Anda di halaman 1dari 17

Pendidikan Keluarga:

HIDUP BERSAMA DALAM KELUARGA


Haruskah dalam Pola Ketundukan ?
(Tafsir terhadap Kolose 3:18 – 4:1)

Pra-paham
Kehidupan yang diwarnai dengan sistem patriarkhi memunculkan sebuah pola hubungan
ketundukan antara lelaki dengan perempuan. Perempuan harus tunduk kepada lelaki, karena
sistem patriarkhi mengandaikan adanya pihak lemah (dalam hal ini diwakili oleh kaum
perempuan) yang harus berhadapan langsung dengan pihak yang kuat (dalam hal ini menunjuk
pada kaum lelaki). Bukan hanya itu saja, melalui sistem ini diatur juga hubungan antara orang
tua – anak dan tuan – hamba, dimana kedudukan orang tua dan tuan dikelompokkan ke dalam
golongan yang kuat, berkuasa dan menentukan sedangkan kedudukan anak dan hamba
dimasukkan dalam kelompok yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki inisiatif dan selalu harus
tunduk kepada pihak yang kuat. Bila dicermati dengan baik, melalui sistem patriarkhi ini tercipta
sebuah bentuk “penjajahan” yang disepakati bersama oleh masyarakat, dimana si penjajah (kaum
lelaki, tuan dan orang tua/Bapak) dengan leluasa menjajah kaum yang “dilemahkan” oleh sistem
(yaitu: istri/perempuan, anak dan hamba).
Bila ingin digambarkan dengan ringkas, mungkin pola hubungan yang disebabkan oleh
sistem patriarkhi adalah sebagai berikut :

Suami/Ayah/Tuan

Istri Anak Budak

Dari bagan di atas tampak adanya ketimpangan hubungan yang berlaku, baik dalam keluarga maupun
dalam hubungan kerja, yang berjalan dalam pola hubungan Tuan – Hamba, kuat – lemah, berkuasa – tidak
berkuasa.
Dalam Kol. 3 : 18 – 4 : 1, pola hubungan di atas “seolah-olah” dipertahankan oleh redaktor kitab
Kolose ini. Dalam penggunaan permainan bahasa (khususnya bahasa Indonesia), tampak sekali adanya
upaya untuk melestarikan sistem patriarkhi (bandingkan dengan kata : Mengasihi (kuat) – tunduk (lemah);
Jangan sakiti hati (kuat) – taat (lemah); adil/jujur (kuat) – taat (lemah), yang semuanya dipakai untuk
menggambarkan hubungan dalam keluarga dan pekerjaan). Pertanyaan yang timbul: Benarkah penulis
kitab Kolose ingin melestarikan sistem patriarkhi dalam kehidupan berkeluarga dan pekerjaan ?

II. Situasi Kota Kolose


2

Kolose terletak di Wilayah Asia yang pada saat itu berada dalam kekuasaan Romawi (tepatnya
berada di bagian Barat Turki bagian Asia). Letak Kolose berkisar 15 km ke arah timur di lembah
Likus dari Laodikia, di jalan raya dari Efesus ke timur. Semula Kolose merupakan pangkal jalan
bercabang dari Sardis ke Pergamus, yang menjadi kota penting pada saat Kerajaan Sardis dan
kemudian jaman kerajaan Pergamus.
Penduduk Kolose umumnya terdiri dari orang-orang Frigia (Kol. 1:27), yang memiliki
latar belakang religius yang cukup mistis. Dan karena Kolose merupakan kota antara dalam jalur
perdagangan Asia dan Roma, maka perambahan ajaran keagamaan yang bersifat mistis
ditambah dengan ajaran-ajaran filsafat Yunani dapat berkembang dengan pesatnya. Hal ini
mengakibatkan munculnya heterogenitas agama dan pengajaran agama di Kolose. Jika ditilik
dari perkembangan ajaran agama mistis dan filsafat Yunani, maka kita dapat melihat bahwa
agama yang berkembang di Kolose pun pasti mendapatkan pengaruh; termasuk dalam hal ini
adalah Kristen. Dengan demikian, kehidupan kekristenan telah mendapatkan pengaruh secara
langsung dari ajaran mistis dan filsafat, sehingga kehidupan kekristenan menjadi tidak “murni”
lagi karena ajaran-ajaran mistis dan filsafat ini sangat mempengaruhi kehidupan berjemaat di
Kolose. Kehidupan Kristen yang telah diwarnai oleh ajaran-ajaran mistis dan filsafat inilah yang
dilawan secara serius oleh penulis kitab Kolose .

III. Makna kalimat “evn kuri,w (en kurio =Di Dalam Tuhan)” dalam Kitab Kolose
Dalam melawan ajaran para bidat di Kolose, penulis kitab Kolose selalu memberi tekanan yang
khusus pada pemakaian kalimat evn kuri,w (di dalam Tuhan). Penggunaan kalimat evn
kuri,w ini bukanlah sekadar kalimat yang ditempelkan begitu saja oleh penulis kitab Kolose,
melainkan si penulis kitab Kolose ini hendak menekankan bahwa setiap orang yang telah berada
di dalam Tuhan (evn kuri,w) adalah orang yang beriman kepada Tuhan dan selalu
meletakkan segala harapannya di dalam Tuhan, yang sekaligus merupakan orang yang
meletakkan hidupnya di dalam dominasi Tuhan, secarah utuh.
Kalimat evn kuri,w ini merupakan kalimat khas yang dipakai oleh Paulus (bdk. 2
Kor. 5:17 dan Gal. 2:20) untuk menunjukkan kehidupan baru yang telah dialami oleh setiap
orang yang telah menyerahkan hidupnya di dalam Kristus (karena kalimat evn kuri,w sejajar
pengertiannya dan sekaligus menunjuk kalimat evn Kristw|/). Kalimat ini juga hendak
menegaskan bahwa kehidupan di dalam Tuhan/Kristus adalah kehidupan yang telah
diperdamaikan oleh Tuhan, sehingga setiap orang yang hidup di dalam Tuhan adalah orang yang
telah mengalami keselamatan secara penuh karena pendamaian Tuhan/Kristus.
Jika penulis kitab Kolose menekankan bahwa orang Kristen Kolose adalah orang-orang
yang hidup di dalam Tuhan, hal ini menunjukkan bahwa mereka (jemaat Kolose) adalah orang-
orang yang telah dibangkitkan bersama dengan Kristus (lih. Kol. 1: 1-3). Hal ini mau
menegaskan bahwa jemaat Kolose adalah jemaat yang telah diperbaharui dan telah mengalami
hidup baru, dimana kehidupan dan norma kehidupan mereka (jemaat Kolose) harus dipahami
3

sebagai kehidupan dan norma kehidupan yang telah melekat di dalam Kristus. Penegasan ini
menandai babak baru dalam kehidupan orang Kristen di Kolose yang dipandang sebagai manusia
“ciptaan baru” di dalam Tuhan. Penggunaan kalimat “ciptaan baru” ini memiliki pengertian
bahwa mereka (jemaat Kolose) adalah sekelompok manusia yang tetap memiliki wujud manusia
lama tetapi keberadaan/eksistensi hidupnya adalah baru, yaitu eksistensi hidup yang melekat
dan selalu bersama dengan Tuhan/Kristus.
Kehidupan baru/ciptaan baru yang dikenakan oleh jemaat Kolose sekaligus dipakai oleh
penulis kitab Kolose untuk menunjukkan bahwa mereka (jemaat Kolose) adalah orang-orang
yang bebas dari segala kuasa-kuasa dunia (stoicei/a tou/ ko,smou = stoikhea tou
kosmou) karena Kristus telah mengalahkan segala kuasa-kuasa dunia (hal ini ditampakkan
melalui kalimat “evn auvtw|/ evkti,sqh ta. pa,nta” (en auto ektisthe ta panta =
segala sesuatu telah diciptakan di dalam DIA/Tuhan, Kol. 1:16). Dengan demikian mereka
(jemaat Kolose) telah mengalami kepenuhan di dalam Kristus (kai, evste. evn auvtw|/
peplhrwme,noi (kai este en auto pepleromenoi – Kol. 2:10). Melalui kepenuhan di dalam
Kristus, maka jemaat Kolose adalah orang-orang yang tidak laik lagi untuk menundukkan diri
mereka di bawah kuasa-kuasa dunia (bdk. Kol. 2:20).

IV. Tempat Kol. 3:18 – 4:1 dalam Kitab Kolose


Banyak penafsir mencoba membagi kitab Kolose dalam beberapa bagian. Di bawah ini penulis akan
menghadirkan pembagian kitab Kolose menurut 2 orang penafsir, kemudian penulis akan
membandingkannya satu sama lain. Dalam bagian akhir dari sub judul ini, penulis akan mencoba
mengadakan pembagian sendiri kitab Kolose berdasarkan pertimbangan dari beberapa pendapat para ahli.
Willi Marxseni membagi surat Kolose dalam beberapa bagian, yaitu :
I. Kedudukan (1:1 – 2:5)
a. 1:1-2 : Pembukaan
1:3-8 : Ucapan Syukur
1:9-11 : Doa Syafaat
b. 1:12-20 : Ringkasan Kristologi dalam corak Nyanyian
c. 1:21-23 : Penerapan tentang Kristologi
d. 1:24 – 2:5 : Jabatan Kerasulan
II. Pembelaan Terhadap Ajaran Sesat (2:6-23)
a. 2:6-15 : Peringatan terhadap penyesatan ajaran Filsafat
b. 2:16-23 : Penerapan praktis terhadap jemaat dari 2:6-15
III. Peringatan (3:1 – 4:6)
a. 3:1-17 : Penerapan praktis lanjutan
b. 3:18 – 4:1 : Daftar tugas anggota Rumah Tangga
c. 4:2-6 : Doa dan tingkah laku yang benar
IV. Kesimpulan dan Salam (4:7-18)

Dalam pembagian ini, ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan, yaitu : pertama, Marxsen
menghentikan doa syafaat pada ayat 11 dan kemudian menempatkan ayat 12 sebagai bagian dari
nyanyian Kristologi. Menurut pendapat penulis, ayat 12 masih menjadi bagian dari ucapan doa,
sedangkan nyanyian Kristologi baru dimulai pada ayat 13. Oleh sebab itu, pembagian ini kurang tepat.
4

Kedua, mengenai sub-judul dalam I.d : Jabatan kerasulan. Kalau kita perhatikan, sebenarnya yang
dibicarakan dalam teks 1:24 – 2:5 bukan berbicara tentang jabatan kerasulan, melainkan lebih menekankan
mengenai aspek pelayanan dan penderitaan bagi seorang pemberita Injil. Oleh sebab itu, penulis kurang
setuju terhadap sub-judul ini. Ketiga, Marxsen memilah 2:16-23 dengan 3:1-17 meskipun memiliki
pemberitaan yang sama mengenai penerapan praktis. Menurut penulis, lebih baik kedua bagian ini
digabungkan saja dengan judul baru, yaitu: TIndakan/Sikap praktis Jemaat dalam menghadapi ajaran
bidat. Terakhir (keempat), Marxsen menempatkan 3:18-4:1 dalam sub-judul Peringatan. Penulis melihat
hal ini kurang tepat, karena makna yang terkandung dalam 3:18 - 4:1 bukanlah tentang peringatan,
melainkan tentang peraturan etis dalam membangun nisbah keluarga.
Penafsir lain, yaitu G.A. Buttrickii, memberikan pembagian yang lain terhadap kitab Kolose, yaitu :
I. Ucapan Salam (1:1-2)
II. Tentang Injil yang Benar (1:3 – 2:5)
- 1:3-12 : Doa bagi gereja
- 1:13-23 : Keutamaan Kristus
- 1:24 - 2:5 : Pelayanan dan Otoritas Paulus
III. Perlawanan ajaran Kekristen terhadap ajaran Bidat di Kolose (2:6 – 3:4)
IV. Tata Cara Kehidupan Kristen (3:5 – 4:6)
- 3:5-17 : Etika Umum
- 3:18 –4:1 : Kewajiban dan Peraturan Rumah Tangga
- 4:2-6 : Nasihat untuk berdoa
V. Berita Personal (4:7-17)
VI. Salam Penutup (4:18)

Mencoba melihat pandangan Buttrick secara kritis, kita akan menemukan beberapa pertanyaan
mengenai pembagian yang dilakukannya. Pertama, Buttrick menempatkan bagian II dengan sub-judul
Injil Yang Benar. Menurut henat penulis, bagian ini tidak berbicara tentang Injil yang benar, melainkan
berbicara doa ucapan syukur yang disambung dengan upaya untuk memperkenalkan Kristus dan diakhiri
oleh pemahaman mengenai pelayanan dalam penderitaan. Oleh sebab itu, penulis menolak pembagian
seperti ini. Kedua, Buttrick menempatkan 2:6 - 3:4 sebagai bentuk perlawanan terhadap ajaran Bidat,
padahal, menurut penulis, perlawanan tersebut berakhir pada 2:23 dan 3:1 sudah dapat digabungkan dengan
Tata cara Kehidupan Kristen. Ketiga, Buttrick melihat 4:7-17 sebagai berita personal. Namun bila kita
teliti, sebenarnya uraian itu tidak hanya ditujukan secara personal melainkan ditujukan kepada jemaat secara
luas (meskipun memunculkan nama-nama pribadi).
Berdasarkan pertimbangan dan kritik di atas, maka penulis memberanikan diri untuk mengadakan
pembagian kitab Kolose berdasarkan apa yang telah penulis pahami, yaitu :
I. Pendahuluan
1:1-2 : Ucapan Salam
1:3-12 : Ucapan Syukur dan Doa
II. Keutamaan dan Nyanyian tentang Kristus (1:13- 23)
III. Pelayanan dalam Penderitaan Pemberita Injil (1:24 – 2:5)
IV. Hidup Di Dalam Kristus dalam Perlawanan terhadap Ajaran Bidat (2:6-23)
2:2-7 : Hidup di dalam Kristus
2:8-23 : Melawan ajaran bidat
V. Tindakan Praktis sebagai Jemaat Kristus (3:1-17)
VI. Kehidupan Etis Kristiani (3:18 – 4:6)
5

3:18 – 4:1 : Kehidupan Etis Rumah Tangga Kristen


4:2-6 : Nasehat hidup bertekun dalam doa
VII Salam Penutup kepada Jemaat (4:7-17)

Melalui pembagian ini, kita dapat menentukan bahwa tempat Kol. 3:18 – 4:1 berada
dalam kumpulan nasehat etis kehidupan Kristen (yang senada dengan formulasi berbeda pun
diungkapkan oleh Marxsen dan Buttrick). Berangkat dari pemahaman ini, maka kita akan
melangkah lebih jauh untuk melihat secara khusus Kol. 3:18 – 4:1 dan kemudian
menafsirkannya.

V. Kol. 3:18 – 4:1 dan Permasalahannya

5.1. Pandangan mengenai Asal-Usul Peraturan Kerumahtanggaan

Banyak penafsir sepakat untuk mengatakan bahwa Kol. 3:18 – 4:1 bukanlah ajaran khas Kristen melainkan
bentuk pengadopsian ajaran Yudaisme-Helenis. Meskipun memiliki kesamaan pandangan, tetapi ada
beberapa perbedaan terhadap pendapat para ahli mengenai hakikat dari Kol. 3:18 - 4:1, yaitu :
1. Fiorenzaiii dan Buttrickiv berpendapat bahwa aturan kerumahtanggaan dalam Kolose bukanlah
aturan khas Kristiani (bukan asli Paulus), melainkan diadopsi dari pemikiran teologis-filsafat
Yunani-Romawi atau Yahudi-Helenis yang kemudian diperhalus dengan ungkapan Kristiani
yaitu melalui penambahan ungkapan “di dalam Tuhan”. Dengan demikian, Fiorenza dan
Buttrick melihat bahwa penambahan ungkapan “di dalam Tuhan” hanyalah berfungsi untuk
mengkristenkan hasil pemikiran Yudaisme – Helenistik.
2. Lohsev dan Lightfootvi, berpendapat bahwa penambahan ungkapan “di dalam Tuhan” bukan
hanya sekadar unsur resmi yang hendak mengkristenkan pemikiran Yudaisme - Helenis,
melainkan ungkapan “di dalam Tuhan” ini sangat mewarnai seluruh kehidupan alur
pemikiran kitab Kolose, termasuk dalam aturan kerumahtanggaan seperti yang ada dalam
3:18 – 4:1. Oleh sebab itu seluruh kehidupan yang telah berada di dalam Kristus (seperti
yang diungkapkan dalam kitab Kolose) harus di arahkan kepada Kristus. Hal ini dikarenakan
cinta antara suami dan istri yang dipahami dalam ajaran kekristenan adalah cinta sejati yang
berkaitan erat dengan keberadaan LOGOS itu sendiri, sehingga cinta dalam keluarga selalu
digambarkan dengan Agape.
3. Di samping itu ada juga beberapa ahli yang mengungkapkan pandangan yang berbeda
dengan pandangan di atas, yang memandang bahwa aturan kerumahtanggaan dalam Kolose
memang bukan berasal dari tradisi Kristen yang murni melainkan merupakan ajaran yang
sudah ada sejak kekristenan mula-mula dan memiliki beberapa ciri, antara lain:vii
 W. Lilie mengatakan bahwa peraturan kerumahtanggaan ini tidak hanya terbatas pada anggota
rumah tangga saja, tetapi juga harus dipandang sebagai sebuah prinsip dalam menciptakan
hubungan yang bersifat timbal balik, oleh sebab itu Lilie memandang bahwa Kol. 3: 18 – 4:1
sejajar dengan Ef. 5:21 – 6:9 dan 1 Petr. 3:1-7) sebagai peraturan kerumahtanggaan juga,
6

 J. Sampley melihat bahwa aturan ini terbatas bagi anggota rumah tangga tersebut, tetapi bukan
dalam masalah yang menyangkut hubungan timbal balik, oleh sebab itu ia memandang bahwa Kol.
3:18 – 4:1 keberadaannya sejajar dengan Ef. 5:21 – 6:9, 1 Petr. 2:17 – 3:9, 1 Tim. 2:8-15; 6:1-10,
dan Titus 2:1-10.
 Sedangkan M. Dibelius memandang bahwa peraturan kerumahtanggaan ini adalah bentuk dari
nasehat untuk selalu saling menundukkan diri satu sama lain, oleh sebab itu ia memandang bahwa
Kol. 3:18 – 4:1 sejajar dengan Roma 13:1-7 dam Titus 3: 1 dst., dan 1 Petr. 2: 13-17,
 Sedangkan J. Crouch memandang bahwa peraturan kerumahtanggaan ini juga dimaksudkan
sebagai peraturan yang berlaku bagi kehidupan berjemaat/di gereja, sehingga bagi Crouch
peraturan ini sangat dekat dengan berita yang diungkapkan oleh Surat-surat Pastoral.

Dalam hal ini, penulis setuju dengan pandangan yang kedua dan ketiga (khususnya
pandangan M. Dibelius), karena bila kita teliti keseluruhan kitab Kolose kita akan mendapatkan
kesan yang mendalam tentang penggunaan kata “di dalam Tuhan” sebagai sebuah nasehat untuk
selalu tunduk kepada Kristus, karena Kristus dipandang sebagai “yang Terutama” dalam
kehidupan jemaat. Oleh sebab itu (sesuai dengan pendapat M. Dibelius) melalui peraturan dan
nasehat ini setiap anggota keluarga harus menundukkan dirinya kepada anggota keluarga yang
lain. Dengan demikian, kalimat “di dalam Tuhan” bukanlah ungkapan yang sekadar
ditempelkan begitu saja (seperti yang diungkapkan oleh Fiorenza dan Buttrick), melainkan
ungkapan yang memiliki makna untuk saling menundukkan diri satu sama lain sebagai tanda
ketundukan mereka kepada Tuhan, oleh karena itu kalimat “di dalam Tuhan” ditempatkan
sebagai berita yang mewarnai seluruh kehidupan jemaat Kolose.
Dan seperti yang telah penulis ungkapkan di atas (bagian III), kalimat “di dalam Tuhan”
merupakan petunjuk umum dari tradisi Paulinis yang hendak menunjukkan pola kehidupan
baru/ciptaan baru yang telah dialami oleh setiap orang yang hidup di dalam Kristus. Dengan
demikian kita bisa pahami sekarang, bahwa peraturan kerumahtanggaan sengaja dicantumkan
oleh si penulis Kolose dalam terang kehidupan yang telah diperbaharui, dengan tujuan agar
kehidupan rumah tangga Kristen dapat berjalan di dalam ketundukan satu sama lain, sebagai
wujud nyata dari ketundukan anggota keluarga kepada Kristus (untuk lebih lengkapnya, silakan
melihat tafsir di bawah).
Di sisi lain, kita juga mendapatkan informasi (melalui pandangan yang ke-3 di atas)
bahwa aturan kerumahtanggaan bukan hanya merupakan pengaruh dari ajaran Yudaisme –
Hellenis, melainkan hal ini juga telah dipakai secara umum dan menjadi ciri khas bagi gereja-
gereja awal sebagai tata cara kehidupan jemaat, untuk saling melayani satu sama lain (dengan
jalan menundukkan diri dan memandang yang lain lebih penting dari dirinya sendiri) sebagai
bentuk ketundukan jemaat kepada Tuhan/Kristus (hal ini diungkapkan oleh J. Crouch).
7

5.2. Kol. 3:18 – 4:1 dalam Perbandingannya dengan Ef. 5:22 – 6:9 dan 1 Petr. 2:18 – 3:7

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang mengatakan bahwa Kol. 3:18 – 4:1 adalah sejajar
dan memiliki kesamaan sumber dengan Ef. 5:22 – 6:9 dan 1 Petr. 2:18 – 3:7, karena ketiga
perikop ini berbicara tentang aturan kerumahtanggan. Namun kita jangan terburu-buru untuk
menyamakan ketiga perikop di atas, untuk itu perlu kita membandingkannya satu sama lain. Dan
untuk melihat perbandingan antara perikop di atas, penulis akan menghadirkan secara
keseluruhan ayat-ayat yang kelihatannya memiliki kesamaan satu sama lain :

Perihal Kolose 3:18 – 4:1 Efesus 5: 22 – 6:9 1 Petrus 2:18 – 3:7


5: 22-24. 3: 1-6
Hai istri tunduklah kepada ... hai istri-istri, tunduklah kepada
8: 18. suamimu seperti kepada suamimu, supaya jika ada di antara
Hai istri-istri, tunduklah Tuhan, karena suami adalah mereka yang tidak taat kepada
Istri kepada suamimu, sebagai- kepala istri sama seperti Firman, mereka juga tanpa
mana seharusnya kepada Kristus adalah kepala perkataan dimenangkan oleh
Tuhan jemaat ... (sehingga) istri harus kelakukan istrinya ... sama seperti
tunduk kepada suami dalam Sara taat kepada Abraham dan
segala hal. menamai dirinya tuan ...
5: 25-33.
Hai suami, kasihilah istrimu
sebagaimana Kristus telah
3: 7.
mengasihi jemaat dan telah
... hai suami-suami, hiduplah
3: 19. menyerahkan diriNya
bijaksana dengan istrimu sebagai
Hai suami-suami, kasihilah baginya ... Demikian juga
Suami kaum yang lebih lemah. Hormatilah
istrimu dan ja-nganlah suami harus mengasihi istrinya
mereka sebagai teman pewaris dari
berlaku kasar ter-hadap dia. sama seperti tubuhnya
kasih karunia, yaitu kehidupan,
sendiri ...kasihilah istrimu
supaya doamu jangan terhalang
seperti dirimu sendiri dan istri
hendaklah menghormati
suaminya.
8

3: 20. 6:1-3.
Hai anak-anak, taatilah Hai anak-anak, taatilah orang
orangtuamu dalam segala tuamu di dalam Tuhan, karena
Anak -
hal, karena itulah yang haruslah demikian ... supaya
indah di dalam Tuhan (ay. kamu berbahagia dan panjang
20) umur di bumi.
6: 4.
3: 21. Dan kamu, bapa-bapa,
Hai Bapa-Bapa, janganlah janganlah bangkitkan amarah
Ayah -
sakiti hati anakmu, supaya di dalam hati anak-anakmu,
jangan tawar hatinya tetapi didiklah mereka di
dalam jaran dan nasihat Tuhan
2:18-25.
3: 22-25. Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah
6: 5-8.
Hai hamba-hamba, taatilah dengan penuh ketakutan kepada
Hai hamba-hamba, taatilah
tuanmu yang di dunia ini tuanmu, bukan saja kepada yang
tuanmu yang di dunia dengan
dalam segala hal ... dengan baik dan peramah tetapi juga kepada
takut dan gentar ... dengan
tulus hati karena takut akan yang bengis ...kamu harus
segenap hati melakukan
Budak Tuhan ... Perbuatlah menderita, maka itu adalah kasih
kehendak Tuhan dan dengan
dengan segenap hatimu karunia kepada Allah. Sebab untuk
rela menjalankan
seperti untuk Tuhan ... itulah kamu dipanggil, karena
pelayanannya seperi orang-
(karena) Kristus adalah Kristus pun telah menderita untuk
orang yang melayani Tuhan
tuan dan kamu kamu dan telah meninggalkan
dan bukan manusia
hambaNya ... teladan bagimu, supaya kamu
mengikuti jejakNya ...
6: 9.
4:1
Dan kamu tuan-tuan,
Hai tuan-tuan, berlakulah
perbuatlah demikian juga
adil dan jujur terhadap
Tuan terhadap mereka dan -
hambamu; ingatlah, kamu
jauhkanlah ancaman.
juga mempunyai tuan di
Ingatlah ... Tuhan tidak
sorga.
memandang muka

Sepintas lalu memang ayat-ayat di atas memiliki kesamaan berita, yaitu mengenai
peraturan kerumahtanggaan. Namun jika kita mau meneliti lebih cermat lagi, sebenarnya ketiga
perikop di atas tidaklah dapat dibandingkan satu sama lain dengan beberapa alasan :
1. Kalau menilik dari urutan yang di buat, tampak bahwa I Petrus sangat berbeda dengan Kolose dan
Efesus, karena 1 Petrus menempatkan masalah budak terlebih dahulu, tanpa diikuti dengan sikap tuan,
baru kemudian menempatkan masalah suami –istri di bagian berikutnya. Sedangkan masalah orang
tua-anak sama sekali tidak disinggung oleh 1 Petrus. Kebalikan dari 1 Petrus, kita lihat bahwa Kolose
dan Efesus menempatkan masalah hubungan suami-istri di awal kemudian diikuti dengan hubungan
orang tua-anak dan kemudian hubungan tuan-hamba.
2. Jika melihat tujuan dari masih-masing ketundukan (yang dilakukan oleh istri, anak dan
budak), kita melihat perbedaan motivasi yang sangat berbeda satu sama lain. Dengan
demikian sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa ketiga perikop ini berasal dari bahan yang
sama.
3. Dalam membalas ketundukan dari istri, anak, dan budak, kita lihat bahwa sikap yang
diharapkan tumbuh dari suami memiliki perbedaan dalam ketiga perikop di atas (bahkan 1
Petrus tidak mencantumkan sikap tuan secara eksplisit). Dengan demikian, semakin jelaslah
bahwa ketiga perikop ini tidak memiliki hubungan satu sama lain karena ketiga surat ini
dialamatkan pada tujuan yang berbeda satu sama lain, dan tentunya juga memiliki latar
belakang yang berlainan.
9

Dari ketiga alasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa ketiga perikop di atas
berdiri sendiri-sendiri dan tidak memiliki kesatuan sama sekali. Dan bila kita menilik lebih teliti
lagi, maka kita akan temukan bahwa surat Kolose memiliki kelebihan dalam kedalaman makna
dibandingkan dengan kedua surat di atas (Efesus dan Petrus), karena Kolose dengan sangat rinci
memaparkan tentang tugas dan tanggung jawab dari masing-masing anggota keluarga yang
sekaligus diikuti dengan sikap timbal balik yang jelas dan terperinci.
Berdasarkan hal ini, maka kita akan mencoba meneliti lebih dalam lagi Kol. 3:18 – 4:1
melalui tafsiran, seperti yang tertera di bawah ini :

VI. Teks dan Terjemahan Teks Kol. 3: 18 – 4: 1viii

Pasal 3 :
18 Ai` gunai/kej( u`pota,ssesqe toi/j avndra,sin w`j avnh/ken evn
kuri,w|)
Para perempuan (istri), buatlah dirimu patuh/taat kepada para lelaki dewasa (suami – ctt: “human
being”)sebagaimana selayaknya di dalam Tuhan
19 Oi` a;ndrej( avgapa/te ta.j gunai/kaj kai. mh. pikrai,nesqe
pro.j auvta,j)
Hai para lelaki dewasa (suami), kalian harus mengasihi (bermurah hati/setia-beriman-faithful) kepada
para perempuan (istri) dan janganlah kalian menjadi marah (kasar/menyakiti hati) kepada mereka
(para perempuan itu)
20 Ta. te,kna( u`pakou,ete to/ij goneu/sin kata. pa,nta ( tou/to
ga.r euva,resto,n evstin evn kuri,w|)
Hai anak-anak, kalian harus taat (mendengarkan/tunduk) kepada orang tua (yang telah
melahirkan/membuat berada) dengan seluruh rasa hormat, karena hal itu (yang) menyenangkan (dan
pantas) hanya bagi Tuhan
21 Oi` pate,rej( mh. evreqi,zete ta. te,kna u`mw/n( i;na mh.
avqumw/sin)
Hai para Bapak, janganlah kalian membuat marah (membenci) anak-anakmu, agar hal itu tidak
membuat mereka (menjadi) remuk hati
22 Oi` dou/loi( u`pakou,ete kata. pa,nta toi/j kata. sa,rka kuri,oij(
mh. e,n ovfqalmodouli,a| w`j avnqrwpa,reskoi( avll v evn
a`plo,thti kardi,aj fobou,menoi to.n ku,rion)
Hai para budak, kalian harus taat (tunduk) kepada para tuan dengan seluruh rasa hormat dengan sifat-
sifat kemanusiaan (dan) jangan hanya pada saat berada dalam pengawasan (saja kalian) mempunyai
keinginan untuk menyenangkan hati (mereka – para tuan), tetapi tetaplah dengan
kesungguhan/ketulusan hati (dengan didasarkan atas - pada waktu yang sama) takut akan Tuhan
23 o; eva.n poih/te( evk yuch/j evrga,zesqe w`s tw/| kuriw| kai.
ouvk avnqrw,poij(
Jika kalian bekerja, lakukanlah (sebagai yang) keluar dari hatimu (seperti) yang (kalian) perbuat
kepada Tuhan dan bukan kepada manusia
24 eivdo,tej o;ti avpo. kuri,ou avpolh,myesqe th.n avntapo,dosin
th/j klhronomi,aj tw|/ kuriw| Cristw|/ douleu,te
Ketahuilah bahwa dari Tuhan kalian akan menerima (secara penuh) upaya yang berupa warisan/harta
pusaka (karena) kalian menghamba kepada Kristus (yang adalah) Tuhan
25 o; ga.r avdikw/n komi,setai o; hvdi,khsen( kai. ou.k e;stin
proswpolhmyi,a)
10

Karena (bila) seseorang melakukan ketidakadilan/kesalahan (maka) ia akan menerima kembali hal-
hal yang tidak adil (dan) hal itu tidak memandang orang

Pasal 4 :
1. Oi` ku,rioi( to. di,kaion kai. th.n ivso,thta toi/j dou,loij
pare,cesqe( eivdo,tej o;ti kai. u`mei/j e;cete ku,rion evn
ouvranw|/)
Hai para tuan, berlakulah adil dan hendaklah kalian memberikan (perhatian) yang sama kepada para
budak. Ketahuilah bahwa kalian (juga) memiliki tuan di sorga

VII. Tafsiran Teks Kol. 3:18 – 4:1

Di atas telah kita pahami bersama bahwa teks yang tersedia di depan kita bukanlah teks yang murni ajaran
Kristen, melainkan warisan dari filsafat Yudais - Helenis. Aturan rumah tangga yang diajarkan oleh filsafat
Yudais – Helenis ini bertujuan hendak mempertahankan hierarki antara anggota yang lebih tinggi dengan
yang lebih rendah, dimana struktur formal dalam hierarki ini adalah: alamat (istri, anak, budak) mendapat
imbauan (untuk tunduk dan taat) dengan sebuah motivasi (kepada suami, ayah, tuan), sehingga aturan
ini dapat dikatakan sebagai “suara dari kelas yang memiliki properti”. Melalui struktur ini juga hendak
digambarkan bahwa setiap anggota yang lebih rendah berhak mendapat upah dari yang lebih tinggi, selama
yang lebih tinggi dapat menjamin keberadaan setiap anggota yang lebih rendah.
Untuk lebih jelasnya, penulis akan mencoba memberikan gambaran aturan etis kerumahtanggaan
menurut Aristoteles, yang dipandang menjadi sumber pengajaran kerumahtanggaan dalam filsafat Helenis.
Dalam pembahasannya mengenai “Rumah Tangga”, Aristoteles berpendapat bahwa manajemen
dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
 Tuan – Budak : menunjukkan kekuasaan despotik
 Suami – Istri : menunjukkan kekuasaan perkawinan
 Ayah – Anak : menunjukkan kekuasaan paternal
Ketiga bagian ini ada dalam hierarkhi yang ditandai oleh kepemilikan, sehingga dengan
unsur kepemilikan ini kita dapat mengetahui bahwa keberadaan seorang budak, istri dan anak
dalam rumah tangga adalah milik dari suami sekaligus ayah yang juga adalah seorang tuan.
Dengan demikian, Aristoteles berpendapat bahwa perbudakan adalah sebuah bentuk kewajaran
yang alamiah.
Lebih lanjut Aristoteles beranggapan bahwa perempuan adalah “lelaki yang tidak
lengkap”, karena tidak dapat “mengerami dan memasak” darah yang dikeluarkan melalui
haidnya (tidak seperti lelaki yang dapat menyumbangkan spermanya dalam proses pembentukan
janin). Oleh sebab itu wajarlah bila lelaki menguasai perempuan (dan para budak serta anak)
karena jiwa perempuan tidak sempurna.ix
Namun, yang dimaksud oleh Kol. 3:18 – 4:1 seperti yang diuraikan di atas ? Untuk
menjawab hal ini, maka sistematika tafsir ini akan berjalan sesuai dengan alur pembagian
Aristoteles, sehingga dalam tafsir ini akan dibahas 3 masalah utama yaitu:
1. 3:18-19 : hubungan suami – isteri,
11

2. 3:20-21 : hubungan orang tua – anak,


3. 3:22 – 4:1 : hubungan tuan – hamba.

1. Kol. 3:18-19 : Hubungan Suami – Istri


Semua terjemahan menterjemahkan kata u`pota,ssesqe (hupotassesthe) dengan kata:
tunduklah (TB-LAI), taatlah (BIS-LAI), submit yourself (KJV), be subject (NRSV) dan semua
kata ini memiliki makna yang sama, yaitu: tunduk – patuh. Nilai yang terkandung melalui kata
u`pota,ssesqe (kata ganti orang ke-2 jamak, present, dari kata u`pa,tassw =
hupotasso) bukan hanya sekadar tunduk dan taat, melainkan: memberikan diri secara utuh dan
menempatkan diri di bawah orang yang dihormatinya, dan itu berlaku sejak ajaran ini
dikumandangkan sampai seterusnya (kasus present tense dalam bahasa Yunan). Dengan
demikian, seorang perempuan (istri) memiliki kewajiban untuk menempatkan dirinya di bawah
suaminya dan selalu memberikan diri secara total kepada suaminya. Apakah hal ini berarti
perempuan berada dalam posisi sub-ordinasi ?
Menurut penulis, kita jangan terburu-buru mengatakan: ya ! Karena kalimat berikutnya
adalah w`j avnh/ken evn kuri,w|) (hos aneken en Kurio = sebagaimana layaknya –
tunduk – kepada Tuhan). Apa maksudnya? Penulis menangkap sebuah pesan yang indah, bahwa
ketundukan kepada Tuhan yang didasarkan atas keimananan dan cinta kasih yang total yang
menjadi dasar dari ketundukan istri kepada suami. Dengan demikian tunduk kepada suami
dengan dasar “sebagaimana layaknya kepada Tuhan” berarti memberikan cinta yang total dan
habis-habisan kepada suami, untuk selama-lamanya (tidak bersifat temporer – istilah dewasa ini :
habis manis sepah dibuang).
Hal ini pun diimbangi oleh perintah kepada para suami agar mereka a,gapa/te
(agapate) kepada istri, yang sifatnya juga bukan sementara melainkan berlaku terus (bentuk
present). Namun banyak orang salah sangka terhadap kata avgapa/te ini. Mereka seringkali
menerjemahkan dengan “sekadar” kata cinta, kasih, love. Menurut penulis kata avgapa/te ini
jangan hanya diterjemahkan dengan kata cinta, melainkan juga diterjemahkan dengan beriman
kepada; mencintai dengan cara memberikan diri secara utuh dan total (bdk dengan peristiwa
Yesus yang mencintai/avgapa/w manusia, sehingga IA menyerahkan diriNya kepada manusia
secara utuh dan total). Dengan beriman kepada istri, seorang suami sungguh-sungguh berada
dalam posisi percaya penuh sehingga ia harus selalu menempatkan diri di bawah istrinya dan
kemudian menyerahkan dirinya secara utuh/penuh kepada istri (ctt: beriman dapat diartikan
sebagai percaya dan mempercayakan diri kepada yang diimaninya). Dan hal itupun berlaku
untuk selamanya.
Hal ini semakin dipertegas dengan ungkapan: mh. pikrai,nesqe (me pikrainesthe =
Kata ganti orang ke-2 jamak, present, imperatif, artinya: jangan engkau menyakiti hati/berbuat
12

kasar sekarang dan selamanya). Dengan demikian, cinta yang diwujudnyatakan melalui
pemberian diri secara utuh adalah cinta yang tidak pernah menyakiti dan berbuat kasar terhadap
orang yang dicintainya.
Dari uraian tafsir ini, kita bisa melihat bahwa hubungan suami-istri yang seringkali
digambarkan berada dalam posisi hierarkis (ordinasi – subordinasi) telah dipatahkan. Gambaran
dalam ayat 18-19 justru hendak melukiskan kesejajaran antara suami dan istri, khususnya dalam
masalah penyerahan diri yang total disertai dengan ketundukan dari masing-masing pihak.

2. Kol. 3:20-21: Hubungan Orang tua – anak


Makna “ketundukan” kembali didengungkan dalam bagian ini, dan kali ini berkaitan erat dengan
sikap seorang anak terhadap orang tuanya. Setiap anak (baik lelaki maupun perempuan, karena
kata te,kna (tekna) menggunakan jenis kelamin yang netral) harus taat kepada orang tuanya.
Kata taat diterjemahkan dari kata u`pakou,ete (hupakouete = kata ganti orang ke-2 jamak,
present, imperatif), berasal dari kata u`pakou,w (hupakouo) yang berarti: taat, mendengarkan
dan tunduk ! Kembali istilah “tunduk/menyerahkan diri secara utuh” didengungkan di sini.
Menurut beberapa penafsir, kata u`pakou,ete sejajar dengan kata u`pota,ssesqe.
Dengan demikian posisi anak disejajarkan dengan posisi istri. Dan karena posisi istri telah sejajar
dengan suami, maka kesejajaran ini pun berdampak pada posisi anak terhadap orang tuanya
(ayah – ibu, yang adalah suami – istri).
Melalui kata u`pakou,ete, seorang anak diwajibkan untuk selalu menyerahkan diri,
mendengarkan dan taat dengan penuh rasa hormat (bukan dalam segala hal !), karena
kedudukan mereka sama dan setara dengan orang tuanya, sehingga melalui penyerahan diri dan
ketaatannya dengan penuh rasa hormat, terjalin sebuah hubungan yang bersifat kemitraan antara
orang tua dengan anak.
Mengapa hal ini harus dilakukan ? Sekali lagi, alasan dari sifat yang harus ditumbuhkan
ini adalah karena hal itu menyenangkan dan pantas di hadapan Tuhan ! Kalimat ini menarik
untuk diperhatikan, karena kepantasan seorang anak di hadapan Tuhan terletak pada
kesadarannya untuk menaati orang tua yang dilakukannya dengan sepenuh hati dan dilandasi
oleh sebuah kesadaran mengenai posisinya yang sejajar dengan orang tuanya ! Jadi bila seorang
anak yang hanya sekadar taat kepada orang tua tetapi tidak menyadari bahwa dirinya sejajar
dengan orang tuanya, maka hal itu tidak pantas dan tidak menyenangkan hati Tuhan ! Dan
perlu dicatat bahwa sikap dan perilaku seperti ini merupakan sikap dan perilaku yang harus
berlangsung secara terus menerus (lihat bentuk present).
Bagaimana orang tua menyikapi hal ini? Adalah menarik bahwa bahasa Yunani hanya
mencantumkan kata pate,rej (pateres) untuk dijadikan sebagai bahan peringatan! Penulis
menduga, di samping teks ini merupakan adopsi dari filsafat Yudais-Helenis, tentu ada maksud
penulis teks ini untuk menggunakan kata ini secara sengaja. Agaknya penulis teks ini melihat
bahwa yang potensial untuk menyakiti hati seorang anak adalah pihak Bapak (laki-laki), karena
13

seorang Bapak tidak mungkin melahirkan seorang anak. Hal ini berkaitan erat dengan kata
goneu/sin (goneusin, ay. 20), dan diterjemahkan dengan orang tua. Tetapi penulis cenderung
melihat yang dimaksud orang tua di sini lebih menunjuk pada pihak ibu, karena kata
goneu/sin dapat diterjemahkan juga dengan “yang melahirkan/membuat berada”. Tetapi
karena kata goneu/sin tidak menunjukkan jenis kelamin, maka kata tersebut diterjemahkan
secara netral, yaitu: orang tua).
Berdasarkan hal ini, maka ayat 21 ini hendak menegaskan bahwa seorang Bapak tidak
berhak untuk membuat sakit hati anaknya (yang juga berlangsung terus menerus), baik itu
melalui perkataan maupun melalui tindakan fisik. Hal ini adalah akibat dari penekanan pada
posisi yang sejajar antara orang tua dengan anak, sehingga ayat ini hendak menegaskan bahwa
nisbah antara orang tua dengan anak berjalan dalam sikap yang saling menghormati dan
menghargai satu sama lain. Melalui sikap yang saling menghargai dan menghormati, maka tidak
ada pihak yang disakiti sekaligus tidak ada pihak yang ingin menyakiti pihak lain. Inilah makna
hubungan antara orang tua dengan anaknya.

3. Kol. 3:22 – 4:1 : Hubungan Tuan – Hamba


Hal pertama yang perlu kita perhatikan adalah kata dou/loj (doulos), yang secara khusus
tampak dalam ay. 22. Hal ini menarik karena kata ini lebih menunjuk pada “budak laki-
laki/male-slave” (bdk. kata dou/loi (douloi) = nominatif, jamak, maskulin). Hal ini
menunjukkan bahwa para budak yang dimaksud adalah para budak laki-laki, yang bekerja
(bukan dimiliki) kepada para tuan. Penulis mengatakan bahwa para budak ini bukanlah milik
para tuan, karena kata “taat” yang dipakai di sini adalah kata u`pakou,ete (hupakouete)
yang juga digunakan dalam ayat 20 di atas. Dengan pemakaian kata ,maka kita Kolose
bermaksud hendak mengangkat status para budak (yang selama ini dikenal sebagai status yang
tidak memiliki hak apa pun – He cannot have meant, in absolutely all things!) untuk sejajar
dengan kedudukan para tuan. Dan kesejajaran ini ditampakkan melalui pelaksanaan tugas yang
harus dilakukan oleh para budak, yaitu bekerja dengan sepenuh hati sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mereka miliki.
Tampak bahwa penempatan budak dalam situasi kemanusiaan menjadi dominan dalam
bagian ini. Para budak dihargai kemanusiaannya dengan mengatakan bahwa mereka harus
bekerja berdasarkan nilai kemanusiaan yang mereka miliki. Mereka tetap dipandang sebagai
manusia yang memiliki harkat diri sebagai seorang manusia. Nilai kemanusiaan para budak ini
semakin ditekankan pada saat ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
dengan sepenuh hati, pada waktu yang sama juga mereka lakukan kepada Tuhan (lihat kata
fobou,menoi (phoboumenoi) = nominatif, jamak, maskulin, partisip, dan kasus partisip
ingin menunjukkan adanya dua/beberapa pekerjaan yang dilakukan pada waktu yang
bersamaan). Dengan demikian, ayat 23 ini hendak menegaskan bahwa para budak pun masih
14

memiliki hak kemanusian, hak hidup dan hak untuk bertuhan dengan bebas, karena pada
dasarnya mereka adalah manusia yang sejajar kedudukannya dengan para tuan!
Massage ini semakin dipertegas dalam ayat 23 – 25, dimana dalam ayat-ayat lanjutan ini
hendak dipertegas bahwa upah yang mereka dapatkan adalah berasal dari Tuhan (yang juga
mereka miliki), yaitu berupa warisan harta pusaka. Karena dengan bekerja kepada manusia
dengan didasarkan atas ketulusan hati, hal itu berarti bahwa para budak telah menghamba dan
memberikan dirinya secara utuh kepada Tuhan, yaitu Kristus.
Namun bagi para budak yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan dengan
sepenuh hati, maka petaka pun akan muncul yang berupa hal-hal yang ia lakukan selama bekerja.
Jadi dalam hal ini terdapat unsur timbal-balik dalam masalah pekerjaan; setiap orang yang
bekerja dengan baik dan jujur, maka ia akan mendapat harta warisan yang baik pula, tetapi bila ia
bekerja dengan tidak jujur maka ia pun akan menuai hasil yang tidak baik pula (pepatah
sekarang mengatakan: siapa menabur angin, akan menuai badai).
Dan sebagai imbalan dari kerja para budak yang setia, maka 4:1 menasehatkan para tuan
untuk berlaku adil dengan jalan memberikan perhatian yang sama kepada mereka (para budak)
tanpa memilih-milih. Ada kesamaan hak yang harus didapatkan oleh setiap budak, sehingga
mereka pun ada dalam status pekerjaan yang sama. Dan peringatan ini ditampakkan melalui kata
eicdo,tej (eikhdotes = nominatif, jamak, maskulin, partisif) yang berarti ketahuilah (pada
saat engkau sedang mempekerjakan para budakmu), bahwa para tuan ini e;cete (ekhete =
kata ganti orang ke-2 jamak, present, Imperatif = mempunyai dan berterima kasih)
Tuan/Tuhan, sepanjang masa, di sorga. Dengan penekanan ini, 4:1 hendak mengatakan bahwa
perhatian yang adil harus dilakukan oleh para tuan, karena pada dasarnya para tuan pun memiliki
kedudukan yang sama dengan para budak, bila ditempatkan di hadapan Tuan/Tuhan di sorga.
Dalam bagian ini pun kita diajak untuk menangkap sebuah pesan, bahwa kedudukan tuan
– budak pun memiliki kesejajaran (terutama bila ada dalam pandangan Tuan/Tuhan di sorga),
sehingga mereka wajib untuk bekerja sama dalam situasi yang saling menghormati dan
menghargai satu sama lain.

VI. Kesimpulan dan Refleksi


Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penulis akan memberikan beberapa kesimpulan,
yaitu :
1. Kol. 3:18 – 4:1 pada dasarnya hendak mengkritik pandangan Aristoteles, khususnya, dan
pandangan filsafat Yudais-Helenis, pada umumnya, mengenai tata aturan
kerumahtanggaan. Dalam pandangan filsafat, kedudukan manusia telah ditempatkan dalam
sebuah hierarki yang didasarkan atas bentuk kepemilikan. Akibat dari semua ini, maka
muncul kelompok superior dan inferior, dimana kelompok superior berhak untuk mengatur
dan memiiki kelompok inferior.
15

Kol. 3:18 – 4:1 hendak menghapuskan kedudukan yang hierarki seperti ini. Melalui
penggunaan tata aturan kerumahtanggaan dari kaum filsafat, Kol. 3:18 – 4:1 ini justru
hendak membalikkan dan menentang pandangan hierarki, yaitu dengan jalan
menempatkan semua elemen (lelaki/suami/bapak/tuan; perempuan/istri, anak dan para
budak) dalam kedudukan yang sejajar, yang saling bekerja sama dan saling menghargai
satu sama lain. Tidak ada pola ketundukan dominan dalam hal ini, karena semua elemen
harus dapat menundukkan dirinya kepada masing-masing elemen yang lain.
2. Melalui tafsiran, kita juga mendapatkan penegasan bahwa penggunaan istilah “di dalam
Tuhan” bukanlah sekadar kalimat tempelan yang hendak memberikan warna Kristen
belaka; melainkan istilah ini adalah kata kunci untuk memahami maksud dari penulisan
Kol. 3:18 – 4:1. Melalui kata kunci ini, maka setiap unsur kehidupan yang berkaitan
dengan nisbah dengan sesama semakin diikat dalam bentuk cinta kasih. Unsur cinta kasih
ini yang kemudian membawa manusia untuk dapat melihat manusia lain secara wajar dan
selalu menempatkan diri sejajar dengan yang lain. Melalui kata kunci ini juga kita
diantarkan pada pemahaman bahwa setiap orang yang telah hidup di dalam Tuhan
merupakan orang yang telah hidup baru dan menjadi ciptaan baru, dimana keberadaannya
telah melekat secara utuh dan mengalami kepenuhan di dalam Tuhan. Hal ini menandakan
bahwa dalam wujudnya yang lama, seseorang yang hidup di dalam Tuhan telah hidup
dengan eksistensi kehidupan yang baru, yang tidak pernah tunduk kepada kuasa-kuasa
dunia, melainkan hanya tunduk dan menyatu dengan Tuhan.
3. Hal yang penting juga perlu kita gariskan di sini, bahwa nisbah antara manusia adalah
nisbah yang didasarkan pada kesadaran dan keinginan untuk menempatkan diri “di bawah”
dalam bentuk penyerahan diri yang tulus kepada sesama. Keberadaannya “di bawah”
bertujuan untuk menopang keberadaan yang lain, sehingga kebersamaan hidup dapat
berjalan dengan indah karena selalu ditandai dengan keinginan untuk membahagiakan
yang lain. Dalam hal ini, tata aturan keluarga harus berjalan dalam hidup yang tidak ingin
menyakiti yang lain, sehingga tidak ada hati yang terluka akibat tindakan seseorang.
4. Nyata juga, bahwa hidup bersama dalam keluarga dan masyarakat, bukanlah hidup yang
berada dalam ketundukan, melainkan dalam bentuk kesejajaran yang saling menopang,
menghargai dan menghormati satu sama lain. Kalaupun pola ketundukan itu mau
diberlakukan dalam kehidupan, maka pola ketundukan ini harus disertai dengan sikap
kritis. Artinya: ketundukan yang terjadi bukan diakibatkan oleh struktur sosial masyarakat,
melainkan didasarkan atas keinginan dan kerelaan seseorang untuk melayani dan
membahagiakan orang lain. Hal ini tidak berarti bahwa hidup berada dalam pola hierarkis,
melainkan ada dalam pola ketundukan secara suka rela untuk menopang keberadaan
sesamanya yang memang membutuhkan perhatian dan pertolongan.
5. catatan akhir: Dalam membahas Kol. 3:18 – 4:1, penulis disadarkan secara langsung
bahwa kehidupan yang diwarnai oleh Patria Potestas (kekuasaan mutlak seorang lelaki
16

dewasa) sudah seharusnya dihapus dan diganti dengan kesejajaran antara seluruh kaum
(lelaki-tuan-ayah, perempuan-istri, anak, dan budak). Dalam terang aturan
kerumahtanggaan Kolose, nisbah awal yang menempatkan ayah (lelaki dewasa) bersifat
mutlak telah digusur dan dimasukkan ke dalam eksistensi baru, yaitu hidup di dalam
Tuhan; sehingga muncul nisbah baru yaitu: seorang ayah (lelaki dewasa)harus
menurunkan derajatnya sedemikian rupa sehingga keberadaannya sejajar dengan istri,
anak dan budak; dan semua elemen ini kemudian berada dalam ketundukan mutlak
kepada Tuhan, karena mereka telah hidup di dalam Tuhan.
6. Dengan demikian gambar yang harus diberlakukan adalah :
TUHAN

Ayah/suami/tuan Perempuan/Istri Anak Budak


i
Selengkapnya dapat kita lihat dalam Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, Pendekatan Kristis Terhadap Masalah-
masalahnya (terj.). (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999), 214 - 223
ii
Selengkapnya dapat kita lihat dalam George Arthur Buttrick, dkk. (Eds.), The Interpreter’s Dictionary of the Bible. (New
York : Abingdon Press, 1962), 660
iii
Lih. Elizabeth S. Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal-usul
Kekristenan (Ed. Thn. X - terj.). (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 326-327
iv
Lih scn. 2, 661
v
Eduard Lohse, Colossians and Philemon. (Philadelphia : Fortress Press, 1971), 156-157
vi
JB Lightfoot, “The Colossians Heresy”, dalam Fred O. Francis & Wayne A. Meeks (Ed.), Conflict at Colossae, Sources
for Biblical Study 4. (Society of Biblical Literature & Scholar Press, 1975), h. 30-31
vii
Pendapat-pendapat ini dapat dilihat dalam George E. Cannon. The Use of Traditional Materials in Colossians. (Georgia:
Mercer University Press, 1983), 99-100
viii
Teks yang dipakai berasal dari Kurt Aland – Allen Wikgren (Eds.), The Greek New Testament - TGNT (Stuttgart : United
Bible Societies, 1983), 701-702. Teks bahasa Yunani TGNT memiliki sedikit perbedaan dengan yang ditulis oleh Jay
Green, khususnya pada ayat 23, dimana TGNT memulai dengan kata o; eva.n ..., sedangkan Jay Green memulai
dengan kata kai. pa/n o; ti eva.n ..., lih. Jay Green, The Interlinear Hebrew/Greek English Bible – vol. IV.
(Lafayete – Indiana, Associated Publishers & Authors, 1979), 469
ix
Pendapat Aristoteles ini dikutip dalam Caroline Whitebeck, “Theories of Sex Differences”, dalam Gould & Wortfsky
(Ed.), Woman and Philosophy, 1976, h. 58. Dalam masa yang tekemudian, teori Aristoteles ini dikutip dan dilengkapi oleh
Friederick Engels (yang juga mengutip Aristoteles) yang mengatakan bahwa kata Family (keluarga) berasal dari kata
famulus yang berarti budak lelaki atau familia yang berarti sejumlah budak yang dimiliki oleh seorang lelaki dewasa,
termasuk di dalamnya adalah istri dan anak-anaknya, lih. F. Engels, The Origin of the Family. Private Property and the
State. (New York: International Publishers, 1973), 121.

Anda mungkin juga menyukai