Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Alkitab menjelaskan pada mulanya manusia mempunyai hubugan harmonis dengan


Allah sebagai pencipta segala sesuatunya (Lih. Kejadian. 2:15). Dalam teks ini Samuel J.
Schultz memaparkan dalam bukunya, Manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki
keistimewaan, manusia adalah makhluk yang cerdas dan bertanggung jawab dan memiliki
keunggulan-keunggulan.1 Setelah itu, manusia juga diberikan suatu kehormatan dari Allah
untuk memberikan nama-nama kepada binatang, kemudian untuk mengusahakan dan
memelihara taman Eden, dalam hal inilah tampak bahwa manusia memiliki hubungan yang
harmonis dengan Allah2. Tetapi, karena kejatuhannya ke dalam dosa, manusia tidak dapat
mengenal Allah Yang Maha Esa (Kejadian 3:1-23; Roma 3:23). Sejak saat itulah hubungan
yang harmonis antara Alla dengan manusia menjadi rusak. Namun demikian manusia dengan
sejarah keagamaannya selalu berusaha menjalin kembali hubungan yang harmonis tersebut. 3
Selanjutnya, manusia berusaha untuk mencari berbagai konsepsi tentang ketuhanan dari tiap-
tiap kepercayaan (agama). Tiap-tiap agama memiliki konsepnya sendiri tentang “tuhan” dan
konsep keselamatannya sendiri. Agama Tiongkok-Kuno, di dalam agama ini terdapat
penekanan kepada perbuatan baik untuk mencapai kehidupan yang seimbang di dunia dan
akhirat.4 Dalam pemahaman agama Tiongkok ini manusialah yang menentukan nasib dan
tujuan kehidupannya itu sendiri.5 Sebab itu, ada tiga tema pokok dalam pemahaman agama
Tiongkok-Kuno ini. Pertama, Konfusianisme. Kedua, Taoisme. Ketiga, Moisme. Melalui hal
inilah mereka dapat selamat.6 Selanjutnya, agama Islam memiliki konsep keselamatan yang
didasarkan kepada Al-Qur’an. Agama Islam memiliki 3 kata kunci yang bersifat mutlak
dalam Al-Qur’an, yakni An-Najab, As-salam dan Inqaz. 7 Konteks An-Najab ini sebagai
penegasan terhadap jalan keselamatan yang akan dimiliki oleh manusia apabila ia beriman
kepada Allah, mempunyai moral yang baik dan memeluk agama Islam. Sedangkan konsep
keselamatan As-Salam ditafsirkan sebagai konsep keselamatan yang bergantung kepada
1
Samuel J. Schultz, Pengantar Perjanjian Lama Taurat Dan Sejarah (Malang: Gandum Mas, 1964).
2
Robi Panggarra, “Kajian Biblika Tentang Pasangan Yang Sepadan Berdasarkan Kejadian 2 : 8-25 Dan
Implikasinya Bagi Orang Kristen Masa Kini” (n.d.): 239–246.
3
A.G.Honig Jr, Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987).
4
H.M.Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar (Jakarta: CV Serajaya, 1980), 46.
5
Ibid., 47.
6
Suhandhy Susantio, Teologi Agama-Agama (Tawangmangu, 2018).
7
Salamah Eka Susanti, “Konsep Keselamatan Dalam Al-Qur’an,” HUMANISTIKA : Jurnal Keislaman
4, no. 2 (2018): 185–197.
“Keimanan dan ketulusan dalam menjalankan syari’at Allah” yaitu syari’at yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. Jika klaim keselamatan diatas di hubungkan. Maka, kebenaran dan
keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang yang menganut agama Islam yang
diperkenalkan oleh Nabi Muhammad8. Hal ini selaras dengan Ibnu Katsir, Sayyid Qutb.
Bahwa, keselamatan hanya tersedia oleh Islam yaitu taat dalam penyerahan diri terhadap
Allah, taat terhadap syari’atnya dan mengikuti Rasulnya.9 Pernyataan diatas memberikan
indikasi bahwa setiap agama memiliki konsep keselamatan yang berbeda-beda. Ditengah-
tengah konsep keberagaman inilah kekristenan hadir dengan klaim finalitas Kristus yang
akan menjadi jawaban bagi seluruh umat manusia.

Kekuatan iman Kristen yaitu finalitas Kristus yang bersumber kepada Alkitab yang
hakikatnya adalah Firman Allah.10 Alkitab menjelaskan bahwa pertama Yesus telah
berinkarnasi sehingga manusia yang berdosa diselamatkan. John Stott mengatakan “Yesus
yang berinkarasi memberikan pernyataan historis tentang diri-Nya kepada dunia”. Kedua,
pendamaian. Tujuan inkarnasi adalah pendamaian, kelahiran dan kematian-Nya memberikan
keselamatan bagi seluruh manusia yang telah jatuh dalam dosa. Ketiga, kebangkitan.
Kebangkitan-Nya merupakan tanda bahwa Dia benar-benar Allah yang memberikan
keselamatan bagi manusia, jika Kristus tidak bangkit dari kematian-Nya maka, klaim-Nya
sebagai Allah tidak dapat dibenarkan (Lih. Roma 1:4). Jadi ketiga hal inilah yang menjadi
paham kekristenan yang bersifat final. Hanya ada satu jalan (Yohanes 15:6), hanya ada satu
nama yang menyelamatkan (Kisah Para Rasul 4:12), dan perantara manusia dengan Allah
hanya Yesus (1 Timotius 2:5-6). Hanya oleh karena-Nya yang adalah Allah, menyerahkan
diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi seluruh umat manusia yang telah berdosa sehingga
mereka dapat diselamatkan. Inilah suatu finalitas kekristenan, yaitu Kristus adalah satu-
satunya Tuhan yang menjadi juruselamat bagi umat manusia.11 Selanjutnya, presuposisi yang
tertinggi dari Alkitab merupakan Yesus Kristus adalah Allah kemudian hal ini merupakan
dasar yang mutlak dan tidak dapat dipisahkan atau direduksi salah satu kebenarannya. Yesus
Kristus adalah Allah penyataan ini tidak dapat dibantah menurut asumsi-asumsi yang bersifat

8
Ibid.
9
Ibid.
10
Kevin T Rey, “Konsep Yesus Anak Allah: Suatu Apologetika Terhadap Pandangan ‘Allah Tidak
Beranak Dan Tidak Diperanakkan,’” Antusias: Jurnal Teologi dan Pelayanan 2, no. 3 (2013): 166–195,
https://www.sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/56.
11
Kalis Stevanus, Apologetika: Benarkah Yesus Itu Tuhan? (Yogyakarta: Andi, 2016), 224–226.
pragmatis, karena pada hakikatnya Alkitab yaitu Firman Allah memaparkan sekaligus
menjadi sumber yang sahih berkaitan dengan Yesus sebagai Allah.12

Kekristenan sebagai salah satu agama besar di dunia, sering mendapatkan pertanyaan-
pertanyaan sehubungan dengan seperangkat keyakinan yang dimilikinya. Terlebih di
Indonesia, yang kental dengan pluralitas agama, iman Kristen sering mendapatkan pertanyaan
dari penganut agama dan kepercayaan yang lain. Beberapa contoh berikut merupakan fakta
dan realitas tersebut. Penulis melihat dalam acara hari peringatan KH. Abdullah Wasi’an
pada tahun 2017, kegiatan ini menggelar suatu acara Dialog Ilmiah Lintas Agama dengan
tema “Keselamatan Hanya oleh Iman Kepada Tuhan Yesus?”. Dalam acara ini, Pdt. Esra
Soru dan Pdt. Budi Asali yang menjadi narasumber kemudian berapologet akan finalitas
keselamatan Kristus.13 Selanjutnya, terjadi suatu perdebatan antara Kristen dan Islam dalam
salah satu acara. Tema dalam acara ini “Adakah Keselamatan Dalam Kristen?”. 14 Kemudian,
perdebatan finalitas Kristus-pun terjadi lagi di Indonesia, tepatnya delapan bulan lalu. Dalam
acara ini islam menuntut bukti kebenaran dalam kekristenan, dan sebaliknya.15 Bangsa
Indonesia telah terbentuk dari berbagai keanekaragaman suku dan budaya, sehingga
pluralisme telah menjadi suatu bagian yang tidak dapat terlepas dari kehidupan
kesehariannya.16 Longman Dictionary yang dikutip oleh Eko Setiawan memaparkan bahwa
pluralisme merupakan suatu prinsip bahwa agama, suku, dan budaya bahkan perbedaan
dalam berpolitik dapat hidup berdampingan bersama.17 Sedangkan menurut John Hick
pluralisme agama merupakan suatu ide bahwa agama-agama besar di dunia merupakan suatu
serapan dari konsepsi yang berbeda mengenai sang khalik dari variasi-variasi yang ada pada
kultur manusia.18 Hal ini tidak dapat ditolak lagi, kekristenan di Indonesia rupanya harus
menghadapi realitas diatas. Realita tersebut mendorong orang percaya untuk bersikap secara
tepat dalam mengaktualisasikan imannya. Kehadiran orang Kristen di tengah pluralitas suku,
agama, ras dan golongan serta penerimaan atas HAM, memunculkan pilihan yang tidak

12
Rey, “Konsep Yesus Anak Allah: Suatu Apologetika Terhadap Pandangan ‘Allah Tidak Beranak Dan
Tidak Diperanakkan.’”
13
Budi Asali, “Debat Islam vs Kristen Ke-7 Bagian 2 (Video Tanpa Edit)” (Indonesia, 2007),
https://youtu.be/cZJ3QKbnhsl.
14
Edy Prayitno, “(LIVE) Debat Islam VS Kristen, Adakah Keselamatan Dalam Kristen?” (Indonesia,
2020), https://youtu.be/I2VRAJOAj5g.
15
Laboratorium Sains Kristologi Ponpes Al Hadid, “Bukti Kebenaran Islam - Kristen || DEBAT
SPEKTAKULER ISLAM - KRISTEN || LSK” (Indonesia, 2020).
16
Agustinus Pratisto Trinarso, “Menggagas Pendidikan Berbasis Pluralisme,” Jurnal Filsafat 02, no. 01
(2013).
17
Wardani Wardani, “Pluralisme Agama Dan Dialog Teologi,” Khazanah: Jurnal Studi Islam dan
Humaniora, no. 55 (2016).
18
Harda Armayanto, “Problem Pluralisme Agama,” Tsaqafah 10, no. 2 (2014): 325.
mudah. Mengingat, di satu sisi mereka harus memegang finalitas Imannya namun disisi
lainnya mereka juga harus menerima perbedaan.19

Pada hakikatnya orang Kristen harus tetap siap sedia dalam memberikan suatu
pertanggung jawaban iman mereka kepada mereka yang bertanya (Lih. 1 Petrus 3:15). Dalam
teks Yunani kata “pertanggung jawaban” menggunakan kata apologia yang mempunyai
pengertian “pembelaan”, kemudian dari akar kata inilah timbul kata apologetika yang berarti
pembelaan iman berdasarkan pola pikir yang sistematis. Kejadian yang dialami oleh Petrus
dan Yohanes dalam Kisah Para Rasul 4:1-22 juga memberikan sumbangsih kepada
kekristenan agar tetap siap sedia dalam mempertanggung-jawabkan iman mereka. Petrus dan
Yohanes tetap berkata-kata tentang keselamatan yang hanya ada pada Yesus Kristus
walaupun mereka didesak oleh para pemimpin Yahudi, tua-tua dan para ahli Taurat untuk
tidak berbicara lagi dengan siapa pun dalam nama itu (Yesus Kristus). Menjadi hal yang
mutlak untuk seluruh manusia yang mengaku dirinya memeluk agama Kristen wajib
berapologetika mengenai imannya, karena ke-Kristenan tidak dapat dipisahkan dari Alkitab,
demikian juga ke-Kristenan dengan apologetika. 20 Selanjutnya, terdapat beberapa metode di
dalam berapologetika yang perlu dimengerti dan dikuasai oleh setiap orang Kristen agar
dapat menerapkannya di tengah-tengah masyarakat majemuk. Apologetika sebagai
pembuktian aspek ini menjelaskan mengenai pembuktian dasar rasional bagi iman ke-
Kristenan kemudian membuktikan kebenarannya, Clark Pinnock yang dikutip oleh Kalis
Stevanus dalam bukunya memaparkan, bahwa fakta yang mendukung pengakuan kristiani
bukan hanya dari aspek kerohanian yang bersifat khusus saja. Namun, ada fakta kognitif dan
informasi sama seperti semua fakta yang menjadi dasar semua keputusan sejarah, hukum, dan
keputusan umum lainnya. Apologetika sebagai pembelaan fokus dalam bagian Kalis
Stevanus menjelaskan, adalah untuk menjawab keberatan-keberatan dan ketidakpercayaan,
bagian ini menjelaskan bagaimana orang Kristen dapat berapologetika sebagai pertahanan
atau pembelaan imannya (defensif). Selanjutnya, Apologetika sebagai penyerangan (ofensif),
penyerangan disini adalah menyerang kebodohan atau kebebalan (Lih. 1 Kor 1:18-2:16).
Peter Kreeft dan Ronald K.Tacelli mengatakan bahwa apologetik itu dapat diumpamakan
seperti peperangan. Argumentasi-argumentasi apologetik diumpamakan sebagai
perlengkapan perang.21
19
Nashrul Wahyu Suryawan, “Implementasi Semangat Persatuan Pada Masyarakat Plural Melalui
Agenda Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Malang” (Universitas Pendidikan Indonesia Bandung,
2016), http://repository.upi.edu/.
20
Kalis Stevanus, Apologetika: Benarkah Yesus Itu Tuhan?, 2.
21
Ibid., 23–28.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis terdorong untuk meneliti
Supremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul 4:12: Sebuah Studi Apologetika bagi
Masyarakat Majemuk di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik perumusan masalah
yaitu:
1.2.1 Bagaimanakah makna supremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul 4:12?

1.2.2 Bagaimanakah berapologet di tengah masyarakat majemuk tentang makna finalitas


Kritus dalam Kisah Para Rasul 4:12?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Telah diketemukan makna supremasi Kristus dalam kajian Apologetika Kisah Para
Rasul 4:12.

1.3.2 Telah diketemukan metode berapologet finalitas Kristus dalam Kisah Para Rasul
4:12.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Guna menghindari pembahasan yang melebar dan tidak terarah maka penulis
membatasi pembahasan penelitian hanya berdasarkan pada Kisah Para Rasul 4:12.
Sedangkan hasil penelitian dibatasi hanya untuk menemukan metode untuk berapologet
Supremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul 4:12 di tengah-tengah masyarakat majemuk di
Indonesia.

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini, pertama agar dapat memberikan kontribusi
kepada orang percaya di Indonesia. Kontribusi berupa sumbangan teori tentang supremasi
Kristus terhadap kekristenan di Indonesia agar orang percaya dapat berapologet di tengah-
tengah masyarakat majemuk. Kedua memberikan sumbangan teoritis bagi para peneliti
selanjutnya yang akan meneliti tentang supremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul 4:12.

1.5.1 Secara Teoritis

Pertama, untuk dapat memahami secara komprehensif mengenai supremasi Kristus


dalam Kisah Para Rasul 4:12.

Kedua, yaitu supaya orang percaya di bangsa Indonesia mampu menjaga ke-
finalitasan Kristus ditengah-tengah keberagaman yang ada di bangsa Indonesia.

1.5.2 Secara Praktis


Pertama, untuk setiap orang percaya di bangsa Indonesia dapat memahami finalitas
Kristus.

Kedua, supaya setiap orang percaya di Indonesia mulai menjalankan metode-metode


dalam berapologet ditengah-tengah masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

1.6 Metodologi Penulisan

Dalam penulisan Skripsi ini pertama penulis menggunakan metode Eksegese Teksual.
Metode penafsiran ini berusaha untuk mengerti suatu teks dengan memerhatikan aturan
gramatikal (tata bahasa) dan sastra, fakta historis, serta kerangka konteks. Metode penafsiran
ini adalah yang terbaik karena hal tersebut haruslah dimiliki secara bersama oleh penafsiran
dan penulis untuk menentukan arti teks tersebut. Dasar dalam menggunakan metode ini
adalah dengan memprioritaskan teks Alkitab dalam Bahasa asli (Ibrani, Aramik, Yunani),
artinya patokan pengertian istilah dan tata Bahasa haruslah pada teks Bahasa asli.22

Selanjutnya, yang kedua penulis menggunakan metode peneltian dalam skripsi ini
adalah studi Pustaka. Yaitu bahan-bahan tersebut dapat ditemukan dalam kepustakaan yang
berwujud jurnal, buletin penelitian, tesis, disertasi, skripsi, dan sumber bacaam lain yang
memuat laporan hasil penelitian.23

1.7 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, berikut penulis
memaparkan tiap babnya:

Bab I, berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, manfaat penulisan, metodologi penelitian,
definisi istilah, dan sistematika penulisan.

Bab II, merupakan landasan teori berisi tentang pengertian supremasi Kristus,
berdasasrkan Alkitab, problematika tentang supremasi Kristus, metode-metode dalam
berapologet menurut para pakar dan pandangan para pakar mengenai studi apologetika
supremasi Kristus.

Bab III, merupakan studi eksegese terhadap suremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul
4:12, maka peneliti perlu menganalisa dan melakukan eksegese teks di dalam Kisah Para
22
Rainer Scheuneman, Paduan Lengkap Penafsiran Alkitab (Yogyakarta: Andi, 2009), 17–19.
23
Hendrik Rawambaku, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 38.
Rasul 4:12 dengan memperhatikan konteks umum surat, konteks historis surat, bentuk sastra,
Teologi surat, bentuk dan struktur, dan analisis eksegesa agar menemukan pemahaman
teologis yang terkandung didalam teks sintesa.

Bab IV, adalah berapologet tentang Supremasi Kristus dalam Kisah Para Rasul 4:12
di tengah masyarakat majemuk . Pada bab ini pembahasan berisi penggabungan dari hasil
Teori kepustakaan dan Kajian Biblika.

Bab V, berisi tentang penutup yang di dalamnya berisikan simpulan dari semua yang
peneliti tulis di bab-bab sebelumnya, peneliti menyimpulkan dari hasil-hasil pengkajian
tersebut kemudian menjadi suatu karya ilmiah yang sangat bermanfaat.

1.8 Definisi Istilah

1.8.1 Supremasi Kristus

Pengertian supremasi Kristus menurut Kalis Stevanus, M.Th adalah, Yesus


sebagaimana yang diakui-Nya, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa Dia
adalah Allah, Dia adalah yang tertinggi dari segalanya yang ada.24 Alkitab dengan tegas
menyatakan bahwa Yesus adalah kebenaran (lih.Yohanes 14:6; Kisah 4:12. Hal ini
disingkapkan oleh Allah bukan melalui pengalaman, Yesus juga berkali-kali menegaskan
bahwa siapa pun yang mengenal-Nya maka mengenal Allah Melalui Alkitab Yesus
menyatakan natur-Nya dan eksistensi-Nya. Donald Guthrie yang dikutip oleh Bambang
Subandrijo dalam bukunya, mengatakan Yesus adalah gambar Allah dan pemilik kepenuhan
Allah (pleroma) Allah. hal ini menunjukan bahwa Yesus adalah Allah yang. Sebenarnya
Guthrie ingin menunjukan superioritas Yesus Kristus yang tidak terukur.25 Menyimpulkan
dari pengertian diatas maka supremasi Kristus adalah suatu pernyataan dimana Yesus Kristus
adalah Allah yang memiliki eksistensi tertinggi.

1.8.2 Kisah Para Rasul 4:12

Kisah Para Rasul (selanjutnya disingkat ‘Kisah’) seakan-akan memberi gambaran


historis tentang kehidupan dan perkembangan gereja perdana, sejak awalnya di Yerusalem
hingga Paulus di Roma. Dalam melaporkan perkembangan pekabaran Injil, penulis
melakukan teologisasi atas khotbah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Petrus,
Stefanus, Filipus, dan Paulus. Dalam mempelajari Kisah, hal yang perlu dikaji secara kritis
24
Kalis Stevanus, Apologetika: Benarkah Yesus Itu Tuhan?, 207.
25
Bambang Subandrijo, Menyingkapkan Pesan-Pesan Perjanjian Baru (Jakarta, 2009), 147.
adalah hubungan antara teologi dan sejarah. Di dalamnya meliputi pemikiran teologis penulis
(yang sering disebut sebagai ‘Lukas’ itu) mengenai Roh Kudus, Kristus dan karya
penyelamatan-Nya, gereja dan eskhatologi.26

1.8.3 Studi Apologetika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, studi berarti kajian atau dapat dikatakan
sebagai penelitian ilmiah.27 Hal yang diteliti pada skripsi ini ditujukan kepada supremasi
Kristus di tengah-tengah bangsa Indonesia.

Menurut Kalis Stevanus, apologetika merupakan kata teknis untuk menggambarkan


alasan dari hal yang kita percayai. Jika kita berbicara tentang Yesus Kristus kepada orang
non-Kristen, kita sesungguhnya telah menggunakan apologetika untuk menjelaskan
kepercayaan kita.28 Menurut Ronald H. Nash, yang dikutip oleh Kalis Stevanus dalam
bukunya istilah apologetika dapat dimengerti sebagai pembelaan filosofis iman Kristen.
seseorang yang terlibat dengan apologetika berusah untuk menunjukan bahwa orang percaya
berhak dalam mempercayai pokok-pokok esensial iman Kristen.29

1.8.4 Masyarakat Majemuk di Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat adalah sejumlah manusia dalam
arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.30

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, majemuk berarti terdiri atas beberapa
bagian (keanekaragaman) yang merupakan kesatuan.31

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Indonesia dari kata India bahasa latin
untuk menyebutkan Hanidiadan Nesos dari bahasa Yunani yang artinya kepulauan. Dengan
demikian kata Indonesia diartikan sebagai kepulauan Hindia. Indonesia merupakan nama
negara kepulauan di Asia Tenggara yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia.
Indonesia juga dapat diartika sebagai, bangsa dan budaya yang ada di Indonesia.32

26
Ibid., 125.
27
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007).
28
Kalis Stevanus, Apologetika: Benarkah Yesus Itu Tuhan?, 9.
29
Ibid.
30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
31
Ibid.
32
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai