Anda di halaman 1dari 14

Apa dan Bagaimana Liturgi GKPI

Penjelasan Struktur dan Elemen Liturgi GKPI Berdasarkan Tradisi


Reformasi Martin Luther

Pdt. Irvan Hutasoit, M.Th

GKPI Berada di Satu Lintasan Sejarah Perjalanan Gereja-Gereja


Satu hal yang harus kita hindari ketika berusaha memahami GKPI adalah
anggapan bahwa gereja ini berjalan sendiri di dunia untuk mewujudkan misi Allah.
Pandangan ini salah sebab GKPI berada bersama gereja-gereja lain mengerjakan misi
Allah bagi dunia. Hal itu dijelaskan dalam Pokok-Pokok Pemahaman Iman (P3I) GKPI
pada Pasal VI tentang Gereja: Hakikat, Wujud, dan Tandanya. Pada butir satu, GKPI
meyakini bahwa Gereja adalah persekutuan yang mencakup orang-orang percaya dari
segala abad dan tempat (Gereja Kristen Protestan Indonesia 2021, 26). Pengakuan
tersebut menegaskan bahwa Gereja adalah ketika semua orang bertemu, tidak dibatasi
wilayah geografis, suku, waktu kehidupan. Artinya, GKPI memahami bahwa gereja
melampaui segala pembatas yang memutus relasi antar umat manusia.
Berdasarkan pandangan tersebut, GKPI mengakui bahwa dirinya berjalan
bersama gereja di segala tempat dan di sepanjang zaman, sebagai kawan sekerja Allah,
terpanggil untuk ikut mewujudnyatakan keempat sifat dasar gereja, yaitu: Am, Kudus,
Esa, dan Rasuli (Gereja Kristen Protestan Indonesia 2021, 58). Konsekuensinya bagi kita
ialah, GKPI seharusnya memosisikan diri secara inklusif, terbuka pada yang lain. Yang
lain dari GKPI bukanlah lawan yang harus dimusuhi, melainkan sahabat yang mesti
dihasrati. GKPI bersahabat dengan yang lain, memosisikan diri sesama kawan sekerja
Allah, mewujudkan misi dan sifat dasar gereja di dunia ini.
Perspektif seperti itulah yang harus dikerjakan oleh GKPI untuk memandang
dirinya. Meskipun ada sejarah buruk tahun 1964 yang lalu, tetapi itu mesti disikapi
secara konstruktif, membangun visi dan arah bergereja GKPI. Kita harus berani
mengatakan bahwa sejarah bergereja bagi GKPI sesungguhnya tidak hanya bertolak
dari tahun 1964, tetapi jauh sebelum itu. Titik tolak sejarah bergereja bagi GKPI harus
ditempatkan sejak hari Pentakosta seperti dicatatkan dalam kitab Kisah Rasul.

1
2

Meskipun, sejarah sebelum 1964 adalah sesuatu yang berbeda dengan GKPI, tetapi
berkat keyakinan bergereja yang dianut GKPI seperti telah disinggung di atas, maka
GKPI harus berani menghasrati sejarah bergereja jauh sebelum GKPI lahir. Maksudnya,
apa yang ada di GKPI sekarang harus dilihat sebagai satu rangkaian panjang sejarah
bergereja.
Bila kita memiliki pandangan seperti itu, maka praktik pelayanan yang
dilaksanakan oleh GKPI pada masa kini harus dilihat sebagai satu rangkaian dengan
sejarah bergereja. Pandangan ini berlaku juga ketika memahami Liturgi GKPI. Liturgi
GKPI berada dalam satu rangkaian dengan pemahaman liturgi yang sudah ada jauh
sebelum GKPI lahir, karena praktik liturgi sudah ada dalam gereja jauh sebelum GKPI
lahir. Oleh sebab itu, kita harus berani memahami Teologi Liturgi di GKPI dengan
menggunakan perspektif yang sudah ada sepanjang lintasan sejarah bergereja.

Apa itu Liturgi?


Sejarah gereja berjalan secara bersamaan dengan liturgi. Sejak gereja mula-mula,
yaitu ketika murid-murid berkumpul bersama sebelum hari Pentakosta, mereka telah
melakukan aktivitas liturgi seperti dicatat dalam Kisah Rasul 1:12-14 (“Mereka
bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan seperti
Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus”, ayat 14). Kemudian, aktivitas itu
kembali berlanjut setelah hari Pentakosta seperti dicatat dalam Kisah 2:42, “Mereka
bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu
berkumpul untuk memecah-mecahkan roti”. Sejarah itu menunjukkan bahwa liturgi dan
gereja tidak bisa dipisahkan. Bahkan, menjadi gereja adalah menjadi persekutuan
liturgi/ ibadah (Chan 2006, 42).

Defenisi kata “Liturgi”


Karena gereja tidak terpisah dari liturgi, maka menjadi penting untuk memahami
makna kata “Liturgi” itu sendiri. Kata “Liturgi” berasal dari kata benda (noun) dalam
bahasa Yunani, leitorugia. Dalam kata kerja, leitourgia disebut dengan Leitourgein. Kata
leitourgia terdiri dari dua suku kata, ergon (noun) artinya pekerjaan dan litos
(adjective), artinya milik umat. Secara harafiah, leitourgia berarti pekerjaan umat (Adam
3

1992, 3; White 2009, 13). Dalam tradisi Yunani Kuno, kata leitourgia sering
dihubungkan dengan aktivitas umat yang melakukan pekerjaan baik, untuk kepentingan
kota atau negara (Adam 1992, 3; White 2009, 14). Pendeknya, leitourgia menjelaskan
pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang demi manfaat yang baik bagi orang lain
(White 2009, 14).
Kemudian hari, kata leitourgia diadopsi dalam tradisi Kristen, salah satunya
dalam Septuaginta (Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh
70 orang ahli Yahudi pada tahun 250-150 sM). Terjemahan Septuaginta menggunakan
kata leitourgia untuk menjelaskan aktivitas para imam yang memimpin ibadah di Bait
Suci (Adam 1992, 3). Dalam Perjanjian Baru, kata leitourgia diterjemahkan dengan
“ibadah”. Kata ini digunakan dalam Kisah Rasul 13:2, “Pada suatu hari ketika mereka
beribadah [leitourgeo] kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus…” Tetapi,
subjek kata leitorgia tidak semata-mata manusia. Bagian lain dalam Perjanjian Baru juga
menjelaskan bahwa kata leitourgia dipakai untuk menggambarkan pelayanan Yesus
Kristus sebagai pengantara. Kata leitourgia sebagai gambaran pelayanan Yesus dicatat
dalam Ibrani 8:6, “Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan [leitourgia] yang
jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang
didasarkan atas janji yang lebih tinggi”.

Makna Liturgi
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kata “Liturgi” memiliki makna ganda.
Pertama, leitourgia menjelaskan karya Allah dalam Yesus Kristus kepada manusia.
Karya itu diwujudkan melalui pelayanan pendamaian dan pembenaran Yesus Kristus
kepada manusia. Kedua, leitourgia merupakan tanggapan manusia pada pelayanan
pendamaian dan pembenaran Yesus Kristus melalui aktivitas ritus dalam gereja. Oleh
sebab itu, leitourgia yang dilakukan oleh umat adalah ingatan yang terjadi secara terus
menerus pada pendamaian dan pembenaran Allah.
Penjelasan di atas menjadi pertimbangan kuat sehingga fokus utama liturgi
adalah peringatan pada karya pembenaran Allah. Menurut pemahaman gereja-gereja
Lutheran, pembenaran Allah terjadi melalui Salib. Martin Luther menjelaskan
pembenaran Allah melalui Teologi Salib. Luther menjelaskan karya pembenaran Allah
4

di Salib melalui khotbahnya saat Jumat Agung tahun 1525. Dalam khotbahnya, Luther
mengatakan: “Anda membuang dosa-dosa anda dari diri anda sendiri kepada Kristus
ketika anda dengan teguh percaya [beriman] bahwa luka dan penderitaan-Nya adalah
dosa-dosa anda, yang harus ditanggung dan dibayar oleh-Nya” (Lull 1989, 151). Bila
liturgi adalah peringatan, maka ingatan pada Yesus yang tersalib menjadi fokus utama
dalam aktivitas dan narasi liturgi.
Berdasarkan penjelasan itu, liturgi membutuhkan logika. Hal itu dijelaskan pada
Roma 12:1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan
kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup,
yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” Frasa
“sejati” diterjemahkan dari bahasa Yunani logiken. Kata logiken berasal dari logikos.
Dalam bahasa Yunani, logikos berarti tindakan dengan alasan kuat. Penyematan kata
logiken pada kata “ibadah” menurut Roma 12:1 itu menunjukkan bahwa ibadah
membutuhkan alasan. Maksudnya, apa asalan setiap orang beribadah?
Dalam ilmu liturgi, alasan beribadah ialah relasi antara Allah dengan ciptaan
dengan menggunakan peristiwa Salib sebagai rujukan utama. Peristiwa penyaliban
Yesus bukan inisiatif manusia, tetapi Allah sendiri. Allah turun dan menyatakan Diri
bagi dunia agar kabar keselamatan dapat dialami oleh manusia dan ciptaan-Nya. Inilah
asalan beribadah, sekaligus menjadi struktur yang mendasari akitivitas ibadah. Dalam
ilmu Liturgi, Allah yang menyatakan diri ini disebut dengan struktur menurun,
katabatic (Adam 1992, 5). Oleh karena itu, ibadah adalah pengakuan pada inisiatif Allah
melalui totalitas kehadiran dan penyataan-Nya bagi dunia, melalui Allah yang turun ke
dunia melalui inkarnasi dalam Yesus Kristus (Chan 2006, 56). Totalitas kehadiran Allah
itu diwujudkan melalui penyataan-Nya yang Trinitarian (Bapa-Anak-Roh Kudus),
sehingga ibadah itu harus bersifat Trinitaris.
Maka, ibadah harus diawali oleh pengakuan pada Allah yang menyatakan diri-
Nya bagi dunia. Karena ibadah diawali oleh pengakuan pada penyataan Allah, umat
harus memberi tanggapan dan respons terhadap penyataan Allah tersebut. Dalam
Teologi Liturgi, tanggapan manusia terhadap Allah yang menyatakan dan membenarkan
itu disebut dengan struktur naik, anabatic (Adam 1992, 5). Dalam ibadah, orang percaya
5

harus menunjukkan komitmennya melalui kehidupan yang diarahkan pada kemuliaan


Allah.
Penjelasan di atas telah menunjukkan struktur dalam ibadah Kristen. Ibadah
Kristen harus menunjukkan relasi struktur turun (katabatic) dan struktur naik
(anabatic). Katabatic dan anabatic tidak boleh terpisah. Bahkan, katabatic dilanjutkan
pada anabatic, membentuk relasi yang berkesinambungan. Dengan demikian, dalam
ibadah melekat dua makna, yaitu pengakuan pada inisiatif Allah Tritunggal yang
menyatakan diri pada dunia melalui peristiwa salib, dan saat bersamaan pula,
tanggapan dan respons pada inisiatif penyataan Allah tersebut, agar manusia menyatu
dan berpartisipasi dalam karya keselamatan itu (bnd. Adam 1992, 5).

Struktur dan Elemen Liturgi


Struktur di atas menunjukkan bahwa liturgi diawali oleh Allah yang berinisiatif
menyatakan diri bagi ciptaan (katabatic). Inisiatif penyataan Allah tersebut ditanggapi
oleh manusia melalui penyembahan dalam ibadah. Struktur tersebut harus ditunjukkan
oleh elemen ibadah. Saya akan menunjukkan perwujudan struktur liturgi tersebut
melalui elemen dalam ibadah berdasarkan tradisi reformasi Martin Luther.
Bagi Luther, pada setiap perayaan ibadah, karya Allah dalam Kristus harus
ditonjolkan melalui pewartaan dan tindakan (Leaver 2017, 176). Karya Allah dalam
Kristus diwujudkan melalui pembenaran-Nya melalui Yesus yang disalibkan. Memang,
seluruh teologi Luther terpusat pada Kristus yang disalibkan. Demikian juga halnya
dengan liturgi. Memahami liturgi dalam tradisi reformasi Martin Luther, maka
pembenaran Allah melalui Kristus yang disalibkan itu menjadi fokus utama. Artinya,
6

ibadah adalah ingatan dan tanggapan terhadap inisiatif pembenaran Allah melalui
Kristus yang disalibkan.
Di awal reformasi gereja, Luther tidak memberi perhatian besar pada reformasi
liturgi. Reformasi liturgi oleh Luther baru terjadi tahun 1523 ketika Formula Missae
diterbitkan untuk pertama kali. Rentang waktu antara momentum reformasi gereja
tahun 1517 hingga 1523 menunjukkan bahwa gerakan reformasi masih menggunakan
ibadah sesuai tradisi Gereja Katolik selama enam tahun. Memang rentang waktu yang
kosong selama enam tahun dapat dipahami karena fokus utama saat itu ialah reformasi
otoritas gereja, serta penempatan iman sebagai keutamaan untuk menerima anugerah
Allah yang menyelamatkan.
Liturgi reformasi dibagi dalam dua bagian, yaitu: Liturgi Firman dan Liturgi
Sakramen. Kedua bagian tersebut dilaksanakan dalam satu peristiwa liturgi. Oleh
karena itu, dalam tradisi reformasi Martin Luther, Ekaristi (Perjamuan Kudus)
dilaksanakan dalam setiap ibadah. Tentu penyatuan Liturgi Firman dan Sakramen
dalam satu perisitwa liturgi didasari oleh tanda gereja menurut tradisi reformasi, yaitu:
firman Allah diberitakan dan Sakramen dilayankan. Namun, kali ini saya hanya
membahas elemen dalam Liturgi Firman yang tertuang dalam Formula Missae (lih.
Leaver 2017, 218):
Tabel 1
Penjelesan Elemen Liturgi Lutheran dalam Formula Missae
No Elemen Makna
1 Introit Luther menggunakan Mazmur 46 untuk mengawali liturgi.
Biasanya kitab Mazmur ini didaraskan oleh umat atau paduan
suara untuk menyambut kehadiran imam atau Pendeta dalam
ruang ibadah. Kemudian hari, sebuah nyanyian diciptakan oleh
Martin Luther berdasarkan Mazmur 46, yaitu KJ. 250, “Allahku
Benteng yang Teguh” atau BE. 117, “Jahowa Debatanta Do”
2 Kyrie eleison Secara harafiah, Kyrie Eleison dapat diterjemahkan dengan “Tuhan
Kasihani Kami”. Ada dua makna dalam Kyrie Eleison. Pertama,
Pujian dan penghormatan kepada Yesus Kristus. Kedua,
Permohonan pada belas kasih Allah. Kalau dihubungkan dengan
Teologi Salib, maka Kyrie Eleison bermakna ganda, yaitu: pujian
dan penghormatan pada inisiatif karya keselamatan Allah melalui
Yesus Kristus, sekaligus permohonan agar karya keselamatan itu
dinyatakan secara terus-menerus bagi manusia.
3 Gloria in excelsis Dalam bahasa Indonesia, Gloria in Excelsis Deo diterjemahkan
Deo dengan “Kemuliaan bagi Allah”. Dalam tradisi liturgi, elemen ini
dikenal juga dengan istilah angelic hymn yang dirujuk pada Lukas
7

No Elemen Makna
2:14. Nyanyian ini memiliki dua makna: pertama, penyambutan
dunia terhadap inkarnasi Allah melalui kelahiran Sang Anak;
kedua, proklamasi terhadap kemuliaan Allah yang menyatakan
Diri-Nya bagi dunia.
4 Collect Dalam bahasa Latin, Collect disebut juga dengan Dominus
Vobiscum. Ini adalah doa yang dibacakan atau dilantunkan oleh
umat untuk umat. Doa ini mencerminkan hubungan cinta kasih
Allah dengan umat. Beberapa gereja menerjemahkannya dengan
Doa Kolekta. Perkembangan berikutnya, Doa Kolekta akan berbeda
setiap minggu, tergantung tema Injil yang diberitakan (Luther
2017, 6)
5 Gradual Gradual atau dalam bahasa Latin, gradus, adalah himne Psalmn
yang dinyanyikan sebagai pengantar pada pembacaan Epistel
(Luther 2017, 7)
6 Epistle Biasanya, bacaan Epistel diambil dari surat-surat kiriman. Luther
tetap mempertahankan tradisi pembacaan Kitab Suci dalam gereja
yang sudah ada sejak lama (Luther 2017, 8). Jadi, elemen bukan hal
baru, melainkan warisan tradisi liturgi yang berlangsung sejak
berabad-abad sebelumnya.
7 Alleluia Kata Alleluia berasal dari bahasa Ibrani, artinya: “Puji Tuhan”.
Alleluia adalah lagu sukacita saat mendengar firman Allah (Luther
2017, 9)
8 Gospel Gospel dalam bahasa Indonesia berarti Injil. Bacaan pada elemen
ini diambil dari empat kitab Injil (Matius, Markus, Lukas, dan
Yohanes)
9 Nicene Creed Pengakuan Iman Nicea adalah pernyataan iman Kristen yang
paling mendasar dan fundamental. Pengakuan ini dihasilkan
melalui Konsili Nicea tahun 325, kemudian disempurnakan melalui
Konsili Konstantinopel tahun 381 (kemudian hasil konsili ini
disebut dengan Nicea-Konstantinopel).
Pengakuan Iman Rasuli (Symbolum Apostolicum) dihasilkan dalam
Konsili Milan tahun 390 sebagai lanjutan dari konsili sebelumnya.
Hingga saat ini, yang sering dipakai adalah Pengakuan Iman Rasuli
(Symbolum Apostolicum). Necene Creed seolah sudah hilang dari
tradisi liturgi GKPI.
10 Sermon Dalam bahasa Indonesia, kata sermon diterjemahnkan dengan
“Khotbah”. Dalam tradisi Lutheran, khotbah memiliki dua fungsi:
Pertama, hukum untuk memberitahu bagaimana seorang beriman
harus hidup; Kedua, Injil yang menyatakan bahwa pengampunan
dosa didasarkan pada kasih karunia melalui iman dalam Kristus
(Luther 2017, 10). Oleh karena itu, sifat khotbah dalam tradisi
Lutheran adalah pengajaran sehingga setiap pengkhotbah dengan
tepat membagi atau menafsirkan firman Allah.
11 The Lord’s Dalam Prayer of the Faithful, Gereja menjalankan peran imamatnya
Prayer/ Prayer of (yang bersifat komunal dan bukan individual) di dunia. Oleh
the Faithful karena itu, doa ini bukan doa untuk diri gereja itu sendiri sendiri,
tetapi doa gereja untuk dunia dan karya Gereja di dunia.
8

Elemen-elemen di atas dapat ditempatkan dalam Struktur Liturgi: katabasic-


anabasic:

Bagaimana Dengan GKPI


Pandangan GKPI tentang liturgi dapat dilihat dalam P3I GKPI pada Pasal X
tentang Ibadah, Doa, dan Persembahan. GKPI mendefenisikan ibadah sebagai
penyembahan, pemujaan, dan pengabdian kepada Tuhan (Gereja Kristen Protestan
Indonesia 2021, 41). Seperti telah disampaikan pada bagian awal bahwa GKPI berada
dalam satu rangkaian kesaksian bersama dengan persekutuan orang percaya di segala
tempat dan zaman. Oleh sebab itu, perspektif sejarah adalah langkah pertama
memahami liturgi GKPI.

Agenda GKPI 1964 dan HKBP 1904


Sejak berdiri, GKPI telah memiliki buku Tata Ibadah yang disebut dengan
Agenda. Buku tersebut pertama sekali diterbitkan pada awal berdirinya GKPI yang
berisi tata ibadah yang digunakan dalam pelayanan GKPI. Kali ini, yang akan dibahas
adalah Tata Ibadah Minggu. Bila elemen Tata Ibadah GKPI 1964 dibandingkan dengan
Tata Ibadah HKBP 1904, maka pembedanya ada dua: Pertama, penempatan Epistel dan
Hukum Taurat. Kedua, elemen Warta Jemaat. Tata Ibadah HKBP 1904 menempatkan
Warta Jemaat sesudah khotbah (Pakpahan 2014, 53). Berbeda dengan Tata Ibadah GKPI
1964 yang menempatkannya sebelum khotbah. Tabel di bawah ini menjadi pembanding
elemen Tata Ibadah HKBP 1964 dan Tata Ibadah GKPI 1964
9

Tabel 2
Perbandingan Elemen Agenda HKBP 1904 dan Agenda GKPI 1964
No Agenda HKBP 1904 Agenda GKPI 1964
1 Nyanyian Pembuka Menyanyi
2 Votum Votum
3 Introitus (berdasarkan perayaan Liturgi Introitus
Minggu tertentu)
4 Doa Menyanyi
5 Pembacaan Perintah Allah Epistel
6 Pengakuan Dosa dan Pengampunan Menyanyi
7 Nyanyian Respons Pengakuan Dosa dan Janji Tuhan Tentang
Pengampunan Dosa
8 Epistel (teks bacaan Alkitab dari surat- Menyanyi
surat Perjanjian Baru, Injil dan/atau dari
Perjanjian Lama)
9 Nyanyian bersama Hukum Tuhan
10 Pengakuan Iman Rasuli Menyanyi
11 Nyanyian Respons Pengakuan Iman Rasuli
12 Pelayanan Firman Berita Gereja
13 Warta Gereja Menyanyi
14 Persembahan Khotbah
15 Doa Persembahan Menyanyi
16 Doa Bapa Kami Persembahan
17 Berkat Doa Persembahan
18 Nyanyian Persembahan
19 Doa Penutup
20 Berkat

Perbedaan pada dua elemen itu menjadi alasan bahwa Tata Ibadah HKBP dan
Tata Ibadah GKPI memiliki akar sejarah yang sama. GKPI mengakui bahwa Tata Ibadah
1964 berakar pada tradisi tradisi uniert yang sedang bertumbuh di wilayah Kekaisaran
Prusia ketika masa awal pengutusan Missionaris ke Tanah Batak (Gereja Kristen
Protestan Indonesia, t.t., 207). HKBP juga memiliki pengakuan yang sama bahwa
liturginya berasal dari Kerajaan Prussia, Jerman, di masa kekuasaan Kaisar Frederick
William III antara tahun 1770-1840 (Pakpahan 2014, 50).
Pada abad ke-18, di Kekaisaran Prusia telah berkembang dua kekuatan utama
gerakan reformasi, yaitu: Lutheran dan Calvinis. Akibat perkembangan dua kekuatan
itu, negara menganggap bahwa negara akan kuat apabila dua tradisi Lutheran dan
Calvinis disatukan. Oleh sebab itu, diupayakanlah penyatuan tradisi ibadah Lutheran
10

dan Calvinis. Proses itu memakan waktu yang lama. Pada tahun 1822, Kaisar Frederick
William III menerbitkan Tata Ibadah dan dijadikan menjadi sebuah buku oleh sinode
gereja di Kekaisaran Prusia pada tahun 1895 (Pakpahan 2014, 50). Berarti, memahami
liturgi di GKPI harus berangkat dari tradisi uniert atau lazim disebut juga dengan Liturgi
Prusia. Berikut ini tabel yang menunjukkan elemen dalam Liturgi Prusia 1895:
Tabel 3
Perbandingan Elemen Liturgi Prusia 1895 dan Liturgi GKPI 1964
No Liturgi Prusia 1895 Liturgi GKPI 1964
1 Nyanyian Pembuka Votum
2 Teks Pembukaan dari Alkitab Introitus
3 Pengakuan Dosa, Kyrie, dan Berita Epistel
Anugerah
4 Doa Kolekta Pengakuan Dosa dan Janji Tuhan Tentang
Pengampunan Dosa
5 Pembacaan Surat Rasul (Epistel) Hukum Tuhan
6 Haleluya Pengakuan Iman Rasuli
7 Pembacaan Injil Berita Gereja
8 Pengakuan Iman Rasuli Khotbah
9 Persembahan
10 Doa Persembahan
11 Doa Penutup
12 Berkat

Elemen dalam Tata Ibadah GKPI 1964 dapat ditempatkan dalam Struktur Liturgi
seperti dijelaskan dalam gambar berikut ini:

Perbedaan yang sangat signifikan antara Liturgi Prusia 1895 dan Liturgi GKPI
1964 terletak pada elemen “Votum”. Pada Liturgi Prusia 1895 tidak ada elemen Votum.
11

Sementara pada Liturgi GKPI 1964, Votum ditempatkan pada awal ibadah. Kata
“Votum” berasal dari bahasa Latin yang berarti pengakuan. Dalam konteks liturgi, maka
seperti penjelasan sebelumnya, ibadah adalah pengakuan pada inisiatif penyataan Allah
Tritunggal bagi keselamatan dunia. Pengakuan itu dituangkan dalam susuan narasai
Votum: “Dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus”.

Liturgi Hasil Keputusan SAK XIX/2013


Amandemen terhadap Liturgi GKPI sudah dilaksanakan sebanyak dua kali
setelah tahun 1964. Pertama, melalui Keputusan SAK XVII/2007 di Ciloto, Jawa Barat.
Disana terdapa enam model Tata Ibadah. Kedua, Keputusan SAK XIX/2013 yang terdiri
dari tiga Tata Ibadah. Perbedaan paling signifikan ada pada Tata Ibadah Model A dan B.
Sementara Tata Ibadah Model C merupakan turunan dari Model A yang diperuntukkan
bagi ibadah minggu Minggu yang susunannya lebih kontemporer (Gereja Kristen
Protestan Indonesia, t.t., 207). Oleh sebab itu, saya akan lebih fokus membahas Model A
dan B.
Tata Ibadah Model A masih mempertahankan Tata Ibadah GKPI 1964. Perbedaan
hanya terletak pada akhir pembacaan Epistel. Pada Tata Ibadah GKPI 1964, pembacaan
Epistel diakhiri dengan kalimat: “Berbahagialah orang yang mendengarkan firman
Allah, yang menghayati, serta mengamalkannya”. Sementara pada Tata Ibadah 2013
Model A, Epistel diakhiri dengan pembacaan narasi yang dipetik dari Lukas 11:28,
“Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang
memeliharanya”.
Sekilas ada perbedaan makna antara Tata Ibadah GKPI 1964 dan Tata Ibadah
GKPI 2013 Model A, yaitu pada kata “melaksanakannya” dan “memeliharanya”.
Problemnya ialah, apakah pada kata “memelihara” tidak ada makna
“melaksanakannya”? Baiklah kita merujuk pada bahasa Yunani. Kata “memelihara”
diterjemahkan dari kata phullassonten, yang berasal dari kata phulasso. Phulasso
memiliki makna: menjaga, mengawal, menuruti, mematuhi, mengikuti. Kata phulasso
juga digunakan dalam Markus 10:20, “… Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa
mudaku”. Kata “kuturuti” diterjemahkan dari phulasso. Artinya, tidak ada perbedaan
makna penutup pembacaan Epistel antara Tata Ibadah GKPI 1964 dan Tata Ibadah GKPI
12

2013. Maknanya tetap sama bahwa dalam “memelihara” (menurut Tata Ibadah GKPI
2013) melekat makna menuruti dan mematuhi.
Oleh karena itu, saya hanya fokus menjelaskan Tata Ibadah GKPI 2013 Model B
pada bagian berikut, sebab Tata Ibadah GKPI 2013 Model A telah dijelaskan pada Tata
Ibadah GKPI 1964. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Tata Ibadah GKPI 2013 telah
ditegaskan bahwa Tata Ibadah GKPI 2013 Model B sebenarnya lebih tua dibanding
Model A (Gereja Kristen Protestan Indonesia, t.t., 207). Mungkin saja, kita merasa asing
dengan Tata Ibadah GKPI 2013 Model B. Perasaan asing itu terjadi karena selama ini
GKPI kurang mendalami warisan dan tradisi imannya yang berakar pada reformasi
Martin Luther. Bahkan, bila kita lebih konsekuen dengan warisan teologi Martin Luther,
maka identitas GKPI sebagai gereja terletak pada Teologi Liturgi Tata Ibadah GKPI 2013
Model B. Sepanjang penelusuran yang saya lakukan, hanya GKPI yang menggunakan
Tata Ibadah Model B di antara gereja-gereja di Sumatera Utara yang terafiliasi dengan
Lutheran World Federation (LWF).
Sekarang, saya akan membandingkan elemen dalam Tata Ibadah GKPI 2013
Model B dengan Formula Missae 1526.
Tabel 4
Perbandingan Formula Missae 1526 dan Tata Ibadah GKPI 2013 Model B

No Formula Missae 1526 Tata Ibadah GKPI 2013 Model B


1 Introit Votum
2 Kyrie eleison Pengakuan Dosa dan Janji Pengampunan
Dosa
3 Gloria in excelsis Deo Introitus
4 Collect Kyrie Eleison
5 Gradual Kemuliaan di Tempat Maha Tinggi
6 Epistle Salam dan Doa Kolekta
7 Alleluia Epistel
8 Gospel Haleluya
9 Nicene Creed Pengakuan Iman
10 Sermon Warta Jemaat
11 The Lord’s Prayer/ Prayer of the Faithful Doa Syafaat
Khotbah
Persembahan
Doa Persembahan
Nyanyian Persembahan
Doa Penutup
Doksologi
Berkat Harun
13

Melihat tabel perbandingan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa elemen


ibadah dalam Formula Missae 1526 ada dalam Tata Ibadah GKPI 2013 Model B. Bahkan,
Model B semakin menguatkan teologi reformasi Martin Luther tentang pembenaran
(justification). Teologi reformasi memahami bahwa pembenaran adalah anugerah Allah
Tritunggal melalui Yesus yang disalibkan bagi setiap orang yang menyesali dosanya
(bnd. Lutherisch/Rö misch-katholische Kommission fü r die Einheit 2013, 43).
Perhatikan elemen Tata Ibadah GKPI 2013 Model B urut nomor 2. Setelah “Votum”,
pengakuan pada penyataan Allah Tritunggal bagi dunia, dilanjutkan dengan “Pengakuan
Dosa”. Itu artinya, GKPI memahami bahwa penyataan Allah Tritunggal bagi dunia
dinyatakan melalui anugerah pengampunan-Nya bagi setiap orang yang mengaku dan
menyesali dosanya. Itulah yang ditegaskan dalam P3I GKPI bahwa ibadah adalah buah
pembebasan manusia dari dosa (Gereja Kristen Protestan Indonesia 2021, 41)
Berikutnya, saya akan menempatkan elemen-elemen dalam Tata Ibadah GKPI
2013 Model B dalam struktur liturgi:

Kesimpulan
Tujuan saya dalam materi ini hendak menunjukkan bahwa Liturgi di GKPI tidak
berdiri sendiri. Liturgi di GKPI memiliki akar sejarah di masa lalu. Tata Ibadah GKPI
1964 yang menjadi Tata Ibadah GKPI 2013 Model A, berakar pada Liturgi Prusia 1895.
Tata Ibadah inilah yang telah menjiwai praktik liturgi di GKPI sejak berdiri tahun 1964
yang lalu. Ternyata, sejak berdiri tahun 1964 yang lalu, GKPI belum mengakarkan
14

dirinya pada tradisi Liturgi yang justru disusun berdasarkan tradisi reformasi, padahal
GKPI sendiri mengakui dirinya sebagai gereja reformasi. Hal itu dibuktikan melalui
penetapan Tata Ibadah GKPI 2013 Model B yang memiliki akar kuat pada Formula
Missae 1526 pada SAK XIX 2013 yang lalu. Artinya, GKPI memakai liturgi berdasarkan
tradisi reformasi setelah 49 tahun berdiri.
Yang mau saya tekankan ialah, bila selama ini anggota atau warga GKPI selalu
bertanya apa ciri khas GKPI, maka saat ini saya mengusulkan bahwa Tata Ibadah GKPI
2013 Model B adalah identitas GKPI. Pendapat ini diperkuat oleh pemikiran yang
berkembang dalam ilmu Teologi terkini bahwa liturgi adalah theoligae prima, liturgi
atau ibadah adalah teologi yang utama. Artinya, ciri sebuah gereja terletak pada
liturginya.
Saya mengakui bahwa materi ini masih sangat singkat. Masih dibutuhkan
beberapa sesi lagi untuk menjelaskan Teologi Liturgik GKPI. Pembahasan kali ini masih
terbatas pada struktur dan elemen Liturgi GKPI belum mencakup Teologi Liturgi GKPI.
Semoga masih ada kesempatan di lain waktu untuk menjelaskannya. Tuhan menyertai
kita semua.

Daftar Acuan
Adam, Adolf. 1992. Foundations of Liturgy: An Introduction to Its History and Practice.
Collegeville, Minn: Liturgical Press.
Chan, Simon. 2006. Liturgical theology: the church as worshiping community. Downers Grove, Ill:
IVP Academic.
Gereja Kristen Protestan Indonesia. 2021. Pokok-Pokok Pemahaman Iman GKPI. III. Pematang
Siantar: Kolportase GKPI.
———. t.t. “Tata Ibadah GKPI.” Kolportase GKPI.
Leaver, Robin A. 2017. Luther’s Liturgical Music: Principles and Implications. Lutheran Quarterly
Books. Minneapolis: Fortress Press.
Lull, Timothy F. 1989. Martin Luther’s Basic Theological Writings. Minneapolis: Fortress Press.
Luther, Dr Martin. 2017. “A Festival Service for the 500th Anniversary of the Lutheran
Reformation Martin Luther College,” 24.
Lutherisch/Rö misch-katholische Kommission fü r die Einheit. 2013. From Conflict to
Communion: Lutheran-Catholic Common Commemoration of the Reformation in 2017;
Report. Leipzig: Bonifatius.
Pakpahan, Binsar Jonathan. 2014. “Analisis Kritis Liturgi Perjamuan Kudus Huria Kristen Batak
Protestan.” Indonesian Journal of Theology 2 (1): 42–64.
https://doi.org/10.46567/ijt.v2i1.79.
White, James F. 2009. Pengantar ibadah Kristen. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai