Anda di halaman 1dari 20

TEOLOGI-TEOLOGI KONTEMPORER

HENDRIK NURHIDAYAH SETIOWATI


Abstrak
Theology, etymologically, comes from the words theos which
means God and logos which means knowledge. If we look at the
root of the word, it is certain that the term theology does not
originate from Islam. However, in fact the term theology is not
something new in the current realm of Islamic thought. It should
be noted that Islam experienced quite significant intellectual
development through the translation movement of various Greek
monumental works. Just mention the works entitled Aristotle's
Theologia and Elementatio Theologia which are well known
among Islamic thinkers. There are many types of contemporary
theology that have developed, the most famous of which are
liberation theology that developed in Latin America and
transformative theology developed by Moeslim Abdurrohman
Keyword: Teologi, Kontemporer

Pendahuluan
Berbicara tentang Teologi merupakan hal yang menarik sekaligus sulit, di
samping karena perkembangannya yang sangat dinamis Teologia juga
berhubungan dengan Allah yang tidak terbatas sedangkan manusia sangat
terbatas. Namun, ada beberapa defenisi dari para ahli untuk menolong mengerti
tentang Teologia.
Secara etimilogi, istilah “Teologia” berasal bahasa Yunani yaitu: “Theos”
(Allah) dan “Logos” (kata, pemikiran, uraian, ilmu). Daniel Lucas Lukito
menjelaskan Teologia sebagai pembicaraan secara rasional tentang Allah dan
pekerjaan-Nya, hal ini merupakan hasil dari Alkitab sebagai titik tolak penemuan. 1
Sedikit berbeda dengan Pdt. Stevri Lumintang yang menjelaskan istilah Teologia
secara praktis dan juga teoritis. Pengertian secara praktis yaitu pengertian yang
tidak hanya dalam batas pemahaman kognitif mengenai Allah melainkan juga
penghayatan afektif dan pengalaman psikomotoris dari dan bersama Allah.
Sedangkan pengertian teoritis mengartikan Teologia adalah suatu aktivitas iman
orang percaya mempelajari Alkitab dengan maksud untuk mengalami kemurahan

1
Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologia Kristen, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 12.

1
2

Allah, yang memungkinkannya dapat mengenal pribadi dan karyaNya dalam


hubungannya dengan semua ciptaannya, khususnya manusia, dengan harapan
terjadi perjumpaan dan persekutuan denganNya yang menghasilkan perubahan
world view dan kemajuan ke arah kedewasaan, sehingga dapat berespon secara
bertanggungjawab terhadap panggilanNya, menjadi alat misiNya di dunia demi
kehendakNya terlaksana bagi kemuliaanNya saja”.2
Maka berdasarkan defenisi tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa
Teologia erat dengan aktivitas dan usaha iman manusia. Berkaitan dengan hal ini
maka tidak dapat dipungkiri Teologia akan dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran, aliran-aliran ataupun filsafat yang berkembang pada zamannya.
Demikian pula dengan Teologia Kontemporer dipengaruhi oleh Filsafat
yang berkembang pada zaman itu. Teologia Kontemporer memiliki ciri khas
yaitu: menyelidiki segala yang dapat diselidiki hanya untuk suatu pengetahuan;
semua Teologia Kontemporer adalah Teologia Historis-Kritis yang memandang
Alkitab sebagai dokumen sejarah kuno yang harus dinilai dan dikritik; Teologia
Kontemporer tidak berdasarkan Alkitab dan merupakan bidat. 3Teologia
Kontemporer lahir di tengah pengaruh filsafat yang menganggap manusia sebagai
ukuran atau kaidah segala sesuatu.4 Salah satu yang termasuk dalam Teologia
Kontemporer yang muncul pada sekitar abad Renaissance adalah Teologia
Pengharapan (Theology of Hope) yang akan dibahas pada bagian selanjutnya
Teologi kontemporer atau yang sering disebut juga dengan Teologi
Modern sering juga disebut teologi Historis-Kritis. Pengertian dari teologi
kontemporer itu sendiri adalah teologi yang berdasarkan pada skeptis atau yang
sering disebut dengan menaruh kecurigaan dan keragu-raguan terhadap Alkitab.
Bagi kalangan ini, Alkitab tidak diterima lagi sebagai wahyu Allah atau kebenaran
yang diilhamkan, baik dari sisi sejarahnya maupun berita yang disampaikan oleh
Alkitab tersebut. Makanya bagi kalangan mereka, Alkitab tidak diterima sebagai
satu-satunya sumber teologi. Jadi kalau demikian, apa yang menjadi sumber

2
Stevri I. Lumintang, Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan, (Batu:Literatur YPPII,
2010), 8-26.
3
Eta Linnemann, Teologia Kontemporer, (Batu: Literatur YPPII, 2011), xiii-xv
4
Paul Enns, The Moody Hand Book of Theology, (Malang: SAAT, 2010), 189
3

teologi mereka? Sumber teologi mereka adalah filsafat, dan dapat dikatakan
bahwa bagi kalangan ini bahwa mereka telah menggeser kedudukan firman
Tuhan dan menggantikannya dengan fisafat.
Metode Penelitian
Metode penulisan dalam penelitian ini adalah study literature review
(SLR). Study literature review merupakan jenis metode dengan menggunakan
artikel atau jurnal penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan. SLR sebagai sebuah
meode yang sistematis, eksplisit, dan reprodusibel untuk melakukan identifikasi,
evaluasi, dan sintesis terhadap hasil karya-karya para peneliti dan praktisi. Dalam
bahasa lain, metode ini dinamakan sebagai metode kajian pustaka atau (library
reseach)5 yang bersifat kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka
penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif.6 Penggunakan deskriptif kualitatif ini
karena peneliti ingin menggambarkan dan melukiskan keadaan teks atau fakta-
fakta maupun gejala-gejala yang tampak dalam berbagai referensi yang membahas
mengenai teologi-teologi kontemporer.
Berdasarkan corak penelitian ini, maka semua yang menjadi sumber datanya
adalah berasal dari bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan tema yang
peneliti kaji. Pengambilan data menggunakan metode deskriptif singkronik
artinya data dikumpulkan seperti kondisi apa adanya dan dideskrepsikan sesuai
ciri alamiah teks tersebut.7 Keseluruhan data yang ada oleh peneliti pertama
dilakukan pemilahan secara review yaitu yang membahas mengenai teologi
kontemporer secara umum. Kemudian untuk menganalisis permasalahannya,
5
Penelitian kepustakaan adalah jenis penelitian kualitatif yang sumber datanya dicari peneliti
dengan cara tidak terjun ke lapangan atau penelitian berdasarkan atas karya-karya tertulis baik
yang dipublikasikan maupun belum. Disebut demikian karena data-data atau bahan yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian didapat dari perpustakaan yang berupa buku,
ensiklopedi, kamus, jurnal, dokumen majalah dan lain-lainnya. Penelitian ini juga merupakan
metode dalam pencarian, mengumpulkan dan menganalisis sumber data untuk diolah dan disajikan
dalam bentuk laporan penelitizn kepustakaan. Lihat Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 4-5. Penelitian ini juga memerlukan olahan filosofis dan
teoritis dari pada uji empiris di lapangan. Karena sifatnya teoritis dan filosofis, dibutuhkan
pendekatan filosofis-teologis juga dari pada pendekatan yang lain. Lihat Juga Noeng Muhadjir,
Metode Penelitian: Paradigma Positivisme Obyektif Logika Bahasa Platonis, Chomskyist,
Hegelian & Hermeneutik, Paradigma Studi Islam, Matematik Recursion, Set-Theory & Structural
Equation Modeling Dan Mixed, (Yogyakarta: Rake Sarasi, 1996),169
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2017), 283
7
T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik: Ancaman Metode Penelitian dan Kajian
(Bandung: Eresco, 1993), 6.
4

penulis memakai pola pikir induktif, yakni berpikir sintetis yang berangkat dari
fakta-fakta, data-data, kasus-kasus dan pengetahuan yang bersifat khusus, menuju
pada kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum.8
Hasil dan Pembahasan
Latar Belakang adanya Teologi Kontemporer
Teologi kontemporer dalam arti yang sesungguhnya baru lahir tahun 1919
di Swiss, 40 mil sebelah selatan perbatasan dengan Jerman. Karl Barth (1886-
1968), yang sudah melayani di tempat tersebut sejak tahun 1919 yaitu tepatnya
sejak beliau berusia 25 tahun. Kemudian teologi ini dilanjutkan oleh Immanuel
Kant.9 Jadi, tahun 1919 lah merupakan titik tolak lahirnya teologi kontemporer.

a. Renaissance
Renaissance berarti kelahiran baru, dan menjelaskan kebangkitan
intelektual yang terjadi di Eropa setelah abad pertengahan. Periode ini juga
sering disebut sebagai sebuah kebangkitan pembelajaran. Renaissance ini
muncul dari 1350-1650. 10 Jadi penekanan renaissance ini adalah kemuliaan
manusia bukan kemuliaan Allah. Pusat dari manusia dan dunia ini adalah
manusia dan bukan Allah. Manusia pada saat sudah bertolak kepada rasio
atau penalaran bukan lagi pada wahyu ilahi.
Renaissance telah mendatangkan skeptis (keragu-raguan) terhadap
Alkitab dan hal-hal yang supranatural. Tokoh filsafat seperti Descartes,
Spinoza dan Libniz berargumentasi bahwa penalaran manusia dan ilmu
pengetahuan mampu untuk memahami teka-teki kehidupan. Tulisan-tulisan
parahumanis sekular berperan dalam meremehkan Alkitab, mukjizat, dan
wahyu ilahi. Pencerahan dari filsafat humanis sekular telah melakukan dasar
bagi liberalisme riligius dan penyangkalannya pada hal-hal yang supranatural.

8
Abd. Rachman Assegaf, Desain Riset Sosial-Keagamaan: Pendekatan Integratif Interkonektif
(Yogyakarta: Gama Media, 2007), 88-89
9
Harvie M. Conn, Teologi Semesta Kontemporer, (Malang: seminari Alkitab Asia Tenggara,
1985),15
10
Paul Enns, Buku Pegangan Teologi Jilid 2, (Malang: Literature, 2012), 189
5

Ada beberapa tokoh pencerahan, antara lain: John Locke (1632-1704),


berargumentasi bahwa semua yang ada dalam pikiran manusia berasal dari
sensasi, memang Locke mengakui beberapa aspek dari wahyu ilahi, namun ia
menyangkal inti dari iman Kristen yang kontradiksi dengan penalaran yang
berdasar pada pengalaman. Ada juga George Berkeley (1685-1753),
mengajarkan bahwa semua pengetahuan ada dalam pikiran. Dengan kata lain,
Berkeley menyangkal wahyu khusus. Serta David Hume (1711-1776) yang
adalah seorang skeptis yang berasal dari Skotlandia, mengkritisi mukjizat-
mukjizat di Alkitab, serta menyangkal bahwa kemungkinan untuk dapat
mengetahui kebenaran yang objek.11 Jadi, dapat dikatakan bahwa ketiga tokoh
di atas membangun teologi di atas rasio, menolak wahyu dan Alkitab.
b. Idealisme.
Idealisme adalah filsafat yang menyataan bahwa realitas tidak terletak
pada wilayah fisik, melainkan dalam wilayah akal. Di balik semua realitas
ada akal ilahi, yang menggerakkan dunia ke arah yang lebih baik. Adapun
tokoh idealisme ini adalah Immanuel Kant (1724-1804), Kant
berargumentasi bahwa konsep seseorang tentang Allah harus berasal dari
penalaran. Kant menolak bukti-bukti tentang keberadaan Allah, dengan
menyangkal keabsahannya.12 Kant juga menggolongkan kekristenan dan nilai
kekristenan di bawah wilayah moral.13 Yang membuat Kant berargumentasi
seperti demikian karena Kant menggabungkan antara rasio dan empiris
(pembuktian sesuatu berdasar metode ilmiah). Tokoh berikutnya adalah
Georg w.f. hegel (1770-1831), mengajarkan bahwa hanya pikiran yang riil,
setiap hal lain merupakan ekspresi dari yang absolute yang adalah
Allah.14 Kedua tokoh di atas menganggap kekristenan hanya sebuah sistem
etika, bukan wahyu dari Allah.
Ciri-ciri Teologi Kontemporer

11
Ibid., 190-191
12
Ibid.
13
Conn, Teologi Semesta..., 5
14
Enns, Buku Pegangan..., 192
6

Adapun ciri-ciri dari teologi kontemporer yang paling menonjol adalah


mempertuhankan rasio. Secara umum, memandang rasio sebagai satu-satunya
kaidah kebenaran . Dalam menempatkan rasio sebagai tolok ukur kebenaran,
mengakibatkan beberapa hal bagi kaum penganut teologi kontemporer, antara
lain: tergesernya Alkitab sebagai firman Allah yang berotoritas, penolakan
terhadap otoritas Alkitab yang adalah firman Allah, dan lahirnya berbagai paham-
paham (isme). Paham-paham yang berpengaruh sangat kuat dalam perkembangan
teologi kontemporer adalah:
1. Historisme: menekankan bahwa tolok ukur historis yang selama ini dipandang
akurat dan objektif yang harus diuji ulang sejak hadirnya pencerahan.
Sedangkan, yang kita ketahui banyak sejarah dalam Alkitab yang tidak dapat
dijelaskan secara empiris.
2. Saintisisme: sejak Galileo, para ilmuwan berhasil mempromosikan kehebatan
ilmu pengetahuan sebagai jawaban terhadap semua misteri dalam dunia, maka
kisah penciptaan Kej 1dan 2 ditolak.
3. Kritisisme: studi tentang naskah-naskah dari abad pertengahan yang diakui
asli, ternyata tidak benar oleh pemikiran modern, maka para ahli berusaha
mencari naskah asli berdasarkan metode ilmiah dan perjanjian lama serta
perjanjian baru dikritik dengan metode kritik tinggi.
4. Rasionalisme: menempatkan rasio sebagai sumber ilmu pengetahuan, etika,
estetika, agama. Jadi semua unsur yang tidak rasional harus dibuang dari arena
kepercayaan.
5. Optomisme: pencerahan tidak mengakui dosa asal. Dosa dianggap sebagai
suatu peristiwa psikologis dan khalayan belaka. Ajaran yang menekankan
penderitaan salib harus diganti dengan pemikiran dan ajaran yang positif,
optimis.
Semua aliran teologi yang disebut teologi kontemporer adalah teologi
historis-kritis, yang mendasarkan pemikiran teologinya bahwa Alkitab adalah
sebuah buku kuno. Alasan mengapa penganut teologi kontemporer memiliki
7

pemikiran teologi historis-kritis adalah, setiap isi Alkitab yang adalah sejarah
tidak dapat diterima dengan rasio.15.
Ruang Lingkup Teologi Kontemporer
Ruang lingkup dari teologi kontemporer itu sendiri ada banyak, antara lain
seperti berikut:
1. Teologi liberal (1763-1834): menempatkan penalaran manusia dan penemuan-
penemuan ilmiah pada tempat utama, segala sesuatu yang tidak sepakat
dengan penalaran dan ilmu pengetahuan harus ditolak. Akibatnya, teologi
liberal menolak doktrin historik dari iman Kristen, karena berhubungan
dengan mukjizat dan supranatural.
2. Teologi neo-Ortodox (setelah perang dunia I): mengaplikasikan kembalinya
pada kepercayaan Kristen ortodoksi setelah hampir dua abad berlangsungnya
liberalisme.16 Dalam teologi neo-ortodox ini ada kejanggalan, karena mereka
memperlakukan Alkitab lebih serius daripada liberalisme lama, namun tetap
mempertahankan fondasi-fondasi liberalisme. Jadi memang ada kebingungan
di dalamnya.
3. Teologi Demitologisasi (oleh Rudoolf Bultmann,1941): memahami
keberadaan manusia dari perspektif manusia dan dapat diterima oleh manusia
modern.
4. Teologi Fundamental: mempertahankan teologi injili tetapi mati-matian
menolak rasio dan filsafat dalam berteologi, teologi Fundamental ini juga

terlalu kaku.
5. Teologi Pengharapan (1965, perang dunia I dan II): saat itu disebut era
kebingungan, dimana manusia sedang mencari-cari jawaban atas ketidak
menentuan yang terjadi.
6. Teologi Neo-Evangelikalisme (1948), frase ini merupakan suatu usaha untuk
merelasikan fase yang baru ini dalam teologi injili dengan fundamentalisme

15
James Barr, Alkitab di Dunia Modern, (Jakarta: Penerbit BPK, 1999), 107.
16
Enns, Buku Pegangan..., 209
8

yang lama, yang pada saat bersamaan menekankan ketidakpuasan terhadap

beberapa bagian yang lama itu.17


7. Teologi sekularisasi: setuju bahwa problem-problem dunia ini harus menjadi
perhatian utama dari orang Kristen, mereka menyesalkan banyak cara-cara di
mana Gereja telah merasionalkan kegagalannya dalam mengahadapi kejahatan

sosial dan politis.18


Ruang lingkup dari teologi kontemporer, selain di atas masih mencakup
hal-hal lain, misalnya: teologi sejarah, teologi evolusi, teologi proses,
mistikisisme, pietisme, dan dispensasionalisme.
Konsep Dasar Teologi Kontemporer
Teologi kontemporer dibangun di atas dasar filsafat, bukan atas dasar
firman Allah (Alkitab). Filsafat yang mempengaruhi gereja dan teologinya sejak
abad pertengahan. Pada masa renaissance, Filsafat dipadukan dengan paham
humanisme, dan para teolog kontemporer berusaha membandingkan antara filsafat
dengan Alkitab yang mengakibatkan: tergesernya otoritas Alkitab dalam
kehidupan orang percaya, Alkitab bukan satu-satunya sumber bagi teologi
Kristen. Jadi para teolog tidak lagi merasa cukup dengan Alkitab sehingga
memakai filsafat kafir sebagai sumber teologi mereka. Selain dasar teologi
kontemporer adalah filsafat, bagi mereka manusia juga adalah sebagai pusat alam
semesta. Seperti halnya bagi penganut teologi kontemporer, rasio di tempatkan
menjadi tolok ukur kebenaran, dan kita ketahui pemilik rasio itu adalah manusia
sendiri. Jadi, seiring dengan adanya peranggapan bahwa manusia modern ini telah
matang, maka segala sesuatu yang ada dalam Alkiatab diterima apabila hal itu
dapat dilogikakan. Dan akhirnya, konsep dasar teologi kontemporer adalah
metode historis kritis, yang berarti segala sesuatu yang merupakan sejarah dalam
Alkitab dikritisi, jadi hal-hal yang berbau sejarah dan tidak dapat dibuktikan tidak
diterima sebagai Alkitab dianggap hal itu adalah sebuah mitos.

17
Victor M.Matthews, Neo Evangelikalisme, (Des Plaines: Regular Baptist Press, 1971), 1-2
18
Harvie M.Conn, Teologi Semesta Kontemporer, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
1985), 63-68
9

Teologi, secara etimologis, berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan
logos yang berarti ilmu. Jika dilihat dari akar kata tersebut, istilah teologi bisa
dipastikan bukan berasal dari Islam. Akan tetapi, sebenarnya istilah teologi
tersebut bukan sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang.
Perlu diketahui bahwa Islam mengalami perkembangan intelektual yang cukup
signifikan melalui gerakan penerjemahan berbagai karya-karya monumental
Yunani. Sebut saja karya yang berjudul Theologia Aristotle dan Elementatio
Theologia yang telah dikenal di kalangan para pemikir Islam.19
Secara terminologis ada beberapa pengertian tentang teologi yang
diberikan yang layak diperhatikan. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa menjelaskan bahwa teologi adalah pengetahuan ketuhanan
(mengenai sifat-sifat Allah dan agama terutama berdasar pada kitab-kitab Suci. 20
D.S. Adam memberikan batasan pengertian teologi merupakan disiplin yang
membahas mengenai Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.21
Kemudian dengan didasarkan pada kenyataan bahwa arus utama
intelektualisme berada di tangan orang-orang Islam Arab dan didominasi oleh
gerakan Arabisme pada saat itu. Teologi didefinisikan sebagai ilmu dengan bidang
pengkajian tertentu yaitu Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan
manusia. Sedangkan dalam ilmu kalam sendiri, pengertian teologi merupakan
sebuah rumusan yang telah berusia tua yang hanya berkutat pada persoalan
ketuhanan yang hampir tanpa menyentuh aspek kemanusiaan dengan
kemungkinan ada yang sangat minim.
Teologi Pembebasan
Istilah pembebasan yang muncul di dalam berbagai Teologi Agama adalah
sebuah gambaran fenomenatif dari aspek teologi, yang secara konklusifnya
melahirkan banyak pemikir, mulai dari ortodok, sampai dengan pemikir modern.

19
Nasihun Amin. Teologi Islam Transformatif, 3 (dikutip dari, Madjid Fakhry, The History of
Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1983)
20
Nasihun Amin. Teologi Islam Transformatif, hal. 3 (dikutip dari, Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
21
Nasihun Amin. Teologi Islam Transformatif, hal. 3 (dikutip dari, D.S. Adam, "Theology" dalam
James Hastings, Encyclopaedia of Religion and Ethics (New York: Charlers Scribner`s Sons, vol.
12. tth.)
10

Semua pemikira dimaksud mengandung makna dan tuntutan agar teologi tidak
mendoktrinisasikan ajarannya sebagai sebuah tesis mutlak yang mengekang
penganut-penganutya. Pembebasan atau Liberalisasi yang lahirnya dilatar
belakangi oleh suatu kondisi Diktatoral Politik secara politis, otoriter lembaga-
lembaga keagamaan dan kondisi sosial kemasyarakatan yang diskriminatif dan
tidak populis telah mewujudkan berbagai gerakan dan aliran pembebasan didalam
teologi agama dan wilayah pengembangan teologi secara geografis.22
Wilayah pengembangan teologi secara geografis terbentuk dari
pemahaman dan orientasi teologi pembebasan itu sendiri.Secara geografis terdapat
tiga wilayah pengembangan pengembangan teologi pembebasan yakni Amerika
Latin, Afrika dan India. Masing-masing wilayah mengembangkan pemikiran
teologi pembebasan ini dengan orientasi masing-masing namun masih dalam
kerangka yang sama. kesamaan kerangka pemikiran ini sesungguhnya dilandasi
oleh pendefenisian teologi pembebasan yang sama.
Wasito Raharjo mengatakan mengenai Pengertian Teologi Pembebasan
secara harfiah sebagai tanggapan pemahaman agama dalam membaca kasus
ketimpangan sosial politik yang di akibatkan oleh rezim hegemonik yang
melakukan praktik subsordinasi dan intimidatif kepada masyarakatnya yang
sangat erat kaitannya dengan gerakan politik.23
Dengan kata lain dapat dikatakan juga bahwa teologi pembebasaan
(Libertion theology) merupakan sebuah konsep teologi yang mengasumsikan
bahwa teologi harus mampu berperan dalam mendorong terjadinya perubahan
sosial dan mengembangkan spiritualitas pembebasan dari ketidak adilan sosial,
ekonomi, dan intelektualitas.24
Gustavo Guitirrez mengatakan, Istilah Teologi Pembebasan mengandung
tiga makna, pertama, memberikan perlindungan dan penyelamatan manusia dalam

22.
M. Husein A. Wahab, Pemikiran Pembebasan Dalam Teologi (Suatu Analisis Historis dan
Geografis), (Banda Aceh, Jurnal Substantia, Vol. 15, No. 2, Oktober 2013), 218.
23
Wasito Raharjo jati, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan Sebagai Arena Profetisasi Agama,
(Jakarta, Jurnal Walisongo Volume 22, Nomor 1, Mei 2014), 135.
24.
Loren Bagus dalam Lukman Hakim, Wacana Teologi Tranformatif Dari Teosentris ke-
Antroposentris, Banda Aceh (Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Ar-raniry, cet-1,
2014), 113.
11

bidang ekonomi, sosial, dan politik.Kedua, membebaskan manusia dari takdir


tuhan. Ketiga, membebaskan manusia dari dosa kekehidupan yang baru. Sejalan
dengan ini Ashghar Ali Enggineer menjelaskan bahwa teologi pembebasan adalah
penyelamat, pembelaan dan penegakkan keadilan terhadap kaum miskin dari
penindasan penguasa, tuan tanah atau feodal, maupun golongan kaya. 25Juga
sejalan dengan ini Kursani memberikan defenisi kepada Teologi Pembebasan
sebagai keberpihakan agama kepada mereka yang lemah tertindas.
Masing masing pemikir memberikan defenisinya sesuai dengan orientasi
atas refleksi pembebeasan yang gunakan.Namun dari sekian defenisi teologi
pembebasan diatas tadi dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa teologi
pembebasan ini memiki unsur- unsur pembebasan diantaranya yakni pembebasan
diri dari dogmatik agama dan pembebasan diri dari keterkungkungan politik
otoriter yang tidak membawa pada keadilan sosial dan kesejahterahan.
Implementasi berdasarkan orientasi ini menimbulkan perbedaan dalam
penerapannya di wilayah yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Teologi
pembebasan Amerika Latin berfokuskan pada isu politik dan kesejahterahan
ekonomi. Di Afrika teologi pembebasan berorientasi pada isu-isu reformasi
keimanan kultural gereja barat. Dan di Asia berorientasi pada struktur sosial,
kediktatoran, ekonomi, dan kerukunan antar umat beragama.26
Sejarah lahirnya teologi pembebasan pertama kali dimuali di Amerika
Latin yang dipelopori oleh pastor gereja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
ide-ide teologi pembebasan merupakan ide yang berasal dari kajian teologi
kristian. Yang kemudian berkembang luas hingga Asia termasuk Asia Tenggara.
Ada beberapa penyebab timbulnya pemikiran teologi pembebasan.
Pertama, untuk mencari sumbangan positif gereja dalam mendorong
perubahan didalam masyarakat yang selama ini keimanan gereja dianggap tidak
relevan terhadap kondisi kehidupan sosial. Kedua, berkembanganya penindasan
terhadap kaum miskin. Ketiga, terjadinya konflik kepentingan antara kaum miskin
dan lemah yang dieksploitasi sebagai alat politik kaum penguasa. Keempat,
25
Sahrul, Agama dan Teologi Pembebasan, (Jurnal An-nadwah, Vol. XIV, No.1, Januari-Februari,
2009), 82
26.
M. Husein Wahab, Pemikiran Pembebasan ..., 220-225
12

gerakan sosial yang membumidasarkan teologi sebagai pemberantas kemiskinan


dalam masyarakat.27
Didalam sumber lain dijelaskan bahwa penyebab timbulnya pemikiran
teologi pembebasan ini adalah akibat politisasi Agama sebagai alat kepentingan
politik.Yang menyebabkan terjadinya pengistilahan kaum minoritas sebagai the
orthers yang menganggap bahwa the others bukan bagian dari mayoritas.Dari sini
terjadi perluasan ketimpangan dan penindasan bagi kaum minoritas. Agama yang
pada mulanya bersifat sakral mulai di jadikan alat sebagai penyokong kekuasaan
tertentu.28
Keberpihakan agama (gereja) terhadap negara ini terjadi di Amerika Latin
sebagi negara jajahan Eropa.Keberpihakan gereja ini disebabkan oleh pendanaan
institusi gereja oleh negara. Hal ini menyebabkan terjadinya dilematisasi
keberpihakan gereja antara masyarakat dan negara. Padaa akhirnya institusi gereja
melakukan keberpihakan terhadap negara sebagai mana yang terjadi di Amerika
Latin.
Di Amerika Latin pad abad ke-16 M terjadi kolonialisasi Spayol dan
Portugis dengan pengiriman tentara dan budak-budak Afrika untuk kepentingan
politik, ekonomi dan budaya. Penduduk pribumi menjadi korban penindasan
kolonialis. Selain pengiriman prajurit dan budak Afrika, para kolonialis juga
melibatkan misionaris untuk menyebarkan agama kristen menggunakann gereja
sebagai institusi keagamaan formal.
Namun fakta dilapangan berbeda, dalih menyebarkan kekristenan berubah
menjadi politisasi agama. Dari sini lah pertama kali pengenalan pembebasan
teologi oleh seorang misionaris asal Spanyol bernama Bartholomeo de Cassas.
Cassas melihat terjadinya dilematis peran dan posisi gereja antara masyarakat
(penganut agama) dan negara. Ia mulai mengkritisii tentang distorsi peran dan
fungsi gereja sebagai pelayan masyarakat ataukah sebagai pelayan negara.29
Selanjutnya pada abad ke-19 hingga awal abad ke 20 terjadi pengiriman
pastor besar-besaran ke Amerika Latin untuk membantu kekurangannya jumlah
27
Sahrul, Agama dan Teologi..., 84.
28
Raharjo jati, Agama dan Politik..., 139-141.
29.
Ibid., 139-141.
13

tenaga kerohanian.30 Akan tetapi ternyata pengiriman besar besaran pastor juga
ternyata tidak berhasil membawa dampak yang signifikan teradap ketimpangan
dan penindasan penganut yang didominasi oleh masyarakat ekonomi menengah
kebawah.
Pada pertengahan abad 20, Gustvo Gotierrez seorang pastor kelahiran peru
mulai membahas paradigma pembebasan keranah yang lebih luas. Pada saat ini
perkembangan kristen Amerika Latin digolongkan kedalam dua mazhab
besar..yakni kristen liberal dengan praktek penebusan dosa yang bersifat
kompetitif sehingga sama sekali tidak memberikan peluang kepada kaum miskin
tertindas untuk melakukan penebusan dosa sebagai mana mestinya. Pada saat ini
ia melihat jurang yang sangat besar antara the others sebagai kaum miskin
menjadi entitas yang termarjinalkan di pandangan teologis. Mazhab kedua adalah
mazhab kristen konservatif yang memiliki karakteristik stagnan dengan
statusquonya dan sama sekali tidak meakukan perubahan-perubahan kearah
pembebasan bagi kaum tertindas. Menurutnya munculnya pemikiran teologi
pembebasan adalah sebagi kritik terhadap dua mazhab tadi.
Pemikiran Teologi Pembebasan pada dasarnya terkait dengan
berkembangnya pemikiran politik kiri yang bersinergis agama sehingga
memunculkan adanya teologi pembebasan. Secara garis besar, pemikiran politik
Marxisme. Pandangan marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu
masyarakat sebenarnya merupakan benruk kritik Marx terhadap agama yang ada
pada saat itu tidak mampu memberikan solusi-solusi dalam kehidupan sosial.
Terutama pada kaum buruh. Kritik Marx ini kemudian banyak mempengaruhi
pemikiran teologi pembebasan yang terangkum dalam beberapa poin mendasar
berikut ini: 1) analisis perjuangan kelas; 2) menolak adanya akumulasi kapital dan
kepemilikan pribadi; 3) mendukung adanya gerakan perubahan; 4) manusia perlu
dinilai sebagai makhluk sosialis dan bukan mengarah pada persaingan
kompetitif.31

30
Sahrul, Agama dan Teologi..., 84.
31.
Natalie, “Evaluasi Kritis terhadap Doktrin Gereja dari Teologi Pembebasan,” (Jurnal Veritas,
Vol. 1, No. 2, 2000 ), 185.
14

Adanya empat parameter sebenarnya memiliki kaitan praksis dalam


membuat agama tidak hanya berlaku dalam nalar profan. Adapun nilai-nilai
praksis yang dapat dilihat dalam merekonstruksi makna teologi pembebasan
antara lain: 1) relasi agama dan umat janganlah bersifat transedental, namun perlu
didudukkan dalam relasi setara; 2) dimensi spiritualitas perlu dikondisikan dengan
religiusitas; 3) agama diciptakan sebagai resolusi masalah, bukan pada pembentuk
norma kepatuhan; 4) agama juga perlu mendukung adanya transformasi dalam
kehidupan bermasyarakat.32
Di dalam sumberlain disebutkan bahwa ; Di Amerika Latin, teologi
pembebasan memakai metode analisis perjuangan kelas yang dimulai dengan
praksis. Mengubah basis hubungan sosial ekonomi. Metode materialisme sejarah
membantu praksis dalam mengubah refleksi teologis yang mandeg
(suprastruktur). Jadi, berteologi adalah langkah kedua setelah orang berpraksis.
Teolog pembebasan tidak berhenti pada analisis Marxis saja, tetapi dilanjutkan
dengan proses penafsiran iman Kristiani yang bersumber pada Kitab Suci.
Gutierrez mengatakan bahwa teologi merupakan refleksi kritis atas praksis yang
diterangi oleh sabda Injil. Di Amerika Latin itu berarti refleksi kritis atas praksis
sejarah pembebasan berdasarkan Sabda Tuhan. Maka, teologi pembebasan bukan
dipakai untuk menciptakan ideologi yang membenarkan status quo atau penenang
saat iman ditantang sekularisme dan konsumerisme. Pada teologi pembebasan
Gutierrez sebenarnya ada dua langkah berteologi. Pertama, kenyataan bahwa
orang Kristen dan komunitas Kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang
definitif, yaitu kasih, tindakan, dan komitmen pelayanan untuk sesama. Kedua,
teologi harus menjadi kritis dalam terang Injil, baik terhadap masyarakat umum
maupun institusi Gereja.33
Teologi Transformatif
Latar belakang munculnya Teologi Transformatif adalah berangkat dari
kepedulian akan keterbelakangan umat Islam di dunia sekarang. Keterbelakangan
itu disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan dan ketertutupan dalam
32.
Raharjo jati, Agama dan Politik...,143.
33.
Parluhutan Siregar, Agama dan Teologi Pembebasan, (Medan: Makalah program S3 Agama dan
Filsafat Islam, Pascasarjana IAIN Sumatra Utara, 2009), 2.
15

memahami ajaran agamanya sendiri. Itulah yang membuat umat Islam tertinggal
dari kemajuan yang dicapai barat.
Paradigma modernisasi Islam sendiri cenderung melakukan liberalisasi
pandangan yang mudah menyesuaikan diri terhadap kemajuan zaman tanpa harus
melakukan sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi itu sendiri.
Inilah mengapa muncul Teologi Transformatif.
Teologi Transformatif adalah teologi yang berusaha menggerakkan rakyat/
masyarakat untuk mengubah dirinya dan berperan dalam perubahan sosial yang
mendasar. Memberantas penindasan dan ketidakadilan. Bagi orang-orang
berteologi transformatif, mereka menganggap bahwa semua persoalan peradaban
manusia yang ada saat ini berpangkal pada ketimpangan sosial-ekonomi, inilah
yang menimbulkan adanya ketidakadilan juga.
Gagasan teologi transformatif Moeslim merupakan alternatif dari orientasi
paradigma teologi modernisasi dan teologi totalistik atau yang disebut dengan
Islamisasi. Moeslim menjelaskan bahwa, teologi modernisasi bertolak dari isu-isu
keterbelakangan, karena menurut teologi modernis hal ini penting untuk
dilakukan sebagai upaya liberalisasi adaptif dalam menghadapi kemajuan zaman
dapat diimbangi dengan sikap kritis terkait hal-hal negatif dari proses
modernisasi. Oleh karena itu, sikap yang ditekankan adalah fleksibel, terbuka, dan
dialogis dalam menghadapi pluralitas.
Sedangkan teologi totalistik atau Islamisasi fokus pada topik persoalan
normatif yang Islami dan yang tidak Islami. Istilah lainnya adalah norma yang asli
dan bid’ah.Teologi ini condong pada pendekatan fiqih, sehingga dalam
pandangannya hidup di dunia ini bersifat dikotomis, yaitu halal-haram dan surga-
neraka. Yang ditekanlan oleh teologi ini adalah mencita-citakan umat sebagai
konsumen teologis, sedangkan para teolog sebagi produsennya.
Dari kedua teologi ini menurut Moeslim tidak memberikan perhatian
terhadap kondisi sosial. Dengan demikian Moeslim menggagas teologi
transformatif sebagai teologi yang menitikberatkan pada perubahan secara praksis,
dengan tujuan untuk mengatasi problem sosial yang diakibatkan oleh dampak
modernisasi. Dampaknya adalah kesenjangan sosial antara penindas, yaitu pemilik
16

modal dan penguasa, sedangkan yang tertindas adalah kaum mustadh’afin


diantaranya para buruh dan kalangan grassroot. Menurutnya dalam proses
moderniasi, manusia semakin tidak peduli terhadap persoalan perubahan sosial,
manusia semakin memarginalkan masyarakat yang tidak mempunyai akses
dengan pembangunan.34
Di dalam proses mengembalikan fungsi agama terhadap struktur sosial
yang timpang ini, membutuhkan upaya transendensi. Yang dimaksud dengan
transendensi dalam pemikiran Moeslim adalah “proses yang melahirkan
kemampuan manusia untuk keluar dari strukturnya dan melihat struktur kembali
melalui iman yang belum distrukturkan secara kritis.”35Dengan demikian,
transendensi sebagai alat utama untuk merealisasikan fungsi agama secara
semestinya dalam struktur sosial. Moeslim memandang struktur sosial yang
timpang itu merupakan bagian dari dosa Barat atau modernisasi. Dilihat dari segi
praktiknya, modernisasi memunculkan tindakan eksploitasi, yakni sumber-sumber
informasi dan ekonomi hanya dapat diakses oleh sekolompok orang elit dengan
cara mengontrol sejumlah orang yang memiliki power atau kekuatan dalam
bidang tersebut.36
Bagi orang yang tidak mempunyai power, maka orang tersebut tidak dapat
hidup secara selaras, bahkan diperlakukan secara tidak adil. Ketidakadilan ini
menjadi problem sosial yang mendapat perhatian dari Moeslim, ia
mempertanyakan fungsi agama untuk kehidupan sosial. Moeslim menjelaskan
bahwa agama harus berani melakukan otokritik kepada pesan-pesan yang telah
disampaikan kepada umat, serta meredefinisi konsep-konsep agama yang selama
ini menjadi acuan. Selain itu, agama perlu mengajukan narasi baru yang sifatnya
besar. Menurutnya agama tidak hanya persoalan kepedulian sosial dengan
memberikan sedekah yang mengacu pada konsep lama, melainkan agama

34
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, Seri Islam & Modernitas (Jakarta:
Erlangga, 2003), 186
35
Ibid., 110
36
Ali Subekti, Islam Transformatif: Studi Tentang Pemikiran Moeslim Abdurrahman (Surabaya:
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2002), 58
17

diharapkan memiliki komitmen dalam penegasan ideologi memperjuangkan


keadilan sosial dengan cara mekanisme redistribusi sosial.37
Tugas-tugas ini harus menjadi tugas utama bagi agama Islam, alasannya
adalah terjadinya kemunduran umat Islam berawal dari adanya pristiwa
ketidakadilan sosial di dalam masyarakat. Supaya kejadian ironis ini tidak terjadi,
maka agama Islam perlu berkonstribusi untuk memberikan solusi kepada manusia
dalam menjalani kehidupan sosialnya.38 Jika agama berperan dalam bidang sosial
untuk memperjuangkan keadilan, dapat dimungkinkan umat Islam akan
mengalami kemajuan. Pada dasarnya agama Islam diturunkan ke dunia sebagai
petunjuk dengan tujuan membebaskan manusia dari segala hal yang tidak sejalan
dengan dasar kemanusiaan. Agama dikatakan berfungsi sesuai dengan hakekatnya
ketika agama berperan untuk memihak terhadap kepentingan manusia, serta selalu
menjaga dan mengangkat martabat manusia. Moeslim menegaskan bahwa di
dalam agama terdapat hal yang berlaku secara universal, yaitu kesamaan derajat
manusia, universalitas, dan egalitarian.39
Dengan demikian di dalam teologi transformatif yang dibutuhkan adalah
pemaknaan ulang terkait makna Islam. Moeslim mengatakan bahwa makna Islam
merupakan ruh kemanusiaan sejati yang menuntun pada perubahan, khususnya
perubahan dalam hal kemerdekaan, baik dari aspek perorangan atau secara
kolektif. Perubahan ini ditujukan untuk mewujudkan keadaban dan peradaban,
dengan artian menghidupkan cita-cita kemerdekaan bagi manusia, bebas dan
terhormat.40
Selain dari tugas utama sebuah agama, Moeslim menambahkan bahwa
tugas agama semestinya harus berani tampil dalam situasi dan kondisi apapun
yang terjadi dalam kehidupan manusia. Tampilnya agama bukan hanya bertujuan
untuk hal-hal yang bersifat positif, tetapi juga hadir untuk hal-hal yang bersifat
negatif. Ini merupakan penegasan, di mana dalam agama Islam harus terdapat
37
Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial...., 177-178
38
Arbain Nurdin, “Paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap pengembangan
pendidikan Islam: Studi komparasi pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman” (Tesis,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2013), 86
39
Moeslim Abdurrahman, Islam Trasnformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 107
40
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan: Menuju Demokrasi Dan
Kesadaran Bernegara (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 7
18

mekanisme kritis agama terhadap dinamika zaman yang semakin berkembang


secara terus menerus.41
Dapat dikatakan hal demikian ini adalah cerminan dari ajaran terkait
pentingnya saling mengingatkan dengan cara memberikan kritik yang bertujuan
membangun dalam kebenaran. Kritik yang dilakukan bukan untuk menjatuhkan
sesuatu yang telah mapan atau sesuatu yang masih proses, melainkan bertujuan
untuk menata ulang hal-hal yang dianggap tidak signifikan dengan kehidupan
sosial. Bahkan lebih dari itu, yakni tindakan tersebut sesuai dengan fungsi peran
kekhalifahan yang diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia di dunia ini.42
Berdasarkan uraian ini, maka agama Islam harus berani mengambil sikap
tegas untuk melakukan pemihakan kepada struktur yang timpang. Agama perlu
kembali eksis sesuai dengan fungsinya, yakni memberikan solusi terhadap
terjadinya ketimpangan sosial yang disebabkan oleh arus modernisasi. Perubahan
menjadi tolak ukur dalam memaknai agama Islam, perubahan dalam artian terkait
kemanusiaan.
Simpulan
Teologi, secara etimologis, berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan
logos yang berarti ilmu. Jika dilihat dari akar kata tersebut, istilah teologi bisa
dipastikan bukan berasal dari Islam. Akan tetapi, sebenarnya istilah teologi
tersebut bukan sesuatu yang baru dalam khazanah pemikiran Islam sekarang.
Perlu diketahui bahwa Islam mengalami perkembangan intelektual yang cukup
signifikan melalui gerakan penerjemahan berbagai karya-karya monumental
Yunani. Sebut saja karya yang berjudul Theologia Aristotle dan Elementatio
Theologia yang telah dikenal di kalangan para pemikir Islam.
Terdapat banyak macam teologi kontemporer yang berkembang, yang
terkenal yaitu teologi pembebasan yang berkembang di amerika latin dan teologi
transformatif yang dikembangkan oleh Moeslim Abdurrohman.

DAFTAR RUJUKAN
41
Abdurrahman, Islam Trasnformatif..., 10
42
Ibid.
19

Abdurrahman, Moeslim, Islam Sebagai Kritik Sosial, Seri Islam & Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2003).
Abdurrahman, Moeslim, Islam Trasnformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).
Abdurrahman, Moeslim, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan: Menuju Demokrasi
Dan Kesadaran Bernegara (Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Barr, James, Alkitab di Dunia Modern, (Jakarta: Penerbit BPK, 1999).
Conn, Harvie M., Teologi Semesta Kontemporer, (Malang: seminari Alkitab Asia
Tenggara, 1985).
Enns, Paul, The Moody Hand Book of Theology, (Malang: SAAT, 2010).
Enns, Paul, Buku Pegangan Teologi Jilid 2, (Malang: Literature, 2012).
Fakhry, Madjid, The History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 1983)
Hakim, Lukman, Wacana Teologi Tranformatif Dari Teosentris ke-
Antroposentris, Banda Aceh (Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Ar-raniry, cet-1, 2014).
Hastings, James, Encyclopaedia of Religion and Ethics (New York: Charlers
Scribner`s Sons, vol. 12. tth.)
Linnemann, Eta, Teologia Kontemporer, (Batu: Literatur YPPII, 2011).
Lukito, Daniel Lucas, Pengantar Teologia Kristen, (Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2002).
Lumintang, Stevri I., Keunikan Theologia Kristen di Tengah Kepalsuan,
(Batu:Literatur YPPII, 2010).
Matthews, Victor M., Neo Evangelikalisme, (Des Plaines: Regular Baptist Press,
1971).
Natalie, “Evaluasi Kritis terhadap Doktrin Gereja dari Teologi Pembebasan,”
(Jurnal Veritas, Vol. 1, No. 2, 2000 ).
Nurdin, Arbain, “Paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap
pengembangan pendidikan Islam: Studi komparasi pemikiran Kuntowijoyo
dan Moeslim Abdurrahman” (Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim, 2013).
Raharjo jati, Wasito, Agama dan Politik: Teologi Pembebasan Sebagai Arena
Profetisasi Agama, (Jakarta, Jurnal Walisongo Volume 22, Nomor 1, Mei
2014).
Sahrul, Agama dan Teologi Pembebasan, (Jurnal An-nadwah, Vol. XIV, No.1,
Januari-Februari, 2009).
Siregar,.Parluhutan, Agama dan Teologi Pembebasan, (Medan: Makalah program
S3 Agama dan Filsafat Islam, Pascasarjana IAIN Sumatra Utara, 2009).
20

Subekti, Ali, Islam Transformatif: Studi Tentang Pemikiran Moeslim


Abdurrahman (Surabaya: Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab
IAIN Sunan Ampel, 2002).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990)
Wahab, M. Husein A., Pemikiran Pembebasan Dalam Teologi (Suatu Analisis
Historis dan Geografis), (Banda Aceh, Jurnal Substantia, Vol. 15, No. 2,
Oktober 2013).

Anda mungkin juga menyukai