Anda di halaman 1dari 15

Gereja di Dunia Modern

Abad XIX DAN XX Bagian


Pertama (Makalah UAS Penulis
pada Mata Kuliah Kekristenan
Global [Sem. 2]di STT Jakarta)

Date: April 14, 2016Author: williamwahyusembiring0 Komentar

PENDAHULUAN

Perkembangan kekristenan di wilayah Asia tak kalah menarik seperti


yang terjadi di dunia Barat.Berbeda dengan saudaranya di Barat,
perkembangan agama Kristen di dunia modern mendapat tantangan
langsung dari keadaan dan struktur sosial, ekonomi, serta politik yang
ada di wilayah Asia. Nilai-nilai kebudayaan dan konsepsi-konsepsi
filsafat yang mmenopang nilai-nilai seperti itu memainkan peranan
yang sangat penting di dalam gereja-gereja Asia(Adams 2006, 69). Hal
ini tentu menuntut suatu model yang berbeda dalam berteologi ala
Asia. Berikut akan dibahas beberapa tokoh yang memiliki peranan
penting dalam mencari jati diri berteologi di Asia sesuai dengan
konteks kebudayaan yang berada.
1. Kwok Pui Lan dan Teologi Feminis Asia
Kwok Pui Lan adalah seorang teolog berkebangsaan Cina.Ia juga
adalah seorang penganut teologi feminis yang sering menggunakan
istilah teologi feminis dari dunia ketiga. Kwoksangat memperhatikan
dengan tegas bagaimana keadaan perempuan-perempuan Kristen di
negaranya yang sering dianggap hanya sebagai objek.Kwokpernah
berkata bahwa dulunya orang-orang Kristen Asia, dibiarkan saja dan
jarang diundang untuk membantu mengatur
agenda teologis.Kamitampak lebih sebagai obyek misiologis misi
Kristen, bukan sebagai subyek teologis (Kwok 1994, 64).

Pada suatu kesempatan ia diharapkan untuk berpartisipasi dalam


dialog di sebuah pertemuan besar teolog-teolog Asia. Lan menyambut
kesempatan ini untuk mengangkat suara perempuan Asia dalam
teologi Kristen dan untuk berbagi dengan semua orang pandangan
pada problematika teologi feminis. Ia juga mencoba untuk berdiskusi
dengan isu-isu besar lainnya seperti: kebudayaan dan perbedaan
golongan, kemajemukan agama, dialog Yahudi-Kristen, dan bahasa-
bahasa yang erotik (Kwok 1995, 64).

Dalam sebuah tulisannya, Kwokingin membawa kita untuk melihat


bagaimana kebudayaan setempat membuat perbedaan golongan yang
terasa di Asia saat itu. Ia ingin membuka kembali pemahaman bahwa
perempuan pun harus ikut mnegambil bagian dalam setiap aktivitas
termasuk teologi. Pada awalnya teolog-teolog perempuan di Asia
memberi nama teologi mereka dengan sebutan Teologi Perempuan
Asia daripada Teologi Feminis, karena feminis memiliki konotasi yang
militan dan bersfiat memisahkan saat itu. Beberapa dari mereka pun
akhirnya sangat mengkritik keras sistem patriarkal yang mengakar di
kebudayaan Asia. (Kwok 1995, 65)Kwokdengan semangat penuh
mengajak seluruh kaum perempuan untuk bisa mendapat hak-hak
mereka kembali.

Golongan dan perbedaan kebudayaan dalam teologi feminis tidak


seharusnya membawa perempuan terpisah dengan hal lainnya,
malahan hal itu menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk bisa
bertanggung jawab dalam kehidupan berkomunitas (Kwok, 66). Orang
-orang Yahudi, Kristen dan agama-agama feminis harus maju
mendobrak penghalang-penghalang dan membangun kembali
jembatan tanpa memikirkan rasa bersalah di masa lalu. (Kwok, 71)

Teologi feminis akan terus berlanjut dimasa depan jika mereka terus
bersatu mendorong dan memberikan motivasi untuk bertarung
melawan berbagai bentuk penindasan, ketidakadilan, dan berusaha
untuk mencintai diri mereka serta orang lain. (Kwok, 74)

1. ALKITAB MENURUT KWOK PUI LAN


Kwok Pui Lan sendiri adalah seorang anggota jemaat dari Gereja
Anglikan yang memperoleh pendidikan teologi di Hongkong dan
Amerika Serikat. Sekarang ia mengajar di Cambridge, Massachusetts,
Amerika Serikat. (Singgih 2009, 131)

Sebagai seorang yang lahir dan berkembang ditengah-tengah


kebudayaan Timur, Kwoktentu memiliki perspektif berbeda dalam
memahami Alkitab dari orang-orang Barat pada masa pekabaran Injil.

Dalam bukunya yang berjudul Voice from the Marginia memiliki cara
pandang sendiri dalam membahas apa yang disebut dengan
kebenaran. Dulunya missionaris Barat menganggap bahwa mereka
memiliki kebenaran karena memiliki Alkitab. Mereka merasa wajib
memberitahukan kepada orang Asia bahwa apa yang mereka miliki
adalah salah dan karena itu perlu diajari mengenai apa yang benar.
Namun, Kwokkemudian melihat bahwa orang-orang Kristen Cina sadar
akan kekayaaan sastra mereka dan menganggap Alkitab juga perlu
diperlengkapi dengan-teks-teks konfusius, Taoime, dan Buddhisme.
Pada tahun 1920 oleh orang-orang Kristen Cina yang lain makna
sempit dari Alkitab yang diajarkan missionaris Barat dihubungkan
dengan aspirasi masyarakat Cina waktu itu. (Singgih, 132)
Kwokkemudian mengusulkaan agar orang Kristen di Asia khususnya di
Cina melakukan interpretasi terhadap Alkitab dengan jalan berimajinasi
secara dialogis.Secara sederhana, ungkapan ini berarti
menghubungankan secara kreatif citra-citra Alkitab dengan citra-citra
yang terdapat di dalam tradisi maupun sejarah setempat. (Singgih,
133)

Terlihat bahwa Kwok Pui Lan dalam bukunya begitu mengkritisi cara
kerja yang dilakukan oleh orang-orang dari Barat sekalipun itu
mengenai pekabaran Injil.Pemahaman Kwokterhadap Alkitab adalah
harus dihubungkan dengan tradisi dan budaya wilayah setempat.
Menurut Kwokbudaya Timur bersifat lebih lentur dan memiliki aspek
bahasa lisan yang tinggi ketimbang tulisan, oleh karena itu tulisan
tidak bisa bersifat sakral daripada bahasa lisan. (Singgih, 133)

2. TEOLOGI DAN ILMU SOSIAL


Dalam perkembangan selanjutnya Kwokjuga meperhatikan hubungan
antara teologi dan ilmu sosial. Dalam tulisannya ia mengutip
pandangan Clodovis Boff, yaitu teologi harus menjadi ilmu yang
mampu berkolaborasi pada interdisiplin dengan ilmu-ilmu sosial lain.
Para teolog juga harus menghormati keberadaan ilmu sosial karena
mereka memiliki nilai-nilai akademisdengan cara metode, norma dan
kriterian mereka sendiri dalam penerapaanya. (Kwok 2007, 17)

Teologi selama ini selalu berdiri pada dunia sendiri dan menutup pintu
akan ilmu-ilmu lain, seakan-akan menunjukkan keekslusifan dirinya.
Padahal menurut Kwok, teologi harus membuka diri terhadap ilmu lain
dan mencoba memikirkan suatu konsepsi lain sehingga dapat
menghasilkan sesuatu yang jah lebih berguna.

Terlihat di sini bahwa Kwok dan para teolog post-kolonial ingin


menghubungkan nilai-nilai dari ilmu-ilmu yang ada saat itu.Mereka
beranggapan bahwa teori-teori ilmu sosial tidak hanya menjadi alat
bagi teologi dalam memetakan dan memperlajari keadaan sosial
sekitarnya, tapi juga harus menjadi bagian pokok dari teologi itu
sendiri. (Kwok 2007, 17)

Pada akhirnya teologi Kwok Pui Lan adalah teologi yang selalu mencari
keseimbangan antara dirinya dan ilmu-ilmu lain dengan tidak saling
menajatuhkan tapi diharapkan dapat berkolaborasi.Kwokbersama
kelompoknya juga mengharapkan budaya dapat bergerak dimana
kaum perempuan dapat lebih dihargai sebagai makhluk yang memiliki
derajat yang sama dengan laki-laki pada berbagai bidangn kehidupan.

1. Aloysius Pieris
Sri Lanka adalah negara Asia yang mayoritas penduduk aslinya adalah
beragama Buddha oleh Sinhala dan beragama Hindu dari Tamil.Namun,
pada perkembangan selanjutnya yaitu memasuki masa-masa kolonial
bangsa Barat, kekristenan mulai masuk ke Sri Lanka oleh para
missionaris Barat. Selama bangsa Belanda menguasai Sri Lanka,
penduduk dipaksa untuk menganut agama Kristen, hingga nantinya
pada saat Inggris menajajah Sri Lanka kebebasan dalam hal beragama
diperbolehkan (Rubianto 1997, 18).Negara Sri Lanka terus berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan baik dalam hal politik maupun
ekonomi. Barulah pada tahun 1956 negara tersebut menjadi negara
repubik yang merdeka.

Setelah kemerdekaan itu, negara Sri Lanka tidak langsung menjadi


negara yang kuat, malahan terjadi perpecahan dan suhu yang
memanas antara Budha dan Kristen yang disebabkan karena
perekonomian yang kian merosot. Pada saat itulah gereja berinisiatif
untuk melakukan rekonsiliasi dengan mengadakan dialog antar umat
beragama.Mulailaih dibuka komunitas-komunitas seperti Satoday,
Buttala, dan Pusat Studi dan Dialog Antaragama, Tulana, yang dipimpin
oleh Aloysius Pieris bersama rekan-rekannya D.T. Niles, Lynn de Silva,
Tissa Balasuriya, dan Bryan de Kretzer.

Aloysius Pieris lahir di Ampitiya, Sri Lanka, pada tahun 1934.Ia masuk
Serikat Yesus pada umur 19 tahun dan ditahbiskan menjadi seorang
imam pada tahun 1965 (Rubianto 1997, 20). Pieris adalah orang yang
memiliki pemikiran kristis dan dialektis dalam menyampainkan
aspirasinya. Dengan gayanya mengakaitkan agama terhadap nilai-nilai
kultural, budaya, dan masyarakat (Rubianto 1997, 22). Ia ingin
mengembangkan suatu teologi pembebasan di kawasan Asia demi
untuk melawan kemiskinan dan konflik yang belakangan ini mulai
terjadi.

1. TEOLOGI PEMBEBASAN ASIA


Benua Asia merupakan benua yang memiliki banyak rumpun bangsa
untuk sebuah kawasan. Mulai dari bagian Utara hingga Selatannya
ternyata memiliki ciri khasnya masing-masing baik dalam budaya,
sosial-ekonomi serta religiusnya.Keanekaragaman Asia juga sangat
terlihat dari rumpun bahasa yang sangat beragam. Faktanya adalah
setiap bahasa merupakan cara khas baru menghayati kebenaran,
yang menyiratkan bahwa pluralism linguistik adalah indeks
keberagaman agama, budaya dan sosial-politik. (Pieris 1992, 256)

Pieris mengajak setiap pembacanya untuk kembali memikirkan ulang


tentang apa yang disebut sebagai bahasa. Jika kita melihat lebih
kedalam lagi bahasa dapat digunakan sebagai suatu sarana untuk
dapat mempelajari suatu kebudayaan dan agama disuatu daerah.
Lebih lanjut Pieris berpendapat bahasa adalah pengalaman akan
realitas dan agama adalah ekspresinya.. Dengan kata lain ia ingin
mengatakan bahwa agama-agama yang ada sekarang sebenarnya
dimulai dengan bahasa (Pieris 1992, 257). Ini merupakan dasar kita
dalam berteologi di Asia.

Berangkat dari hal tersebut, perlu dipahami dalam berteologi di Asia


tidak sama seperti di negara-negara Barat, Amerika,maupun Afrika.
Meskipun Asia adalah tempat lahirnya semua agama berkitab-suci di
dunia, termasuk Kristen yang ternyata langsung meninggalkan Asia
dan beberapa abad kemudian berupaya pemaksaaan jalannya kembali
laksana orang asing dan penyusup yang secara konsisten ditolak dan
dihiraukan oleh penduduk Asia (Pieris, 262). Hal ini mungkin terjadi
dengan banyak faktor antara lain kebudayaan dan mistik yang sangat
melekat bagi masyarakat Asia sehingga bagi mereka nilai-nilai tentang
ketuhanan yang diajarkan oleh Kristen tidak dapat dicapai.

Kendati demikian, ini merupakan suatu potensi yang besar bagi para
teolog-teolog Asia untuk dapat memperkenalkan pola teologi yang ada
di Asia dengan cara-cara yang lebih kreatif menunjukkan keberadaan
Kristen di Asia. Dalam metodologi untuk penelitian kita, maka tinjauan
perihal teologi kita yang harus dilakukan (a) dari sudut pandang dunia
ketiga pada umumnya dan (b) dari sudut pandang Asia pada khusunya.
( Pieris 1988, 81)

Dari sudut pandang dunia ketiga kita dapat melihat bahwa teologi Asia
sangat banyak dipengaruhi oleh teologi-teologi dari Barat, seperti
teologi Eropa klasik yang sangat banyak di berbagai lembaga penting
gereja Asia.Dan yang kedua adalah teologi Amerika Latin yang
dampaknya juga dirasakan pada kalangan teologis tertentu (Pieris, 81).
Karenanya bagi orang Asia, teologi pembebasan sepenuhnya bercorak
Barat, namun diperbarui secara sangat radikal oleh tantangan-
tantangan dunia ketiga sehingga memiliki relevansi untuk Asia yang
tidak dimiliki oleh teologi klasik (Pieris, 82). Kritik Pieris terhadap
teologi klasik dan teologi pembebasan Amerika Latin di Asia adalah
perumusan revolusi eklesiologis yang dipandang penting oleh Pieris
untuk dapat menemukan teologi (pembebasan) yang sungguh-
sungguh di Asia. (Rubianto, 70)

Pieris secara mendalam membahasakan teologinya dengan


menuliskan bahwa teologi di Asia merupakan teologi yang harus
melihat pada kemiskinan yang banyak di Asia. Pieris memandang
pembebasan yang sesungguhnya adalah ketika gereja mampu turun
kepada kaum-kaum miskin dan membawa kewibaan mereka sebagai
pewarta Injil bukannya selalu berada di atas dan berkutat seperti
Barat.

Mewartakan Injil di Asia berarti mengembangkan dalam kaum miskin


dimensi liberatif kereligisusan Asianya, entah kristiani atau bukan,
karena kaum miskin yang tidak menerima warta gembira demikian
cenderung mereduksikan agama sebagai candu, berjuang tanpa
harapan, dan denngan mudah menyerah pada dominasi religius dari
sekelompok elite. Akan tetapi, dengan melaksanakan tugas pewartaan
yang demikian, suatu komunitas Kristiani juga mendapat warta
gembira. Gereja disadarkan bahwa otoritasnya bukan dicari pada
kekuasaan lain, tetapi pada Sumbernya sendiri, yakni Dia yang telah
mempercayakan perutusan itu dengan teladan perendahan diri serta
identifikasi dengan kaum miskin. Jadi, di dalam dan melalui kaum
miskinlah, gereja menerima kewibaannya di Asia. Otoritas itu menjadi
pengantara revolusi yang memerdekakan, seperti yang telah dialami
Yesus sendiri dengan hidup dan wafat-Nya. (Pieris, 36)

Berdasarkan apa yang ditulis oleh Pieris, para teolog Asia diajak untuk
dapat turun lebih dalam kepada masyarakat dan ikut merasakan yang
mereka rasakan di sekelilingnya. Bukan hanya berbicara dengan apa
itu teologi Asia tapi melakukan praksis teologi tersbeut demi
membebaskan orang-orang Asia dari pergumulan mereka.

Teologi kita ialah cara kita merasakan dan melakukan hal-hal


sebagaimana diungkapkan dalam pergumulan rakyat kita mencapai
emansipasi spiritual dan sosial serta diekspresikan dalam corak khas
dan bahasa budaya yang ditimbulkan oleh pergumulan itu (Pieris, 85).
Teologi dengan demikian memang bukanlah semata-mata percakapan
tentang Allah. Apalagi dalam budaya Asia, berbicara tentang Allah
dalam dirinya sendiri merupakan omong kosong belaka. Semua kata
berasal dan berakhir pada keheningan. Percakapan tentang Allah
direlatifkan oleh pengalaman akan Allah (Rubianto, 98). Dengan kata
lain pengalaman akan Allah bersama masyarakat Asia adalah hal yang
mutlak diperlukan untuk mengembangkan teologi di Asia di tengah-
tengah himpitan budaya dan agama-agama lain yang lebih besar.
Pengaplikasiannya ialah gereja harus masuk di antara orang-orang
non-Kristiani untuk turut berpartisipasi total bersama masyarakat.

Gereja Asia harus beranjak dari gereja tiban (warisan kolonial) untuk
dapat, menyesuaikan diri dengan gereja-gereja kecil dalam komunitas
basis manusiawi yang di dalamnya gereja-gereja Asia dituntut untuk
kehilangan identitasnya dalam partisipasi. Dengan demikian, Pieris
dalam bukunya menyatakan teologi Asia akan menjadi wahyu Kristiani
dari pengalaman pemerdekaan orang-orang non-Kristiani (Pieris, 86).

III. Tissa Balasuriya

Tissa Balasuriya terlahir dengan nama lengkap Sirimevan Tissa


Balasuriya pada tanggal 29 Agustus 1924 di sebuah kota kecil
bernama Kahatagasdigility, Sri Lanka. Keluarganya adalah penganut
agama Katolik Roma. Pada tahun 1945 ia bergabung ke dalam
Congregation Of Oblates of Mary Immaculate (OMI), kemudian ia
menempuh pendidikan filsafat dan teologi di Gregorian University,
Roma. (Balasuriya 1997, 2)

Pada tahun 1964 Balasuriya ditunujuk sebagai Rektor dari Universitas


Aquinas di Sri Lanka. Tahun 1971 ia kemudian mendirikan lembaga
bernama Centre for Society and Religion dan manjadi direkturnya.
Hingga pada tahun 1976 Balasuriya dan teman-temannya mendirikan
sebauh lembaga besar bernama The Ecumenical Association of Third
World Theologians (EATWOT). (Balasuriya, 3)

Ia sukses dalam menulis beberapa buku dan menuangkan pikirannya


tentang teologi yang berkembang di Asia. Judul-judul bukunya antara
lain adalah Mary and Human Liberationdan Planetory Theology.
1. PLANETORY THEOLOGY (TEOLOGI SIARAH)
Asia pada tahun 80an hingga 90an masih berada dalam
kekuasaan masalah-masalah sosial-ekonomi yang berat.Mulai dari
kemiskinan, pengalihan kekuasaan kolonial atau dekolonisasi hingga
hubungan politiknya.Secacara khusus Tissa Blasuriya menyoroti
permasalahan Asia dalam bidang ekonomi.Hal yang paling utama
tercermin dari Asia saat itu ialah kemiskinan orang-orang kelas bawah
yang sangat memprihatinkan.Balasuriya selalu bertanya-tanya
bagaimana peranan gereja dalam melihat hal-hal seperti ini.

Dalam bukunya Teologi Siarah, ia mengembangkan beberapa buah


pikirannya terhadapa kalangan Kristen Asia yang terlihat acuh-tak
acuh terhadap kemiskinan yang melanda (Balasuriya 1994, 2). Ia juga
membahas beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi cara
pandang orang Kristen dia Asia saat itu, anatara lain karena budaya
kapitalisme dari Barat dan juga kemajuan teknologi dan pengetahuan
modern tanoa adanya suatu sikap peduli pada hak-hak asasi manusia
dan perlindungan alam telah merusak nilai-nilai kemanusiaan dan
alam (Balasuriya, 17). Selain itu, pengeksploitasian Barat dan konflik
yang terjadi di Asia sendiri membawa negara-negara Asia semakin
tertinggal umumnya.
Pada hakikatnya teologi siarah ingin berbicara kontekstualisai dari
berbagai teologi yang berkembang dari ajaran Kristus dan kekristenan
mula-mula hingga dapat sampai di Asia dan berkembang
di Asia.Suatu konsep siarah mengenai misi dan penginjilan gereja yang
dibarui harus mengutamakan pemeliharaan hubungan-hubungan
solidaritas di antara orang-orang dan bangsa-bangsa berdasarkan nilai-
nilai alkitabiah mmengenai garis kebenanran, Kerajaan Allah.
(Balasuriya, 120)
Gereja-gereja sebagai institusi dengan kehadiran yang dapat
merambah bisa menjadi alat yang sangat ampuh untuk membantu
manusia mengatasi loyalitas-loyalitas sempitnya warna kulit, kelas,
budaya, agama dan keluarga, demia kebaikan bersama umat manusia.
Pembebasan yang harus diperjuangkan gereja dalam generasi ini
adalah perubahan dalam mentalitas seluruh bangsa-bangsa agar yang
baik dari kemanusian didahulukan dari kepentingan-kepentingan
nasional (Balasuriya, 220)

Dalam misi total inilah kita berjumpa dengan Kristus secara lebih
penuh. Spiritualitas kita dnegan mengosongkan diri sendiri sebaga
pribadai atau kelompok selalu diawali dengan konteks local sendiri
terutama dalam bangsa-bangas Asia yang miskin dan tersingkir.
Karena mereka yang miskin, tidak berdaya dan tersingkir sama seperti
alam akan menunjukkan jalan ke salib pada gereja-gereja jalan yang
unik menuju kebangkitan. ( Balasuriya, 299)

2. MARY AND HUMAN LIBERATION


Maria ibu Yesus adalah seorang wanita yang mendapat tempat spesial
dalam tradisi Gereja Katolik.Maria begitu dimuliakan sebagai Ibu dari
Tuhan, yang dipanggil ketika dalam kesusahan, dan ketika orang-orang
membutuhkan perlindungan.Ia harus ditiru sebagai manusia yang
paling sempurna setelah Yesus (Balasuriya, 23).

Dalam pengalaman yang ada, Balasuriya melihat bahwa perempuan


sebagai makhluk kurang dihargai dalam kehidupan baik besat maupun
kecil. Oleh karena itu, ketika ia ingin membuat suatu teologi dengan
tema pergerakan perempuan banhyak pesan yang masuk yang
menyatakan dukungan atas gerakan tersebut. Seluruh dunia mulai
peka terhadap isu perempuan dan berupaya untuk mewujudkan
kebebasan hak bagi perempuan tersebut. (Balasuriya, 88)

Balasuriya kemudian ingin menghubungakan isu ini dengan


keadaan Maria.Mariasebagai figur ibu dari Tuhan dan ibu bagi kaum
perempuan miskin.Dalamperkembangan saat ini Mariologi atau ilmu
yang mengupas hakikat Maria telah memberikan kontribusi besar bagi
pembebasan perempuan di seluruh dunia.Teolog-teologi feminis juga
ikut serta dan sangat membantu dalam situasi ini. Mereka ingin
menunjukkan bahwa di dalam Alkitab pun perempuan mengambil andil
bagian dalam perjalanan firman Allah, misalnya Maria ibu Yesus yang
ikut dalam karya Yesus selama di dunia (Balasuriya, 89).

Pada intinya ialah, kesetaraan gender dan martabat sebagai manusia


antara laki-laik dan perempuanlah yang mereka harapkan. Tidak ada
lagi diskriminasi yang terjadi sehingga penindasan terhadpa kaum
perempuan yang katanya lemah dapat dihapus dan dihindari.

1. Kesimpulan dan Penutup


Perkembangan teologi kita di Asia pada abad modern ini tidak berjalan
semulus seperti saudara-saudara kita di Barat.Hal ini dipicu oleh
banyak faktor penyebab yang telah disoroti oleh beberapa tokoh
teologi di Asia, seperti Kwok Pui Lan yang membahas teologi di Cina,
Aloysius Pieris dan Tissa Balasuriya yang memperkenalkan teologi dan
pemikirannya kepada dunia dari lingkungan Sri Lanka.

Kemiskinan dan penindasan menjadi salah satu faktor yang harus


dihadapi kekristenan ketika masuk ke Asia.Banyak kaum bangsa Asia
yang masih tertinggal baik dalam bidang ekonomi, sosial dan politik.
Ditambah lagi kebudayaan-kebudayaan Asia yang sarat dengan mistik
akan membuat kekristenan harus memikirkan ulang pola
pewartaannya di Asia.

Selain itu, masalah gender juga menjadi sebuah isu yang harus
dihadapi teolog-teolog Asia.Mereka harus mampu menemukan
kekristenan yang tidak hanya sepenuhnya berbicara tentang laki-laki
tapi juga kesetaraan dengan perempuan.

Hal itu semua mempengaruhi Asia sebagai benua kuning dengan


bangsa-bangsa yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.Asia di
abad modern, sebagai tempat lahirnya kekristenan, tapi malah
kekristenan yang akhirnya sulit bertumbuh di Asia.Penemuan pola
teologi Asia harus terus dilakukan dan ditranformasikan demi
kepentingan semua orang.Asia sebagai benua yang paling luas
memiliki corak yang jelas berbeda dengan yang ada diluarnya seperti
Barat membutuhkan banyak dukungan perubahan dari setiap unsur
yang ada.

Tiga tokoh diatas hanyalah sebagian kecil perkembangan dan


perjuangan teologi yang dilakukan di wilayah Asia untuk menemukan
teologi yang cocok bagi wajah Asia. Kita tidak dapat
mengeneralisasikan bahwa suatu teologi akan pas untuk
menghadirkan perwujudan pembicaraan bersama Allah di luar
manusia. Asia akan terus berkembang begitu juga dengan teologi dan
pelaku-pelakunya.

Daftar Acuan

Adams, Daniel J. 2006. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia,


Jakarta:
Gunung Mulia.

Balasuriya, Tissa. 1997. Mary and Human Liberation, Harrisbur: Trinity


Press
International.

. 1994. Teologi Siarah, Jakarta: Gunung Mulia


Compier, Don H, Kwok Pui Lan, dan Joerg Rieger. 2007. Empire and The
Christian
Tradition, New Readings of Classical Theologians,Canada:
Fortress Press.
Elwood, Douglas J. 1992. Teologi Kristen Asia: Tema-tema yang Tampil
ke
Permukaan.Jakarta: Gunung Mulia.
Lan, Kwok Pui. 1994. Feminist Theology from The Third World, A
Reader.
Maryknoll: Orbin Books.

Pieris, Aloysius. 1988. An Asian Theology of Liberation, Maryknoll:


Orbin Books
Singgih, Emanuel Gerrit. 2009. Menguak Isolasi, Menjalin Relasi:Teologi
Kristen
Dan Tantangan Dunia Postmodern, Jakarta: Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai