Anda di halaman 1dari 15

Nama Kelompok 5:

• Elvina Hutasoit
• Mei Lasria Siregar
• Naomi Hutabarat
• Novita Manalu
• Novita Situmorang
• Via Angraini Rambe
Semester/Tingkat : VI/III
Mata Kuliah : Dokumen Teologis HKBP
Dosen Pengampu : Pdt. Jetti Lisantri Samosir, M.Th

SEJARAH DAN ISI BUKU ENDE SERTA PELAKSANAANYA DI HKBP

I. PENDAHULUAN
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus yang
diwujudnyatakan melalui Baptisan dan Perjamuan Kudus. Gereja disebut sebagai persekutuan
orang-orang Kudus.1 Selain itu, banyak orang memahami bahwa bahwa Gereja itu merupakan
gedung tempat umat Kristen beribadah. Tentu hal ini juga tidaklah salah. HKBP menjadi
sebuah gereja yang hadir di tengah-tengah dunia. Dalam peribadahannya HKBP memiliki
panduan dalam hal musik gerejawi, yakni Buku Ende. Musik gerejawi memiliki peran yang
penting dalam peribadahan. Para Misionaris membawa nyanyian atau kidung dari Eropa.
Beberapa nyanyian mulai diperkenalkan kepada orang Batak yang baru masuk Kristen. Lagu
yang dibawa oleh para misionaris masih berbahasa Eropa dan di ubah ke dalam bahasa Batak
Toba agar lebih mudah dipahami dan dipelajari. Sekarang Buku Ende dipakai sebagai tuntunan
dalam nyanyian kidung bagi peribadahan di HKBP sendiri. Buku Ende berisikan lagu puji-
pujian dalam bahasa Batak. Lalu bagaimana dengan sejarah yang terjadi dalam pembuatan
Buku Ende HKBP, tentu ini hal yang menarik dan perlu untuk kita ketahui, maka dalam tulisan
ini kami akan membahas lebih lanjut sejarah dan isi Buku Ende HKBP serta pelaksanaannya.
II. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Buku Ende

1 Darwin Lumban Tobing, Reposisi Pekabaran Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 3.

1
Buku Ende merupakan kumpulan nyanyian utama bagi jemaat Gereja HKBP dan sejak
dahulu nyanyian jemaat menduduki tempat yang penting dalam ibadah. Menurut para
pemimpin Gerakan Liturgi, nyanyian jemaat di dalam ibadah hendaknya dinyanyikan
seluruhnya (semua ayat), karena tiap-tiap nyanyian merupakan suatu kesatuan sehingga tidak
baik membaginya menjadi beberapa bagian dan nyanyian itu dinyanyikan dengan segenap
hati.2

HKBP memiliki nyanyian rohani, yang dibukukan dalam Buku Ende HKBP. Buku
tersebut dikarang, serta disusun ulang oleh para komponis abad ke-16 dan ke-17. Nyanyian
rohani ini kemudian dibawa para misionaris ke tanah Batak. Nyanyian yang ada di HKBP,
Buku Ende, bukan hanya memuji Tuhan, tetapi juga turut membentuk nalar berpikir masyarakat
Batak serta juga sebagai kesepakatan umum dan dogmatis di mana pada saat generasi pertama
Kekristenan Batak, nyanyian itu tidak dibaca melainkan didikte, dibacakan dengan keras-keras,
dihafalkan, sehingga pengucapannya tidak hanya disuarakan melalui lidah dan mulut,
melainkan meresap secara kognitif, ke hati dan pikiran sehingga disuarakan melalui perasaan,
pengalaman totalitas kehidupan dan iman kepercayaan kristiani. Pada saat itu orang Batak
masih buta huruf. Itu sebabnya syair nyanyian itu melekat di memori dan diingat sepanjang
hayat. Walaupun nyanyian itu adalah nyanyian impor, tetapi karena bahasa dan pola pikir yang
tertuang di dalam syair terjemahan adalah bahasa dan pola pikir lokal, mengenai kehidupan
masyarakat setempat, maka nyanyian tersebut sangat kontekstual. Nyanyian tersebut enak
dinyanyikan, sejuk dirasakan, nikmat di hati dan mudah dipahami. 3

2.2. Sejarah awal Nyanyian dan Buku Ende HKBP

2.2.1. Sejarah awal Nyanyian

Sepanjang sejarah, musik telah memainkan peran penting dalam kehidupan umat
manusia. Studi dari setiap abad tentang keberadaan umat manusia menunjukkan bahwa musik
telah digunakan untuk berbagai tujuan seperti; kesenangan, perayaan, ritual dan ibadah. Musik
memiliki kekuatan yang dahsyat dan hal tersebut sangat mempengaruhi manusia di setiap
tingkat kehidupan mereka, dan dengan jelas telah menjadi bukti sejarah. Musik juga selalu
memiliki tempat penting dalam ibadah umat Allah. Dari bab pertama Alkitab sampai dalam
ibadah Israel, dan Gereja dalam Perjanjian Baru telah menggunakan musik dalam peribadatan.

2 J.L. Ch. Abineno, Unsur-unsur Liturgia, yang Dipakai Gereja-gereja Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2019), 106-109.
3 Darwin Lumbantobing, HKBP DO HKBP, HKBP IS HKBP (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 160-161.

2
Menurut, Rhoderic J McNeill bahwa warisan tradisi musik gerejawi terjadi sejak permulaan
abad Masehi hingga abad ke-3. Kemudian Mazmur Responsorial, yaitu nyanyian yang dikutip
dari salah satu ayat dari Mazmur sebagai refrein atau respon terhadap ayat-ayat lain dan
dinyanyikan oleh 1 soloist contohnya Mazmur 136. Mazmur Alleluia, yaitu nyanyian yang
dinyanyikan oleh jemaat, dan setiap ayat Mazmur dinyanyikan oleh soloist. Mazmur
Antiphonal, yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh soloist dan jemaat secara bergantian dan
bersahut-sahutan.4

Para penginjil Rhein RMG menggunakan kegiatan musik dan menyanyi sebagai alat
penginjilan (1860-an-1940-an). Mereka memperkenalkan instrumen musik dan mengajarkan
nyanyian yang berasal dari Eropa. Dalam perkembangan lebih lanjut, Gereja Batak jadi
terkenal sebagai Gereja yang bernyanyi karena setiap jemaat punya paduan-paduan suara
(kaum muda, kaum ibu, kaum bapak dan anak-anak sekolah minggu), bahkan kegiatan festival
koor tidak pernah absen dari peristiwa-peristiwa penting di jemaat-jemaat HKBP serta di
kegiatan oikumene. Pada kebaktian minggu, sejak zaman sending Rhein, jemaat yang
bernyanyi diiringi oleh organ kecil yang dikenal dengan nama harmonium atau poti marende.
Begitu pula dengan musik tiup atau terompet yang sangat diminati kaum pria, kerap mengiringi
pesta-pesta gerejawi. Kini di samping musik tiup atau instrumen tradisional Batak sudah ikut
dipergunakan dalam pesta Gerejawi. 5

Dari gereja-gereja di Eropa dan Amerika nyanyian-nyanyian itu dibawa masuk ke


dalam gereja-gereja di Indonesia. Hampir tiap-tiap gereja memiliki buku nyanyiannya sendiri,
baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa daerah. 6

2.2.2. Sejarah perkembangan Buku Ende HKBP

Ernst Quentmeier (1875-1962) seorang misionaris RMG (Rheinische Missions


Gessellschaft). Ia bekerja di Sumatera sekitar 1904-1938 dan dalam buletin “Berichte der
Rheinische Mission” 1941, menggambarkan perkembangan himne Kristen kepada orang Batak
Kristen. Awalnya ada sembilan nyanyian dalam bahasa Jerman diterjemahkan dalam bahasa
Batak, untuk orang Kristen Batak. Kondisi ini terjadi selama akhir 1860-an sampai 1870-an.
Tahun 1923, diterbitkanlah himne berjudul “Ende-ende ni halak Kristen na di Tano Batak,
angka na marhata Toba” ditambah dengan 53 himne lainnya. Himne dicetak ulang di

4 Novita Romauli saragih & Dkk, Musik Gerewaji (Jawa Barat: Media Sains Indonesia, 2002), 1-3.
5 Jubil Raplan Hutauru, Lahir, Berakar dan Bertumbuh didalam Kristus (Pearaja Tarutung: Kantor Pusat
HKBP, 2011), 180.
6 J.L. Ch. Abineno, Ibadah Jemaat ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 53.

3
Laguboti, Sumatera Utara di mana pada waktu itu RMG mendirikan rumah pencetakan. Tahun
1935 di laguboti diproduksi 375 himne lagi. Himne ini diberi judul “Boekoe Ende ni halak
Kristen na di Tano Batak”. Buku Ende ini diproduksi 6.000 dan terjual habis. 7

Tahun 1907, Paul Gerhard menterjemahkan 11 nyanyian jemaat, yaitu: 1. Beha ma


panjalongku di Ho, O Tuhanki, 2. Hamu ale donganku, 3. O ulu sap mudar, 4. Adong do biru-
biru i, 5. Sai tiur ma langkamuna, 6. Bongoti ma rohangku, 7. Sai hehema rohangku, 8.
Mataniari binsar saonari, 9. Lao modom luhutna, 10. Pasahat ma sudena, 11. Tung beasa ma
holsoan. Dalam Buku Ende edisi ke-20 memuat 3 nyanyian yang dikaitkan dengan Martin
Luther (1483-1546); "Ein feste Burg", "Vom Himmel hoch", dan "Aus tiefer not", 17 adalah
komposisi dari Paul Gerhardt (1607-1676); 7 adalah karya Gerhardt Tersteegen (1697 - 1769);
3 adalah himne dari Joachim Neander (1650-1680), dan 7 himne Hitung Ludwig von
Zinzendorf Nicholaus (1700-1760) pendiri gereja Moravia himne ini berisi sekitar 250
nyanyian, 10 mazmur pengaturan, dan 60 lagu-lagu rakyat rohani. Dalam sejarahnya jumlah
himne dikurangi menjadi 373, yang kemudian ada penambahan 232 himne selama pertengahan
abad 20. 8

Suster Elfriede misionaris dari Jerman tahun 1896-1971 membuat lagu tambahan. Ia
bekerja dengan RMG di Sumatera 1925-1940 dan mendirikan Singkola Bibelvrouw (Sekolah
Bibelvrouw) di Narumonda, sebuah kota kecil di dataran tinggi Batak. Melalui arsip RMG,
menunjukkan bahwa pada tahun 1937 sebuah himne diterbitkan di Narumonda. Himne ini
berjudul: "Ende taringot toe haloeaon na gok ni pinatoepa Toehan Yesus Kristus" bersumber
dari Eropa dan Amerika. Sumber nyanyian ini berasal dari: Evangelischer Mazmur,
Evangeliumssänger, Fellowship Nyanyian Rohani, Jungend bundlieder, Missionsharfe,
Reichslieder, Sankey Lieder, dan lainnya.

Kedua tematis (mengacu pada teologi dinyatakan dalam teks-teks himne) dan Gaya
(mengacu pada yang formal struktur lagu-lagu himne). Pergeseran musik dan tematik mungkin
mencerminkan sebagian perubahan teologi RMG dari awal pekerjaan mereka di antara orang
Batak. Nyanyian rohani dalam koleksi Elfrieda berjenis penginjilan dan pedagogis,
menunjukkan gaya himne yang digunakan populer di Eropa dan Amerika. Untuk bertahun-
tahun kedua kumpulan himne ini tetap terpisah yang Buku Ende, Buku yang digunakan dalam
liturgi ibadah HKBP dan Haluaon Na Gok digunakan untuk kegiatan Bibelvrouw. 9 Syair lagu

7 Ibid., 9.
8 Ibid., 10.
9 Darwin Lumbatobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 313

4
dan musik dalam Buku Ende Haluaon Na Gok, berasal dari spiritualitas pietisme, pada abad
ke-17 di Eropa, bahkan pencipta dan pengubahnya juga masih berlatar belakang pietisme
Tahun 1934, nyanyian “Haluan Na Gok” belum digunakan dalam ibadah gereja HKBP karena
adanya pandangan yang berbeda dari para pendeta tentang nyanyian tersebut. Mereka
mengatakan bahwa nyanyian dalam “Buku Ende Haluan Na Gok” seperti nyanyian orang yang
kerasukan/ende ni na tondi-tondion..

Disebut ende ni na tondi-tondion karena warga jemaat HKBP Janji Matogu berpakaian
serba putih naik ke menara gereja menyanyikan nyanyian dari “Buku Ende Haluaon na Gok”
seraya mengangkat tangan ke atas, kadang bertepuk tangan, sambil mengtakan akhir zaman
sudah dekat dan marilah kita naik ke surga. Perkataan ende na tondi-tondiaon adalah sebuah
ejekan terhadap apa yang dilakukan oleh Elfriede Harder yang mendidik para wanita Batak
Toba menjadi Bibelvrouw (pelayan wanita). Pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-
an, Elfriede Harder menerjemahkan beberapa nyanyian rohani dari bahasa Jerman ke bahasa
Batak. Nyanyian ini dipersiapkan sebagai bahan ajar kepada kaum perempuan (akhirnya
menjadi sekolah Bibelvrouw) di Laguboti. Nyanyian terjemahan Elfriede Harder ini tidak
diijinkan oleh Ephorus J. Warneck sehingga kemudian dicetak terpisah dari Buku Ende HKBP.
Haluaon na gok na pinatupa ni Tuhan Jesus Kristus (keselamatan yang sempurna karya Yesus
Kristus) dan Buku Ende dicetak dalam satu buku tetapi tidak dengan nomor urut yang sama.
Berdasarkan ide Ds. PM. Sihombing, M.Th, (1985) kedua buku nyanyian itu, Buku Ende dan
Haluaon Na Gok dicetak dalam satu buku dengan satu nomor urut.10

Pada tahun 1959, “Buku Ende Haluaon Na Gok” sudah diterima HKBP sebagai nyanyian
jemaat dan dapat digunakan pada kebaktian minggu. Tahun 1940 terbitlah Buku Ende HKBP
yang sampai saat ini digunakan dalam ibadah-ibadah yang dilakukan oleh gereja HKBP.
Jumlah nyanyian dalam Buku Ende HKBP berisikan 373 nyanyian. 11

Tahun 1995 HKBP menerbitkan buku Bibel/AIkitab yang digabung dengan Buku Ende
HKBP yang bernotasi angka. Penomoran Buku Ende bagian Haluaon Na Gok tidak lagi dimulai
dan nomor 1 sampai 232 tetapi dimulai dengan nomor 374 sampai 556 pada saat penggabungan
ini ada 49 nyanyian yang dibuang dari Haluaon Na Gok karena nyanyian tersebut telah ada
pada Buku Ende HKBP bagian pertama.

10 Darwin Lumbantobing, HKBP DO HKBP, HKBP IS HKBP, 160-162.


11 Kantor Pusat HKBP, Buku Ende HKBP (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1990).

5
Pada Tahun 2003, melalui Rapat Pendeta HKBP yang diselenggarakan tanggal 8-10
Oktober menyepakati penggunaan Buku Ende Suplemen HKBP yang berjudul “Sangap di
Jahowa” dalam ibadah gereja HKBP. Jumlah nyanyian Buku Ende Suplemen adalah sebanyak
306 nyanyian yang disesuaikan dengan tema gereja. Buku Ende HKBP dan Buku Ende
Suplemen kemudian disatukan dalam cetakan berikutnya sehingga jumlah nyanyian jemaat
HKBP sampai saat ini berjumlah 864 buah. 12

2.3. Sumber dan Isi Buku Ende

Sumber Asli Buku Ende HKBP kebanyakan dari Evangelisches Kirchen Gesangbuch
(EKG). Buku ini adalah buku nyanyian rohani yang dipakai di Gereja-gereja Lutheran Jerman.
Sumber kedua Buku Ende HKBP yang sama dominannya dengan sumber pertama adalah
Evangelischer Psalter (EvPs). Buku Ende HKBP sangat dipengaruhi Pietisme Jerman
(Pietisme adalah sebuah gerakan di lingkungan Lutheranisme yang berlangsung dari akhir abad
ke-17 hingga abad ke-18). Melihat tahun pengubahan lagu tersebut, yang dilakukan di sekitar
abad ke-16 dan ke-18, maka dapat dipastikan bahwa semua sumber nyanyian yang dipakai
Buku Ende HKBP berasal atau berlatar belakang Pietisme, karena Pietisme yang sangat
produktif menciptakan lagu-lagu rohani, baik dari kalangan Lutheran maupun Reformed. 13

2.4. Makna Buku Ende Dalam Ibadah

Nyanyian rohani yang bersumber dari Buku Ende sangat berperan aktif di dalam
membangun kehidupan rohani Jemaat HKBP. Nyanyian yang diambil dari Buku Ende tersebut
cukup banyak, bahkan sangat sentral perannya di dalam beribadah dan Kristen Batak.
Nyanyian rohani tersebut bukan saja dinyanyikan pada saat beribadah resmi di gereja, tetapi
juga dinyanyikan pada saat ada acara-acara budaya tertentu. Peranan nyanyian rohani dari Buku
Ende sangat sentral dalam acara melayat orang yang berduka.14 Kehadiran Buku Ende HKBP
dalam peribadatan di gereja Batak, yang kemudian bernama HKBP, sangat menentukan
penghayatan dan perkembangan spritualitas Jemaat. kekuatan Buku Ende dalam kehidupan
spiritualitas Kristen Batak terletak pada formula syair dan lagu nya. setiap formula suatu syair
lagu merupakan rumusan teologi, yang kemudian menjadi pegangan hidup ketika formula

12
Kantor Pusat HKBP, Buku Ende HKBP.
13 Darwin Lumbatobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, 310-311.
14 Ibid., 307-308.

6
teologi itu dapat dihidupi, yaitu jika syair lagu Buku Ende HKBP dinyanyikan, maka makna
dan pesan teologisnya akan mudah meresap dan melekat dalam penghayatan Iman.15

2.5. Buku Ende mengganti “Andung”

Dari Penelitian Robert William Hodges, jr., tentang peranan Buku Ende HKBP dan
fungsi Buku Ende dalam kehidupan spiritual Kristen Batak, akhirnya Buku Ende dapat
menggeser peranan Andung dalam masyarakat tradisional Batak dan menggantikannya dengan
ende dalam hidup kerohanian dan budaya Batak. Bagi masyarakat tradisional Batak,
andung/mangandungi adalah cara mengekspresikan perasaan duka, solidaritas, harapan dan
permohonan ketika menghadapi kematian atas orang yang dicintai. Mangandung (kata kerja:
andung) adalah cara mengekspresikan perasaan batin yang terdalam, sehingga setiap orang
yang mendengarnya turut merasakan kesedihan orang yang kehilangan atau kemalangan itu.
Kini tradisi mangandung pada masa berkabung hampir tidak ditemukan lagi dalam masyarakat
Kristen Batak. Sebab, ketika ada seseorang yang berduka maka pelayan gereja atau warga
jemaat yang hadir akan berinisiatif mengambil Buku Ende HKBP, yang biasanya sudah
tersedia, lalu mengajak para pelayat menyanyikan nyanyian rohani dari Buku Ende HKBP
tersebut. Tindakan seperti itulah yang membuat posisi andung tergeser dan menghilang dari
kehidupan masyarakat Kristen Batak, karena digantikan ende huria.16

2.6. Teologi Buku Ende

Syair nyanyian rohani yang ada dalam Buku Ende HKBP memiliki makna teologis
kontekstual, sesuai dengan kebutuhan terhadap relevansi kehadiran gereja ditengah-tengah
suku Batak pada waktu itu. Syair-syair lagu yang ada di dalamnya mengandung makna
teologis, sehingga syair lagu Buku Ende tersebut merupakan rumusan-rumusan dogmatis.
Dengan demikian fungsi Buku Ende tersebut merupakan salah satu buku pengajaran iman
Kristen di kalangan warga HKBP. Buku Ende sering berfungsi ganda bagi jemaat, sebagai buku
nyanyian rohani dan sebagai sumber pemahaman teologi praktis. Dalam syair-syair Buku Ende,
makna persekutuan dirumuskan secara teologis dengan sangat mendalam dan sangat luas.
Persekutuan di dalam Yesus Kristus mencakup: menjadi milik Kristus, menjadi anggota tubuh
Kristus, menjadi bagian dari persekutuan eskatologis, persekutuan yang akan datang. 17

15 Bungaran Antonius Simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak (Jakarta: Yayasan Putra Obor
Indonesia, 2012), 337-340.
16 Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal, 314.

17 Ibid., 318-319.

7
Beberapa tema teologis yang ditekankan dalam syair lagu Buku Ende sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan teologi kontekstual Gereja Batak, yaitu:
A. Persekutuan Kudus Milik Kristus
Beberapa nyanyian rohani dalam syair Buku Ende menerangkan bahwa persekutuan
orang kudus adalah milik Kristus. Alasannya, Kristus-lah yang memanggil, mempersekutukan
dengan diriNya dan menguduskan untuk kemudian menyelamatkannya. Demikian juga Gereja
sebagai persekutuan orang kudus tidak mungkin ada tanpa kehadiran Kristus di dalamnya.
Pengenalan terhadap Kristus sebagai raja Gereja menumbuhkan penyerahan diri secara total
kepada bimbingan dan penyerahan diri kepada Kristus yang diwujudkan dalam bentuk
kesetiaan terhadap GerejaNya. Bentuk konkrit penyerahan diri sebagaimana dipahami Pietisme
dapat dilihat dalam syair lagu Buku Ende No. 150:3, dikatakan “Ndang au nampuna ahu, dung
na tardidi au. Di goar ni Tuhanku, na mangulosi au. Naung domu au tu Jesus i, rap dohot
huria-Na. Ginomgoman-Na ”. Sesuai dengan makna syair tersebut, di dalam Agenda HKBP
disebutkan bahwa penerima baptisan dipahami sebagai syarat pertama untuk masuk ke dalam
Kerajaan Allah. Baptisan merupakan penyerahan diri (bila orang dewasa) atau penyerahan
langsung oleh orangtua (bila masih anak-anak), agar terdaftar namanya dalam Kitab Kehidupan
(Why. 3:5) sebagai pewaris kerajaan Allah.18

B. Persekutuan dalam Kasih

Ajakan ini juga ditemukan di dalam syair Buku Ende HKBP. Pemahaman ini yang
dihubungkan dengan pengenalan akan kasih Yesus Kristus yang dikenal dan diimani sebagai
Tuhan yang selalu memberi pengampunan atas segala dosa. Lagu rohani yang berjudul
Zulernen bleibt noch unsern Seelven, pada cetakan pertama Buku Ende ada di nomor 196, tetapi
pada edisi sekarang menjadi nomor 481. Syairnya menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah
seorang teladan untuk mengasihi orang lain. Melalui syair lagu tersebut dikatakan bahwa
persekutuan tanpa kasih pada akhirnya akan jatuh kepada perpecahan. Ajaran untuk saling
mengasihi antara sesama anggota persekutuan menjadi sangat penting dan merupakan
kebutuhan utama. Hal itu dikaitkan dengan pesan Yesus Kristus sebagaimana terungkap dalam
doaNya (Yoh. 17:21-22). Sebuah nyanyian Buku Ende menggambarkan kebutuhan tersebut,
yakni No.123 dengan judul: Ale dongan na saroha (O du Liebe mainer Liebe, atau pada edisi
lain: Herz und Herz vereint zusammen). Gereja sebagai tubuh Kristus menjadi wadah kehadiran

18 Ibid., 319-321.

8
kasih, sekaligus penyalur kasih Kristus antara sesama anggota persekutuan, dan anggota
persekutuan dengan manusia lain di luar persekutuan.19

C. Persekutuan Eskatologi

Perjalanan Gereja di dalam misi Kristus itu adalah perjalanan menuju kesempurnaan
hidup sebagai ciptaan baru (bnd. Rm. 8). Melalui kehadiran gereja sebagai realitas Kerajaan
Allah akan menghadirkan eskatologi dari masa depan di dalam kehidupan masa kini. Itu berarti
Gereja sebagai persekutuan eskatologi tidak dapat dibatasi dalam kefanaannya yang melekat
pada kehidupan dunia ini. Sebab, persekutuan orang percaya masa kini adalah realitas
persekutuan eskatologi tersebut. Makna persekutuan Eskatologis di dalam persekutuan gereja
masa kini dapat kita lihat dalam syair Buku Ende No. 545:1-2, Na soar do hita be (Kita adalah
orang-orang yang bersekutu). Rumusan ini menekankan bahwa persekutuan orang kudus tidak
akan berakhir didunia ini. Sebab diyakini bahwa orang beriman yang percaya kepada Yesus
Kristus akan hidup selama-lamanya (Yoh. 11:25-26; 6:25-29).20

Konsepsi umat Allah sebagai keluarga Allah hanya dapat dipahami di dalam
persekutuan dengan Kristus yang dipahami sangat konkrit melalui makna Baptisan dan
Perjamuan Kudus. Sebab, dengan menerima Baptisan dan Perjamuan Kudus, seseorang telah
berada di dalam persekutuan konkret, realitas dan eskatologis dengan Kristus (Rm. 6:3-5; bnd.
Kol. 1:16; Ef. 1:23). Pemahaman inilah yang menjadi dasar Gereja sebagai persekutuan
eskatologis. Pemahaman persekutuan eskatologis di tengah-tengah orang Kristen Batak banyak
dipengaruhi oleh John Bunyan (1628-1688), seorang penganut Puritanisme (Pietisme) Inggris,
melalui bukunya The Pilgrim’s Progress yang diterjemahkan ke bahasa Batak Toba dengan
Judul: Pardalanan ni si Christian (1890). Buku yang menggambarkan jiwa puritanisme abad
ke-17. Melalui perilaku hidup seorang yang bernama Christian yang saleh, dijelaskan bahwa
kehidupan didunia bukan tujuan akhir, melainkan merupakan persiapan diri untuk memasuki
kehidupan sorgawi.21

2.7 Buku Ende dan Efek Mozart


Musik yang dapat memengaruhi, meningkatkan dan mengembangkan neurologi daya
nalar seorang pendengar, itulah yang dimaksud dengan Efek Mozart. Musik Mozart “bisa
‘menghangatkan’ otak”, Ungkapan Gordon Show. Musik Mozart dapat memperlancar pola-

19
Darwin Lumbantobing, Tumbuh Lokal Berbuah Universal,321-324.
20 Ibid., 324-325.
21 Ibid., 325-327.

9
pola saraf kompleks tertentu yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan otak yang tinggi. 22 Otak
manusia memiliki dua belahan, otak kiri dan otak kanan. Di antara kedua otak itu ada yang
disebut corpus collosum jembatan antara otak kiri dan otak kanan yang berfungsi
merampungkan perkembangan otak kiri dan neurologinya sehingga nalarnya kreatif. Hal itu
membuktikan bahwa semakin banyak yang mendengar musik, belajar musik dan memahami
serta memainkan musik maka pikirannya akan semakin baik dan berkualitas. Sistem saraf itu
seperti sebuah orkes simfoni dengan berbagai ritme, melodi dan instrumentasi. 23
Musik secara misterius menjangkau kedalaman otak dan tubuh kita yang mengubah
banyak sistem tak sadar menjadi dapat berekspresi. Tentu tidak semua nyanyian atau lagu
memiliki kekuatan efek Mozart. Efek Mozart itu hanya ada pada lagu-lagu klasik, yang
memiliki berbagai jenis tangga nada, tinggi dan rendah, mol, minor dan krois. Sedangkan lagu-
lagu yang memiliki solmisasi, tangga nada yang mendatar dan hanya berulang-ulang dipastikan
tidak memiliki efek Mozart tersebut. Sebagaimana pada banyak lagu daerah, nyanyian
tradisional, yang sangat miskin perbedaan dan perbandingan-perbandingan nadanya, yang
sederhana dengan ritme atau irama musik pasti tidak memiliki efek Mozart. Sementara lagu-
lagu klasik, sebagaimana ditemukan pada Buku Ende memiliki keragaman tangga nada dan
jenis nada. Keberagaman nada itu merupakan kekayaan musik yang dapat memungkinkan
perkembangan urologis ke jenjang yang lebih berkualitas tinggi, dipastikan memiliki nilai Efek
Mozart.24
2.8. Teologi Nyanyian Buku Ende dalam Kebaktian Minggu

Ibadah di HKBP diselenggarakan menggunakan liturgi sebagaimana diatur dalam


Agenda HKBP dan sesuai urutan minggu-minggu gerejawi yang diatur dalam Almanak HKBP,
menggunakan Buku Ende HKBP atau buku nyanyian yang sesuai dengan Konfessi HKBP, serta
menggunakan teks khotbah atau bacaan Alkitab yang diatur dalam Almanak HKBP.25

Adapun makna dari nyanyian dalam unsur liturgi dalam peribadahan minggu HKBP
adalah sebagai berikut:26

1. Lonceng

22 Don Campbel, Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik dan Mempertajam Pikiran, Meningkatkan
Kreativitas dan Menyehatkan Tubuh (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 18.
23 Darwin Lumbantobing, HKBP do HKBP, 166.

24
Ibid., 167-168.
25Aturan dan Peraturan HKBP 2002 setelah Amandemen ketiga (Pearaja: Kantor Pusat HKBP, 2019), 33.
26Dina Kartini Tampubolon, “Pengaruh liturgi ibadah minggu terhadap kehidupan remaja di HKBP
Ebenezer Ressort sumbul distrik VI Dairi”. STB HKBP: 2022, 27-43.

10
2. Doa hening/diam
3. Nyanyian Pujian (Hymnus)/ Nyanyian bersama

Hymnus merupakan nyanyian yang dipersembahkan kepada Allah di dalam kebaktian,


sehingga ini menjadi unsur yang penting dalam kebaktian. Nyanyian ini untuk memuji Allah,
sehingga yang perlu dipahami dalam hal ini yaitu puji-pujian, nyanyian, dan juga alamat
nyanyian tersebut. Dalam arti jika kita menekankan aspek pujian maka kita akan
memperlihatkan keberadaan kita di hadapan Allah. Jika kita meminta pengampunan dosa dari
Allah itu merupakan berkat dan kasih. Bila nyanyian dinyanyikan maka teologi dari nyanyian
itu akan semakin jelas.

Dalam gereja HKBP nyanyian awal selalu di nyanyikan sebanyak 3 ayat. Alasannya
yaitu sebagai pujian kepada Tuhan juga untuk menunggu jemaat yang masih berada di luar
Gereja untuk masuk ke dalam dan duduk dengan tenang.

4. Votum dan Introitus dan Doa


5. Bernyanyi
Setelah Votum, Intruitus dan Doa, jemaat kembali bernyanyi untuk melengkapi doa
yang diucapkan sebelumnya, nyanyian harus bersangkutan terhadap apa yang sudah didoakan
di dalam introitus, sehingga menggenapkan apa yang sudah terdengar dalam introitus.
6. Patik/Hukum Taurat
7. Bernyanyi
Bernyanyi setelah hukum taurat merupakan jawaban dan ungkapan sukacita jemaat atas
kesediaan Tuhan mendengar doa umat-Nya dan merupakan sambungan doa jemaat dalam
rangka memohon kekuatan kepada Tuhan untuk hidup di dalam firman-Nya.
8. Doa Pengampunan Dosa dan Janji Tuhan akan Pengampunan Dosa
9. Nyanyian
Nyanyian ini merupakan nyanyian sukacita sebagai respon jemaat atas anugerah
pengampunan yang diterima dari Tuhan.
10. Epistel
11. Nyanyian
Respon dari jemaat atas pembacaan firman Tuhan
12. Pengakuan Iman Rasuli
13. Warta Jemaat
14. Doa Syafaat

11
15. Nyanyian dan Persembahan
Nyanyian dan pengumpulan persembahan adalah permulaan ibadah tahap kedua. Di
mana persembahan menjadi ucapan syukur atas berkat Tuhan dan Nyanyian, Memimpin hati
jemaat untuk mendengar Pembacaan Injil dan Khotbah.
16. Doa dan Khotbah
17. Doa Persembahan
18. Doa Penutup / Doa Berkat

Dalam struktur liturgis HKBP, dalam hal ini khususnya nyanyian jemaat. Setelah
khotbah ada juga nyanyian jemaat sambil mengumpulkan persembahan. Nyanyian yang dipilih
biasanya nyanyian yang sesuai dengan khotbah. Kemudian doa persembahan dan dibubuhi juga
nyanyian di dalamnya (BE. 204:2). Dilanjutkan dengan Doa Bapa Kami yang didalamnya juga
ada nyanyian jemaat (BE. 841). Nyanyian ini disebut dengan Doxologi, nyanyian ini harus
diiringi dengan suara musik yang harmonis yang sesuai dengan Buku Logu karena di dalamnya
sudah dibuat aturan yang tepat. Agar penghayatan untuk puji-pujian hanya kepada Allah
tersampaikan dengan penuh hikmat. 27

III. STUDI KASUS

Kami dari kelompok 4 yang membahas tentang Buku Ende tertarik untuk mengambil
contoh kasus yang sekarang ini terjadi yaitu tentang meng-cover lagu dari Buku Ende. Zaman
teknologi yang semakin canggih ternyata juga mempengaruhi gereja, gereja dituntut untuk
terus berinovasi dalam meningkatkan pelayanannya, demikian juga dengan gereja HKBP.
Banyak dari antara jemaat maupun pelayan tahbisan yang ikut meng-cover lagu dari Buku Ende
serta membuatnya ke YouTube. Bagi beberapa orang hal ini disambut baik. Di mana jemaat
tersebut begitu tertarik mendengar lagu-lagu yang sudah diaransemen. Juga menambah
pengetahuannya tentang bagaimana cara menyanyikan Buku Ende yang mungkin jarang
didengar.

Tetapi, bagi beberapa orang hal ini memiliki dampak yang kurang baik juga apabila
yang dinyanyikan tidak sesuai dengan yang ada di Buku Ende, misalnya ketukannya atau
bahkan ada yang mengubah beberapa nadanya. Tentu hal ini sangat berpengaruh juga bagi
jemaat karena mereka bisa jadi lebih mengingat apa yang dipertunjukkan di YouTube tersebut.
Gereja HKBP terkesan mengarah ke aliran karismatik termasuk dalam musik gerejanya, di

27 A.A. Sitompul, Ende dohot Persombaon tu Debata (Tarutung:Pensilwalli, 1985), 171-173.

12
mana pada awalnya gereja HKBP hanya menggunakan organ, namun sekarang sudah semakin
banyak yang memadukannya dengan alat musik modern.

IV. ANALISIS

Analisa kelompok kami tentang sejarah dan isi Buku Ende serta pelaksanaannya di
HKBP yaitu bahwa isi Buku Ende yaitu nyanyian yang berisikan nyanyian pujian kepada
Tuhan. Tentu nyanyian merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam peribadahan
dan tata liturgis HKBP. Buku Ende dibawakan oleh misionaris lalu di terjemahkan ke dalam
bahasa Batak. Sejarah yang panjang untuk menjadikan Buku Ende yang saat ini digunakan
gereja HKBP, banyak orang yang berperan dalam penyempurnaannya. Salah satu tokohnya
yaitu pendiri STB yaitu Elfrida harder (Haluaon Na Gok). Nyanyian tersebut dibuat khusus
untuk kegiatan-kegiatan perempuan (Bibelvrouw) saat itu dengan unsur teologis yang sangat
dalam. Namun tidak hanya itu saja masih banyak yang lainnya, yang tentunya setiap nyanyian
mengandung teologis.

Akan tetapi banyak jemaat yang masih belum memahami secara benar akan makna
teologis dalam setiap nyanyian tersebut. Oleh karena itulah seperti yang menjadi studi kasus
yang dibuatkan oleh kelompok. Di era globalisasi saat ini, segala ilmu dan bahkan perubahan
cepat diterima publik, dan ini juga terjadi dalam pemahaman yang benar akan nyanyian dalam
Buku Ende. Banyak saat ini, para Konten Creator yang membidik dan meng-cover nyanyian
Buku Ende dengan nada yang di aransemen sehingga pemahaman jemaat dalam merekam
nyanyian Buku Ende menjadi salah dengan not, melodi yang sudah ditentukan sejak mula-
mula. Bukan itu saja di kalangan remaja/pemuda HKBP juga memandang nyanyian Buku Ende
sangat membosankan sehingga tidak jarang dari mereka yang lebih menyukai nyanyian rohani
yang bergenre pop. Dalam pemahaman jemaat akan hal ini lah, peran gereja sangat diperlukan.
Sangat penting diberikan edukasi yang tepat mengenai nyanyian dalam Buku Ende, unsur
teologis apa yang tersirat didalam nyanyian Buku Ende hingga gereja harusnya mampu
mengajari dalam bernyanyi Buku Ende dengan baik dan benar.

V. KESIMPULAN

Nyanyian yang ada di HKBP yaitu Buku Ende, bukan hanya memuji Tuhan, tetapi juga
turut membentuk nalar berpikir masyarakat Batak serta juga sebagai rumusan konvensional
dan dogmatis di mana pada saat generasi pertama Kekristenan Batak, nyanyian itu tidak dibaca

13
melainkan didikte, dibacakan dengan keras-keras, dihafalkan, sehingga pengucapannya tidak
hanya disuarakan melalui lidah dan mulut, melainkan meresap secara kognitif, ke hati dan
pikiran sehingga disuarakan melalui perasaan, pengalaman totalitas kehidupan dan iman
kepercayaan kristiani. Syair lagu dan musik dalam Buku Ende haluaon Na Gok, berasal dari
spiritualitas pietisme, pada abad ke-17 di Eropa, bahkan pencipta dan pengubahnya juga masih
berlatar belakang pietisme Tahun 1934, nyanyian “Haluan na Gok” belum digunakan dalam
ibadah gereja HKBP karena adanya pandangan yang berbeda dari para pendeta tentang
nyanyian tersebut.

Mereka mengatakan bahwa nyanyian dalam “Buku Ende Haluan na Gok” seperti
nyanyian orang yang kerasukan/ende ni na tondi-tondion. Disebut ende ni na tondi-tondion
karena warga jemaat HKBP Janji Matogu berpakaian serba putih naik ke menara gereja
menyanyikan nyanyian dari “Buku Ende Haluaon na Gok” seraya mengangkat tangan ke atas,
kadang bertepuk tangan, sambil mengatakan akhir zaman sudah dekat dan marilah kita naik ke
surga. Disana penomoran Buku Ende bagian “Haluaon Na Gok” tidak lagi dimulai dan nomor
1 sampai 232 tetapi dimulai dengan nomor 374 sampai 556 pada saat penggabungan ini ada 49
nyanyian yang dibuang dari Haluaon Na Gok karena nyanyian tersebut telah ada pada Buku
Ende HKBP bagian pertama. Teologi Nyanyian Buku Ende dalam Kebaktian Minggu Ibadah
di HKBP diselenggarakan menggunakan liturgi sebagaimana diatur dalam Agenda HKBP dan
sesuai urutan minggu-minggu gerejawi yang diatur dalam Almanak HKBP, menggunakan
Buku Ende HKBP atau buku nyanyian yang sesuai dengan Konfessi HKBP, serta menggunakan
teks khotbah atau bacaan Alkitab yang diatur dalam Almanak HKBP.

14
DAFTAR PUSTAKA

Lumban Tobing, Darwin. Reposisi Pekabaran Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019.
Abineno, J.L. Ch. Unsur-unsur Liturgia, yang Dipakai Gereja-gereja Indonesia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2019.
Abineno, J.L. Ch. Ibadah Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Campbel, Don. Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik dan Mempertajam Pikiran,
Meningkatkan Kreativitas dan Menyehatkan Tubuh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002.

Hutauruk, Jubil Raplan. Lahir, Berakar dan Bertumbuh didalam Kristus. Pearaja Tarutung:
Kantor Pusat HKBP, 2011.

Lumbantobing, Darwin. HKBP DO HKBP, HKBP IS HKBP. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016.

Lumbantobing, Darwin. Tumbuh Lokal Berbuah Universal. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2018.

Kantor Pusat HKBP. Aturan dan Peraturan HKBP 2002 setelah Amandemen ketiga.
Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 2019.

Kantor Pusat HKBP. Buku Ende HKBP. Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1990.

Kantor Pusat HKBP. Agenda HKBP Bahasa Indonesia dan bahasa batak. Pematangsiantar:
Percetakan HKBP, 2002.

Saragih, Novita Romauli & Dkk. Musik Gerejawi. Jawa Barat: Media Sains Indonesia, 2002.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. Konsepku Membangun Bangso Batak. Jakarta: Yayasan


Putra Obor Indonesia, 2012.

Sitompul, A.A. Ende dohot Persombaon tu Debata. Tarutung:Pensilwalli, 1985.

Tampubolon, Dina Kartini. Pengaruh liturgi ibadah minggu terhadap kehidupan remaja di
HKBP Ebenezer Ressort sumbul distrik VI Dairi. STB HKBP: 2022.

15

Anda mungkin juga menyukai