Anda di halaman 1dari 4

Strategi Pelayanan Gereja di Era Digital

(Pdt. Wanto Menda)

Pengantar

Tidak perlu argumentasi panjang lebar untuk memperlihatkan betapa internet


dewasa ini sudah menjadi primadona dalam hidup masyarakat. Hampir tidak ada
lagi bidang dalam kehidupan kita yang tidak bersentuhan dengan internet.
Kebutuhan kita akan makanan, jodoh, aspirasi politik, kesehatan, hiburan, ilmu
pengetahuan, transportasi, sekolah, agama, ibadah, doa, dan seksualitas pun
telah melibatkan internet.

Semua perkembangan ini membuat internet telah, dengan meminjam ungkapan


filsuf Heidegger, cara mengada manusia itu sendiri (mode of being). Sebagai
manusia kita tidak lagi menggunakan internet, melainkan telah menginternet: kita
ada dalam dan melalui internet; internet bukan lagi perangkat yang terpisah dari
keberadaan kita, melainkan ia telah menjadi instrumen yang memungkinkan kita
mengada. Kemengadaan kita dimungkinkan dalam dan melalui internet. Tanpa
internet kita tidak ada. Artinya, tanpa internet, kita lumpuh, kita menjadi bukan
siapa-siapa.

Karena kita telah menginternet, dan tidak lagi menggunakan internet, maka
bukan kita (maksudnya: manusia) lagi yang mengubah internet, melainkan
sebaliknya: internet yang mengubah kita. Inovasi atau perubahan yang terjadi
dalam dunia digital dengan sendirinya mengubah kita. Bukan kita lagi yang
menggunakan internet, melainkan internet menggunakan kita. Internet
mengkonsumsi kita, dan bukan sebaliknya. Kita menyesuaikan diri kepadanya,
kepada pembaharuan-pembaharuan yang terjadi padanya.

Lihatlah perubahan gaya hidup yang terjadi berkat facebook, misalnya.


Bayangkanlah berapa banyak waktu yang dihabiskan oleh ratusan juta pemilik
account facebook untuk chatting atau sekadar surfing di sana. Berapa banyak
informasi, yang berguna maupun tidak berguna bersileweran di sana, dan
bagaimana semua itu mempengaruhi banyak orang. Banyak kejadian fenomenal di
dunia terjadi karena dengan dukungan internet. Si Joni pemanjat tiang bendera di
Belu, Dedy Sophaba komentator cilik motor JP dari Rote. Atau bom di Selandia
Baru dan Sri Lanka.

Itulah kemudahan-kemudahan yang ditawarkan internet. Internet menyimpan


jumlah pengetahuan yang maha dahsyat yang dapat kita peroleh hanya dengan
jari tangan untuk menekan tuts computer/mengusap layar perangkat elektronik
digital. Dari sinilah muncul istilah digital. Kata digital atau digit berasal dari Bahasa
Latin digitus yang berarti “jari-jari“.
Penggunaan Internet dan Perangkat Digital
Berbicara internet tidak bisa lepas dari perangkat digital. Perangkat digital yang
kita bicarakan di sini dibatasi pada gadget seperti smartphone/ponsel, tablet dan
sejenisnya. Pengguna gadget di Indonesia saat ini sangat besar. Indonesia dengan
jumlah penduduk 268 juta, jumlah ponsel yang beredar 355 juta. Dengan
penggunan internet dan platform media sosial sebanyak 150 juta orang. Riset
menunjukan bahwa, dalam sehari tiap orang memeriksa ponselnya sebanyak 80-
150 kali. Bahkan ada yang mencapai 300 kali. Atau rata-rata 6-12 kali per jam sehari.
Sementara durasi pemakaian mencapai 11 jam sehari.

Dari sisi situasi/kondisi, gadget dipakai saat menunggu 94%, tempat tidur 91%,
perjalanan 66%, bersama keluarga/teman 54%, nonton TV 54%, pertemuan di
ruang/kelas 42%. Sementara pengguna platform media sosial terdiri dari: Youtube
88%, WA 83%, FB 81%, Instagram 80%, line 59% dan Twitter 52%.

Data pengguna smartphone di NTT juga mengalami kenaikan cukup signifikan.


Dari sekitar 5 juta penduduk NTT, 3,1 juta menggunakan Telkomsel dan penjualan
smartphone di tahun 2017 mencapai 700 ribu. Tentu sekarang jumlahnya bisa jadi
sudah lebih dari 1 juta.

Gereja Merespon Perkembangan Teknologi Digital

Salah satu perkembangan teknologi di masa lalu yang memberi pengaruh sangat
besar bagi dunia adalah penemuan mesin cetak (mesin tik) oleh Johannes
Gutenberg pada tahun 1450-an. Karya utama yang fenomenal dari penemuan
mesin cetak ini adalah alkitab versi cetak. Catatan sejarah ini penting untuk
menunjukan kepada dunia bahwa gereja merupakan lembaga yang memberi
kontribusi luar biasa bagi dunia bahkan sebelum munculnya apa yang disebut
industry 1.0. (industry 1.0 baru muncul abad ke 19 yang ditandai dengan penemuan
mesin uap oleh James Watt).

Memasuki era industri 4.0 sekarang, kita bersyukur gereja tidak ketinggalan.
Setidaknya dari segi teknologi digitalisasi, LAI misalnya sudah meluncurkan Alkitab
digital. Meski penggunaannya dalam kebaktian di gereja-gereja di Indonesia masih
menjadi perdebatan namun ini cuma soal waktu saja.

Bagaimana dengan GMIT? Dokumen Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT dalam kaitan


dengan misinya mencatat bahwa GMIT mengakui perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat dipergunakan sebagai media pewartaan Injil.
Namun dalam penggunaannya gereja harus kritis terhadap kekuatan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Dalam praktiknya, upaya GMIT merespon perkembangan media digital berwujud


dengan hadirnya dua platform/aplikasi yang sedang dikembangkan. Pertama,
media online berbentuk website bernama, sinodegmit.or.id. Dan, kedua Diakonia
Digital GMIT. Yang ini sudah ada MoU antara Telkomsel dengan MS GMIT pada
tahun 2017 lalu tapi belum dimaksimalkan sampai sekarang.
Lantas sejauhmana gereja memanfaatkan perkembangan teknologi digital ini bagi
pengembangan pelayanan. Di GMIT kita kenal ada lima aspek pelayanan yakni:
Koinonia, Diakonia, Marturia, Liturgia dan Oikonomia. Pertanyaannya adalah,
apakah mungkin kelima aspek ini bisa dilayani dengan memanfaatkan teknologi
digital? Jawabannya adalah sangat mungkin bahkan harus. Mengapa, oleh karena
sebagaimana hasil riset yang disebutkan diawal, hampir seluruh aktifitas manusia
saat ini melibatkan perangkat digital. ***

Anda mungkin juga menyukai