Anda di halaman 1dari 11

Nama Kelompok : 1.

Riahdo Syafitri

2. Rita Mutiara Napitupulu

3. Susina Yanti Siagian

4. Sintia Sigalingging

Semester : IV-B

Mata Kuliah : Teologi Lintas Budaya

Dosen Pengampu : Pdt. Maruhum Simangunsong, M.Th

TEOLOGI MINJUNG KOREA SELATAN

I. PENDAHULUAN

Teologi Minjung merupakan sebuah refleksi sejumlah pemikir bersama rakyat banyak yang
dilakukan oleh orang-orang Kristen di Korea Selatan untuk melepaskandiri dari penderitaan-
penderitaan. Minjung hadir untuk memberikan pembebasan nasional dari kekuasaan
yangmendominasi. Mereka adalah orang-orang masyarakat kecil yang terabaikan dalamsejarah
Korea. Mereka tidak memiliki hak dan kaum tidak terpandang. Berdasarkan pembatasan yang
dilakukan.1

Terdapat berbagai agama atau kepercayaan asli yang kuat di Korea, seperti shamanisme
(aliran animisme) merupakan sinkritisme dari ajaran Budha dan ajaran Konghuchu, Islam dan
Kristen. Agama-agama tersebut berusaha untuk melakukan gerakan yang bisa menolong
manusia yang berada dalam penderitaan supaya mengalami pemulihan dan kehidupan yang
layak. Dari Kristen Korea melahirkan sebuah teologi yang disebut Minjung. Teologi Minjung
telah menjadi dasar bagi para teolog Kristen untuk menyokong orang-orang miskin dan
mengalahkan ketidakadilan dalam kehidupan duniawi. Oleh karena itu dalam hal ini kelompok
akan membahas tentang bagaimana teologi Minjung dari sudut pandang orang korea selatan. 2

1
Eka Darma Putra, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Muli, 1988), 293.
2
Jonathan E, Culver, Sejarah Gereja Asia, (Bandung: Biji Sesawi, 2014), 228-229.
II. PEMBAHASAN

2.1. Definisi dan Lahirnya Minjung

Istilah Minjung diambil dari dua kata Sino-Korea yaitu “Min”artinya masyarakat,rakyat
dan“Jung” artinya umum, massa. Dengan demikian Minjung diartikan sebagaimasayarakat
secara umum. Minjung adalah sebuah istilah yang digunakan untukmasyarakat secara
universal, dan pertama kali digunakan pada masa Dinasti “Yi” pada tahun 1392-1960 untuk
orang-orang yang tertindas baik secara politik maupunsosial dan beberapa hal lainnya lagi.
Kemudian teologi Minjung dirumuskan dalam konsultasi teologi pertama yang diorganisasikan
oleh Komisi Teologi Dewan Gereja-gereja Nasional di Korea yang diadakan di Seoul pada
tanggal 22-24 Oktober 1979dengan pokok “The People Of God And The Mission Of The
Chruch”.3

2.2. Ahn Byung-Mu dan Teologi Minjung Korea Selatan

Di samping K. Takizawa dan S. Yagi, Ahn Byung-Mu dari Korea adalah salah satu dari
sedikit teolog kontekstual generasi pertama yang belajar di Jerman. Dia lahir pada tanggal 23
Juni 1922 di Shinanju, Provinsi Pyong-yang Selatan, yang kini menjadi bagian dari Korea
Utara, sebagai putra dari seorang dokter yang menyembuhkan penyembuhan tradisional Asia.
Ketika Byung-Mu berumur satu tahun, keluarga itu lari dari bagian Korea yang dikuasai Jepang
ke Manchuria. Dibesarkan sebagai seorang Kong Hu Cu, Byung-Mu kemudian menjadi Kristen
pada masa mudanya. Hal ini mengakibatkan suatu keretakan hubungan dengan ayahnya yang
pemabuk dan memiliki seorang gundik. Ketika ibunya meninggalkan sang ayah, Ahn
membantu ibunya dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan sambilan. Kemu- dian, dia pergi ke
sekolah misi dari Gereja Canadian Presbyterian di Yongchang Namun, kemudian pada tahun
1941, seperti kebanyakan orang Korea pada generasinya dia pergi ke Jepang, negeri dari
penguasa kolonial yang dibenci. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas
Taisho pada tahun 1943, dia mendaftar untuk menempuh studi sosiologi di fakultas filsafat dari
Universitas Waseda. Untuk menghindari ancaman direkrut sebagai tentara Jepang, pada tahun
yang sama Ahn menghentikan panggilannya dan pergi sembunyi-sembunyi ke Manchuria.
Untuk sementara dia bekerja sebagai pengkhotbah awam di suatu jemaat. Setelah perang
berakhir dia mula-mula memutuskan untuk bekerja pada pemerintahan otonom dan

3
Christian De Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jajarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 176.
bernegosiasi dengan kekuatan pendudukan Rusia. Namun, harapan rakyat Korea untuk
otonomi nasional tidak terpenuhi.

Korea terbagi ke dalam tiga puluh delapan bagian yang sama yang kemudian terbagi lagi
ke dalam zona Amerika dan Rusia, di mana masing-masing kemudian segera mengembangkan
negara mereka sendiri. Pada tahun 1946 Ahn menyingkir ke Seoul dari tindakan pembalasan
yang semakin meningkat oleh kaum Komunis, secara khusus juga kepada kaum Kristen. Di
Seoul dia bekerja untuk hidupnya dan hidup ibunya dengan menjadi guru bahasa Inggris.

Bultmann adalah satu-satunya guru yang memiliki pengaruh yang sangat besar bagiku,
sebagai teolog dan pada saat yang sama sebagai ahli Perjanjian Baru -Jika saya tidak pernah
menemukan Bultmann mungkin saya tidak akan pernah belajar teologi. Dia menunjukkanku
jalan untuk berteologi dengan teman-temannya, Ahn membangun sebuah komunitas Kristen.
Mereka menekan elemen awam dan ingin mendemonstrasikan suatu alternatif bagi gereja yang
mapan. Ini juga merupakan momentum bagi didirikan-nya seminari Chungang, yang
menyediakan pelayanan teologi bagi kaum awam. Mula-mula Ahn mengajar sosiologi dan
bahasa Yu-Yesus historis. Ketika terjadi ketegangan yang semakin meningkat dalam hani kuno
di sana. Pengajaran Perjanjian Baru tentang penetapan pada komunitas itu dan kegagalan mulai
tampak, Ahn memutuskan untuk memperdalam studinya mengenai Yesus di Jerman. Karena
Bultmann sendiri sudah pensiun sejak 1951, Ahn pergi ke Heidelberg, ke murid Bultmann,
yakni Günther Bornkamm (1905-1990). Secara mendasar Ahn melanjutkan untuk mengajari
dirinya sendiri. Namun, justru di luar negeri ini dia beralih ke tradisinya sendiri dan mulai
membaca tulisan-tulisan klasik Kong Hu Cu. Pada tahun 1965 dia mendapatkan gelar
doktornya dengan suatu karya berjudul The Understanding of Love ini Kung-tse and Jesus.
Ketika kembali ke Korea, mula-mula Ahn mengajar lagi di Seminari Chungang, di mana pada
saat yang sama dia menjadi presidennya (1965-1971) Pada tahun 1971 dia dipanggil untuk
mengajar di Hankuk Theological University di Seoul.

Pada permulaan tahun 1970-an situasi politik di Korea Selatan makin genting. Sesudah
kejatuhan presiden Korea Selatan yang pertama, Singman Rhee, pada tahun 1960 menyusul
terjaring mahasiswa, pada tahun 1961 Park Chung Hee mengambil alih kekuasaan melalui
suatu kudeta militer perkembangan demokrasi yang pendek terhenti ketika baru dimulai.
Untuk dapat menjadi calon presiden pada periode ketiga dia mengubah konstitusi (1969).
Namun, pada tahun 1971 dia hampir tidak dapat mengalahkan calon lawan Kim Dae-Jung
dalam suatu pemilihan yang sah dipertanyakan. Dalam kebijakan luar negeri, rezim ini
semakin diisolasi oleh hubungan yang semakin dekat antara Amerika Serikat dan Cina. Dalam
kebijakan domestik, untuk pertama kali sejak diperkenalkannya rencana lima tahun, negara itu
diguncang oleh krisis ekonomi. Park menanggapi hal ini dengan mengajukan konstitusi Yushin
(1972), yang memberikannya kekuatan yang tidak terbatas. Perlawanan bertumbuh melawan
kediktatoran pembangunan, yang menjadi semakin represif.

Ahn menjadi terlibat dalam pekerjaan hak asasi manusia. Lingkungan eksternal memiliki
beberapa pengaruh terhadap pemikiran teologisnya. Dia menjadi semakin terasing dari tradisi
Jerman, yang pernah dinikmatinya secara antusias. Hubungan dengan dia berbicara mengenai
"penawanan Jerman" terhadap teologi Korea." Sosiolog Han Wan-Sang menggambarkan
Minjung lebih sebagai suatu kelompok masyarakat "yang secara politik tertindas, secara
ekonomi tereks- ploitasi, secara sosiologis teralienasi, dan dibiarkan tetap tak terpelajar dalam
hal budaya dan intelektual." Istilah Sino-Korea untuk Minjung terbentuk dari dua kata, yaitu
Min artinya "rakyat" dan jung artinya "massa" sehingga artinya "massa rakyat". Namun, para
wakil gerakan Minjung tetap menegaskan dengan sungguh-sungguh bahwa kata Minjung
sebenarnya tidak bisa dijemahkan. Mereka secara sengaja tidak ingin membatasi Minjung
sehingga membiarkannya seterbuka mungkin. Meskipun demi kian, batas dengan konsep
Marxis mengenai kelas sudah jelas. Hal ini dapat dijelaskan bukan hanya melalui tekanan
militer, yang ingin membungkam kaum oposisi dengan undang-undang antikomunis.

2.3. Gerakan Minjung

Gerakan Minjung adalah suatu gerakan pembaharuan politik di mana politik dalam negeri
berjuang bagi penghargaan terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, dan demokratisasi,
serta dalam soal pembagian tanah, penen- tuan nasib bangsa, dan penyatuan kembali Korea. Di
sini gerakan Minjung merupakan bagian dari kebangkitan budaya yang menghidupkan kembali
budaya Korea, yang telah ditindas selama penjajahan Jepang dan yang setelah itu diabaikan di
bawah pengaruh Barat. Suatu debat hermeneutis berkem- bang dengan elite militer dan
birokrasi mengenai interpretasi sejarah dan budaya Korea. Setelah anti-komunisme terbukti
hanya memberikan manfaat yang sedikit bagi kesatuan ideologis, para pemimpin negara
kembali berupaya mendasarkan legitimasi mereka dalam identitas bersama Korea. Pemerintah
mengambil tindakan tegas terhadap kelompok oposisi. Para teolog Minjung juga dipindahkan
dari pos mereka dan ditangkap; beberapa dari mereka disiksa. Ahn sendiri dipenjarakan pada
1 Maret 1976 sebagai yang turut me- nandatangani "Deklarasi mengenai Kebebasan
Demokratis Negeri Kita"10 dan dijatuhkan hukuman untuk dipenjarakan selama beberapa
tahun.

Para teolog Minjung terus menegaskan bahwa mereka hanyalah bagian dari suatu gerakan
yang lebih besar yang di dalamnya sebagai orang Kristen mereka hanya merepresentasikan
suatu kelompok kecil. Apa yang para teolog telah formulasikan sejak awal 1970-an
dipresentasikan pertama kali kepada publik yang lebih luas atas undangan dari Dewan Nasional
Gereja-Gereja Korea pada tahun 1979 pada sebuah konferensi dengan judul yang tidak
mengandung kecurigaan "Umat Allah dan Misi Gereja". Sementara konsultasi itu sedang
berlangsung, Park Chung-Hee dibunuh oleh kepala keamanan rahasianya sendiri. Suara dalam
konferensi itu tetap merupakan pernyataan teologis gerakan tersebut. Apa yang muncul setelah
itu pada dasarnya hanya merupakan upaya melihat kembali. Tidak terdapat monograf hanya
beberapa artikel, teologi yang terpisah dalam bagian-bagian, dibicarakan dalam suatu situasi
khusus tanpa klaim mengenai validitas yang bertahan. Teologi Minjung tetap merupakan suatu
posisi minoritas dalam gereja, namun para tokohnya telah mendapatkan pengaruh yang lebih
besar, baik dalam kehidupan bergereja maupun dalam politik secara umum.

Seperti Teologi Hitam, teologi Minjung juga tidak menghasilkan suatu kristologi yang
eksplisit. Namun, di sini juga Yesus Kristus adalah pusat gravitasi yang di dalamnya argumen-
argumen difokuskan. Jalan yang ditempuh adalah melalui pertanyaan mengenai relevansi
pribadi Yesus bagi konteks Korea. Hal ini merupakan sumbangan khas dari Ahn sebagai ahli
Perjanjian Baru di mana dia menambahkan suatu varian yang khas Korea kepada inter- pretasi
mengenai Yesus dalam teologi pembebasan. Dalam apa yang disebut okhlos, yakni orang-
orang yang berkumpul di sekitar Yesus seperti digambar- kan oleh Injil Markus, Ahn
menemukan suatu kelompok rujukan bagi sebuah interpretasi teologis mengenai situasi
Minjung Korea. Dengan istilah okhlos, penulis Injil Markus mengadopsi suatu istilah bagi
"rakyat banyak" yang dalam literatur Helenistik-Yahudi pada masa itu umumnya memiliki
konotasi negatif, dalam rangka mengindikasikan suatu kelompok orang yang sentral di dalam
Injilnya. Pemungut pajak, orang berdosa, dan orang sakit masuk dalam kategori ini,
sebagaimana perempuan dan anak. Di dalam orang-orang ini yang secara keagamaan
dipandang rendah, mereka yang lemah dan ter- desak ke pinggiran, singkatnya kaum miskin
dan tertindas. Kelompok yang tak berbentuk dari masyarakat Galilea kelas bawah, yang
komposisinya ber- variasi, inilah yang merupakan perhatian langsung Yesus. Mereka mengalir
bersama ke mana saja Yesus pergi dan kepada merekalah misinya ditujukan. Kepada mereka
Yesus melakukan mukjizat-mukjizat untuk memperlihatkan dekatnya pemerintahan Allah.
Dengan Interpretasi kerygmatis sosial mengenai okhlos Ahn mengoreksi pandangan kritik
bentuk yang hanya melihat kelompok ini sebagai suatu gaya penggam baran yang artinya
merujuk pada “kelompok paduan suara” dalam drama pada zaman kuno. Pengkhianatan oleh
okhlos di Yerusalem bertentangan dengan kedekatan hubungan antara Yesus dan orang-orang
ini di Galilea seperti yang telah di- gambarkan sejauh ini. Penulis Injil Markus mendasarkan
catatannya pada tradisi lisan. Sejauh ini Ahn melakukan eksegese tradisional. Namun, dalam
hubungan dengan ini ia mengatakan bahwa rakyat biasa itu meneruskan peristiwa Yesus dalam
bentuk rumor. Rumor adalah bentuk komunikasi dalam situasi penindasan. Rumor adalah
subversif. Orang-orang itu memelihara cerita-cerita mengenai bagaimana Yesus telah hidup
dengan mereka di Galilea, memproklamasikan pemerintahan Allah kepada mereka,
menyembuhkan penyakit mereka dan memberi mereka makan, dan meneruskan cerita itu.
Perwakilan resmi gereja dalam upayanya mengonsolidasikan diri mengambil tindakan lain.
Mereka memformulasikan kerygma dari makna kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
Kerygma tidaklah terhubung dengan peristiwa itu sendiri, tetapi menginterpretasikannya.

BagiAhn, kategori dari sebuah peristiwa adalah suatu ekspresi dari historisitas iman
Kristen. Aktivitas Yesus di Palestina, kematian dan kebangkitan-Nya, menjadi kunci
hermeneutis pada kehadiran Kristus yang bangkit dalam peristiwa Minjung sebagaimana
pengorbanan diri dari pekerja tekstil Chun Tae-ll atau kematian mahasiswa Park Chun-Chul
akibat siksaan.” Bagi Ahn, menceritakan kembali peristiwa Yesus terkonsentrasi dalam
biografi sosial. Dia mengambil alih istilah ini dari Kim Yong-Bock (lahir 1938), yang sejauh
ini merupakan yang termuda di antara teolog Minjung generasi pertama. Ahn mentransfer
konsep ini, yang Kim kembangkan dalam menge- lola cerita-cerita dari para Minjung Korea,
secara konsisten dalam hubungan antara Yesus dan okhlos. Yesus tidak mati untuk Minjung,
tetapi dengan me- reka; kematian-Nya adalah kematian seorang rakyat biasa. Dalam
penderitaan para Minjung Kristus yang bangkit itu terus menjadi nyata.

Kumpulan teologi penderitaan yang terbentuk di sini membuat Ahn dituduh sebagai yang
menyamakan Minjung dengan Yesus Kristus dan karena itu merupakan sebuah pengilahian
Minjung. Ini adalah kritik yang terus- menerus dibuat dalam bentuk yang sama terhadap
teologi-teologi pembe- basan.Namun, di sini kita harus mengajukan pertanyaan yang
mendasar, “Siapa yang diidentifikasikan dengan siapa atau siapa yang mengidentifikasi- kan
dirinya dengan siapa?” Yesus mengidentifikasikan diri-Nya dengan rakyat biasa dan menaati
panggilan-Nya untuk menjadi murid, kita pun harus meng- identifikasikan diri dengan mereka
itu. Kemuridan sebagai identifikasi dengan Yesus Kristus terutama berarti menem- patkan diri
seseorang pada sisi kaum miskin dan tertindas yang dengannya Yesus mengidentifikasikan
diri-Nya. Para teolog Minjung telah menemukan Kristus yang menderita dalam penderitaan
kaum Minjung.

Tekanan diletakkan pada kehadiran Yesus Kristus dalam penderitaan. Orang Korea
berbicara mengenai “Han” dan mengklaim bahwa sama seperti istilah Minjung, istilah Han pun
tidak dapat diterjemahkan. Mereka menunjuk pada paradoks tertentu dalam istilah itu yang
secara penuh bertentangan dengan konsep Barat mengenai penderitaan. Bagi Suh, Han adalah
suatu ekspresi dalam terminologi Kristen bagi keadaan dari mereka yang menjadi korban dosa
orang lain (those who are sinned against). "Dosa' merupakan bahasa penguasa, sedangkan 'Han
adalah bahasa Minjung. Ahn menghapus perbedaan antara Yesus historis dan Kristus
kerygmatis dalam cara yang sudah tidak asing bagi kita dari teologi pembebasan, dalam
Christus praesens. Perjalanan mencari kehadiran Kristus telah membuat wa- jah-Nya
ditemukan dalam kaum Minjung. Teks Injil Markus dan konteks Korea saling menginterpretasi
secara timbal balik dan keduanya saling mengenali satu dengan yang lain. Kehadiran Yesus
Kristus dalam penderitaan kaum Minjung telah berfungsi untuk membentuk identitas, dan
harkat yang dijanji- kan kepada rakyat biasa, yang bertentangan dengan kenyataan yang ada.
Jika Ahn, sesuai dengan profesinya sebagai ahli Perjanjian Baru menda- sarkan teologi
Minjungnya dalam membaca kembali Injil Markus dan melihat konteks Korea dari perspektif
teks, alter ego-nya, Suh Nam-Dong, teolog sis- tematikus itu mengambil posisi sebaliknya. Suh
sangat gemar berbicara mengenai pertemuan antara kedua tradisi. Kini, tugas dari teologi
minjung Korea adalah untuk membuktikan bahwa dalam Misi Allah di Korea terdapat suatu
pertemuan antara tradisi minjung dalam Kekristenan dan tradisi minjung Korea. Tugas teologi
minjung adalah untuk berpartisipasi dan menginterpretasikan secara teologis peristiwa yang
kita pandang sebagai intervensi Allah dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus.

Dalam suatu kuliah beberapa saat sebelum kematiannya yang tiba-tiba, Suh dan Ahn
terlibat dalam debat teologis yang hangat mengenai pertanyaan tentang hubungan teks dan
konteks ini. Diskusi itu tidak dapat dilanjutkan. Pada Sidang Raya DGD di Canberra, teolog
muda Korea Chung Hyun-Kyung (lahir 1956) menarik perhatian peserta sidang dengan
penampilan teologis yang mengundang debat, dan memprovokasi publik teologis dengan
perkata- annya “kami adalah teks, dan Alkitab serta tradisi gereja Kristen merupakan konteks
dari teologi kami.” Secara mendasar hal ini sebenarnya merupakan suatu versi baru dari suatu
debat mengenai prinsip yang telah dimulai pada generasi sebelumnya.
Konsep Suh, yang masih bersifat teoritis, sudah diterjemahkan ke dalam praksis oleh Hyun
Young-Hak (lahir 1921), anggota senior ketiga dari gerakan itu. Sehubungan dengan slogannya
“Allah tidak dibawa dalam tas punggung ke Korea oleh para misionaris pertama,” dia mencari
jejak tindakan historis Allah dalam budaya Korea. Hyun mengisahkan cerita-cerita yang dia
berikan interpretasi teologis yang hati-hati. Gambaran Hyun mengenai Yesus, terbentuk oleh
pengalamannya dengan kaum Minjung, tetap ambivalen. Yesus menjumpainya dalam
kenangannya sebagai roh, sebagaimana la tergantung penuh darah di salib tetapi juga sebagai
Dokaebi, sejenis peri yang memper- mainkan manusia. Untuk menjadi seorang imam Han, para
teolog Minjung harus menjadi murid Kristus. Apa yang Ahn kerjakan melalui teks Alkitab,
dicapai oleh Hyun melalui dramatisasi cerita, membayangkan kehadiran Kristus di dalam
penderitaan Minjung dan sebaliknya.

Jika dalam rasisme Teologi Hitam menyerang kekuatan jahat yang dapat secara cepat
dimengerti dalam hubungan antarmanusia, sebagai teologi politik dalam konteks Korea teologi
Minjung mengisyaratkan suatu informasi minimum mengenai sejarah Korea yang terakhir
untuk dapat dipahami. Secara teologis kedua gerakan secara sejajar menemukan pintu masuk
kepada kristologi melalui pribadi Yesus Kristus dan dalam ajaran mengenai kehadiran Kristus
(chirstus praesens). Keduanya dapat dipahami sebagai teologi salib dalam arti yang terbaik,
meskipun dengan penekanan yang berbeda. Teologi Minjung memberikan seluruh tekanan
kepada kehadiran Kristus dalam pen- deritaan (Han); Teologi Hitam mengajukan penebusan
Yesus Kristus sebagai tekanannya. Argumen mereka bertemu ketika keduanya menambahkan
pen- ciptaan identitas kepada kristologi.

Dalam perjalanan waktu Afrika Selatan dan Korea Selatan telah menga- lami perubahan-
perubahan politik yang besar. Kelompok oposisi dahulu kini menjadi kekuatan yang
memerintah. Entahlah para pendukung Teologi Hitam dan Teologi Minjung berusaha untuk
menanggapi perubahan ini dan meng- adopsi perubahan tersebut ataukah gerakan ini telah
melewati masa sulit mereka merupakan sebuah pertanyaan yang harus tetap terbuka di sini.
Namun, sebagaimana akan kita lihat dalam bab berikut, mereka masih terus membentuk
gerakan teologis di tempat yang lain. 4

III. ANALISIS

4
Volker Kuster, Wajah-wajah Yesus Kristus, Kristologi Lintas Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017),
206-216.
Dalam hal ini kelompok memberikan analisis bahwa Teologi Minjung telah menjadi dasar
bagi para teolog Kristen untuk menyokong orang-orang miskin dan mengalahkan ketidakadilan
dalam kehidupan duniawi. Dimana Teologi Minjung merupakan hasil dari pergumulan orang-
orang Korea yang mengalami penderitaan dan penindasan para pemimpin yang berkuasa
ditanah Korea. Ahn Byeong-Mu,Hyun Yong Hak, Suk Nan Dong dan beberapa orang lainnya
mencetuskan teologi Minjung dengan pendekatan sosial dan politik, sehingga hermeneutika
yang digunakan difokuskan pada masalah hak manusia

Teologi Minjung sangat kontekstualisasi dan memberikan dampak nyata yang bisa
dinikmati oleh orang Korea, selain itu Minjung memberikan teladan teologi aplikatif pada
setiap teolog supaya teologi yang mereka pelajari dapat diaplikasikan pada kehidupan
masyarakat dimana mereka berdomisi. Namun pada sisi lain interpretasi mereka terhadap
Alkitab tidak bisa dicontoh karena motivasi mereka serta merta hanya untuk menjawab
persoalan sosial tanpa memperhatikan kebutuhan spritual manusia. Teologi Minjung
mendasarkan pemahaman teologi mereka berdasarkan kondisi atau situasi yang terjadi pada
saat itu. Firman Tuhan yang dikutip terlihat alkitabiah namun sesungguhnya hanya sebagai
pendukung setiap gagasan dan ide mereka, dengan cara mencari ayat Alkitab yang cocok
dengan kebutuhan dan kondisi sosial.

Jadi, semua ajaran teologi Minjung tentang Allah, Kristsus, dosa dan iman tidak selaras
dengan Alkitab, sekalipun menggunakan teks-teks Alkitab dan istilah yang Alkitabiah pada
teologinya namun sesungguhnya konsep tersebut telah dikontrol oleh pikiran yang tidak
dikehendaki Tuhan karena bernuansa politik dan kekerasan secara fisik.

IV. KESIMPULAN

Teologi Minjung hasil dari pergumulan orang-orang Korea yang mengalami penderitaan
dan penindasan para pemimpin yang berkuasa ditanah Korea. Pengalamaman, perlawanan,
cerita hidup dan teologi Minjung terlihat melalui tari topeng, puisi, lagu-lagu dan seni yang
mengungkapkan penderitaan yang sedang mereka alami, tapi ekspresi ini bernuansa ejekan dan
balas dendam. Usaha Kaum Minjung untuk membebaskan diri dari penindasan menyebabkan
banyak dari mereka kehilangan nyawa, namun pengorbanan serta kerja keras mereka
membuahkan hasil, dimana kaum Minjung meraih kemerdekaan.

Namun pada sisi lain interpretasi mereka terhadapAlkitab tidak bisa dicontoh karena
motivasi mereka serta merta hanya untuk menjawabpersoalan sosial tanpa memperhatikan
kebutuhan spritual manusia. Teologi Minjung mendasarkan pemahaman teologi mereka
berdasarkan kondisi atausituasi yang terjadi pada saat itu. Firman Tuhan yang dikutip terlihat
alkitabiah namun sesungguhnya hanya sebagai pendukung setiap gagasan dan ide mereka,
dengan cara mencari ayat Alkitab yang cocok dengan kebutuhan dan kondisi sosial.
Hermeneutika yang digunakan Minjung membuat mereka salah dalam menafsirkan Alkitab
sehingga terjadinya kesesatan teologi hanya untuk memenuhi kebutuhan sosiologis dan politis.
Kemerdekaan yang mereka peroleh hasil dari kekerasan bukan karena kasih sehingga
menghilangkan ciri utama kekristenan yang lebih mengutamakan kasih.

Daftar Pustaka :

Putra Eka Darma, Konteks Berteologi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

Culver Jonathan E, Sejarah Gereja Asia, Bandung: Biji Sesawi, 2014.


Jonge Christian De, Menuju Keesaan Gereja, Jajarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Kuster Volker, Wajah-wajah Yesus Kristus, Kristologi Lintas Budaya, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2017.

Anda mungkin juga menyukai