Anda di halaman 1dari 14

NAMA : Sasro Sintaro Simamora

NIM : 17.3255

Mata Kuliah : Seminar Pengajaran

Dosen Pengampu : Pdt. Saut H. Sirait, M. Th & Pdt. Efran M. Sianipar, M.Th

Diakonia Sebagai Jiwa Nasionalis Gereja HKBP

I. Pendahuluan

Seiring perjalanan bangsa Indonesia, pemerintah, partai-partai, organisasi masyarakat,


seluruh masyarakat, bahkan tak terlepas organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia,
berlomba-lomba dalam meningkatkan jiwa nasionalis rakyat untuk membangun Indonesia
kepada kedaulatan dan kesejahteraan, yang dilakukan dengan mengupayakan kesejahteraan,
kesehatan jasmani dan rohani, dan kecerdasan anak-anak bangsa. Ini menjadi tanggungjawab
bersama bagi setiap penduduk rakyat Indonesia.

Disamping pemerintah, partai-partai, organisasi-organisasi masyarakat dan lainnya,


Organisasi keagamaan cenderung mengutamakan kesejahteraan umat naungan agamanya, dan ini
menjadi pembatas pelayanan organisasi agama, terkhusus HKBP sebagai organisasi yang berdiri
ditengah-tengah konteks Indonesia, dalam keikutsertaannya mengupayakan perkembangan
nasionalisme ditengah-tengah Negara Indonesia.

Gereja HKBP sendiri, merupakan salah satu organisasi keagamaan di Indonesia mestinya
juga berpartisipai dalam upaya tersebut. Dengan kesadaran akan keikutsertaan dalam
tanggungjawab tersebut, Gereja HKBP harus menunjukkan jiwa nasionalisnya dengan
mengembangkan aksi pelayanan sosial (Diakonia), kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa
dibatasi oleh keberbedaan agama yang ada di Indonesia.

Kepenulisan ini ditujukan kepada kebangkitan jiwa nasionalis dalam tubuh Gereja HKBP
sebagai organisasi keagamaan di Indonesia dengan menunjukkan eksistensi Gereja HKBP
ditengah-tengah perkembangan nasionalisme melalui aksi pelayanan sosial (Diakonia) sebagai
alat utama dan merupakan salah satu dari tri tugas panggilan Gereja yang tidak hanya kepada
umat di Gereja HKBP melainkan kepada seluruh rakyat Indonesia.
II. Isi
II.1 Diakonia

Kata “diakonia” berasal dari bahasa Yunani yaitu “diakonein” artinya pelayan meja, diakonia
dianggap sebagai pelayanan yang dilakukan oleh seorang hamba yang melayani meja makan,
dan pekerjaan ini dianggap rendah. Pada perkembangan selanjutnya kata “diakonein” memiliki
arti melayani secara umum. Diakonia adalah tindakan dari diakonein. Orang yang melakukan
diakonia di sebut diakonos. 1

Secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa
Ibrani pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2:18, 20; Mzm. 121:1. Diakonia dalam bahasa
Ibrani disebut syeret yang artinya melayani. Dan dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia
disebutkan diakonia  (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos (pelayan).2 Istilah
diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab Kejadian jelas
dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex Nihilo)
dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31). 3 Allah juga membuktikan
pemeliharaan-Nya secara khusus ditujukan kepada manusia yaitu sebagai pelayanan. Manusia
sebagai wakil Allah untuk melayani-Nya dalam mengurus bumi dan isinya. Inilah panggilan
pertama bagi manusia untuk melayani dan sebagai manusia ciptaan Tuhan, seharusnya ia
melayani. Pelayanan Allah bagi dunia terfokus kepada bangsa Israel sebagai karya
penyelamatan-Nya. Dalam keluhan bangsa-Nya, Allah juga mendengarkan seruan mereka, Allah
memperdulikan orang Israel dan menyatakan keselamatan serta penebusan. Pembebasan ini
bertujuan supaya bangsa yang sudah dibebaskan melayani Allah dalam kebebasannya dan
menjawab kasih-Nya dengan belas kasih.4

Perjanjian Lama juga ternyata memuat cukup banyak praktek diakonia (pelayanan), yaitu
kepada orang miskin. Dalam Perjanjian Lama, perhatian kepada orang miskin (baca:
perlindungan pada janda, yatim-piatu, dan orang asing) terdapat dalam Hukum Taurat.
Berdasarkan Hukum Musa, ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada
1
Jaap Vaan Klinken, Diakonia: Mutual Helping With Justice and Compassion, (Grand Rapids: Michigan,1989), hlm.
26
2
A. Noordegraaf, Teologi dalam Perspektif Reformasi: Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), hlm. 2
3
W.S. Lassor, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 122
4
A. Noordegraaf, Teologi dalam Perspektif Reformasi: Orientasi Diakonia Gereja,…………, hlm. 2
orang miskin dan keadilan sosial, seperti: Tahun Yobel (Im. 25:8-43), Perpuluhan (Kel. 22:29-
30; Ul. 14:22-29; 26:1-15), Larangan mengambil bunga dari yang miskin (Kel. 22:25-27; Im.
25:35-38; Ul. 15:1-11), dan Pembatasan kekayaan raja (Ul. 17:14-17; Bnd. 1 Raj. 6-7; 11:1-6).5

Dalam Perjanjian Baru, yang melakukan diakonia diberikan kepada orang yang khusus yaitu
diaken, meskipun memang semua jabatan yang ada haruslah melakukan yang namanya
melayani. Namun, tugas ini sepertinya didalami oleh diaken. Dalam Kis. 6:1-7 diceritakan bahwa
diaken itu dipilih dan diberikan tumpangan tangan oleh para rasul dan untuk selanjutnya
diberikan tugas untuk melayani janda-janda yang kurang mendapat perhatian dari orang-orang di
sekelilingnya. Untuk menjadi diaken harus memenuhi syarat seperti sopan santun, tidak
bercabang lidah, tidak memfitnah orang, dapat dipercaya dalam segala hal dan suami dari satu
istri serta memimpin anak-anaknya dengan baik (Lih. 1 Tim. 3:8). Namun, diaken juga harus
memberikan pelayanan bukan karena suatu jabatan. Pelayanan ini disebut juga dengan pelayanan
kasih, tetapi bukan pelayanan kasih dari Gereja kepada manusia, sama seperti pelayanan-
pelayanan yang lainnya demikian pula pelayanan diakoni Gereja hanya berfungsi sebagai alat.
Subjek dari pelayanan diaken adalah Allah yang sebebnarnya bertindak dalam pelayanan itu.
Diaken hanya menyampaikan pemberian-Nya itu kepada manusia khususnya manusia yang
menderita. Pelayanan diakoni sangat penting, sama pentingnya dengan pemberitaan Firman.
Keduanya saling membutuhkan, saling mengisi dan saling menjelaskan. Tanpa pelayanan
diakonia, pembertiaan Firman tidak mempunyai hubungan dengan dunia dan karena itu ia hanya
merupakan pidato yang kososng yang tidak dapat dipercayai.6

Dalam Injil, kata Diakonia akan sering dijumpai seperti pada pelayanan pada waktu
makan (Mat 22:13), pelayanan Ibu mertua Petrus (Mrk 1:31), pelayanan Marta (Luk 10:40),
pelayanan hama pada tuannya (Luk 17:8), pelayanan hamba-hamba pada pesta kawin di Kana
(Yoh 2:59). Diakonia dalam PB digunakan untuk menyebut hidup dan pekerjaan Yesus dan juga
hidup dan pekerjaan Jemaat-Nya. Pekerjaan Yesus melepaskan orang-orang dari dosa,
penderitaan, bahkan kemiskinan dan memberi pengajaran kepada setiap orang dilakukan dengan
jabatan sebagai pelayan. Dan menugaskan murid-muridNya untuk saling melayani dan untuk
“bermurah hati, sama seperti Bapa mereka di dalam sorga” (Luk 6:36), sama seperti tentang
orang samaria yang murah hati (Luk 10:25-37). Tugas melayani ini sangat kuat terdengan dalam
5
Josef P. Widyatmaja, Yesus dan Wong Cilik, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 23-25
6
J.l. Ch. Abineno, Diaken, Diakonia, dan Diakonat Gereja,  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 65
khotbah-Nya tentang penghakiman yang terakhir (Mat 25:31-46), bahkan apabila itu tidak
dilakukan maka bukan hanya bersalah kepada orang miskin tetapi juga terhadap Yesus Kristus.7

Dalam 1 Korintus 12:8-11 dan Roma 12:4-8, Rasul Paulus menyebut beberapa dari tugas
atau pelayanan itu. Diantaranya terdapat beberapa tugas atau pelayanan yang mempunyai sifat
diakonal, yang kadang-kadang sulit untuk menyatakan batas-batasnya. Melayani (Rm 12:7; bnd
1 Ptr 4:11) yaitu tugas untuk melakukan pelayanan kasih di bidang praktis dan materil.
Membagi-bagikan (Rm 12:8) yaitu tugas untuk membantu mereka yang berkekurangan dari apa
yang seorang miliki. Dan diberikan dengan hati yang ikhlas. Menunjukkan kemurahan (Rm 12:8)
yaitu tugas untuk menolong orang yang sangat membutuhkannya; orang sakit, cacad, kesepian,
dll. Pertolongan demikian tidak boleh dilakukan dengan bersungut-sungut, tetapi dengan
sukacita, bahwa ia (sipemberi) boleh melakukannya. Keterampilan untuk melayani (1 Kor
12:28), yaitu fungsi untuk membantu orang-orang yang lemah dan yang hidup dalam
kekurangan.8

Diakonia dapat dikenal dengan 3 model yang berkembang yaitu; Diakonia Karitatif berasal
dari kata charity (Inggris) yang berarrti belas kasihan. Dikaonia ini merupakan bentuk diakonia
yang paling tua yang dipraktekkan oleh gereja dan pekerja sosial. 9 Diakonia karitatif merupakan
produk dan perkembangan dari industrialisasi di Eropa dan Amerika Utara (abad ke-19),
kemudian diakonia Reformatif atau pembangunan, bisa dikatakan tidak mampu menyelesaikan
kemiskinan rakyat, namun memberi perhatian pada pertumbuhan ekonomi, bantuan modal, dan
teknik, tetapi mengabaikan sumber kemiskinan, yaitu ketidakadilan dan pemerataan. Dan
kemudian diakonia Transformatif, dimana diakonia karitatif digambarkan sebagai pelayanan
memberikan ikan pada orang yang lapar, sedangkan Reformatif atau pembangunan adalah
pelayanan memberikan pancing dan mengajarkan memancing, maka diakonia Transformatif atau
pembebasan digambarkan sebagai pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan
kaki seseorang untuk kuat berjalan. Pemberian pancing dan ketrampilan memancing tidaklah
berguna bila sungai-sungai dan laut sudah dimonopoli oleh orang-orang yang serakah. Rakyat
kecil yang buta hukum serta mengalami kelumpuhan semangat berjuang, perlu dilayani, yaitu
dengan menyadarkan hak-hak mereka. Mereka juga butuh dorongan dan semangat untuk percaya

7
J.l.ch. Abineno, Diaken Diakonia Dan Diakonat Gereja,………… hlm. 3-5
8
J.l.ch. Abineno, Diaken Diakonia Dan Diakonat Gereja,………… hlm. 10
9
Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 111
10
pada diri sendiri. Dengan ketiga model diakonia tersebut tentunya tidak dapat dikatakan telah
menunjukkan pelayanan yang sejati, karena tiap model memilki kelemahan dan kelebihannya
masing-masing. Namun, dapat saling melengkapi dalam kepenuhan pelayanan.

Dasar yang paling penting dalam diakonia adalah Yesus Kristus itu sendiri. Demikian
juga dengan apa yang dilakukan oleh Yesusu sendiri, baik melalui mujizat-mujizat-Nya, kata-
kata kutukan, keadilan, peneguhan, keajaiban dan anugerah adalah hal-hal yang menjadi dasar
diakonia dan yang memberikan arah kepada kita untuk melakukan pekerjaan diakonal
kita.11 Dasar pelaksanaan diakonia gereja beranjak dari hal yang paling ditekankan oleh Yesus
yaitu: kedatangan-Nya bertujuan untuk melayani (Mrk. 10:45). Hal yang sama juga dikatakan
Paulus yaitu Yesus darang  sebagai hamba dan menjadi sama seperti manusia (Fil. 2:7). 12 Jadi,
sifat dan sikap gereja dalam ber-diakonia berdasar pada sifat dan sikap Yesus Kristus
sebagaimana telah dinyatakan dan dilakukan di dalam pelayanan-Nya. Sebagaimana Kristus
hidup demikianlah juga gereja hidup. Yesus Kristus bukan hidup untuk diri-Nya sendiri tetapi
juga untuk orang lain. Demikian juga orang Kristen telah menjadi warga gereja atau tubuh
Kristus. Baik secara pribadi maupun secara bersama-sama, gereja harus melakukan pelayanan
terhadap sesame anggota pesekutuan dan terhadap orang lain di Luar Persekutuan.13

Paulus juga berkara: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu


memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Orang yang mau menolong orang lain adalah orang yang
memiliki kasih. Kasih itu bukan untuk diri sendiri. Kasih yang ada pada diri seseorang adalah
diperuntukkan untuk orang lain, diluar dirinya yang membutuhkan kasih itu. Dalam Injil
Yohanes, Yesus berkata: Aku memberikan perintah baru kepadamu: yaitu supaya kamu saling
mengasihi sama seperti aku telah mengasihi kamu demikianlah kamu harus saling mengasihi.
Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau
kamu saling mengasihi. (Yoh. 13:34-35).14 Bedasarkan kasih inilah semua pelayanan gereja
dilaksanakan. Oleh karena itu, semua pelayanan haruslah menjadi suatu jawaban terhadap Allah

10
Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja …………., hlm. 113
11
Serepina Sitanggang, Membangun Gereja yang Diakonal, Suatu Pengantar kepada Pemahaman Alkitabiah
tentang Diakonia, (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2004), hlm. 108
12
A. Noordegraaf, Teologi dalam Perspektif Reformasi: Orientasi Diakonia Gereja,…………, hlm. 5
13
Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas, (Pematang Siantar: L-SAPA, 2007), hlm. 382
14
Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas,…………….., hlm. 383
yang lebih dahulu mengasihi kita. Jadi, konsep diakonia ditentukan keseluruhannya oleh Yesus
Kristus melalui kehidupan, pekerjaan dan perkataan-Nya.15

Diakonia dipandang sebagai sikap solidaritas yang mendalam terhadap orang lain
berdasarkan kasih. Solidaritas itu diwujudkan dalam diakonia. Artinya dalam diakonia ada sikap
tanpa pamrih, sikap yang emenekankan hidup bersama dengan tidak mencari keuntungan diri
sendiri.16 Tujuan pekerjaan diakonal adalah membantu orang lain dan menempatkannya pada
posisi yang benar di hadapan sesama manusia dan Tuhan Allah. Memperdulikan keberadaan
umat manusia secara utuh yaitu kebutuhan rohani, jasmani dan kebutuhan sosial. Tujuan
diakonia juga mendukung realisasi sebuah persekutuan cinta kasih dan membangun serta
mengarahkan orang untuk hidup di dalamnya. Oleh sebab itu, diakonia mempunyai fungsi kritis
dalam jemaat maupun di dalam masyarakat.17

Tujuan diakonia lainnya juga mewujudkan suatu persekutuan, bukan untuk menciptakan
hubungan antara pemberi dan penerima. Sehingga nasionalisme juga dapat dikatakan
persekutuan yang hidup sebab ditengah-tengahnya pelayanan yang dari pada Allah ada disana.
Melakukan diakonia (pelayanan) secara baik dapat diumpamakan sebagai “membangun rumah di
atas batu karang yang teguh”.18 Hingga timbul jiwa nasionalis yang kokoh.

II.2 Gereja dan Diakonia

Menurut W.J.S. Poerwadarminta, Gereja mempunyai 2 arti, yaitu: Pertama, Gereja adalah
gedung (rumah) tempat berdoa melakukan upacara agama (Kristen); kedua, badan (organisasi)
umat Kristen yang sama kepercayaan, ajaran dan tata caranya. 19 Gereja adalah perwujudan
Kristus. Ajaran-Nya bukan hanya diucapkan, tetapi juga untuk diperlihatkan secara nyata di
dalam kehidupan masyarakat.20

Gereja merupakan sebuah institusi yang berada di tengah-tengah dunia, sehingga Gereja
tidak dapat terlepas dari tanggungjawabnya terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi

15
Serepina Sitanggang, Membangun Gereja yang Diakonal, Suatu Pengantar kepada Pemahaman Alkitabiah
tentang Diakonia,…………….., hlm. 108
16
Jon Sobrino & Juan Hernandez Pico, Teologi Solidaritas,  (Yogyakarta: Kanisisus, 1988), hlm. 14-17
17
Jon Sobrino & Juan Hernandez Pico, Teologi Solidaritas,……………, hlm. 76
18
Josef. P. Widyatmadja, Diakonia Sebagai Misi Gereja …………., hlm. 40-43
19
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka), hlm. 318
20
Michael Griffiths, Gereja dan Panggilannya Dewasa Ini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 1
oleh masyarakat yang berada di dunia. Gereja dan masyarakat adalah dua dimensi dari satu
kehidupan Kristen, Iman, harapan dan cinta kasih Kristiani bukanlah sesuatu yang abstrak
terkotak, yang hanya berlaku di dalam kerangka-intern Gerejawi, melainkan selalu konkret dan
kontekstual di tengah masyarakat.21 Secara hakiki Gereja telah hidup menyatu dengan
masyarakat yang bersifat pluralistik.Gereja sebagai persekutuan orang percaya berada di tengah-
tengah masyarakat dan berada dalam sistem masyarakat, kebudayaan, politik, ekonomi dan
sosial.Keberadaan gereja di tengah masyarakat bersifat integral dengan semua sistem.22

Diakonia gereja tidak akan terlepas dari kepedulian gereja terhadap orang miskin. Didasarkan
pada penyelamatan Allah kepada manusia berdosa. Dalam catatan Perjanjian Lama, Bangsa
Israel mengenal Allah sebagai Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Di
bawah kepemimpinan Musa, bangsa yang tertindas ini memperoleh kembali kemerdekaan
mereka. Karena kuasa Allah yang sudah membebaskan mereka, maka Allah memerintahkan
umat-Nya untuk menyatakan keadilan-Nya, yaitu perhatian khusus kepada orang-orang yang
lemah dan miskin. Dalam hal ini, Allah sangat membela orang-orang yang miskin dan lemah itu
dan mengingatkan Israel untuk menolong orang-orang ini, sebagaimana Israel diingatkan
bagaimana keadaan mereka dahulu, yang dihadapan Allah sebenarnya mereka tidak memiliki
sesuatu, namun karena kemurahan Allah, mereka dapat menerima apa yang ada pada mereka.
(Band. Ulangan 10:17-19; 24:17-22; 26;11; Im. 19:33,34; Maz. 103:6). Allah sangat
memperhatikan orang miskin di tengah umatNya. Orang miskin dalam hal ini bukanlah karena
mereka adalah kelas masyarakat tertentu, melainkan orang miskin disini adalah orang yang tidak
mempunyai penolong. Sikap Allah ini menjadi dasar dari sikap gereja terhadap orang miskin
sebagai perwujudan dari solidaritas gereja secara nyata sebagai umat Allah. Praktek tahun Sabat
dan tahun Yobel (Ulangan 15 dan Imamat 25) mengajarkan bahwa orang miskin seharusnya
dibukakan jalan agar tidak tenggelam semakin dalam di dalam lumpur hutang dan kemiskinan.
Gereja yang membiarkan praktek-praktek pemiskinan dengan permainan bebas kekuatan dan
praktek-praktek kuasa ekonomi sama dengan menciderai maksud-maksud Torah.23

21
F.Magnis Suseno, Keadilan dan Analisis Sosial: Segi-Segi Etis dalam Banawiratma, (ed.), Kemiskinan dan
Pembebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 36-37.
22
Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 36
23
Mariani Febriana, Pietas dan Caritas: Pelayanan Diakonia Sebagai Suatu Implementasi Kepedulian Sosial Gereja
Untuk Menolong Meretas Angka Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Theologi Aletheia Vol.16 No.7, September 2014,
hlm. 49-51
Dalam Perjanjian Baru, perjamuan kudus dan diakonia itu merupakan suatu ikatan yang tidak
terpisahkan, berkaitan dengan keikutsertaan kita pada jalan yang telah dijalani oleh Yesus
Kristus. Dalam I Korintus 11:27,29, Paulus mengecam egoisme yang rakus dan individualisme
tanpa kasih dalam pelaksanaan makan dan minum yang tidak layak. Dalam konteks ini maka
cara hidup seperti ini menciderai tubuh Kristus, yang dalam hal ini jemaat Kristus itu sendiri.
Teguran Paulus yang keras ini menyatakan bahwa tidak mungkin merayakan perjamuan kudus
dengan benar apabila pada saat yang sama kita tidak memperhatikan dan tidak memperhitungkan
mereka yang miskin dan lemah. Hal ini akan membangkitkan murka Allah.24

Pemahaman konsep demikian melihat bahwa pelayanan diakonia gereja itu merupakan
suatu analogi dari kemurahan Allah. Gereja dipanggil untuk melakukan tindakan kasih yang
sama kepada sesama yang menderita. 25 Perhatian dan kepedulian gereja terhadap orang miskin
bukan hanya tugas dari para pejabat gereja saja, melainkan menjadi tugas bagi semua orang
percaya. Meskipun demikian, karena semua orang percaya terlibat masuk dalam tugas misi yang
kompleks ini, maka dibutuhkan energi khusus dan arah dari para pelayan dalam gereja. Itulah
sebabnya tugas pelayanan ini sejak mulanya sudah diatur oleh gereja. (Band. Kis. 6:1; Gal. 2:10;
I Tim. 5: 3-16; Yak. 1:27).

Lemahnya pengajaran pelayanan sosial gereja dan hanya menekankan pengajaran


persekutuan orang kudus menyebabkan gagalnya gereja berperan aktif dalam persoalan-
persoalan sosial di luar gereja. Diakonia adalah salah satu aspek dari pelayanan kesaksian gereja,
bahkan diakonia dipandang sangat penting dalam mendekatkan teologi dengan realitas manusia
agar teologi gereja dapat selalu berdekatan dengan manusia dalam kenyataan yang konkret dan
bukan sekedar suatu teologi diangan-angan. Karena itu keutuhan pelayanan dari gereja bertemu
diantara firman dan perbuatan, khususnya dalam pelayanan diakonia gereja.26

Dalam konteks pemahaman demikian maka diakonia tersebut bukan hanya ditujukan
kepada komunitas beriman dalam gereja, melainkan juga meluas kepada para pembawa gambar
Allah. Dan dapat dipahami sebagai upaya yang meluas bahkan sangat baik mempengaruhi jiwa
nasionalis dalam jiwa jemaat gereja dalam menghidupi konteks hidup bernegara. Salah
memahami pengertian Paulus dalam Galatia 6:10, sehingga dipahami hanya melihat kalangan
24
A. Noordegraaf, Teologi dalam Perspektif Reformasi: Orientasi Diakonia Gereja,…………., hlm. 57
25
Thomas C. Oden, Pastoral theology: Essentials of Ministry, (New York: Harper and Row Pub, 1983), hlm. 268
26
A. Noordegraaf, Teologi dalam Perspektif Reformasi: Orientasi Diakonia Gereja…………. Hlm. 16
sendiri dan tidak dapat melihat orang lain yang juga membutuhkan bantuan. Terjebak dalam
sikap mengutamakan sesama rekan seiman, dan pincang dalam tindakan keadilan bagi sesama
yang sangat membutuhkan. Ketika Paulus menghimbau berbuat baik kepada semua orang
terutama kepada rekan seiman justru Paulus sedang mengingatkan gereja agar kesungguhan
jemaat untuk membantu dapat dipercayai oleh dunia luar karena memang praktek hidup seperti
ini sudah menjadi jantung dari hidup gereja. Bantuan yang diberikan oleh gereja dapat dipercaya
oleh orang diluar jikalau di dalam hidupnya sendiri gereja sudah hidup dalam persaudaraan yang
sejati. Dengan kata lain, berbuat baik kepada semua orang harus dimulai dari cara hidup gereja
yang memang hidup dalam keadaan demikian, dan bukan sebagai suatu manipulasi perbuatan
baik kepada sesama.27 Sehingga dalam konteks Indonesia sendiri, E. G. Singgih mengatakan
bahwa gereja yang kontekstual di Indonesia adalah gereja yang sadar akan konteksnya, termasuk
konteks kemiskinan.28

II.3 Diakonia HKBP

Diakonia di tanah Batak yang menjadi akar perkembangan diakonia dalam tubuh Gereja
HKBP dimulai dengan fokus Pendidikan oleh Gerrit van Asselt. Ia membeli tujuh orang anak-
anak dari penjual anak-anak lalu mengajari mereka di Sipirok. 29 Penguasa Belanda di
Padangsidempuan dan beberapa raja kemudian menyerahkan anak-anak untuk memperoleh
pendidikan dari van Asselt. Jumlah anak yang pertama kali dididik oleh van Asselt sebanyak 20
orang (Hutauruk 2011, 262). Pada tahun 1891, dua orang suster bernama Liesette Niemann dan
Thora von Wedell-Jarsberg tiba di Laguboti dengan tujuan khusus untuk memberikan pendidikan
bagi kaum perempuan. Terdapat beberapa pengajaran yang diberikan pada waktu itu, antara lain
penelaahan Alkitab, pengajaran katekisasi, menjahit, memasak, membersihkan kamar dan
pekarangan. Pendidikan yang diberikan kepada perempuan pada tahun 1891 ini selanjutnya
menjadi awal dari munculnya inspirasi untuk membuka pendidikan bagi kaum perempuan yang
kemudian dikenal dengan jabatan gerejawi “bibelvrouw”.30

27
Mariani Febriana, Pietas dan Caritas: Pelayanan Diakonia Sebagai Suatu Implementasi Kepedulian Sosial Gereja
Untuk Menolong Meretas Angka Kemiskinan di Indonesia,………… hlm. 52
28
E.G. Singgih, Teologi Dalam Konteks III, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2002), hlm. 44-46.
29
J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2011), hlm. 261
30
J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 268
Diakonia di tanah Batak tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan dan hukum. Pada tahun
1888, seorang penginjil bernama Hanstein melakukan tindakan diakonia untuk menolong orang-
orang sakit, khususnya yang terkena penyakit kusta (na huliton) di Sipirok. Pada waktu itu,
setiap orang yang terkena penyakit kusta akan dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari desa.
Masyarakat menganggap bahwa orang-orang yang menderita penyakit kusta merupakan orang-
orang yang menjadi sumber penyakit dan mereka mendapatkan kutukan dari roh jahat. 31 Melihat
hal tersebut, Hanstein kemudian mendirikan beberapa rumah untuk para penderita penyakit kusta
serta menyediakan pengasuh untuk merawat mereka di Situmba.32

Selain itu, penginjil lain bernama Steinsik dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG)
menolong orang-orang yang sakit kusta di Laguboti. Orang-orang yang menderita penyakit kusta
di Laguboti mendapatkan perlakuan yang sama seperti orang-orang yang ada di Sipirok.
Tindakan diakonia yang dilakukan oleh Steinsik pada waktu itu adalah pendirian beberapa
pondok untuk para penderita kusta di desa Sitalaktak. 33 Pada tahun 1900, para penderita penyakit
kusta memiliki sebuah perkampungan yang lebih memadai serta jauh dari pemukiman
masyarakat yang mengucilkan mereka. Tempat tersebut diberi nama Hutasalem. Pada waktu itu
terdapat 30 orang yang tinggal di Hutasalem.

Pelayanan diakonia di tanah Batak semakin berkembang, khususnya pada bidang kesehatan.
Hal ini dapat terlihat dengan didirikannya rumah sakit pertama di Pearaja Tarutung pada tanggal
2 Juni 1900.34 Pendirian rumah sakit ini jelas membutuhkan tenaga medis yang jumlahnya cukup
banyak. Oleh karena itu, badan zending yang ada di tanah Batak membantu untuk
menyelenggarakan pendidikan keperawatan bagi masyarakat Batak yang dapat mengerti huruf
dan memiliki pengetahuan umum yang memadai. Tindakan yang dilakukan oleh badan zending
ini memberikan suatu peluang untuk terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat Batak pada
waktu itu. Pada tahun 1902, orang-orang Batak yang mengikuti pendidikan keperawatan telah
bekerja di rumah sakit Pearaja. 35

31
J. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 271
32
. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 267
33
. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 270
34
. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 276
35
. R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,………………., hlm. 278
Pada masa ini HKBP memiliki tugas untuk merumuskan panggilan diakonia. Dalam Renstra
HKBP 2016-2020, HKBP memiliki visi untuk menjadi berkat bagi dunia dan diwujudkan dalam
8 misi: 1. Beribadah kepada Allah Tritunggal, Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan bersekutu
dengan saudara-saudara seiman. 2. Mendidik jemaat supaya sungguh-sungguh menjadi anak
Allah dan warga negara yang baik. 3. Mengabarkan Injil kepada yang belum mengenal Kristus
dan yang sudah menjauh dari gereja.4. Mendoakan dan menyampaikan pesan kenabian kepada
masyarakat dan Negara. 5. Menggarami dan menerangi budaya Batak, Indonesia dan Global
dengan Injil. 6. Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih melalui pendidikan,
kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 7. Membangun dan mengembangkan
kerjasama antar gereja dan dialog lintas agama. 8. Mengembangkan penatalayanan (pelayan,
organisasi, administrasi, keuangan, dan aset) dan melaksanakan pembangunan gereja.

Huria Kristen Batak Protestan adalah gereja yang mengaku memiliki pemahaman teologi
Lutheran dan berbasis di Sumatera Utara. Pengakuan Iman yang digunakan untuk memahami
pandangan teologis mengenai diakonia dan politik adalah Konfesi HKBP 1951 dan Konfesi
HKBP 1996. HKBP melihat dirinya sebagai gereja yang harus terlibat dalam kehidupan
berbangsa namun bukan sebagai gereja negara. Pengakuan Iman HKBP 1951, Pasal 8 poin A
tentang Gereja menyatakan; A. Kita percaya dan menyaksikan : Gereja ialah persekutuan
orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yang dipanggil, dihimpun, dikuduskan dan
ditetapkan Allah dengan Rohu’l Kudus (1Kor. 1:2; 1Ptr.2: 9; Ef. 1:2,22; 1Kor. Dalam
penjelasan poin 3, dicantumkan, Dengan ajaran ini kita menolak dan melawan: Pemikiran
bahwa Gereja harus menjadi Gereja Negara, sebab kewajiban dari Gereja dan kewajiban
negara adalah berlainan. Konfesi HKBP 1951 dipengaruhi oleh Deklarasi Barmen yang
berusaha mengingatkan bahwa gereja tidak boleh menjadi Der Volkskirche (gereja bangsa), yang
mementingkan suara bersama dalam persekutuan orang-orang percaya (lht. Barmen Declaration
1934 dalam Bradstock & Rowland 2002, 201-203). Tema penolakan ide Der Volkskirche ini
kembali diulangi di Konfesi HKBP 1996 Pasal 7 C dengan kalimat yang kurang lebih serupa.
Lebih lanjut, pemahaman HKBP mengenai relasi gereja dan pemerintah di atas diperkuat dalam
pasal 12 tentang Pemerintah yang menyatakan, Kita menyaksikan : Pemerintah yang berkuasa
adalah dari Allah datangnya. Ialah pemerintah yang melawan kejahatan, yang mempertahankan
keadilan yang berusaha agar orang percaya dapat hidup sejahtera seperti tercantum pada
Roma 13 dan 1 Timotius 2:2. Pada lain pihak kita harus ingat yang tercantum pada Kisah Rasul
5:29: “Wajiblah orang menurut Allah lebih daripada manusia.” Dengan ajaran ini kita
menyaksikan: Gereja harus mendoakan Pemerintah agar berjalan di dalam keadilan. Sebaiknya
Gereja pada saat-saat yang perlu harus memperdengarkan suaranya terhadap Pemerintah.
Dengan ajaran ini kita menolak paham yang mengatakan: Negara adalah negara keagamaan,
sebab Negara dan Gereja mempunyai bidang-bidang tersendiri (Mat. 22:21b). Jika perlu di
hadapan hakim untuk menyaksikan kebenaran, orang Kristen boleh bersumpah, demikian pula
waktu menerima jabatan atau pangkat. (Konfesi HKBP 1996 Pasal 12)

Juga Dalam Konfessi HKBP Tahun 1996 Pasal 4 tentang masyarakat, Gerjeja HKBP
menekankan akan pentingnya iman dan tanggungjawab dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk dalam melayani orang miskin, yang sakit, yang melarat, orang sakit, yang terbelakang,
yang bodoh, korban ketidakpastian hukum ( Penyelewengan hukum). Ini menekankan tentang
aksi pelayanan (diakonia) Gereja/jemaat HKBP ditengah-tengah konteks Indonesia yang
majemuk, ini juga memuat semangat nasionalis dalam tubuh HKBP.36

Pandangan tentang diakonia ditemukan dalam pasal 12 mengenai Perbuatan dan Iman, di
mana gereja diminta untuk “menghasilkan buah bagi manusia dan bagi sekitarnya.” Dalam pasal
4 mengenai masyarakat, HKBP menuliskan; Kita menekankan pentingnya iman dan tanggung
jawab kita dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dalam melayani orang miskin, yang
sakit, yang melarat, orang asing, yang terbelakang, yang bodoh, korban ketidakpastian hukum
(penyelewengan hukum). Kita menekankan kesamaan hidup dan hak azasi manusia bagi
manusia yang hidup di kota dan di desa/ petani, dalam perencanaan, dalam mengambil
keputusan dan pengawasan.

Sehingga dari pemahaman tersebut dapat dilihat bahwa akar, pertumbuhan dan
perkembangannya, diakonia dalam gereja HKBP meskipun tidak dengan eksplisit mengatakan
dengan tujuan pembangkitan jiwa nasionalis dalam tubuh HKBP, namun usaha demikian
berdampak pertumbuhan nasionalisme dalam tubuh HKBP dalam eksistensinya di Negara
Indonesia.

II.4 Wujud Nasionalisme HKBP melalui Diakonia


36
Konfessi HKBP Tahun 1951 & 1996, (Tarutung, Kantor Pusat HKBP, Cet. Ulang 2013), hlm. 130
Oleh pemahaman melalui akar dan sejarah pertumbuhan diakonia HKBP di tengah-tengah
konteks Negara Indonesia, HKBP turut aktif dalam kemajuan kesejahteraan, kesehatan, keadilan,
dan pendidikan anak bangsa dengan upaya dari setiap pelayan-pelayan gereja melalui lembaga-
lembaga naungan HKBP, juga seluruh jemaat HKBP dalam peningkatan Iman yang berbuat dan
menjadi garam dan terang dunia, sekaligus peningkatan jiwa nasionalis seluruh jemaat HKBP
ditengah-tengah konteks Indonesia yang majemuk.

Di bidang kesehatan, HKBP meneruskan rumah sakit yang didirikan oleh badan zending
pada Tahun 1918, yang dipimpin oleh Misioner KH Weissenburch, yaitu yang sekarang dikenal
dengan Rumah Sakit Umum HKBP balige. 37 Rumah sakit yang awalnya berdiri karena situasi
epidemi di masyarakat Toba dan sekitarnya, kini menjadi rumah sakit umum yang dapat diakses
oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa persoalan latar belakang agama dan daerah. Ini menjadi
salah satu jiwa nasionalis di bidang kesehatan.

Di bidang pendidikan, HKBP juga berpartisipasi dalam pendirian gedung-gedung sekolah


dari SD (sekolah dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas),
yang ada diberbagai daerah di Indonesia, bahkan Perguruan Tinggi yaitu Universitas Nomensen
yang ada di kota Medan dan kota Pematangsiantar. Meskipun sekolah swasta dan
berlatarbelakang naungan organisasi agama Protestan, HKBP tidak menutup kemungkinan untuk
setiap orang dari berbagai latar belakang agama untuk menuntut ilmu disana dengan hak yang
sama sebagai pelajar dan mahasiswa.

Dalam kehidupan bermasyarakat sendiri, HKBP tidak sepenuhnya ekslusif dengan hanya
mementingkan naungan organisasinya saja, melainkan kepada seluruh masyarakat yang ada
disekitar. Dengan berdirinya lembaga Pengembangan Masyarakat (PengMas) dan Permata
Diakonia yang berpusat di Pematangsiantar, menjadi penjalan aksi diakoni HKBP dalam konteks
masyarakat tanpa ada batasan latar belakang objek pelayanan.

III. Penutup

HKBP sebagai organisasi keagamaan yang berada dan bertumbuh dalam konteks Indonesia
yang majemuk, menyadari akan keberadaannya. Oleh kesadaran itu, pemahaman teologi yang
mendukung aksi nasionalis dalam tubuh Gereja HKBP juga menekankan pentingnya
37
https://rshkbpbalige.or.id/halaman/detail/sejarah
keikutsertaan tersebut, hingga menjadi salah satu dasar melalui konfessi aturan dan peraturan
HKBP, dan sikap konsisten dalam pelayanan tritugas panggilan Gereja, terutama di bidang
diakonia. Oleh karena itu, HKBP mengaktualisasikan panggilannya sebagai garam dan terang
dunia, dengan pelayanan yang terbuka terhadap seluruh rakyat Indonesia yang membutuhkan. Ini
menjadi jiwa nasionalis yang ditumbuhkan dalam tubuh HKBP secara organisasi/lembaga,
bahkan kepada seluruh jemaat Gereja HKBP.

Kontekstualisasi pelayanan diakonia Gereja HKBP tampil dengan fokus pendidikan,


kesehatan, dan kesejahteraan setiap orang tanpa pembatasan oleh latar belakang agama dan
budaya yang berbeda. Konteks Indonesia yang majemuk memberikan ruang yang lebih kepada
Gereja HKBP untuk lebih leluasa dalam aksi pelayanannya ditengah-tengah masyarakat.

Nasionalisme yang perlu tumbuh dalam setiap jiwa warga Negara membutuhkan partisipasi
yang benar-benar berupaya secara aksi konkrit. Nasionalime menekankan akan tujuan bersama
dalam Negara meskipun dengan cara dan dasar pengupayaan dari setiap warga Negara juga
organisasi masyarakat yang berbeda, namun HKBP dimampukan dalam ikut serta melalui
bidang-bidang vital dalam peningkatan nasionalisme yaitu pendidikan, kesehatan, dan sosial
ekonomi. Meskipun demikian, perkembangan akan terus berjalan dan menuntut kontekstualisasi
yang terbaru agar relevan. Oleh karena itu HKBP juga dituntut untuk berkembang dan semakin
aktif dalam aksi pelayanannya sebagai jiwa Nasionalis Gereja HKBP di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai