Anda di halaman 1dari 2

Koinonia

merumuskan Kembali arti PersekutuanTantangan teologis lain yang


bergulir dalam diskusi terbatas yang berlangsung hampir dua jam tersebut
adalah pemaknaan koinonia. “Salah satu yang penting adalah
merumuskan kembali apa arti koinonia,” kata Jeirry Sumampow, Kepala
Humas PGI. “Dalam Alkitab, persekutuan dalam gereja itu memang berarti
pertemuan orang-orang secara fisik. Dalam sebuah diskusi pernah
diungkapkan adanya kekhawatiran anak-anak malas ke gereja karena asik
dengan gawai, lalu ada tawaran untuk memasukkan semacam pembinaan
rohani ke dalam gawai, dan orangtua bisa mengarahkannya sebagai
alternatif. Dulu gereja resisten dengan Alkitab elektronik, tetapi kini hampir
semua pemilik gawai memiliki Alkitab, juga Kidung Jemaat atau NKB digital
dalam gawainya,” jelasnya.Ir. Suyapto Tandyawasesa, Bendahara Umum
Gereja Bethel Indonesia (GBI) mengatakan, “Teknologi digital tak dapat
menggantikan seluruh hubungan langsung fisik persekutuan dan sakramen
kudus seperti pernikahan, baptisan, apalagi ibadah. Hubungan kita dengan
Tuhan tidak bisa di-digitalize. Namun pewartaan bisa memanfaatkan
tekonologi yang ada.” Menurut Aiko Widhidama Sumichan, mahasiswa
studi lanjut di STT Jakarta, persekutuan virtual dalam gereja pernah
diwacanakan bahkan ada beberapa kelompok yang melaksanakannya. Ini
terjadi sekitar tahun 90-an. Yang terjadi sekarang, banyak gereja yang
kembali ke dalam bentuk persekutuan sebagaimana awalnya, yakni
persekutuan secara fisik. Contohnya, ketika siaran tele-visi banyak diisi
khotbah muncul kekhawatiran jemaat tidak akan datang bersekutu
beribadah bersama. Orang menyebut-nyebut gereja elektronik. Tetapi
kekhawatiran tersebut tidak terjadi. “Intinya adalah, bagaimana di era
digital ini kita mulai mengarahkan komunikasi Kristen atau gereja-gereja
menerjemahkan pesan-pesan Kristen ke dalam bahasa digital. Sulitnya kita
masih stagnan, karena para pekerja gereja sebenarnya tidak terlibat di
dunia digital, dan masih banyak pendeta yang gaptek,” katanya.Hal senada
juga disampaikan Abdiel Fortunatus Tanias, Kepala Biro Pemuda dan
Remaja PGI. Dalam era digital, menurutnya, penting bagaimana pesan-
pesan kekristenan disampaikan dengan menggunakan berbagai media
sosial. “Alkitab Suara, salah satu produk teknologi digital dibuat karena
melihat adanya peluang di mana tulisan yang biasa kita baca dalam Alkitab
dibahasakan melalui audio yang mempermudah orang-orang untuk dapat
mendengarkan firman Tuhan di mana saja dan kapan saja.” Harsiatmo
Duta Pranowo, Sekjen LAI mengatakan bahwa Alkitab Suara juga
diproduksi untuk para tunanetra selain generasi Y. Tidak mesti menjadi
Perubahan BesarPaparan Melati Tobing, M.Si, Dosen Program Studi Ilmu
Komunikasi Universitas Kristen Indonesia (UKI), menjadi penutup yang
menguatkan gereja-gereja dalam menghadapi gelombang arus era digital.
Menurut perempuan yang tengah menempuh studi Doktoral di Universitas
Indonesia (UI) ini, era digital menjadi fenomenal, tetapi sesungguhnya tidak
mesti menjadi suatu perubahan besar yang sulit diterima gereja. Gereja
perlu melihat bagaimana perubahan tersebut memberikan manfaat dalam
meningkatkan pelayanan dan kerohanian jemaat melalui kegiatan diakonia,
koinonia dan marturia. Saat ini teknologi digital telah mengubah sistem
analog yang telah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan
pelayanan gereja selama bertahun-tahun. Sejumlah gereja di ibukota serta
kota-kota besar di Indonesia sudah mulai menggunakan teknologi digital ini
sebagai supportsystem dalam pelayanan regular maupun non regular
mereka. Namun di sisi lain, era digitalisasi berdampak negatif. Situs web,
blog, hingga media sosial adalah media berbasis internet yang mudah
untuk dibuat dan dikelola gereja, mudah diakses oleh warga gereja,
terutama generasi Y, dan mudah pula diakses oleh “jiwa-jiwa baru” atau
dimanipulasi untuk hoax misalnya. Diibaratkan pedang bermata dua. ∎
(Markus Saragih)sajianutama

Anda mungkin juga menyukai