Anda di halaman 1dari 5

I.1.

Arti dan Makna Sinamot Menurut Budaya


I.1.1. Budaya Batak Karo
Hakikat pemberian mahar pada masyarakat Karo adalah mahar untuk keluarga dan kerabat yang termasuk ke
dalam rakut si telu (tiga unsur kerabat) melalui perantara pihak istri. Pemberian mahar kepada rakut si telu merupakan
suatu pemberian yang sifatnya wajib dan berlaku bagi setiap masyarakat Karo. Paradigma sosial masyarakat Karo
memandang mahar sebagai alat tukur (uang ganti) anak perempuan karena setelah perkawinan anak perempuan
tersebut akan ikut ke dalam marga suaminya. Jadi, perempuan yang menikah harus diganti dengan uang atau nominal
harga, agar tetap terjaga keseimbangan di dalam keluarga yang ditinggakannya. 1
Pada acara perayaan pernikahan adat, sebelum proses pemberian mahar kepada keluarga dan kerabat, terlebih
dahulu uang (mahar) yang diberikan dari pengantin laki-laki dimasukkan ke dalam amplop kemudian dibagikan oleh
pengantin perempuan kepada kerabat dari pihak perempuan, jumlah maharnya sesuai dengan jenis pesta yang
disepakati pada runggu maba belo selambar (peminangan). Jumlah nominal yang diterima oleh masing-masing pihak
pada umumnya sama rata. Setelah itu kedua mempelai disatukan dan diselimuti oleh Uis Gatip (kain adat karo) lalu
diiringi doa restu dari kalimbubu serta sambutan dan nasehat dari ketua adat. Pemberian mahar kepada kerabat
merupakan suatu kewajiban yang berlaku bagi semua masyarakat Karo baik yang beragama Islam atau Kristen.
Sehingga pemberian mahar kepada kerabat tidak boleh diabaikan. Apabila mahar tersebut tidak diberikan (diabaikan)
maka akan terjadi kesenjangan dan cacat dalam kekerabatan akan tetapi hal itu tidak pernah terjadi, karena pemberian
mahar kepada kerabat merupakan serangkaian tradisi atau tahapan yang harus dilakukan supaya perkawinan
dipandang sah di mata masyarakat (sosial). 2
Pendistribusian atau pemberian mahar kepada keluarga dan kerabat dilatarbelakangi oleh sistem kekerabatan
yang berlaku di masyarakat Karo yang tidak dapat terleoas dari rakut si telu. Rakut si telu merupakan alat pengikat
hubungan kekerabatan sekaligus sebagai dasar gotong royong yang harus dihormati, karena dalam setiap acara adat.
Sehingga pemberian mahar kepada rakut si telu dipandang sebagai tukur (alat tukur) dan upah atas jasa yang mereka
lakukan semenjak perempuan kecil hingga dewasa. Adapun kerabat rakut si telu yang mendapatkan mahar saat
upacara adat berlangsung ialah:
1. Orang tua yang menikah
2. Kalimbubu Singalo Ulu Emas (Paman dari pihak ayah)
3. Kalimbubu Singalo Bere-Bere (Sepupu dari ibu)
4. Kalimbubu Singalo Perbibin (Paman dari pihak ibu)
5. Anak Beru (Bibi atau saudari kandung dari ayah dan ibu)
6. Senina (Saudara-saudara kandung).3
Alasan pemberian mahar kepada rakut si telu, terdiri dari beberapa alasan yaitu:
1. Wujud kegembiraan anak perempuan yang selama ini telah diasuh oleh para kerabat tersebut
2. Karena mahar yang diberikan kepada kerabat adalah symbol anak yang hendak diambil oleh kerabat laki-laki
atau otomatis si mempelai perempuan telah masuk kepada kerabat suaminya
3. Kerabat yang tersebut di atas memiliki ha katas mahar dan juga memiliki kewajiban atas mempelai perempuan
dan biasanya mereka beramai-ramai memenuhi kebutuhan rumah tangga si mempelai perempuan
4. Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada pihak rakut si telu. 4
Meskipun semua keputusan terbingkai dari hasil musyawarah oleh semua kerabat calon pengantin, apa yang
terjadi di lapangan terkadang menimbulkan berbagai polemic meskipun hal tersebut tidak dapat diungkapkan secara
nyata, seperti pembagian mahar kepada kerabat mempelai perempuan. 5
Pada umumnya masyarakat Karo mengenal 3 jenis ritual pesta perkawinan adat Karo yang berdasarkan pada
besar kecilnya uang mahar, hal ini dimaksudkan agar memberikan peluang bagi calon mempelai laki-laki yang miskin
untuk dapat melaksanakan upacara adat tersebut. Adapun 3 jenis perkawinan dari sisi besar kecilnya batang unjuken
(uang mahar) pesta, dalam sistem perkawinan adat Karo yaitu:
a. Kerja Singuda (mahar rendah), uang mahar sebesar Rp. 466.000
b. Kerja Sintengah (mahar sedang), uang mahar sebesar Rp. 666.000
c. Kerja Sintua (mahar tertinggi), uang mahar sebesar Rp. 866.000. 6
Secara ekonomis, besar kecilnya uang mahar selaras dengan besar kecilnya pelaksanaan pesta atau kerja
sebagai contoh, jenis kerja singuda atau pesta terkecil biasanya dilaksanakan di rumah orangtua mempelai wanita,
atau tidak dilaksanakan di Jambur atau Loosd. Fakta ini menunjukkan bahwa jumlah undangan relatif kecil. Kerja
Sintengah dilaksanakan di Jambur, sedangkan Kerja Sintua dilaksanakan di Jambur atau Loosd selama 3 hari 3
malam. Tempat pesta di jambur berarti jumlah undangan relatif banyak. Akan tetapi dalam perkembangannya, saat ini
jenis kerja singuda, sintengah, dan sintua tidak lagi berdasarkan pada bentuk besar kecilnya pesta sehingga kadang
1
Tridah Bangun, Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1986), 46
2
Malem Ukur, Adat Karo, (Medan: Sirulo, 2008), 88
3
P. Tambun, Adat-Istiadat Karo, (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), 78
4
P. Tambun, Adat-Istiadat Karo, 79-80
5
P. Tambun, Adat-Istiadat Karo, 81
6
Roberto Bangun, Mengenal Orang Karo, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Bangun, 1980), 102
kala sulit membedakannya. Kerja Singuda dapat dilaksanakan di Jambur atau Loosd sedangkan Kerja Sintua tidak lagi
dilaksanakan selama 3 hari 3 malam seperti dulu. 7
Dalam prosesi pernikahan pada hari H, berapapun tukur yang sudah disepakati sebelumnya (nilai tukur
disepakati pada acara Maba Belo Selambar atau Nganting Manuk), maka tetap ada proses adat. Misalnya nilai tukur
adalah Rp. 466.000. Pada hari H pesta pernikahan, maka keluarga laki-laki dengan diantarkan oleh sangkep
nggeluhnya akan datang kepada keluarga kalimbubu (pihak perempuan) untuk menyampaikan tukur ini.8
Setelah selesai maka keluarga dari pihak laki-laki selanjutnya memberikan “ulu emas” kepada keluarga
simada darehnya. Pada saat memberikan “ulu emas” ini akan ada negosiasi yang sangat menarik. Keluarga laki-laki
dengan juru bicara sembuyaknya akan menghadap kalimbubu singalo ulu emas, dan berkata sambil meminta maaf
karena bere-berenya bukan menikah dengan anaknya. Jadi sebagai pengganti bahwa akan tetap ada keterhubungan
maka dibayarlah uang ulu emas itu.9
Pihak kalimbubu singalo ulu emas ini tidak serta merta menyetujui angka yang disodorkan oleh keluarga
pengantin laki-laki. Pihak kalimbubu akan meminta tambahan, dan pihak laki-laki akan memberikan tambahan.
Setelah itu pihak kalimbubu singalo ulu emas ini pun berkata “Kami minta tambah lagi, tetapi bukan uang. Sebab
uang itu ada batasnya, kami meminta sesuatu yang tidak terbatas dan tidak ada habis”. Menjawab permintaan yang
diberikan Kalimbubu Singalo Ulu Emas ini, maka pihak laki-laki dengan cerdiknya akan menyorongkan ke depan
kalimbubu seorang anak laki-laki dan berkata “Enda tambahna kalimbubu kami. Enda (maksudnya anak laki-laki
tadi) lanai terbeligai ergana, janah lanai banci keri asa ndigan pe. Enda ban kami penambahi tukurna”. 10.
Mengapa saat anak laki-laki ini disodorkan negosiasi dianggap sudah tuntas, sudah selesai dan tukur diterima
dengan sempurna dan perasaan senang? Karena pada saat penyodoran anak laki-laki inilah semua proses adat itu
menemukan makna sebenarnya. Hubungan akan terus terbina karena anak laki-laki ini kelak diharapkan akan menikah
dengan anak Kalimbubu simada dareh.11
I.1.2. Budaya Batak Toba
Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki
dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam
bahasa Batak Toba) dan pihak perempuan (parboru). Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu
ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga.
Sinamot menjadi dasar yang harus dipenuhi dan tidak dapat dihilangkan dalam rangkaian perkawinan adat Batak
Toba. Sehingga hal ini bisa menghambat suatu pernikahan, hanya karena tidak sesuai dengan jumlah sinamot yang
diinginkan. Akibatnya, keluarga bersikap selektif dalam hal memilihkan jodoh untuk anak-anaknya nanti. Tidak heran
ada keluarga yang lari mencari dan memilih gadis dan pria untuk anaknya dari sukubangsa yang lain hanya karena
sinamot yang tidak bisa dibayarnya. Dan pemuda atau pemudi yang mencari jodoh akan lebih memilih pasangannya
yang berasal dari sukubangsa lain untuk menghindari tradisi sinamot ini. Karena tradisi sinamot merupakan awal tata
cara dari suatu perkawinan adat Batak Toba. Pada awalnya pemberian itu bukanlah berbentuk uang tetapi berupa
benda-benda yang dianggap bermakna. Sinamot sering diberi berupa ternak yang paling dianggap mahal seperti
kerbau, sapi, kuda, dan babi. Jumlahnya tergantung kepada kesepakatan dan kemampuan dari pihak laki-laki atau
permintaan perempuan. Seiring berjalannya waktu sinamot berupa konsep dapat diberikan berupa uang. 12
Dalam Budaya Batak Toba, terdapat pertimbangan jumlah Sinamot yang akan hendak diberikan yaitu
pertama, dari pendidikan dan kemampuan oleh masing-masing mempelai akan saling dinilai oleh masing-masing
keluarga mereka. Kedua, dilihat ari status sosialnya kedua keluarga, mereka saling memandang dan mempunyai
penilaian sendiri. Ketiga, dilihat dari kedudukan yang sedang disandang masing-masing kelurga. Keempat, dilihat dari
zaman yang selalu menuntut masyarakatnya untuk mendapatkan uang yang banyak demi kelangsungan hidupnya. 13
Sinamot merupakan system yang amat penting dalam dua insan yang ingin mengarungi sebuah keluarga.
Sinamot adalah suatu tanda “penghormatan”, “bukti” dan “kesepakatam atau janji”. Sinamot harus disepakati dengan
cara diakui secara adat batak Toba. Penghormatan, bukti ditujukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. 14
Tradisi Sinamot dalam budaya batak Toba memiliki makna sebagai salah satu alat untuk mengikat hubungan yang
terjalin antara dua kelompok kekerabatan yang bersangkutan. Mereka melakukannya untuk memperkuat hubungan
diantara hubungan dalihan natolu yang suda terbentuk. Tradisi ini sudah menjadi salah satu rangkaian adat perkawinan
yang sudah disahkan dan disetujui oleh masyarakat Batak Toba itu sendiri, sehingga memperkuat integritas sosial
mereka.15
I.2. Sinamot Menurut Pandangan Agama-agama

7
Roberto Bangun, Mengenal Orang Karo, 102-103.
8
Roberto Bangun, Mengenal Orang Karo, 104.
9
Nalinta Ginting, Turi-turin Beru Rengga Kuning; Turi-turin Adat Budaya Karo, (Deli Tua: Toko Buku Kobe 1984), 77.
10
Roberto Bangun, Mengenal Orang Karo, 104-105.
11
Tridah Bangun, Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, 54
12
https://Tradisi_sinamot_dalam_budaya_adat_perkawinan_Batak_Toba
13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), …
14
Walter Lempp, Tafsiran Alkitab Kejadian 12:4-26:18, (Jakarta: BPK-GM, 1994), 311.
15
Vergouwen, J. C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 1986), 31.
I.2.1. Menurut Agama Kristen
Sinamot merupakan sebuah nilai yang berharga tetapi bukan harga. Dalam Alkitab, sinamot disebut sebagai
cinta kasih kedua pasangan yang akan mengikat mereka dalam perkawinan (1 Kor. 3:11). 16 Allah menciptakan
manusia itu semua memiliki segala kelebihan dan kekurangan. Dan yang akan menutupi segala kekurangan itu
merupakan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Di dalam Alkitab sendiri juga mengangkat tentang
pemberian sinamot. Dimana sinamot itu adalah sesuatu yang dibenarkan di dalam ajaran Kristen secara khususnya.
Seperti tokoh Alkitab yaitu yang memberikan sinamot/mahar kepada istrinya yaitu Abraham. Di mana dia
memberikan mahar itu bertujuan untuk menjalanin suatu hubungan yang baik. Pada dasarnya perkawinan yang
bahagia adalah perkawinan yang mengakui bahwa Kristus sebagai kepala rumah tangga. Tanpa disadari, sinamot yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan merupakan janji yang utuh yang dipersaksikan di depan unsur
Dalihan na Tolu, serta di hadapan Allah karena Allah yang menyatukan pasangan tersebut dan mereka sudah terikat
dengan perkawinan.17 Dalam Perjanjian Lama, sinamot dipakai dengan menggunakan kata mohar atau mahar. Kata
mohar muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama dan selalu dalam teks-teks yang tua (Kej. 34:12, Kel. 22:16, 1 Sam.
18:25). Itu juga muncul di teks Ugarit, mahar juga dikenal diantara orang-orang Arab di Siriah, Palestina, dan
Trasnyordania, yang menggunakan kata “mahr” atau “mahar”18. Dalam Perjanjian Baru bukan dengan perhiasan
emas dan unta, bukan juga dengan memperhambakan diri, akan tetapi makna pernikahanlah (gamos-perkawinan) yang
menjadi sinamotnya.19 Sinamot bukanlah persoalan untung rugi tetapi persoalan cinta kasih yang bertujuan untuk
membentuk suatu keluarga yang damai sejahtera karena didasari oleh cinta kasih, sehingga sangat sulit untuk bercerai
karena Allah yang menyatukan mereka di dalam Kasih Allah (Bdg. Mat. 19:6). Ada dua fakta yang menyatakan
bahwa:20
1. Allah yang menyatukan atau mengikat dalam pernikahan berdasarkan cinta kasih yang
setia antara seorang suami dan seorang Istri (Ef. 5:22-25).
2. Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mat. 19:6).
Dalam hal ini, pernikahan sebagai ikatan seumur hidup dan hanya kematianlah yang dapat memisahkan.
Sehingga dalam perjanjian baru kata yang dipakai adalah janji (sumpah) bukan sinamot sehingga perkawinan itu
menjadi tanggungjawab mereka kepada Allah. Oleh karena itu mereka harus saling mengasihi karena mereka sudah
satu daging.21
I.2.2. Menurut Agama Islam
Mahar termasuk keutamaan agama islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan
memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan dengan ikhlas. Mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Jika istri telah
menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima
dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu atau takut, maka tidak halal
menerimanya. Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat yaitu Harga Berharga. Tidak
sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi
bernilai tetap sah disebut mahar. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab
artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil Ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya,
atau tidak disebutkan jenisnya. 22 Mahar adalah simbol dari kesetiaan dan penghargaan dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan. Oleh karena itu, Islam melarang mahar yang ditetapkan berlebihan. Sebab, simbolitas itu
tercapai dengan apa yang mudah didapatkan.23
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula maksimum dari mas kawin atau mahar. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai
kemampuan untuk memberi mas kawin atau mahar yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya,
orang yang miskin ada yang hamper tidak mampu memberikannya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan
menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah
untuk menetapkan jumlahnya.24 Makna dari Mahar tersebut adalah Menunjukkan kemuliaan kaum perempuan.

16
Norman Geisler, Etika Kristen (Pilihan dan Isu Kontemporer), (Malang: LETERATUR SAAT, 2010), 357.
17
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil, (Jakarta: BPK-GM, 1992), 54.
18
E. Lipinski, Theological Dictionary Of The Old Testament, (United Stages: Grand Grapid, Cambrige) 1983-1984.
19
Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung: Ink Media, 2006), 7.
20
J. J. De Heer, Tafsran Alkitab Injil Matius 1:22, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 375.
21
Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk Hidup Sehari-hari Bagi Warga Gereja), (Pematang Siantar:L-SAPA STT
HKBP, 2007), 58.
22
Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh Jilid 3, (Jakarta: Depag RI, 1985), 83-84.
23
Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Toha Putra, Cet I,), 84.
24
Kamal Muhktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 81.
Perempuan lah yang dicari, bukan mencari dan yang mencarinya adalah laki-laki. Untuk menampakkan cinta dan
kasih sayang seorang suami kepada istrinya sehingga pemberian harta itu sebagai nihlah dari padanya, yakni sebagai
pemberian, hadiah, dan hibah bukan sebagai pembayaran harga sang perempuan, Sebagai perlambang kesungguhan.
Pemberian harta ini menunjukkan bahwa laki-laki bersungguh-sungguh dalam mencenderungi perempuan,
bersungguh-sungguh dalam berhubungan dengannya. Bahwa Islam meletakkan tanggung jawab keluarga di tangan
laki-laki (suami) karena dalam kemampuan fitrahnya dalam mengendalikan emosi (perasaan) lebih besar dibanding
kaum perempuan. Laki-laki lebih mampu mengatur kehidupan bersama ini oleh karena itu wajarlah jika laki-laki yang
membayar mahar karena ia memperolah hak seperti itu, dan disisi lain ia akan lebih bertanggung jawab serta tidak
semena-mena menghancurkan rumah tangga hanya karena masalah sepele. 25
I.2.3. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri
dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan,
perkawinan. Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu:
Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa saksi (upacara natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan),
dan Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya). Manusa saksi
diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan,Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta
Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-
kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah
“mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum. Jenis Banten yang Digunakan
Banten Pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari :Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikatannya telur itik
yang direbus, tipat kelanan, sesayut pengambeyan, penyeneng, tulung, sanggah urip, pemugbug, (tumpeng kecil 5
buah dialasi dengan kulit sesayut, raka-raka dan lauk-pauk), untek 7 buah (dialasi dengan taledan dilengkapi dengan
raka-raka dan lauk-pauk), solasan 22 tanding, penek warna 5 dialasi daun telunjungan ikannya olahan ayam brumbun,
dan kulit dari ayam tersebut ditaruh diatasnya dilengkapi kewangen. 26 Agama Hindu memandang perkawinan sebagai
suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya, apabila mereka sudah meningga dunia. Justru, perkawinan dalam
agama Hindu dipandang sebagai suatu Dharma (kewajiban) yang bertujuan untuk memperoleh anak sebagai jalan
untuk menebus hutang . Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra dijelaskan bahwa perkawinan bersifat religius (sacral)
dan hukumnya wajib. Dihubungkan dengan kewajiban seseorang agar mempunyai keturunan untuk menebus segala
dosanya dan karena itu, apabila seorang umat Hindu tidak melaksanakan wiwaha maka ia tidak akan mendapatkan doa
apabila ia sudah meninggal.27
I.3. Implementasinya Terhadap Kehidupan umat beragama Saat ini
Tradisi Sinamot (Mahar Perkawinan) mempunyai makna sebagai salah satu alat untuk mengikat hubungan
yang terjalin antara dua kelompok kekerabatan yang bersangkutan. Mereka melakukannya untuk memperkuat
hubungan diantara hubungan Dalihan na Tolu yang sudah terbentuk. Tradisi ini sudah menjadi salah satu rangkaian
adat perkawinan yang sudah disahkan dan disetujui oleh masyarakat Batak Toba itu sendiri, sehingga memperkuat
integritas sosial mereka.28 Sinamot merupakan sebuah nilai yang berharga tetapi bukan harga. Dalam Alkitab, sinamot
disebut sebagai cinta kasih kedua pasangan yang akan mengikat mereka dalam perkawinan (1 Kor. 3:11). 29 Allah
menciptakan manusia itu semua memiliki segala kelebihan dan kekurangan. Dan yang akan menutupi segala
kekurangan itu merupakan kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Di dalam Alkitab sendiri juga mengangkat
tentang pemberian sinamot. Dimana sinamot itu adalah sesuatu yang dibenarkan di dalam ajaran Kristen secara
khususnya. Seperti tokoh Alkitab yaitu yang memberikan sinamot/ mahar kepada istrinya yaitu Abraham.
Dalam Islam mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai
pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat
Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-
injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak
dianggap sebagai barang yang diperjual belikan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta bendanya sendiri
atau walinya pun dengan semena- mena boleh menghabiskan hak-hak kekayaannya. 30 Dari hal ini penyeminar melihat
bahwa sinamot (mahar dalam perkawinan) adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam agama. Karena tidak ada agama
yang melarang adanya sinamot karena agama dan budaya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Sinamot ini
sendiri bukan hal yang salah untuk diterapkan dan tidak ada larangan dalam agama-agama. Pemahaman yang salah
tentang sinamot itulah yang membuat kedudukan sinamot menjadi salah.
II. Analisa Penyeminar

25
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), 478.
26
http://igedeaguskesumawijaya.blogspot.com, diakses pada 25 September 2020 pukul 14:30 Wib
27
Departmen agama RI, (Pedoman,Penyuluhan Dan Motivasi KKB Menurut Agama Hindu: Jakarta 1983), 11.
28
Vergouwen, J. C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 1986), …
29
Norman Geisler, Etika Kristen (Pilihan dan Isu Kontemporer), (Malang: LETERATUR SAAT, 2010), 357.
30
Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Cet 1. (Jakarta: Pena Pundi Aksara 2006), 40.
Dari hal-hal yang dipaparkan di atas penyeminar dapat menganalisa bahwa setiap budaya yang ada di
Indonesia memiliki keunikan dan pemahaman tersendiri dalam menyikapi budayanya. Dengan keberagaman budaya
yang ada di Indonesia alangkah baiknya manusia sebagai pemelihara yang diberikan tanggung jawab melihat bahwa
budaya adalah sesuatu yang harus dilestarikan dan dihindari dari sifat-sifat sinkritisme. Budaya menjadi suatu hal
yang tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan manusia. Untuk itulah dibutuhkan sikap saling menghargai dan
melestarikan setiap budaya dengan tidak meninggikan budayanya sendiri contohnya budaya mengenai hal sinamot
atau mahar dalam pernikahan. Setiap budaya memiliki arti dan makna yang berbeda-beda tetapi menjadi suatu tujuan
yang sama yaitu menuju ke proses pernikahan. Baik dalam budaya Batak Toba dan Karo, sinamot atau mahar menjadi
hal yang utama dilakukan sebelum melakukan pernikahan. Sinamot merupakan kegiatan adat yang membicarakan
tentang mahar atau suatu penghormatan, penghargaan kepada perempuan. Hal ini adalah menjadi suatu kewajiban
yang harus dilakukan oleh pihak dari laki-laki. Mahar merupakan sesuatu yang penting dalam jalinan pernikahan,
mahar sebagai pemberian calon suami kepada calon istri sebagai kesungguhan dan cerminan kasih sayang calon suami
terhadap calon istrinya yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, dengan penuh kerelaan hati
oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai tulang punggung keluarga dan rasa tanggung jawab sebagai seorang
suami. Dalam hal ini agama juga memberi pandangan bahwa mahar atau sinamot diperbolehkan tetapi jangan menjadi
suatu penghambat dalam melakukan suatu pernikahan.
Baik agama maupun budaya pada dasarnya memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi
kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaan dan menciptakan suatu tatanan masyarakat yang
teratur dan terarah. Walaupun agama dan budaya saling berhubungan erat sebab keduanya memiliki keterkaitan, akan
tetapi agama dan budaya harus dapat dibedakan. Perbedaan yang paling signifikan yaitu agama merupakan suatu
ajaran yang mengatur kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan dan sesama yang berasal dari Tuhan yang dibawa
oleh manusia. Sedangkan budaya adalah suatu tatanan masyarakat yang diatur atau dibentuk oleh manusia itu sendiri
demi kelangsungan bersama.

Anda mungkin juga menyukai