Anda di halaman 1dari 18

Membangun

Teologi Lokal &

Closing Notes
Pendekatan
Membangun Teologi Lokal
(Robert Schreiter)
 pendekatan penerjemahan
 pendekatan adaptasi
 pendekatan kontekstual
Teologi lokal:
bangunan interaksi dinamis
Injil - Gereja - Budaya
Pendekatan/Model
Penerjemahan

 Langkah pertama: membebaskan


pesan Kristen dari “kandang
budaya” sebelumnya
 Langkah kedua: penerjemahan
pesan Kristen tersebut kedalam
situasi baru
Pendekatan/Model
Penerjemahan
 Contoh: penerjemahan interkultural dalam wujud -
ekuivalen linguistik bagi kategori teologi mis anugerah
keselamatan, dosa, pembenaran, dsb; ekuivalen simbol
seperti gembala, domba, dsb; dalam bahasa setempat
 Kelemahan:
 Pemahaman positivis terhadap budaya (apakah paralel-paralel itu
membunyai makna yang sama dalam budaya baru?)
 Asumsi bahwa pernyataan alkitabiah adalah pernyataan “supra
budaya” yang lebih tinggi dan punya akses penerjemahan kedalam
budaya manapun
Pendekatan/
Model Adaptasi
 Perjumpaan yang lebih dasariah antara
Kekristenan dan budaya (tradisi kerasulan
& tradisi budaya setempat)
 Kekuatan: Penekanan pada otentisitas
budaya setempat – koreksi terhadap
“konjungtivitas Barat” (yang ini atau yang
itu)
 Alat bantu: eksegese alkitabiah
kontemporer yang membuktikan bahwa
tidak ada “gereja PB” yang tunggal, yang
ada jenis komunitas yang berbeda-beda
dan dihidupkan oleh ‘kristologi’ masing-
masing (tergambar dalam ragam tata
gereja)
Pendekatan/Model
Kontekstual
 Pendekatan yang dimulai dari
refleksi dengan konteks budaya
 Model-model:
Pendekatan etnografis (jati
diri budaya)
Pendekatan liberative
(pembebasan berbasis
keprihatian sosial
komunitas)
Teolog dalam Teologi Lokal
 Teolog lokal: komunitas yang
menjadi penyusun utama teologi
(dominan dalam pendekatan
liberatif – teologi sebagai praxis
emansipatoris)
 Teolog profesional: “informan”
tradisi-tradisi Kristen – tidak
asing dari pengalaman komunitas
Paradigma2 titik berangkat berteologia
lokal
 Pekerjaan Roh dan Injil (karunia cuma-
cuma dari kasih karunia Allah yang
bekerja dalam komunitas)
 Bukan sekedar analisa mendalam terhadap
budaya tetapi dilakukan “demi kebutuhan
suatu komunitas”
 Tidak ada perkembangan/bangunan teologi
yang dimulai “de novo” (sama sekali baru)
Peta Teologi Lokal
 INJIL membangkitkan pertanyaan tentang
KONTEKS KOMUNITAS (tindakan2 komunitas –
praxis komunitas, ibadah dsb)
 GEREJA membangkitkan pertanyaan tentang
hubungan tradisi gereja2 lokal dengan gereja2 di
luar (baik lampau maupun sekarang)
 BUDAYA membangkitkan pertanyaan tentang
persepsi Injil dan Gereja tentang dirinya ditengah
kebudayaan lokal dan arus perubahan sosial
(aspek inovasi atau konservasi? atau resistensi?)
Perjumpaan “Warisan Iman”
dengan “Teologi Lokal”
• Sikap kritis terhadap “traditio” (proses
penerusan) dan “tradita” (hal-hal yang
diteruskan)
• Katolik: kritik konstruktif pada “depositum fidei”
sebagai “tradition storage” yang harus dikawal
dan tidak boleh berkurang
• Protestan: “sola scriptura” yang memandang
Alkitab sebagai “gudang ayat-ayat wahyu”
Perjumpaan “Warisan Iman”
dengan “Teologi Lokal

• Tradisi “kekunoan” dan “ke-


emasaan” – Vincent dari Lerin: “
• quod ubique, quod semper, quod ab
omnibus creditum est”
(apa yang telah dipercaya dimana-
mana, selalu, oleh setiap orang)
Kewibawaan “tradisi iman”

• Aspek “traditio”: asal mula teks dan


penerusannya, sejarah hermeneutika Barat,
melahirkan……
• Fenomena: Pembacaan-pembacaan alegoris,
moral dan analogis terhadap Alkitab telah
bergeser kepada pembacaan berdasarkan
pendekatan historis kritis, hermeneutika
pembebasan (Misalnya: Reading the Bible
through new eyes – the eyes of another)
“Loci ortodoksi”
(pendekatan linguist Noam Chomsky)

• Teologi Kristen:
• Tradisi ekspresif (liturgi, bentuk-
bentuk empirik-praxis lainnya)
• Tradisi ortodoks (kitab suci, kredo,
konsili, konfesi, katekismus, dewan
pengajaran/magisterium)
• Teologi Lokal: Perjumpaan Teologi
magisterial/alkitabiah dengan teologi
komunitas yang setara
Kriterium Jati Diri Kristen

• Pertama: Sikap Kohesif – memelihara


identitas tradisi dengan doktrin, symbol dan
makna sebagai acuan
• Kedua: Konteks Liturgis – lex credendi, lex
orandi (hukum keyakinan harus sesuai
dengan hukum doa), ritual menjadi affirmasi
dan juga upaya pembaharuan tradisi
Kriterium Jati Diri Kristen

• Ketiga: Praxis komunitas – kompetensi


iman Kristen dalam menjawab
kebutuhan komunitas
• Keempat: Penilaian oleh Gereja Lain –
bagaimana “katolisitas” dan keesaan
sebagai ciri-ciri tradisional gereja
menyumbang pada arah berteologia
gereja lokal, melalui penilaian gereja-
gereja lainnya
Kriterium Jati Diri Kristen

•Kelima: Pengayaan lintas


denominasi – arah berteologia
gereja lokal menyumbang
kepada gereja-gereja lain supaya
peka terhadap tradisi dan
tantangan kulturalnya
Tugas Tradisi Gerejawi dalam Budaya

• KREDIBILITAS (dapat diandalkan) –


tradisi gerejawi akan diterima bila
keprihatinan nyata dari tradisi itu sesuai
dengan masalah-masalah nyata dalam
budaya
• INTELIGIBILITAS (dapat dipahami) –
tradisi gerejawi dapat dipahami oleh
manusia berbudaya. Sistem tanda/symbol
dan aturan dalam tradisi mestinya
mempunyai kedekatan dengan system
tanda dan aturan dalam berbagai ranah.
Tugas Tradisi Gerejawi dalam
Budaya
• KEWIBAWAAN (CHARISMA) – tradisi gerejawi mampu
memberikan kekuatan pada pemahaman-pemahaman teologis
yang dianut gereja, menegakkan kenormatifan tradisi teologis
dan fungsional dalam situasi pluralitas. Karisma tradisi
gerejawi mesti membari manfaat dalam masyarakat tradisional
maupun non-tradisional

• AFIRMASI (PENEGASAN) DAN TRANSFORMASI


(PEMBAHARUAN) – tradisi gerejawi terbuka pada inovasi
dan menjalinnya kedalam identitas suatu budaya. Secara
simultan, tradisi gerejawi mendapat afirmasi penganutnya dan
sekaligus terbuka pada pembaharuan keyakinannya terhadap
tradisi tersebut. Orang Kristen percaya bahwa Kekristenan
bukanlah sekedar kumpulan prinsip-prinsip etis, tapi berdasar
pada sejarah panjang penyataan Allah dalam Yesus Kristus.

Anda mungkin juga menyukai