Anda di halaman 1dari 13

TEOLOGI KONTEKSTUAL

“PERKEMBANGAN TEOLOGI KONTEKSTUAL DI ASIA”

DOSEN PENGAMPUH:
PDT. JEFRY KALALO, M.TH

DISUSUN OLEH:
GLATIA SAMBEKA (202041297)
SYNE ROMPIS (202041336)
GILBERT KALALO (202041352)

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
2023
PERKEMBANGAN TEOLOGI KONTEKSTUAL DI ASIA

KEBEBASAN BARU

Agama tidak terpisahkan dari kehidupan dan sejarah Asia. Semua agama besar
dilahirkan di Asia agama Hindu, Buddha, Islam, Yahudi dan Kristen - demikian juga ajaran
Kong Hu Cu, Taoisme, agama Shinto dan lain-lain. Gereja-gereja Kristen di Asia lebih tua dari
gereja-gereja di bagian-bagian dunia lainnya. Gereja-gereja Siria di India muncul sejak abad
ketiga dan bahkan mungkin pada abad pertama. Misi-misi bukan Barat pertama dilaksanakan di
Asia. Pengikut-pengikut Nestorius pada abad ke-7 diikuti oleh pengikut Fransiskan pada abad
ke-14, pengikut Yesuit pada abad ke-17 dan pengikut Luther pada abad ke-18. Namun demikian
masih ada kecenderungan dalam teologi Asia untuk menerima saja rumusan-rumusan teologis
Barat. Ada pengamat yang menyebut kekristenan di Asia sebagai "tanaman dalam pot" dan
bukan sebagai "tanaman yang dicangkok wajar" yang lain berbicara tentang "mentalitas ghetto"
yang sampai belakangan ini telah menghalangi orang-orang Asia untuk menanggapi kepentingan
budaya mereka dengan peka. Sebagai akibat situasi ini dan faktor-faktor lain, orang Kristen Asia
diperhadapkan dengan sejumlah masalah unik dalam mengkontekstualisasikan berita Kristen
kepada orang Asia. Masalah-masalah tersebut menimbulkan beberapa kesulitan dalam
menganalisis upaya-upaya kontekstualisasi.

Pertama, Asia merupakan daerah yang paling luas di dunia dan diduduki bangsa-bangsa
dan budaya-budaya yang sangat beraneka ragam. Untuk maksud ini, kita dapat membagi Asia ke
dalam tiga wilayah utama: Selatan, Tenggara dan Timur Laut.

Kedua, orang Kristen Asia "hidup di benua dengan tradisi-tradisi keagamaan besar,
dampak-dampak modernisasi, ideologi kiri dan kanan, konflik-konflik internasional, kelaparan,
kemiskinan, militerisme dan rasialisme". Oleh karena itu pelaku kontekstualisasi harus
menjawab kepelbagaian pertanyaan dan tantangan yang membingungkan. Ada tema-tema dan
alur-alur yang sama, namun segala pernyataan umum dapat dibantah dengan mudah.

Ketiga, jurang dalam agama Protestan, yakni antara kaum liberal dan kaum konservatif,
sudah lama dikenal di Asia dan telah jauh melanda di kalangan awam. Sepintas lalu hal ini tidak
terlalu berarti, karena usaha-usaha kontekstualisasi dari teologi liberal maupun konservatif dapat
ditemukan di mana-mana. Namun harus diperhatikan bahwa upaya-upaya kontekstualisasi yang
radikal di Asia tidak bersifat tentatif melainkan mencerminkan teologi liberal yang sudah
diterima.

Pada dasawarsa 1930-an ada upaya awal untuk mempribumikan teologi di Asia. Selain
itu para teolog Asia umumnya berusaha menguasai rumusan-rumusan teologis Barat. Namun
selama kira-kira dua puluh lima tahun terakhir banyak perhatian diberikan kepada upaya-upaya
kontekstualisasi Asia, pertama di pihak ekumenikal dan kemudian di pihak evangelikal.
Konferensi Faith and Order (Iman dan Tata Gereja)' pada tahun 1966 di Hong Kong, yang
disponsori oleh Dewan Gereja-gereja Asia Timur (sejak 1973 Dewan Gereja-gereja Asia),
membahas tema "Mengakui Iman di Asia Sekarang Ini". Banyak konferensi dan konsultasi
berikutnya, yang melibatkan Protestan, Roma Katolik dan lain-lain, telah membahas soal
menciptakan suatu teologi Asia.

Kaum evangelikal dari Asia Theological Association (yang terkait dengan WEF telah
mensponsori serangkaian konsultasi mengenai pokok ini. Konsultasi yang mungkin paling
penting diadakan di Seoul, Korea, pada tahun 1982. Berbagai partai ikut sebagai peserta dalam
konsultasi tersebut, yang mencakup juga sejumlah utusan dari bagian dunia lain. Hasilnya
adalah Deklarasi Seoul dan beraneka makalah yang terkumpul dalam The Bible and Theology in
Asian Contexts (Ro & Eshenauer 1984).

Laporan-laporan dari berbagai konsultasi dan wawasan lain tentang pemikiran teologis
Asia dapat ditemukan dalam The Human and the Holy (Nacpil & Elwood 1980), The Voice of
the Church in Asia (Ro 1975), Living Theology in Asia Today (England 1982) dan lain-lain.

Setelah bertahun-tahun menelaah teologi-teologi Asia, seperti teologi penderitaan Allah


(Jepang), teologi kerbau (Muangthai), teologi mata ketiga (untuk orang-orang Cina), teologi yin-
yang (Cina dan Korea). teologi tentang perubahan (Taiwan), teologi Minjung (Korea), serta
teologi India dan Sri Langka, sekretaris pelaksana Asian Theological Association
mengelompokkan teologi-teologi ini ke dalam empat kategori yaitu :

1. teologi-teologi sinkretis seperti dalam buku Panikkar, Unknown Christ of Hinduism


(1964);
2. teologi-teologi akomodasi seperti yang dikemukakan oleh Koyama, Waterbuffalo
Theology (1970) dan Sadayandi, Prophetic Christology for Neighbourology (1987);
3. teologi-teologi situasi seperti yang ditemukan dalam buku Kitamori, Pain of God
Theology (1965), Kim Yong Bock, Minjung Theology: People as the Subjects of History
(1981) dan berbagai teologi pem-bebasan lainnya; dan
4. teologi-teologi Asia yang berorientasi pada Alkitab yang contohnya tidak diberikan oleh
Roh namun tentu mencakup tulisan-tulisan dalam buku yang ikut ia sunting, The Bible
and Theology in Asian Contexts (1984), serta Samuel dan Sugden, yang menyunting
Sharing Jesus in the Two-Thirds World (1984).
M.M THOMAS

Ahli sejarah Arnold Toynbee percaya bahwa bila kekristenan ingin menjadi agama masa
depan, maka harus menjadi lebih inklusif, lebih terbuka terhadap perubahan dan bersedia
menerima berbagai cara mengungkapkan hasil-hasil pencarian keagamaan. Dengan kata lain,
kekristenan harus menjadi lebih serupa dengan agama Hindu dan memadukan berbagai
pandangan tanpa kehilangan identitas dirinya. Seandainya diterima secara luas, maka teologi M.
M. Thomas akan menghasilkan kekristenan serupa. itu.

Thomas, seorang awam dari Gereja Mar Thoma di India Selatan. adalah mantan direktur
Christian Institut for the Study of Religion and Society, Bangalore, dan penyunting majalahnya,
Religion and Society.

Teologi pribumi Thomas barangkali paling baik dipahami dalam konteks percakapan
berkesinambungan di DGD, mengenai sikap Kristen terhadap agama-agama bukan Kristen.
Percakapan ini dimulai dalam Konferensi Yerusalem pada tahun 1928. Untuk memahami sikap
dan masalah-masalahnya harus dingat:

 keterbukaan terhadap agama-agama lain yang diungkapkan di Yerusalem dan kemudian


oleh Hocking dan para anggota "Laymen's Inquiry" pada awal tahun 1930-an;
 posisi eksklusif Hendrik Kraemer pada Konferensi Misi Sedunia di Tambaram, India,
pada tahun 1938;
 dialog-dialog antar agama yang dimulai oleh DGD; dan berbagai usaha untuk
mengkontekstualisasikan teologi pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an.

Selama keterlibatannya, Thomas telah menanggapi pasang dan surut, arus utama dan
arus tepi dari percakapan itu dalam golongan DGD. Pandangan Thomas tentang sejarah sangat
menentukan upaya ber-teologinya. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai Koyama, namun
Thomas lebih dipengaruhi oleh teologi pembebasan. Thomas tidak melihat Allah menjangkau ke
dalam kehidupan manusia dari luar untuk mewujudkan maksud-maksud-Nya. Sebaliknya, Allah
mengusahakan maksud-maksud-Nya dari dalam sejarah. Karena itu, mau tak mau, teologi harus
melibatkan pemahaman tentang sejarah yang umum maupun khusus. Teologi Kristen untuk
India atau, lebih tepatnya, teologi Kristen India harus mengakui karya Allah pada masa lampau
dan masa kini dalam kebangkitan kembali agama Hindu dan dalam serangan sekularisme di
India, dan bekerja untuk mewujudkan rencana-Nya pada masa depan.
PENGAKUAN KRISTUS DALAM KEBANGUNAN KEMBALI INDIA

Menurut Kraemer agama-agama India berputar di sekitar inti monis yang tidak berubah-
ubah. Thomas tidak sependapat dengan Kraemer. la berkata bahwa kebangunan Hindu di zaman
modern "berusaha mencari makna [memberikan makna kepada] istilah 'pribadi' dalam
hubungannya dengan Allah, manusia dan masyarakat, dan berusaha mengaku bahwa Allah
bekerja dalam kehidupan dunia untuk mencapai suatu tujuan" . Menurut Thomas, India berada
dalam keadaan tegang sebagian besar sebagai akibat dampak kebudayaan Barat dan
Kekristenan. Monisme tidak lagi berfungsi sebagai pusat bersatu bagi kehidupan dan pemikiran
India.

Sampai batas tertentu gereja India telah menanggapi keadaan ini, dengan menjadi lebih
terbuka kepada gagasan suatu gereja India, "yang bersaksi kepada Kristus dalam konteks
kehidupan India, dan dalam pengertian ini bersifat pribumi. Keterbukaan baru ini terlihat dalam
lima Kawasan.

Pendidikan teologi

Pada tahun 1968, tahun dibentuknya kelompok penasihat TEF yang menghasilkan mandat ketiga
tentang pembaruan suatu konsultasi nasional tentang pendidikan teologi diselenggarakan di
India. Laporan konsultasi itu mencatat bahwa model-model pelayanan yang bersitat Barat
lambat laun tersingkir dan diganti dengan model-model lebih sesuai dengan lingkungan India.
Laporan ini menyerukan penyesuaian baru yang lebih radikal dalam tiga hal: gereja scharusnya
ikut serta dalam pencarian! akan makna dan kemanusiaan baru di India dengan berusaha
membawa manusia keluar dari kemiskinan; gereja seharusnya terbuka terhadap agama-agama
lain dan mengaku nilai-nilai yang ada di dalamnya; gereja seharusnya belajar melayani golongan
yang bertanggung jawab mengambil keputusan dalam keadaan modern yang penuh perubahan
yang belum pernah dialami, ,dalam bidang politik, ekonomi, intelektual, keagamaan dan budaya.

Diskusi mengenai Keesaan gereja

Ada kemajuan perlahan-lahan dalam perjuangan demi keesaan di antara gereja-gereja di India,
yang mengungkapkan baik kehidupan dan pemikiran gereja universal maupun nilai-nilai rohani
warisan India. Thomas mendapat penghiburan karena keesaan ini diungkapkan dalam Undang-
undang Dasar Gereja India Selatan.

Pembelaan ajaran Kristen

Masalah-masalah inti bagi teologi pribumi India sudah lama diketahui berkat dialog dengan
pemuka-pemuka agama Hindu yang bangun kembali. Malah, tak lama setelah datangnya Carey,
misionaris Barat yang pertama pada abad ke-18, Rammohan Roy bergumul melawan monisme
dan politeisme dalam agama Hindu tradisional dan menafsirkan Kristus sebagai seorang guru
moral dan utusan keagamaan yang agung. Bagi Roy, Kristus adalah "ciptaan sulung yang telah
ada sebelum segala sesuatu yang lain", dan pengampunan tersedia bagi mereka yang bertobat,
tanpa memerlukan penebusan Kristus.

Selama bertahun-tahun sumbangan bagi dialog dan pemikiran ulang tentang ajaran-
ajaran Hindu dan Kristen oleh orang-orang seperti Ramakrishna, Vivekananda, Chandran,
Appasamy, Surgit Singh dan Mahatma Gandhi telah menunjuk ke arah teologi pribumi.
Ramakrishna "mengalami" identitas dengan Kali, Rama, Brahman, Muhammad dan Kristus dan
mengajarkan bahwa segala agama adalah sama. Berdasarkan pandangan ini, Vivekananda
mengajarkan bahwa mengalami Allah yang pribadi dapat menjadi suatu langkah menuju
penyatuan jiwa dengan Brahman, dan bahwa Yesus sendiri berkembang melalui beberapa tahap
sampai la dapat berkata "Aku dan Bapa adalah satu". Chandran memandang ajaran ini sebagai
membuang diskriminasi keagamaan, namun mendesak kekristenan agar bergumul dengan
kebenaran yang terletak dalam gagasan tentang Yang Mutlak yang Tidak Berpribadi dan
kekuasaan terakhir dari pengalaman mistik. Appasamy menganjurkan agar orang Kristen
berbicara kepada orang Hindu "dari dalam". Singh menggunakan gagasan-gagasan
Radhakrishnan untuk mengembangkan kristologi baru. Gandhi tertarik kepada Yesus, bukan
sebagai oknum historis melainkan sebagai perwujudan sikap yang menentang kekerasan.

Berpikir tentang kekristenan dan agama-agama lain

Kebanyakan misionaris Kristen mula-mula di India menganggap agama Hindu sebagai produk
Iblis, tetapi teologi liberal kemudian mengukuhkan Kekayaan dan manfaatnya. Ada beberapa
orang Kristen yang percaya bahwa orang bisa menjadi Kristen tanpa meninggalkan agama
Hindu, dibaptis dan bergabung dengan gereja Kristen. Yang lainnya percaya bahwa orang yang
mengakui kekristenan sebagai penggenapan agama Hindu dapat diterima dalam masyarakat
Kristen. Laporan Hocking dan tanggapan Kraemer menambahkan ketegangan tentang hal ini
yang belum sepenuhnya dipecahkan dalam dialog antar-agama, tetapi Thomas percaya bahwa
ketegangan ini akan diatasi.

Teologi nasionalisme

Thomas mengakui sumbangan para utusan Injil yang mengutamakan pendidikan, seperti Duff,
Wilson dan Miller. Orang-orang ini berpendapat bahwa kebudayaan Barat dapat menggantikan
kebudayaan Hindu sebagai persiapan untuk Injil. Kaum nasionalis Kristen seperti Andrews,
Rudra, Datta dan Paul dalam satu dan lain hal memperkuat keyakinan bahwa Injil Kristus dapat
membantu menghancurkan kasta dan membangun bangsa India yang baru dan bersatu.

Sulit untuk memahami teologi pribumi Thomas di luar kelima pokok pembahasan ini.
Tentangnya ia menulis, "Kelima arus ini telah membantu pengembangan gagasan tentang gereja
India yang bersaksi kepada Kristus dalam konteks kehidupan India, dan dalam pengertian, ini,
bersitfat pribumi. Harus segera disebutkan bahwa realitas India masa kini bukanlah realitas
tradisional, melainkan yang tradisional diperbarui di bawah pengaruh Barat dan kebangunan

MAKNA SEKULER KRISTUS

Thomas percaya bahwa Kristus tidak hanya hadir dalam kebangkitan India yang religius,
yang terpengaruh oleh kekristenan dan budaya Barat. Ia hadir juga dalam ideologi-ideologi
sekuler yang sebagian akarnya ber-sifat Kristen. Thomas menyarankan definisi teologi yang
diperluas sebagai "artikulasi intelektual tentang iman manusia kepada Allah atau kepada struktur
makna dan kekudusan yang dipandangnya sebagai tujuan akhirnya". Berdasarkan definisi ini
serta pandangannya tentang sejarah, Thomas mengungkapkan kembali ideologi-ideolog! semua
sistem politik di India secara teologis, mulai dari nasionalisme liberal dan sosialisme demokratis
sampai pada Marxisme-Leninisme. Juga, ia mampu mendefinisikan kembali ajaran teologis
dengan istilah-istilah sekuler Seperti halnya dengan kebangkitan kembali keagamaan, proses ini
menurut Thomas mempunyai dua hasil utama yang positit. Pertama, ideologi-ideologi ini
dianggap bersifat kudus meskipun sekuler masing-masing mempunyai suatu makna Kristus:.
Kedua, kesalahan dan Kepicikannya diungkapkan. Baiklah kita memperhatikan dua contoh
khusus.
Ideologi humanisme sosial yang realistis

Sejumlah unsur teologi Kristen (dalam hal ini, unsur-unsur antropologis) berhubungan
dengan humanisme sosial dan karena itu harus diungkapkan kembali dalam istilah-istilah
sekuler.

Pertama, manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dalam pengertian sekuler hal ini
berarti bahwa manusia adalah makhluk rohani yang terpangsu untuk menggenapi dirinya dengan
menguasai alam dan dengan berdialog dan bersekutu dengan orang lain dalam masyarakat.

Kedua, manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Dalam bahasa sekuler hal ini berarti, ada
kecenderungan keterasingan dalam jiwa manusia, yang timbul dari cinta-diri dan egoisme yang
berusaha menguasai orang lain.

Ketiga, Kristus yang tersalib dan dibangkitkan adalah manusia sejati ialah sumber
pembaruan sifat manusia (humanisasi) dan melalui ini, sumber pembaruan segala sesuatu.
Secara sekuler hal ini melibatkan pengakuan bahwa pola sejati bagi kehidupan, yaitu kehidupan
kemanusiaan dan komunitas sosial yang sejati, adalah pola kemanusiaan Yesus yang hidup
berdasarkan kasi yang mengorbankan diri bagi orang lain.

Keempat, kerajaan Allah merupakan, masa depan manusia dan masyarakat yang mutlak.
Pengharapan Kristen bagi masa depan didasarkan atas kuasa Roh yang membangkitkan Kristus
dari kematian dan yang sedang bekerja di dalam semua masyarakat dan seluruh ciptaan untuk
memperbaruinya. Secara sekuler hal in berarti, ada suatu realitas transenden, yaitu pemeliharaan
atau kehadiran yang menentukan masa depan manusia, yang tersedia untuk meneruskan
humamsast manusia, alam dan masyarakat bahkan bila keadaannya tampak tidak mempunyai
pengharapan lagi. masing-masing mempunyai suatu makna Kristus:. Kedua, kesalahan dan
Kepicikannya diungkapkan. Baiklah kita memperhatikan dua contoh khusus.

Kritik humanisme sekuler

Menurut Thomas, upaya berteologi yang sinkretis seperti ini memouka mata gereja
terhadap apa yang Allah lakukan di luar gereja, dan memperbolehkan orang Kristen untuk
berdialog dengan para humans sekuler. Hal ini pun memampukan mereka untuk mengritik
humanisme sekuler calam bahasanya sendiri, meskipun tidak selalu menurut pemanamannya
sendiri. Teologi menolak segala bentuk humanisme sekuler tertutup yang tidak hanya
menentang Injil melainkan juga tidak mempunyai pemahaman komprehensif tentang manusia,
dan karena itu menyebabkan dehumanisasi. Namun secara positif, suatu humanisme sekuler
yang men-cakup humanisasi, pembebasan, kreativitas, kasih dan adanya rencana dalam sejarah
manusia adalah bagian utuh dari iman dan pengharapan,

Kristus yang tersembunyi kini terungkapkan

Pada masa lampau para utusan Kristen di India menemukan Kristus dalam Alkitab,
memberitakan Kristus ini kepada orang India tanpa peduli tentang pemahaman-pemahaman
India, dan berusaha membangun gereja Kristen yang hampir tidak berhubungan dengan
kehidupan dan pemikiran India. Tetapi kini terdapat keterbukaan kepada Kristus yang
melaksana-kan maksud-maksud bagi ciptaan-Nya dan kemanusiaan-Nya yang baru dalam
sejarah manusia. Hasilnya, Kristus yang tersembunyi ini, kini terungkapkan.

Sumithra dan Nicholls (1984: hlm. 196-197) menyimpulkan pendekatan Thomas dalam
empat langkah:
 titik tolaknya adalah pencarian manusia - ia memeriksa apa yang dicari manusia dan
menemukan bahwa tujuan utamanya adalah harkat, kebebasan, kreativitas dan arti
dalam kehidupan di dunia ini.
 ia bertanya, apa yang Kristus tawarkan, dan menjawab bahwa Kris-tus justru
menawarkan hal-hal yang dicari manusia, karena Dialah manusia yang baru,
kemanusiaan yang baru dan humanisasi adalah pintu masuk yang paling baik untuk
dialog antara agama Kristen dan agama-agama lain.
 misi gereja adalah berpartisipasi dengan Kristus dalam gerakan pembebasan masa kini,
schingga manusia dapat menerima apa yang dicariya; dan
 tujuan umat manusia adalah kemanusiaan umat manusia yang pada akhirnya menuju
masyarakat dunia yang adil, suatu masyarakat dunia utopis yang dipahami sebagai
persiapan bagi kerajaan Allah yang akan datang, karena kerajaan manusia adalah bahan
mentah yang dipakai untuk membentuk kerajaan Allah.

Sumithra dan Nicholls mengatakan bahwa teolog Thomas bersifat "sesuai dengan
keadaan" (situational), "yang dilahirkan dalam perjumpaan gereja yang hidup dengan dunianya"
dan selalu ber-gerak ke arah sintesis. Dalam kasus India, hasil dari perjumpaan gereja dan dunia
ini menjadi jelas, antara lain, dalam "gereja Hindu yang ber-pusat kepada Kristus" yang akan
mengubah pola-pola Hindu sesuai dengan tujuan mist Kristen. Sejak itu Nicholls (1984: hlm.
254) mengata-kan bahwa Thomas telah beralih kepada "pengertian lebih evangehikal tentang
hubungan teks dan isi".

Meskipun banyak orang merasa pesimis bila mengamati dunia keagamaan dan sekuler
masa kini, namun keyakinan Thomas tentang proses yang dilukiskannya masih besar: "Proses
historis dikukuhkan melalui perubahan yang sama radikal-nya dengan apa yang terjadi diam-
diam ketika Allah menjadi daging (inhominization) dalam Yesus atau sebagaimana yang terjadi
dengan dampak lebih besar lagi dalam kebangkitan kemanusiaan resus yang historis sesudah
kematian-Nya. Hanya pengharapan eskatologis seperti itu yang dapat memenuhi kebutuhan
alam, determinisme manusia dan providensia Allah, tempatnya masing-masing dalam
menafsirkan proses sejarah serta realitas manusia dalam situasi apa pun …. Makna setiap
tindakan historis yang diarahkan kepada kasih dan keadilan dalam sejarah manusia, dan setiap
realisasi kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam kehidupan, sekalipun tidak sempurna
namun dilindungi, ditebus dan dipenuhi pada akhirnya. Bagaimana caranya, tidak kita ketahui.
Tetapi jaminannya adalah Yesus Kristus yang bangkit" (Thomas 1980: hlm. 297-298).

KOSUKE KOYAMA

Salah seorang teolog Asia yang paling imajinatif dan karyanya dibaca secara meluas
adalah Kosuke Koyama dari Jepang. Koyama pernah melayani di Muangthai sebagai pengajar di
Thailand Theological Semi-nary; ia pernah menjadi sekretaris pelaksana Association of
Theological Schools in Southeast Asia dan dekan Southeast Asia Graduate School of Theology;
ia pernah menyunting South East Asia Journal of Theology kemudian ia menjadi dosen di Union
Theological Seminary di New York. Koyama telah berpartisipasi dalam percakapan tentang
kontekstualisasi sejak awal. la mengikuti pendekatan dasar yang mula-mula dianjurkan Oleh
komisi mandat ketiga dari TEF. la "menunjukkan bahwa dalam proses mengkontekstualisasikan
iman Kristen kita tidak menyesuaikan sesuatu yang ada dengan keadaan baru, seperti scandainya
kita memindahkan sebatang pohon dewasa dari Amsterdam ke Jakarta, atau dari New York ke
Manila. Malah, kita 'menemukan benih iman hidup dalam apa yang kita terima' dan kemudian
menanamnya lagi, menjaganya, menyiraminya dan merawatnya sementara la berakar di tanah
baru". Dengan pendekatan ini Koyama sangat menarik perhatian orang Kristen Barat. Namun
pendekatannya juga agak membingungkan, khususnya bagi orang yang mencari pengembangan
teologi dan metodologi yang teratur dan logis. Sesuai dengan akar-akarnya di Asia, teologi
Koyama yang kontekstual cenderung tidak begitu peduli dengan logika yang ketat melainkan
dengan upaya menelaah masalah-masalah budaya. Hal ini agak menyegarkan, karena Koyama
mengaku bahwa ia tidak bisa menjawab segala pertanyaan yang bahkan ia sendiri ajukan. Tetapi
ada pula yang menggelisahkan karena bagi Koyama (1974: hlm. 3), teologi Dunia Ketiga
bertitik tolak dari mengangkat masalah-masalah. Soalnya kalau begitu, siapa yang dapat
mengetahui apakah teologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting atau bahkan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat? Analisis singkat terhadap teologi kerbau Koyama ini
didasarkan pada dua karya Koyama, yakni: buku yang membuatnya terkenal, Waterbuffalo
Theology (1974), dan artikelnya yang berjudul "Thailand: Points of Theological Friction"
(1976). Yang disebutkan terakhir ini menyajikan contoh-contoh penting dari upaya Koyama
untuk berteologi untuk lapangan misinya di Muangthai. Mengingat bahwa kita ingin
memberikan ringkasan singkat dan bukan kritik, kita akan memakai metode Koyama sendiri,
dengan menerjang dan bukan mengusulkan, pemikiran dan keter-ubatan yang kontekstual.

Berteologi kerbau

Sejarah Asia, yang seringkali diabaikan, harus ditafsirkan kembali olen orang Asia.
Koyama mencoba melakukan hal in untuk berbagai negara Asia tetapti yang penting dalam
teologi kerbaunya adalah sejarah Muangthai.

Mengakarkan teologi dalam sejarah Muangthai

Para wisatawan mulai berkenalan dengan Muangthai di lapangan terbang besar yang
ramai dengan jet-jet mendarat dan taksi-taksi yang hiruk-pikuk. Namun dari Lapangan terbang
itu tidak mungkin pergi ke mana pun juga, bahkan ke Bangkok dengan kuil-kuil kuno dan hotel-
hotel modernnya, tapa melalui sawah yang dikerjakan petani dan kerbau yang masih
meneruskan cara hidup dulu. Muangthai sesungguhnya dapa! dipahami dan ditembus oleh iman
Kristen hanya apabila ia dilihat sebagai gabungan antara hotel dan kuil, mobil dan kerbau. Bagi
Koyama, keadaan in merupakan panggung perjumpaan antara penafsiran sejarah yang khas
Muangthai dan teologi sejarah dari Israel. Perjumpaan ini mempersiap-kan Muangthai untuk
perjumpaan puncak dengan Kristus.

Menurut Koyama tidak hanya ada satu Muangthal, ada dua Muangthai dalam satu
masyarakat. "Muangthai Satu'" berarti Muangthai dengan nilai-nilai tradisional yang telah
dibentuk oleh berbagai pengaruh, khususnya pengaruh nilai-nilai agama Buddha Teravada yang
berasal dari India dan Sri Lanka. Muangthai ini dicirikan oleh antropologi dan sejarah yang
apatts, suatu pandangan hidup yang dingin, yang muncul dari pengamatan jujur terhadap
kebusukan dan kehancuran manusia sebagaimana yang menyebabkan Gautama Buddha menarik
diri menuju kesunyian hidup. Pandangan empiris yang ketat melihat kelahiran, pertumbuhan,
usia tua, sakit-penyakit, dan kematian, yang tampaknya berputar sebagai lingkaran yang tak ada
putusnya. Menurut pandangan hidup ini, hukum-hukum alam lebih dapat dipercayal menurut
kategori-kategori sem-barangan seperti kategori-kategori historis dan pribadi. Muangthai Dua"
dihasilkan oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan obatnya. Kekuasaan kolonial
menyebabkan luka, namun juga membawah modernisasi dan kekristenan. Antropologi dan
sejarah negeri-negeri Barat melibatkan patheia, atau semangat yang akhirnya dapat ditelusuri
kepada kasih dan keprihatinan Allah pribadi yang dengan kasih dan keterlibatan-Nya membuat
sejarah Israel menjadi unik di antara sejarah para bangsa di dunia ini. Muangthai Kedua
mempunyai sifat antropologi dan sejarah yang penuh semangat dan tidak apatis, sebagai hasil
teologi dan pengertian tentang kesudahan sejarah, yang terdapat dalam bentuk kekristenan,
modernisasi, dan sekularisasi. Muangthai Kedua menarik perhatian sejarah, dan kepribadian
mempunyai makna khusus.

Menurut Koyama, Muangthai Satu dan Muangthai Dua saling berkonfrontasi. Ada
berbagai cara melukiskan konfrontasi ini, salah satunya adalah usaha memahaminya sebagai
"gesekan teologis yang ter-jadi pada perjumpaan Muangthai dan Israel" (1976: him. 75).
Muangthai Satu memperbesar titik-titik ketegangan dan menyediakan kerangka untuk
membahas modernisasi. Kebetulan, modernisasi Muangthai Dua juga membawakan unsur-unsur
teologis karena melibatkan perubahan Sistem-sistem sosial, termasuk yang religius dan
psikologis, yang dengan nya manusia menata masyarakat. Di tengah-tengah dasar yang goyah
dari budaya Thai, para teolog mungkin mengutuk baik pemahaman Buddhis mengenai
penderitaan manusia maupun pemikiran dasar modernisasi dan sekularisasi bahwa manusia
menciptakan nasibnya sendiri. Tetapi pathos (semangat) Allah bekerja di Muangthai seperti dulu
di Israel, dan tradisionalisme dan modernisasi keduanya ikut menyumbang bagi pekerjaan-Nya.
Titik-titik ketegangan bersifat kreatif dalam arti bahwa mereka mempersiapkan orang
Muangthai yang bersifat rohani untuk mewujudkan ciptaan baru yang terjadi dalam Yesus
Kristus. Semuanya ini dimaksudkan oleh Tuhan sejarah manusia yang mempersiapkan tanah
gemuk di Muangthai. Sebagaimana dikatakan oleh Koyama (1974: him. 41): "Hujan di musim
hujan tidak membasahi Allah! Allah adalah Tuhan musim hujan, yang mengirimkan hujan
sesuai dengan rencana-Nya. Alkitab melihat peristiwa-peristiwa dalam dunia ini bukan sebagai
putaran melainkan sebagai garis lurus. a Namun kehidupan Muangthai sangat dipengaruhi oleh
gerak alam yang berputar-putar. Sifat ini tidak jahat, tidak berasal dart blis, melankan berasal
dari Allah. Kita melihat kemuliaan Allah baik dalam sejarah maupun dalam alam. Alam yang
berputar memper-lihatkan kemuliaan Allah seperti halnya sejarah yang merupakan garis lurus.
Bila dimengerti demikian, alam yang berputar juga menemukan maksudnya Bila kedua
gambaran ini - putaran dan garis - dipertemukan, maka kita mendapatkan suatu spiral yang
mempersatukan alam dan sejarah." Gereja Barat membumbui makanan reologisnya dengan lada
Aristoteles berupa rasionalisme dan hubungan-hubungan scbab-akibat. Gereja Muangthai
mengambilnya dan memper-bincangkan argumen kosmologis mengenai keberadaan Allah yang
berasal dari filsafat Aristoteles, namun menaburinya dengan garam Buddhis berupa ajaran "asal-
mula yang tergantung". Kemudian ditam-bahkan garam berupa gaya hidup yang tidak terikat
pada hal-hal luar. Baik lada Aristoteles maupun garam Buddhis membawa kepada Kristus yang
samar-samar dan Injil yang redup. Namun pemecahannya bukanlah menolak lada dan garam.
Hal-hal itu harus dimanfaatkan untuk membuat Kristus terasa, lezat.: Di Muangthai kita tidak
berbicara semata-mata tentang keselamatan melalui darah Kristus atau keselamatan melalui
berita Buddhis tentang dharma: malah, kita berkata bahwa isi dharma itu adalah kematian
Kristus sebagai kurban.

Gagasan yang kedua adalah "sesama-logi". Orang Muangthai tidak tertarik akan
kristologi, tetapi mereka prihatin tentang sesama-logi. Jadi, berita Kristus harus diungkapkan
dalam bahasa sesama-logis - praktis-nya, dalam mengenal sesama orang Muangthai secara
langsung dan jujur Memang bagi orang asing ini merupakan disiplin.

Ketiga, dia membahas masalah-masalah Asia dan teologi Kristen. Bila para teolog di
Asia ingin mengakarkan teologi Kristen dalam budaya-budaya mereka masing-masing, maka
mereka harus menghadapi sepuluh masalah: dunia saling tergantung ("kampung sedunia");
Alkitab; pemberitaan, akomodasi dan sinkretisme; pemberitaan, akomodasi dan sinkretisme;
orang-orang yang berkepercayaan dan berideologi lain; dunia Barat; Cina; masalah kaya dan
miskin; dunia agama suku (animis); spiritualitas; dan kejelasan ajaran Kristen.
Mengakarkan teologi dalam kehidupan Buddhis di Muangthai

Teologi kerbau memusatkan perhatian pada orang-orang Buddhis dan bukan agama
Buddhis, pada orang yang diciptakan menurut gambar Allah dan bukan pada pranata-pranata
buatan manusia. la memandang melalui "mata yang berinkarnasi" dan bukan melalui
"mata yang pintar berteologi". Dan karena itu teologi tersebut "'melihat" dongan cara yang
berbeda. Misalnya, teologi ini melihat orang Muangthai yang dingin dan Allah yang panas.
Konsep-konsep Buddhis seperti dukkha (ketidakpuasan, penderitaan'), anicca (kesementaraan")
dan anatta (kehancuran diri) menghasilkan seorang manusia dingin yang makan untuk
memuaskan bukan seleranya melainkan rasa laparnya; yang tidak mempunyai rumah, dalam
pengertian pengosongan diri; yang tidak mempunyai sejarah, dalam pengertian bahwa ia tidak
rakus menginginkan tempat di dalam-nya. Tetapi Allah bersifat panas. la terlibat dalam sejarah
manusia. la prihatin untuk memulihkan sang "aku" . la tidak menolak manusia dingin, namun
ingin menghangatkannya. Karena itu, kepribadian Allah harus dijadikan bermakna bagi orang
Muangthai. Contoh lainnya, teologi kerbau melihat bahwa Surat Yakobus ternyata cock untuk
bangsa Muangthai. Yakobus bersifat dingin dalam si, tetapi hangat dalam praktek. Benda
bersifat sementara dan berubah, tetapi iman terhadap Allah yang tidak berubah diungkapkan,
bukan dalam ketidakmelekatan, melainkan dengan melibatkan dir dalam dunia orang-orang
marginal.

Mengakarkan teologi dalam gaya hidup Kristen.

Pusat teologi adalah Kristus yang tersalib dan misi orang-orang percaya di dunia. Karena
salib itulah Yesus Kristus menarik semua orang kepada-Nya. Melalui partisipasi yang mahal
dalam sejarah penye lamatan, orang Kristen melayani Allah dan dunia. Ambisi pribadi dan
tujuan kelembagaan sering menghalang, hal ini. Balk pujian maupun kritik manusia
menghalang, pengagungan Allah. Identifikasi dengan Kristus terungkap bila orang Kristen
terlibat dalam dunia yang menderita. Orang Kristen melekat pada meja Tuhan dan bebas dari
"berita-berita keselamatan" dari meja-meja lainnya seperti sekularisme, teknokrasi, komunisme
dan agama-agama besar yang lain di dunia.

Melakukan teologi kerbau: Iman seorang ibu

Koyama menulis:"Berteologi berarti berpikir. Berpikir tentang apa? Tentang sejarah.


dalam terang Firman Allah. Firman di sini harus dipahami sebagai berita teologis Yohanes
14:26…Ini berarti memahami pemahaman Allah tentang sejarah dan manusia dalam terang
Yohanes 14:26. Dengan cara ini manusia diterangi secara rohani dan 1a menemukan identitas
spiritualnya. Jadi bergumul dengan to konteks historis tidak berarti bahwa konteks apa pun juga
tidak dapat berubah dan berada di luar kendali kita …. Konteks harus terus-menerus ditantang
dan dipaksa untuk berubah. 'Dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan
yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi" (Flp. 2:10).

Sebagai contoh pendekatan ini kita ambil diskusi Koyama (1974) tentang "asal mula
iman". Alkitab bercerita tentang iman yang menakjubkan dari perempuan bukan-Yahudi yang
datang kepada Yesus karena keprihatinannya akan anak perempuannya yang dirasuk setan (Mat.
15:21-28). Dalam diri perempuan bukan-Yahudi ini Luther menemukan iman yang cukup kuat
schingga tidak mau mundur bahkan ketika resus tampak menolaknya. la menunjukkan iman kuat
di tengah-tengah Anjechtung yang kuat (yang diterjemahkan Koyama sebagai assault,
'serangan"). Koyama mengatakan bahwa ia begitu terkesan oleh penafsiran Luther sehingga ia
menyampaikannya kepada jemaat kecilnya di Muangthal, karena yakin bahwa mereka akan
terkesan oleh "tafsiran serangan" ini. Tetapi sebaliknya mereka bingung dan menyimpulkan
bahwa kepercayaan Kristen pastilah neurotik. Dengan khawatir Koyama berpaling kepada kisah
Alkitab. Kali ini ia berusaha melihat cerita ini melalui mata yang diterangi ole latar belakang
sejarah, budaya, dan keagamaan Muangthai. Ia memusatkan perhatian pada awal mula iman
perempuan yang menakjubkan itu dan menemukan dua unsur penting di dalamnya: 1a beriman
kepada Anak Daud dan ia menyingkapkan masalahnya. Hal yang terakhir itulah yang
mendorongnya kepada iman tersebut. Kasih manusiawi yang alamiah (erôs) berjumpa dan
menyatu dengan kasih ilahi yang mengorbankan diri (agape) dan menghasilkan iman kuat.
Koyama (1974: hlm. 75) menyim-pulkan bahwa "permulaan iman haruslah mengandung suatu
faktor yang sah dan relevan secara universal yang dapat menghapuskan batas-batas Keagamaan,
budaya dan politik". Dan ia bersyukur kepada orang Muangthai untuk wawasan tersebut:
"Minatku dalam awal mula iman ini tidak muncul dari diriku sendiri melainkan dipaksakan
kepadaku oleh sesamaku orang Muangthai".

Penafsiran Luther tentang "serangan" tentulah mempunyai makna yang mendalam dalam
konteks kota Wittenberg dan masa Reformasi. Namun awal mula iman yang berkembang dari
suatu pengalaman manusiawi, seperti kasih scorang ibu bagi anak perempuannya, itulah yang
mempunyai makna di Bangkok yang beragama Buddhis. Inilah titik temu dari kedua macam
orang Muangthai. Bagi Koyama, dalam contoh dan pengertian ini, teologi kerbau jadi lebih
penting daripada teologi Reformasi. Haruskah itu terjadi? Itulah pertanyaan yang masih perlu
dijawab.

Luasnya dan keanekaragaman budaya dan agama di Asia sangat menakjubkan, dan
sejarah gereja dan misi-misi sangat panjang dan berbeda-beda. Namun teologi-teologi
kontekstual di Asia sering memperlihatkan campuran khas dari keprihatinan keagamaan Asia
dan pengaruh Barat.Thomas dan Koyama berasal dari bagian-bagian Asia yang berbeda (India
dan Jepang) mereka memperlihatkan cara pandang keagamaan yang pada dasarnya sama, dan
keduanya memperlihatkan pemahaman mendalam tentang tradisi-tradisi Timur dan Barat dalam
kontekstualisasi mereka. Oleh Karena itu karya mereka sangat berman-faat bagi orang yang
demi Injil Kristus ingin menyeberangi batas antara Timur dan Barat yang selalu bertemu namun
tidak bertemu itu.
DAFTAR PUSTAKA

Hesselegrave, D J. & Suleeman, S & Rommen, E (1994). Kontekstualisasi : makna, metode dan
model. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Anda mungkin juga menyukai