma yang ditolak atau tidak
disetujui. Dan sejak Konfesi HKBP 1996 ini, sikap HKBP terhadap
Gereja Katolik sudah berubah. Jika ada warga jemaat yang menikah
dengan warga jemaat Gereja Katolik, HKBP tidak mengeluarkannya
lagi dari warga jemaat HKBP. Sikap HKBP ini makin terlihat dari
visi dan misinya, ”HKBP yang inklusif dan dialogis”. Artinya, HKBP
bukan lagi sebuah Gereja yang eksklusif dan tertutup, tetapi HKBP
menjadi sebuah Gereja yang inklusif dan terbuka bagi semua orang.
Dengan demikian hubungan HKBP dengan Gereja Katolik sudah
semakin membaik, apalagi ditambah dengan dokumen Deklarasi
Bersama akan semakin mempererat hubungan di antara kedua belah
pihak.

2.1.2 Konfesi GKPA(KG) 1977


Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA)241 berdiri pada 26
Oktober 1975 dan sepenuhnya mandiri dari HKBP. Pokok-pokok
pengajaran GKPA tertuang dalam sebuah dokumen yakni Konfesi
GKPA.242 Konfesi GKPA lahir dari kerinduan GKPA untuk memiliki
pengajaran yang murni dalam menghadapi berbagai pengajaran yang

241 GKPA masuk anggota PGI pada 19 Mei 1977. GKPA adalah Gereja Kristen Protestan Angkola
(GKPA) yang berkantor pusat di Jl. Teuku Umar No. 102 Padangsidimpuan Sumatera Utara.
Saat ini jumlah warga jemaat GKPA adalah 28.989 jiwa yang digembalakan 52 orang pendeta
(Almanak GKPA 2009, hlm. 235).
242 Konfesi GKPA ini pada awalnya ditetapkan pada Rapat Majelis Pusat GKPA (dahulu: HKBP-
Angkola) di Medan, 15-16 April 1977 dan disahkan pada Synode Ama GKPA IV, 29 Oktober
1980 di Padangsidimpuan. Konfesi GKPA ini kemudian direvisi pada Synode Am GKPA XIV
2003.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 147

datang dari luar GKPA. Konfesi GKPA ini terdiri dari XX pasal. Dalam
konfesi ini tidak tertuang pengajaran pembenaran oleh iman dalam
sebuah pasal khusus. Namun ajaran pembenaran ini termaktub dalam
pasal IX tentang ”Kelepasan dari Dosa” (Haluaan sian Dosa ).Artinya,
pengajaran tentang pembenaran oleh iman masih bagian yang tak
terpisahkan dari pengajaran kelepasan dari dosa. Untuk lebih jelasnya
marilah kita lihat kutipan konfesi tersebut di bawah ini:

Taoku jana tahaporseai do :


  ”Na so dapot haluaan sian dosa anggo marhitehite sianpambaenan na
denggan, sanga marhitehite sian gogo sandiri. Hum marhitehite sian asi ni
roha ni Debata do di bagasan panobusion ni Jesus Kristus. Ia dalan manjagit i, i
ma marhitehite sian haporsayaan na dipatupa ni Tondi Parbadia, anso diauhon
hasesaan ni dosa i, na diparade ni Jesus Kristus marhitehitesian hamateanNa
i. Haporsayaan sisongon on do dirajumi Debata na gabe hatigoran di hita
jolma” (Joh.3:16; Rm 6:23; 1 Kor 15:22; 2 Kor 5:21; 2 Kor 8:9; B.Ras.4:12).
KG IX.243
Kita mengaku dan percaya:
Kelepasan dari dosa tidak dapat diperoleh melalui pekerjaan
yang baik, atau melalui usahanya sendiri. Kelepasan dari dosa didapat
hanya melalui kasih karunia Allah di dalam penebusan Yesus Kristus.
Cara untuk menerima kelepasan itu ialah iman yang dikerjakan oleh
Roh Kudus; hanya dengan iman kita menerima keampunan dosa,
yang disediakan Yesus Kristus dengan kematian-Nya. Iman yang
sedemikianlah yang dipandang Allah menjadi kebenaran di hadapan-
Nya (Yoh 3: 16; Rm 6: 23; 1 Kor 15: 22; 2 Kor 5: 21; 2 Kor 8: 9; Kis 4: 12).

Konfesi GKPA ini hampir sama dengan Konfesi HKBP 1951.


Konfesi GKPA ini mencantumkan ajaran pembenaran iman dalam
kaitannya dengan ajaran ”kelepasan dari dosa”. Artinya, dokumen
ini juga tidak membuat satu topik khusus tentang ajaran pembenaran
itu sendiri. Walaupun isinya masih memiliki kesamaan dengan ajaran
Luther tentang sola fide, namun dokumen ini juga tidak secara murni
mengadopsi ajaran pembenaran Luther.
Berbeda dengan Konfesi HKBP, dalam Konfesi GKPA tidak
terdapat kata-kata ”Kami menolak dan melawan ajaran Gereja Katolik

243 Pangokuon Haporsayaan (Konfesi) GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1996), hlm.
6.
148  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Roma”, tetapi isi Konfesi GKPA ini tetap menyatakan penolakan


beberapa ajaran Gereja Katolik. Artinya, secara tertulis GKPA seolah-
olah tidak melawan Gereja Katolik, tetapi substansi konfesi itu tetap
tidak menerima beberapa ajaran Gereja Katolik.
Konfesi GKPA ini juga belum mencerminkan isi Deklarasi
Bersama, karena dokumen ini ditetapkan sebelum penandatanganan
Deklarasi Bersama. Menghadapi kemajuan zaman dan perkembangan
pengajaran iman Kristen saat ini, Rapat Pendeta GKPA 23-26 Oktober
2008 di Wisma Bumi Asih Pekan Baru telah menyepakati agar Konfesi
GKPA ini dirumuskan ulang dengan memperhatikan isi dokumen
Deklarasi Bersama, khususnya mengenai ajaran tentang pembenaran.
Artinya dalam rumusan ulang Konfesi GKPA akan ditambahkan satu
pasal tersendiri tentang ajaran pembenaran oleh iman yang mengacu
pada hasil keputusan Deklarasi Bersama 1999. Dalam dokumen lain,
misalnya Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA244tidak ada dituangkan
ajaran pembenaran oleh iman.

2.1.3 Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI (PG) 1991


Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) berdiri 30 Agustus
1964245. GKPI tidak menuangkan ajarannya dalam sebuah konfesi,
karena Konfesi GKPI sudah tertuang dalam Tata Gereja GKPI Pasal
II ayat 1 yang bunyinya, ”Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI)
mengakui Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat Kepala Gereja
sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Pengakuan ini menggerakkan dan menerangi seluruh
gerak-hidup Warga Jemaat di GKPI.”246 GKPI menuangkan seluruh
ajaran Gerejanya dalam sebuah dokumen Pokok-pokok Pemahaman
Iman GKPI.247 Pokok-pokok iman GKPI berisi XX pasal. Pasal tentang
ajaran pembenaran dituangkan dalam pasal V tentang ”Pembenaran
manusia berdosa”. Pasal ini lebih menunjukkan ciri Lutheran tentang
ajaran pembenaran. Lebih jelasnya marilah kita melihat kutipan

244 Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2004).
245 GKPI masuk anggota PGI pada 10 Juli 1976. GKPI berkantor Pusat di Jl.Kapt. MH.Sitorus
No.13/25 Pematangsiantar, Sumatera Utara. Berdasarkan Almanak GKPI 2009 jumlah warga
jemaat GKPI sebanyak 359.438 jiwa yang digembalakan 212 pendeta (Almanak GKPI 2009,
hlm. 378).
246 Kumpulan Peraturan GKPI, (Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2008), hlm. 2.
247 Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI disahkan pada Synode Am Kerja GKPI 1993.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 149

ajaran pembenaran dalam pasal V tentang ”Pembenaran Manusia


Berdosa”.248
1) Manusia berdosa dibenarkan hanya oleh anugerah Allah,
dalam karya penyelamatan Yesus Kristus...
2) Pembenaran manusia berdosa diberikan Allah secara cuma-
cuma kepada kita manusia. Karena manusia telah berdosa
dan kehilangan kemuliaan Allah dan manusia tidak dapat
mengembalikan dirinya kepada Allah ... Dengan demikian itu,
manusia bisa dibenarkan dari dosa, bila manusia menerima
pembenaran Allah dalam Yesus Kristus ...
3) Pembenaran yang diberikan oleh Allah diterima oleh manusia
dengan iman, yang menggerakkan hati dan hidup kita untuk
percaya dan memandang kepada oknum Kristus yang telah
mengadakan pendamaian itu.
4) Pembenaran bukanlah perbuatan manusia atau amal atau
melakukan segala sesuatu yang baik menurut manusia (Rm
11: 6). Pembenaran terjadi di luar dari perbuatan kita.
5) Perbuatan orang percaya bukan sebagai jalan kelepasan dari
dosa, tetapi sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah
memberikan perdamaian dan pembenaran itu. Kita berbuat
baik bukan supaya kita dibenarkan, kita berbuat baik karena
kita sudah dibenarkan. Perbuatan baik adalah buah iman,
buah pekerjaan Roh Kudus dalam hati / hidup kita (bdk. Gal
5: 22-23).

Dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ini memasukkan


ajaran Luther sola gratia dalam pembenaran manusia, namun
ajaran sola fide tidak terlihat jelas dalam dokumen ini. Dokumen ini
menyebutkan, ”Pembenaran yang diberikan oleh Allah diterima oleh
manusia dengan iman”. Artinya, pembenaran itu diterima manusia
tidak ”hanya melalui iman” (solafide). Pengajaran ini dikembangkan
lagi dalam dokumen Buku Katekisasi GKPI249 yang menyebutkan
bahwa keselamatan itu bukanlah usaha manusia sendiri. Manusia
tidak mampu mengusahakan keselamatan, tetapi keselamatan

248 Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI, (Pematangsiantar: Kantor Pusat GKPI, 1991), hlm. 15-17.
249 Jan S. Aritonang, Buku Katekisasi di Gereja Kristen Protestang Indonesia, (Pematangsiantar:
Kolportase Pusat GKPI, cet. ke 3, 2001), hlm. 99-100.
150  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

itu merupakan anugerah dari Tuhan. Yang dituntut dari manusia


hanyalah iman (kepercayaan) bahwa Dia telah mengorbankan diri-
Nya untuk menyelamatkan manusia. Tetapi iman itu juga harus
dibuktikan melalui perbuatan baik, sebagai pernyataan terima kasih
atas keselamatan yang dianugerahkan Tuhan ( Yoh 15: 16, Gal 5: 22-
23, 1 Yoh 2: 14-26).
Melihat dari isinya, dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman
GKPI tentang ajaran pembenaran lebih mendekati isi dokumen
Deklarasi Bersama. Dalam dokumen Pokok-pokok Iman GKPI dan
Deklarasi Bersama terdapat kesamaan tentang pembenaran, misalnya:
pertama, ”Pembenaran terjadi hanya karena anugerah” (DB 19, 25-26;
bdk. PG V:1). Kedua, ”Kami bersama-sama mengaku, bahwa orang-
orang berdosa dibenarkan oleh iman dalam karya penyelamatan
Allah di dalam Kristus” (DB 25; bdk. PG V: 3). Ketiga, ”Kami bersama-
sama mengakui, bahwa perbuatan baik – yaitu kehidupan kristiani di
dalam iman, pengharapan, dan kasih – muncul dari pembenaran dan
merupakan buahnya” (DB 37; bdk. PG V: 5).
Timbul pertanyaan, apakah kedua dokumen Pokok-pokok Pe­
mahaman Iman GKPI dan dokumen Deklarasi Bersama ini saling
mempengaruhi? Dokumen Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI
ditetapkan tahun 1991, dan dokumen Deklarasi Bersama ditandatangani
1999. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa dokumen Pokok-
pokok Pemahaman Iman GKPI tidak mungkin dipengaruhi oleh
dokumen Deklarasi Bersama. Walaupun dokumen Pokok-pokok
Pemahaman Iman GKPI ditetapkan 1991, dokumen ini juga tidak
mempengaruhi dokumen Deklarasi Bersama. Hal ini terbukti dari
sumber-sumber yang dipakai dalam membahas dan merumuskan
dokumen Deklarasi Bersama yang tidak mencantumkan dokumen
Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI ini.

2.1.4 Pokok-pokok Ajaran Gereja Non-Lutheran


Lebih dalam ajaran pembenaran oleh iman ini dapat kita lihat
dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja non-Lutheran yang ada di
Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbadingan ajaran
pembenaran di kalangan Lutheran dengan Gereja non-Lutheran yang
ada di Indonesia. Dokumen-dokumen ini memang tidak dipengaruhi
oleh dokumen Deklarasi Bersama, namun perlu rasanya melihat
Pengaruh Deklarasi Bersama — 151

ajaran pembenaran itu dalam dokumen-dokumen Gereja-gereja non-


Lutheran sebagai bahan perbandingan.
Di bawah ini akan kita lihat beberapa dari dokumen Gereja-gereja
non-Lutheran yang menguraikan ajaran pembenaran itu sendiri.
Pokok-pokok Ajaran Pemahaman Iman Pengajaran Dasar GBI
Gereja Kristen Jawa 2005 GPIB 2006 2004
Penyelamatan Allah pada Keselamatan adalah Jikalau kita menganggap
dasarnya berisi: mahakarya TUHAN bahwa Allah menerima
1). Keyakinan bahwa Allah yang dianugerahkan kita karena perbuatan-
menciptakan langit dan kepada manusia dan perbuatan baik kita maka
bumi serta manusia dalam alam semesta. Dia sesungguhnya kita telah
keadaan yang baik. telah, sedang dan menaruh pembenaran
2). Keyakinan bahwa oleh akan terus menerus berdasarkan diri kita
karena dosa manusia berada mengadakannya sendiri ... Jika Allah
di dalam kondisi tidak sampai akhir membenarkan orang
selamat. zaman. Titik sejarah berdosa berdasarkan
3). Keyakinan bahwa terpenting dari perbuatan kita, maka itu
dengan kekuatan dan rentetan pekerjaan- artinya Allah menyangkali
usahanya sendiri manusia Nya tampak kenyataan hukum dan
tidak dapat selamat. pada kehadiran keadilan ... Tidak ada
4). Keyakinan bahwa Allah Yesus Kristus. Di yang dibanggakan
adalah satu-satunya yang dalam dan melalui manusia dalam proses
berkuasa dan berkenan pekerjaan-Nya penyelamatan Allah,
menyelamatkan manusia TUHAN Allah semuanya itu hanya
dari kondisi tidak selamat. menganugerahkan kemurahan dan pekerjaan
(Kej 1: 31; Rm 3: 21-26; 5: 12- Keselamatan ke Allah. Bahkan iman itu
21; bdk. Mzm 51: 7). atas ke-hidupan sendiri adalah anugerah
seluruh makhluk / pemberian Allah
Penyelamatan Allah yang ciptaan-Nya. Itulah yang memungkinkan
adalah anugerah itu dapat pemahaman dan kita mempercayai dan
dinalar sebagai berikut: pengakuan iman menerima apa yang telah
1). Allah menyelamatkan Gereja sepanjang Kristus kerjakan bagi kita
manusia karena Ia sejarah dunia dan orang berdosa. Sekali lagi,
mengasihi manusia. di mana pun Gereja dasar dari pembenaran
2). Allah mengasihi diutus.2 itu adalah kematian
manusia karena bagi-Nya Kristus, dan sarana yang
manusia berharga untuk olehnya pembenaran
dikasihi. itu menjadi efektif bagi
3). Bagi Allah manusia setiap orang adalah
berharga untuk dikasihi iman, yang merupakan
karena manusia mempunyai lawan perbuatan baik
martabat di atas semua (Rm 3: 28) ... Seseorang
makhluk yang lain. yang telah sungguh-
4). Martabat manusia itu sungguh dibenarkan akan
adalah bahwa manusia memanifestasikan fakta
merupakan satu-satunya ini dalam perbuatan-
makhluk yang diciptakan perbuatan kebajikan.3
segambar dengan Allah.
(Kej.1: 26,27; Yoh 3: 16; 1
Yoh 4: 9, 10; bdk. Ef 4: 24;
Kol.3: 10).1
152  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Gereja Kristen Jawa (GKJ) berdiri 17 Pebruari 1931250. Dokumen


pengajaran iman GKJ disebut dengan ’Pokok-pokok Ajaran GKJ’(PPA
GKJ)251. Pokok-pokok ajaran GKJ ini terdiri dari enam bab. Pengajaran
tentang ajaran pembenaran dalam PPA GKJ ini tertuang dalam bab
Tiga tentang ”Penyelamatan Allah”. Dalam dokumen ini ajaran
pembenaran tidak tertuang secara khusus dalam satu bab atau pasal,
namun ajaran ini termaktub dalam ajaran ”Penyelamatan Allah”.
Dokumen Pokok-pokok Ajaran GKJ ini menunjukkan bahwa
penyelamatan itu merupakan anugerah Allah, dan manusia tidak
dapat menyelamatkan dirinya dengan usahanya sendiri. Kalimat ini
merupakan kalimat khas dari Luther walaupun rumusannya tidak
sama dengan rumusan kalimat pembenaran Luther. Dari rumusan
pengajaran GKJ di atas, terlihat bahwa dokumen ini tidak dipengaruhi
oleh dokumen Deklarasi Bersama. Mengapa? Menurut penulis karena
GKJ bukanlah anggota LWF. GKJ adalah Gereja yang beraliran
Calvinis yang tergabung dalam WARC sehingga dokumen Deklarasi
Bersama ini tidak mereka kenal walaupun dokumen pengajaran GKJ
ini disahkan pada 2005.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) berdiri 31
Oktober 1948252. Dokumen pengajaran iman GPIB disebut dengan
’Pemahaman Iman GPIB’253. Pemahaman Iman GPIB ini terdiri dari
tujuh bab. Pengajaran tentang ajaran pembenaran dalam Pemahaman
Iman GPIB ini tertuang dalam bab satu tentang ”Keselamatan”.
Dalam dokumen ini ajaran pembenaran tidak tertuang secara khusus
dalam satu bab atau pasal, namun ajaran ini termaktub dalam ajaran
”Keselamatan”.
Dokumen Pemahaman Iman GPIB ini menempatkan ajaran ke­
selamatan sebagai pengajaran yang pertama. Jika keselamatan itu

250 GKJ masuk anggota PGI pada 25 Mei 1950. GKJ berkantor Pusat di Salatiga – Jawa Tengah.
Berdasarkan BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 222.984 jiwa yang digembalakan
280 pendeta.
251 Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (selanjutnya disingkat: PPA GKJ) disahkan dalam
Sidang Sinode Terbatas tahun 1996. Dengan demikian dokumen ini memperoleh status
resmi gerejawi, yang memuat isi kepercayaan Gereja dan pedoman hidup bagi warga Gereja.
Dokumen ini dinyatakan berlaku sejak disahkan dan baru akan berubah status apabila
dikehendaki oleh Gereja-gereja, melalui suatu keputusan Sidang Sinode GKJ di waktu yang
akan datang. PPA GKJ yang digunakan dalam tesis ini adalah revisi PPA GKJ 2005.
252 GPIB masuk anggota PGI pada 25 Mei 1950. GPIB berkantor Pusat di Jakarta. Berdasarkan
BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 259.964 jiwa yang digembalakan 260
pendeta.
253 Pemahaman Iman GPIB disahkan di Salatiga pada 17 – 19 Agustus 2006.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 153

diletakkan pada Pokok Pertama dalam pemahaman iman, maka Gereja


bermaksud dan bertujuan, agar keselamatan menjadi ”jembatan” dan
”landasan” dialog dengan manusia dan institusi sosial-keagamaan,
agar bersama-sama membangun dunia sesuai dengan kehendak
TUHAN. Dengan demikian, keselamatan bukan hanya menjadi
landasan hubungan dialogis antarumat manusia. Tetapi keselamatan
juga menjadi koridor yang mengarahkan harapan manusia memasuki
masa depan baru menyongsong kedatangan Yesus Raja.
Dari dokumen pengajaran GPIB di atas terlihat bahwa pengajaran
pembenaran itu hanya termaktub dalam ajaran keselamatan itu,
sehingga tidak terlihat secara langsung pengajaran pembenaran oleh
iman. Pengajaran pembenaran itu bersifat implisit dalam dokumen.
Sama seperti GKJ di atas, dokumen pemahaman iman GPIB ini tidak
dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, karena Gereja GPIB ini
juga merupakan Gereja aliran Calvinis sehingga dokumen Deklarasi
Bersama tidak dikenal oleh GPIB.
Gereja Bethel Indonesia (GBI) berdiri 6 Oktober 1970254. Dokumen
pengajaran iman GBI disebut dengan ’Pengajaran Dasar GBI’255.
Pemahaman Iman GBI ini terdiri dari tiga belas pasal. Pengajaran
tentang ajaran pembenaran dalam Pengajaran Dasar GBI ini tertuang
dalam pasal lima tentang ”Pembenaran dan Kelahiran Baru”. Isi
dokumen ini lebih mendekati rumusan Luther. Sub Judul Pembenaran
dan Kelahiran Baru ini adalah ”Pembenaran karena iman” (bdk.
Luther: Pembenaran oleh iman).
Pengajaran Dasar GBI ini dari judulnya menunjukkan ajaran
Lutheran, namun dalam penjelasan tentang pembenaran itu sendiri
tidak jelas dan bahkan kabur. Dalam rumusan pengajaran dasar ini
tidak tertuang rumusan Luther seutuhnya. GBI mengakui bahwa
pembenaran itu merupakan anugerah Allah dan hanya bisa diperoleh
karena iman.
Bila kita periksa literatur yang disebut pada kepustakaan
dari Pengajaran Dasar GBI itu, terlihat kumpulan dari buku-buku

254 GBI masuk anggota PGI pada 30 Oktober 1989. GBI berkantor Pusat di Jakarta. Berdasarkan
BAKI 2009 jumlah warga jemaat GKJ sebanyak 2.162.145 jiwa yang digembalakan 12.721
pendeta.
255 Pengajaran Dasar GBI diterbitkan Departemen Theologia Badan Pekerja Harian Gereja Bethel
Indonesia Jakarta pada Agustus 2004.
154  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dogma[tik] berbagai aliran. Dalam hal ajaran, GBI sejak disahkannya


buku itu tidak murni bercorak Pentakostal. Tetapi menurut Pdt.
Junifrius Gultom, M.Th,256 buku ini belum banyak dipakai di
lingkungan GBI.
Melihat rumusan ini dapat disimpulkan bahwa dokumen ini
tidak dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, karena rumusan
Deklarasi Bersama tidak seutuhnya terlihat dalam rumusan pengajaran
dasar GBI ini. Mengapa? Karena GBI adalah Gereja yang beraliran
Pentakostal sehingga mereka tidak mengetahui adanya dokumen
Deklarasi Bersama 1999.

2.2 Pengaruh Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di


Indonesia
Gereja Katolik di Indonesia adalah bagian dari Gereja Katolik
Roma. Gereja Katolik Roma atau Gereja Katolik257adalah Gereja
Kristen dalam persekutuan penuh dengan Uskup Roma. Gereja
Katolik menurut asal-usulnya dari komunitas Kristiani perdana yang

256 Pdt. Junifrius Gultom, M.Th. adalah pendeta GBI yang menjadi narasumber di mata kuliah
Aliran-aliran Gereja pada 25 Februari 2009 di STT Jakarta.
257 ”Gereja Katolik Roma”, dalam http://id.itpedia.sfilar.com/it/Gereja_Katolik_Roma. Nama
”Gereja Katolik” digunakan untuk membedakannya dengan Gereja-gereja lain yang tidak
berada dalam persekutuan penuh (komuni penuh) dengan Uskup Roma, yakni Ortodoks
Timur, Ortodoks Oriental, Anglikan, dan berbagai denominasi Protestan. Nama ”Gereja
Katolik Roma” pertama kali digunakan oleh kaum Protestan untuk menyebut seluruh
Gereja yang setia kepada Uskup Roma. Namun nama ini juga digunakan oleh umat Katolik
sendiri sejak abad ke-17, baik dalam bahasa Inggris, bahasa Perancis, maupun bahasa Latin,
untuk memperkenalkan iman mereka terutama dalam hal persekutuan mereka dengan tahta
keuskupan Roma. Di kawasan Timur Tengah, sebutan Gereja Katolik Roma dapat pula berarti
Gereja Melkit, atau Gereja Katolik yang menggunakan Ritus Latin, atau bahkan bisa berarti
Gereja Katolik di kota Roma, Italia. Dalam hubungannya dengan Gereja-gereja lain, nama
”Gereja Katolik” yang dipergunakan, dan untuk urusan internal digunakan istilah ”Gereja”.
Sebagai contoh, dalam Katekismus Gereja Katolik, istilah ”Gereja” digunakan ratusan kali,
sedangkan nama ”Gereja Katolik” hanya digunakan24 kali, bahkan nama ”Gereja Katolik
Roma” sama sekali tidak digunakan. Penggunaan nama ”Gereja Katolik” secara resmi
diterima oleh beberapa Gereja Kristen lainnya, namun kebanyakan dari mereka menggunakan
istilah ”Gereja Katolik Roma” untuk menyebut Gereja ini. Meskipun demikian, dalam
penggunaan secara informal, bahkan oleh anggota-anggota Gereja lainnya istilah ”Gereja
Katolik” dipahami sebagai nama dari Gereja ini. Pada tahun 397 Masehi, Santo Augustinus
menjelaskan bahwa nama tersebut bahkan dipahami oleh mereka yang digolongkannya
sebagai kaum bidaah: ”… Nama itu, yakni Katolik, yang bukannya tanpa alasan, dengan
dikelilingi begitu banyak bidaah, telah digunakan oleh Gereja; dengan demikian, meskipun
semua kaum bidaah ingin disebut Katolik, namun jika ada orang asing bertanya di manakah
jemaat Katolik berkumpul, maka tak satu pun kaum bidaah yang berani menunjuk kapel atau
rumahnya sendiri.” Singkatnya, baik nama ”Gereja Katolik”, maupun ”Gereja Katolik Roma”
digunakan sebagai sebutan alternatif bagi seluruh Gereja ”yang dipimpin oleh pengganti
Petrus dan oleh para uskup yang berada dalam satu komuni bersamanya.”
Pengaruh Deklarasi Bersama — 155

didirikan oleh Yesus Kristus dan dipimpin oleh Keduabelas Rasul,


khususnya Santo Petrus.
Gereja Katolik merupakan sebuah organisasi sedunia yang terdiri
atas satu Gereja Partikular Ritus Latin dan 22 Gereja Partikular Ritus
Timur, semuanya mengakui Tahta Suci di Roma sebagai otoritas
tertingginya di muka bumi. Gereja Katolik terbagi-bagi dalam wilayah-
wilayah yurisdiksi, biasanya atas dasar teritorial. Satu unit teritorial
standar disebut diosis (di Indonesia disebut keuskupan) dalam ritus
Latin atau eparki dalam ritus-ritus Timur, masing-masing dikepalai
seorang uskup. Pada akhir tahun 2005, jumlah total seluruh wilayah
yurisdiksi tersebut adalah 2.770.
Gereja Katolik merupakan Gereja Kristen terbesar dan organisasi
keagamaan terbesar di dunia. Menurut Buku Tahunan Statistik Gereja
Katolik, keanggotaannya di seluruh dunia pada akhir tahun 2005
berjumlah 1,13 miliar meliputi sekitar 60% dari seluruh penganut
Kristen atau kira-kira satu dari enam orang di dunia beragama Katolik.
Data statistik pada 2005, menunjukkan bahwa sekitar 7.380.203 (3,05%)
dari 241.973.879 penduduk Indonesia, beragama Katolik.258
Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik
di Indonesia tidak akan dilacak pada keseluruhan umat Katolik di
Indonesia, namun akan difokuskan kepada Gereja Katolik yang ber­
ada di Keuskupan Agung Medan.
Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik di
wilayah Keuskupan Agung Medan sangat terasa. Hal ini terlihat dari
respons Uskup Agung Medan, Uskup Alfred Gonti Pius Datubara,
O.F.M. Cap dan Anicetus Bongsu Antonius Sinaga, O.F.M. Cap
yang memberikan perhatian khusus dalam mensukseskan sosialisasi
dokumen Deklarasi Bersama bagi umat Katolik di wilayah keuskupan
Agung Medan. Keuskupan Agung Medan memulai usaha sosialisasi
ini serempak di dalam kehidupan berjemaat maupun di dalam
pembinaan para calon pastor di lembaga-lembaga teologi.

258 Ibid. Di Indonesia, orang pertama yang menjadi Katolik adalah orang Maluku, Kolano (kepala
kampung) Mamuya (sekarang di Maluku Utara) yang dibaptis bersama seluruh warga
kampungnya pada tahun 1534 setelah menerima pemberitaan Injil dari Gonzalo Veloso,
seorang saudagar Portugis. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan
rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam
Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia itu adalah
Santo Fransiskus Xaverius, yang pada tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau
Ambon, Saparua, dan Ternate. Ia juga membaptis beberapa ribu penduduk setempat.
156  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Dalam bagian ini akan dilihat pengaruh dokumen Deklarasi Ber­


sama tersebut di dalam kehidupan berjemaat dan kehidupan lembaga
pendidikan teologi Katolik.

2.2.1 Jemaat Katolik


Pastor J. Kosmas Tumanggor259 mengatakan bahwa pengaruh
dokumen Deklarasi Bersama bagi jemaat Katolik adalah hubungan
antara jemaat Katolik dan Protestan semakin akrab, sebab perke­
la­hian masa dulu sudah menjadi bahan tertawaan pada masa kini,
walaupun pergumulan masa lalu tidak bisa kita buang begitu saja.
Pergumulan kita saat ini sudah berbeda dengan pergumulan masa
lampau. Pergumulan masa kini adalah masalah ekonomi, politik,
kemis­kinan, dan global warming. Lebih dalam Tumanggor me­
nga­takan, ”Mengapa kita tidak bersatu di dalam pengakuan iman
itu: ’Aku percaya kepada Allah Bapa..., aku percaya kepada Yesus
Kristus..., aku percaya kepada Roh Kudus...’ Karena di sana tidak ada
dikata­kan: Aku percaya kepada ’sakramen’”. Artinya, menurutnya
kita repot dengan ranting dan daunnya, sementara kita mengabaikan
pokoknya.
Secara praktis pengaruh Deklarasi Bersama di tengah-tengah jemaat
secara langsung dikaitkan dengan kehidupan berekumene. Hubungan
Katolik dan Protestan semakin membaik tanpa mempersoalkan ajar­
an yang berbeda, namun mencari ajaran yang saling kita terima.
Sebenarnya masih banyak yang harus digali bersama antara Gereja
Katolik dan Protestan tentang hal-hal yang bisa membuat gerakan
kesatuan Gereja semakin terasa. Pastor Tumanggor mengambil contoh
mengenai rumusan Doa Bapa Kami yang mestinya bisa dirumus­kan
secara bersama oleh kedua belah pihak. Gereja Katolik masih ber­­ta­
han dengan rumusannya sendiri, demikian juga Protestan tetap mem­
pertahankan ajarannya sendiri. Sikap seperti ini sudah harus diting­
galkan dalam rangka mencapai kesatuan Gereja ke masa depan.
Pengaruh lain yang disampaikan Tumanggor adalah sekurang-
kurangnya umat Katolik dan Protestan tidak berkelahi lagi karena
ajaran yang berbeda. Hal itu sudah merupakan pengaruh yang cukup

259 Pastor J. Kosmas Tumanggor adalah pastor jemaat di Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1
Pematangsiantar dan dosen STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Wawancara pada
28 Oktober 2008 di ruang Pastoran Gereja Katolik itu.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 157

besar bagi hubungan Katolik dan Protestan di Indonesia. Dokumen


bersama ini akan memampukan setiap umat untuk mewujudkan
kebersamaan dalam tindakan bersama yakni bagaimana Tuhan
membenarkan kita. Bagaimana pembenaran itu dipahami bersama di
dalam kehidupan berjemaat? Bagi Katolik, pembenaran itu bersifat
internal, sementara bagi Lutheran pembenaran itu bersifat forensik
(di luar) manusia. Bagaimana kedua hal ini disatukan? Menurut
Tumanggor, ”Kita jangan terlalu menonjolkan kesatuan ajarannya
saja, karena itu akan sulit mempertemukannya. Rahmat pembenaran
itu harus diwujudkan dalam tindakan bersama dalam kehidupan
sehari-hari. Kita sama-sama menerima pembenaran itu, walaupun
cara yang berbeda.” Dan harus disadari bahwa ajaran pembenaran
itu selalu berkaitan dengan konteksnya. Konteks ajaran pembenaran
pada abad keenambelas jelas berbeda dengan ajaran pembenaran
yang kita hadapi saat ini. Karena perbedaan konteks itu, maka akan
memumungkinkan umat Katolik dan Protestan untuk bisa memahami
ajaran pembenaran itu dalam suasana yang lebih baik tanpa didorong
rasa permusuhan.
Apa yang disampaikan Tumanggor juga dialami oleh umat
Katolik di Amerika seperti yang diutarakan pada bab II. Menurut
laporan Jeffrey Gros260, dokumen Deklarasi Bersama ini sangat di­
sambut baik oleh negara-negara yang ada di Amerika. Hal ini terlihat
dari usaha seorang Lutheran Brazil, Walter Altmann yang mencoba
mensosialisasikan dokumen ini di Amerika Latin pada konteks
globalisasi dan kebebasan. Dokumen ini juga sangat diminati oleh
umat Protestan dan Gereja Katolik di Amerika Latin. Mengapa?
Karena di Brazil diperkirakan satu dari tiga penduduk digilas hidup
kemiskinan, tidak hidup dalam kesejahteraan, bahkan mereka hidup
dalam ketidakadilan yang luar biasa. Lebih dalam Gros mengatakan
bahwa Gereja Lutheran dan Gereja Katolik secara bersama-sama
menghadapi situasi dan permasalahan yang mereka hadapi, yakni
melawan ajaran-ajaran Reformasi radikal yang berkaitan dengan
ajaran anugerah, kemasyarakatan, perbuatan baik, dan keselamatan
sosial.261 Dokumen Deklarasi Bersama ini menjadi dasar bagi Gereja

260 Jeffrey Gros, ”The Reception in the US Catholic Context”, dalam Karen L. Bloomquist dan
Wolfgang Grieve (eds.), LWF Studies No.02/2003, (Switzerland: LWF, 2003), hlm. 25-31.
261 Ibid., hlm. 26.
158  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Lutheran dan Gereja Katolik untuk memperjuangkan hidup para


penduduk melarat yang diperkirakan sekitar 40 juta. Mereka hidup
dalam situasi permasalahan hidup ”harta yang melarat”.262 Sehingga
ajaran pembenaran oleh iman sangat mempengaruhi kehidupan
pribadi maupun spiritualitas masyarakat Brazil.263 Orang-orang
Protestan Brazil melihat tindakan pembenaran Allah sebagai sesuatu
yang sangat intim dan pribadi, sebagai proses ”spiritual” yang tidak
bertentangan dengan permasalah politik, ekonomi, dan sosial. Ajaran
pembenaran telah menjadi sebuah ajaran yang membebaskan di dalam
masyarakat Brazil. Bahkan dokumen Deklarasi Bersama ini semakin
memperkuat Teologi Pembebasan yang diprakarsai Gereja Katolik
untuk membebaskan umat yang tertindas di Amerika Latin. Dengan
adanya dokumen Deklarasi Bersama ini, hubungan Gereja Lutheran
dan Gereja Katolik di Amerika Latin semakin kokoh. Gereja Lutheran
dan Gereja Katolik telah duduk bersama untuk membahas firman
Tuhan dan juga sama-sama berjuang menghadapi segala bentuk-
bentuk penderitaan yang menimpa kehidupan masyarakat.264
Pengaruh yang paling menonjol dari dokumen ini bagi umat Gereja
Katolik di Amerika adalah dalam hal perubahan dokumen Katekisasi
Gereja Katolik. Umat Gereja Katolik di Amerika telah memiliki buku
Katekisasi terbitan 1992, namun buku ini mengalami perubahan pada
2002. Dalam dokumen Katekisasi Gereja Katolik 2002 beberapa isi
dokumen Deklarasi Bersama telah dimasukkan dalam buku Katekisasi
Gereja Katolik 2002. Hal ini terlihat dari: (a) Teks Pembinaan Ekumenis
(Ecumenical Formation) telah ditambahkan dalam daftar dasar-dasar
dokumen dan catatan kaki di berbagai tempat; (b) Kalimat Dominus
Iesus telah digantikan oleh banyak teks irenik yang memiliki otoritas
di dalam magisterium Katolik; (c) Dokumen Deklarasi Bersama telah
ditambahkan dalam catatan kaki dalam Katekismus yang membahas
tentang anugerah; dan (d) Ekumenisme telah dimasukkan dalam
daftar implikasi pastoral.265

262 Fernando Bortolleto Filho, ”Justification as Shalom for the People of God”, dalam Ibid., hlm.
72-73.
263 Diacu dalam laporan Walter Altman, Lutero e Libertaçäo, (Säo Paulo/Säo Leopoldo: Ătica/
Sinodal, 1994), hlm. 87.
264 Fernando Bortolleto Filho, Op.Cit., hlm.76.
265 Jeffrey Gros, Op.Cit., hlm. 29-30.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 159

Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama harus terus digaungkan


dalam kehidupan berjemaat agar jemaat semakin memahami dengan
benar isi dan makna dari dokumen ini. Berkaitan dengan deklarasi
berikutnya, Tumanggor mengatakan, ”Harus ada keberanian untuk
mencari apa yang pokok. Berani meninggalkan sebagian dari hal-hal
yang menghalangi kita memikirkan hal-hal yang inti dari prioritas
kebenaran dari kedua belah pihak.” Umat Katolik dan Protestan
harus berani duduk bersama untuk mencari hal-hal yang bisa kita
terima dan akui secara bersama demi keutuhan dan kesatuan umat
Kristen di dunia ini.
Keberanian dalam berpikir maju dalam melihat Gereja Katolik
Roma bukan sebagai musuh melainkan sebagai saudara seiman bagi
kalangan Protestan harus dikembangkan. Bahkan sebuah majalah me­
nyebutkan bahwa beberapa tokoh Protestan Injili bisa saja berpindah
ke dalam Gereja Katolik. Majalah Christian Century, edisi 22 Agustus
2006 membahas tak kurang dari enam tokoh penting dari kalangan
Protestan yang hijrah ke Gereja Katolik; tokoh-tokoh tersebut adalah:
Reinhard Hütter, Bruce Marshall, Mickey Mattox (ketiganya adalah
Lutheran), Rusty Reno, Douglas Farrow (keduanya Anglican) dan
Gerald Schlabach (Mennonite). Sekitar awal Mei 2007 baru-baru ini
kalangan Injili kembali dikejutkan dengan peristiwa yang sama,
yaitu bergabungnya president Evangelical Theological Society, Francis
Beckwith, ke dalam denominasi Katolik. Atau lebih tepatnya, menurut
kata-kata Beckwith sendiri, ia ”kembali” ke denominasi asalnya. Trend
semacam ini sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya, ketika
misalnya tokoh seperti Richard John Neuhaus (Lutheran) memutuskan
untuk bergabung dengan Gereja Katolik dalam masa puncak karirnya
dan sekarang menjadi pemimpin salah satu majalah utama Gereja
Katolik, First Thing. Mungkin penting juga untuk menyimak buku
ka­rangan Joseph Pearce, Literary Converts, yang memaparkan secara
rinci pengaruh doktrin Katolik dalam mempertobatkan tokoh-tokoh
sastra Inggris dan Amerika di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20.266

266 Kalvin S. Budiman, ”Bersikap ‘katolik’ tanpa Menjadi ‘Katolik’”, dalam http://groups.yahoo.
com/group/METAMORPHE/message/7087.
160  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Dari fakta di atas terlihat bahwa ada kecenderungan hubungan


Protestan dan Katolik akan semakin merasa dekat. Artinya, bisa saja
tokoh Protestan berpindah ke Katolik ataupun sebaliknya tokoh
Katolik berpindah ke Protestan. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang
mendasari fenomena ini mulai berkembang di kalangan Protestan dan
Katolik? Menurut Budiman, sudah tentu alasan hijrah masing-masing
tokoh di atas berbeda-beda. Namun demikian, menurut pengamatan
Budiman secara pribadi, ada beberapa alasan yang secara garis besar
dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh Protestan memutuskan
untuk bergabung dengan Gereja Katolik:267
1) Kita perlu menyimak kembali peristiwa Reformasi di abad ke-
16. Akhir-akhir ini tokoh-tokoh penting dalam studi sejarah
Reformasi menunjukkan bahwa tali ikatan antara GKRA
bad Pertengahan dengan denominasi Protestan yang lahir
sesudah era Reformasi ternyata tidak sepenuhnya pupus,
seperti anggapan atau harapan kebanyakan jemaat Protestan
pada umumnya. Pemahaman umum bahwa Gereja telah
mengalami kelahiran baru di era Reformasi dan terpisah
secara total dari Gereja Katolik ternyata terbukti tidak
sepenuhnya benar. Memang tidak salah bila dikatakan bahwa
para tokoh Reformasi telah memisahkan diri secara tajam dari
Gereja Katolik dalam aspek-aspek doktrinal seperti sakramen,
doktrin keselamatan, dan doktrin Gereja. Tetapi tak kurang
dari guru besar studi Reformasi seperti David Steinmetz
(Duke University) dan Richard Muller (Calvin Seminary)
meyakini bahwa dalam isu-isu teologis lainnya, moral dan
etika, pastoral, dan metode berteologi, masih ada banyak tali-
tali pengikat yang menyatukan Gereja Katolik dengan Gereja-
gereja yang lahir sesudah Reformasi. Diterjemahkannya dan
dipublikasikannya dokumen-dokumen asli tulisan para tokoh
Reformasi yang hidup sezaman atau sesudah Luther dan
Calvin menyingkapkan bukti hitam di atas putih bahwa ada
begitu banyak warisan GKRA bad Pertengahan yang tetap
dipertahankan, entah secara sadar atau tidak, oleh tokoh-

267 Ibid.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 161

tokoh Reformasi — tentunya dengan beberapa modifikasi dan


penafsiran dari sudut pandang yang baru; seperti misalnya
konsep hukum kodrati, metafisika, doktrin pemeliharaan
Allah, metode skolastik dalam berteologi, serta beberapa
ajaran penting Thomas Aquinas.
2) Di abad ke-20 dan abad kita sekarang ini, kita menjumpai
adanya kecenderungan di antara para teolog non-Katolik
dan Katolik untuk kembali ke tradisi Gereja mula-mula yang
selama ini senantiasa merupakan tekanan penting dalam
teologi Gereja Katolik Roma (dan juga Orthodox), tetapi
kurang ditekankan dalam denominasi-denominasi di luar
Gereja Katolik. Lihat misalnya buku Katolikisme (Catholicism),
yang merupakan salah satu tulisan monumental tokoh utama
Gereja Katolik, Henri de Lubac. Tulisan ini menggarisbawahi
peran penting Gereja mula-mula dalam mendefinisikan
hakikat Gereja yang ”universal” (catholicum). Di kalangan
non-Katolik, muncul pendekatan serupa lewat, misalnya,
gerakan paleo-orthodoxy yang dimulai oleh Thomas Oden
(Drew University), yang adalah seorang Methodist. Gerakan
ini menekankan metode berteologi dengan memanfaatkan
sumber-sumber dari patristik atau bapak-bapak Gereja
mula-mula. Oden juga menjadi kepala editor proyek Ancient
Christian Commentary, sebuah seri eksegese Alkitab dari
zaman Gereja mula-mula. Proyek ini melibatkan bukan hanya
teolog dan ahli Alkitab dari kalangan Protestan, tetapi juga
dari kalangan Katolik. Salah satu contoh lagi adalah proyek
Evangelical Resourcement yang sedang digarap oleh Daniel
H. Williams (Baylor University), yang adalah seorang Baptist.
Proyek ini bertujuan untuk memakai sumber-sumber dalam
tradisi Gereja mula-mula dalam konteks masa sekarang.
Gagasan-gagasan semacam ini juga dipopulerkan oleh
sebuah gerakan yang sekarang ini dikenal dengan sebutan
Radical Orthodoxy. Sebuah gerakan yang dimulai di Inggris
dengan tokoh utamanya John Milbank (Anglican) dengan
tujuan menyingkapkan kembali pentingnya warisan patristik,
Abad Pertengahan dan Renaissance, dalam berteologi di era
postmodern. Isi dari gerakan-gerakan semacam ini sudah
162  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

tentu berbeda satu dengan lainnya, namun satu kemiripan


dari gerakan-gerakan tersebut adalah ”persinggungannya”
dengan sumber-sumber teologi dalam tradisi Gereja Katolik.
3) Kedekatan tokoh-tokoh non-Katolik dengan Gereja Katolik
lebih diperkuat lagi dengan menjamurnya proyek bersama
atau proyek ekumenis antara Gereja non-Katolik dengan Gereja
Katolik. Barangkali salah satu contoh yang paling populer
sekarang ini adalah tercapainya Deklarasi Bersama tentang
Ajaran Pembenaran (The Joint Declaration on the Doctrine
of Justification) antara LWF dengan Gereja Katolik pada 31
Oktober 1999. Deklarasi ini berisi beberapa ketetapan yang
dianggap sebagai ”jalan tengah” antara konsep pembenaran
iman Gereja Lutheran dan konsep yang sama yang dipegang
oleh Gereja Katolik. Proyek-proyek ekumenis lainnya, antara
lain, adalah: Evangelical and Catholic Together (dimulai pada
1992), the Ekklesia Project (sebuah proyek ”friendship” yang
melibatkan berbagai denominasi), Reformed Catholicism
(konferensi pertama akan diadakan February 2008), dan
dialog yang terus-menerus berlangsung antara denominasi
Baptis dan Katolik — dua denominasi dengan jumlah anggota
terbesar di Amerika Serikat (dialog ini sendiri belakangan ini
ditentang dengan keras oleh sejumlah anggota Gereja Baptis).
Gerakan-gerakan ekumenis semacam ini melibatkan tokoh-
tokoh utama dari kalangan Protestan dan Katolik, seperti
Charles Colson, J. I. Packer, Avery Dulles, dan Richard John
Neuhaus.
4) Kebangunan yang terjadi di dalam Gereja Katolik sendiri.
Kebangunan di sini bukan dalam arti kebangunan rohani
seperti yang umumnya dimengerti di kalangan Gereja Pro­
testan, tetapi kebangunan melalui gerakan ‘injili’ model
Katolik, sosial dan seni. Abad ke-20, khususnya, menyaksikan
munculnya kelompok ‘injili’ dalam Katolik yang bukan
muncul dari bergabungnya kelompok ”Injili” ke dalam Gereja
Katolik, tetapi gerakan ”injili” yang muncul dari dalam
Gereja Katolik sendiri; yaitu munculnya generasi muda yang
ingin mempertahankan secara seimbang kehidupan rohani
yang berapi-api, keterlibatan secara aktif dalam kegiatan
Pengaruh Deklarasi Bersama — 163

sosial, serta kesetiaan pada tradisi ajaran Gereja Katolik.268 Di


samping itu, abad ke-20 juga menyaksikan munculnya dari
kalangan Gereja Katolik sejumlah tokoh yang memberikan
pengaruh tidak sedikit dalam bidang sosial dan seni; tokoh-
tokoh mulai dari G. K. Chesterton, Dorothy Day, Thomas
Merton, Graham Greene, Flannery O’Conor, Czelaw Milosz,
dan Walker Percy. Masing-masing berangkat dari kerangka
berpikir teologi Katolik dan melahirkan karya tulis yang men­
dalam tetapi aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
tidak memberikan teori yang muluk, tetapi menolong pembaca
untuk berteori dan memahami kehidupan dengan kreatif.
Sulit untuk dipungkiri bahwa kebangunan dalam Gereja
Katolik semacam ini telah memberikan daya pikat tersendiri
bagi para pemimpin non-Katolik.
5) Memang di abad ini kita juga menyaksikan kebangkrutan
moral yang tidak kecil yang terjadi dalam Gereja Katolik.
Terbongkarnya skandal phaedophilia di kalangan pastor
Gereja Katolik adalah aib yang sangat memalukan. Namun
demikian, di tengah maraknya isu-isu moral di masyarakat,
yang memecah belah berbagai kalangan Kristen, seperti per­
nikahan homoseksual, aborsi, perang, polusi lingkungan
dan sebagainya, Gereja-gereja non-Katolik tetap harus mem­
perhitungkan pendapat dari Gereja Katolik. Mengapa? Sulit
dipungkiri bahwa dibandingkan denominasi-denominasi lain­
nya, salah satu kekhususan Gereja Katolik adalah merumus­
kan prinsip-prinsip etika hampir di semua isu yang ada di
masyarakat. Mereka memiliki rumusan dan panduan yang
jelas dan rinci dalam masalah-masalah etika yang pelik.
Dan sejauh ini, banyak prinsip yang Gereja Katolik pegang
belum tergoyahkan oleh pergeseran-pergeseran di dunia etika
modern; banyak di antaranya adalah prinsip-prinsip yang oleh
denominasi non-Katolik dipandang sejalan dengan Alkitab.

Pendapat Budiman ini menunjukkan bahwa dokumen Deklarasi


Bersama (poin 3 di atas) mampu mendekatkan hubungan antara

268 Lih. tulisan William L. Portier, ”Here Come the Evangelical Catholics,” dalam Communio 31
(Spring, 2004), hlm. 35-65.
164  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

tokoh-tokoh Protestan dan Katolik dengan pembahasan-pembahasan


teologi secara bersama-sama. Menurut penulis hal ini benar, sebab
semakin banyak pokok-pokok teologi dibahas dan didiskusikan oleh
teolog-teolog Protestan dan Katolik maka akan terbukalah lebar jalan
penyatuan pemahaman bersama akan ajaran-ajaran lainnya.

2.2.2 Lembaga Pendidikan Teologi Katolik


Salah satu lembaga teologinya adalah Sekolah Tinggi Filsafat dan
Teologi (STFT) St. Thomas Sinaksak, Pematangsiantar. Di lembaga
teologi ini, dokumen Deklarasi Bersama menjadi salah satu pokok
pelajaran penting bagi mata kuliah dogmatika. Hal ini diungkapkan
oleh Pastor Richard Sinaga269 dalam sebuah wawancara. Menurut
Sinaga, sebagai dosen dogmatika di STFT St. Yohanes Sinaksak-
Pematangsiantar, beliau setiap tahun mengajarkan dokumen Deklarasi
Bersama kepada setiap mahasiswanya. Dalam kuliahnya, Sinaga
mengajarkan bahwa ajaran pembenaran merupakan sumber per­
kelahian di antara Gereja Katolik dan Lutheran, namun dengan ajaran
pembenaran itu juga Lutheran dan Gereja Katolik bersatu dalam hal
saling menerima dan menghargai ajaran kedua belah pihak. Karena
dokumen ini sangat penting bagi perkembangan ke­satuan Gereja ke
masa depan, maka Sinaga menganjurkan agar dokumen Deklarasi
Bersama wajib dibaca oleh setiap calon-calon imam di Gereja Katolik.
Lebih dalam Sinaga berkata, ”Saya tidak hanya mengajarkan secara
teoritis saja tentang dokumen ini, tetapi apa implikasi dokumen
ini bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat” Menurutnya,
implikasi yang sangat sederhana dari dokumen ini adalah ”sepakat
untuk tidak sepakat”. Artinya, jika dulu perbedaan ajaran Lutheran
dan Gereja Katolik membuat kita saling memusuhi dan mengutuki,
tetapi sekarang perbedaan ajaran Gereja Katolik dan Lutheran
tentang pembenaran membuat kita saling menerima perbedaan yang
ada. Perbedaan ajaran di antara Lutheran dan Gereja Katolik tetap
masih ada hingga sekarang. Namun perbedaan ajaran itu tidak lagi
membuat Lutheran dan Gereja Katolik bermusuhan, tetapi semakin

269 Pastor Richard Sinaga, dosen STFT St. Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar yang mengampu
mata kuliah Dogmatika. Hasil wawancara pada 28 Oktober 2008 di STFT St. Yohanes
Sinaksak.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 165

menuju saling pengertian yang lebih baik. Itulah yang dimaksud


dengan ”sepakat untuk tidak sepakat”.
Implikasi lain yang dilihat Sinaga dari dokumen ini adalah
jangan cepat curiga tetapi menghargai yang lain. Artinya, jika pihak
Lutheran mengajarkan pembenaran maka Gereja Katolik jangan cepat
mencurigainya seperti pada masa-masa lalu dengan menghasilkan
Konsili Trente melawan ajaran pembenaran Luther tersebut. Tetapi
Gereja Katolik harus mendengar lebih dalam dulu ajaran tersebut,
karena bisa saja ada yang baik yang mau disampaikan ajaran tersebut.
Dengan demikian kita bisa menghargai ajaran yang lain dan terbuka
atas apa yang diajarkan oleh orang lain tersebut tanpa menaruh
curiga pada mereka.
Lebih lanjut, Sinaga menjelaskan pengaruh Deklarasi Bersama dalam
Gereja Katolik. Dalam program Urbaniana (Universitas Kepausan)270
setiap calon imam yang mau mengikuti ujian Bacheloriat harus
menjawab 33 tesis. Salah satu di antara ke-33 tesis itu membahas
ajaran pembenaran. Ajaran pembenaran itu sendiri selalu mengacu
pada dokumen Deklarasi Bersama yang telah disepakati bersama.
Bahkan dalam buku pedoman untuk pendidikan calon imam Gereja
Katolik, Ratio Fundamentalis telah memasukkan dokumen Deklarasi
Bersama sebagai salah satu ajaran yang harus diajarkan bagi para
calon imam-imam di Gereja Katolik.
Pengalaman Sinaga sebagai pengajar dogmatika di STFT St.
Yohanes Sinaksak Pematangsiantar adalah, dengan ditandatanganinya
dokumen Deklarasi Bersama ini, maka dia merasa sangat enak dan
senang mengajarkan ajaran pembenaran itu kepada mahasiswanya.
Dalam pengajaran pembenaran ini, Sinaga menjelaskan ajaran
pem­benaran itu dari sudut pandang Lutheran dan Katolik dan
menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan pemahaman pembenaran
itu memperkaya pemahaman bersama dengan tujuan untuk semakin
mempererat hubungan di antara Protestan dan Katolik. Selama ini,
menurut Sinaga, perbedaan pemahaman ini menjadikan perseteruan
di antara Protestan dan Katolik, namun sekarang perbedaan itu

270 Program Urbaniana ini adalah program bersama dari Vatikan dan lembaga pendidikan
teologi untuk mendidik para calon imam di Gereja Katolik.
166  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

menjadi sesuatu yang memperkaya pemahaman keberimanan di


antara Protestan dan Katolik.
Mahasiswa STFT St. Yohanes juga merasa senang dengan lahirnya
dokumen Deklarasi Bersama ini. Hal ini terlihat dari entusiasme para
mahasiswa dalam mengikuti pelajaran pembenaran di perkuliahan.
Mereka menyadari bahwa perbedaan adalah hal yang biasa terjadi
karena cara pandang kita yang berbeda-beda. Tetapi cara pandang
yang berbeda itu akhirnya dimengerti bersama-sama dalam sebuah
dokumen Deklarasi Bersama.
Tentang pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi jemaat, menurut
Pastor Sinaga, disadari bahwa dokumen ini masih relatif muda, maka
gaungnya secara langsung kepada warga jemaat Katolik tidak begitu
kuat terasa, walaupun perasaan permusuhan itu secara umum sudah
mulai terkikis. Bahkan menurutnya, banyak warga jemaat Katolik
yang memiliki kerinduan suatu saat GKR dan Protestan bisa bersatu
dalam sebuah gerakan ekumenis.
Dari paparan di atas terlihat bahwa dokumen Deklarasi Bersama di
kalangan lembaga teologi Katolik bukan lagi sebuah dokumen baru
yang belum dikenal, tetapi dokumen Deklarasi Bersama sudah familiar
di kalangan dosen dan juga para mahasiswa STFT St. Yohanes
Pematangasiantar. Bahkan dokumen ini sudah menjadi mata kuliah
wajib bagi setiap bagi mahasiswa dan calon-calon imam Katolik.
Menurut penulis, perkembangan yang terlihat di atas selain
dipengaruhi oleh dokumen Deklarasi Bersama, juga oleh Konsili
Vatikan II sangat kuat mempengaruhi lembaga-lembaga teologi
Katolik dalam hal membangun jiwa dan semangat ekumenisme
di dalam pengajarannya. Meskipun mengaku sebagai Gereja yang
didirikan oleh Yesus, Gereja Katolik mengakui bahwa banyak unsur-
unsur keselamatan dalam Injil terdapat pula di dalam Gereja-gereja
dan komunitas-komunitas Gerejawi lainnya. Pada dokumen Konsili
Vatikan II, bagian Indeks Analitis Bab VII tentang Ekumenisme,
disebutkan bahwa umat Katolik makin intensif melibatkan diri.
Konsili mengundang Umat Katolik untuk ikut serta dalam usaha-
usaha aktual: doa, kata-kata, dan kegiatan.271

271 Dokumentasi dan Penerangan KWI, Op.Cit., hlm. 688.


Pengaruh Deklarasi Bersama — 167

Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah menjangkau badan-


badan Kristiani, mengusahakan rekonsiliasi yang semaksimal mungkin.
Kesepakatan-kesepakatan penting telah dicapai mengenai Pembaptisan,
Pelayanan, dan Ekaristi bersama para teolog Anglikan. Dengan badan-
badan Lutheran telah dicapai kesepakatan serupa mengenai teologi
pembenaran (justifikasi). Dokumen-dokumen penting ini telah makin
mempererat ikatan persaudaraan dengan komunitas-komunitas
Gerejawi tersebut. Meskipun demikian, perkembangan-perkembangan
terbaru, semisal penahbisan wanita dan penerimaan terhadap
pasangan homoseksual, menghadirkan hambatan-hambatan baru
bagi rekonsiliasi dengan Gereja Lutheran, Gereja-gereja Reformasi,
dan khususnya Gereja Anglikan.272

2.3 Pengaruh Deklarasi Bersama terhadap Gereja Protestan di


Indonesia
Yang dimaksud dengan Gereja ”Protestan” bukanlah mengacu
pada pemahaman Gereja Protestan peninggalan Hindia-Belanda (De
Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie).273Karena Gereja Protestan
warisan Hindia-Belanda ini hanya sebagian dari Gereja Protestan yang
ada di Indonesia. Sebutan Protestan di Indonesia pada umumnya
adalah para denominasi Gereja yang memandang diri mereka me­
warisi tradisi reformasi Gereja yang terjadi abad ke-16 di Eropa,

272 ”Gereja Katolik Roma”, dalam http://id.itpedia.sfilar.com/it/Gereja_Katolik_Roma.


273 ”Gereja Protestan di Indonesia”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Protestan_di_
Indonesia. De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie disingkat Indische Kerk adalah Gereja
Protestan di Indonesia yang cikal-bakalnya lahir di Ambon, Maluku pada tahun 1605.
Sebenarnya penggunaan nama De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie ini mulai dikenal
sejak 1835-an/1840-an. Pada 1619 kantor pusatnya dipindahkan ke Batavia seturut dengan
berpindahnya kedudukan Gubernur Jenderal ke Batavia. Gereja Protestan ini mewarisi
jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh misi Portugis dan di kemudian hari karena berdasarkan
Undang-undang Dasar 1848 dari Parlemen Belanda. Haluan baru itu dinyatakan oleh Menteri
Jajahan dan Sidang Parlemen Belanda pada 1854: Pemerintah sama sekali tidak berkeinginan
untuk berkuasa atas Gereja Hervormd atau Gereja lain di mana pun yang terdapat di Hindia
Belanda. Sejak itu, baik pihak pemerintah di Nederland maupun di Indonesia berulang kali
mencoba untuk memberikan kemandirian lebih besar kepada Gereja Protestan (Lih. uraian
lebih lanjut dalam G.P.H. Locher, Tata Gereja: Gereja Protestan di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995), hlm.50-72; Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm. 12-14. Wilayahnya meliputi
beberapa daerah antara lain: Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil. Berhubung wilayah
pelayanan De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie itu begitu luas dan di beberapa
daerah pelayanan mulai timbul persoalan, maka pada pertemuan para pendeta tahun 1927
dihasilkan sikap bahwa keesaan Gereja tetap dipertahankan, tetapi wilayah-wilayah yang
memiliki kekhususan diberi kemandirian yang lebih besar untuk mengatur pelayanannya
sendiri. Maka pada Rapat Besar tahun 1933, jemaat-jemaat di Minahasa, Maluku, dan Timor
diberikan keleluasan untuk menjadi Gereja mandiri dalam persekutuan De Protestantsche
Kerk in Nederlandsch–Indie.
168  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

yakni reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther (di Jerman) dan
Johannes Calvin (di Swiss). Sedangkan denominasi - Gereja yang
lain (seperti Anglikan, Methodist, Presbiterian, Pantekosta, Baptis,
Mennonit, Mormon) kurang merasa sreg menyebut dirinya Protestan.
Mereka lebih senang menggunakan sebutan ‘Kristen’.274
Pada 2005, sekitar 14.276.459 (5,9%) dari 241.973.879 penduduk
Indonesia, beragama Protestan. Karena pengaruh para misionaris dari
Belanda, kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia sangat diwarnai
oleh ajaran Calvin, dan sebagian lagi mempunyai corak Lutheran.275
Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja
Protestan di Indonesia akan difokuskan kepada Gereja-gereja yang
ada di wilayah Sumatera Utara dan di Jakarta. Pengaruh terhadap
Gereja-gereja Protestan ini akan diuraikan di bawah ini.

2.3.1 Jemaat-jemaat Protestan


Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan
di Indonesia secara nyata lebih banyak digumuli di Gereja-gereja
Lutheran yang ada di Sumatera Utara. Di kalangan Gereja-gereja
Lutheran276 Sumatera Utara pengaruh dokumen ini sudah mulai
digaungkan melalui khotbah, seminar, dan pembinaan-pembinaan.
Pengaruh yang signifikan di jemaat Protestan sebenarnya sama
dengan apa yang dialami oleh umat Katolik di Indonesia, yakni
pengaruhnya masih bersifat pribadi dan belum menjemaat. Tetapi
harus diakui bahwa pengaruh dokumen ini tetap terasa di antara
jemaat Protestan dengan semakin membaiknya hubungan antara
Katolik dan Protestan. Mengapa disebut semakin membaik? Karena
pada dekade 1970-an masih terasa hubungan yang saling menghukum

274 Demi mengakomodasi pemahaman diri kelompok ini (Anglikan, Methodist, Presbyterian,
Pentakosta, Pantekosta, Baptis, Mennonit, Mormon), Ditjen Bimas Kristen Protestan di
DEPAG RI, mengubah namanya menjadi Ditjen Bimas Kristen. Tanpa sebutan Protestan
lagi. Di antara denominasi Gereja protestan, ada denominasi yang pakai sebutan ‘protestan’
dalam namanya dan ada yang tidak menggunakannya. Di antara denominasi protestan itu
kita kenal: Yang Lutheran: HKBP, GKPA, GKPI, GKPS, GKPM, HKI, BNKP, ONKP, AMIN,
GKLI, GPKB, GKPPD, GMB, GPP; sedangkan yang Calvinis: GBKP, GPIB, GKI, GKI-SU, GKJ,
GKJW, GMIT, GPM, GT, GTM, GMIM, GMIBM, GPID, GKLB, GKP, GKPB, GKS, GMIST,
GKST, GKSS, GEPSULTRA, GMIH, GKE dan GKI-PAPUA. Pandangan Protestan yang akan
disampaikan dalam tesis ini adalah pandangan denominasi Gereja Lutheran, karena penulis
berlatarbelakang Gereja yang Lutheran.
275 ”Protestan”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Protestan.
276 Gereja-geraja Lutheran di Sumatera Utara di antaranya: HKBP, GKPI, GKPS, GKPA, HKI,
GPKB, BNKP, ONKP, AMIN dan GKPPD.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 169

di antara umat Katolik dan Protestan. Jika ada warga Protestan yang
pindah ke Gereja Katolik, maka pihak Gereja Protestan mengeluarkan
yang bersangkutan dari Gereja Protestan dan bahkan dianggap telah
mati dengan membunyikan lonceng gereja. Demikian sebaliknya,
Gereja Katolik akan mengeluarkan warga jemaatnya yang telah
berpindah dari Katolik ke Gereja Protestan.
Namun lambat laun pertikaian ini pun semakin dirasakan tidak
perlu terus dipertahankan. Maka perubahan demi perubahan mulai
terasa di kalangan Protestan dan Katolik. Hal ini terlihat dari sikap
Gereja Protestan dan Katolik yang tidak saling menghakimi dan
menghukum lagi. Perubahan ini memang bukan pengaruh langsung
dari dokumen Deklarasi Bersama, karena perubahan ini sudah mulai
terasa sejak 1980-an, padahal dokumen Deklarasi Bersama baru
ditandatangani pada 1999. Walaupun dokumen Deklarasi Bersama baru
ditandatangai 1999, namun perubahan yang terjadi 1980-an adalah
akibat diskusi yang dilakukan secara terus-menerus oleh Protestan
dan Katolik tentang ajaran pembenaran sejak 1980-an yang diterangi
oleh hasil Konsili Vatikan II.
Menurut Pdt. Dr. J.R. Hutauruk, pengaruh dokumen Deklarasi
Bersama sebenarnya sudah mulai terasa sejak 1980-an, walaupun
pada waktu itu dokumen Deklarasi Bersama ini belum ditandatangani,
tetapi lahirnya dokumen Deklarasi Bersama ini merupakan rangkaian
panjang dari dialog-dialog dan diskusi-diskusi teologi di antara para
teolog Protestan dan Katolik sejak 1980-an. Artinya, dokumen Deklarasi
Bersama secara resmi ditandatangani pada 1999, namun pengaruhnya
sudah dimulai sejak 1980-an.277 Lebih lanjut Hutauruk mengatakan,
proses sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama di HKBP sudah mulai
dilaksanakan sejak ditandatanganinya dokumen ini di Augsburg 31
Oktober 1999 yang lalu. Sosialisasi dokumen ini dilaksanakan baik
di kalangan HKBP sendiri maupun menjaring hubungan kerj asama
dengan Keuskupan Agung Medan.278

277 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kediaman Pdt. Dr. JR. Hutauruk di Komplek Perumahan
Pemda II Tanjung Sari Medan. Pdt. Dr. JR. Hutauruk adalah Ephorus HKBP periode 1998-
2004, baru sesudah itu beliau emeritus. Dan saat ini salah seorang anggota Council LWF dan
aktif mengajar Pascasarjana STT HKBP, STT Abdi Sabda Medan dan STT GMI Bandar Baru
Medan.
278 Lih. JR. Hutauruk, ”Memaknai Gerakan Reformasi Martin Luther Dulu, Kini, dan Mendatang
dikaitkan dengan Pernyataan Bersama tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman”, bahan
170  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Hutauruk menjelaskan bahwa Deklarasi Bersama masih menyisakan


tugas dan tanggung jawab bersama, yaitu supaya kesepakatan bersama
tentang ajaran pembenaran benar-benar mempengaruhi hidup dan
ajaran-ajaran Gereja kedua belah pihak (kaum Lutheran dan kaum
Katolik). Rumusan-rumusan naskah itu sendiri masih menyisakan
tugas untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih otentik,
khususnya tentang peebedaan-perbedaan yang ditampilkan masing-
masing pihak. Ada lagi pokok-pokok ajaran yang masih belum
disinggung dalam Deklarasi Bersama, antara lain: hubungan antara
Firman Allah dan ajaran Gereja, ajaran tentang susunan pemerintahan
Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran
dan etika sosial. Itulah yang dituangkan dalam butir 43: ”Kami yakin
bahwa kesepakatan yang telah kami capai menyuguhkan dasar yang
teguh untuk penjelasan ini. Gereja-gereja Lutheran dan Gereja Katolik
akan terus mengusahakan secara bersama pendalaman pemahaman
bersama tentang pembenaran ini dan membuatnya berbuah dalam
hidup dan ajaran Gereja.” (DB 43)279 Memang harus diakui bahwa
persoalan ortodoksi (ajaran yang benar) ini tidak begitu dipahami
oleh orang Kristen di aras warga jemaat. Sebab di aras warga jemaat
yang mereka pahami adalah ortopraksis (tindakan yang benar – yang
mengacu pada firman Tuhan). Kedua sisi ini saling berkaitan. Ortodoksi
sangat diperlukan agar ajaran Gereja semakin murni, namun dalam
kehidupan sehari-hari ortodoksi tidak begitu ditekankan, karena yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari adalah ortopraksis.
Sebagai penutup Deklarasi Bersama ini ialah butir 44, yaitu sebuah
pengucapan syukur pada Tuhan ”akan langkah maju menuju
usaha mengatasi ‘keterpisahan Gereja’. Kami memohon Roh Kudus
membimbing kami selanjutnya ke arah keesaan yang terlihat, sesuai
dengan kehendak Kristus.” (DB 44)280
Paparan Hutauruk ini diperdalam lagi oleh Pdt. Dr. Anwar Tjen281.
Tjen mengatakan bahwa tidak disangkal, penandatanganan Deklarasi

ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther di Aula FE
Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008, hlm. 14.
279 Ibid., hlm. 16-17.
280 Ibid., hlm. 17.
281 Anwar Tjen, ”Memaknai Gerakan Reformasi, termasuk kaitannya dengan Pemahaman
Bersama Ajaran Pembenaran oleh Iman: Menarik pelajaran dari warisan sejarah dan teologi”,
bandingan bahan ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther
di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31 Oktober 2008, hlm. 5.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 171

Bersama merupakan peristiwa historis. Secara simbolis, peristiwa


itu menandai keterbukaan untuk meninjau dan memahami kembali
warisan kontroversi teologis beserta anathema yang melekat padanya
sejak masa reformasi. Dialog untuk saling memahami ternyata
sangat penting untuk menyadari betapa banyak persamaan yang
dimiliki dan bagaimana perbedaan masing-masing harus dihargai.
Tjen melanjutkan pemaparannya bahwa kesepakatan dalam ranah
doktrinal, apakah itu berwujud Deklarasi Bersama atau Lima Dokumen
Keesaan, tidak banyak artinya tanpa dibarengi kebersamaan dalam
persekutuan, kesaksian, dan pelayanan melampaui batas-batas
konfesional.282
Menurut Bishop GKPI, Pdt. Dr. M.S.E. Simorangkir283, pengaruh
dokumen Deklarasi Bersama ini sangat bergaung bagi kaum intelektual
umat Protestan dan Katolik. Secara praktis menurut Simorangkir,
dalam rangka mensosialisasikan dokumen ini para pendeta harus
menyampaikannya kepada warga jemaat melalui khotbah-khotbah
dan pembinaan-pembinaan. Dan bahkan Gereja-gereja harus bisa
merumuskan ulang ajaran-ajarannya, agar doktrin ajaran pembenaran
ini diformulasi ulang sesuai dengan isi dokumen Deklarasi Bersama.
Simorangkir menjelaskan lebih dalam bahwa agar pengaruh dokumen
Deklarasi Bersama terasa dalam kehidupan berjemaat, sudah saatnya
Gereja-gereja di Sumatera Utara untuk melaksanakan seminar-se­
minar tentang dokumen Deklarasi Bersama bagi para pelayanan
Gereja hingga kepada warga jemaat. Bahkan Gereja-gereja juga harus
memikirkan ulang pengajarannya dengan mempertimbangkan doku­
men Deklarasi Bersama dalam dokumen-dokumen Gerejanya, seperti:
Konfesi / Pengakuan iman, katekisasi sidi, dan lain-lain.
Hal senada juga disampaikan oleh Pdt. R. Simanjuntak, B.D.,284
yaitu bahwa dokumen Deklarasi Bersama pengaruhnya masih bersifat
pribadi di tengah-tengah kehidupan berjemaat. Dokumen ini masih
harus terus disosialisasikan dalam rangka membangun hubungan
yang lebih baik dengan Gereja Katolik dan Gereja lainnya. Misalnya

282 Ibid.
283 Pdt. Dr. M.S.E. Simorangkir adalah bishop GKPI dan ketua KN-LWF Indonesia. Wawancara
pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat GKPI Jl. Kapten MH. Sitorus No.13 Pematangsiantar.
284 Pdt. R. Simanjuntak, BD adalah seorang pendeta HKI dan saat ini menjabat sebagai Sekjen
HKI tinggal di Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat HKI Jalan
Melanthon Siregar No.111 Pematansiantar.
172  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dengan pertemuan dan sosialisasi yang dilakukan KN LWF dan


Keuskupan Agung Medan pada 30 Oktober 2004 yang lalu, maka
rasa persaudaraan di antara umat Protestan dan Katolik semakin
membaik. Warga jemaat tidak lagi merasakan permusuhan di antara
umat Katolik dan Protestan, bahkan warga jemaat pun sudah merasa
semakin menyatu dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti: mengikuti acara per­
nikahan di Gereja Protestan dan Katolik, pesta-pesta dan perayaan-
perayaan Gerejawi, misalnya: perayaan Natal bersama dan perayaan
Paskah bersama.
Pengaruh lain yang dilihat oleh Pdt. Dr. Langsung Sitorus adalah
bahwa semua Gereja reformasi di Sumatera Utara tidak ada yang
menyangkal keabsahan baptisan yang dilakukan oleh Gereja Katolik.
Tetapi Gereja yang melakukan pembaptisan ulang, seperti Gereja
Kemah Injili Indonesia (GKII), menyangkal keabsahan baptisan
(terutama baptisan anak dan baptisan percik) yang dilakukan oleh
Gereja reformasi dan Gereja Katolik.285
Dulu Gereja reformasi masih menganggap kurang lengkap
pendidikan konfirmasi yang diperoleh seorang pemuda Kristen da­
lam pelajaran konfirmasi yang diterimanya semasa dia masih Katolik.
Sehingga apabila seorang pemuda / pemudi hendak menikah kepada
pemudi atau pemuda di Gereja reformasi, pekerja Gereja di Gereja
reformasi masih meminta agar Katolik itu belajar sidi lagi dan disidikan
dalam acara kebaktian Minggu. Sikap seperti itu masih berlaku
hingga 2000. Tetapi berkat pergaulan umat kedua Gereja tersebut
(Protestan dan Katolik) dan berkat kesadaran bahwa mutu pelajaran
konfirmasi dengan mutu pelajaran sidi sudah disadari sebagai tidak
terlalu berbeda, kecuali dalam hal ajaran yang memang berbeda,
maka Gereja-gereja reformasi sudah meninggalkan sikapnya, yang
menuntut agar anak Katolik yang hendak nikah di Gereja reformasi
harus disidikan terlebih dahulu.286

285 Langsung Sitorus, ”Pandangan Protestan tentang Gereja Katolik dan Relevansinya dalam
Kerja sama Okumene”, dalam www.binawargahki.com.
286 Ibid. Dulu keluarga yang menyetujui anaknya nikah di Katolik bersama anak yang nikah di
Katolik diekskomunikasi atau sedikitnya dibuat menjadi anggota yang harus belajar ulang.
Sekarang ini sikap dan pandangan sedemikian tidak dijalankan lagi.Yang Katolik dan yang
Protestan sudah dapat sama-sama bersukacita menghantar putra/putri mereka menerima
pemberkatan nikah di hadapan altar Tuhan di Katolik maupun di Gereja Protestan, dan
bersukacita bersama memestakan atau rnengadatkannya.Bahkan perkembangan selanjutnya,
Pengaruh Deklarasi Bersama — 173

Sitorus lebih dalam mengatakan, sudah kenyataan bahwa umat


Kristen yang Protestan dan yang Katolik berbaur di tengah masyarakat,
terutama dalam Punguan Marga dan Perkumpulan Serikat Tolong
Menolong. Dua organisasi kemasyarakatan ini memiliki keberagaman
iman anggotanya termasuk di dalamnya umat Protestan dan Katolik.
Dalam kegiatan-kegiatannya kedua organisasi kemasyarakatan ter­
sebut mengadakan kebaktian-kebaktian rutin sedikitnya sekali
sebulan. Mereka dapat memuji Tuhan bersama, bersukacita bersama,
tanpa terusik dengan kekatolikan dan keprotestanan. Kumpulan-
kumpulan ini sangat lebih ekumenis dibandingkan dengan Gereja
Protestan dan Katolik dalam pergaulan antar-gerejawinya. Mungkin­
kah Gereja Protestan dan Gereja Katolik secara bersama-sama
mengejar ketertinggalan mereka dibanding masyarakat yang sudah
lebih indah pergaulannya?287
Pengalaman seperti di atas telah penulis rasakan selama melayani
sebagai pendeta resort di GKPA Resort Pangkalan Berandan selama 5
tahun. Penulis merasakan hubungan yang erat di antara umat Katolik
dan Protestan dalam hal pergaulan sehari-hari, baik dalam kegiatan
ibadah (Partangiangan) Marga, dan Kampung (Parsahutaon), maupun
ketika menghadapi masa-masa duka dan suka. Tidak ada rasanya
perbedaan antara Katolik dan Protestan dalam pergaulan di tengah-
tengah masyarakat.
Pengaruh dokumen ini bagi GKPA terlihat dari entusiasme
GKPA dalam merespons draf dokumen Deklarasi Bersama pada
Juni 1998. GKPA mengirimkan respons atas dokumen ini ke LWF
tanpa masukan, artinya setuju dengan isi draf yang dikirimkan oleh
LWF.288 GKPA juga mengirimkan para pendeta, sintua, dan jemaat
dalam pertemuan yang dilaksanakan di STT HKBP Pematangsiantar

sudah pernah dilaksanakan pemberkatan pernikahan yang dilayani bersama oleh pendeta
dan pastor.Tetapi pada saat pemberkatan pernikahan, salah satu dari antara pendeta atau
pastor yang menyampaikan berkat pernikahannya.Tetapi memang seperti dicatat, bahwa
pendeta Gereja Protestan dan pastor Katolik di beberapa daerah belum bisa bersama-sama
memberikan pemberkatan nikah untuk sepasang calon suami isteri di Gereja Protestan.
Mungkin GKR sudah lebih maju dalam mengijinkan pastor dan pendeta Gereja Protestan
bersama-sama memberkati pernikahan putra/putri di depan altar Katolik.
287 Ibid.
288 Lih. ”DOCUMENTATION, Action taken by the LWF Council on the recommendation of the
Standing Committee for Ecumenical Affairs” dalam www.lutheranworld.org/../Beschle.pdf.
Yang mengirimkan respons tanpa masukan dari Gereja-Gereja Lutheran di Indonesia adalah:
GKPA, HKBP, dan GKPS.
174  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dan STFT St. Yohanes Pematangsiantar dalam rangka sosialisasi isi


dokumen Deklarasi Bersama ini. Hal yang sangat membanggakan adalah
bahwa salah satu keputusan Rapat Majelis Pendeta GKPA pada 23-26
Oktober 2008 di Wisma Bumi Asih, Pekan Baru menyebutkan bahwa
GKPA akan merumuskan ulang dokumen Konfesi GKPA mengenai
ajaran pembenaran yang mengacu pada dokumen Deklarasi Bersama
LWF dan Gereja Katolik ini. GKPA sebagai Gereja yang mengaku
sebagai Gereja yang beraliran Lutheran ternyata dalam konfesinya
tidak memuat ajaran Luther tentang pembenaran secara utuh.
Para pendeta GKPA menyadari bahwa dokumen Deklarasi Bersama
ini merupakan ajaran yang sangat penting dalam Gereja. Dengan
adanya dokumen Deklarasi Bersama ini, maka Rapat Majelis Pendeta
GKPA sepakat akan merumuskan ulang Konfesi GKPA agar dapat
memasukkan ajaran pembenaran yang tertuang dalam dokumen
Deklarasi Bersama. Rumusan ulang Konfesi dimaksud harus mengacu
juga pada kontekstualisasi berteologi di Indonesia.
Dokumen Deklarasi Bersama juga makin berpengaruh bagi warga
jemaat Lutheran di Jakarta. Hal ini terlihat dalam salah satu kegiatan
yang dilaksanakan Persekutuan Gereja-gereja Lutheran Jakarta
(PGLJ)289 yaitu ”Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther”.
Dalam kegiatan ini dilaksanakan ”Seminar” yang membahas tema
”Memaknai gerakan reformasi Dr. Martin Luther dulu, kini, dan
yang akan datang dikaitkan dengan Deklarasi Bersama tentang Ajaran
Pembenaran Oleh Iman”.
Menurut Pdt. Marihot Siahaan, S.Th.,290 bagi jemaat-jemaat
lokal, dokumen Deklarasi Bersama ini sangat diminati karena dalam
dokumen ini warga jemaat menemukan pemahaman yang benar-
benar baru tentang ajaran pembenaran. Dokumen Deklarasi Bersama
membantu jemaat-jemaat untuk merelevankan pembenaran dan
men­dorong umat untuk terlibat dalam dialog di antara Gereja-gereja
Protestan dan Gereja Katolik. Jemaat-jemaat yang merindukan kerja

289 PGLJ adalah sebuah lembaga yang mempersatukan umat Lutheran Jakarta. PGLJ ini
dideklarasikan pada 20 April 2008 di GKPA Penjernihan Jakarta oleh seluruh pimpinan
Gereja-gereja Lutheran yang ada di Jakarta seperti: HKBP, GKPI, GKPS, GKPA, HKI, GBKP,
BNKP, ONKP, AMIN dan GKPPD.
290 Pdt. Marihot Siahaan, S.Th. adalah pendeta GPKB Tanjung Priuk. Wawancara pada 31
Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 175

sama ekumenis merasakan penandatanganan ini sebagai langkah


yang menguntungkan.
Pengaruh lain disampaikan Pdt. Mangara Sinamo, S.Th.291 bahwa
dengan adanya dokumen Deklarasi Bersama maka pelayanannya se­
bagai pendeta di tengah-tengah persekutuan dengan Gereja Katolik
terasa makin membaik. Memang dokumen Deklarasi Bersama bukan
dokumen yang pertama yang mempererat hubungan Protestan dan
Katolik. Hubungan Protestan dan Katolik ini sebenarnya sudah
dimulai terasa sejak 1970-an pasca Konsili Vatikan II. Namun se­
telah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama, warga jemaat
Protestan dan Katolik semakin merasakan eratnya persekutuan
mereka di tengah-tengah masyarakat di Jakarta ini.
Pengaruh dokumen ini juga terlihat di belahan Asia lainnya seperti
Korea. Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Gereja-gereja di Korea,
Pdt. Kwon Oh-sung292 ingin lebih memperkuat kerja sama ekumene
mereka dengan Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik Korea setuju
bahwa sekarang inilah saatnya untuk bergerak ”melampaui dialog
persahabatan menuju dialog yang berorientasi pada doktrin.”293
 Kwon Oh-sung mengatakan kepada UCA News5 Desember 2006
bahwa kerja sama lintas Gereja, khususnya dengan Gereja Katolik,
dan reformasi internal merupakan prioritas utamanya. Pastor Peter
Pai Young-ho294 berbicara dengan UCA News pada 5 Desember 2006
dan mengucapkan selamat kepada Pdt. Kwon atas terpilihnya dia
menjadi sekretaris jenderal dewan Protestan. ”Kita harus maju me­
lampaui dialog persahabatan menuju dialog yang berorientasi pada
doktrin,” sesuai dengan isi dokumen Deklarasi Bersama tentang Doktrin
Pembenaran, katanya. Karena Deklarasi yang telah ditandangani
Gereja Lutheran dan Gereja Katolik 31 Oktober 1999 itu berhasil
menjembatani ketidaksepakatan yang memisahkan Gereja Katolik dan
Gereja-gereja Protestan sejak abad ke-16. Deklarasi itu menyatakan

291 Pdt. Mangara Sinamo, S.Th. adalah seorang pendeta GKPPD Resort Jakarta tinggal di Jakarta.
Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta.
292 Pdt. Kwon Oh-sung adalah Pemimpin Gereja Presbyterian yang terpilih sebagai Sekretaris
Jenderal Dewan Nasional Gereja-gereja di Korea (NCCK, National Council of Churches in
Korea)pada 20 November 2006 untuk masa bakti empat tahun (2006-2010).
293 ”Korea – Dialog Ekumene, Prioritas Pemimpin baru Dewan Gereja-gereja Protestan”, dalam
http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3607.
294 Ibid. Pastor Peter Pai Young-ho adalah Sekretaris Jenderal CBCK (Catholic Bishops’
Conference of Korea - Konferensi Wali Gereja Korea).
176  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

bahwa keselamatan manusia itu hanya mungkin karena rahmat


Allah (God’s grace), sementara rahmat Allah menuntut manusia untuk
melakukan perbuatan baik.

2.3.2 Lembaga Pendidikan Teologi Protestan


Lembaga pendidikan teologi Protestan di Sumatera Utara tentu­
nya ada banyak, namun dalam hal ini penulis hanya melihat dua
lembaga pendidikan teologi yang menjadi lembaga pendidikan
teologi Protestan yang sangat dikenal lembaga-lembaga Gereja-gereja
Lutheran di Sumatera Utara. Kedua lembaga teologi dimaksud adalah
Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematangsiantar dan Sekolah
Tinggi Teologi (STT) Abdi Sabda Medan.
Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama pada lembaga pendidikan
teologi Protestan lebih terlihat gaungnya, karena di lembaga pen­
didikan ini dokumen ini sudah diajarkan dan diseminarkan pada
kuliah-kuliah dogmatika. Bahkan dokumen ini juga sudah banyak
diulas dan digali oleh beberapa dosen teologi. Misalnya Darwin
Lumbantobing295 mengulas dokumen ini dalam sebuah tulisan
yang berjudul, ”Memperkenalkan: Joint Declaration on the Doctrine of
Justification” dan Pardomuan Munthe296 yang mengulas dokumen ini
dengan judul, ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification (JDDJ):
Menuju Pemahaman Bersama Doktrin Pembenaran (Gebrakan Baru
GKR dan LWF Memotivasi Gerakan Ekumenis)”.
Lebih dalam pengaruh dokumen Deklarasi Bersama pada lembaga
pendidikan teologi adalah bahwa dokumen ini telah diajarkan kepada
para mahasiswa. Memang Darwin Lumbantobing297 mengakui di aras
jemaat dokumen ini masih perlu disosialisasikan dengan baik. Karena
banyak warga jemaat dan bahkan pendeta menganggap bahwa
dengan adanya dokumen ini seolah-olah ajaran Katolik dan Protestan
sudah menyatu. Padahal, dokumen Deklarasi Bersama ini bukanlah

295 Darwin Lumbantobing adalah seorang pendeta HKBP dan sekarang menjadi Ketua STT
HKBP Pematangsiantar sekaligus mengampu mata kuliah Dogmatika. Tulisannya dimuat
dalam Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematangsiantar: L-SAPA STT HKBP,
2007), hlm. 237-253.
296 Pardomuan Munthe adalah seorang pendeta GKPI dan sekarang mengajar di STT Abdi Sabda
Medan mengampu mata kuliah Dogmatika. Tulisannya dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL
STT Abdi Sabda Medan Edisi XIX Januari-Juni 2008, (Medan: STT Abdi Sabda Medan, 2008),
hlm. 54-84.
297 Wawancara pada 28 Oktober 2008 di rumah kediaman ketua STT HKBP Pematangsiantar.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 177

mau menyatakan bahwa ajaran pembenaran Katolik dan Protestan


bersatu, melainkan tetap ajarannya dipahami berbeda walaupun
perbedaan itu bukan lagi dipandang sebagai pemisah di antara kedua
belah pihak. Sebaliknya, perbedaan di antara Katolik dan Protestan
harus dipandang sebagai kekayaan yang bisa mempersatukan kedua
belah pihak.
Menurut Lumbantobing, pengaruh dokumen ini, pertama, lebih
banyak berpengaruh kepada para pendeta dan teolog-teolog baik
yang melayani di tengah jemaat maupun di lembaga-lembaga pen­
didikan teologi. Kedua, dokumen ini menjadi pintu membuka
diskusi-diskusi lain, misalnya: sakramen, liturgi, eklesiologi, dan
lain sebagainya. Dokumen ini akan menjadi langkah awal untuk
memasuki langkah-langkah selanjutnya dalam rangka menerima dan
memahami ajaran-ajaran Katolik dan Protestan secara bersama demi
tercapainya pemahaman bersama.
Lumbantobing lebih lanjut mengatakan bahwa bagi STT HKBP
Pematangsiantar dokumen Deklarasi Bersama sudah merupakan
dokumen yang cukup dikenal di kalangan dosen dan juga para
mahasiswa/i STT HKBP, karena STT HKBP sudah beberapa kali
menjadi tempat mendiskusikan dokumen ini oleh kalangan pendeta,
sintua, dan warga jemaat Gereja-gereja Lutheran yang ada di Sumatera
Utara. Selain itu juga, dokumen ini sudah menjadi bahan pengajaran
dogmatika bagi mahasiswa/i STT HKBP, dan dokumen ini pun sudah
diseminarkan di tengah-tengah perkuliahan mahasiswa. Artinya,
dengan pengenalan yang begitu dalam di kalangan mahasiswa/i STT
HKBP, maka diharapkan akan membawa pengaruh dalam tugas
pelayanan mereka kelak setelah menamatkan studi teologinya di STT
HKBP.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Pdt. Dr. Jontor
Situmorang,298yaitu bahwa pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di
lembaga pendidikan teologi masih bersifat ulasan teologis. Yang bisa
dikerjakan ke depan adalah memperbaiki silabus pengajaran dog­
matika di STT agar memasukkan dokumen Deklarasi Bersama menjadi
salah satu pelajaran bagi setiap mahasiswa/i teologi. Karena dari
pendidikan teologi inilah para calon pelayan Gereja akan membawa

298 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di STT Abdi Sabda Medan.


178  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pengajaran itu kepada persekutuan jemaat di mana mereka nanti


melayani Tuhan.
Hal ini ditegaskan kembali Pdt. Pardomuan Munthe, M.Th.,299yaitu
bahwa dokumen Deklarasi Bersama sudah merupakan bahan pengajaran
dogmatika di lembaga STT Abdi Sabda Medan. Menurutnya, de­
ngan proses pembelajaran di kampus tentang dokumen Deklarasi
Bersama, pengaruh dokumen ini bagi para mahasiswa/i STT Abdi
Sabda Medan akan terlihat kemudian di tengah pelayanannya di
jemaat yang dilayaninya. Artinya, lembaga teologi bertugas untuk
mengajarkan hasil yang disepakati dalam dokumen Deklarasi Bersama
agar mampu dipahami para teolog dan mampu mengaplikasikannya
dalam kehidupan nyata di tengah Gerejanya masing-masing.
Di lembaga pendidikan teologi lain dokumen ini juga telah
dibahas dan diseminarkan. Menurut laporan Pilgrim W.K.LO.300,
dokumen Deklarasi Bersama diperbincangkan di dalam diskusi teologi
di Sekolah Tinggi Teologi Lutheran dan di dalam Gereja Lutheran
Evangelis Hong Kong. Dokumen Deklarasi Bersama juga sudah pernah
dibahas dalam sebuah konferensi ”Rekonsiliasi melalui Pembenaran”
(Reconciliation through Justification) pada September 1998 oleh Pusat
Studi Kristen bidang Agama dan Kebudayaan Cina (Christian Study
Center on Chinese Religion and Culture).
Di Jerman, kehadiran dokumen Deklarasi Bersama membuat
lembaga pendidikan teologi semakin tertantang untuk membahas
permasalahan konsekuensi dogmatis yang diakibatkan oleh dokumen
Deklarasi Bersama. Sebagian masih ingin melanjutkan perbedaan di
antara Lutheran dan Gereja Katolik. Sementara yang lain menerima
dokumen ini sebagai buah dari pekerjaan gerakan ekumene. Beberapa
maha guru teologi mengatakan bahwa perbedaan di antara Lutheran
dan Gereja Katolik janganlah melulu dilihat dari sudut indikasi
refleksi dogmatis. Tetapi harus dikembangkan lagi pada pembahasan
permasalahan hermeneutika dan eklesiologi.301

299 Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kampus STT Abdi Sabda Medan.
300 Pilgrim W.K.LO, ”The Reception in the Chinese Context of Hong Kong”, dalam Karen L.
Bloomquist dan Wolfgang Grieve (eds.), Op.Cit., hlm. 35-38.
301 Christina Kayles, ”Reception in the German Context”, dalam Karen L. Bloomquist dan
Wolfgang Grieve (eds.), Ibid., hlm. 19-23.
Pengaruh Deklarasi Bersama — 179

Dari paparan di atas terlihat bahwa pengaruh dokumen Deklarasi


Bersama nyata dalam lingkungan Gereja dan lembaga pendidikan
teologi di Indonesia. Dokumen Deklarasi Bersama merupakan proyek
gerakan ekumenisme yang memiliki pengaruh terhadap perkem­
bangan Gereja-gereja di Indonesia umumnya, dan terhadap Gereja-
gereja Protestan dan Katolik khususnya.
Terlihat pula perkembangan yang sungguh luar biasa di antara
Gereja-gereja Protestan dan Katolik. Dulu, sejak zaman reformasi
hubungan Gereja-gereja Protestan dan Katolik begitu mencekam
dan menakutkan, karena kedua belah pihak saling mengutuk dan
menghukum. Perbedaan dijadikan sarana pemisah bagi kedua belah
pihak. Namun sekarang terjadi gerakan keesaan Gereja menuju
saling menerima dan menghargai. Terjadi pemahaman bersama atas
perbedaan yang ada, sehingga kedua belah pihak sadar akan per­
bedaan yang ada dan saling menerima dan mengakui perbedaan
itu. Bedanya, dulu perbedaan menjadi pemisah, namun sekarang
perbedaan justru menjadi alat pemersatu. Lahirnya dokumen Deklarasi
Bersama menjadi pemersatu di antara Gereja-gereja Protestan dan
Katolik. Kesatuan yang dimaksud adalah kedua belah pihak bisa
saling memahami dan saling mengerti perbedaan ajaran di antara
Protestan dan Gereja Katolik tanpa saling mengutuk lagi. Hubungan
Gereja-gereja Protestan dan Katolik semakin menunjukkan rasa
persaudaraan yang rukun. Jika hidup kita rukun, maka berkat Tuhan
akan mengalir selama-lamanya (bdk. Mzm. 133).
181

Bab V
Refleksi Teologis

Setelah kita membahas dokumen Deklarasi Bersama ini secara me­


nyeluruh, mulai dari pembahasan etimologi pembenaran, sejarah
lahirnya dokumen Deklarasi Bersama, analisa dan eksegese atas doku­
men Deklarasi Bersama, dan pengaruh dokumen Deklarasi Bersama
terhadap Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia, maka
dalam bab ini penulis akan menyampaikan refleksi teologis atas
dokumen Deklarasi Bersama.
Refleksi ini akan mencoba melihat pentingnya membangun
kajian-kajian teologis di kalangan Protestan dan Katolik masa kini
dalam rangka membangun sikap saling menghargai dan saling
menghormati di tengah-tengah pemahaman-pemahaman iman yang
berbeda-beda, demi tercapainya kerukunan umat yang percaya
kepada Yesus Kristus. Dokumen Deklarasi Bersama merupakan sebuah
langkah lanjutan bagi gerakan keesaan Gereja Kristen di dunia ini.
Gerakan keesaan itu adalah sebuah proses menuju sebuah tujuan.
Artinya, gerakan keesaan itu bukan lebih menekankan sebuah tujuan
dengan mengesampingkan proses perjalanan keesaan itu sendiri.
Dengan deklarasi ini, maka diharapkan akan muncul lagi dokumen-
dokumen keesaan lainnya di antara Katolik dan Protestan seturut
dengan berjalannya waktu.
182  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

1. Pentingnya Membangun Kajian-kajian Teologis

Mengapa kajian-kajian teologis harus dibangun? Karena dengan


melalui kajian-kajian teologis di antara Lutheran dan Gereja Katolik,
perbedaan ajaran-ajaran yang ada di kedua belah pihak bisa dipahami
secara bersama dan menghasilkan sebuah Deklarasi Bersama. Tanpa
kajian-kajian teologis mustahil akan terjadi sebuah deklarasi di antara
kedua belah pihak. Kajian-kajian teologis bisa mempertemukan
pemahaman-pemahaman yang berbeda. Kajian-kajian teologis akan
melahirkan cara pandang yang baru akan satu tema dan topik yang
selama ini dipandang berbeda. Dengan kajian-kajian teologis inilah
kita melahirkan dokumen-dokumen keesaan lainnya yang sangat kita
butuhkan bersama.
Mengapa kita masih membutuhkan dokumen-dokumen keesaan
lainnya di antara Protestan dan Katolik? Sebab masih banyak per­
masalahan teologis yang terlihat di antara kedua Gereja ini yang
berpotensi untuk memisahkan kedua belah pihak. Misalnya saja,
sering kali umat bertanya, apakah semua agama sama saja? Apakah
saudara saya yang beragama lain dapat selamat atau masuk surga?
Gereja Katolik sampai Konsili Vatikan II berpandangan bahwa di luar
Gereja Katolik tidak ada keselamatan. Dengan pandangan itu, semua
orang Kristen Protestan adalah anggota Gereja yang sesat, dan orang
beragama lain dianggap kafir (infidels). Pembaruan pandangan ini
berpuncak pada Konsili Vatikan II dengan dokumen-dokumen baru
dan gerakan yang terlaksana melalui gerakan ekumenis dan dengan
dialog antaragama.
Hal lain yang menjadi perdebatan antara lain adalah mengenai
sakramen, Mariologi, eklesiologi, liturgi dan tata ibadah. Tugas
ini telah menanti di depan mata kedua belah pihak sebagaimana
tertuang dalam isi dokumen Deklarasi Bersama butir 43, ”Dalam
kait­an dengan itu, memang masih terdapat perbedaan penekanan
yang membutuhkan penjelasan. Selain dari pokok-pokok yang lain,
termasuklah di dalamnya hubungan antara Firman Allah dan ajaran
Gereja, demikian juga ajaran Gereja tentang susunan pemerintahan
Gereja, jabatan dan sakramen, dan hubungan antara pembenaran dan
etika sosial.” (DB 43)
Refleksi Teologis — 183

Dalam butir 43 ini disebutkan bahwa tugas Lutheran dan Gereja


Katolik belum selesai. Kedua belah pihak harus terus mengusahakan
pembahasan-pembahasan melalui diskusi, seminar, dan dialog agar
tercapai kesepakatan tentang Firman Allah dan ajaran Gereja, ajaran
Gereja tentang susunan pemerintahan Gereja, jabatan dan sakramen
dan hubungan antara pembenaran dan etika sosial. Artinya, dalam
butir 43 ini setidaknya ada 4 pokok iman yang harus diselesaikan
bersama yakni: (1) Firman Allah dan ajaran Gereja, (2) ajaran Gereja
tentang susunan pemerintahan Gereja, (3) jabatan dan sakramen, dan
(4) hubungan antara pembenaran dan etika sosial.
Memang harus diakui bahwa untuk menghasilkan sebuah deklarasi
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kita bisa bayangkan,
untuk menghasilkan dokumen Deklarasi Bersama dibutuhkan waktu
kurang lebih 30 tahun lamanya, yakni sejak tahun 1970-an hingga
tahun 1999. Secara ilmu matematika, dengan melihat contoh ini maka
Lutheran dan Gereja Katolik masih membutuhkan waktu 120 tahun
lagi untuk bisa menyelesaikan keempat pokok iman di atas. Namun
tidak sesederhanan itu untuk menyelesaikan semua perbedaan yang
ada itu. Yang penting dibangun adalah adanya proses menuju saling
menerima dan menghargai di antara kedua belah pihak. Proses ini
tidak bisa ditentukan sampai kapan, namun yang pasti proses itulah
yang menjadi jawabannya.
Mengapa butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan satu pokok
ajaran iman? Karena pertikaian antara Lutheran dan Gereja Katolik
sudah berabad-abad lamanya. Pertikaian Gereja Katolik dan Luther
dimulai pada 31 Oktober 1517 ketika Martin Luther memakukan
95 dalilnya pada pintu gereja di Wittenberg. Unsur utama dalam
tindakan Luther ini adalah protes pada ajaran pembenaran, yakni
bagaimana Allah memberikan keselamatan pada kita. Sejak saat itu
perseteruan Gereja Katolik dengan Luther telah berkobar. Hujatan
demi hujatan, hukuman demi hukuman dilontarkan Gereja Katolik
kepada Luther. Demikian juga Luther melancarkan serangan-serangan
ajarannya kepada pihak Gereja Katolik. Luther mengeluarkan sebuah
Konfesi Augsburg di kota Augsburg yang memuat pokok-pokok
ajaran pembaruannya. Pihak Gereja Katolik juga mengeluarkan bulla
kepada Luther jika Luther tidak mau bertobat di hadapan paus. Tetapi
semangat reformasi dalam jiwa Luther tidak pernah surut. Bahkan
184  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Luther masih menuliskan Apologi Konfesi Augsburg. Perdebatan ini


menghabiskan waktu 482 tahun lamanya, yakni sejak 31 Oktober 1517
hingga pada 31 Oktober 1999. Penyelesaian ini belum tuntas sebab
masih satu deklarasi yang bisa dicapai.
Apa yang mau kita renungkan dari peristiwa ini? Pertama, per­
tikaian iman tidak mudah diselesaikan dan butuh waktu yang
cukup lama untuk memulihkannya. Bisa saja bagi Luther dulu,
masalah ini tidak pernah dibayangkannya akan berbuntut panjang
dan penyelesaiannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sebab Luther sendiri tidak pernah berkeinginan untuk keluar dari
Gereja Katolik. Ternyata bagi pengikut Luther kemudian, pertikaian
ajaran ini semakin memanas dan akhirnya masing-masing saling
mengeluarkan anathema atau kutukan antara Lutheran dan Gereja
Katolik. Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa terjadi pertikaian
iman di kalangan Gereja? Pertikaian iman di tengah-tengah Gereja
terjadi akibat dari upaya-upaya Gereja membarui dirinya baik
dalam hal ajaran dan dalam pelayanan kepada umat. Hal inilah
yang menjadi prinsip pembaruan Luther. Prinsip Ecclesia semper
reformanda (Gereja selalu harus memperbarui diri) tidak boleh tidak
harus terus dilakukan dalam kehidupan bergereja. Pembaruan itu
meliputi doktrin dan struktur Gereja.302 Jika tidak, maka Gereja akan
kehilangan arah dan digilas oleh zaman. Atau bahkan yang lebih
radikal terjadi di tengah Gereja itu, yakni warga jemaat meninggalkan
Gereja dan mencari Gereja yang mampu menampung pembaruan
imannya. Karena itu Gereja harus mampu merevitalisasi diri dalam
segala lini pelayanan dan ajarannya.
Kedua, pentingnya mengenang sejarah. Penetapan waktu dan
tempat penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama bukanlah se­
buah kebetulan saja. Tetapi karena di dalam waktu dan tempat yang
ditetapkan itu tersirat makna sejarah yang mendalam bagi kedua
belah pihak Lutheran dan Gereja Katolik. Tanggal 31 Okotober 1517
adalah peristiwa ketika Luther menempelkan 95 Dalil pembaruannya

302 Bdk. Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern, (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), hlm. 93-114. Kristiyanto melihat bahwa sebenarnya, Gereja Kristus tetap
terbuka pada pembaruan, sehingga sejarah mencatat pembaruan-pembaruan yang telah
terjadi dalam lintasan sejarahnya. Akan tetapi segera menjadi jelas, bahwasanya tidak ada
pembaruan, tanpa sebab-sebab yang mendahului.
Refleksi Teologis — 185

di gereja Wittenberg. Hari itu ditetapkan kemudian sebagai hari


Reformasi bagi seluruh Gereja-gereja warisan Reformasi. Hari itu
menjadi tonggak pemisahan dan perseteruan Gereja Katolik dan
Luther dimulai. Demikian juga dengan 31 Oktober 1999. Hari itu
ditandatangani sebuah dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran
Pembenaran antara Lutheran dan Gereja Katolik. Hari itu secara sah
pertikaian ajaran pembenaran di antara Gereja Katolik dan Lutheran
resmi diakhiri. Hari itu kedua belah pihak sama-sama sepakat me­
nerima keberadaan ajaran pembenaran dari sudut pandang masing-
masing tanpa rasa curiga dan memusuhi. Hari itu kedua belah
pihak menyetujui satu dokumen Deklarasi Bersama (bdk. dengan 95
Dalil Luther yang hanya merupakan dokumen satu pihak saja) yang
menjadi jembatan persahabatan di antara kedua belah pihak.
Kota Augsburg juga adalah kota bersejarah. Di kota inilah pada
25 Juni 1530 ditandatangani oleh tujuh orang Pangeran Konfesi
Augsburg dan diserahkan kepada Kaisar Karel V303 oleh sejumlah
Pangeran dan Majelis Kota. Dulu di kota ini yang menandatangani
konfesi hanya pihak Lutheran untuk melawan pihak Gereja Katolik,
namun pada 31 Oktober 1999 kota Augsburg menjadi saksi hidup
atas penandatanganan sebuah Deklarasi Bersama. Kota ini kembali
menjadi tempat penandatanganan dokumen Gereja yang bukan
hanya dimiliki oleh Gereja Lutheran tetapi juga merupakan dokumen
milik Gereja Katolik. Dokumen yang ditandatangani ini bukan lagi
menyudutkan Gereja tertentu, tetapi merupakan dokumen yang me­
muat penerimaan akan keberadaan Gereja lain. Dokumen ini menjadi
dokumen kebersamaan yang memiliki nilai-nilai pemersatu yang luar
biasa.

2. Deklarasi Lanjutan

Baru satu dokumen Deklarasi Bersama saja yang dimiliki Gereja


Katolik dan Protestan telah membawa pengaruh yang berarti bagi
hubungan Gereja Katolik dan Protestan, apalagi jika dihasilkan

303 Lih. W.J. Kooiman, Martin Luther, hlm. 68, 77, 97. Raja Karel V adalah raja Spanyol yang
terpilih menjadi kaisar menggantikan Kaisar Maximilian yang meninggal pada Januari 1519.
Sidang pemilihan kaisar dilaksanakan di Augsburg, kota yang di dalam sejarah reformasi
mempunyai peranan yang amat penting.
186  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dokumen-dokumen keesaan lainnya yang akan membuat penyatuan


umat percaya itu semakin nyata.
Bagaimanakah caranya agar dokumen-dokumen keesaan lain bisa
dicapai? Sama seperti proses lahirnya dokumen Deklarasi Bersama,
metode pendekatan diskusi, seminar-seminar, dan dialog-dialog di
antara Gereja Katolik dan Protestan adalah langkah yang ampuh
untuk menghasilkan deklarasi-deklarasi di antara Gereja Katolik
dan Protestan. Memang sudah ada banyak deklarasi yang dihasilkan
antara Gereja Katolik dan Protestan namun sifatnya masih nasional
bukan internasional. Misalnya, Gereja Katolik dan Gereja Lutheran
Evangelis di Amerika sudah banyak menghasilkan deklarasi seperti:
ekaristi sebagai kurban, pelayanan tertahbis, pelayanan oleh Paus,
ajaran infallibilitas Paus, pembenaran, maupun mengenai Maria dan
para santo. Dialog Lutheran - Gereja Katolik Roma di Amerika Serikat
telah mengungkap minat akan kepemimpinan paus yang diperbarui
dalam terang Injil bagi Gereja masa depan.304 Namun deklarasi ini
masih bersifat nasional, belum bersifat universal dan diakui secara
bersama oleh pihak Lutheran dan Gereja Katolik. Namun kesepakatan
ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk dikembangkan lebih lanjut
dalam diskusi-diskusi internasional agar bisa menghasilkan deklarasi
lanjutan.
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, masih banyak lagi yang harus
disepakati di tengah-tengah kehidupan bergereja. Di antara masalah-
masalah ini adalah masalah-masalah etis dan tempat perempuan
dalam gereja. Ada perbedaan besar menyangkut masalah-masalah
se­perti perceraian dan perkawinan kembali, aborsi, KB, seks di luar
nikah, hubungan homoseksual, teknologi reproduksi, sterilisasi.
Ketika penulis mengikuti mata kuliah ”Berbagai Aliran” yang
diampu oleh Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, penulis merasa bahwa di
kalangan aliran-aliran Protestan sendiri begitu banyak perbedaan
ajaran yang mendasar yang bisa berpotensi untuk membawa pemisahan
di antara aliran-aliran Protestan itu sendiri. Penulis merenung apakah
Gereja aliran-aliran Protestan ini suatu saat bisa menghasilkan sebuah
” Deklarasi Bersama” tentang berbagai ajaran yang dipermasalahkan

304 Thomas P. Rausch, ”Gerak Gereja dalam Pluralitas Iman”, diakses dari http://www.
santamaria.or.id/gerak_gereja_dalam_pluralitas_iman.
Refleksi Teologis — 187

di antara denominasi Protestan? Mungkinkah terjadi sebuah sinode


bersama di antara Gereja-gereja mazhab Protestan di Indonesia
untuk membicarakan permasalahan teologis yang selalu meruncing
di tengah-tengah warga jemaat? Mungkinkah ajaran-ajaran dalam
tubuh Gereja-gereja warisan Reformasi di Indonesia bersatu minimal
dalam hal ajaran?
Jika sebuah deklarasi membutuhkan pemikiran yang matang dan
pembahasan yang panjang, maka hal-hal yang bisa dikerjakan adalah
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat mempererat hubungan
di antara kedua belah pihak. Melalui kegiatan kebersamaan ini tentu­
nya diharapkan sesuatu deklarasi akan muncul.
Kegiatan-kegiatan bersama di antara Gereja Lutheran dan Katolik
adalah: pertama, perayaan 2000 tahun Rasul Paulus: 29 Juni 2008 -
28 Juni 2009. Dengan kegiatan bersama ini diharapkan akan tercipta
sebuah proses keesaan lanjutan lainnya. LWF menyambut baik
prakarsa Paus Benedictus XVI supaya memperingati secara bersama
kelahiran Rasul Paulus 2000 tahun lampau pada tanggal 29 Juni 2008.
Hal senada juga disampaikan Ishmae1 Noko, Sekretaris Jenderal LWF
dalam suratnya pada awal Juni 2008 menghimbau seluruh Gereja
untuk merayakan Tahun Rasul Paulus 28 Juni 2008 – 29 Juni 2009. Itu
berarti selama 1 (satu) tahun seluruh Gereja melaksanakan kegiatan
tahun Rasul Paulus. Demikianlah tahun tersebut kita mulai sebagai
tahun perayaan atas iman, kesaksian melalui surat-suratnya sampai
dengan kematiannya.305

305 M. Simamora, ”Perayaan Tahun Rasul Paulus (28 Juni 2008 – 28 Juni 2009)”, dalam www.
gkpi.org; bdk. ”The Year of Saint Paul The Church Today Requires ‘Total Dedication to
Christ’”, dalam Adoremus Bulletine, Vol.XIV, No.4, Juni 2008, yang diakses dari www.
adoremus.org/ 0608YearofStPaul.html. Tahun Santo Paulus ditetapkan mulai dari 28 Juni
2008 sampai dengan 29 Juni 2009 oleh Paus Benediktus XVI pada 28 Juni 2007 di dekat
makam Santo Paulus yang terdapat di Basilika Santo Paulus di luar tembok. Perayaan itu
diadakan dalam rangka memperingati kelahiran Santo Paulus 2000 tahun yang lalu. Pada
penetapan Tahun Santo Paulus itu Paus Benediktus XVI mengatakan, ”Saudari-saudara,
sebagaimana pada Gereja Perdana, sekarang ini juga Kristus membutuhkan rasul-rasul yang
siap sedia mengorbankan dirinya. Tuhan membutuhkan saksi-saksi iman dan martir-martir
seperti santo Paulus. Paulus, yang semula penganiaya orang-orang Kristiani, ketika jatuh di
tanah, terpesona oleh cahaya ilahi pada jalan menuju Damsyik, tidak ragu-ragu mengubah
arah menuju Yang Tersalib, dan mengikuti-Nya tanpa berpikir panjang. Ia hidup dan bekerja
untuk Kristus, ia menderita dan mati untuk Kristus. Betapa tepatnya ia menjadi teladan iman
zaman sekarang! Dan karena alasan inilah saya menetapkan secara resmi bahwa kita akan
mempersembahan Tahun Yubileum khusus kepada Rasul Paulus dari 28 Juni 2008 sampai 29
Juni 2009, pada kesempatan peringatan dua millenium kelahirannya, yang diperkirakan oleh
para ahli terjadi antara tahun 7 – 10 Masehi”.
188  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Kedua, Perayaan 500 Tahun Reformasi Martin Luther 2017. Gereja-


gereja Evangelis dan Lutheran bersama Gereja Katolik Roma dan
juga pemerintah Jerman berencana untuk merayakan secara umum
(nasional) usia 500 tahun reformasi yang dicetuskan oleh Martin
Luther. Upaya ini disambut oleh rapat Dewan (council) LWF. Refor­
masi ditandai oleh dua kekuatan yang muncul yang saling berebut
kekuasaan publik, yaitu Gereja reformasi bersama raja-raja negeri
setempat di satu pihak dan Gereja Katolik Roma (corpus christianum)
bersama raja-raja negeri yang pro Paus dan Kaisar. Dan karenanya
telah mengakibatkan pecahnya perang di mana-mana untuk mem­
perebutkan benua Eropa yang bakal ”mayoritas Protestan” dan
”mayoritas Katolik Roma”. Kalau di sana ada perebutan kuasa antara
raja-raja negeri dan kaisar bersama paus, maka perlu kita cermati
konteks dan situasi Gereja-gereja Lutheran di Indonesia: kekuatan-
kekuatan apakah yang sejak dulu hingga sekarang mendominasi
sistem kepemimpinan Gereja kita yang khususnya berlatarbelakang
budaya dan suku Batak yang plural itu. Kita tidak mengenal kaisar
dan raja-raja senegeri yang punya batas kerajaan dan kuasa tertentu,
tetapi sistem marga dan desa. Dalam sejarah perjalanan kekristenan
di tanah Batak yang hampir 150 tahun (1861 - 2011)306 perlu kita punya
kajian yang menyeluruh akan kekuatan-kekuatan yang menyemangati
dan merusak kesatuan Gereja-gereja Lutheran di Indonesia.
Di samping itu juga Gereja-gereja Lutheran harus terus menerus
menggali lebih dalam rumusan-rumusan teologi yang bisa membuka
peluang deklarasi dengan pihak Gereja Katolik nantinya. Misalnya,
LWF dalam Sidang Raya Stuttgart 2010 akan membahas Konfesi Nicea
sebagai bahan studi LWF melalui Departemen Studi Teologi (DTS).
Salah satu konfesi Gereja abad-abad pertama yang masih hidup
dalam Gereja-gereja sedunia ialah konfesi Nicea (325M), yang muncul
pasa zaman imperium Romawi. Pembahasan ini kegunaannya untuk
meredefinisi konfesi Nicea sebagai konfesi lama, melihat secara kritis
keterkaitan konfesi itu dengan kepentingan imperium Romawi.307

306 Ini hanya menyangkut HKBP dan ”anak-anak”-nya.


307 Memang dalam kehidupan bergereja konfesi Nicea 325 ini jarang dipergunakan. Yang sering
dipergunakan adalah Konfesi Nicea-Konstantinopel 381. Namun LWF memilih teks Nicea
325 menjadi bahan Sidang Raya Stuttgart 2010 dengan alasan bahwa konfesi Nicea 325 ini
merupakan konfesi yang memiliki hubungan yang erat dengan kepentingan imperium
Romawi saat itu. Dengan menggali akar permasalahan ini dimungkinkan hubungan GKR
Refleksi Teologis — 189

Mungkin kita juga kini sebagai dunia global hidup dalam sebuah
imperium baru. Maka studi itu harus kontekstual: mengumpulkan
umat manusia dan bersatu dengan masa lalunya umat manusia itu.
Tetapi yang utama ialah bahwa kita harus menyaksikan iman kita
pada masa kini. Dalam hal ini diasumsikan bahwa akan tampak nanti
pengakuan bahwa tanpa Roh Kudus maka sebuah kebaktian tidak
bakal sempurna. Konfesi Nicea mengedepankan kesatuan Gereja.
Hal-hal lain yang akan menjadi topik pembahasan DTS LWF
adalah dalam mencari apakah LWF mempunyai suatu eklesiologi yang
khusus Lutheran. Bagaimana kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan
sehubungan dengan penyembahan ”arwah nenek moyang”?, berkat
material (material blessing) dari kharismatik, dan lain-lain?

3. Menafsir Ulang Ajaran Pembenaran

Bagaimanakah kita memahami pengertian pembenaran saat ini?


Untuk menjawab pertanyaan ini harus terlebih dahulu memahami
dengan baik Injil. Bagaimanakah Injil itu di dalam hidup dan
kehidupan kita sehari-hari? Sehingga kita bisa memahami pembenaran
itu di dalam Gereja sebagai sebuah persekutuan yang lebih luas.
Pertanyaan kita sekarang adalah apakah relevansi konsensus yang
dicapai dalam dokumen Deklarasi Bersama?
Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman
akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan kita, kita
diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang memperbarui
hati kita serta memampukan dan memanggil kita untuk perbuatan-
perbuatan baik. (DB 15)

Konsensus ini mengekspresikan makna dari pembenaran. Namun


yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa dan bagaimana pesan
ini kita maknai dan pahami saat ini? Bagaimanakah caranya agar
kon­sensus ini dikomunikasikan dengan cara yang menyenangkan
dan bermakna?
Inti dari konsensus ini adalah ”kita diterima oleh Allah”. Kon­
sensus ini harus bisa mempengaruhi seluruh kehidupan bergereja

dan Lutheran akan menemui pencerahan yang baru menuju kesatu gereja. Untuk melihat
teks-teks konfesi ini lih. Jaroslav Pelikan & Valerie Hotchkiss (eds.), Creeds and Confessions of
Faith in the Christian Tradition, (London: Yale University Press, vol.I, 2003), hlm. 155-163.
190  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dan orang percaya. Ajaran pembenaran itu membutuhkan penafsiran


ulang di dalam berbagai cara untuk menjawab tantangan kita saat ini
dengan slogan, ”kita diterima oleh Allah”.
Dokumen Deklarasi Bersama merupakan langkah yang signifikan
menuju metode penafsiran hermeneutis di dalam diskusi ekumenis.
Dokumen ini berisikan inti ajaran yang kedua belah pihak Lutheran
dan Gereja Katolik setuju, dan kemudian menggambarkan tradisi
masing-masing di dalam menafsirkan ajaran pembenaran itu.
Perbedaan di dalam teologi, bahasa, dan tekanan pada kata-kata
dalam kalimat (aksen) dimengerti sebagai pelengkap dan bukan
sebagai pemisahan satu dengan yang lainnya.
Mengapa dokumen Deklarasi Bersama ini sangat penting? Pertama,
seluruh pernyataan di dalam Deklarasi Bersama ini telah diformulasikan
pada situasi saat ini dan pada dunia saat ini. Setiap formulasi teologi
dibentuk di dalam konteks sosial, budaya, dan bahasa saat ini. Kedua,
ketika pernyataan ini dibaca dan ditafsirkan di dalam konteks yang
baru, atau ketika pernyataan ini diterjemahkan ke dalam bahasa yang
baru, konteks yang baru itu akan dibentuk dengan sebuah pengertian
yang baru dan bahkan di dalam cara yang tidak terduga-duga.
Tugas hermeneutika memerlukan pengembangan pemahaman
dimensi yang baru, dan pada saat yang sama menguji apakah
Deklarasi Bersama mempengaruhi penafsiran atas ajaran pembenaran,
atau apakah Deklarasi Bersama mengubah prinsip ajaran pembenaran
itu. Hal ini diuji dari dasar alkitabiah tentang ajaran pembenaran
dan juga sejarah ajaran pembenaran di dalam tradisi-tradisi Gereja
masing-masing.
Bagaimanakah dokumen Deklarasi Bersama kita pahami sekarang?
Menurut Kayales308, ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama,
dokumen Deklarasi Bersama tidak cukup hanya dijelaskan dengan
kata-kata yang manis dan indah kepada warga jemaat, orang percaya
dan katekumen, tentang apakah arti pembenaran. Namun di dalam
pelatihan para pendeta, penatua dan pelayan Gereja, kita harus
mengajarkan dan menekankan bagaimana hubungan pekerjaan
dan pelayanan kita secara spiritual saling berhubungan dengan apa
yang telah kita pahami tentang ilmu-ilmu teologi. Artinya, di dalam

308 Christina Kayales, ”Reception”, hlm. 22.


Refleksi Teologis — 191

menjalankan tugas pelayanan di dalam Gereja, harus kita sadari


bahwa kita berada di dalam sebuah Gereja yang memberi kebebasan
dan pengalaman hidup yang telah dibenarkan.
Kedua, dokumen Deklarasi Bersama menjadi sebuah tanda ke­
berhasilan dalam gerakan ekumenis. Hal ini sangat diperlukan dalam
rangka mengatasi perasaan yang mendominasi di dalam gerakan
ekumenis, dan memampukan kita menemukan cara untuk bekerja
sama dengan Gereja-gereja lain dengan semakin baik.
Ketiga, metode apakah yang akan menjadi bagian dari gerakan
ekumene kita? Apakah masih mungkin metode ”konsensus per­
bedaan” diaplikasikan dalam menghadapi permasalah teologi?

4. Arah Baru

Melihat keadaan Gereja-gereja sejak zaman reformasi hingga


kini, maka sudah saatnya kita berpikir ke arah baru. Arah lama yang
menonjolkan fanatisme dan kebenaran diri sendiri harus ditinggalkan.
Sebab hal ini akan menimbulkan perpecahan di dalam Tubuh Kristus.
Arah baru yang dimaksud adalah Gereja-gereja di seluruh dunia
mencari sebuah langkah menuju penyatuan Tubuh Kristus.309 Arah
baru itu bisa dilakukan dengan gerakan menuju sebuah konvergensi
(penyatuan). Artinya, Gereja Protestan semakin mencari akar-akar
pengajarannya menuju Gereja Katolik, dan sebaliknya Gereja Katolik
semakin memperbarui dirinya menuju gerakan Protestantisme.
Jika kita melihat perkembangan Gereja-gereja saat ini, sebenarnya
sudah banyak gerakan konvergensi terjadi di tengah-tengah Gereja.
Gerakan-gerakan itu dapat kita lihat di bawah ini:

4.1 Liturgi / Tata Ibadah


Gerakan konvergensi bisa dimulai dari liturgi dan tata ibadah
Gereja Katolik dan Protestan, karena pada umumnya liturgi kedua

309 Lih. Tata Ibadah Hari Doa Sedunia 2009, yang dipersiapkan oleh wanita-wanita Kristen dan
Katolik di Papua New Guinea dengan tema ”Dalam Kristus banyak anggota tetapi satu
Tubuh (Rm 12: 3-21)”. Wanita-wanita dari Dewan Gereja di Papua New Guinea (Papua
New Guinea Council of Churches) yang terdiri dari: Gereja Katolik, Lutheran, Presbyterian,
Bala Keselamatan, dan Gereja Baptis, bisa bersatu dalam sebuah ibadah. Kegiatan ini juga
dirayakan di Indonesia, namun belum menunjukkan kesatuan seperti di Papua New Guinea
ini.
192  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

belah pihak memiliki banyak persamaan. Persamaan itu misalnya:


pertama, dasar dari liturgi Gereja-gereja Prostestan tidak terlepas dari
dasar liturgi Katolik yang bercirikan anamnesis (mengenang). Tetapi
liturgi Protestan juga memahami bahwa liturgi itu juga memiliki
dimensi mimesis (meniru) akan peristiwa Kristus. Ibadah bukan ke­
wajiban atau hukum, tetapi perayaan peringatan karya Allah melalui
peristiwa Kristus. Anamnesis dan mimesis memungkinkan terjadinya
perjumpaan umat, Gereja, dan Allah dalam satu perayaan liturgi.
Tanda-tanda perjumpaan tersebut adalah dialog anabatis (dari umat
kepada Allah) dan katabatis (dari Allah kepada umat).310
Kedua, sama-sama bercirikan simbolis. Simbol berfungsi memper­
temukan masa lalu dengan masa kini. Perayaan liturgi berada pada
wilayah simbol, di mana aras objektif dilengkapi dan diperkaya oleh
aras subjektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan
proporsi liturgi. Tanpa simbol, liturgi menjadi kosong, sebab liturgi
adalah simbol.311 Liturgi menyimbolkan hadirnya umat di dalam
peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya
kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Simbol adalah jembatan;
menjembatani masa lalu dengan masa kini; demikian pula liturgi
yang mengantar Gereja masa kini kepada peristiwa Kristus ribuan
tahun lalu.
Ketiga, Protestan dan Gereja Katolik Gereja Katolik masih me­
melihara ibadah harian. Ibadah harian di Gereja-gereja Reformasi,
terutama Lutheran, tetap dipraktikkan. Martin Luther (1483-1546)
dalam buku liturgi Deutsche Messe (1526) menetapkan dua kali doa
sehari. Ibadah pagi (matutinum) dengan pembacaan PL, menyanyikan
hymne Jerman dan hymne Latin. Ibadah senja (vesperas) dengan
pembacaan PB dan menyanyikan Magnificant.312

310 Rasid Rahman, ”Liturgi di Zaman Modern”, dalam http://rasidrachman-liturgika.blogspot.


com yang diakses pada hari Selasa, 9 September 2008.
311 Ibid. Simbol dalam perayaan liturgi dapat berupa antara lain: 1. Benda, misal: roti dan anggur
mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan
firman. 2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun
lalu; makam martir atau santo. 3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat
Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan Gereja. 4. Tindakan atau sikap, misal: membaca
Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian
jemaat, sikap berdoa. 5. Waktu, misal: hari Minggu, Paskah fajar, Natal malam. 6. Kata-kata,
termasuk syair nyanyian.
312 Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, hlm. 39-42.
Refleksi Teologis — 193

Keempat, sama-sama merayakan ibadah mingguan, seperti hari


Minggu. Sejak Maret 321, Kaisar Konstantinus Agung (± 274-337)
menetapkannya menjadi hari libur resmi terutama bagi pegawai
pemerintah.313 Sejak awal, Gereja melayankan ibadah mingguan pada
hari pertama (Ibrani: ehad, Arab: Ahad) setelah satu pekan, yakni hari
kebangkitan Tuhan Yesus, oleh sebab itu disebut hari Tuhan (Why
1: 10).314 Para Bapa Gereja menetapkan ibadah hari Minggu untuk
mengenangkan peristiwa kebangkitan Tuhan. Oleh sebab itu, ibadah
hari Minggu dirayakan oleh beberapa Gereja dengan Perjamuan
Kudus karena mengingat kebangkitan Tuhan (1 Kor 11: 17-34).
Adanya kebaktian minggu lebih dipahami sebagai penetapan Gereja,
bukan oleh Alkitab atau Tuhan. Jika dipahami secara sederhana, maka
penetapan Gereja tersebut merupakan cara menggantikan Sabat orang
Yahudi dengan Minggu kebangkitan Yesus.315 Gereja Katolik dan
Gereja-gereja Protestan (Lutheran dan Calvinis) sama-sama meyakini
bahwa kebaktian Minggu adalah pengganti Taurat Yahudi terhadap
ketergantungan pada hari tertentu.316
Kelima, sama-sama merayakan ibadah tahunan. Dua jenis pe­
rayaan ibadah tahunan Gereja, yaitu: temporale dan sanctorale atau
martyrologia. Temporale adalah perayaan yang berporos pada kisah
Kristus. Sedangkan sanctorale adalah peringatan para kudus atau
martir.317 Tetapi perayaan sanctorale ini tidak dilaksanakan di dalam
Protestan.
Keenam, sama-sama memakai leksionari. Leksionari (lectionary,
lectionarium) adalah daftar pembacaan Alkitab telah lazim digunakan
dalam ibadah Yahudi di sinagoge. Yang dibacakan atau didaraskan

313 Ibid., hlm. 44-45. Perlu dicatat bahwa Reformator tidak setuju Minggu sebagai hari libur
dalam arti hari berhenti bekerja sama sekali. Hari Minggu adalah hari Tuhan, bukan hari
libur legalistis.
314 Ibid., hlm. 45. Beberapa bahasa di dunia tetap menyebut hari pertama sebagai hari Tuhan.
Bahasa Indonesia : hari Minggu, berasal dari Portugis : Dominggo, atau Latin : dies Dominica
atau Dominicum, sejajar dengan Italia  : Dominica, dan Perancis  : Dimanche, artinya hari
Tuhan.
315 Ibid., hlm. 135. Alasan tersebut sering kali merujuk pada para Bapa Gereja dan naskah gereja
yang menuliskan hal tersebut, anatara lain: Thomas Aquino (”bukan oleh hukum Taurat,
melainkan institusi Gereja”), Konsili Trente (”Gereja mempermaklumkan bahwa perayaan
Gereja diubah dari Sabat ke Minggu”), Luther (Minggu merupakan ketetapan, bukan otoritas
Gereja), dan Calvin (”hari itu kita terima sebagai suatu cara yang perlu untuk menjaga
ketertiban di dalam Gereja. Orang-orang Kristen pertama tidak mengganti hari Sabat dengan
hari yang kita sebut hari Tuhan”).
316 Ibid., hlm. 136.
317 Ibid., hlm. 47-48.
194  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pertama adalah Taurat sebagai bacaan termulia, lalu Mazmur-


mazmur, dan satu atau beberapa Kitab Para Nabi. Gereja mengadopsi
dan mengadaptasi leksionari ini dengan pembacaan pertama dari
PL (tidak hanya Taurat), dan pembacaan kedua, dari surat-surat
Rasuli atau Kisah Para Rasul. Pada abad ke-5, Gereja Konstantinopel
mulai mengurangi jumlah pembacaan dari tiga menjadi dua, dengan
tidak membacakan PL. Lambat-laun, sejak abad ke-6 Gereja Katolik
mengikuti cara ini. Sejak Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik
menyadari perlunya dilakukan sebuah revisi besar-besaran terhadap
leksionari hingga munculnya Ordo Lectionum Missae (OLM) pada
tanggal 25 Mei 1969. Penggunaannya hanya untuk lingkungan Gereja
Katolik. Kemudian Gereja-gereja Barat (tanpa Katolik) membentuk
komisi revisi full-timers dan ekumenis menyusun daftar bacaan
Alkitab. Hasil revisi ini disebut The Lectionary, kemudian digunakan
sebagai acuan daftar pembacaan Alkitab oleh Gereja-gereja Anglikan,
Lutheran, dan Presbiterian. Hasil yang lebih nyata, dengan terbitnya
Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL digunakan oleh banyak
denominasi sebagai acuan buku daftar pembacaan dengan penyesuaian
menurut konteks dan sejarah denominasi yang bersangkutan.
Misalnya: Gereja Katolik dengan OLM, Lutheran dengan Lutheran
Book of Worship.318 Pada tahun 1992, CL direvisi dengan Revised
Common Lectionary (RCL) yang digunakan sebagai daftar pembacaan
Alkitab terbaru oleh Gereja-gereja Protestan. Dengan terbitnya RCL,
maka kalender liturgi Gereja Protestan pun menerima hari-hari raya
yang sebelumnya lebih dikenal sebagai ”milik” Gereja Katolik. Hari-
hari raya tersebut, semisal: Yesus diberi Nama (1 Januari), Epifania (6
Januari), Rabu Abu, Pekan Suci, dan sebagainya.
Melihat pemaparan di atas, maka sudah saatnya dipikirkan ber­
sama agar tersusunnya suatu tata perayaan liturgi yang ekumenis,
yang dapat diterima oleh semua denominasi Gereja, baik Gereja
Katolik maupun Protestan, baik evangelikal maupun ecumenikal.
Bukan­kah di dalam beberapa bidang kehidupan bergereja abad ini,
jalan ekumenis mulai tampak sedikit demi sedikit? Alangkah lebih

318 Ibid., hlm. 173-174. Juga Anglikan dengan Book of Common Prayer, Presbiterian dengan
Worshipbook. Bahkan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) masih memakai CL
sebagai dasar penyusunan Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI) setiap tahunnya.
Refleksi Teologis — 195

baiknya apabila jalan itu diterangi pula dengan pemahaman tentang


tata perayaan liturgi ekumenis.319
Peribadahan Gereja Katolik Roma yang sering kali disiarkan oleh
media elektronik telah ditonton oleh banyak orang, termasuk umat
Protestan. Keanggunan, keagungan, dan keindahan liturgi Katolik
menimbulkan kesan kagum bagi beberapa kalangan Protestan. Setelah
menyadari akar historis antara Gereja Reformasi dan Gereja Katolik
Roma dalam tradisi liturgi Barat, tidaklah terlalu sulit memasukkan
unsur-unsur liturgi Katolik ke dalam liturgi Protestan.
Beberapa wujud penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi
di Indonesia karena pengaruh liturgi Gereja Katolik Roma, antara
lain: penggunaan stola sejak beberapa dekade terakhir320, peng­
gunaan leksionari321, tata gerak dan tata tutur liturgis (gestur) yang
menunjukkan kekhidmatan dan keagungan, dan lambat laun mulai
terlihat pengaturan pada penataan tahun liturgi yang semakin baik,
adalah sebagian contoh dampak tersebut. Hal membersamakan
perayaan liturgi antara Gereja Katolik dan Protestan tidak perlu
menjadi kekuatiran akan hilangnya kekatolikan atau keprotestanan
Gereja. Sejalan dengan semangat Gerakan Liturgis dan Gerakan
Ekumenis dewasa ini, masing-masing denominasi besar sedang saling
mendekatkan diri. Sejak tahun 1940-an, ibadah Gereja Katolik mulai
dibarui dan terlihat mendekati pola ibadah Protestan. Setelah Konsili
Vatikan II dan sebelum tahun 1970-an, giliran ibadah Protestan yang
justru dibarui untuk mendekati ibadah GKR.322 Hal ini terlihat dalam
gambar di bawah ini (Gbr.1).

319 Ibid., hlm. 3.


320 Misalnya para pendeta dan pelayan di GKI, GPIB, HKI telah memakai stola dalam setiap
ibadah minggu.
321 Misalnya GKI, GPIB, HKBP, GKPI, GKPA, dll telah menggunakan leksionari dengan berbagai
penyesuaian di dalamnya.
322 Rasid Rachman, Op.Cit., hlm.174-175; bdk. James F. White, Protestant Worship, hlm. 33-35.
196  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Gambar 1

Ibadah Protestan

Ibadah Gereja Katolik


1940 1970

Sebelumnya, antara tahun 1520 dan 1570, telah terjadi divergensi


(divergence) antara Protestan dan Gereja Katolik, namun kini sudah
mulai konvergensi (convergence), kecuali pembacaan kitab Deutro­
kanonika yang justru tetap merupakan perbedaan praktis antara
Protestan dan Gereja Katolik.

Gambar 2

Ibadah
Protestan
Ibadah sebelum Abad
Pertengahan

Ibadah
Gereja Katolik
1520 1570

4.2 Pengakuan Iman Bersama


Pengakuan Iman yang diakui secara bersama-sama sudah se­
harusnya bisa digagas oleh Gereja-gereja demi kesatuan Tubuh Kristus
di dunia. Gerakan seperti ini sudah dilaksanakan oleh Persekutuan
Gereja-gereja di Kanada (United Church of Canada), yaitu Gereja
Lutheran, Methodist, dan Persbyterian. Persekutuan Gereja-gereja
di Kanada mencoba merumuskan sebuah pengakuan iman bersama
dengan tema ”Kita tidak sendirian” (We are not alone). Pengakuan
iman ini mulai dikembangkan sejak 1940 dan mendapat rumusan
akhir 1997.323

323 Andar Ismail, Selamat Bergereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hlm. 112.
Refleksi Teologis — 197

Menurut Ismail, yang mencolok dari pengakuan iman ini adalah


sifatnya yang inklusif atau merangkul. Subjeknya bukan kata ganti
orang pertama tunggal melainkan jamak, yaitu kami. Langsung
pengakuan ini dimulai dengan pernyataan, ”Kita tidak sendirian”.
Gereja tidak hidup sendirian, tetapi bersama dengan ciptaan Allah
yang lain di dunia, yaitu lingkungan hidup, hewan dan orang-
orang.324 Pengakuan percaya memang tidak sepatutnya memisahkan
kita dari pihak-pihak di luar kepercayaan kita. Agama ada bukan
untuk memisahkan manusia dalam kotak-kotak, melainkan justru
untuk mempersatukan kita dengan orang-orang lain.
Dilihat dari sudut pandang yang luas, pengakuan Gereja di Kanada
ini mengajak kita beriman secara inklusif. Dalam penjelasannya,
United Church of Canada menulis:
Rarely, if ever, do we use doctrinal standards to exclude anyone from the
circle of belonging ... Rather we lift up Jesus Christ and His way, saying to all
who seeks God’s grace and service, ’Come and see’.325
Hampir tidak pernah kami memakai patokan ajaran untuk
menyisihkan siapa pun dari lingkaran kebersamaan. Sebaliknya kami
mengedepankan Yesus Kristus dan jalan-Nya, sambil berkata kepada
tiap orang yang memerlukan anugerah dan pelayanan Allah,’Mari,
datang dan lihatlah’.

Melihat dua contoh di atas, penulis berkesimpulan bahwa sudah


saatnya arah baru gerakan ekumene kita mengarah kepada penyatuan-
penyatuan. Hal inilah juga yang terungkap dari beberapa kalangan
pastor dan pendeta ketika penulis melakukan wawancara kepada
mereka. Pastor dan pendeta memiliki kerinduan suatu saat akan
tercipta suasana yang lebih baik yang mengarah kepada penyatuan
Gereja-gereja di dunia ini.

5. Membangun Jiwa Protestanisme (Lutheranisme)

Dokumen Deklarasi Bersama akan memacu kaum Protestan untuk


lebih mengenal jati dirinya sebagai Protestan. Protestan khususnya
Lutheran, lebih menekankan sola fide, sola gratia dan sola scriptura dalam

324 Ibid., hlm. 113. Isi lengkap pengakuan iman ini lihat dalam lampiran.
325 Ibid., hlm. 115.
198  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

kehidupan bergerejanya. Sementara kalangan Katolik menekankan


iman dan perbuatan sekaligus, sebab iman tanpa perbuatan adalah
tidak berguna alias kosong atau hampa.
Dalam dokumen Deklarasi Bersama butir 15 disebutkan bahwa,
”Kami bersama-sama mengakui: hanya oleh anugerah, dalam iman
akan karya penyelamatan Kristus dan bukan karena perbuatan
kita, kita diterima oleh Allah dan diterima oleh Roh Kudus, yang
memperbarui hati kita serta memampukan dan memanggil kita
untuk perbuatan-perbuatan baik.” Artinya dalam dokumen ini ter­­
tuang ajaran bahwa kita sama-sama memahami bahwa kita dise­
lamatkan oleh anugerah dalam iman akan karya penyelamatan
Kristus, yang memperbarui kita serta memampukan kita untuk
perbuatan-perbuatan baik. Dengan demikian harus dipahami bahwa
keselamatan yang dimiliki oleh orang Protestan haruslah ditunjukkan
dalam perbuatan-perbuatan baiknya.
Sebagai mahasiswa teologi selama lima tahun di sekolah teologi
Protestan, saya dulu sudah mengetahui hal ini walaupun memang
tidak mendalam sekali, tetapi sebagai mahasiswa teologi waktu
itu saya merasa nyaman saja menjadi seorang Protestan di mana
keselamatan saya semata-mata adalah atas rahmat dan pemberian
gratis dari Tuhan. Ada rasa aman sebab tidak harus melakukan
”investasi dan akumulasi” perbuatan baik untuk keselamatan saya.
Martin Luther sendiri memang tidak lalu mengatakan bahwa
kaum Protestan boleh berbuat sesuka hati saja sebab keselamatan
murni merupakan rahmat Tuhan. Luther sendiri menekankan bahwa
justru kaum Protestan harus berbuat baik dalam arti yang sepenuh-
penuhnya sebagai bentuk respons dan tanggung jawab iman terhadap
keselamatan yang diberikan oleh Tuhan.
Apa artinya menjadi seorang Protestan? Saya menyebut diri saya
sebagai seorang Lutheran. Walaupun, ada pertanyaan besar: apa
artinya menjadi seorang Lutheran? Apa artinya menjadi seorang
Protestan? Betapa jauh jarak antara tahun di mana Luther hidup dan
abad di mana kita hidup sekarang ini; antara abad ke-16 dan ke-21.
Jika kita memperhatikan tipe kepribadian Luther yang humoris
tetapi juga bisa sangat terus terang tanpa tedeng aling-aling: Luther
adalah seorang yang sangat piawai dalam memperjuangkan apa yang
diyakininya benar. Ia seorang yang pernah belajar hukum sebelum
Refleksi Teologis — 199

masuk biara. Ia penulis berbakat yang sangat produktif. Sementara


kebanyakan para pendeta Protestan zaman sekarang? Hanya belajar
teologi dan itu pun kebanyakan teologi zaman dulu yang dibawa
para misionaris zaman kolonialis yang melihat bangsa jajahan sebagai
kaum inferior dan penyembah berhala karena itu harus diselamatkan
dengan cara mengkristenkan.
Aneh tapi nyata, sebab justru Gereja-gereja yang seharusnya
hidup dalam spirit pembaruan (Protestan) malah menjadi cenderung
mandeg, kaku, dan dogmatis. Memang perlu penelitian dan kajian
yang lebih lanjut dan detil berkaitan dengan bagaimana kaum
Protestan menjiwai dan menghidupi keprotestanannya. Dugaan saya,
mayoritas warga Protestan yang beraliran Lutheran (Gereja-gereja
Batak di Sumut) sebenarnya tidak tahu siapa itu Martin Luther,
apalagi sepak terjangnya. Paling yang mereka ingat Katekismus Dr.
Martin Luther ketika belajar katekisasi untuk persiapan naik sidi.
Kita mengenal pohon lewat buahnya. Kalau pohon ibarat iman,
maka buah pohon adalah ibarat perbuatan. Yesus bahkan pernah
mengutuk sebuah pohon ara yang tidak berbuah hingga layu seketika.
Tidak berbuah, tidak berfungsi sebagai pohon ara secara lengkap.
Pada zaman itu belum terjadi pemanasan global. Kalau sekarang
walaupun tidak berbuah, paling tidak daunnya bisa berfungsi untuk
menyerap karbon dioksida.
Kalau Protestan itu kita ibaratkan sebuah pohon, apakah ia pohon
yang berbuah? Kalau ya, apakah buahnya lezat? Kalau kita ibaratkan
benih, maka benih yang tumbuh di mana? Di pinggir jalankah? Di
tanah berbatu-batukah? Di tengah semak durikah? Di tanah gembur
yang baikkah?
Di mana posisi kaum Protestan zaman ini? Apakah kita bukan
merupakan benih yang: jatuh di pinggir jalan yang ketika burung
datang, benih itu dimakannya sampai habis; jatuh di atas tanah
berbatu-batu yang tidak banyak tanahnya, memang benih ini tumbuh
tapi segera layu ketika matahari bersinar terik sebab akarnya tidak
dalam; jatuh dan tumbuh di tengah semak duri yang lalu menghimpit
benih yang tumbuh itu sampai mati.
Kalau bukan benih yang tumbuh di pinggir jalan, tanah berbatu-
batu atau semak duri, lalu, apakah kita bisa mengatakan bahwa kita
ini benih yang tumbuh di tanah yang baik dan gembur? Apakah
200  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

kehadiran kaum Protestan ke gereja setiap hari minggu dan ke


berbagai perayaan-perayaan gerejawi serta masih berdirinya gedung-
gedung gereja di seantero negeri terlebih lagi di Sumatera Utara
sebagai salah satu kantong Kekristenan di Indonesia dan bukti bahwa
benih jatuh di tanah yang baik lalu berbuah?
Tanah yang baik tidak muncul begitu saja. Ada penggarap
yang menggemburkan dan merawat sehingga kondisinya baik dan
benih yang tumbuh di dalamnya menghasilkan panen yang berlipat
ganda.
Sama halnya dengan Gereja. Ia layak kita sebut Gereja kalau ia
bertumbuh di tanah yang baik; kalau ia berfungsi memperbarui dan
mengubah hidup manusia menjadi baik. Gereja-gereja Protestan
di Indonesia khususnya Gereja-gereja Protestan di Sumatera Utara
menurut saya terlalu menekankan peran pendeta di hampir semua
lini, mulai dari menjadi pendeta resort, praeses di distrik, hingga
pimpinan pusat, termasuk yang menjadi penanggung jawab di
berbagai sektor-sektor pelayanan diakonianya.
Sayang sekali, Gereja-gereja Protestan justru menjadi lebih hierarkis
dibanding dengan Katolik. Para pastor Katolik berbagi tugas sesuai
dengan ciri khas ordo-ordo yang ada pada mereka. Kaum Yesuit
misalnya tidak mengurusi jemaat tapi berfokus pada bidang ilmu
pengetahuan dan pendidikan. Jadi lumrah sekali jika seorang pastor
yang sudah belajar teologi dan filsafat juga seorang ahli matematika
atau fisika.
Kenaifan kalangan Protestan menyerap sola fide, sola gratia dan sola
scriptura telah memperlemah dirinya, sebab para pendeta dan pekerja
di dalam Gereja-gereja Protestan hanya terutama ahli dalam bidang
teologi. Padahal, kehidupan manusia di zaman ini semakin kompleks.
Modal teologi, apalagi dari Abad Pertengahan itu, tidak mungkin
cukup untuk zaman ini! Ini salah satu sebab mengapa Gereja-gereja
Protestan dalam pengamatan saya menjadi mirip dengan benih yang
jatuh di jalan atau tanah berbatu-batu atau bahkan di semak duri.
Kalau zaman ini kita ibaratkan dengan lahan di mana benih
jatuh dan tumbuh, maka mestinya kita paham betul bagaimana
mengolah lahan ini. Seorang petani yang benar-benar petani sudah
pasti menanam benih yang ada padanya di lahan yang sudah
Refleksi Teologis — 201

dipersiapkannya dengan baik dan proses persiapan lahan menjadi


gembur bisa merupakan pekerjaan yang paling sulit.
Akan jauh lebih bagus kalau para pendeta Protestan, terutama
lapisan generasi mudanya, kita persiapkan untuk melek tidak
hanya dalam bidang teologi tapi juga dalam bidang seluruh ilmu
pengetahuan yang ada. Hanya ini jaminan bahwa Gereja bisa berfungsi
maksimal di zaman ini dan di zaman yang akan datang. Kita kadang
terjebak pada teologi lama, yang sebenarnya lahir dalam konteksnya
sendiri. Kita hidup di konteks yang berbeda, di zaman ini kita harus
bertanggung jawab dengan cara menjadi Kristen di zaman ini, bukan
di zaman lalu.
Menurut saya, adalah tanggung jawab moral sekaligus iman kita
sebagai orang Kristen untuk memperlengkapi diri kita secara teratur
dan sistematis dengan ilmu pengetahuan (tidak hanya teologi).
Memang benar bahwa warga jemaat kita mempunyai profesi yang
beraneka ragam, tetapi, seperti yang sudah saya jelaskan kondisi
seperti yang kita jalani selama ini masih jauh dari ideal. Kita
memerlukan orang-orang yang kuat dalam bidang teologi sekaligus
non-teologi.
203

Bab VI
Rangkuman dan Saran

Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan dari seluruh uraian tentang
”Pengaruh Deklarasi Bersama tentang Pembenaran oleh Iman terhadap
umat Protestan dan Katolik di Indonesia” baik terhadap lembaga
Gereja maupun terhadap orang Kristen itu sendiri.

1. Rangkuman-rangkuman

1.1 Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah se­


suatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang
di­nyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan
seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. Menurut
Thiessen, ada beberapa hal yang tercakup dalam pembenaran: (1)
pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman
yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan
oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman
dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yes 53: 5-6;
1 Ptr 2: 24). (2) Pembenaran adalah pemulihan hubungan baik.
Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah
(2 Taw 20: 7; Yak 2: 23). (3) Pembenaran adalah penghitungan
kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan
dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai
sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang
disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus.
Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni
204  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh


kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan
kebenaran Kristus.
1.2 Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak hal
tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat
ilahi. Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya
dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa,
yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu, dan
memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut ”dosa
asal”. Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam
lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang
secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan
saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret
itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri.
Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran
ini. Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat
menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah.
Dan Allah memang membebaskan manusia dari ”lingkaran
setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut
”rahmat”.
Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena
jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah
bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cuma-cuma. Dari
dalam kebebasan cinta kasih-Nya, Allah masuk ke dalam hati
manusia dan mengubahnya secara radikal. Secara ringkas
pengajaran Augustinus tentang pembenaran dapat diringkas
sebagai berikut: (1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran
Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian
Allah membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang
berdosa. Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar
pembenarannya (Rm 1: 17; 3: 21). (2) Membenarkan artinya
membuat benar. Augustinus memutuskan bahwa justificare
berarti ”membuat benar”. Augustinus menyakini orang berdosa
dijadikan benar di dalam pembenaran. (3) Pembenaran terlihat
dalam keseluruhan hidup orang Kristen. Pembenaran terlihat
melalui baptisan, di mana saat itu Allah mengampuni dosa.
Rangkuman dan Saran — 205

Sejak baptisan itu, orang berdosa telah dibenarkan sepanjang


perjalanan kehidupannya. (4) Pembenaran oleh iman dan kasih.
Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas Gereja
perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. (5) Anugerah Allah
mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran dan
menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus
membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif
di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan
setiap manusia memiliki kehendak bebas, tetapi kebebasan yang
sepantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah
ilahi di dalam hidupnya.
1.3 Berbeda dengan Thomas Aquinas. Aquinas mengajarkan Allah
sebagai ”ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah
adalah ”ada yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang
paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak.
Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya.
Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu
tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat
bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan
akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi
sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati).
”Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan
oleh rahmat”, demikian kata Thomas Aquinas.
1.4 Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam
kuliah-kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya.
Pada mulanya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari
pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian
(pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib
membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum
tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa
Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yang rendah hati
sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan
Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang
sudah selayaknya. Oleh karena orang-orang berdosa melihat
kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar
Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di
206  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian


membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang
berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang
berdosa dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan
bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia.
1.5 Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa
hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang
nyata di dalam diri Yesus Kristus. Perbuatan baik sama seperti
buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang
baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang.
Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan
oleh iman, sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon
yang telah tumbuh dengan baik. Luther mengajarkan bahwa
perbuatan baik tidak mendapat bagian dalam keselamatan.
Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan,
tetapi tidak pernah bagian keselamatan. Bagi Luther, Hukum
Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau kebenaran
kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah
diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita
untuk mengadakan penebusan dosa dunia ini dan telah dipilih
sebagai perantara dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa
kita, melainkan pengampunan dosa dan pembenaran diberikan
dengan cuma-cuma. Seperti Paulus berkata, ”Tetapi jika hal itu
terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan,
sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi
kasih karunia” (Rm 11: 6). Pendamaian tidak terletak pada jasa
kita karena jika hal itu terletak pada jasa kita, maka hal itu menjadi
tak berguna. Pembenaran itu bukan persetujuan terhadap satu
lakon (perbuatan) yang tertentu, melainkan terhadap pribadi itu
keseluruhan. Kita dibenarkan bila kita berpegang kepada Kristus,
Juru damai, dan percaya bahwa demi Dia, Allah bermurah hati
kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran tanpa Kristus, Juru
damai itu.
1.6 Menurut pemahaman Gereja Katolik, rahmat Roh Kudus mem­
punyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh
Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia ”kebe­
Rangkuman dan Saran — 207

naran Allah karena iman dalam Yesus Kristus” (Rm 3: 22) melalui
Baptisan. Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan
yang menghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat
supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri
dari dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan
dan pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari ”pembenaran
itu sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan
juga pengudusan dan pembaruan manusia batin”. Pembenaran
melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan dengan kasih
kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran terjadi
karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan
pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah,
membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya.
1.7 Bagi Katolik, pembenaran ”bukanlah hanya suatu pengampunan
dosa, tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin
seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah
dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar
menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihu­
bungkan dengan sakramen baptisan dan pengampunan dosa.
Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun,
oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demi­
kian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen
pengampunn dosa.
1.8 Dokumen Deklarasi Bersama menyatakan bahwa hidup yang
dibenarkan oleh iman datang dari firman Kristus (Rm 10: 17),
menjadi nyata dalam kasih (Gal 5: 6) dan dalam buah Roh (Gal
5: 22). Namun karena orang-orang yang dibenarkan digoda dari
dalam dan dari luar oleh berbagai kuasa dan keinginan-keinginan
(Rm 8: 35-39); Gal 5: 16-21) sehingga jatuh dalam dosa (1 Yoh 1:
8,10), mereka harus senantiasa mendengar janji-janji Allah secara
baru, mengakui dosa-dosa mereka (1 Yoh 1: 9), mengambil
bagian dalam darah dan tubuh Kristus, dan dianjurkan untuk
hidup dengan benar berpadanan dengan kehendak Allah. Itulah
sebabnya Rasul menganjurkan pada orang yang dibenarkan:
”karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan
gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih
208  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang


mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan
menurut kerelaan-Nya” (Flp 2: 12-13). Namun demikian berita
sukacita ini tetap berlaku: ”sekarang tidak ada penghukuman
bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Rm 8: 1), dan
bahwa Kristus hidup di dalam mereka (Gal 2: 20); dan bahwa
Kristus adalah ”kebenaran semua orang beroleh pembenaran
untuk hidup” (Rm 5: 18).
1.9 Deklarasi Bersama ini adalah hasil dialog-dialog resmi yang
dilakukan secara bersama sebelum 1999. Kedua belah pihak
terutama memperhatikan hasil-hasil dialog mereka, seperti
percakapan tentang ”Injil dan Gereja” (1972), Pembenaran oleh
iman” (1983), ”Gereja dan Pembenaran” (1994)”, dan tentang
”Peng­hukuman atas dasar ajaran pada reformasi – masihkah
menimbulkan perpisahan?” (1986). Hasil dialog-dialog tersebut
disambut baik oleh kedua belah pihak, sehingga secara bersama
telah merumuskan ”Deklarasi Bersama” tersebut mengenai pem­
benaran ”kita” (kedua belah pihak) oleh anugerah Allah melalui
iman akan Kristus. Deklarasi Bersama itu tidak bermaksud untuk
memuat semua ajaran Gereja tentang pembenaran, tetapi apa
yang dimuat dalam Deklarasi Bersama hanyalah ”suatu persetujuan
akan kebenaran dasar dari ajaran Gereja tentang pembenaran
dan menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan lainnya dalam
hal penerapannya, tidak lagi menjadi alasan untuk kutukan-
kutukan dogmatis” (it does encompass a consensus on basic truth of
the doctrine of justification and shows that the remaining differences in
its explication are no longer the occasion for doctrinal condemnations),
demikian dalam Pasal ”Pembukaan” (Preamble) butir 5. Artinya,
Deklarasi Bersama ini menunjukkan dengan jelas kutukan-kutukan
historis tentang ajaran pembenaran yang dilakukan kedua belah
pihak pada abad ke-16 itu (dari pihak Lutheran dalam Konfesi
Augsburg dan tulisan-tulisan lainnya dalam buku Konkord, sedang
dari pihak Katolik adalah hasil keputusan konsili Trente) tidak
digunakan dalam persetujuan ini.
1.10 Secara ringkas isi DB ini adalah sebagai berikut: Pasal 1 butir
8-12 menyajikan ”pemberitaan alkitabiah tentang pembenaran”.
Rangkuman dan Saran — 209

Kedua pihak memahami bahwa perumusan ajaran pembenaran


harus berlandaskan Alkitab, dan rumusan pemahaman ber­
sama itu harus merupakan pesan-pesan Alkitab. Dengan
demi­kian pasal 1 ini diterima sebagai pemahaman bersama.
Kemudian pada pasal 2 dijelaskan bahwa ajaran pembenaran itu
merupakan permasalahan ekumenis. Selanjutnya bertolak dari
pasal 1, kedua pihak merumuskan pemahaman bersama tentang
pembenaran pada pasal 3 butir 14-18. Pasal 3 ini disepakati
sebagai konsensus, karena rumusan itu oleh kedua pihak masih
mengandung perbedaan pemahaman dan penafsiran. Maka
untuk itu dalam pasal 4 masing-masing pihak diberi ruang
untuk menjelaskan pemahaman bersama pada pasal 3 menurut
penafsiran dan pemahamannya masing-masing. Untuk pokok-
pokok penjelasan pada pasal 4, pihak Lutheran maupun Katolik
mencoba dalam paradigma baru melihat dan menafsirkan ulang
tradisi ajaran masing-masing. Dengan demikian dari ketiga
ruang khusus ini, pasal 1 diakui sebagai pemahaman bersama;
pasal 3 sebagai konsensus bersama dan pasal 4 sebagai pokok-
pokok penjelasan terhadap pasal 3. Pasal 3 sebagai konsensus
dapat diartikan sebagai hasil kompromi atau joint, bisa diterima
atau tidak. Dengan demikian pasal 3 belum merupakan hasil
pemahaman bersama, tetapi merupakan kesepakatan bersama
tentang arah ke mana pemahaman yang sempurna harus dicari.
Dengan demikian dapat disimpulkan pasal 3 dan 4 disebut
sebagai konvergensi. Artinya, kesepakatan yang menyatakan
bahwa kedua pihak sedang berjalan menuju kepada pemahaman
bersama. Akhirnya, pasal 5 membicarakan makna dan cukupan
dari kesepakatan yang telah dicapai itu bagi Gereja Protestan
dan Katolik.
1.11 Dengan membaca teks dokumen Deklarasi Bersama ini dapat
diambil kesimpulan bahwa ditemukan adanya konsensus yang
fundamental yang berisikan perbedaan-perbedaan di bidang
bahasa, elaborasi teologi, dan penekanan-penekanan yang dapat
memuaskan. Pengajaran Lutheran yang dikemukakan di dalam
dokumen ini tidak berada di bawah penghukuman konsili Trente;
210  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

dan pengajaran Katolik yang dikemukakan di dalam dokumen


ini juga tidak berada di dalam penghukuman Luther.
1.12 Jika memang teks dokumen ini tidak mengindikasikan adanya
lagi penghukuman, sekarang bagaimanakah sebenarnya penghu­
kuman itu dipandang dalam dokumen ini? Dalam dokumen
ini, penghukuman itu dipandang berguna bagi kita sebagai
”peringatan tentang keselamatan” (‘salutary warnings’) yang se­
baiknya diperhatikan dalam ajaran dan pelaksanaannya.
1.13 Dasar ajaran pembenaran setiap Gereja selalu diambil dari
Alkitab. Namun setiap Gereja akan memiliki penjelasan, tafsiran,
dan kajian yang berbeda-beda terhadap ajaran pembenaran secara
alkitabiah. Bahkan penyebab mendasar dari timbulnya Reformasi
adalah perbedaan antara ajaran atau teologi dan praktik Gereja
Katolik dengan ajaran Alkitab. Gereja Katolik mempraktikkan
ajaran yang sangat menyimpang, misalnya tentang penghapusan
dosa, perolehan keselamatan, kekuasaan paus, otoritas Alkitab
dan lain-lain. Reformasi Martin Luther meluruskan atau menjaga
kemurnian ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab. Luther melihat
bahwa Gereja Katolik telah menyelewengkan atau paling tidak
mengabaikan pokok-pokok tertentu dari ajaran Alkitab.
Itulah sebabnya reformasi teologi Luther merupakan upaya
back to the Bible, kembali ke ajaran Alkitab. Untuk mempertemukan
dua paham yang berbeda inilah dibutuhkan sebuah dokumen
Deklarasi Bersama. Melalui dokumen ini kedua belah pihak sama-
sama menyadari dan sama-sama memahami perbedaan yang
ada sebagai kekayaan dalam keberimanan. Perbedaan yang ada
itu tetap dipertahankan menjadi dokumen iman pada masa
lampau, namun dibarui dan dipahami secara baru pada situasi
dan kondisi zaman sekarang.
Dokumen Deklarasi Bersama ini sebagai langkah lanjutan untuk
saling menerima dan menghargai ajaran di antara Gereja Protestan
dan Katolik ke masa depan. Diharapkan melalui dokumen ini
akan membawa pengaruh yang berarti bagi perkembangan dan
pertumbuhan Gereja-gereja Protestan dan Katolik di seluruh
dunia umumnya dan di Indonesia khususnya.
Rangkuman dan Saran — 211

1.14 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja


Protestan dan Katolik di Indonesia memang sangat sulit untuk
diukur. Karena alat ukur yang pasti dan pas belum terlihat nyata,
karena dokumen ini sendiri masih muda yakni hampir sepuluh
tahun pada 31 Oktober 2009 ini. Namun pengaruh dokumen ini
pasti ada dan dirasakan dalam kehidupan Gereja Protestan dan
Katolik di Indonesia.
1.15 Tolok ukur yang bisa dipakai untuk melihat pengaruh dari
dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja-gereja Protestan dan
Katolik di Indonesia adalah: pertama, melalui wawancara kepada
pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini, misalnya: para
pendeta, pastor, lembaga-lembaga akademis, dan warga jemaat.
Kedua, melalui kuesioner yang dibagikan kepada pelayan Gereja
(pendeta, sintua) warga jemaat dan mahasiswa/i teologi. Ketiga,
melalui studi pustaka yang berhubungan dengan dokumen
Deklarasi Bersama yakni dokumen ajaran Gereja-gereja yang ada
di Indonesia ini. Ketiga metode inilah yang penulis pakai untuk
melihat pengaruh dokumen tersebut terhadap Gereja-gereja
Protestan dan Katolik di Indonesia.
1.16 Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan atas jawab­
an yang diberikan oleh para responden, bahwa sebagian warga
jemaat memahami ajaran Gereja masing-masing dan per­
kembangan ajaran yang terjadi di dalam Gereja. Dan ada juga
warga jemaat yang menaruh harapan besar akan isi dan maksud
penandatanganan dokumen Deklarasi Bersama bagi hubungan
ekumenis di antara Gereja Protestan dan Katolik di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya, jemaat menyadari pentingnya
pensosialisasian dokumen ini bagi warga jemaat agar warga
jemaat semakin mengerti akan maksud dari dokumen bagi warga
jemaat.
1.17 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama di Indonesia dilihat
dari pengertian ”influence” dan ”impact”. Pengaruh dalam arti
”influence” berarti Deklarasi Bersama memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi Gereja-gereja, dan orang-orang Kristen baik
Protestan dan Katolik untuk saling menghormati dan menghargai.
Dan pengaruh dalam arti ”impact” berarti dokumen Deklarasi
212  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Bersama diharapkan berdampak kuat dan mampu memberikan


perubahan atas pemahaman keberimanan di antara kedua belah
pihak. Dengan dokumen ini, baik Protestan dan Gereja Katolik
mampu mengubah cara pandang mereka atas ajaran pembenaran
yang ada di antara kedua belah pihak.
1.18 Di Indonesia, pengaruh dokumen Deklarasi Bersama banyak
diperbincangkan oleh umat Gereja Katolik dan Lutheran yang
ada di daerah Sumatera Utara. Dengan dokumen ini, kedua
belah pihak telah melaksanakan beberapa kali pertemuan yang
membahas makna dan maksud dokumen ini terhadap gereja
dan masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Dalam usia kelima
tahun dokumen Deklarasi Bersama, pihak Gereja Katolik yang
diwakili Keuskupan Agung Medan dengan pihak Lutheran yang
diwakili Komite Nasional Lutheran World Federation (KN-LWF)
Indonesia mengadakan Seminar Sehari Lutheran – Katolik untuk
merayakan 5 tahun Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran
antara LWF dan Gereja Katolik, pada 30 Oktober 2004 di STFT
St. Yohanes, Sinaksak Pematangsiantar. Dalam pertemuan ini
kedua belah pihak sepakat untuk menerima isi dokumen dan
mensosialisasikannya baik di dalam kehidupan berjemaat dan
juga di lembaga-lembaga pendidikan teologi masing-masing.
Per­temuan ini menjadi pengaruh yang nyata terlihat di Indonesia
setelah ditandatanganinya dokumen Deklarasi Bersama tersebut.
1.19 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama terhadap Gereja Katolik
di wilayah Keuskupan Agung Medan sangat terasa. Hal ini
terlihat dari respons Uskup Agung Medan, Uskup Alfred Gonti
Pius Datubara, O.F.M. Cap dan Anicetus Bongsu Antonius
Sinaga, O.F.M. Cap yang memberikan perhatian khusus dalam
mensukseskan sosialisasi dokumen Deklarasi Bersama bagi umat
Katolik di wilayah keuskupan Agung Medan. Keuskupan
Agung Medan memulai usaha sosialisasi ini serempak di dalam
kehidupan berjemaat maupun di dalam pembinaan para calon
pastor di lembaga-lembaga pendidikan teologi.
1.20 Pengaruh dokumen Deklarasi Bersama bagi Gereja-gereja Protestan
di Indonesia secara nyata lebih banyak digumuli di Gereja-gereja
Lutheran yang ada di Sumatera Utara. Di kalangan Gereja-
Rangkuman dan Saran — 213

gereja Lutheran Sumatera Utara pengaruh dokumen ini sudah


mulai digaungkan melalui khotbah, seminar, dan pembinaan-
pembinaan. Dengan dokumen ini hubungan di antara jemaat-
jemaat Protestan dengan Katolik semakin membaik.
1.21 Pemahaman tentang ajaran pembenaran yang dijelaskan pihak
Lutheran dan Gereja Katolik merupakan persetujuan dasar
antara Lutheran dan Gereja Katolik. Sifatnya masih terbuka
untuk didiskusikan, diperluas, dan diperdalam. Oleh karena itu,
Lutheran dan Gereja Katolik sepakat untuk meneruskan diskusi
tentang ajaran pembenaran ini guna memperdalam pemahaman
alkitabiah dan untuk menyatukan pandangan terhadap hal-hal
yang masih berbeda. Hal itu dapat dilakukan secara ekumenis,
baik bersama-sama atau masing-masing pihak Lutheran dan
Gereja Katolik.
1.22 Lutheran dan Gereja Katolik sepakat akan berusaha memberitakan,
menyaksikan, menemukan, dan menerapkan makna pembenaran
itu ke dalam berbagai bidang kehidupan dalam konteks kehidupan
masyarakat masa kini. Kedua belah pihak mengharapkan agar
Deklarasi Bersama dapat mempengaruhi kehidupan Gereja melalui
pengajarannya yang kemudian diwujudkan di dalam kehidupan
bersekutu, bersaksi, dan melayani.
1.23 Setelah mendalami dan menekuni isi dan makna dokumen
Deklarasi Bersama serta pengaruhnya bagi Gereja-gereja Katolik
dan Protestan di Indonesia, maka penulis dapat menarik ke­
simpulan akhir bahwa:
– Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh
Iman ini berhasil mendamaikan perseteruan antara Protestan
dan Katolik mengenai ajaran pembenaran.
– Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh
Iman ini membuat hubungan Protestan dan Katolik menjadi
lebih baik.
– Dokumen Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran oleh
Iman ini menjadi masukan yang berharga bagi Protestan dan
Katolik dalam merumuskan ulang ajarannya.
214  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

2. Saran-saran

Dengan melihat kesimpulan di atas, maka penulis memberikan


beberapa saran kepada Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Indo­
nesia juga kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan
Protestan di Indonesia.

2.1 Bagi Gereja-gereja Protestan dan Katolik


1) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu berke­
sinambungan mengupayakan sosialisasi dokumen Deklarasi
Bersama di segala lini pelayanan agar semakin dihayati oleh
setiap warga jemaat di dalam kehidupan bergereja dan
bermasyarakat.
2) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu meru­
mus­kan ulang konfesi Gerejanya tentang ajaran pembenaran
dengan mengacu pada dokumen Deklarasi Bersama.
3) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu se­
makin mengembangkan hubungan ekumenis yang didasari
atas dokumen Deklarasi Bersama ini.
4) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu terus
menggumuli diskusi-diskusi ajaran-ajaran lainnya yang
mampu mempererat hubungan di antara kedua belah pihak.
5) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia hendaknya
terus berupaya mencari peluang deklarasi-deklarasi lainnya
yang membangun dan mempersatukan kedua belah pihak.
6) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia ditantang
untuk menafsirkan ulang dokumen Deklarasi Bersama ke
dalam konteks dan budaya masing-masing.
7) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu ber­
sama-sama melihat arah baru hubungan ekumenis di antara
kedua belah pihak dengan melihat gerakan penyatuan Gereja
di dalam berbagai ajaran-ajaran yang selama ini menjadi
perseteruan di kedua belah pihak.
8) Gereja-gereja Protestan dan Katolik di Indonesia perlu men­
sosialisasikan ajaran-ajaran Gerejanya kepada warga jemaat­
nya. Jika ajaran Gereja disosialisasikan dengan baik kepada
warga jemaat, maka warga jemaat akan memiliki dasar yang
Rangkuman dan Saran — 215

kuat untuk menghadapi ajaran-ajaran yang datang dari luar


Gerejanya. Karena itu sejarah dan doktrin Gereja harus terus-
menerus disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat agar
warga jemaat memiliki pemahaman yang benar akan ajaran
Gerejanya untuk menghadapi ajaran-ajaran lain yang semakin
menjamur saat ini. Sosialisasi ini bisa dioptimalkan melalui
pembelajaran kepada para pelayan gerejawi, pelajar katekisasi
sidi, dan bimbingan pra-nikah di dalam Gereja.
9) Secara praktis, dalam rangka mensosialisasikan dokumen
Deklarasi Bersama ini para pendeta / pastor perlu menyampai­
kannya kepada warga jemaat melalui khotbah-khotbah dan
pembinaan-pembinaan, seminar-seminar tentang dokumen
Deklarasi Bersama bagi para pelayanan Gereja hingga kepada
warga jemaat.
10) Secara khusus bagi GKPA, perlu merevisi Konfesi GKPA dan
Buku Panduan pengajaran katekisasi sidi dengan memasukkan
sebuah pengajaran tentang ajaran pembenaran yang mengacu
pada isi dokumen Deklarasi Bersama.

2.2 Bagi Lembaga-lembaga Pendidikan Teologi Katolik dan


Protestan
1) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan
di Indonesia perlu memberi ruang untuk membahas isi
dokumen Deklarasi Bersama di dalam mata kuliah Sejarah
Gereja dan Dogmatika.
2) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan
di Indonesia perlu memasukkan dokumen Deklarasi Bersama
ke dalam sylabus mata kuliah Sejarah Gereja dan Dogmatika
agar dokumen ini semakin mempengaruhi kehidupan para
teolog kedua belah pihak menuju gerakan kesatuan Tubuh
Kristus.
3) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan
di Indonesia perlu terus menggali dan mendalami dokumen
Deklarasi Bersama untuk semakin dikembangkan dari sudut
pandang teologi demi tercapainya pemahaman yang men­
dalam akan makna Deklarasi Bersama ini.
216  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

4) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan


di Indonesia perlu terus berperan aktif mensosialisasikan
dokumen ini kepada para mahasiswa/i teologi.
5) Lembaga-lembaga pendidikan teologi Katolik dan Protestan
di Indonesia perlu melaksanakan ’program silang’ di antara
mahasiswa/i teologi kedua belah pihak untuk melihat secara
langsung kehidupan pendidikan teologi masing-masing.
6) Lembaga pendidikan teologi bertugas untuk mengajarkan hasil
yang disepakati dalam dokumen Deklarasi Bresama agar mampu
dipahami para teolog dan mampu mengaplikasikannya dalam
kehidupan nyata di tengah gerejanya masing-masing. Tetapi
harus dikembangkan lagi pada pembahasan permasalahan
hermeneutika dan eklesiologi.
217

Kepustakaan

A. Alkitab

Alkitab dengan Kidung Jemaat. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,


2006.
Bibel – Jamita na Denggan (Na Marhata Batak Angkola-Mandailing).
Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1991.

B. Buku

Abineno, J.L.Ch., Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan


Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
_____________ Bucer & Calvin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Althaus, Paul, The Theology of Martin Luther. (trans.) Philadelphia:
Fortress Press, 1966.
Anderson, H.G. et al., Justification by Faith: Lutherans and Catholics in
Dialog. vol. 7, Minneapolis, 1985.
Augustinus, Pengakuan-pengakuan. (terj.) Jakarta & Yogyakarta: BPK
Gunung Mulia & Kanisius, 1997.
The Augsburg Confession. Adelaide: Lutheran Publishing House, 1980.
Aland, Kurt, A History of Christianity. Philadelphia: Fortress Press,
vol. II, 1986.
Altman, Walter, Lutero e Libertaçäo. Säo Paulo/Säo Leopoldo: Ătica/
Sinodal, 1994.
218  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995.
______________ Buku Katekisasi di Gereja Kristen Protestan Indonesia.
Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2001.
Bainton, Roland, Here I Stand: A Life of Martin Luther. New York:
Abingdon Press, 1950.
Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Galatia dan Efesus.
(terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
______________ Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Roma. (terj.) Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996.
Berkhof, Louis, The History of Christian Doctrines. Grand Rapids,
Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1953.
_____________ Teologi Sistematika 4: Doktrin Keselamatan. (terj.)
Surabaya: Momentum, 2006.
Brinkman, Martien E., Justification in Ecumenical Dialog - Central Aspects
of Christian Soteriology in Debate. Utrecht: Interuniversitaire
Institute for Missiology and Ecumenical Research, 1996.
Buku Konkord: Konfesi Gereja Lutheran. (terj.) Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004.
Buku Panduan Katekisasi Sidi GKPA. Padangsidimpuan: Kantor Pusat
GKPA, 2004.
Burnaby, John, Augustine: Later Works. (Philadelphia: Westminster,
vol. VIII, 1980.
Calvin, Yohanes, Institutio: Pengajaran Agama Kristen. (terj.) Jakarta:
BPK Gunung Mulia, cet. ke-6, 2008.
Carson, D.A. (ed.)., Right With God: Justification in the Bible and the
World. London: The Paternoster Press & Baker Book House,
1992.
Cunliffe-Jones, Hubert, A History of Christian Doctrine. Edinburgh: T
& T Clark, 1997.
Dahlenburg, G.D., Konfesi-konfesi Gereja Lutheran. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000.
Departemen Theologia GBI, Pengajaran Dasar GBI. Jakarta: BPH GBI,
2004.
Kepustakaan — 219

Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan.


Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Dokumen Konsili Vatikan II.
Jakarta: Obor, 2004.
End, Th.van den, Tafsiran Alkitab: Surat Roma. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997.
Enns, Paul, The Moody Handbook of Theology 2. (terj.) Malang: Literatur
SAAT, cet. ke-4, 2007.
Erickson, Millard J., Teologi Kristen. (terj.) Malang: Gandum Mas, vol.
3, 2004.
_________________ Christian Theology. Grand Rapids-Michigan: Baker
Book House, 1991.
Full, Timothy F., Martin Luther’s Basic Theological Writings. Minneapolis:
Fortress Press, 1989.
Grosshans, Hans-Peter, Tokoh Pemikir Kristen Luther. (terj.) Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Gunning, J.J. Tafsiran Alkitab: Surat Galatia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994.
__________ Tafsiran Alkitab: Surat Yakobus. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1994.
Haegglund, Bengt, History of Theology. Saint Lois: CHP, 19680.
Haight, Roger, Teologi Rahmat dari Masa ke Masa. (terj.) Flores: Nusa
Indah, 1999.
Hamann, H.P. & Hassold, W.J., James-Jude: ChiRho Commentary Series,
Adelaide: Lutheran Pubishing House, 1986.
Heuken, Adolf, Katekismus Konsili Vatikan II. Jakarta: Cipta Loka
Caraka, 1996.
Ismail, Andar, Selamat Bergereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Jacobs, Tom, Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Joint Declaration on the Doctrine of Justification: The Lutheran World
Federation and The Roman Catholic Church. Grand Rapids,
Michigan / Cambridge: William B. Eerdmans Publishing
Company, 2000.
220  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Katekismus Gereja Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus Ende, 1998.


Kristiyanto, Eddy, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern.
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kumpulan Peraturan GKPI. Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI,
2008.
Kǜng, Hans, Justification  : The Doctrine of Karl Barth and a Catholic
Reflection. Philadelphia: The Westminster Press, 1981.
Ladd, George Eldon, A Theology of the New Testament. Grand Rapids:
Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1974.
Lane, Anthony N.S., Justification by Faith in Catholic–Protestant Dialogue,
An Evangelical Assessment. London: T & T Clark, 2002.
Locher, G.P.H., Tata Gereja: Gereja Protestan di Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1995.
Lumbantobing, Darwin, Teologi di Pasar Bebas. Pematangsiantar:
L-SAPA STT HKBP, 2007.
The Lutheran Church Missouri Synod, The Joint Declaration on the
Doctrine of Justification in Confessional Lutheran Perspective: An
Evaluation of the Lutheran-Roman Catholic ”Joint Declaration on
the Doctrine of Justification”. St. Louis: The Lutheran Church
Missouri Synod, 1999.
Luther’s Works. vol. 34 (ed. Lewis W.Spitz) Philadelphia: Muhlenberg
Press, 1960.
McGrath, Alister E., Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of
Justification from 1500 to the Present Day. Cambridge: Cambridge
University Press, 1994.
________________ Iustitia Dei: A History of the Christian Doctrine of
Justification. Cambridge: Cambridge University Press, ed. ke
3, 2005.
________________ Sejarah Pemikiran Reformasi (terj.). Jakarta: BPK
Gunung Mulia, cet. ke 4, 2002.
Opocensky, Milan & Reamonn, Paraic (ed.), Justification and
Sanctification: In the Traditions of the Reformation. Geneva: World
Alliance of Reformed Churches, 1999.
Kepustakaan — 221

Pangokuon Haporsayaan (Konfesi) GKPA. Padangsidimpuan: Kantor


Pusat GKPA, 1996.
Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman) HKBP 1951 & 1996. Pearaja-
Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2006.
Pelikan, Jaroslav & Hotchkiss, Valerie (eds.), Creeds and Confessions of
Faith in the Christian Tradition, vol. I. London: Yale University
Press, 2003.
_________________ Creeds and Confessions of Faith in the Christian
Tradition. vol. II. London: Yale University Press, 2003.
_________________ Creeds and Confessions of Faith in the Christian
Tradition. vol. III. London: Yale University Press, 2003.
Pemahaman Iman GPIB. Jakarta: Kantor Pusat GPIB, 2005.
Pokok-pokok Ajaran GKJ. Salatiga: Kantor Pusat GKJ, 2005.
Pokok-pokok Pemahaman Iman GKPI. Pematangsiantar: Kantor Pusat
GKPI, 1993.
Purwatma, M., Gereja Katolik Indonesia Memandang ke Depan.
Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Rachman, Rasid, Hari Raya Liturgi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.
ke 5, 2005.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
Sudarmo, R., Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke-
14, 2006.
Spykman, Gordon J., Reformation Theology: A New Paradigm for Doing
Dogmatics. Grand Rapids-Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1992.
Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika. (terj.) Malang: Gandum Mas,
2008.
Toon, Peter, Justification and Sanctification. London: Marshall Morgan
& Scott, 1983.
Unity in Faith: The Joint Declaration on the Doctrine of Justification in a
Wider Ecumenical Context. Geneva: LWF Office for Ecumenical
Affairs, 2002.
222  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. (terj.) Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 2003.
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
White, James F., Protestant Worship : Tradition in Transision. Louisville,
Kentucky: Westminster / John Knox Press, 1989.
____________ Pengantar Ibadah Kristen. (terj.) Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005.
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian: Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Jakarta: Yayasan Kelopak, 2005.
Ziesler, J.A., The Meaning of Righteousness in Paul. Cambridge:
Cambridge University, 1972.

C. Almanak, Kamus, dan Ensiklopedia

Almanak GKPA 2009.


Almanak GKPI 2009.
Almanak HKBP 2009.
Browing, W.R.F., Kamus Alkitab. (terj.) Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2007.
Brown, Francis; Driver, S.R. & Briggs, Charles A., Hebrew and English
Lexicon of the Old Testament. New York: Oxford University,
1955.
Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI). Jakarta: PGI, 2009.
EDBT (Evangelical Dictionary of Biblical Theology). Grand Rapids
Michigan: Baker Book, 1996.
O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (terj.).
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
The Encyclopaedia of the Lutheran Church. vol. III. Minneapolis: Augsburg
Publishing House, 1965.
Team Penyusun Kamus, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, ed. ke-2, cet.4, 1995.
Kepustakaan — 223

D. Jurnal, Makalah, Artikel, dan Website

Bloomquist, Karen L. dan Grieve, Wolfgang. (ed.), LWF Studies


No.02/2003. Switzerland: LWF, 2003.
Budiman, Kalvin S., ”Bersikap ‘katolik’ tanpa Menjadi ‘Katolik’”,
dalam http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/
message/7087.
Calvin, John, Institutes of the Christian Religion, III, dalam http://www.
grii- ndhika.org/ready_bread/main/102c.htm
Case-Winters, Anna, ”The Joint Declaration on Justification: A
Reformed Commentary Colloquium on Justification”. Makalah
pada Konsultasi The Joint Declaration on the Doctrine of
Justification, Ohio: Colombus, 26 November - 1 Desember
2001.
Cork, William J., ”Joint Declaration on the Doctrine of Justification”,
sebuah bahan ceramah yang diakses dari www.wquercus.
com/faith/JDDJ.ppt.
Dieter, Theodor, ”Joining in the Agreements Reached in the Joint
Declaration on the Doctrine of Justification Procedural
Aspects”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration on
the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November -
1 Desember 2001.
”DOCUMENTATION: Action taken by the LWF Council on the
recommendation of the Standing Committee for Ecumenical
Affairs”, dalam www. lutheranworld.org /../Beschle.pdf.
Dorman, Ted M., ”The Joint Declaration of the Doctrine of Justification:
Retrospect and Prospects” dalam Journal of the Evangelical
Theological Society, Sept. 2001,dari http://findarticles.com/p/articles/
mi_qa3817/is_200109/ai_n8997756/pg_11?tag=artBody;col1.
Feister, John Bookser, ”Faith and Works: Catholics and Lutherans
Find Agreement”, dalam www.americancatholic.org.
”Gereja Katolik Roma”, dalam http:// id. itpedia. sfilar. com /it/ Gereja_
Katolik_Roma.
”Gereja Protestan di Indonesia”, dalam http: // id. wikipedia.org / wiki /
Gereja_Protestan_di_Indonesia.
224  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Hutauruk, J.R.,”Memaknai Gerakan Reformasi Martin Luther Dulu,


Kini dan Mendatang Dikaitkan dengan Pernyataan Bersama
tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman”. Bahan ceramah
Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi Dr. Martin Luther
di Aula FE Universitas Kristen Indonesia Jakarta pada 31
Oktober 2008.
Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XIX Januari -
Juni 2008. Medan: STT Abdi Sabda Medan, 2008.
”Korea – Dialog Ekumene, Prioritas Pemimpin baru Dewan Gereja-
gereja Protestan”, dalam http://www.mirifica.net/ artDetail.
php?aid=3607.
”Liberal Lutherans and Roman Catholics Agree to Deny the Gospel”,
dalam www.wayoflife.org.
Origins 28. (16 Juli 1998), dalam http:// www.ewtn.com /library/ CURIA/
PCPULUTH.HTM; dan www.pcj.edu/journal.
Portier, William L. ”Here Come the Evangelical Catholics”, dalam
Communio 31. Spring, 2004.
”Protestan”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Protestan.
Rahman, Rasid, ”Liturgi di Zaman Modern”. dalam http://rasidrachman-
liturgika.blogspot.com.
Reformation Today, ”Iman Yang Menyelamatkan”, dalam Majalah
Momentum No.13 – September 1991, dari www.geocities.com/
thisisreformed/artikel/iman.html.
”Gereja Katolik Roma”. dalam http:// id.itpedia.sfilar.com /it/ Gereja_
Katolik_Roma.
Rausch, Thomas P., ”Gerak Gereja dalam Pluralitas Iman” dalam
http://www.santamaria.or.id/gerak_gereja_dalam_pluralitas_iman.
Sanborn, Donald J., Critical Analysis of the Joint Declaration on the
Doctrine of Justification”, dalam http:// www.traditionalmass.
org/articles/article.php?id=31&catname=15.
Scheele, Paul-Werner, ”Consultation ‘Unity in Faith’ in Colombus”,
Ohio, USA, Kata pengantar pada Konsultasi The Joint
Declaration on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus,
26 November - 1 Desember 2001.
Kepustakaan — 225

Simamora, M., ”Perayaan Tahun Rasul Paulus (28 Juni 2008 – 28 Juni
2009)”, dalam www.gkpi.org.
Sitorus, Langsung, ”Pandangan Protestan tentang Gereja Katolik
dan Relevansinya dalam Kerjasama oikumene”, dalam www.
binawargahki.com.
Swan, Darlis J., ”The Reception of the Joint Declaration on the
Doctrine of Justification: A Report from the Lutheran World
Federation”, Makalah pada Konsultasi The Joint Declaration
on the Doctrine of Justification, Ohio: Colombus, 26 November
- 1 Desember 2001.
”The Fruit of the Spirit”, dalam www.truthortradition.com./modules.
php.
Tanduk, Christian, ”Iman, Perbuatan dan Pembenaran”. dalam http://
www.forumteologi.com/blog/2007/04/24/iman-perbuatan-dan-
pembenaran.
Tata Ibadah Hari Doa Sedunia 2009.
Tjen, Anwar, ”Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran: Beberapa
Catatan dari sudut pandangan Lutheran”, Makalah Seminar
Sehari Lutheran-Katolik dalam rangka Lustrum Lima Tahun
The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, STFT St.
Thomas, 30 Oktober 2004.
___________ ”Memaknai Gerakan Reformasi, Termasuk Kaitannya
dengan Pemahaman Bersama Ajaran Pembenaran oleh Iman:
Menarik pelajaran dari warisan sejarah dan teologi”. Bahan
ceramah dalam Seminar Peringatan 491 tahun Reformasi
Dr. Martin Luther di Aula FE Universitas Kristen Indonesia
Jakarta pada 31 Oktober 2008.
Wainwright, Geoffrey, ”The Lutheran-Roman Catholic Agreement
on Justification: Its Ecumenical Significance and Scope from a
Methodist Point of View”, Makalah pada Konsultasi The Joint
Declaration on the Doctrine of Justification. Ohio: Colombus,
26 November - 1 Desember 2001.
”The Year of Saint Paul The Church Today Requires ‘Total Dedication
to Christ’”, dalam Adoremus Bulletine. Vol.XIV, No.4, Juni 2008,
dari www. adoremus.org/ 0608YearofStPaul.html.
226  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

E. Wawancara

Hutauruk, J.R.: Ephorus Emeritus HKBP periode 2000-2004, dan


saat ini menjadi anggota Kaunsil LWF dan aktif mengajar
Pasca­sarjana STT Abdi Sabda Medan dan STT GMI Bandar
Baru Medan. Wawancara pada 27 Oktober 2008 di Komplek
Perumahan Pemda II Tanjung Sari Medan.
Lumbantobing, Bonar: Pendeta HKBP yang ditugaskan sebagai
dosen di STT HKBP Pematangsiantar mengampu mata kuliah
Per­janjian Lama. Wawancara pada 29 Oktober 2008 di STT
HKBP.
Lumbantobing, Darwin: Pendeta HKBP dan sekarang menjadi Ketua
STT HKBP Pematangsiantar sekaligus mengampu mata kuliah
Dogmatika. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di STT HKBP.
Munthe, Pardomuan: Pendeta GKPI dan sekarang mengajar di STT
Abdi Sabda Medan mengampu mata kuliah Dogmatika.
Wawancara pada 27 Oktober 2008 di STT Abdi Sabda Medan.
Siahaan, Marihot: Pendeta GPKB Tanjung Priuk. Wawancara pada 31
Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta.
Simanjuntak, R.: Pendeta HKI dan saat ini menjabat sebagai Sekjen
HKI tinggal di Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober
2008 di Kantor Pusat HKI Jalan Melanthon Siregar No.111
Pematansiantar.
Simorangkir, Hieronimus: Pastor Katolik yang mengajar sebagai
dosen di STFT St. Yohanes Sinaksak, Pematangsiantar yang
meng­ampu mata kuliah Filsafat Klasik. Saat ini Pastor
Dr.Hieronimus Simorangkir menjabat sebagai Ketua STFT St.
Yohanes Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008
di STFT St. Yohanes Pematangsiantar.
Simorangkir, M.S.E.: Bishop GKPI dan ketua KN-LWF Indonesia.
Wawancara pada 28 Oktober 2008 di Kantor Pusat GKPI JL.
Kapten MH.Sitorus No.13 Pematangsiantar.
Sinaga, Richard: Dosen STFT St. Yohanes Sinaksak-Pematangsiantar
yang mengampu mata kuliah Dogmatika. Wawancara pada
28 Oktober 2008 di STFT St. Yohanes Sinaksak.
Kepustakaan — 227

Sinamo, Mangara: Pendeta GKPPD Resort Jakarta tinggal di Jakarta.


Wawancara pada 31 Oktober 2008 di Aula FE UKI Jakarta.
Sintua dan warga jemaat GKPA Pangkalan Berandan. Wawancara pada
29 Oktober 2008 di kebaktian keluarga sektor IV. Kebaktian
keluarga ini diikuti 25 orang.
Situmorang, Jontor: Pendeta GKPS yang saat ini Ketua STT Abdi
Sabda Medan. Wawancara pada 27 Oktober 2008 di kampus
STT Abdi Sabda Medan.
Tumanggor, J. Kosmas: Pastor di Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1
Pematangsiantar. Wawancara pada 28 Oktober 2008 di ruang
Pastoran Gereja Katolik Jl. Sibolga No.1 Pematangsiantar.
La m pira n
Lampiran — 231

Lampiran 1

JOINT DECLARATION ON THE DOCTRINE OF


JUSTIFICATION
The Lutheran World Federation
and
The Roman Catholic Church
31 Oktober 1999

Preamble
1. The doctrine of justification was of central importance for the
Lutheran Reformation of the sixteenth century. It was held to be the
”first and chief article”(1) and at the same time the ”ruler and judge
over all other Christian doctrines.”(2) The doctrine of justification
was particularly asserted and defended in its Reformation shape
and special valuation over against the Roman Catholic Church
and theology of that time, which in turn asserted and defended a
doctrine of justification of a different character. From the Reformation
perspective, justification was the crux of all the disputes. Doctrinal
condemnations were put forward both in the Lutheran Confessions(3)
and by the Roman Catholic Church’s Council of Trent. These
condemnations are still valid today and thus have a church-dividing
effect.

2. For the Lutheran tradition, the doctrine of justification has


retained its special status. Consequently it has also from the beginning
occupied an important place in the official Lutheran-Roman Catholic
dialogue.

3. Special attention should be drawn to the following reports: ”The


Gospel and the Church” (1972)(4) and ”Church and Justification” (1994)
(5)
by the Lutheran-Roman Catholic Joint Commission, ”Justification
232  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

by Faith” (1983)(6) of the Lutheran-Roman Catholic dialogue in the


USA, and The Condemnations of the Reformation Era-Do They Still Divide?
(1986)(7) by the Ecumenical Working Group of Protestant and Catholic
theologians in Germany. Some of these dialogue reports have been
officially received by the churches. An important example of such
reception is the binding response of the United Evangelical-Lutheran
Church of Germany to the Condemnations study, made in 1994 at the
highest possible level of ecclesiastical recognition together with the
other churches of the Evangelical Church in Germany.(8)

4. In their discussion of the doctrine of justification, all the dialogue


reports as well as the responses show a high degree of agreement in
their approaches and conclusions. The time has therefore come to take
stock and to summarize the results of the dialogues on justification so
that our churches may be informed about the overall results of this
dialogue with the necessary accuracy and brevity, and thereby be
enabled to make binding decisions.

5. The present Joint Declaration has this intention: namely, to


show that on the basis of their dialogue the subscribing Lutheran
churches and the Roman Catholic Church(9) are now able to articulate
a common understanding of our justification by God’s grace through
faith in Christ. It does not cover all that either church teaches about
justification; it does encompass a consensus on basic truths of the
doctrine of justification and shows that the remaining differences in its
explication are no longer the occasion for doctrinal condemnations.

6. Our Declaration is not a new, independent presentation


alongside the dialogue reports and documents to date, let alone a
replacement of them. Rather, as the appendix of sources shows, it
makes repeated reference to them and their arguments.

7. Like the dialogues themselves, this Joint Declaration rests on the


conviction that in overcoming the earlier controversial questions and
doctrinal condemnations, the churches neither take the condemnations
lightly nor do they disavow their own past. On the contrary, this
Declaration is shaped by the conviction that in their respective
histories our churches have come to new insights. Developments
Lampiran — 233

have taken place which not only make possible, but also require the
churches to examine the divisive questions and condemnations and
see them in a new light.

1. Biblical Message of Justification

8. Our common way of listening to the Word of God in Scripture


has led to such new insights. Together we hear the Gospel that ”God
so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who
believes in him may not perish but may have eternal life” (John 3:16).
This good news is set forth in Holy Scripture in various ways. In
the Old Testament we listen to God’s Word about human sinfulness
(Psalm 51:1-5; Daniel 9:5f.; Ecclesiastes/Qoheleth 8:9f.; Ezra 9:6f.)
and human disobedience (Genesis 3:1-19; Nehemiah 9:16f., 26) as
well as of God’s ”righteousness” (Isaiah 46:13; 51:5-8; 56:1 [cf. 53:11];
Jeremiah 9:24) and ”judgment” (Ecclesiastes/Qoheleth 12:14; Psalm
9:5f.; 76:7-9).

9. In the New Testament diverse treatments of ”righteousness”


and ”justification” are found in the writings of Matthew (5:10; 6:33;
21:32), John (16:8-11), Hebrews (5:1-3; 10:37-38), and James (2:14-26).
(10)
In Paul’s letters also, the gift of salvation is described in various
ways, among others: ”for freedom Christ has set us free” (Galatians
5:1-13; cf. Romans 6:7), ”reconciled to God” (2 Corinthians 5:18-21;
cf. Romans 5:11), ”peace with God” (Romans 5:1), ”new creation” (2
Corinthians 5:17), ”alive to God in Christ Jesus” (Romans 6:11, 23), or
”sanctified in Christ Jesus” (cf. 1 Corinthians 1:2; 1:31; 2 Corinthians
1:1). Chief among these is the ”justification” of sinful human beings
by God’s grace through faith (Romans 3:23-25), which came into
particular prominence in the Reformation period.

10. Paul sets forth the Gospel as the power of God for salvation of
the person who has fallen under the power of sin, as the message that
proclaims that ”the righteousness of God is revealed through faith
for faith” (Romans 1:16-17) and that grants ”justification” (Romans
3:21-31). He proclaims Christ as ”our righteousness” (1 Corinthians
1:30), applying to the risen Lord what Jeremiah proclaimed about
God himself (23:6). In Christ’s death and resurrection all dimensions
234  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

of his saving work have their roots for he is ”our Lord, who was put
to death for our trespasses and raised for our justification” (Romans
4:25). All human beings are in need of God’s righteousness, ”since
all have sinned and fall short of the glory of God” (Romans 2:23;
cf. Romans 1:18-3:22; 11:32; Galatians 3:22). In Galatians (3:6) and
Romans (4:3-9), Paul understands Abraham’s faith (Genesis 15:6) as
faith in the God who justifies the sinner and calls upon the testimony
of the Old Testament to undergird his gospel that this righteousness
will be reckoned to all who, like Abraham, trust in God’s promise.
”For the righteous will live by faith (Habakkuk 2:4; cf. Galatians 3:11;
Romans 1:17). In Paul’s letters, God’s righteousness is also power for
those who have faith (Romans 1:17; 2 Corinthians 5:21). In Christ he
makes it their righteousness (2 Corinthians 5:21). Justification becomes
ours through Christ Jesus ”whom God put forward as a sacrifice of
atonement by his blood, effective through faith” (Romans 3:25; see
3:21-28). ”For by grace you have been saved through faith, and this
is not your own doing; it is the gift of God--not the result of works”
(Ephesians 2:8-9).

11. Justification is the forgiveness of sins (cf. Romans 3:23-25; Acts


13:39; Luke 18:14), liberation from the dominating power of sin and
death (Romans 5:12-21) and from the curse of the law (Galatians 3:10-
14). It is acceptance into communion with God: already now, but
then fully in God’s coming kingdom (Romans 5:1-2). It unites with
Christ and with his death and resurrection (Romans 6:5). It occurs in
the reception of the Holy Spirit in Baptism and incorporation into the
one body (Romans 8:1-2, 9-11; 1 Corinthians 12:12-13). All this is from
God alone, for Christ’s sake, by grace, through faith in ”the Gospel of
God’s Son” (Romans 1:1-3).

12. The justified live by faith that comes from the Word of Christ
(Romans 10:17) and is active through love (Galatians 5:6), the fruit
of the Spirit (Galatians 5:22). But since the justified are assailed from
within and without by powers and desires (Romans 8:35-39; Galatians
5:16-21) and fall into sin (1 John 1:8, 10), they must constantly hear
God’s promises anew, confess their sins (1 John 1:9), participate in
Christ’s body and blood, and be exhorted to live righteously in accord
Lampiran — 235

with the will of God. That is why the Apostle says to the justified:
”Work out your own salvation with fear and trembling; for it is God
who is at work in you, enabling you both to will and to work for
his good pleasure” (Philippians 2:12-13). But the good news remains:
”there is now no condemnation for those who are in Christ Jesus”
(Romans 8:1), and in whom Christ lives (Galatians 2:20). Christ’s ”act
of righteousness leads to justification and life for all” (Romans 5:18).

2. The Doctrine of Justification as Ecumenical Problem


13. Opposing interpretations and applications of the biblical
message of justification were in the sixteenth century a principal cause
of the division of the Western church and led as well to doctrinal
condemnations. A common understanding of justification is therefore
fundamental and indispensable to overcoming that division. By
appropriating insights of recent biblical studies and drawing on
modern investigations of the history of theology and dogma, the
post-Vatican II ecumenical dialogue has led to a notable convergence
concerning justification, with the result that this Joint Declaration is
able to formulate a consensus on basic truths concerning the doctrine
of justification. In light of this consensus, the corresponding doctrinal
condemnations of the sixteenth century do not apply to today’s
partner.

3. The Common Understanding of Justification


14. The Lutheran churches and the Roman Catholic Church have
together listened to the good news proclaimed in Holy Scripture.
This common listening, together with the theological conversations of
recent years, has led to a shared understanding of justification. This
encompasses a consensus in the basic truths; the differing explications
in particular statements are compatible with it.

15. In faith we together hold the conviction that justification is


the work of the triune God. The Father sent his Son into the world
to save sinners. The foundation and presupposition of justification is
the incarnation, death, and resurrection of Christ. Justification thus
means that Christ himself is our righteousness, in which we share
through the Holy Spirit in accord with the will of the Father. Together
236  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

we confess: By grace alone, in faith in Christ’s saving work and not


because of any merit on our part, we are accepted by God and receive
the Holy Spirit, who renews our hearts while equipping and calling
us to good works.(11)

16. All people are called by God to salvation in Christ. Through


Christ alone are we justified, when we receive this salvation in faith.
Faith is itself God’s gift through the Holy Spirit who works through
Word and Sacrament in the community of believers and who, at the
same time, leads believers into that renewal of life which God will
bring to completion in eternal life.

17. We also share the conviction that the message of justification


directs us in a special way towards the heart of the New Testament
witness to God’s saving action in Christ: it tells us that as sinners our
new life is solely due to the forgiving and renewing mercy that God
imparts as a gift and we receive in faith, and never can merit in any
way.

18. Therefore the doctrine of justification, which takes up this


message and explicates it, is more than just one part of Christian
doctrine. It stands in an essential relation to all truths of faith, which
are to be seen as internally related to each other. It is an indispensable
criterion, which constantly serves to orient all the teaching and
practice of our churches to Christ. When Lutherans emphasize the
unique significance of this criterion, they do not deny the interrelation
and significance of all truths of faith. When Catholics see themselves
as bound by several criteria, they do not deny the special function of
the message of justification. Lutherans and Catholics share the goal
of confessing Christ, who is to be trusted above all things as the one
Mediator (1 Timothy 2:5-6) through whom God in the Holy Spirit
gives himself and pours out his renewing gifts [cf. Sources, section
3].
Lampiran — 237

4. Explicating the Common Understanding of Justification

4.1 Human Powerlessness and Sin in Relation to Justification


19. We confess together that all persons depend completely on
the saving grace of God for their salvation. The freedom they possess
in relation to persons and the things of this world is no freedom in
relation to salvation, for as sinners they stand under God’s judgment
and are incapable of turning by themselves to God to seek deliverance,
of meriting their justification before God, or of attaining salvation by
their own abilities. Justification takes place solely by God’s grace.
Because Catholics and Lutherans confess this together, it is true to
say:

20. When Catholics say that persons ”cooperate” in preparing for


and accepting justification by consenting to God’s justifying action,
they see such personal consent as itself an effect of grace, not as an
action arising from innate human abilities.

21. According to Lutheran teaching, human beings are incapable of


cooperating in their salvation, because as sinners they actively oppose
God and his saving action. Lutherans do not deny that a person can
reject the working of grace. When they emphasize that a person can
only receive (mere passive) justification, they mean thereby to exclude
any possibility of contributing to one’s own justification, but do not
deny that believers are fully involved personally in their faith, which
is effected by God’s Word.

4.2 Justification as Forgiveness of Sins and Making Righteous


22. We confess together that God forgives sin by grace and at
the same time frees human beings from sin’s enslaving power and
imparts the gift of new life in Christ. When persons come by faith to
share in Christ, God no longer imputes to them their sin and through
the Holy Spirit effects in them an active love. These two aspects of
God’s gracious action are not to be separated, for persons are by
faith united with Christ, who in his person is our righteousness (1
Corinthians 1:30): both the forgiveness of sin and the saving presence
238  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

of God himself. Because Catholics and Lutherans confess this together,


it is true to say that:

23. When Lutherans emphasize that the righteousness of Christ is


our righteousness, their intention is above all to insist that the sinner
is granted righteousness before God in Christ through the declaration
of forgiveness and that only in union with Christ is one’s life renewed.
When they stress that God’s grace is forgiving love (”the favor of
God”(12)), they do not thereby deny the renewal of the Christian’s
life. They intend rather to express that justification remains free from
human cooperation and is not dependent on the life-renewing effects
of grace in human beings.

24. When Catholics emphasize the renewal of the interior person


through the reception of grace imparted as a gift to the believer,(13)
they wish to insist that God’s forgiving grace always brings with it a
gift of new life, which in the Holy Spirit becomes effective in active
love. They do not thereby deny that God’s gift of grace in justification
remains independent of human cooperation [cf. Sources, section 4.2].

4.3 Justification by Faith and through Grace


25. We confess together that sinners are justified by faith in the
saving action of God in Christ. By the action of the Holy Spirit
in Baptism, they are granted the gift of salvation, which lays the
basis for the whole Christian life. They place their trust in God’s
gracious promise by justifying faith, which includes hope in God
and love for him. Such a faith is active in love and thus the Christian
cannot and should not remain without works. But whatever in the
justified precedes or follows the free gift of faith is neither the basis of
justification nor merits it.

26. According to Lutheran understanding, God justifies sinners


in faith alone (sola fide). In faith they place their trust wholly in their
Creator and Redeemer and thus live in communion with him. God
himself effects faith as he brings forth such trust by his creative
Word. Because God’s act is a new creation, it affects all dimensions
of the person and leads to a life in hope and love. In the doctrine
of ”justification by faith alone,” a distinction but not a separation is
Lampiran — 239

made between justification itself and the renewal of one’s way of life
that necessarily follows from justification and without which faith
does not exist. Thereby the basis is indicated from which the renewal
of life proceeds, for it comes forth from the love of God imparted
to the person in justification. Justification and renewal are joined in
Christ, who is present in faith.

27. The Catholic understanding also sees faith as fundamental in


justification. For without faith, no justification can take place. Persons
are justified through Baptism as hearers of the Word and believers in
it. The justification of sinners is forgiveness of sins and being made
righteous by justifying grace, which makes us children of God. In
justification the righteous receive from Christ faith, hope, and love
and are thereby taken into communion with him.(14) This new personal
relation to God is grounded totally on God’s graciousness and
remains constantly dependent on the salvific and creative working of
this gracious God, who remains true to himself, so that one can rely
upon him. Thus justifying grace never becomes a human possession
to which one could appeal over against God. While Catholic teaching
emphasizes the renewal of life by justifying grace, this renewal in
faith, hope, and love is always dependent on God’s unfathomable
grace and contributes nothing to justification about which one could
boast before God (Romans 3:27). [See Sources, section 4.3.]

4.4 The Justified as Sinner


28. We confess together that in Baptism the Holy Spirit unites one
with Christ, justifies, and truly renews the person. But the justified
must all through life constantly look to God’s unconditional justifying
grace. They also are continuously exposed to the power of sin still
pressing its attacks (cf. Romans 6:12-14) and are not exempt from a
lifelong struggle against the contradiction to God within the selfish
desires of the old Adam (cf. Galatians 5:16; Romans 7:7-10). The
justified also must ask God daily for forgiveness as in the Lord’s
Prayer (Matthew 6:12; 1 John 1:9), are ever again called to conversion
and penance, and are ever again granted forgiveness.
240  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

29. Lutherans understand this condition of the Christian as a being


”at the same time righteous and sinner.” Believers are totally righteous,
in that God forgives their sins through Word and Sacrament and
grants the righteousness of Christ which they appropriate in faith. In
Christ, they are made just before God. Looking at themselves through
the law, however, they recognize that they remain also totally sinners.
Sin still lives in them (1 John 1:8; Romans 7:17, 20), for they repeatedly
turn to false gods and do not love God with that undivided love which
God requires as their Creator (Deuteronomy 6:5; Matthew 22:36-40
pr.). This contradiction to God is as such truly sin. Nevertheless, the
enslaving power of sin is broken on the basis of the merit of Christ. It
no longer is a sin that ”rules” the Christian for it is itself ”ruled” by
Christ with whom the justified are bound in faith. In this life, then,
Christians can in part lead a just life. Despite sin, the Christian is no
longer separated from God, because in the daily return to Baptism,
the person who has been born anew by Baptism and the Holy Spirit
has this sin forgiven. Thus this sin no longer brings damnation and
eternal death.(15) Thus, when Lutherans say that justified persons are
also sinners and that their opposition to God is truly sin, they do not
deny that, despite this sin, they are not separated from God and that
this sin is a ”ruled” sin. In these affirmations, they are in agreement
with Roman Catholics, despite the difference in understanding sin in
the justified.

30. Catholics hold that the grace of Jesus Christ imparted in


Baptism takes away all that is sin ”in the proper sense” and that is
”worthy of damnation” (Romans 8:1).(16) There does, however, remain
in the person an inclination (concupiscence) which comes from sin and
presses toward sin. Since, according to Catholic conviction, human sin
always involves a personal element and since this element is lacking
in this inclination, Catholics do not see this inclination as sin in an
authentic sense. They do not thereby deny that this inclination does
not correspond to God’s original design for humanity and that it is
objectively in contradiction to God and remains one’s enemy in lifelong
struggle. Grateful for deliverance by Christ, they underscore that this
Lampiran — 241

inclination in contradiction to God does not merit the punishment of


eternal death(17) and does not separate the justified person from God.
But when individuals voluntarily separate themselves from God, it
is not enough to return to observing the commandments, for they
must receive pardon and peace in the Sacrament of Reconciliation
through the word of forgiveness imparted to them in virtue of God’s
reconciling work in Christ. [See Sources, section 4.4.]

4.5 Law and Gospel


31. We confess together that persons are justified by faith in the
Gospel ”apart from works prescribed by the Law” (Romans 3:28).
Christ has fulfilled the Law and by his death and resurrection
has overcome it as a way to salvation. We also confess that God’s
commandments retain their validity for the justified and that Christ
has by his teaching and example expressed God’s will which is a
standard for the conduct of the justified also.

32. Lutherans state that the distinction and right ordering of


Law and Gospel is essential for the understanding of justification. In
its theological use, the Law is demand and accusation. Throughout
their lives, all persons, Christians also, in that they are sinners, stand
under this accusation, which uncovers their sin so that, in faith in the
Gospel, they will turn unreservedly to the mercy of God in Christ,
which alone justifies them.

33. Because the Law as a way to salvation has been fulfilled and
overcome through the Gospel, Catholics can say that Christ is not a
lawgiver in the manner of Moses. When Catholics emphasize that the
righteous are bound to observe God’s commandments, they do not
thereby deny that through Jesus Christ God has mercifully promised
to his children the grace of eternal life.(18) [See Sources, section 4.5.]

4.6 Assurance of Salvation


34. We confess together that the faithful can rely on the mercy and
promises of God. In spite of their own weakness and the manifold
threats to their faith, on the strength of Christ’s death and resurrection
242  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

they can build on the effective promise of God’s grace in Word and
Sacrament and so be sure of this grace.

35. This was emphasized in a particular way by the Reformers:


in the midst of temptation, believers should not look to themselves
but look solely to Christ and trust only him. In trust in God’s promise
they are assured of their salvation, but are never secure looking at
themselves.

36. Catholics can share the concern of the Reformers to ground


faith in the objective reality of Christ’s promise, to look away from
one’s own experience, and to trust in Christ’s forgiving Word alone
(cf. Matthew 16:19; 18:18). With the Second Vatican Council, Catholics
state: to have faith is to entrust oneself totally to God,(19) who liberates
us from the darkness of sin and death and awakens us to eternal
life.(20) In this sense, one cannot believe in God and at the same time
consider the divine promise untrustworthy. No one may doubt God’s
mercy and Christ’s merit. Every person, however, may be concerned
about his salvation when he looks upon his own weaknesses and
shortcomings. Recognizing his own failures, however, the believer
may yet be certain that God intends his salvation. [See Sources, section
4.6.]

4.7 The Good Works of the Justified


37. We confess together that good works--a Christian life lived in
faith, hope, and love--follow justification and are its fruits. When the
justified live in Christ and act in the grace they receive, they bring
forth, in biblical terms, good fruit. Since Christians struggle against
sin their entire lives, this consequence of justification is also for them
an obligation they must fulfill. Thus both Jesus and the apostolic
Scriptures admonish Christians to bring forth the works of love.

38. According to Catholic understanding, good works, made


possible by grace and the working of the Holy Spirit, contribute to
growth in grace, so that the righteousness that comes from God is
preserved and communion with Christ is deepened. When Catholics
affirm the ”meritorious” character of good works, they wish to say
that, according to the biblical witness, a reward in heaven is promised
Lampiran — 243

to these works. Their intention is to emphasize the responsibility of


persons for their actions, not to contest the character of those works
as gifts, or far less to deny that justification always remains the
unmerited gift of grace.

39. The concept of a preservation of grace and a growth in


grace and faith is also held by Lutherans. They do emphasize that
righteousness as acceptance by God and sharing in the righteousness
of Christ is always complete. At the same time, they state that there
can be growth in its effects in Christian living. When they view the
good works of Christians as the fruits and signs of justification and
not as one’s own ”merits,” they nevertheless also understand eternal
life in accord with the New Testament as unmerited ”reward” in the
sense of the fulfillment of God’s promise to the believer. [See Sources,
section 4.7.]

5. The Significance and Scope of the Consensus Reached

40. The understanding of the doctrine of justification set forth in


this Declaration shows that a consensus in basic truths of the doctrine
of justification exists between Lutherans and Catholics. In light of
this consensus the remaining differences of language, theological
elaboration, and emphasis in the understanding of justification
described in paragraphs 18 to 39 are acceptable. Therefore the
Lutheran and the Catholic explications of justification are in their
difference open to one another and do not destroy the consensus
regarding basic truths.

41. Thus the doctrinal condemnations of the 16th century, in so


far as they relate to the doctrine of justification, appear in a new
light: The teaching of the Lutheran churches presented in this
Declaration does not fall under the condemnations from the Council
of Trent. The condemnations in the Lutheran Confessions do not
apply to the teaching of the Roman Catholic Church presented in this
Declaration.

42. Nothing is thereby taken away from the seriousness of the


condemnations related to the doctrine of justification. Some were not
244  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

simply pointless. They remain for us ”salutary warnings” to which


we must attend in our teaching and practice.(21)

43. Our consensus in basic truths of the doctrine of justification


must come to influence the life and teachings of our churches. Here
it must prove itself. In this respect, there are still questions of varying
importance which need further clarification. These include, among
other topics, the relationship between the Word of God and church
doctrine, as well as ecclesiology, authority in the church, ministry,
the sacraments, and the relation between justification and social
ethics. We are convinced that the consensus we have reached offers
a solid basis for this clarification. The Lutheran churches and the
Roman Catholic Church will continue to strive together to deepen
this common understanding of justification and to make it bear fruit
in the life and teaching of the churches.

44. We give thanks to the Lord for this decisive step forward on
the way to overcoming the division of the church. We ask the Holy
Spirit to lead us further toward that visible unity which is Christ’s
will.

Endnotes:
1. The Smalcald Articles, II,1; Book of Concord, 292.
2. ”Rector et judex super omnia genera doctrinarum,” Weimar Edition of Luther’s Works (WA),
39, I, 205.
3. It should be noted that some Lutheran churches include only the Augsburg Confession
and Luther’s Small Catechism among their binding confessions. These texts contain no
condemnations about justification in relation to the Roman Catholic Church.
4. Report of the Joint Lutheran-Roman Catholic Study Commission, published in Growth in
Agreement (New York: Geneva, 1984), pages 168-189.
5. Published by the Lutheran World Federation (Geneva, 1994).
6. Lutherans and Catholics in Dialogue VII (Minneapolis, 1985).
7. Minneapolis, 1990.
8. ”Gemeinsame Stellungnahme der Arnoldshainer Konferenz, der Vereinigten Kirche
und des Deutschen Nationalkomitees des Lutherischen Weltbundes zum Dokument
‘Lehrverurteilungen-- kirchentrennend?’,” Okumenische Rundschau 44 (1995): 99-102;
including the position papers which underlie this resolution, cf. Lehrverurteilungen
im Gesprach, Die ersten offiziellen Stellungnahmen aus den evangelischen Kirchen in
Deutschland (Gottingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1993).
9. The word, „church,” is used in this Declaration to reflect the self-understandings of the
participating churches, without intending to resolve all the ecclesiological issues related to
this term.
10. Cf. „Malta Report,” paragraphs 26-30; „Justification by Faith,” paragraphs 122-147. At the
request of the U.S. dialogue on justification, the non-Pauline New Testament texts were
addressed in Righteousness in the New Testament, by John Reumann, with responses by Joseph
A. Fitzmyer and Jerome D. Quinn (Philadelphia; New York: 1982), pages 124-180. The results
Lampiran — 245

of this study were summarized in the dialogue report ”Justification by Faith” in paragraphs
139-143.
11. ”All Under One Christ,” paragraph 14, in Growth in Agreement, pages 241-247.
12. Cf. Luther’s Works, American Edition 32:227; Weimar Edition 8:106.
13. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1528.
14. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1530.
15. Cf. Apology II:38-45; Book of Concord, 105f.
16. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1515.
17. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1515.
18. Cf. Denzinger-Schönmetzer, Enchiridion Symbolorum 1545.
19. Cf. Dei Verbum 5.
20. Cf. Dei Verbum 4.
21. Condemnations of the Reformation Era, 27.
246  —  Deklarasi Bersama Tentang Ajaran Pembenaran Oleh Iman

Lampiran 2

PENGAKUAN IMAN
UNITED CHURCH OF CANADA

We are not alone,


we live in God’s world

We believe in God:
who has created and is creating,
who has come in Jesus,
the Word made flesh,
to reconcile and make new,
who works in us and others
by the Spirit.

We trust in God.

We are called to the Church:


to celeberate God’s presence,
to love and serve others,
to seek justice and resist evil,
to proclaim Jesus, crucified and risen,
our judge and our hope.
In life, in death, in life beyond death,
God is with us.

We are not alone.


Thanks be to God.

Amen.

Kita tidak sendirian,


kita hidup di dunia ciptaan Allah.

Kita percaya kepada Allah:


yang telah menciptakan dan sedang menciptakan,
yang telah datang di dalam diri Yesus,
Lampiran — 247

Sabda yang menjadi daging,


Untuk mendamaikan dan memperbarui,
yang bekerja dalam diri kita dan orang lain,
melalui Roh.

Kita mempercayakan diri kepada Allah.

Kita dipanggil berhimpun menjadi Gereja:


untuk merayakan kehadiran Allah,
untuk mengasihi dan melayani orang lain,
untuk mengusahakan keadilan dan melawan kejahatan,
untuk memberitakan Yesus, yang disalib dan dibangkitkan,
hakim kita dan pengharapan kita.
Dalam hidup, dalam kematian, dalam hidup sesudah kematian,
Allah beserta kita.

Kita tidak sendirian.


Syukur kepada Allah.

Amin.
249

CURRICULUM VITAE

RAMLI SN HARAHAP adalah pendeta


Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA).
Menyelesaikan studi Sarjana Teologi (S1) di
Sekolah Tinggi Teologi HKBP (STT HKBP)
Pematangsiantar 1997, dan melanjutkan
studi pascasarjana Magister Teologi (S2) di
Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta 2009.
Saat ini sedang menjalani program Doktoral
Teologi (S3) di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Lahir di desa kecil Parurean, 25 Desesember 1972, dan telah menikah
dengan Pdt.Tuty Zastini Hutabarat,S.Th. Dikaruniai Tuhan dua orang
anak, Fidei Felix Depensor Harahap (kls 8 SMP N 4 Yogyakarta) dan
Gladys Letitia Harahap (kls 3 SD Joannes Bosco Yogyakarta). Penulis
pada majalah GKPA Sioban Barita, juga penulis pada Renungan Harian
Shalom HKBP Kernolong Jakarta. Menjadi editor untuk beberapa
buku, Bunga Rampai: Perempuan GKPA (2010), Bunga Rampai: Seratus
Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola (2011). Menulis artikel
dalam buku, 500 Years of Reformation: Contibutions for the Reformation
of the (Asian) Churches Today (2014), Merajut Kerukunan Menuai
Kedamaian (2014). Mengikuti beberapa pelatihan, seperti: Public
Relations Workshop In GKJWBalewiyata, Malang pada Agustus-
September 1999, Training For Mission In Asia In Chennai, India pada
Nopember-Desember 2001, UEM Asia Workshop On Mission diSTT-
HKBP P.Siantar pada April 2004. Dan menjadi utusan pemuda GKPA
untuk mengikuti Youth Assembly di Windhoek, Namibia 2000.

Anda mungkin juga menyukai