Tugas Laporan Baca 1 Teologi Lintas Budaya oleh Daniel Adams Bab 5 & Bab 7 BAB 5 Menujuh Penafsiran Alkitab yang Memadai.
Dalam mengembangkan prinsip-prinsip dalam penafsiran Alkitab yang memadai di Barat
dikenal sebagai penafsiran Alkitabiah atau hermeneutis yang paling mencapai suatu tingkat kecanggihan tertentu dan menjadi satu disiplin tersendiri. Hal ini berbeda dan terpisah jauh dari studi-studi Alkitabiah maupun teologi sistematika. Oleh karena itu, di Asia mencurigai prinsip- prinsip penafsiran alkitabiah karena diyakin bahwa hermeneutika adalah disiplin orang Barat yang asing bagi orang Asia. Untuk itu perlu mengembangkan suatu metode penafsiran Alkitab yang memadai di dalam konteks Asia. Untuk itu penafsiran cara Asia yang dulu dan sekarang, dikenal sebagai ilmu tafsir yang merupakan suatu ilmu pengetahuan barat yang diambil dari bahasa Yunani dan memiliki pengaruh utama secara filsafat dan pengembangan teologi yang datang dari Jerman yang berpendapat bahwa naskah-naskah kuno yang suci namun praktek penafsirannya sama tuanya dengan agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemecahan mengenai bacaan dan penafsiran yang berbeda-beda. Dalam Perjanjian Baru, orang-orang Farisi, orang-orang Saduki dan orang- orang Samaria, semuanya mempunyai prinsip penafsiran alkitabiah yang berbeda. Jadi penafsiran tekstual sama sekali bukan sesuatu yang berkembang di Barat. Dalam perkembangannya penafsiran secara tekstual ini menjadi penting bagi semua tradisi filsafat Kuno di Asia. Namun dengan berbagai perjumpaan yang terjadi kritik penafsiran secara tekstual terus berkembang terdapat di Negara-negara Asia lainnya seperti Korea, Jepang, dan India. Dalam pandangan hermeneutiknya orang Asia mengaitkan dengan tafsiran-tafsiran Alkitab dalam abad ke-20 yang didasarkan pada pengalaman dan penafsiran berupa gabungan dari keduanya yang menekankan pada pengetahuan dan tindakan yaitu dengan menggunakan metode historis-kritis yang berminat pada fakta sejarah yaitu menggunakan metode eksistensialis yang prihatin pada tindakan dan pengalaman pribadi, dan apa yang disebut ilmu tafsir baru, yang berusaha mencari yang terbaik dari kedua metode yang ada dan menggabungkannya menjadi satu metode yang menekankan baik fakta sejarah maupun pengalaman pribadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa di Cina secara kronologis suda lebih maju dari Barat dalam hal penafsiran tekstual, dimana pada tahapannya Timur dengan Barat cenderung pada alur pemikiran yang sama mengenai penafsiran Alkitabiah yang dimana Barat sekarang telah membawah dua macam unsur baru kedalam pengalaman yang dijumpai di Asia yaitu metode ilmiah dan filsafat yang diterangkan dengan logika yang keras. Dengan berjalannya waktu kekristenan di Cina mengalami perkembangan mengenai penafsiran berdasarkan pengetahuan dan sikap para misionaris yang tidak perlu menunjukkannya secara berkelanjutan sehingga penerimaannya di Cina dimana Kristen yang masuk pertama ialah Kristen Nestorian. Namun berjalan waktu hal ini lama kelamahan mengalami kelemahan yang terserap ke dalam sistem umum keagamaan Cina sampai benar-benar kehilangan identitas dan menjadi bagian dari praktik keagamaan dan kepercayaan setempat, sehingga kekristenan Nestorian ini dilupakan. Namun, para Rahib Yesuit pada abad ke-16 kembali masuk sebagai unsur Barat dalam praktek teologi untuk membangun kembali perpecahan gereja yang terjadi di Cina, hasilnya dengan menggunakan metode yang baru yaitu perspektif teologi baru yang dikenal sebagai teologi pribumi, prinsip dasar teologi pribumi ini adalah tentang pendapat tiap-tiap Negara hendaknya membangun teologinya sendiri berdasarkan warisan budayanya. Dengan hasil yang dilakukan di Cina ialah kesalehan yang sangat bersifat pribadi, rohani, dan fundamental dengan penekanan yang khusus pada kaum awam atau pribumi, pengalaman rohani dan penafsiran Alkitab secara harafiah. Sehingga menghasilkan teologi- teologi yang lebih kontemporer yaitu teologi secara kontekstual yang dikemukakan oleh ajaran Watchman Nee, kemudian dilanjutkan oleh Kazoh Kitamori tentang teologi kesakitran Allah, kemudian dilanjutkan lagi oleh Kosuke Koyama mengenai Teologi Kerbau di Jepang, lalu kemudian dilanjutkan lagi oleh Emerito Nacpil mengenai asas kritis Asia di Filipina.
BAB 7 Metode Teologi
Empat contoh dalam teologi masa kini lebih cenderung mengfokuskan pada metedologi dasar yaitu teologi sistematik klasik, teologi filosofis, teologi politis, dan teologi kontekstual. Yang membahas bagaimana masing-masing memperkuat upaya berteologi di Asia. Di Taiwan dikenal sebagai situasi sejarah yang khas yang dipengaruhi oleh keempat macam metode bangunan teologi ini. Dimana dibawah oleh penginjilan-penginjilan dari Inggris dan Kanada yang membawah masuk teologi Calvinis yang klasik yang dikenal sebagai teologi sistematis yang terbaik secara menyeluruh, logis, rasional dan terorganisir dengan sangat baik sampe kira- kira 90 tahun berikutnya kemudian mencapai puncaknya pada pengaruh teologi Karl Barth dalam tahun 1960- an dan sampai permulaan tahun 1970-an yang beranggapan bahwa gereja Presbiteran di Taiwan sebagian besar menganut teologi Barth dalam pendirian teologinya. Tetapi di Cina hanya mencerminkan terhadap kecenderungan mengenai teologi konservatif dan liberal terhadap tokoh- tokoh filsafat Kristen dari Belanda, misalnya Herman Dooyeweerd dan D.H. TH Volenhoven dalam pemikirannya mewakili aliran teologi yang lebih kritis dengan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan bahasa-bahasa keagamaan, eksistensi Allah, dan kemunkinan adanya mujizat-mujizat yang menonjol sekali adalah penerbitan kumpulan karangan-karangan dalam tahun 1955 yang berjudul New Essays in Philosop hical Theology (karangan-karangan Baru dalam teologi filosofis). Empat metode teologi masa kini ini ialah sebagai berikut: Teologi sistematik yang menaruh perhatiannya pada tugas dogmatic menampilkan iman Krsiten sebagaimana terdapat dalam Alkitab dan terperinci dalam pengakuan-pengakuan iman dan pengakuan-pengakuan dari gereja Kristen yang memberi penekanan pada doktrin dan kepercayaan yang rasional. Kedua dengan isi yang pasti telah dinyatakan dalam Alkitab mengenai Allah penyetaan ini adalah unsur yang penting. Ketiga dilakukan secara perseorangan atau dalam pengasingan diri yang dipahami sebagai suatu organisasi dan dilaksanakan demi melayani Gereja. Sehingga defenisinya ialah sistematis dan tersusun. Secara tradisional yang mencakup enam pokok yaitu doktrin tentang Allah (teologi yang khas), doktrin tentang pribadi manusia (antropologi), doktrin tentang Kristus (Kristologi), doktrin tentang keselamatan (soteriologi), doktrin tentang gereja (eklesiologi), dan doktrin tentang akhir zaman (eskatologi). Yang dalam perspektifnya teologi sistematik bersifat menyeluruh dan universal. Teologi filosofis hal pertamah berurusan dengan apologetika yang menafsirakan iman Kristen kepada dunia masa kini dalam istilahnya yang bermakna dan dapat dimengerti sebagai sistem yang memberikan landasan untuk membangun, menerangkan, dan mempertahankan sistem berteologi. Kedua secara rasional dalam orentasinya untuk berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengurangi sifat manusia ialah mendapatkan kejelasan maupun kemantapan pikiran, dan menerangkan hal-hal yang tidak diketahui atau yang sulit dengan cara memusatkannya pikiran tersebut. Ketiga dipakai dalam semua bagunan teologi yang bertujuan memusatkan secara sadar untuk memahami, melainkan dipergunakan sebagai filsafat dalam teologi itu sendiri. Misalnya dalam bidang-bidang antologi (hakikat keberadaan), kosmologi (hakikat asal-usul dan prosesnya), epistemology (hakikat pengetahuan), estetika (hakikat bentuk dan keindahan, dan etika (hakikat kebaikan dan kejahatan). Teologi politis perhatian utama pada tugas yang bersifat etis yang membawah perubahan di dalam masyarakat yang berarti bahwa teologi seseorang dihidupinya di dalam dunianya sehari-hari. Prakteknya lebih ditekankan pada teori. Namun tidak diarahkan pada upaya membangun sistem-sistem teologi melainkan pada berteologi dalam perbuatan yang nyata dalam penekanannya terhadap struktur-struktur sosial dan politik untuk sebuah perubahan. Yang cenderung untuk mengartikan kerajaan Allah bukan sebagai eskhaton yang akan datang, melainkan sebagai zaman eskatologis yang sudah berlaku sekarang dalam hal melaui kenyataan-kenyataan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang kongkret. Dalam pandangan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia yang material dan badani dianggap penting dan sama dengan kebutuhan-kebutuhan rohani manusia secara menyeluruh menjadi titik perhatian teologi politis. Teologi kontekstual, C. S. Song seorang Presbiteran dari Taiwan. Teologi Song dijelaskan dengan baik dalam buku-buku yang ia tulis yang merupakan trilogy teologi dimana song membangun kembali misi kristiani dari prespektif Asia, yang mengembangkan suatu teologi dari segi yang menguntungkan bagi Asia yang bukan dari Barat, yang merujuk ke masa depan dalam arti suatu gerakan dengan Allah yang penuh kasih sayang. Dalam bukunya Song menaruh perhatiannya pada apa yang disebut “teologi trasposisi” yaitu teologi Kristen yang dipindahkan dari konteks Barat ke konteks Asia. Menurut Song ada beberapa segi dari teologi transposisi ini sebagai suatu pergeseran dalam hal tempat dan waktu, suatu alat komunikasi, dan paling pokok ialah inkarnasi. Dan langkah terakhir ini menghasilkan suatu teologi yang menyeluruh secara kontekstual. Song mempertanyakan mengenai gagasan tradisional bahwa bagaimanapun juga semua bangsa dan budaya- budaya bangsa lain sebagaimana yang Allah perbuat dalam sejarah dan budaya Israel yang tidak memakai gagasan tentang sejarah keselamatan, melainkan menggantikannya dengan memakai motif-motif Alkitabiah mengenai penciptaan dan pembebasan. Ia memahami penciptaan dan pembebasan yang bersama-sama menempatkan semua budaya dan agama pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi anugerah dan kasih sayang Allah. Song melanjutkan pengembangan teologinya dengan tidak hanya berbicara mengenai penciptaan dan pembebasan, tetapi juga mengenai penciptaan ulang, di mana orang Kristen di libatkan dalam karya Allah yang terus berlangsung, yaitu menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru. Makna teologi kontekstual pada umumnya dan dalam teologi Song pada khususnya adalah bahwa teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seseorang hidup dan berkarya. Tidak hanya adanya jawaban- jawaban teologis yang tradisional yang dipahami dengan cara yang berbeda, melainkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang berbeda-beda dalam setiap budaya. Dengan begitu, teologi kontekstual mempunyai tugas rangkap, yaitu menafsir dan Membangun. Jadi dari keempat gambaran metodologi teologi masa kini dan sekaligus sebagai model model teologi ini yang disebut sebagai kemajemukan teologi masa kini.
Tugas Laporan Baca 2 Robert J. Schreiter. Rancangan bangun Teologi Lokal.
Pertanyaan mengenai apakah itu teologi lokal. Menjadi refleksi teologi Kristen terhadap Injil dalam situasinya masing-masing yang membentuk tanggapan terhadap Injil. Yang berfokus pada ungkapan dalam istilah-istilah seperti “lokalisasi”, “Pempribumian”, dan inkulturasi” teologi. Ketiga hal ini merujuk kepada kebutuhan dan tanggung jawab orang Kristen yang menjadikan tanggapan mereka terhadap Injil yang konkret. Sehingga muncul empat pertanyaan besar dalam mengenal kprihatinan jenis teologi dengan lebih terperinci: 1) apakah yang menyebabkan pergeseran pergeseran perspektif dalam teologi ini?, 2) apakah sejumblah pendekatan utama yang diambil?, 3) siapakah yang melakukan pendekatan-pendekatan ini?. 4) Bagaimana kita mendefinisikan perspektif baru ini dalam terang pendekatan-pendekatan lain dalam teologi? Pergeseran dalam perspektif yang berpusat pada peranan yang dimainkan oleh situasi dalam pembentukan tanggapan seorang terhadap injil, pertama-pertama harus menjadi nyata di wilayah dimana kekristenan relatif masih baru. Dapat diakui bahwa dalam kalangan Katolik Roma kebutuhan untuk menyesuaikan refleksi teologis dengan situasi-situasi setempat mulai mendapat dukungan resmi dalam Konsili Vatikan II. Dalam dekrit tentang kegiatan Misi Gereja, Ad Gentes yaitu adaptasi yang mendapat persetujuan yang tegas. Kemudian muncul pemikiran- pemikiran dalam teologi misi oleh Paus Paulus VI kepada para Uskup Afrika pada tahun 1969 dalam imbauan apostoliknya Evangelii Nuntiandi pada tahun 1975 sebagai persoalan dalam misi Gereja kemudian muncullah gerakan dikalangan Kristen Protestan pada tahun 1970 oleh Krikor Haleblian yang mencatat kebangkitan menjadi kprihatinan di dalam dan di antara kaum Protestan. Gerakan ini muncul pertama kali di Amerika Latin. Pada pertemuan para uskup Katolik Roma di Medellin tahun 1968 yaitu mengenai Teologi Pembebasan. Yang ditulis oleh Gustavo Gutierrez tahun 1973 yang memiliki kprihatinan penting dengan pergeseran dalam perspektif yang terjadi di Afrika dan Asia adalah suatu usaha untuk menemukan suara Kristen dalam situasi-situasi yang sangat berbeda dengan situasi-situasi yang lebih umum di Eropa dan Amerika Utara. Sehingga teologi datang kepada mereka dipahami sebagai keprihatinan yang sama, yakni menerjemakan pesan Kristen kedalam keadaan setempat. Yang kemudian muncul pertanyaan-pertanyan sebagai kprihatinan yang terus menerus muncul di bumi selatan, eropa dan amerika utara. Pertama, pertanyaan mengenai jawaban terhadap tradisional yang siap dipakai, sehingga munculnya kredibilitas bentuk-bentuk teologi yang ada diperlemah misalnya pertanyaan tentang unsur-unsur ekaristis ialah bagaimana orang dapat merayakan Ekaristi di Negara-negara yang menganut pemerintahan teokratis Islam yang melarang pembuatan atau impor minuman beragi? Sehingga apa yang harus dilakukan seseorang dalam budaya-budaya yang tidak mengenal produk- produk dari biji-bijian seperti roti, dan roti yang tidak dikuduskan itu sendiri menjadi benda magis karena dianggap terlalu asing, misalnya di suku Masai di Afrika Timur yang percaya bahwa penuangan air di kepala seorang wanita berarti mengutukinya dengan ketidaksuburan. Sehingga bagaimana harus memahami keterbukaan konsili Vatikan II terhadap agama-agama bukan Kristen di negeri-negeri Asia Selatan dimana kekristenan ditakdirkan menjadi agama minoritas. Dan seterusnya. Kedua. Mengenai orang-orang diluar dari komunitas Atlantik Utara merasa bahwa gereja-gereja tua tidak membahas persoalan-persoalan mereka dengan serius atau mencoba menyesipkan egenda mereka sendiri terhadap gereja-gereja diluar mereka sehingga dianggap sebagai kolonialisme dan paternalism. Dan ketiga. Menjadi kprihatinan yang berulang-ulang muncul dikalangan gereja-gereja diseluruh dunia mengenai jenis jati diri Kristen yang muncul banyak refleksi teologis tardisional dari kekristenan historis mempunyai kepekaan khusus terhadap tiga bidang yaitu konteks, prosedur, dan sejarah. Sehingga inilah yang dinamakan mencoba menerapkan suatu teologi kepada suatu konteks lokal, yang berkangkat dari masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu bagaimana gereja dapat terlibat dalam refleksi teologis apapun tanpa pertamah-tamah mempelajari konteks tempat hal itu terjadi, sehingga dianggap menjadi teologi yang tidak relevan dari hasil memanipulasi ideologi. Sehingga muncul perspektif baru ini adalah teologi pribumi yang menekankan kenyataan bahwa teologi dilakukan oleh dan untuk suatu wilayah geografis oleh warga setempat untuk wilaya mereka ketimbang oleh orang luar. Hal ini yang bertujuan memusatkan perhatian pada keutuhan dan jati diri usaha tersebut.