Anda di halaman 1dari 6

Nama : Lasti Rani Letari Sianipar

NIM : 23.07.260

Prodi : Magister Teologi

Mata Kuliah : Upaya Berteologi dalam Konteks

Dosen Pengampu : Ramli Harahap, D.Th

Keterangan : Ujian Tengah Semester

Hari/Tanggal : Selasa, 17 Oktober 2023

JAWABAN :

1. Latarbelakang Teologi Kontemporer/Teologi Modern/Teologi Historis-Kritis


Munculnya Teologi Kontemporer, itu dikarenakan adanya kecurigaan/keraguan atau
sikap skeptis terhadap kebenaran Alkitab. Teologi ini lahir di Swiss, pada 1919. Bagi
kaum Penganut Teologi Kontemporer, berpendapat bahwa kebenaran itu kaidahnya pada
Rasio, yang dimana pada saat itu dipengaruhi oleh berkembangnya filsafat. Artinya
Rasiolah menjadi tolak ukur kebenaran. Teologi Kontemporer ini dilatarbelakangi pada
dua masa yaitu:
 Masa Renaissance. Renaissance berarti kelahiran baru dan disebut juga abad
Pembaharuan. Renaissance lahir di Eropa, di era Renaissance ini muncul kebangkitan
intelektual dieropa dari tahun 1350-1650. Renaisance selain menekankan kelahiran baru
juga menekankan kemuliaan manusia. Artinya aras utama bukan lagi Allah tetapi sudah
memuliakan diri sendiri. Rasio manusia menjadi tolak ukur untuk melihat segala
sesuatunya, dan wahyu Allah dianggap tidak berarti bagi kehidupan manusia. Apalagi
mengenai mujizat-mujizat yang ada di Alkitab, tolak ukur rasio manusia mengatakan itu
tidak masuk akal. Renaisance membuat Alkitab menjadi diragukan akan kebenarannya
sebagai Firman Tuhan. Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa Renaissance ialah
Descartes, dan Spinoza yang merupakan para humanis. Ciri utama dari Renaissance
adalah humanisme (memanusiakan manusia), empirisme (kebebasan pengembangan
ilmu pengetahuan) dan rasionalisme (kebebasan dalam mengembangkan pikiran).
 Masa Idealisme. Idealisme adalah filsafat yang menyataan bahwa realitas tidak
terletak pada wilayah fisik, melainkan dalam wilayah akal. Idealisme ini menolak bukti-
bukti tentang keberadaan Allah, bahkan menyangkal keabsahannya. Adapun tokoh
idealisme ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), Kant berargumentasi bahwa konsep
seseorang tentang Allah harus berasal dari penalaran dan menurut George W.F. Hegel
(1770-1831), yang mengatakan bahwa hanya pikiranlah yang riil. Jadi dari pemahaman
kedua tokoh tersebut, menegaskan bahwa konsep tentang Allah harus berasal dari
penalaran atau pikiran, karena itu adalah kebenaran.

2. Ada lima model teologi kontekstual menurut Stephen B. Bevans:


1. Model Penerjemahan : Model ini adalah model yang paling konservatif.
Tujuannya adalah untuk menggunakan gambaran dan metafora dari budaya tuan
rumah untuk menjelaskan Injil.
2. Model Antropologi : Model ini memandang nilai dan kebaikan manusia. Model
ini membangun Teologi Kontestual dengan pendekatan sosial dan budaya. Dengan
demikian model ini, melihat dan menjelaskan Tuhan bekerja dalam budaya itu.
3. Model Praksis : Model praksis adalah suatu cara berteologi yang dibentuk
oleh pengetahuan pada tingkatnya yang paling intensif-tingkat aksi berdasarkan
refleksi. Model ini juga menyangkut pemindaian makna dan memberi sumbangsi
kepada rangkaian perubahan sosial, dan dengan demikian tidak menimba ilhamnya
dari teks-teks klasik atau tingkah laku klasik, tetapi dari realitasrealitas masa kini dan
peluang-peluang masa depan. Model ini lebih cenderung terhadap teologi
pembebasan. Teologi itu dianggap berhasil ketika mampu merubah situasi atau
membebaskan penganutnya dari segala pergumulan yang dialaminya.
4. Model Sintetis : Model Sintetis adalah salah satu dari empat model teologi
kontekstual yang diajukan oleh Bevans. Model ini mencoba untuk menggabungkan
elemen-elemen dari berbagai tradisi teologis dan budaya ke dalam satu kerangka
teologi yang lebih besar. Ini berarti menciptakan sintesis atau kombinasi yang unik
antara elemen-elemen tradisi Kristen dan elemenelemen dari konteks budaya tertentu.
Contoh dari model Sintetis yaitu Sinkretisme Teologis, Inkulturasi Teologi dan
Kontekstualisasi. Model ini adalah usaha untuk menciptakan kerangka teologi yang
sintesis antara iman Kristen dan realitas budaya.
5. Model Transendental : Model ini didasarkan pada filsafat eksistensial. Tujuannya
adalah transformasi subjek yang melakukan teologi daripada teologi atau budaya.
Secara umum, "transendental" merujuk pada hal-hal yang melampaui dimensi
material atau dunia fisik. Dalam konteks teologi Kristen, transendental seringkali
merujuk pada pemahaman mengenai Allah atau realitas rohani yang melampaui
batasan-batasan dunia fisik.

Model yang cocok bagi Gereja saya (GKPI) adalah Model Penerjemahan, Model
Antropologi dan Model Praktis.

Alasannya: Gereja GKPI sebagaimana namanya “Gereja Kristen Protestan Indonesia”,


kata Indonesia itu menujukkan bahwa GKPI jemaatnya tidak hanya suku batak tetapi
terbuka ke semua suku yang ada di Indonesia ini. Yang walaupun memang dominan suku
Batak. Saya melihat GKPI berusaha menyesuaikan diri dengan kearifan lokal budaya.
GKPI menggunakan gambaran dan metafora dari budaya untuk menjelaskan Injil, agar
jemaat tersebut memahami Injil (Model Penerjemahan). Dan membangun Teologi
Kontestual dengan pendekatan sosial dan budaya (Model Antropologi), dengan tujuan
bagaimana Injil/Teologi itu dapat menjawab dan memberikan solusi kepada setiap
permasalahan yang ada (Model Praktis).

3. Bentuk-bentuk kontekstualisasi yang ditawarkan Ebenhaezer I. Nuban Timo


Pertama, pemberian nama. Yang dimaksudkan di sini adalah pemberian nama kepada
manusia, maupun kepada benda benda. Nama-nama ini memiliki makna dan sejarah yang
unik. Dalam nama-nama itu ada sejarah. Nama merujuk pada satu nilai yang hendak
dilestarikan atau diaktualisasikan. Pemberian nama sesungguhnya merupakan wujud dari
kecintaan pada sejarah, nilai, atau tradisi tertentu. Alkitab menjadi sebuah buku karena
Allah memperkenalkan nama-Nya: "Aku Adalah Aku”. Di dalam nama itu ada sebuah
kisah yang bermakna. Di kalangan bangsa-bangsa Asia, nama memainkan peranan
penting.
Tanggapan saya: terkait dengan pemberian nama ini, saya sependapat dengan Nuban
Timo bahwa nama itu sangatlah penting, khususnya dalam masyarakat Suku batak. Bagi
orang batak toba, nama itu dapat mempengaruhi kehidupan si anak. Misalnya Torang,
nama yang diberikan kepada anaknya itu pastilah memiliki arti dan makna, demi dan
untuk kebaikan dan masa depan hidupnya.

Kedua, karakter kontekstual juga ditemukan dalam pemakaian simbol-simbol atau


atribut, dan instrumen yang dipakai dalam Gereja. Dalam gereja, ada alat musik berupa
piano, gitar, dan drum band; pakaian pengantin berupa gaun dan jas; lukisan-lukisan
Yesus, Kalau simbol-simbol itu diamati, semuanya masih berupa benda dan ide yang
berasal dari luar konteks budaya dan pengalaman religius.
Tanggapan saya: apa yang disampaikan oleh Ebenhaezer I. Nuban Timo, sangat relevan,
karena gereja harus kontekstual, sebagaimana di gereja suku di Sumatera Utara
khususnya dominan menggunakan unsur-unsur budaya di dalam gerejanya. Seperti
mempergunakan Ulos, tenun dll sebagai dekorasi yang mencirikan bahwa dalam gereja
itu ada beberapa suku, bahkan dalam hal musik pun harus dikontekstualisasikan
sebagaimana budaya-budaya yang dimiliki oleh jemaat. Dan hal ini saya rasa akan
meningkatkan kuantitas orang untuk beribadah, setelah kuantitas orang beribadah
meningkat, maka akan mudah menyampaikan injil ke pada jemaat.

Ketiga, Kontekstualisasi tampak dalam pelbagai ungkapan iman dan liturgi. Dalam
pemahaman ini, Nuban Timo memandang bahwa liturgi dan susunan-susunan
didalamnya masih mewarisi budaya dari luar daerah kita. Menurutnya, ungkapan iman
dalam liturgi maupun nyanyian gereja itu masih bahasa dari budaya luar.
Tanggapan saya: Apa yang disampaikan oleh Nuban Timo itu ada benarnya, karena
selama ini liturgi dan nyanyian itu masih bernuansa budaya luar. Padahal Perlu
kontekstualisasi nyanyian-nyanyian di tengah gereja, agar keimanan jemaat benar-benar
bertumbuh dan merasakan Allah di tengah konteksnya berada. Tetapi kelihatannya
Gereja-gereja di Indonesia, khususnya GKPI belum mampu keluar dari tradisi atau
kebiasaan yang mendarah daging terhadap liturgi dan nyanyian yang digunakan. Jika
beda dari liturgi dan nyanyian yang biasa dilakukan, akan banyak jemaat mengatakan itu
salah dan bahkan kita disebut sesat.
Keempat, wujud dari ungkapan iman yang kontekstual tampak dalam bentuk perilaku
dan model pelayanan. Yang Alkitab kenal dengan pelayanan adalah perbuatan atau
pertolongan nyata kepada sesama. Dalam Matius 25 Yesus menegaskan: ”Ketika Aku
lapar kamu memberi Aku makan, ketika Aku sebagai orang asing kamu memberi Aku
tumpangan.”

Tanggapan Saya: apa yang disampaikan oleh Nuban Timo, semestinya itulah gereja
yang sesungguhnya. Harus tritugas gereja itu ada didalam konteks umat Kristiani. Jadi
tidak hanya marturia, koinonia, tetapi diakonia itu harus ada sebagai wujud dari iman
kita. pelayanan yang nyata/aksi kepada sesama. Namun, yang terjadi di lapangan
banyaknya motivasi yang salah dalam melaksanakan aksi. Tidak lagi berdasarkan
motivasi yang murni untuk kemulian nama Tuhan.

Kelima, rumusan ajaran atau pengakuan iman merupakan aspek yang patut juga
diperhatikan dalam upaya merumuskan eklesiologi kontekstual.

Tanggapan Saya: apa yang disampaikan oleh Nuban Timo benar, rumusan ajaran itu
patut memperhatikan eklesiologi kontestual, gereja-gereja suku mestilah memperhatikan
kembali eklesiologi kontekstual yang sejalan dan tidak terlepas dari konteks gereja itu
berada, janganlah menganut eklesiologi yang diterapkan oleh eropa, tetapi mulailah
pengakuan iman itu dikontekstualisasikan dengan unsur-unsur budaya yang ada.
Sehingga iman itu bertumbuh sesuai konteks-konteks masing-masing yang mudah
dipahami.

4. “Rancang Bangun Teologi yang Kontektual di GKPI”: menurut saya


1. GKPI harus berani menunjukkan jati diri, sebagaimana identitas nama tersebut yakni
Indonesia. Tentu budaya Indonesia haruslah lebih kental didalamnya yang
menunjukkan identitas diri selaku gereja Indonesia. Contoh terkait berpakaian: GKPI
para pelayanannya masih memakai Jas/Blazer, jika memakai batik, itu terlihat aneh
dan tidak berwibawa. Nah, GKPI harus membangun eklesiologi kontekstual.
2. GKPI harus berani tampil menggunakan bahasa Indonesia, baik dimanapun gereja
berada, di desa dan dikota, kalaupun menggunakan bahasa daerah, setidaknya jangan
hanya bahasa batak toba, tetapi nyanyian itu setidaknya berbagai bahasa suku yang
ada digereja tersebut. Itulah keunikan GKPI. GKPI harus mempertahankan identitas
namanya.

5. Pemikiran dan komentar Saya tentang pelaksanaan Perjamuan Kudus bagi anak!

Perjamuan Kudus bagi anak, adalah hal yang baru saya dapatkan dalam mata kuliah s2.
Selama ini saya bertanya-tanya kenapa anak-anak tidak dapat mengikuti Perjamuan Kudus. Dan
Jawaban yang saya dapat bahwa selama ini di gereja suku, memahami bahwa anak-anak tersebut
belum memahami dan mengerti arti perjamuan yang dilakukan. Karena itulah anak-anak tidak
perlu mengikuti Perjamuan Kudus. Namun,setelah saya mendapatkan pelajaran atau pemahaman
yang benar akan Perjamuan Kudus yang disampaikan bapak Dosen, ternyata Perjamuan Kudus
itu juga harus diberikan kepada anak-anak. Dan saya sepakat hal itu, ketika kita tinjau dari
Pemahaman bahwa Perjamuan Kudus itu merupakan suatu Anugerah yang diberikan oleh
Tuhan Yesus kepada umatnya, dan juga harus didasarkan bahwa Perjamuan Kudus itu
merupakan suatu persekutuan. Dan Perjamuan kudus itu Gambaran Meja Tuhan yang
Eskhatologis. Perjamuan Kudus itu terbuka bagi segenap orang yang percaya kepada Kristus,
hal itu tercatat dalam Wahyu 19:9. Artinya, Perjamuan Kudus itu tidak hanya diperuntukkan
kepada orang yang sudah sidi saja, tapi kepada siapa saja. Maka dari pemahaman yang benar,
Gereja-gereja pun akan terbuka untuk melaksanakan Perjamuan Kudus bagi anak, tetapi kalau
gereja inklusif terhadap pemahaman yang diatas, maka itu akan sulit diterima. Sama halnya
seperti yang saya alami saat ini ketika saya dan beberapa rekan pendeta membahas hal tersebut,
mereka tetap pada pemahaman bahwa anak itu belum mengerti makna perjamuan kudus. Tetapi
saya tetap sepakat bahwa Perjamuan Kudus kepada anak itu perlu dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai