Anda di halaman 1dari 7

TEOLOGI SISTEMATIKA

PROLOGOMENA
PROLEGOMENA
(Pengantar Teologia Sistematika)

A. PENGERTIAN/DEFINISI

1. Arti etimologis (asal kata) Istilah "Teologia" berasal dari 2 kata Yunani,
yaitu: theos artinya "Allah"; dan logos artinya "perkataan, uraian, pikiran,
ilmu". Sedangkan "Sistematika" berasal dari kata sustematikos, artinya
penempatan/ penyusunan secara tepat.
2. Definisi Istilah "Teologia" dapat dimengerti dalam arti sempit atau arti luas.
Arti luas: mencakup seluruh pokok studi (disiplin ilmu) dalam pendidikan
teologia. Arti sempit: usaha meneliti iman Kristen dari aspek doktrinnya
saja yang sering disebut sebagai Teologia Sistematika.
Definisi umum: Teologia ialah pengetahuan yang rasional tentang Allah
dan hubungannya dengan karya/ciptaan-Nya seperti yang dipaparkan
oleh Alkitab. Definisi khusus: Teologia Sistematika ialah bagian dari divisi
Teologia. yang mengatur secara terperinci dan berurutan tema-tema dari
ajaran doktrin dalam Alkitab.
3. Pengertian Teologia sebagai Ilmu Teologia meskipun tidak memiliki fakta-
fakta yang dapat diukur secara empiris (seperti ilmu-ilmu modern
sekarang ini) tetap dapat disebut sebagai ilmu karena, sesuai dengan
salah satu definisi "ilmu", teologia adalah suatu usaha untuk memberikan
penjelasan tentang Allah, yang diperoleh dari Alkitab (sebagai penyataan
Allah yang tidak berubah), dengan cara yang sistematis.
Dengan demikian Teologia Kristen memenuhi unsur-unsur ilmu:
a. Dapat dimengerti oleh pikiran manusia dengan cara teratur dan
rasional.
b. Menuntut adanya penjelasan secara metodologis
c. Menyajikan kebenaran
d. Mempunyai nilai yang universal
Memiliki objek yang diteliti
B. TEMPAT TEOLOGIA
Pertanyaan yang sering timbul adalah, kalau Teologia adalah pengenalan
tentang Allah dan karya-Nya, bagaimana hubungan Teologia dengan ilmu-
ilmu yang lain (musik, filsafat, sosiologi, kedokteran, dll? Dengan percaya
bahwa seluruh kebenaran adalah berasal dari Allah, maka tidak seharusnya
Teologia bertentangan dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain, baik itu
kebenaran alam, filsafat, musik, dll., bahkan seharusnya mereka akan saling
melengkapi.

C. PENTINGNYA MEMPELAJARI TEOLOGIA SECARA SISTEMATIS

1. Manusia sebagai mahluk ciptaan yang berasio. Manusia mempunyai


kecenderungan untuk berpikir dan mempelajari sesuatu secara sistematis.
2. Sifat Alkitab sendiri yang menuntut untuk disusun secara sistematis.
Kebenaran tersebar secara acak di seluruh bagian Alkitab, sehingga perlu
disusun secara sistematis.
3. Bahaya pengajaran sesat. Untuk memberikan jawaban akan iman
kepercayaannya dan sekaligus melawan setiap tantangan dari pengajaran
palsu. 1 Pet. 3:15, Ef. 4:14
4. Alkitab adalah sumber doktrin Kristen. Tugas orang Kristen adalah untuk
menjelaskan doktrin-doktrin itu dalam sistematika yang baik dan di dalam
konteks yang tepat sehingga dapat menjawab pertanyaan, "Apa yang
diajarkan oleh Alkitab kepada kita untuk jaman ini?"
5. Alkitab adalah pedoman hidup Kristen. Mengerti Teologia bukan hanya
sekedar sebagai pengetahuan teoritis, tapi juga sebagai gaya hidup yang
berintegritas. 2 Tim. 2:24-25; 2 Tim. 3:15-16
6. Keutuhan keseluruhan kebenaran Firman Tuhan yang bersistem sangat
dibutuhkan oleh pekerja Kristen yang efektif.

D. SUMBER TEOLOGIA

1. Alkitab Sebagai sumber yang paling utama yang menjadi otoritas


tertinggi dan mutlak bagi iman dan kehidupan Kristen.
2. Tradisi gereja Khususnya dari Bapak-bapak Gereja, dan perkembangan
pengajaran di gereja dari jaman ke jaman, yaitu tentang apa yang
diterima/ditolak oleh gereja sepanjang sejarah.
3. Buku-buku Lain Sumber-sumber lain berasal dari buku-buku yang sudah
"jadi" yang dihasilkan oleh teologia biblika, historika atau filosofika untuk
dipergunakan sebagai sarana membantu menyelidiki Alkitab dengan
lebih sehat.

E. METODE TEOLOGIA

1. Syarat-syarat
a. Presupposisi (praduga awal) Setiap orang mengawali pemikiran
dengan anggapan (asumsi)
b. Mempunyai perlengkapan rohani dan sikap yang taat. Seorang yang
mempelajari Alkitab tidak mungkin bersikap objektif, karena ia harus
percaya terlebih dahulu bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang
tidak mungkin salah (iman mendahului rasio). "Karena percaya,
orang mengerti" (Augustinus). Rasio adalah alat yang dipakai untuk
mengerti pengetahuan.
c. Membutuhkan penerangan Roh (iluminasi)
1. harus percaya
2. harus berpikir
3. harus mempunyai ketergantungan
4. sikap ibadah (penyembahan)

2. Keterbatasan teologia
a. Keterbatasan pemikiran manusia untuk memikirkan pikiran Allah
yang tidak terbatas.
b. Kekurangan ilmu pengetahuan pembantu.
c. Keterbatasan bahasa manusia.
d. Kekurangan ketrampilan untuk menguasai dan mengartikan secara
tepat Alkitab secara utuh dan menyeluruh. (hermeneutik).
e. Bungkamnya penyataan lanjutan.
f. Pengaruh dosa dan kehendak daging.
3. Metode-metode Teologia
a. Metode Charles Hodge Memakai metode induktif, yaitu dengan
mengumpulkan fakta-fakta, kemudian ditarik kesimpulan. Alkitab
adalah gudang fakta (yang tidak dapat dicerna disingkirkan, karena,
tidak diterima oleh rasio).
Dasar teori a priori diterima dan a posteriori ditolak.
b. Metode Karl Barth Teori Barth mengatakan: bahwa manusia tidak
mungkin mengenal Allah (karena di luar jangkauan rasio manusia).
Oleh karena itu Allah yang mencari manusia. Imanlah yang
membantu manusia untuk bisa bertemu Allah (yang mencari
mereka). Karena Allah ada di luar jangkauan manusia maka Allah
menjadi "tersembunyi". Satu-satunya cara manusia untuk menerima
kebenaran adalah melalui cara supranatural dan Allah harus
menemui manusia langsung sehingga manusia mempunyai bukti
pengalaman tentang Dia. Maka pernyataan teologis harus
didasarkan pada pengalaman supranatural itu.
c. Metode Torrance Ilmu adalah suatu keterbukaan terhadap obyek.
Ilmu terjadi, karena manusia menaklukkan diri pada obyek
penelitiannya yang intrinsik, yang untuk nantinya manusia mampu
memberikan penjelasan rasionalitasnya terhadap obyek itu. Teologi
juga demikian meskipun teologi mempunyai jenis rasionalitas sendiri,
tidak perlu sama dengan rasionalitas disiplin ilmu yang lain.
Teologi yang obyektif adalah sejauh mana teologi tunduk dan
terbuka pada obyek penelitiannya. Torrance menyangkal bahwa
Obyeknya adalah Allah, karena Allah harus menjadi subyek, maka
kalau begitu obyek lah (Allah) yang akan mempertanyakan tentang
manusia.
d. Metode Paul Tillich Metode yang dipakai adalah Metode Korelasi.
Keprihatinannya yang utama adalah bagaimana menyampaikan
berita Alkitab kepada situasi dunia kontemporer sekarang ini. Untuk
menjawab ini maka pertanyaan-pertanyaan manusia modern itu
dihubungkan sedemikian rupa dengan jawaban dari tradisi kristen,
sedangkan jawaban-jawabannya ditentukan oleh bahasa filsafat,
sains, psikokologi dan seni modern. Ia yakin tentu ada kaitan antara
pikiran dan problema manusia dengan jawaban yang diberikan oleh
kepercayaan dalam agama. Untuk itu ia menolak jawaban yang
supranaturalisme dari fundamentalisme, dan juga menolak
naturalisme dari liberalisme.
Penekanan metode Tillich adalah pada penggunaan bahasa simbolik
religius. Ia yakin bahwa pengetahuan tentang Allah hanya dapat
diuraikan melalui penggunaan kata-kata simbolik secara semantik.
Tugas kita adalah menterjemahkan simbol religius dalam Alkitab ke
dalam suatu urutan atau susunan simbol yang teratur melalui prinsip-
prinsip dan metode-metode teologis.
e. Metode Interpretasi Analitis Teologi adalah ilmu tentang Allah;
yang memberikan paparan yang koheren (menyatu, berkaitan,
teratur, logis) tentang doktrin-doktrin iman Kristen. Landasan utama
yang dipakai dalam metode ini adalah percaya bahwa seluruh Alkitab
adalah sebagai Firman Allah, kemudian sebagai respons mau tidak
mau kita harus menginterpretasikan (menafsirkan) berita Alkitab ini
lalu menterjemahkannya ke dalam bahasa kontemporer yang akan
relevan dengan manusia di setiap jaman, budaya dan konteks.
Dengan demikian unsur terpenting dalam metode ini adalah
penafsiran (karena segala sesuatunya harus ditafsirkan). Penafsiran
yang tepat akan menghasilkan produk teologi yang tepat. Untuk itu
seorang penafsir harus melakukan hal-hal berikut ini:
1. Penafsir harus setia pada kebenaran Alkitab sebagai sumber
normatif dan tidak mungkin keliru bagi semua manusia (Biblikal).
2. Penafsir harus memakai sistem penafsiran yang sehat (ilmu
Hermeneutiks) yaitu: melihat dari sudut pandang dan maksud
orisinil penulis (dilihat dari latar belakang historis, budaya,
ekonomi dan gramatikal/bahasanya), lalu hasil penafsirannya itu
(dari Kejadian - Wahyu) diteliti, dianalisa dan dipadukan.
Kemudian ditarik kesimpulan dan prinsip-prinsip, apa yang
sebenarnya Alkitab ingin ajarkan secara keseluruhan bagi
kehidupan normatif sepanjang jaman.
3. Untuk tugas di atas penafsir juga harus melihat dirinya sendiri
(latar belakang, dll.) sehingga ia betul-betul terbuka kepada
Alkitab dan tidak berbias, mengurangi, atau memanipulasinya.
Selain itu, sifat penafsiran ini juga harus sesuai dengan sifat
kekinian sehingga dapat diaplikasikan untuk menjawab
kebutuhan manusia kontemporer.
4. Keseluruhan hasil penafsiran ini perlu disusun sedemikian rupa
untuk memenuhi standard ilmu (analistis, dengan metode yang
tepat dan teratur, sistematik dan diungkapkan dengan bahasa
yang jelas). Teologia yang dihasilkan dari penyusunan ini dijamin
sifat biblikal, sistematik, kontekstual dan praktikalnya.

Dasar pemahaman adalah dari 2 Tim. 3:16-17; kita tidak mendayagunakan


teologi untuk memperbaiki ketidak-jelasan yang ada dalam Alkitab tapi untuk
menerangi ketidak-jelasan pikiran manusia dalam menanggapi isi Alkitab.

Anda mungkin juga menyukai