Anda di halaman 1dari 33

Kajian Teologi Kontekstual Perubahan Bentuk Persembahan Kerja Rani

di GBKP Runggun Yogyakarta

Oleh,

Fransiska Stepani Hutajulu

712015077

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi IlmuTeologi, Fakultas: Teologi guna


memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
dalam bidang Teologi (S.Si.Teol)

Program Studi Ilmu Teologi

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2019
PENDAHULUAN
GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) merupakan gereja kesukuan Karo
dengan aliran Calvinis1 yang didirikan oleh misionaris dari Nederlansche
Zendling Genootschap (NZG) Belanda. Pos Pelayanan Injil GBKP yang pertama
berdiri di Desa Buluhawar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang,
Provinsi Sumatera Utara dan disahkan pada tanggal 18 April 1980. 2 Tujuan
berdirinya GBKP di Tanah Karo adalah untuk menjangkau keberagaman
masyarakat Karo dari segi budaya, suku, ras, golongan dan wilayahnya.3 Sebelum
menerima Injil dan mengenal agama Kristen, masyarakat Karo kuno menganut
”animisme” dalam bahasa Karo lebih dikenal dengan Pemena (kepercayaan mula-
mula yang mempercayai Tendi (jiwa), Kula (tubuh) dan Begu (roh orang atau
kerabat yang sudah meninggal).4

Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas lebih jauh tentang salah satu
perayaan tahunan GBKP yaitu perayaan Kerja Rani. Menurut Tata Gereja GBKP
BAB XLII Penataan Harta Milik GBKP, Pasal 178 tentang Sumber Harta
Milik, butir yang ke 4, menyatakan bahwa Kerja Rani (pesta panen) merupakan
kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh masing-masing Runggun Gereja (GBKP
secara keseluruhan) dan hasil dari pelaksanaan Kerja Rani merupakan salah satu
sumber keuangan yang ditujukan untuk menunjang kebutuhan keuangan dalam
pelayanan Sinode dan masing-masing runggun.5 Kerja Rani merupakan sebutan
pesta panen masyarakat Karo dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
Kerja = Pesta; Rani = Panen. Perayaan Kerja Rani merupakan perayaan yang
bertujuan untuk mengumpulkan hasil panen terbaik dari jemaat (profesi petani)
sebagai persembahan kepada Allah. Kerja Rani merupakan kegiatan yang
dilaksanakan setiap pertengahan tahun yang sudah dilaksanakan oleh GBKP sejak

1
Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP 2015-2025 (Kabanjahe: Abdi Karya, 2015, 3.
2
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 1.
3
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 14.
4
Tania Murray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia (DKI Jakarta:
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia pada Yayasan Obor Indonesia, 2002), 366.
5
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 154.

1
tahun 1925.6 Perayaan Kerja Rani dilaksanakan setiap pertengahan tahun karena
bertepatan dengan masa panen pada umumnya. Konteks jemaat GBKP yang
awalnya berdomisili di daerah Karo adalah mayoritas petani dan jemaat pada
masa itu memberikan persembahan dalam bentuk hasil panen. Melalui perayaan
Kerja Rani jemaat berharap agar Allah memberkati pekerjaan mereka dan
menghasilkan panen yang baik dan berlimpah untuk tahun-tahun berikutnya.7

Kerja Rani biasanya dilaksanakan di balai desa dan Gereja, karena


menyesuaikan kebutuhan dan kondisi jemaat masing-masing. Kerja Rani yang
telah terkumpul diolah dengan cara yang berbeda-beda oleh masing-masing
gereja. Misalnya hasil kebun dilelang dan hasil lelangnya menjadi kas gereja.8
Perayaan Kerja Rani dilaksanakan dan disesuaikan dengan konteks dan keadaan
jemaat masing-masing, hal tersebut terjadi karena tidak ada ketentuan dan
peraturan yang mengatur pelaksanaan Kerja Rani dalam Tata Gereja GBKP
(secara tertulis). Perayaan Kerja Rani GBKP sama halnya dengan perayaan Hari
Raya Pondok Daun bangsa Yahudi, karena mereka wajib memberikan hasil panen
yang terbaik sebagai persembahan kepada Allah dengan harapan agar Allah
memberkati pekerjaan melalui tanaman mereka. Bukan hanya sebagai tradisi,
namun memberikan persembahan hasil panen merupakan wujud iman bangsa
Yahudi karena Allah telah memberikan keselamatan dan kesempatan untuk
bekerja dan melangsungkan hidup.9

Dalam konteks GBKP, gereja-gereja yang tersebar di berbagai kota dan


daerah memiliki keterikatan untuk pemberdayaan jemaat dalam arti yang luas.
Namun dalam pelaksanaan perayaan gerejawi pasti membutuhkan finansial yang
cukup untuk melaksanakan program. Sumber keuangan GBKP berasal dari
persembahan ibadah (minggu, kategorial dan sakramen), persembahan
persepuluhan, persembahan ucapan syukur, kontribusi kategorial (pembelian buku

6
Pdt. Diarna br Sinulingga (Pendeta GBKP Runggun Kuta Parik). Wawancara. Minggu, 31
Maret 2019.
7
PERMATA GBKP Pusat, Bimbingan PA Permata GBKP tahun 2015 (Kabanjahe: Abdi
Karya, 2015), 62.
8
Pt. Sangkep br Ginting (Penatua dan Mantan Bendahara Umum GBKP Runggun
Namopinang). Wawancara. Jumat, 15 Februari 2019.
9
Pt. Erwin Sermon Surbakti (Penatua dan Sekretaris Umum GBKP Runggun
Yogyakarta). Wawancara. Minggu, 17 Februari 2019.

2
panduan PA dan uang), Diakonia, Pesta Panen (Kerja Rani), penggalangan dana
dan lainnya.10

Kerja Rani yang dilaksanakan di GBKP Runggun Yogyakarta merupakan


Perayaan Pesta Panen yang kontekstual karena perayaan tersebut mengalami
perubahan bentuk dalam persembahannya, karena mayoritas jemaat GBKP
Yogyakarta bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), wiraswasta, tenaga
pengajar (dosen dan guru), karyawan, pengusaha dan tidak ada jemaat yang
bekerja sebagai Petani. Dalam pelaksanaan Kerja Rani, jemaat GBKP Yogyakarta
memberikan “gaji” mereka sebagai persembahan Kerja Rani, karena gaji adalah
hasil panen yang diperoleh melalui pekerjaan mereka.11

Perubahan bentuk persembahan Kerja Rani terjadi karena jemaat yang


berdomisili di kota tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam, membuat mereka
harus memberikan persembahan yang disesuaikan dengan hasil yang diperoleh
dari pekerjaan jemaat. Perayaan Kerja Rani jemaat kota tidak dapat dilaksanakan
sepenuhnya sesuai dengan konteks di daerah Karo, karena faktor jemaat yang
tinggal di kota dan pengaruh lingkungan. Dalam pelaksanaannya, Kerja Rani di
GBKP Runggun Yogyakarta tetap menggunakan hasil panen (dibeli) sebagai
simbolis untuk mempertahankan unsur budayanya agar kebersamaan dan
kekeluargaan tetap dirasakan dalam pelaksanaan Kerja Rani itu sendiri.12

Perubahan bentuk persembahan Kerja Rani menjadi acuan penulis untuk


mengetahui lebih dalam tentang pelaksanaan dan makna perayaan Kerja Rani
GBKP Runggun Yogyakarta, sehingga untuk mengkaji lebih dalam tentang
perubahan bentuk persembahan tersebut penulis menggunakan teori Teologi
Kontekstual oleh Stephen B Bevans dan menggunakan model-model teologi
kontekstual, diantaranya: Model Terjemahan, Model Antropologis, Model
Trasendental, Model Praktis, Model Sintesis, Model Budaya Tandingan. 13 Tulisan

10
Garis Besar Pelayanan GBKP 2016-2020 (Kabanjahe: Abdi Karya, 2015), 22-23.
11
Pdt Kristaloni br Sinulingga (Pendeta Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta).
Wawancara. Selasa, 19 Februari 2019.
12
Jekonia Tarigan (Mahasiswa Pasca Sarjana UGM dan Tim Pelaksana Kerja Rani
GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara. Rabu, 20 Februari 2019.
13
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 64.

3
ini akan menggunakan model akan disesuaikan hasil analisa teori dan hasil
penelitian.

Berdasarkan latar belakang, tulisan tersebut memiliki rumusan masalah


untuk penelitian, diantaranya; “bagaimana pelaksanaan Kerja Rani yang
kontekstual di jemaat GBKP Runggun Yogyakartan dan apakah perubahan bentuk
persembahan Kerja Rani mempengaruhi makna dari tradisinya?”

Tulisan tersebut juga memiliki tujuan, diantaranya; tujuan umum untuk


mengetahui bagaimana pelaksanaan (tata cara) yang kontekstual oleh GBKP
Runggun Yogyakarta dalam melaksanakan Kerja Rani. Tujuan khususnya adalah
untuk mengetahui faktor dan pengaruh perubahan bentuk persembahan Kerja Rani
di GBKP Runggun Yogyakarta.

Adapun manfaat dari penelitian ini, sebagai berikut:14 pertama manfaat


secara teoritis, hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai kajian dalam
melaksanakan Kerja Rani yang mengalami perubahan dengan menyesuaikan
konteks yang ada. Kedua manfaat secara praktis, bagi Jemaat GBKP Runggun
Yogyakarta, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
memahami dan menerapkan perayaan Kerja Rani yang kontekstual dengan tetap
mempertahankan unsur kebudayaan dan tradisi walaupun berdomisili di luar
daerah Karo. Bagi Sinode GBKP, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
tinjauan kritis untuk mensosialisasikan tata cara pelaksanaan Kerja Rani dengan
jelas dan tegas (secara tertulis) dalam Tata Gereja, agar tidak terjadi kekeliruan
dalam pemahaman serta pelaksanaannya. Bagi peneliti, melalui hasil penelitian ini
penulis memperoleh pengetahuan dari berbagai sudut pandang melalui analisa
perubahan bentuk persembahan Kerja Rani yang kontekstual.

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif dengan
memperhatikan kesesuaian antara teknik yang digunakan dengan alur pemikiran
umum serta gagasan teoritis. Tujuan penelitian kualitatif adalah mencari
pengertian yang mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realitas peristiwa yang

14
Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2009),
11.

4
dipahami melalui informasi yang diulas secara mendalam.15 Tulisan ini
merupakan deskriptif variabel yang diperoleh melalui wawancara dengan jemaat
GBKP Runggun Yogyakarta. Adapun narasumber yang menjadi sumber infomasi
diantaranya, Pendeta, Majelis, Jemaat dan Tim Pelaksana Kerja Rani. Sumber
data lainnya diperoleh dari hasil evaluasi kegiatan gerejawi berdasarkan dokumen
kesekretariatan. Objek penelitian dari tulisan ini adalah GBKP yang berada di
Kota Yogyakarta. Penulis melaksanakan penelitian lapangan secara langsung agar
memperoleh informasi yang akurat.

Dalam penulisan tugas akhir tersebut, penulis membagi tulisan menjadi


beberapa bagian, sebagai berikut: Bagian pertama, berisi tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan. Bagian kedua, penulis akan memaparkan definisi teologi
kontekstual, dasar teologi kontekstual, teologi kontekstual menurut Stephen B
Bevans dan model-model teologi kontekstual. Bagian ketiga, penulis akan
memaparkan hasil dari penelitian berdasarkan data yang diperoleh melalui
wawancara. Bagian keempat, penulis akan menganalisa dan melihat keselarasan
antara teori dan hasil penelitian. Bagian kelima, merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan saran.

LANDASAN TEORI

Definisi Teologi Kontekstual


Secara etimologi, teologi kontekstual adalah refleksi dari individu dalam
konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus, maksudnya ialah tentang bagaimana
Injil yang sudah ada dan utuh itu dibubuhi sampul yang baru yang bertujuan untuk
memberikan keseimbangan melalui refleksi teologis dari penerima Injil (individu)
tersebut. Setiap individu yang merefleksikan proses teologi kontekstual akan
memperoleh pemahaman, penerimaan, pendirian dan keseimbangan terhadap
kejadian atau peristiwa dari kenyataan yang dikondisikan berdasarkan kebudayaan

15
J. R, Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya
(Jakarta: Grasindo, 2010), 1-2.

5
dan sejarah manusia dengan situasi yang dialami saat ini. 16 Teologi kontekstual
merupakan dasar dari semua teologi yang ada, diantaranya; teologi feminis,
teologi hitam, teologi pembebasan dan teologi Filipina. Untuk memahami teologi
kontekstual dibutuhkan upaya yang bersumber dari sudut pandang refleksi
objektif, yang berdasarkan; iman, kitab, kebiasaan atau tradisi dan pengalaman
masa kini.17

Dalam penerapannya Teologi Kontekstual mengalami proses


kontekstualisasi. Proses tersebut tampak dengan timbulnya keyakinan individu
terhadap sesuatu yang diperoleh melalui proses berpikir, sehingga memperoleh
pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menalar dan analisa.18 Pengalaman
kontekstualisasi merupakan sumber dalam berteologi, perbedaan cara berpikir
dalam memahami fenomena yang ada menjadikan teologi kontekstual hadir
sebagai penutup atau pelindung yang bersifat subjektif juga bersifat relatif. Akan
tetapi pada kenyatannya setiap individu pasti akan tetap terikat dengan tradisi
karena secara historis hal tersebut merupakan asal-usul dan sumber sejarah.19

TABEL I. TEOLOGI KONTEKSTUAL20

Pengalaman masa lampau Pengalaman masa sekarang

yang terekam dalam Kitab Suci; - Pengalaman personal/komunal


disimpan, dibelah dalam tradisi - Kebudayaan
- lokasi sosial
- perubahan sosial

Sumber: Buku Stephen B Bevans, Model-model Teologi Kontekstual

Tabel berikut menjelaskan bahwa pengalaman masa lampau dan masa kini
memiliki dua potensi, yang pertama saling bertabrakan karena pengalaman masa
lampau dan masa kini tidak dapat dipaksakan untuk menjadi sama; yang kedua,

16
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan Penerbit
Gandum Mas, 1996), 2.
17
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 1.
18
Tomatala, Teologi Kontekstual , 73.
19
Bevans, Model-model, 2-3.
20
Bevans, Model-model, 9.

6
pengalaman masa lampau merupakan pembentukan sedangkan pengalaman masa
kini lebih berperan untuk memberikan nyawa atau wadah realitas agar sesuai
dengan konteks masa kini. Namun, interaksi diantara keduanya tetap tidak dapat
dipisahkan karena adanya dialog kritis timbal balik yang membuat pengalaman
masa lalu dan masa kini harus berdampingan agar seimbang.21

TABEL II. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


TEOLOGI KONTEKSTUAL:22

Faktor internal Faktor eksternal


(merujuki berdasarkan teks/tradisi) (kenyataan diluar teks/tradisi)

- aspek inkarnasi - ketidakpuasan terhadap


- aspek sakramen realitas ketidakselarasan konteks
- aspek katolisasi - menyadari ciri opresif
- mengakui keberadaan konteks

Sumber: Buku Stephen B Bevans, Model-model Teologi Kontekstual

Manfaat Teologi Kontekstual adalah sebagai berikut;

1. Orang percaya ditolong untuk memahami konteks atau persoalan hidup


sebaik- baiknya, karena teologi kontekstual biasanya menukik dengan
tajam kedalam isu-isu yang konkret.
2. Orang percaya dibimbing untuk tidak menolak atau menerima dengan
begitu saja warisan gereja yang sudah turun-temurun, termasuk
temuan-temuan sesama orang percaya dari komunitas yang sama
maupun yang lain.
3. Memperlengkapi pada praktisnya untuk bersikap kritis terhadap
kebudayaan sendiri dengan semua perangkatnya, termasuk budaya dan
gaya hidup modern.

21
Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global: Sebuah Pengantar, (Maumere:
Flores NTT, 2010), 229-230.
22
Bevans, Model-model, 13-25.

7
4. Mendorong manusia untuk menjalani kehidupan percaya bukan dengan
melihat ke dalam Alkitab, melainkan melihat melalui Alkitab otoritas
Alkitab sebagai Firman Allah tidak disangkal atau ditolak.

Dasar Teologi Kontekstual


Dasar dari Teologi Kontekstual merupakan inkulturasi yang berhubungan
dengan pemberdayaan budaya setempat yang relatif tradisional sebagai sarana
untuk berkomunikasi tentang kabar sukacita.23 Allah menyatakan diri-Nya dan
berinkarnasi melalui wahyu dalam Alkitab sebagai sang pencipta, sehingga Allah
menjadikan kehendak-Nya yang abadi dan menciptakan manusia. Penekanan
utamanya adalah Allah merupakan penggerak utama atas kontekstualisasi, dimulai
ketika Allah menyatakan diri-Nya dan semuanya yang ada berasal dari-Nya.24
Pernyataan Allah akan diri-Nya, membangun relasi/hubungan-Nya dengan
manusia (objek penerima injil) melalui wahyu.

Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu


masyarakat yang berkembang oleh kreativitas manusia dan refleksi teologis
dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan
25
pemahaman/penerimaan yang terbungkus dalam kebudayaan. Manusia
diciptakan untuk berkreativitas dalam berbudaya dan menjadikan Wahyu Allah
sebagai dasarnya. Terdapat dua hal yang dapat dipahami dalam pernyataan
tersebut yaitu; hubungan Allah sebagai pencipta dan bertanggungjawab atas
penyataan diri-Nya dan manusia yang menerima pernyataan-diri Allah melalui
filter kebudayaan.26

Dalam pemahamannya, teologi kontekstual memiliki dua sisi, yang


pertama; setiap individu berhadapan dengan konteks, budaya dan agama
tradisional; di sisi lainnya setiap individu bergumul dengan konteks modernisasi
yang menyebabkan perubahan terhadap nilai dan kebiasaan setiap individu.
Terdapat beberapa konteks yang mempengaruhi teologi konteksual, diantaranya

23
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia,
2000), 17.
24
Tomatala, Teologi Kontekstual, 12.
25
Tomatala, Teologi Kontekstual, 18.
26
Tomatala, Teologi Kontekstual, 13.

8
konteks Alkitab, konteks tradisi sistematis dan konteks kita masa kini.27 Proses
kontekstualisasi terjadi ketika seseorang mampu untuk memposisikan diri
ditengah lingkungannya, namun tidak harus berubah total agar menjadi sama dan
diterima oleh lingkungannya.

Dalam ilmu psikologi, kita tahu bahwa orang yang menolak masa lalu
sebetulnya menolak dirinya sendiri dan hal tersebut membuat orang tersebut sulit
untuk menghadapi masa depan. Perlunya peneriman diri sendiri dan kemampuan
menyesuaikan diri dengan konteks merupakan proses kontekstualisasi, maksudnya
ialah kita tidak harus menolak masa lalu, namun menjadikan masa lalu sebagai
warisan/tradisi.28 Adapun unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi
ialah pernyataan-diri Allah, transformasi dan penghayatan perjanjian berkat Allah
yang direfleksikan dari perspektif sudut pandang budaya.29

Teori Teologi Kontekstual menurut Stephen B Bevans


Bevans merujuk dari analisis kritis teolog-teolog sebelumnya dalam
mengemukakan pembedaan terhadap pemutlakan dua sumber yaitu Alkitab dan
Kitab Suci. Teologi Kontekstual merupakan upaya untuk memperbaharui
pemahaman masa lampau untuk disesuaikan dengan konteks masa kini,
berdasarkan indikator bukan untuk mengubah namun memberikan warna yang
baru berdasarkan realitas.

Teologi Kontekstual sebagai sebuah proses upaya dalam beriman secara


budaya, bukan semata-mata membahasakan kebenaran-kebenaran dan keyakinan
kodrat dalam paham-paham yang dikenal manusia melalui budaya. Teologi
kontekstual bertujuan untuk menemukan makna yang baru atau memperluas
makna yang sudah ada dengan tantangan konteks yang baru secara terus-
menerus.30 Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab orang Kristen
yang beriman, kerena hal tersebut merupakan tantangan yang akan menghadapkan
seseorang untuk mampu berteologi dalam konteks yang bersifat subjektif.

27
Tomatala, Teologi Kontekstual,18-19.
28
Singgih, Berteologi dalam Konteks, 24-25.
29
Tomatala, Teologi Kontekstual, 18.
30
Bevans, Model-model, 42-44.

9
Robert Schreiter menyebutkan lima kriteria untuk menentukan kesejatian
teologi lokal, pertama; teologi harus konsisten secara internal. Kedua; teologi
kontekstual pasti nyata secara aktual, misalnya cara kita berdoa mengacu pada
cara kita beriman dan sebaliknya. Ketiga; teologi yang melakukan pelayanan
dengan pengecualian (laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk
melayani). Keempat; teologi lokal harus terbuka terhadap kritik dari gereja-gereja
lain, kelima; kriteria kekuatan dari sebuah teologi adalah melawan teologi-teologi
lain apabila mampu memberikan sumbangsih positif dengan tujuan untuk menjadi
lebih baik.31

Teologi kontekstual harus melakukan pendekatan dengan cara membedah,


memahami, memetakan kenyataan yang plural berdasarkan sudut pandang
tertentu. Misalnya harus memahami terlebih dahulu tentang keseluruhan unsur
realitas injil, yaitu; Yesus, gereja, Alkitab dan orang-orangnya. Agar dapat
dipahami, maka teologi kontestual juga harus memahami bahwa kebudayaan tidak
pernah statis, sehingga teologi kontestual harus menata, menghadapi realitas
kebudayaan dan dinamis agar dapat diterima dan diterapkan dalam kehidupan
setiap orang yang memahaminya.32

Model-model Teologi Kontekstual


Hakikat masing-masing model kontekstual yang pertama, tidak pernah
mencukupi atau tidak dapat menyikapi secara utuh/tuntas; yang kedua,
sebjektifitas yang melibatkan sudut pandang dan keyakinan personal; yang ketiga,
tidak menggunakan secara tunggal absolud atau memutlakkan satu pendekatan
sebagai yang paling benar; yang keempat adanya interaktif yang bersinergi. Peran
dari model-model kontekstual adalah untuk membedah dan memahami bagian-
bagian realitas saja bukan secara keseluruhan.

Dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan model-model teologi


kontekstual dapat menggunakan satu model, namun tidak menutup kemungkinan

31
Petrus PitDuka. Dilema Teologi Kristiani Indonesia yang Kontekstual. 14 Mei 2019.
Diakses pada 16 Agustus 2019.
https://www.kompasiana.com/pitduka/5cda9e8d95760e2b56451845/dilema-teologi-kristiani-
indonesia-yang-kontekstual?page=all
32
Bevans, Model-model, 45.

10
untuk menggunakan lebih dari satu model. Karena untuk memahami masalah
yang ada, peran model-model kontekstual berbeda-beda dan dibutuhkan analisa
dari beberapa sudut pandang, agar ditemukan kesesuaian penggunaan.33

Berikut model-model yang terdapat dalam teori kontekstual menurut


Bevans, diantaranya:34

1. Model Terjemahan

Model terjemahan merupakan sebuah proses menafsir namun tidak secara


harafiah untuk mengartikan atau menterjemahkan kata per kata dari sebuah
kalimat, melainkan model terjemahan merupakan jembatan untuk menemukan
makna secara relevan sesuai konteks dengan arti yang konkret. Prinsipnya seperti
injil yang kekal tidak berubah, sedangkan konteks akan menjadi wadah injil yang
akan memberi penampilan yang berbeda. Misalnya seperti khotbah, dikemas dan
disampaikan dengan sampul yang berbeda-beda, namun tetap bertujuan untuk
mentransfer rasa yang sama, yaitu makna injil. Model terjemahan merupakan
model yang menghargai teks, penghargaan terhadap konteks lebih menonjol
bukan hanya sekedar menjadi sarana yang akan berharga, apabila ada inti atau isi
didalamnya.35 Kelemahan dari model tersebut adalah model tersebut tidak
memiliki nilai sama sekali, tetapi akan sangat berharga dan berfungsi apabila ada
inti atau isi di dalamnya. Model terjemahan bersifat dinamis, sehingga apabila
tidak memahami model ini maka akan timbul pemikiran yang berat sebelah, yang
beranggapan bahwa budaya lebih penting dari pada konteks atau sebaliknya.

Kebudayaan sering kali menjadi sorotan dalam model ini, namun


pertimbangannya budaya tidak dapat sepenuhnya menjadi sentral agar diterima
seutuhnya dengan begitu saja, namun tetap harus diimbangi dengan sikap kritis,
agar tidak timbul ketidaksetaraan dalam menilai dan memahami model tersebut.
Penghargaan terhadap model terjemahan sangat bergantung pada kedua sisi, baik
inti atau tradisi dari konteks itu sendiri dengan konteks masa kini keduanya sama-
sama penting dan bernilai, seperti bagan berikut;

33
Bevans, Model-model, 51-56.
34
Bevans, Model-model, 59.
35
Bevans, Model-model, 75.

11
Injil Konteks

Dinamis
Tradisi Perubahan Sosial

Gambar 1. Model Terjemahan36

2. Model Antropologis

Model Antropologis merupakan model yang tidak kaku, memiliki warna


yang berbeda namun kadang terlalu bebas tanpa batasan dalam konteks yang baru
dan berpusat pada nilai dan kebaikan pribadi secara individual. Prinsip keabsahan
konteksnya diakui sejak awal sebagai sesuatu yang unik dan berharga. Manusia
sebagai sarana pewahyuan Ilahi sadar bahwa manusia sendiri memiliki peran
masing-masing, sehingga konteks adalah sesuatu yang kudus, karena ada nilai
keabsahan dalam setiap konteks, sehingga konteks akan menentukan isi dari teks
(setiap konteks unik). Model antropologis memiliki prinsip untuk
mempertahankan esensi budaya dan tetap melibatkan konteks di dalamnya.
Seperti bagan di bawah menjelaskan bahwa konteks dengan tradisi bersifat
fleksibel.37

Konteks Injil

Stabil/fleksibel
Perubahan Sosial Tradisi

Gambar 2. Model Antropologis

3. Model Praksis

Model Praksis merupakan perpaduan antara praktik (aksi) dan refleksi atas
aksi dalam sebuah spiral yang berkelanjutan dan model ini menjadi titik pusat jati
diri Kristen dalam konteks tertentu sering disebut dengan teologi pembangunan.
Model praksis terbentuk melalui cara berpikir yang lebih intensif (mendalam)

36
Bevans, Model-model, 73.
37
Bevans, Model-model, 98.

12
tidak mengambang dan penekanannya ialah, setiap tindakan harus memberi
makna dalam perubahan sosial.

Model praksis bukan model untuk menafsirkan dunia, melainkan sebuah


model untuk mengubah dunia. Misalnya dalam situasi kemiskinan yang
merajalela, penindasan dan marginalisasi manusia berjalan secara terus-menerus.
Model praksis menekankan bahwa setiap orang tidak hanya sekedar
mendengarkan firman, tetapi juga melakukannya (Yak 1:22).38 Kelemahan dari
model praksis adalah pelakunya terkadang kurang tegas dan berani dalam
menggunakan model tersebut, lebih dominan hanya sekedar teori dan minim
praktik.

Aksi
Analisis teks
dan -{ Kitab Suci & Tradisi }-
Analisis konteks
Refleksi

Menghasilkan Aksi baru

Gambar 3. Model Praksis

4. Model Trasendental

Manusia sebagai personal (identitas) dan komunal (profesi) yang memiliki


kepekaan terhadap yang Ilahi, memahami teologi sebagai proses menalar untuk
memahami iman secara autentik. Tinjauan kritis terhadap model tersebut yaitu;
mengabaikan celah relativitas, melihat dan menilai bahwa setiap konsep memiliki
pengalaman secara personal dan mengandaikan persamaan proses menalar dalam
diri manusia, sekalipun berbeda konteks. Kelemahan dari model trasendental yaitu
sering berbeda pendapat karena kebebasan dalam berpikir, meskipun sama-sama
menganalisa satu hal tetap saja akan lahir pemahaman yang berbeda. Semua
diandaikan seakan sama padahal tidak. Menerima semua pendapat tanpa

38
Bevans, Model-model, 128-133.

13
mempertimbangkan dan tanpa memberi batasan yang memberi peluang untuk
kesalahpahaman, seperti bagan berikut;

Budaya

Teologi Kontekstual

Subjek yang otentik Religius/Kekristenan

Gambar 4. Model Transendental39

5. Model Sintesis

Model sintesis merupakan model memiliki pendirian yang tidak konsisten.


Model sintesis bertujuan untuk mempertahankan injil, konteks lain, dialogis dan
analogis. Model tersebut merupakan campur aduk dari berbagai konteks hidup
manusia, setiap konteks memiliki keunikan masing-masing, setiap orang bisa
belajar dari orang lain dan pengakuan diri sendiri oleh orang lain.40 Kelemahan
model sintesis adalah tidak menerima semua sintesis, cenderung bimbang
(berusaha menjangkau orang lain, namun tanpa tujuan yang pasti), sulit menerima
transparansi dan kritikan namun ingin menjadi teladan. Pengaruh yang paling
buruk adalah sikap model tersebut yang menerima pendapat/pujian “yang baik
saja” tanpa menyeleksi.

Injil/Tradisi

Budaya Perubahan Sosial

Bentuk pemikiran/budaya lain

Gambar 5. Model Sinteis41

39
Yuli, Gunnawan A.S, Khotbah Paulus Areopagus sebagai sebuah Model Berteologi
Kontestual (Studi Pendekatan Retorik Kis. 17:16-34), (Program Pasca Sarjana: Universitas Kristen
Duta Wacana, Yogyakarta, 2003), 122.
40
Bevans, Model-model, 165-169.
41
Bevans, Model-model, 170.

14
6. Model Budaya Tandingan

Model budaya tandingan bukan bersikap anti budaya, melainkan


pengakuan terhadap ambiguitas budaya dan konteks; baik dan buruknya. Model
ini mengkritisi dan menganalisis konteks. Konteks itu sendiri membutuhkan
pengakuan terhadap injil sebagai lensa dan pengarah. Model ini merupakan
perjumpaan atau keterlibatan konteks melalui analisis kritis, namun tetap
menghargai injil seutuhnya dalam nubuat injil secara dinamis ditengah lingkungan
yang kuat bahkan dalam keadaan bermusuhan sekalipun. Model budaya tandingan
setia terhadap injil dan tidak berada jauh dari injil, tetap mempertahankan injilnya
dan berusaha agar relevan dan tetap berpusat pada konteks.42 Kelemahan model
tersebut ialah memiliki sikap (inklusif), konteks berada di bawah injil tetapi tidak
berjauhan dan tetap mempertahankan injil.

Model Trasendental Model Sintetis

Model Antropologis Model Praksis Model Budaya Tandingan

Model Terjemahan

Konteks

Gambar 6. Model Budaya Tandingan

HASIL PENELITIAN

Sejarah berdirinya gereja


GBKP memiliki struktur kepemimpinan dari tingkat pusat hingga wilayah-
wilayah yang terdiri dari Sinode (Moderamen), Klasis, Runggun dan Bakal
Jemaat. GBKP Runggun Yogyakarta telah menjalani proses untuk menjadi
Runggun dengan memenuhi syarat dan ketentuan dari Sinode, diantaranya;

42
Bevans, Model-model, 221-225.

15
memiliki gedung gereja yang tetap (permanen), memenuhi syarat jumlah jemaat
sidi (minimal 150 orang), mengadakan dan menyeleksi calon Pertua/Diaken yang
akan diteguhkan untuk melayani (minimal 9 orang) dan gereja yang mandiri dari
segi dana harus menanggung dan membiayai (1 orang) Pendeta jemaat dengan
menyediakan rumah dinas dan fasilitasnya.43 Setelah memenuhi syarat untuk
menjadi Runggun, GBKP Runggun Yogyakarta wajib melaksanakan peribadatan
dan sakramen yang sesuai dengan ketentuan dalam Tata Gereja GBKP.44

Berdirinya GBKP di Yogyakarta merupakan hasil dari proses yang cukup


panjang oleh beberapa tokoh masyarakat dan mahasiswa Karo yang merantau ke
Kota Yogyakarta. Adapun tokoh-tokoh penting yang terlibat dan berkontribusi
dalam pembangunan gedung GBKP Runggun Yogyakarta, diantaranya;45

1. Prof. Masri Singarimbun (Guru Besar Bagian Kependudukan, UGM)


2. Prof. Dr. Lukas Sembiring Meliala (Guru Besar Kedokteran, UGM)
3. Kolonel Sembiring (Warga Jemaat)
4. Sudin Surbakti (Warga Jemaat)
5. Sutradara Ginting (Warga Jemaat)

Sekitar tahun 1970, para tokoh tersebut sepakat untuk mendirikan gedung
GBKP secara permanen di Kota Yogyakarta, sebelum membangun gedung sendiri
masyarakat dan mahasiswa Karo yang merantau di Kota Yogyakarta,
melaksanakan peribadatan dengan menumpang di gedung SMP BOPKRI (Badan
Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia) Lempuyangan. Perkembangan
jemaat GBKP di Yogyakarta cukup baik dan kehadiraan jemaat juga meningkat
dengan pesat. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1985 dibentuk tim
pembangunan gereja dengan tujuan untuk mencari lahan untuk membangun
gedung gereja. Dalam pencarian lahan tim pembangunan GBKP Yogyakarta
bekerja sama dengan tim pembangunan GKPS (Gereja Kristen Protestan

43
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 9.
44
Garis Besar Pelayanan GBKP 2016-2020 (Kabanjahe: Abdi Karya, 2015), 9.
45
Jekonia Tarigan, Wawancara. Rabu, 20 Februari 2019.

16
Simalungun),46 karena kedua gereja tersebut sudah berbagi ketika masih
menumpang gedung, sehingga ketika tim pembangunan menemukan lahan di
daerah Monumen Yogya Kembali (MONJALI). Kedua gereja tersebut mendirikan
gedung secara bersebelahan dan tetap berdampingan dengan baik dari segi
pelaksanaan ibadah dan keterkaitan kerjasama lainnya hingga saat ini.47

Adapun kegiatan mingguan yang rutin dilaksanakan di GBKP Runggun


Yogyakarta, sebagai berikut :48

TABEL I. KEGIATAN MINGGUAN JEMAAT GBKP RUNGGUN


YOGYAKARTA
No Ibadah Keterangan
1 Minggu Ibadah Umum (dua kali ibadah pagi dan sore)
2 PA Saitun Ibadah Kategorial/Seksi Lanjut Usia (sekali dalam
seminggu)
3 PA Mamre Ibadah Kategorial/Seksi Kaum Bapak (sekali dalam
seminggu)
4 PA Moria Ibadah Kategorial/Seksi Kaum Ibu (sekali dalam
seminggu)
5 PA Permata Ibadah Kategorial/Seksi Pemuda (sekali dalam seminggu)
6 PA KAKR Ibadah Kategorial/Seksi Anak Sekolah Minggu (sekali
dalam seminggu)

Sumber: Sekretaris GBKP Runggun Yogyakarta Pt. Erwin Sermon Surbakti

Selain kegiatan rutin mingguan, GBKP Runggun Yogyakarta juga


melaksanakan kegiatan tahunan yang sesuai dengan ketentuan Sinode GBKP,
sebagai berikut:49

46
GBKP Yogyakarta, Musyawarah Ngawan GBKP Runggun Yogyakarta, Evaluasi
Program Kerja tahun 2016 dan Program Kerja tahun 2017 (Kesekretariatan Majelis GBKP
Yogyakarta, 2017), 4.
47
Pdt Kristaloni br Sinulingga, Wawancara. Selasa, 19 Februari 2019.
48
Pt. Erwin Sermon Surbakti, Wawancara.Minggu, 17 Februari 2019.
49
Pdt Kristaloni br Sinulingga, Wawancara.Selasa, 19 Februari 2019.

17
TABEL II. KEGIATAN TAHUNAN JEMAAT GBKP RUNGGUN
YOGYAKARTA

No Kegiatan/Ibadah Keterangan
1 Buka tutup tahun Ibadah pergantian tahun
2 Kamis Putih Memaknai kedatangan Yesus sebagai pembawa
terang
3 Jumat Agung Peringatan penyalibanYesus
4 Sabtu Persiapan Paskah
Pengharapan
5 Paskah Kebangkitan Yesus
6 Kerja Rani Perayaan Pesta Panen
7 17 Agustus Ibadah Kemerdekaan RI
8 - Malam Natal Menyambut kelahiranYesus Kristus
- Perayaan Natal

Sumber: Pendeta GBKP Runggun Yogyakarta Pdt. Kristaloni br Sinulingga

Dalam Tata Gereja GBKP BAB XLII Penataan Harta Milik GBKP, Pasal
178 tentang Sumber Harta Milik, butir yang ke 4 menyatakan bahwa persembahan
Kerja Rani (pesta panen) merupakan salah satu sumber keuangan untuk unit
pelayanan di GBKP.50 Selain menjalankan Tri Tugas Gereja yaitu; Marturia
(bersaksi), Diakonia (melayani) dan Koinonia (bersekutu), GBKP juga memiliki
unit pelayanan sosial yang membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga dana
yang diperoleh dari seluruh GBKP akan dibagikan untuk kebutuhan unit
pelayanan GBKP, seperti berikut;51

TABEL III. JENIS UNIT PELAYANAN SINODE GBKP

No Jenis Unit Keterangan


Pelayanan
1 Badan Kesejahteraan penyandang disabilitas, Panti Asuhan Kristen
Pelayanan Gelora Kasih, Orang Tua Sejahtera, Kesehatan, Pengelolaan

50
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 73.
51
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 70-71.

18
Retreat Center, Kursus Wanita Kristen, Kategorial
(Saitun/lansia, Mamre/bapak, Moria/ibu, Permata/pemuda,
KAKR/sekolah minggu, PPWG, CUM dan Konseling Pastoral.
2 Badan Hukum Yayasan Pendidikan Kristen GBKP, Yayasan Perguruan
Tinggi, Yayasan Ate Keleng (PT. BPR Pijer Podi Kekelengen
dan Credit Union)
3 Biro Teologi, Pengembangan Ibadah dan Musik Gereja, Oikumene,
Hukum dan Harta Milik, Keuangan, Pengembangan SDM,
Perencanaan dan IT, Peneltian dan Pengembangan, Humas dan
Informasi, Penggalian, Pelestarian dan Pengembangan
Budaya/Museum, Koordinasi Unit Usaha (PT. Jasa Nioga,
Percetakan dan Toko Buku Abdi Karya, Asrama Pemuda
Maranatha, Warta GBKP Maranatha)
4 Komisi Pengawas Perbendaharaan, Penanggulangan Bencana,
HIV/AIDS/NAPZA.
5 TIM Pekabaran Injil, PAUD, Dana Abadi, Dana dan Usaha,
Rekonsiliasi, Penasehat dan Verifikasi
6 Panitia Sarana Majelis Sinode, Penggalangan Dana, Pembangunan
Gereja dan Pemekaran Gereja.

Sumber: Tata Gereja GBKP 2015-2025

Pelaksanaan Kerja Rani yang Kontekstual di GBKP Runggun


Yogyakarta
Hari Raya Pondok Daun merupakan perayaan Pesta Panen bangsa Yahudi
yang diadopsi oleh GBKP. Hari Raya Pondok Daun merupakan perayaan syukur
bangsa Yahudi kepada Allah yang telah membebaskan mereka dari perbudakan
Mesir, menyertai proses perjalanan mereka dan memberikan tempat tinggal untuk
melangsungkan hidup di Kanaan. Bangsa Yahudi yang menetap di Kanaan harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka dan mereka harus bekerja sesuai
dengan konteks Kanaan, yaitu bertani atau bercocok tanam.

19
GBKP mengadopsi dan melaksanakan perayaan Hari Raya Pondok Daun
sejak tahun 1925 dan mengubah namanya menjadi Kerja Rani.52 Perayaan Kerja
Rani diadopsi oleh GBKP dengan tujuan untuk mempertahankan tradisi Yahudi
dan konteks Alkitab. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan persembahan
dalam wujud hasil panen dari pekerjaan jemaat. Sebelum melaksanakan Kerja
Rani GBKP pasti melakukan observasi untuk melihat apakah kegiatan tersebut
bisa dipraktikkan dalam konteks gereja kesukuan Karo. Kabupaten Karo
merupakan daerah pertanian sama halnya dengan Kanaan, sehingga mayoritas
jemaat bekerja sebagai petani dan memberikan persembahan syukur melalui hasil
panen yang diperoleh dari pekerjaan mereka.53

GBKP Runggun Yogyakarta sudah melaksanakan Kerja Rani lebih kurang


10 tahun dan persembahan yang diberikan tidak dalam bentuk hasil panen berupa
hasil bercocok tanam, melainkan berupa materi/gaji. Hasil panen tetap digunakan,
namun hanya sebagai simbolis dalam perayaan karena tidak ada jemaat yang
bercocok tanam di GBKP Runggun Yogyakarta.54 Kerja Rani di GBKP Runggun
Yogyakarta kembali dimodifikasi oleh tim pelaksana pada tahun 2015, perubahan
perayaan dan bentuk persembahan Kerja Rani dilakukan karena harus disesuaikan
dengan konteks jemaat pada saat itu.55 Perayaan Kerja Rani GBKP Runggun
Yogyakarta dilaksanakan dengan dua cara; yang pertama menggunakan amplop
yang diberikan oleh Sinode dan dilaksanakan setiap pertengahan tahun sesuai
dengan waktu yang ditentukan oleh Sinode GBKP. Hasil dari Kerja Rani amplop
akan di dikumpulkan dan dibagi menjadi 60% untuk kas gereja dan 40% disetor
ke Klasis (melanjutkan ke Sinode) yang digunakan untuk unit pelayanan GBKP.56
Kedua dengan melaksanakan lelang-lelang versi Amerika dengan cara melelang
parsel makanan siap saji atau buah-buahan yang diberikan oleh masing-masing
sektor dan dari jemaat secara sukarela. Dalam pelaksanaan lelang-lelang, tim
pelaksana Kerja Rani akan menentukan harga parsel dan yang ikut ambil bagian

52
Pdt. Diarna br Sinulingga, Wawancara. Minggu, 31 Maret 2019.
53
Sadrah Tuahta Barus (Detaser GBKP Runggun Suka Tepu). Wawancara. Sabtu, 30
Maret 2019.
54
Pt. Erwin Sermon Surbakti, Wawancara. Minggu, 17 Februari 2019.
55
Pt. Andreasta Meliala (Dosen UGM, Bendahara Umum dan Ketua Tim Perayaan Kerja
Rani GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara. Sabtu, 29 Juni 2019.
56
Moderamen GBKP, Tata Gereja, 74.

20
akan membayar lelang sesuai kelipatan harga yang diajukan oleh masing-masing
peserta lelang, sedangkan parsel lelang akan dinikmati bersama diakhir acara.
Dalam melaksanakan lelang-lelang, semua yang hadir dapat mengambil bagian
dari kalangan orangtua hingga pemuda, karena kelipatan yang akan dibayar
bervariasi jumlahnya dari puluhan hingga ratusan ribu. Lelang-lelang yang
dilaksanakan tidak terlepas dari persaingan untuk mencapai nilai dan jumlah
tertinggi, namun selama ini semua tetap dalam kontrol dan persaingan yang
positif.57 Kerja Rani lelang-lelang biasanya dilaksanakan setiap akhir tahun
sekitar bulan September/Oktober dan hasil lelang-lelang 100% ditujukan untuk
Runggun, dengan pembagian 70% untuk kas pembangunan gereja dan fasilitas,
sedangkan 30% untuk pelayanan seperti Diakonia.58

Berikut adalah hasil rekapitulasi persembahan Kerja Rani dalam bentuk


amplop dan lelang-lelang yang diperoleh sejak tahun 2016-2018;59

TABEL IV. REKAPITULASI HASIL KERJA RANI GBKP


RUNGGUN YOGYAKARTA

No Tahun Kerja Rani Amplop Kerja Rani Lelang-lelang


1 2018 ± Rp.5.000.000 ± Rp.125.000.000
2 2017 ± Rp.4.000.000 Rp.120.000.000
3 2016 ± Rp.4.000.000 Rp.110.000.000

Sumber: Bendahara GBKP Runggun Yogyakarta Pt. Andreasta Meliala

Hasil Persembahan Kerja Rani karena kesadaran jemaat yang dipengaruhi


oleh bukti fisik dari persembahan itu sendiri. Hasil persembahan yang digunakan
untuk pembangunan gedung ibadah Sekolah Minggu, Rumah Dinas Pendeta dan
Pastori dapat dilihat oleh jemaat secara langsung, sehingga keinginan untuk
membenahi juga semakin meningkat, terlebih dalam melaksanakan Kerja Rani
lelang-lelang.60

57
Jekonia Tarigan, Wawancara. Rabu, 20 Februari 2019.
58
Nehemia Billy Erlando Barus (Ketua Permata/Pemuda dan Tim Perayaan Kerja Rani
GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara. Jumat, 21 Juni 2019.
59
Pt. Andreasta Meliala, Wawancara. Sabtu, 29 Juni 2019.
60
Pt. Erwin Sermon Surbakti, Wawancara. Minggu, 17 Februari 2019.

21
Kerja Rani GBKP Runggun Yogyakarta tetap disesuaikan dengan tradisi
dalam Alkitab dan Sinodal, tidak hanya semata-mata untuk mengumpulkan dana,
tetapi tim pelaksana juga mempersiapkan perayaan Kerja Rani dengan suasana
dan acara yang meriah. Melibatkan perayaan yang berciri khas tradisi Karo,
dengan mengadakan protokol atau pembawa acara yang mampu mempengaruhi
semangat dan suasana perayaan, musik tradisional, pakaian adat, makanan khas
Karo dan lokal (Jawa).61 Persiapan yang dilakukan bertujuan untuk memupuk
kebersamaan antar jemaat dan keistimewaan lainnya ialah parsel makanan yang
dilelang akan dikonsumsi bersama-sama setelah acara berlangsung.62 Setiap
tahunnya tim pelaksana dan Majelis bersama-sama untuk merancang perayaan
Kerja Rani yang menarik dan kreatif agar memiliki daya tarik terhadap jemaat,
misalnya mengutamakan tradisi Karo dalam perayaannya. 63 Tradisi ini menjadi
hal yang penting dan baik karena orangtua yang sudah lama tinggal di Yogya
dapat merasakan suasana perayaan seperti tempat asal mereka, jemaat Karo yang
lahir dan menetap di perantauan juga dapat mengenal budaya karo melalui
perayaan Kerja Rani, sehingga perayaan tersebut harus tetap dilaksanakan dan
dipertahankan oleh GBKP Runggun Yogyakarta.64

Makna Perubahan Bentuk Persembahan Kerja Rani


Pelaksanaan Kerja Rani di GBKP Runggun Yogyakarta tidak terlepas dari
perubahan setiap tahunnya, hal tersebut terjadi karena gereja harus menyesuaikan
konteks jemaat yang dinamis. Kontekstualisasi merupakan sebuah proses
penyesuaian yang dilakukan oleh GBKP Runggun Yogyakarta dalam perayaan
gerejawi, agar dapat dipahami dan diterima oleh jemaat. 65 Dalam perayaan
gerejawi seperti Kerja Rani kontekstualisasi perlu disosialisasikan dengan jelas
karena adanya indikator yang mempengaruhi seperti tempat tinggal, pekerjaan
atau profesi jemaat, tingkat pendidikan dan pengaruh lingkungan yang membuat
perayaan setiap daerah tidak dapat disamaratakan. Hal tersebut membuat gereja

61
Pt. Andreasta Meliala, Wawancara. Sabtu, 29 Juni 2019.
62
Pdt Kristaloni br Sinulingga, Wawancara. Senin, 17 Juni 2019.
63
Nehemia Billy Erlando Barus, Wawancara. Jumat, 21 Juni 2019.
64
Nd. Emo Sitepu/Br. Brahmana (Moria/kaum ibu GBKP Runggun Yogyakarta).
Wawancara. Selasa, 25 Juni 2019.
65
Pt. Sinar Sebayang (Penatua GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara. Minggu, 23
Juni 2019.

22
harus mampu melakukan perubahan agar perayaannya tidak hanya sekedar ada
tapi mampu memberikan makna filosofis dengan kemasan konteks masa kini
kepada jemaat.66

Menurut Pertua Meliala,67 perubahan bentuk persembahan Kerja Rani


adalah fenomena yang sudah terjadi karena penyesuaian kebutuhan dan kondisi
jemaat, terlebih jemaat GBKP Runggun Yogyakarta mayoritas Pegawai
Swasta/Negeri (bukan petani) dan mayoritas mahasiswa. Diaken br Purba juga
berpendapat bahwa,68 perubahan bentuk bukan berarti maknanya juga berbeda,
tidak ada yang berubah karena Kerja Rani adalah persembahan yang kita peroleh
dari pekerjaan kita sendiri, tetap kepada satu tujuan yaitu Tuhan. Diaken br
Ginting berpendapat,69 perubahan persembahan Kerja Rani karena faktor keadaan.
Hasil panen dan hasil gaji sama saja, karena datangnya dari Tuhan dan sudah
kewajiban untuk memberikan hasil yang baik dari hasil pekerjaan yang baik
sebagai persembahan kepada Tuhan. Billy Barus juga berpendapat bahwa,70
perubahan bentuk persembahan Kerja Rani merupakan pertimbangan yang sangat
diperhatikan oleh tim pelaksana, karena pasti ada yang setuju dan tidak setuju.
Namun dengan penjelasan yang logis dan tetap mempertahankan esensi budaya
dan manfaatnya membuat perayaan Kerja Rani yang telah dimodifikasi bisa
diterima dengan baik oleh jemaat.

Menurut Pendeta jemaat,71 Kerja Rani merupakan perayaan pesta panen


yang penting dan harus tetap dipertahankan, selain hal tersebut merupakan
ketetapan Sinode, perayaan Kerja Rani merupakan perayaan yang memberikan
kebersamaan antar jemaat. Pada saat menari, melaksanakan lelang-lelang dan
makan bersama dan itu sangat penting bagi jemaat GBKP Runggun Yogyakarta.
Menurut Pertua Sebayang,72 tujuan perayaan Kerja Rani tidak hanya untuk
mengumpulkan hasil terbaik dari pekerjaan jemaat sebagai persembahan dan

66
Jekonia Tarigan, Wawancara. Rabu, 20 Februari 2019.
67
Pt. Andreasta Meliala, Wawancara. Sabtu, 29 Juni 2019.
68
Dk. Idawati br Purba (Diaken GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara. Minggu, 23
Juni 2019.
69
Dk. Rosdiana Jhuwita br Ginting (Diaken GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara.
Senin, 17 Juni 2019.
70
Nehemia Billy Erlando Barus, Wawancara. Jumat, 21 Juni 2019.
71
Pdt. Kristaloni br Sinulingga, Wawancara. Senin, 17 Juni 2019.
72
Pt. Sinar Sebayang. Wawancara. Minggu, 23 Juni 2019.

23
ungkapan syukur, namun juga menempah karakteristik kuantitas jemaat. Majelis
memiliki tugas untuk memberi pengertian kepada jemaat untuk memberi
persembahan dengan kerelaan hati agar berkat Tuhan dapat dirasakan dalam
pekerjaan masing-masing. Diaken br Ginting juga berkata demikian,73 bahwa hasil
pekerjaan wajib dikembalikan/persembahkan kepada Tuhan, walau sudah berubah
bentuk tapi tujuannya jelas untuk pelayanan. Nintha br Tarigan 74 juga sepakat
bahwa Tuhan telah memberikan lahan di bumi untuk dirawat dan diolah, melalui
alam kita bisa bekerja dan memperoleh hasil untuk di persembahkan kembali
kepada Tuhan.

Pertua Singarimbun75 berpendapat bahwa perubahan bentuk persembahan


Kerja Rani sangat membantu keuangan gereja untuk meningkatkan pelayanan,
sumber persembahan Kerja Rani juga tidak hanya dari jemaat yang tinggal di
Yogya, tapi ada partisipasi dari para alumni/jemaat yang pernah kuliah/bekerja di
Yogya. Menurut Billy Barus,76 perubahan bentuk persembahan Kerja Rani
memberikan pengaruh yang baik, seluruh jemaat berpartisipasi, dari
kategorial/komisi KAKR (anak), Permata (pemuda), Moria (ibu), Mamre (bapak),
Saitun (lansia), peningkatan kehadiran jemaat juga terlihat sejak tahun 2017
hingga 2018. Pertua Sebayang berpendapat, 77 Kerja Rani termasuk salah satu
kegiatan rutin gerejawi, sehingga gereja bertugas untuk membuat acara yang
meriah agar kegiatan tersebut tidak sekedar menjadi kegiatan rutinitas namun
mampu memberi makna filosofi penting yang dapat dirasakan dan direfleksikan
oleh jemaat. Menurut Pertua Meliala,78 kebijakan Sinode GBKP yang tidak
menetapkan aturan yang baku dapat dimanfaatkan oleh Tim Pelaksana Kerja Rani
untuk mengemas acara sekreatif mungkin, dengan memodifikasi dan melibatkan
modernitas dan tradisi budaya Karo, tujuannya agar di tengah lingkungan Jawa
sekalipun budaya Karo tetap dapat dirasakan.

73
Dk. Rosdiana Jhuwita br Ginting, Wawancara. Senin, 17 Juni 2019.
74
Nintha Karlina br Tarigan (Permata/Pemuda GBKP Runggun Yogyakarta).
Wawancara. Minggu, 23 Juni.
75
Pt. Sejahtera Singarimbun (Penatua GBKP Runggun Yogyakarta). Wawancara.
Minggu, 23 Juni 2019.
76
Nehemia Billy Erlando Barus, Wawancara. Jumat, 21 Juni 2019.
77
Pt. Sinar Sebayang, Wawancara. Minggu, 23 Juni 2019.
78
Pt. Andreasta Meliala, Wawancara. Sabtu, 29 Juni 2019.

24
ANALISIS HASIL PENELITIAN

Pelaksanaan Kerja Rani yang kontekstual di GBKP Runggun


Yogyakarta
Penulis mendapatkan dua faktor yang mempengaruhi perubahan bentuk
persembahan Kerja Rani di GBKP Runggun Yogyakarta; yang pertama, jemaat
tinggal di kota dan mayoritas bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, Dosen, Guru,
Dokter, Perawat, Angkatan (Polisi/TNI), Pedagang dan Pengusaha. Kedua, faktor
kebutuhan gereja untuk pembangunan gereja, fasilitas dan pelayanan (kunjungan
diakonia, Pekabaran Injil dan pelayanan gerejawi lainnya). Perubahan bentuk
persembahan Kerja Rani merupakan proses penyesuaian konteks perayaan
gerejawi agar tetap sesuai dengan makna filosofisnya dan dapat diterima dalam
konteks jemaat masa kini. Hal tersebut sesuai dengan teori Teologi Kontekstual
Stephen B Bevans yang mengatakan bahwa, pengalaman masa lampau dijadikan
sebagai pelengkap terhadap perubahan konteks yang diperoleh melalui
pengalaman secara personal ataupun kelompok.

Secara umum, jemaat berpendapat bahwa perayaan Kerja Rani yang


menggunakan persembahan yang berubah bentuk merupakan sebuah fenomena
kontekstual. Perubahan yang harus dilakukan karena konteks kehidupan jemaat
juga mengalami perubahan, sehingga agar tetap seimbang kontekstualisasi adalah
solusi yang baik. Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan menjadi salah
satu kota yang paling banyak dikunjungi bahkan ditinggali oleh masyarakat
perantau dari berbagai daerah, sehingga terjadi percampuran antar budaya. Hal
tersebut membuat jemaat GBKP Runggun Yogyakarta harus membuka diri dan
menerapkan kontekstualisasi agar dapat menerima keberagaman dan diterima oleh
jemaat yang dinamis.

Perubahan bentuk persembahan Kerja Rani sesuai dengan teori Stephen B


Bevans yaitu model terjemahan, yang menjelaskan bahwa proses menafsir tidak
harus dilakukan secara harafiah dan menterjemahkan kata-kata, namun menjadi
jembatan untuk memahami dan menemukan makna atas sebuah fenomena agar
relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks masa kini. Hal tersebut sesuai
dengan perayaan Kerja Rani di GBKP Runggun Yogyakarta yang mengalami

25
perubahan bentuk persembahan yang awalnya menggunakan hasil panen (saat
masih di tempat asal masing-masing jemaat) dan saat ini menggunakan
materi/gaji. Perubahan yang terjadi awalnya sulit untuk dilaksanakan secara
maksimal, namun Majelis jemaat berupaya untuk memberikan inovasi dan
pengertian yang membuat jemaat memahami tujuan berubahnya bentuk
persembahan dalam melaksanakan Kerja Rani. Pelaksanaan Kerja Rani yang
menggunakan persembahan yang telah berubah bentuk menjadi lebih praktis
karena hal tersebut merupakan upaya yang sangat baik karena situasi, jarak dan
kondisi penghasilan/pekerjaan jemaat juga beragam dan berbeda pada saat masih
di Karo dengan di Yogyakarta. Perayaan Kerja Rani yang telah dimodifikasi
sesuai dengan model terjemahan karena keterlibatan modernitas tidak membuat
esensi makna dari tradisi perayaan Kerja Rani menjadi berubah, maknanya tetap
sama walaupun dikemas dengan cara yang berbeda.

Makna perubahan bentuk persembahan Kerja Rani di GBKP


Runggun Yogyakarta
Dalam kitab Imamat hingga Ulangan terdapat keunikan perayaan Pesta
Panen bangsa Yahudi yang diadopsi oleh GBKP yang kini menjadi perayaan
Kerja Rani. Latar belakang pekerjaan bangsa Israel bukanlah bertani, namun
ketika bangsa tersebut keluar dari perbudakan Mesir, hidup sebagai nomad
(pengembara/berpindah-pindah) tinggal di dalam tenda/kemah dengan sumber
makanan berupa hasil buruan. Akhirnya Allah memutuskan untuk memilih
Kanaan sebagai tanah yang akan ditempati oleh bangsa Israel. Menetap di Kanaan
membuat bangsa Israel harus bekerja seperti orang Kanaan agar dapat
melangsungkan hidup. Sama halnya dengan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta,
jemaat datang dan merantau dari tempat asal masing-masing dan menetap di kota
Yogyakarta. Pilihan untuk menetap di kota tersebut membuat mereka harus
menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang dilakoni oleh masyarakat lokal untuk
melangsungkan hidup. Beberapa dari jemaat yang telah selesai menempuh
pendidikan di kota Yogyakarta memilih menetap dengan bekerja di kota tersebut
dengan beragam profesi, sebagai tenaga pengajar, merintis usaha dan pekerjaan
lainnya yang dilakoni oleh masyarakat perkotaan.

26
Perubahan bentuk persembahan Kerja Rani juga dipengaruhi oleh
kebutuhan gereja yang semakin meningkat dan menyebabkan banyak hal yang
harus dibenahi. Diantaranya; meningkatkan kuantitas pelayanan dari segi
kelayakan tempat beribadah dan fasilitas untuk pelayanan. Pekerjaan yang
dilakoni jemaat memang beragam dan hasil dari pekerjaan mereka adalah gaji,
sehingga persembahan yang diberikan juga sesuai dari yang diperoleh. Meskipun
persembahan yang diberikan oleh jemaat telah berubah bentuk, makna yang
dirasakan oleh jemaat tidak jauh berbeda dengan bentuk persembahan
sebelumnya. Ketika masih bertani jemaat memaknai prosesnya mulai dari
memilih bibit unggul, menyesuaikan tanah agar subur, menanam benih, merawat
dan memanen hasil. Namun untuk saat ini jemaat bekerja setiap hari sesuai
dengan profesi masing-masing dengan baik dan dengan pekerjaan yang menjadi
rutinitas, jemaat tetap merasakan bahwa Allah memberikan berkat kesehatan dan
kelancaran terhadap pekerjaan mereka, sehingga jemaat memperoleh hasil yang
baik pula. Hal tersebut sama halnya dengan teori Stephen B Bevans yaitu model
Antropologis dan model Transendental, yang menyatakan bahwa maksud dan
tujuan dari sebuah perayaan tetap pada prinsip dan filosofisnya. Manusia sebagai
sarana untuk mewahyukan sang Ilahi dan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta
sudah melakukan hal yang sama, menguduskan Allah dengan tetap memberikan
persembahan yang terbaik meskipun telah berubah bentuk dengan esensi dan
pemahaman yang sama.

Perubahan bentuk persembahan Kerja Rani di dukung oleh jemaat, selain


caranya yang lebih praktis, perubahan tersebut memberikan dampak nyata dan
bermanfaat bagi gereja dan jemaat. Gereja menjadi lebih mandiri untuk memenuhi
kebutuhan finansial dalam pelayanan, seperti; merenovasi gedung (gereja, rumah
dinas Pendeta, ruang sekolah minggu, rumah koster dan pastori), pengadaan
fasilitas dan inventaris dan banyak hal lainnya membuat jemaat bahkan alumni
yang tinggal di luar Pulau berpartisipasi secara aktif dalam memberikan
persembahan. Manfaat perubahan bentuk persembahan Kerja Kerja Rani tidak
hanya dirasakan oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta, namun juga dirasakan
oleh jemaat/masyarakat setempat. Salah satunya jemaat GBKP yang berada di
Kota Solo. Mereka belum memiliki gedung untuk beribadah, tidak memiliki

27
Pendeta atau pelayan yang intensif untuk melayani, sehingga melalui Pekabaran
Injil yang dilakukan oleh GBKP Runggun Yogyakarta, jemaat asal GBKP yang
berada di kota Solo tetap semangat dan bertumbuh dalam iman. Hal tersebut
merupakan keistimewaan pelayanan GBKP Runggun Yogyakarta, perubahan
bentuk persembahan Kerja Rani mendapat dukungan yang baik dari berbagai
pihak karena memberi dampak yang sangat baik dan gereja mampu
mempraktikkan kasih Yesus kepada sesama. Perubahan tersebut sama halnya
dengan Teori Bevans, Model Praksis yang memadukan antara praktik dan refleksi
untuk mewartakan kasih terhadap sesama melalui tindakan yang nyata. Gereja
melihat peluang melalui realita masa kini dan melalui peluang tersebut gereja
melakukan tindakan yang mampu membangun relasi sosial secara intensif dan
memberi makna yang jelas dan dapat diterima oleh penerimanya. Tujuannya
bukan hanya untuk menafsirkan namun membuat inovasi untuk terealisasinya visi
dan misi Allah dengan menjadi lebih inovatif.

PENUTUP

Kesimpulan
Setelah menganalisis data berdasarkan teori dan hasil penelitian di GBKP
Runggun Yogyakarta, penulis menemukan faktor penyebab terjadinya perubahan
bentuk persembahan dalam perayaan Kerja Rani dan makna setelah berubahnya
persembahan Kerja Rani di gereja tersebut. Adapun kesimpulan yang diperoleh
sebagai berikut;

1. Berubahannya bentuk dari persembahan yang diberikan dipengaruhi


oleh faktor internal dan eksternal dari gereja dan jemaat. Perubahan
yang terjadi bukan untuk kepentingan sepihak namun untuk
kepentingan bersama dengan kesepakatan Majelis dan jemaat sebagai
subjek yang melaksanakannya.
2. Berdasarkan enam model teori Teologi Kontekstual Stephen B Bevans,
perubahan bentuk persembahan Kerja Rani di GBKP Runggun
Yogyakarta sesuai dengan beberapa model yaitu; Model Terjemahan,
Model Antropologis, Model Transendental dan Model Praksis.

28
Meskipun persembahan yang diberikan oleh jemaat telah
bertransformasi, jemaat tidak kehilangan makna dari esensi
persembahan, karena persembahan yang diberikan berasal dari
pekerjaan yang dilakoni oleh mereka sendiri. Dukungan positif dari
Majelis dan pemahaman yang jelas membuat jemaat semakin semangat
untuk memberikan persembahan.
3. Dalam pelaksanaannya, Majelis dan Tim pelaksana sudah berusaha
dengan maksimal untuk mengemas acara yang menarik dengan
melibatkan tradisi yang kental. Hal tersebut adalah upaya yang
diapresiasi dan disambut oleh jemaat dengan baik. Perayaan Kerja
Rani tidak hanya bertujuan untuk mengumpulkan persembahan untuk
kepentingan finansial saja tetapi bagaimana jemaat bisa merasakan
pentingnya mempersembahkan kembali berkat yang telah Tuhan
berikan, kemudian mengangkat budaya Karo di perantauan, orangtua
yang telah lama tidak pulang ke kampung dapat bernostalgia,
mengenalkan budaya Karo kepada jemaat dan partisipan (tamu
undangan) yang belum mengetahui budaya Karo.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan kesimpulan mengenai perubahan
bentuk persembahan Kerja Rani, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Gereja perlu meningkatkan sosialisasi tentang makna perayaan


gerejawi, baik kepada jemaat dari kaum termuda hingga lansia.
Pentingnya pemahaman jemaat terhadap kontekstualisasi dari semua
kalangan adalah cara yang baik, karena memberikan pengertian dan
motivasi untuk memberi sesuai dengan apa yang dimiliki oleh jemaat
dengan bentuk yang berbeda-beda. Memberi persembahan yang sesuai
dengan konteks jemaat bukan sebuah kekeliruan, melainkan hal yang
pasti terjadi karena perubahan konteks. Tugas gereja ialah memberikan
pengertian yang jelas khususnya dalam perayaan Kerja Rani, gereja
harus berupaya agar filosofi dan ciri khas GBKP tetap ada sehingga

29
perayaan tersebut tidak hanya sebagai kegiatan rutinitas namun
perayaan yang sakral dan mengandung makna tersendiri.
2. Gereja perlu menyadari kembali apa tujuan utama perayaan Kerja
Rani. Meskipun mengalami perubahan yang lebih inovatif dan praktis
gereja harus menyadari bahwa motivasi utamanya ialah memberi
kepada Tuhan, sehingga yang diutamakan adalah kepentingan Tuhan
bukan kepentingan penyelenggara bahkan atau peserta yang terlibat
dalam pelaksanaannya.

30
Daftar Pustaka

Sumber buku:

Bevans, Stephen B, 2002, Model-model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero.

Bevans, Stephen B, 2010, Teologi Dalam Perspektif Global: Suatu Pengantar.

Maumere: Ladalero.

Beyer, Ulrich, dan Simamora, Evalina, 2008, Memberi dengan Sukacita; Tafsir

dan Teologi Persembahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Cooley, Frank L, 1976, Benih Yang Tumbuh IV. Jakarta Pusat: Lembaga

Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia.

Dokumen hasil Musyawarah Ngawan GBKP Runggun Yogyakarta, 2017,

Evaluasi Program Kerja tahun 2016 dan Program Kerja tahun.

Garis Besar Pelayanan GBKP 2016-2020, 2015, Moderamen GBKP. Kabanjahe:

Abdi Karya.

Jonge, D. Christiaan, 2003, Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah

Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Murray Li, Tania, 2002, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia.

DKI Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

PERMATA GBKP Pusat, 2015, Bimbingan PA Permata. Kabanjahe: Abdi Karya.

Raco, J. R, 2010, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan

Keunggunlannya. Jakarta: Grasindo.

31
Riduan, 2009, Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung:

Alfabeta.

Singgih, Emanuel Gerrit, 2000, Berteologi Dalam Konteks.Yogyakarta: Kanisius.

Tata Gereja GBKP 2015-2025: Moderamen GBKP. Kabanjahe: Abdi Karya,

2015.

Tomatala, Y, 1996, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar). Malang:

Gandum Mas.

Yuli A. S, Gunawan, 2003, Khotbah Paulus Areopagus Sebagai Sebuah Model

Berteologi Kontekstual (Studi Pendekatan Retorik Kis. 17:16-34),

Program Pasca Sarjana: Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.

Van Kooij, Rijnardus A, dkk, 2007, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata:

Sumbangan Teologi Praktis dalam Pencarian Model Pembangunan

Jemaat Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sumber webside:

PitDuka Petrus. Dilema Teologi Kristiani Indonesia yang Kontekstual. 14 Mei


2019. Diakses pada 16 Agustus 2019.
(https://www.kompasiana.com/pitduka/5cda9e8d95760e2b56451845/dilema
-teologi-kristiani-indonesia-yang-kontekstual?page=all)

32

Anda mungkin juga menyukai