Anda di halaman 1dari 19

PARADIGMA TEOLOGI MISI

“Misi sebagai Gereja, Misi sebagai Missio Dei, Misi sebagai Perantara Keselamatan”

KELOMPOK 7
CHARLES TANGEL
WASTI LENDO
CHRISTANIA LUMAPOW
KEVIN SONDAKH
BLESSY PONGANTUNG
MAGGIE HAMEL
GRADEO ANGKOUW
NIKEN NARAY
JEVANDRI PITER
CHRISTIADY KAMBEY

DOSEN:

PDT. DR. LINDA PATRICIA RATAG, M.TH,. MAICS

YAYASAN GMIM DS. A.Z.R WENAS

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

FAKULTAS TEOLOGI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena berkat tuntunan dan cinta kasih-Nya
sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat dengan maksud untuk
memenuhi tugas mata kuliah Paradigma Teologi Misi yang diampu oleh Pdt Linda Patricia Ratag,
M.Th, MAICS. Kiranya materi ini dapat bermanfaat bagi kelompok bahkan para pembaca. Adapun
dalam makalah ini menjelaskan tentang Unsur-unsur Paradigma Misi Oikumenis “Misi sebagai
Gereja, Misi sebagai Missio Dei, Misi sebagai Perantara Keselamatan”.

Harapan kelompok semoga makalah ini dapat membantu, menambah pengetahuan, dan
pengalaman dari pembaca. Dan di dalam pembuatan makalah ini, kelompok menyadari
kekurangan dalam hal penulisan dan kelengkapan materi. Oleh karena itu, kelompok
mengharapkan para pembaca untuk memberikan masukkan dan saran yang bersifat membangun
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.

Terima kasih, Tuhan Yesus memberkati.

Kelompok 7

Tomohon, 24 April 2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………..………..

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………..……………...

1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..……………………..

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan……...………………..……………………………………...

1.4 Sistematika Penulisan……………………………………………………………………......

BAB II

PEMBAHASAN………………………………………………………………………………...

2.1 Misi sebagai Gereja………………………………………………………………………….

2.2 Misi sebagai Missio Dei……………………………………………………………………..

2.3 Misi sebagai Perantara Keselamatan………………………………………………………...

BAB III

PENUTUP………………………………………………………………………………………

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...…...

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Misi adalah tugas yang diterima gereja sebagai mandat atau perintah langsung dari Tuhan
Yesus dalam konteks perannya dalam dunia ini. Misi adalah inisiatif dari Allah. Dia mengutus
umat-Nya untuk memberitakan Injil dengan jelas. Misi bukanlah pilihan dipertimbangkan tetapi
misi adalah perintah yang harus dilaksanakan. Tujuan dari misi ini adalah untuk memulihkan
hubungan manusia dengan Tuhan, membawa orang mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan
memuliakan Allah. Misi juga merupakan rencana perdamaian dari Allah untuk menyelamatkan
dan menyatakan kerajaan-Nya di bumi, yang harus dilakukan oleh setiap orang percaya melalui
pelayanan kepada sesama. Kehadiran gereja di dunia adalah karena tugas yang harus dilakukan
disampaikan ke dunia. Salah satu tugas gereja adalah memberitakan kabar baik kepada dunia
tentang pekerjaan keselamatan Tuhan kepada manusia. Alkitab memiliki banyak catatan penting
tentang bagaimana pergerakan para murid dan gereja mula-mula dalam menanggapi ini. Sesuai
dengan perintah yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika hendak naik
ke surga, yaitu "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukaan segala sesuatu yang
telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir
zaman.” (Matius 28:19-20). Amanat Agung Yesus ini bukanlah suatu tantangan, melainkan
tanggung jawab yang harus dipikul, dan untuk semua orang percaya untuk pergi ke seluruh dunia
dalam beritakanlah Injil kepada setiap makhluk.1 Semua orang percaya memiliki mandat untuk
mendedikasikan diri mereka untuk membuat Injil menjadi perhatian seluruh umat manusia, ini
adalah tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan.2

Gereja adalah komunitas dalam menanggapi Missio Dei yang menjadi saksi aktivitas Allah
di dunia melalui memberitakan kabar baik tentang Yesus Kristus dalam ucapan dan tindakan.3
Gereja hanya menjadi gereja yang sebenarnya ketika terlibat dalam menjalankan misi Allah di
tengah-tengah dunia. Gereja itu menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai gereja Allah
adalah salah bentuk gereja yang misioner. Keterlibatan gereja dalam kehidupan masyarakat dalam
konteks misi Allah yang dicita-citakan itu tidak mudah. Banyak rintangan menghadang. Satu dari
kendalanya masih ada kesalahpahaman tentang arti misi Gereja.

Misi diambil dari bahasa Latin Mitto, yaitu terjemahan dari bahasa Yunani apostello yang
berarti mengutus. Istilah misi dalam bahasa Inggris yang tidak memiliki arti alkitabiah yang sejajar
itu tidak memiliki makna yang luas. Misi lebih luas dari aktivitas gereja. Missio Dei istilah yang

1
Murray W. Downey, Cara-cara Memenangkan Jiwa (Bandung: Kalam Hidup, 1957), hlm 5
2
J. I. Packer, Penginjilan Dan Kedaulatan Allah Evangelism And The Sovereignty Of God (Surabaya: Momentum,
2003), hlm 16
3
J. Andrew Kirk, Apa Itu Misiologi?, (Jakarta, Gunung Mulia, 2015), hlm 37

4
diberikan oleh Karl Hartenstein dalam 1934 digunakan pada konferensi WILINGEN untuk
menekankan misi adalah milik Allah dan bukan gereja. Karena luasnya makna misi, maka definisi
misi dapat dibuat berdasarkan orientasi teologis sekedar melakukan analisa etimologis.

Sebelum berbicara tentang gerakan oikumenis, perlu diketahui terlebih dahulu kata
oikumenis. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, dari kata kerja Oikeo yang berarti berdiam, tinggal
atau mendiami. Oleh karena itu, secara harfiah berarti hidup atau mendiami'. Menurut Christian
De Jonge, Oikumene adalah kata yang diambil dari bahasa Yunani, yaitu Partium preacentris
passivum feminium dari kata kerja oike “tinggal” jadi kata oikumene berarti "didiami".4 Tapi
participum ini sudah memiliki arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah geografis:
Dunia yang dihuni Lukas 4:5, Rom. 10:18, Ibr. 1:6 dan lain-lain. Dari sana kata ini juga bisa
berarti: Seluruh umat manusia Bertindak. 17:31,19:27, Why.12:9, kemudian istilah ini mendapat
arti politis dari kekaisaran Romawi Kis.24:5 sedangkan dari bidang politik istilah oikumenis mulai
digunakan oleh gereja. Oikumene seluruh dunia yang didiami dan dikuasai oleh Kekaisaran
Romawi menjadi tempat di mana gereja menjalankan misinya. Pemahaman modern yang muncul
pada pertengahan abad yang lalu pada awalnya diartikan sebagai keinginan untuk melampaui dan
mengatasi batas-batas konvensional yang memisahkan orang-orang Kristen. Singkatnya, makna
modern tidak lagi mengacu pada kenyataan seperti dulu tetapi kepada suatu tujuan usaha dan
perjuangan yaitu satu gereja, untuk tujuan ini harus diwujudkan secara nyata.

1.2 Rumusan Masalah

Apa dan bagaimana itu Misi sebagai Gereja, Misi sebagai Missio Dei dan Misi sebagai
Perantara Keselamatan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Menjelaskan dan Mengetahui tentang Misi sebagai Gereja


2. Menjelaskan dan Mengetahui tentang Misi sebagai Missio Dei
3. Menjelaskan dan Mengetahui tentang Misi sebagai Perantara Keselamatan.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan makalah ini,
kelompok mencari referensi dari berbagai buku, artikel yang ada. Selain itu, kelompok juga
mencari referensi dari internet dan mendownload e-book.

4
Dr. Christian de Jonge, Gereja mencari jawab, Kapita Selekta Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013),
hlm 1

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Misi sebagai Gereja

Dalam sebuah penelitian Avery Dulles (1876) mengidentifikasi lima jenis utama gereja.
Gereja, katanya, dapat dilihat sebagai institusi, sebagai tubuh mistis dari Kristus, sebagai
sakramen, sebagai pemberita atau sebagai hamba. Masing-masing tipe ini sesuai dengan
interpretasi yang berbeda tentang hubungan antara gereja dan misi. Untuk memahami pergeseran
pemikiran Protestan tentang hubungan antara gereja dan misi, kontribusi konferensi dunia menurut
David J. Bosch sangat penting untuk dipahami, misalnya konferensi Edinburgh 1910. Di
Edinburgh perhatian besar ditujukan pada tidak adanya antusiasme misionaris di antara gereja-
gereja di Barat, pernyataan teologis tentang hubungan antara gereja dan misi hampir tidak
tersentuh, tetapi pada konferensi IMC di Yerusalem, hubungan antara gereja tua dan gereja muda
mendapat perhatian yang cukup besar dan terbagi atas wilayah geografis yang luas. .

Pada tahun 1938 hubungan antara gereja dan misi dan antara gereja tua dan gereja muda
dalam suatu cara yang teologis. Perbedaan antara negara-negara Kristen dan non-Kristen pada
prinsipnya telah diabaikan. Ini berarti bahwa Eropa dan Amerika Utara juga harus
dipertimbangkan sebagai ladang misi. Garis pemisah tidak lagi terbentang antara Kekristenan dan
Kekafiran, antara gereja dan dunia, tetapi menurut penulis, mungkin saja di dalam gereja juga ada
orang yang tidak percaya atau orang yang kafir. David J. Bosch juga berbicara tentang ketegangan
dalam Perang Dunia I, kebangkitan ideologi radikal seperti Naziisme serta teologi antroposentris
dan Protestan liberal, yang memengaruhi perkembangan gereja dan misinya.5

Hakikat Misioner

Ekklesiologi atau gereja pada dasarnya dilihat sebagai misionaris, yang dapat kita temukan
dalam Perjanjian Baru, tepatnya dalam 1 Petrus 2:9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat
yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan
perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan
kepada terang-Nya yang ajaib”. Di sini gereja bukanlah yang mengutus tetapi yang diutus misinya
(gereja itu sendiri). Gereja dalam misinya harus membangun dirinya sendiri demi terwujudnya
misi gereja itu sendiri, yang tidak lain adalah misi Allah. Oleh karena itu, menurut David J. Bosch
Ekklesiologi tidak mendahului misiologi, misi bukanlah kegiatan pendampingan dari gereja yang
mapan dan kuat, tetapi suatu usaha yang saleh, kegiatan misioner bukanlah berbicara tentang
keutamaan pekerjaan/karya gereja tetapi gereja yang bekerja dan berkarya. Ini adalah tugas yang
berhubungan dengan seluruh gereja, karena Allah adalah Allah yang misioner jadi umat Allah juga
harus misioner. Ketika kita berbicara tentang gereja pada saat yang sama kita telah berbicara

5
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), hlm 565-567

6
tentang misi, dengan kata lain gereja dan misi tidak dapat dipisahkan, karena gereja pada
hakikatnya adalah misioner dan misi pada hakikatnya bersifat gerejawi. Gereja dan misi sejak
mulanya sudah terikat, gereja tanpa misi atau misi tanpa gereja merupakan kontradiksi, karena hal
seperti itu tidak ada. Perspektif seperti itu berimplikasi pada pemahaman kita tentang katolisitas
gereja. Tanpa misi, gereja tidak bisa disebut katolik. Semua ini tidak berarti selalu dan secara
terbuka terlibat di mana-mana dalam kegiatan misioner. Namun, hal itu dapat dibedakan dari
dimensi misioner dan tujuan misionernya.6

Umat Allah Berziarah

Gereja sebagai komunitas orang percaya dipandang sebagai umat Allah, dan berimplikasi
sebagai gereja yang berziarah. Dalam Protestantisme kontemporer, ide ini pertama kali muncul
dengan jelas dengan pandangan teolog Dietrich Bonhoeffer pada konferensi IMC di Willingen
pada tahun 1952. Dalam hal Katolokism, pemahaman ini telah dikembangkan oleh Yves Congar
sejak tahun 1937 tetapi tidak disukai oleh banyak orang, khususnya di kalangan masyarakat hirarki
dari zaman pra-konsili. Rujukan konsili yang klasik adalah gereja sebagai umat Allah dapat dilihat
sebagai satu-satunya model gereja yang hanya menurut konsili.

Dasar alkitabiah di sini adalah umat Allah yang mengembara, yang begitu menonjol dalam
surat kepada orang Ibrani. Gereja adalah peziarah bukan hanya karena alasan praktis bahwa di
zaman modern ini Gereja tidak lagi dapat menjadi penentu arah dan menemukan dirinya di mana-
mana dalam situasi diaspora; di sisi lain, menjadi peziarah di dunia pada dasarnya adalah posisi
gereja yang eks-sentris. Ia adalah ekklesia, yang dipanggil keluar dari dunia dan dikirim kembali
ke dunia. Sifat asing adalah elemen pembentuknya. Umat Allah dalam berziarah hanya
membutuhkan dua hal, yaitu dukungan selama perjalanan dan tujuan akhir. Gereja tidak memiliki
tempat tetap, di mana dunia hanyalah paroikia dan alamat sementara. Gereja harus senantiasa
berada di jalan menuju akhir dunia dan akhir zaman, dengan kata lain gereja tidak dijembatani
antara tujuan akhirnya yaitu pemerintahan Allah. Gereja telah dipanggil untuk menyadari, bahkan
sekarang dan dimanapun dan selamanya, gereja harus melakukan ziarah ke masa depan yang Allah
kehendaki.7

Sakramen, Tanda dan Alat

Dalam eklesiologi kontemporer, gereja semakin dilihat sebagai sakramen, tanda, dan alat.
Paulus telah menunjukkan misinya sebagai pelayanan imamat untuk Injil yang menantang
komunitas Kristen yang menyerukan untuk mempersembahkan dirinya sebagai persembahan yang
hidup, kudus dan berkenan bagi Allah. Perjanjian Baru mencantumkan banyak karunia yang
diberikan kepada individu untuk kebaikan semua pengajaran, penyembuhan, kerasulan, dan
sebagainya. Namun, karunia imamat tidak pernah disebutkan; Allah mempercayakan karunia ini

6
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 571-572
7
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 572-573

7
kepada komunitas sebagai satu kesatuan. Gambaran Perjanjian Baru lainnya dari gereja mewakili
hal yang sama seperti garam, terang, ragi, hamba dan nabi. Namun, pada abad-abad berikutnya,
pemahaman ini berangsur-angsur memudar dan hampir tidak terdengar. Dan belakangan ini
muncul pengertian-pengertian seperti itu dengan gambaran yang sedikit berbeda, yaitu gereja
sebagai sakramen, tanda dan alat.

Istilah baru ini mungkin dapat dipahami dari pemahaman Katolik yang lebih luas
dibandingkan dengan pemahaman Protestan. Ketika Vatikan II dalam pernyataannya
menyebutkan gereja sebagai semacam sakramen tanda dan alat, itu berarti sebagai kesatuan
persekutuan dengan Allah dan kesatuan di antara semua jemaat. Di tempat lain gereja disebut
sebagai sakramen yang terlihat dari kesatuan yang menyelamatkan dan bahkan keselamatan yang
universal. Dari berbagai dokumen Katolik yang dibahas oleh penulis buku ini, David J. Bosch
menemukan seruan apostolik, yaitu pada tahun 1975 Evangeli Nuntiandi, di mana secara tegas
dinyatakan bahwa gereja harus mewartakan Kerajaan Allah dan membangunnya dan sekaligus
menempatkan dirinya di tengah-tengah dunia dan sekaligus sebagai tanda dan alat kerajaan Allah.
Pada konsultasi di Roma, pada tahun 1982 dibentuk komunitas Kristen yang yaitu Koinonia yang
konkret untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, ini didefinisikan oleh David J. Bosch sebagai
tanda dan sarana keselamatan.

Pada tahun 1986 Gassmann telah menunjukkan istilah yang sama dan digunakan oleh
Protestan, terutama dalam konteks Iman dan administrasi gereja. Hal ini terjadi sejak Sidang
Umum WCC di Uppsala pada tahun 1968. Kebingungan tersebut sebenarnya sudah dapat
ditemukan pada pertemuan FO tahun 1927 di Lasane dan di Oxford pada tahun 1937. Rumus kunci
yang sering dikutip adalah rumusan yang disusun di Uppsala: “Gereja dengan berani menyebut
dirinya sebagai tanda akan datangnya persatuan umat manusia.” Konferensi dan dokumen FO
berikutnya berusaha menjelaskan apa arti istilah itu. Dua dari laporan bagian pada konferensi
CWME di Melbourne pada tahun 1980 juga merujuk pada gereja dalam pergeseran ini, yaitu
sebagai sakramen, tanda dan alat kerajaan Allah. Gassmann menyimpulkan: tanggapan yang luar
biasa terhadap penggunaan eklesiologis istilah Sakramen, tanda dan alat dalam perdebatan
oikumenis menunjukkan bahwa istilah ini membantu dalam menggambarkan tempat dan
panggilan gereja yang kesatuannya dalam rencana keselamatan Allah.8

Gereja dan Dunia

Pemahaman gereja sebagai sakramen, tanda dan alat membawa pada persepsi baru tentang
hubungan gereja dengan dunia. Misi dipandang sebagai tindakan Allah bagi dunia. Ini sesuai
dengan pendekatan teologi yang pada dasarnya baru. Selama berabad-abad konsep gereja telah
berlaku, dimana dunia di luar gereja dipandang sebagai kekuatan yang memusuhi gereja. David J.
Bosch menelaah tulisan-tulisan para teolog yang ada dalam sejarah gereja, dimana tampaknya

8
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 573-576

8
yang terpenting adalah gereja itu sendiri tetapi bukan di luarnya termasuk dunia. Dengan kata lain
gereja adalah dunia tersendiri. Di luar gereja hanyalah gereja yang ambigu, artinya pelayanan dan
kehidupan Kristen didefinisikan semata-mata dalam hal khotbah, ibadah umum, penggembalaan
dan amal. Orang Kristen yang mempraktikkan iman mereka didefinisikan sebagai pengunjung
gereja formal. Namun perubahan perlahan mulai terjadi, di mana Karl Bart melihat ini sebagai
pemulihan doktrin jabatan kenabian Kristus dan gereja. Dia menelusuri pergeseran ini ke enam
tahap dalam sejarah Protestantisme. Setelah Perang Dunia II, orientasi esensial gereja terhadap
dunia mulai diterima secara lebih luas di kalangan Protestan. Gereja sebagai penakluk dunia
menjadi gereja yang bersolidaritas dengan dunia. David J. Bosch menyebutkan teologi Kerasulan
Belanda yang berkembang pada akhir 40-an dan awal 50-an juga mulai memandang gereja
terutama dalam hubungannya dengan dunia. Sama seperti seseorang tidak dapat berbicara tentang
gereja tanpa berbicara tentang misinya, kita tidak dapat berpikir tentang gereja tanpa memikirkan
pada saat yang sama, dunia ke mana gereja diutus.9

Menemukan Kembali Gereja Lokal

Gereja dimulai dalam misi, di mana gereja pertama yang melakukannya jauh di dalam
sejarah adalah gereja lokal ke seluruh dunia. Perspektif ini sejalan dengan gagasan bahwa gereja
lokal tidak boleh berdiri dalam posisi yang lebih rendah dari gereja lokal lainnya, keduanya
didasarkan pada Perjanjian Baru terutama dalam surat-surat Paulus, hal semacam ini sebagian
besar telah diabaikan dalam sejarah Kristen. Dalam Katolik, gereja dan misa menjadi semakin
berpusat pada Paus, sehingga gereja-gereja muda diremehkan dan dianggap tidak dewasa oleh
kalangan gereja tua atau asosiasi misionaris. Proses kemerdekaan adalah proses pedagogis, di satu
sisi wali mengangkat dirinya sendiri untuk memutuskan apakah pantas untuk pemerintahannya
sendiri. Gereja-gereja di badan misi Barat menganggap diri mereka sebagai gereja-gereja yang
sangat dibutuhkan oleh gereja-gereja lain.

Orang pertama yang menyuarakan seluruh konsep ini adalah Roland Allen. Dia
memperingatkan pembaca tulisannya tentang perbedaan mencolok antara metode misi Paulus dan
metode badan misi di masa kini. Allen berpendapat bahwa perbedaannya adalah bahwa Paulus
pada dasarnya mendirikan gereja sedangkan kami mendirikan misi di organisasi yang tergantung.
Paulus menulis surat pertamanya kepada sebuah gereja di Tesalonika, di mana dia hanya tinggal
sekitar lima bulan, dan dia menulis bukan kepada badan misionaris tetapi kepada sebuah jemaat.
Jemaat yang mengutus, Antiokhia sama sekali tidak berkuasa atas komunitas iman yang baru
tumbuh di Efesus, Korintus dan di tempat lain, sejak awal mereka adalah jemaat yang dipenuhi
dengan firman dan sakramen, itu saja yang mereka butuhkan untuk benar-benar berhasil menjadi
jemaat Kristus. Keberhasilan Paulus, menurut Allen, adalah karena keyakinannya pada
independensi atau kemandirian jemaat yang baru tumbuh.

9
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 577-579

9
Ketegangan yang Kreatif

Paradigma baru telah menyebabkan bentrokan abadi antara dua pandangan gereja yang
tampaknya tidak sesuai. Di sisi lain gereja melihat dirinya sebagai satu-satunya pembawa pesan
keselamatan yang dicarinya, di sisi lain gereja melihat dirinya sebagai ilustrasi dalam perbuatan
dan perkataan tentang keterlibatan Allah dengan dunia ini. Jika orang memilih model pertama,
gereja dilihat sebagai hubungan pemerintahan Allah di bumi dan misi sebagai kegiatan yang
dengannya individu yang bertobat dipindahkan dari kematian kekal ke kehidupan. Jika orang
berpikir tentang perspektif alternatif atau pilihan kedua, gereja paling-paling menunjuk kepada
Allah yang bertindak dalam hubungannya dengan dunia dan misi untuk berkontribusi pada upaya
humanis masyarakat, dengan kata lain suatu proses di mana gereja dapat terlibat dalam peran
meningkatkan kesadaran akan Allah. Pertanyaannya adalah apakah kedua gambaran gereja ini
harus saling eksklusif. Beberapa refleksi tentang hal ini mungkin diperlukan. Masalah kemudian
muncul ketika seseorang tidak mampu mengintegrasikan dua visi sedemikian rupa sehingga
ketegangan antara keduanya menjadi kreatif daripada destruktif. Integritas seperti itu jarang
dicapai.

Identitas gereja mempertahankan relevansinya dan keterlibatannya. Pertemuan Iman dan


Tata Gereja di Lund (1962) mengungkapkannya dengan tepat: "Gereja selalu dan pada saat yang
sama dipanggil keluar dari dalam dunia dan diutus ke dalam dunia". Pemberitaan dan perayaan
sakramen memanggil orang pada pertobatan, baptisan, keanggotaan gereja, dan partisipasi dalam
aktivitas Allah di dalam dan bersama dunia.

Gereja terpanggil untuk menjadi "tanda” profetis, komunitas profetis, yang melaluinya dan
dengannya transformasi dunia dapat terjadi. Hanya sebuah gereja yang melangkah keluar dari
pusat ekaristinya, yang diperkuat oleh firman dan sakramen dan yang dengan demikian diperkuat
dalam identitasnya sendiri, yang dapat memasukkan dunia ke dalam agendanya. Tidak akan pernah
terjadi di mana dunia, dengan semua masalah politik, sosial dan ekonominya, berhenti menjadi
agenda Gereja. Pada saat yang sama, Gereja dapat pergi ke ujung-ujung masyarakat, tanpa rasa
takut akan terdistorsi atau dibingungkan oleh agenda dunia, melainkan yakin dan mampu
mengakui bahwa Allah sudah ada di sana.

Gereja yang bersaksi dan melayani "hanya dapat eksis apabila la dengan kuat didorong
oleh Roh. Ia hanya dapat memberi sesuai dengan apa yang diterimanya". Ini tidak berarti bahwa
kita hanya menerima komunitas iman hidupnya yang sesungguhnya. Kita tahu sekarang - apa yang
tentunya sulit diterima oleh banyak leluhur rohani kita - bahwa gereja yang empirik akan
selamanya tidak sempurna. Hal ini tidak berarti seruan untuk membuang gereja, melainkan untuk
mereformasikannya dan memperbaruinya. Gereja itu sendiri adalah obyek dan missio Dei, yang
terus-menerus membutuhkan pertobatan dan perubahan.

10
Namun, salib memberitakan pesan bukan hanya tentang penghakiman melainkan juga
tentang pengampunan dan pengharapan pula, juga bagi gereja. Karenanya tidaklah tepat bila gereja
membiarkan dirinya terus-menerus didorong untuk bertindak, seolah-olah ia harus membuktikan
dirinya, harus memperoleh kredibilitasnya melalui rancangan-rancangan yang dipaksakannya
kepada dirinya dan dengan cara demikian menemukan keselamatannya sendiri.

Cara lain untuk mengatakan hal ini adalah menegaskan bahwa gereja, karena ia merupakan
sebuah komunitas eskatologis, tidak boleh mengikatkan diri tanpa reserve pada proyek sosial,
politik, atau ekonomi manapun. Sebagai buah-buah sulung pemerintahan Allah, ia mengantisipasi
pemerintahan tersebut di sini dan sekarang juga. Pengetahuan tentang hal inilah yang memberikan
gereja keyakinan untuk bekerja demi perluasan pemerintahan Allah di dunia, meskipun misalnya
ia melakukannya dengan rendah hati dan tanpa mengaku mempunyai semua jawabannya.

Bagi Protestanisme arus utama, Sidang Raya DGD di Nairobi-lah (1975) yang untuk
pertama kali dengan jelas mencatat semangat tentang gereja yang berbeda dengan pertemuan-
pertemuan sebelumnya. Gereja harus dapat melayani dunia dengan cara yang lebih relevan.
Memang, perubahan-perubahan Jadi, validitas yang tetap dari gereja dikukuhkan kembali di
Nairobi; agenda persidangan itu disediakan oleh gereja dan bukan oleh dunia. Juga pada
pertemuan CWME di Melbourne (1980) gereja ditanggapi secara lebih sungguh-sungguh daripada
sebelumnya. Tampaknya gereja telah direhabilitasi di kalangan DGD sebagai alat misi. Nada yang
sama digerakan dalam dokumen DGD 1982, Misi dan Penginjilan. Setahun kemudian Sidang Raya
DGD mendukung menentukan dari gereja di dalam misi. Gereja adalah keberadaan teologis juga
sosiologis, sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan dari yang ilahi dan yang tidak berharga. Gereja
inilah, yang kabur di dalam ekstrenya, yang "pada hakikatnya bersifat misioner" umat yang
mengembara, "didalam hakikatnya" sebuah sakramen, tanda dan alat serta "benih yang paling pasti
dari keesaan, pengharapan dan keselamatan bagi seluruh umat manusia".10

2.2 Misi sebagai Missio Dei

Ada begitu banyak penafsiran terhadap misi, baik itu dalam pengertian soteriologi yaitu
dimana misi dianggap sebagai peyelamatan individu dari suatu hukuman yang kekal. Atau dalam
pengertian budaya dimana misi sebagai usaha memperkenalkan orang-orang dari Timur dan
Selatan dengan hak-hak dan berkat-berkat yang istimewa dari dunia Barat yang Kristen. Ada juga
yang memahami bahwa misi adalah untuk perluasan gereja. Bahkan ada yang mendefinisikan misi
dengan pengertian sejarah keselamatan dimana misi sebagai proses yang dengannya dunia secara
evolusioner atau melalui suatu peristiwa yang dahsyat akan ditransformasikan menjadi kerajaan
Allah.

Misi sebagai suatu aktivitas Allah sendiri pertama kali diartikulasikan oleh Karl Barth
dalam sebuah makalah yang dibacakan pada Konferensi Misi di Brandenburg pada tahun 1932.

10
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 580-596

11
Dalam sebuah pertemuan IMC di Tambaram (1938) delegasi Jerman mengakui bahwa hanya
“melalui suatu tindakan kreatif Allah, Kerajaan-Nya akan digenapi dalam pembentukan terakhir
sebuah Langit yang Baru dan Bumi yang Baru” dan “Kami yakin bahwa hanya sikap eskatologis
inilah yang dapat mencegah Gereja menejadi sekular”11

Gagasan tentang missio Dei pertama kali muncul dalam suatu Konferensi IMC di
Willingen (1952) dimana Misi dipahami berasal dari hakikat Allah sendiri. Misi tidak lagi
diletakkan dalan konteks eklesiologi atau soteriologi tetapi misi diletakkan dalam konteks dokrin
Tritunggal. Doktrin klasik tentang missio Dei sebagai Allah Bapa yang mengutus Anak-Nya, dan
Allah Bapa dan Anak mengutus Roh, diperluas hingga mencakup sebuah “gerakan” lain : Bapa,
Anak dan Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia.12 Menurut Willingen tentang misi adalah
misi sebagai partisipasi dalam pengutusan oleh Allah. Dimana misi hanya ada di dalam tangan
Allah yang mengutus misi dan karena inisiatif misioner itu datang dari Allah sendiri. Hubungan
erat antara missio Dei dan misi sebagai solidaritas dengan Kristus yang menjelma dan disalibkan
diakui oleh Willingen. Buku Missions Under the Cross (1953) diterbitkan yang berisi ceramah-
ceramah yang disampaikan di dalam pertemuan Willingen dengan tema “Kewajiban Misioner
Gereja” yaitu selain penegasan bahwa misi adalah misi Allah sendiri, penekanan pada salib juga
mencegah setiap kemungkinan akan rasa berpuas dari misioner.

Konsep Missio Dei yang berikut dapat dikatakan dalam citra yang baru, misi bukanlah
semata-mata aktivitas gereja, melainkan suatu ciri Allah, dimana Allah adalah Allah yang
misioner. “Bukanlah gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus digenapi di dalam
dunia; ini adalah misi sang Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikutsertakan dunia”
(Moltmann 1977:64). Oleh karena itu, misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada
dunia dan gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut (Aagaard 1973:13). Gereja ada
karena ada misi, bukan sebaliknya (Aagaard 1974:423). Jadi ke ikut sertaan di dalam misi berarti
ikit serta dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber dari kasih yang
mengutus. Dekrit tentang Misi dari konsili Willingen mendefinisikan aktivitas misioner tak lain
dan tak kurang dari perwujudan rencana Allah, penampakan dan realisasinya di dalam dunia dan
di dalam sejarah.

Bagi kegiatan-kegiatan misioner gereja atau missiones ecclesia, missio Dei mempunyai
konsekuensi-kosekuensi yang penting. Ada “”Misi’ dalam bentuk tunggal, tetap merupakan yang
utama, “misi-misi” dalam bentuk plural, merupakan sesuatu yang muncul daripadanya. Periode
pasca-Willingen, Neill (1966a:57 2) berani mengumumkan bahwa, “Zaman misi-misi sudah
berakhir, zaman misi telah mulai”. Dan dari sini kita harus membedakan antara misi dan misi-misi.
Yang menjadi maksud utama dari missiones ecclesia yaitu tidak sekedar menanam gereja-gereja
ataupun menyelamatkan jiwa-jiwa sebaliknya, ia harus merupakan pelayanan kepada missio Dei,

11
Tambaram Series, jilid 1: The Authority of the Faith (London: Oxford University Press, 1939), hlm 183-184.
12
David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 597.

12
yang mewakili Allah di dalam dunia dan dalam berhadap-hadapan dengan dunia, menunjuk kepada
Allah, menjunjung Allah Anak di hadapan mata seluruh dunia dalam perayaan Pesta Penampakan
(Epifania) yang tidak habis-habisnya.13

Konsep Missio Dei perlahan-lahan mengalami modifikasi setelah Willingen karena


keprihatinan Allah ditujukan kepada seluruh dunia, maka seluruh duniapun seharusnya menjadi
cakupan missio Dei. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kapada dunia sehubungan dengan
ciptaan, pemeliharaan, penebusan dan penggenapan (consummation) (Kramm 1979:210).”Misi
Allah sendiri lebih besar daripada misi gereja” (LWF 1988:8). Missio Dei adalah kegiatan Allah
yang merangkul baik gereja maupun dunia, dan di dalamnya gereja dapat memperoleh hak
istimewa untuk berperan serta.14 Misi ada karena Allah mengasihi manusia dimana yang menjadi
asal-usul dari misi ada di dalam hati Allah. Allah adalah sumber kasih yang mengutus.

2.3 Misi Sebagai Perantara Keselamatan

Penafsiran-penafsiran Tradisional tentang Keselamatan

Beberapa tahun lalu jurnal Katolik menghadirkan dua publikasi yang membahas tema
keselamatan dalam agama-agama dunia. Keselamatan benar-benar menjadi perhatian dasar setiap
Agama. Bagi orang Kristen kepercayaan bahwa Allah pasti telah mengerjakan keselamatan semua
orang di dunia melalui Yesus Kristus sebagai penyelamat umat manusia. Dari keyakinan ini
muncul misioner Kristen yang telah dimotivasi, sepanjang sejarahnya, oleh keinginan untuk
menjadi penengah bagi semua. "Motif soteriologis" ini memang bisa disebut sebagai detak jantung
misiologi karena berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan terdalam dan paling mendasar dari umat
manusia. Oleh karena itu masuk akal bahwa konferensi misi internasional digunakan sepenuhnya
untuk membahas tema ini. Orang mungkin ingat, misalnya, konferensi CWME di Bangok yang
bertema "Safety Today". Baru-baru ini, Oktober 1988 Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa,
dari GKR. Berkumpul di Universitas Urbana di Roma untuk konsultasi selama seminggu tentang
topik yang sama. Bahwa semua ini adalah konsultasi misionaris menunjukkan pemahaman yang
mencolok, karena teologi misi seseorang selalu sangat bergantung pada teologi keselamatannya:
oleh karena itu benar untuk mengatakan bahwa ruang lingkup keselamatan, bagaimanapun kita
mendefinisikan keselamatan, menentukan ruang lingkup usaha misioner. Sebagaimana telah
terjadi pergeseran paradigma mengenai pemahaman tentang hubungan antara gereja dan misi, juga
terjadi pergeseran pemahaman tentang sifat keselamatan yang harus dimediasi oleh gereja dalam
misinya. Refleksi tentang misi di gereja mula-mula telah mengungkapkan bahwa keselamatan
ditafsirkan dalam arti yang komprehensif. Ini tidak berarti ingin mengatakan bahwa semua penulis
Perjanjian Baru memiliki pemahaman yang persis sama dalam hubungan ini, misalnya Lukas
menggunakan bahasa keselamatan dalam kaitannya dengan spektrum yang sangat luas dari kondisi
manusia mengenai penghapusan kemiskinan, diskriminasi, penyakit, kerasukan setan, dosa. dan

13
David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen, hlm 599.
14
David J.Bosch, Transormasi Misi Kristen, hlm 599.

13
seterusnya, atau seperti yang dikatakan Scheffler pada tahun 1988 dalam kaitannya dengan
penderitaan ekonomi, sosial, politik, fisik, psikologis dan spiritual.

Sementara keselamatan dipahami sebagai sebuah progresi “pedagogis” di kalangan gereja


Bizantium, gereja-gereja barat (Katolik dan Protestan) menekankan akibat dosa yang
menghancurkan serta pemulihan dari individu yang telah jatuh kedalam dosa melalui suatu
pengalaman krisis yang di perentarai oleh gereja. Keselamatan adalah penebusan jiwa-jiwa
individu sesudah hidup yang sekarang,yang akan berlaku pada kesempatan apokalips mini, yakni
kematian masing-masing orang percaya.

Dalam rancangan ini “pribadi” dan “pekerjaan” Kristus semakin saling dipisahkan.
Kegiatan-kegiatan “penyelamatan” Allah semakin dibedakan dari kegiatan-kegiatan
“pemeliharaan”-Nya sehubungan dengan kesejahteraan individu dan masyarakat. Jadi, meskipun
misalnya – sepanjang berabad-abad sejarah misi Kristen – pelayanan yang luar biasa selalu
diberikan sehubungan dengan pemeliharaan orang-orang sakit, orang miskin, anak yatim dan
korban-korban lainnya dalam masyarakat serta sehubungan dengan Pendidikan, pengajaran, dan
semacamnya., semua pelayanan ini hamper selalu dipandang sebagai “pelayanan-pelayanan
tambahan” dan bukan sebagai pelayanan missioner itu sendiri.

Lebih lanjut bagi Lukas keselamatan adalah, di atas segalanya, sesuatu yang
memanifestasikan dirinya dalam kehidupan ini hari ini. Dalam Paulus, penekanannya tampaknya
di tempat lain ia menempatkan penekanan yang lebih besar pada sifat keselamatan yang belum
mengambil bentuk keselamatan yang baru saja dimulai dalam kehidupan ini. Keselamatan adalah
sebuah proses, yang diprakarsai oleh perjumpaan seseorang dengan Kristus yang hidup, tetapi
keselamatan yang lengkap belum digenapi. Roh Kudus adalah karunia pertama Allah bagi kita.
Pendamaian memang terjadi di sini dan sekarang, tetapi Paulus biasanya merujuk pada
keselamatan dalam bentuk waktu yang akan datang: “sebab jikalau kita, ketika masih seteru,
diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita yang sekarang
diperdamaikan pasti akan diselamatakan oleh hidup-Nya” Nuansa halus ini jelas berhubungan
dengan fakta bahwa Paulus berpikir dalam kategori apokaliptik dan ingin menekankan bahwa
keselamatan total hanya akan terjadi dengan kemenangan Allah yang akan datang, sementara
Paulus masih menantikan Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Akan tetapi, penantian ini tidak
mengalihkan kita dari realitas pembaruan radikal, baik pribadi maupun sosial, yang dapat dialami
orang percaya di sini dan sekarang.15

Keselamatan dalam Paradigma Modern

Kritikus agama modern mengambil titik awal mereka di sini. Agama sebagai ekspresi
ketergantungan total kepada Allah dan sebagai keselamatan abadi dalam kehidupan yang akan
datang adalah sebuah anakronisme dan sisa-sisa masa kanak-kanak umat manusia. Keselamatan

15
David J.Bosch, Transormasi Misi Kristen, hlm 602-604

14
ini berarti pembebasan takhayul agama, kepedulian terhadap kesejahteraan manusia dan derajat
moral umat manusia. Sebuah soteriologi alternatif muncul, pemahaman tentang keselamatan di
mana manusia menjadi agen aktif dan bertanggung jawab yang menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menghasilkan perbaikan material dan mempromosikan perubahan sosial dan
politik di masa sekarang. Dalam hubungan ini, para kritikus agama pada hakikatnya adalah kritikus
sosiologi.

Konstelasi teologis yang baru saja diuraikan di atas hanya dapat bertahan selamat, bila
orang terus hidup di dalam konteks Dunia Kristen (Christendom) dan merasakan diri mereka
sepenuhnya tergantung pada kegiatan Allah yang menyeluruh dan transenden sebagai satu-
satunya penjelasan bagi segala sesuatu yang terjadi di dalam dunia. Dengan datangnya Pencerahan
keseluruhan penafsiran tentang keselamatan ini mendapatkan tekanan yang luar biasa, dan
akibatnya, teologi yang tradisional semakin ditantang. Gagasan tentang keselamatan yang berasal
dari luar, dari Allah, yang sama sekali tidak terjangkau oleh daya dan kemampuan manusia,
menjadi semakin problematis Para kritikus modern terhadap agama mengambil titik berangkat
mereka di sini. Agama sebagai ungkapan ketergantungan total terhadap Allah dan sebagai
keselamatan kekal dalam hidup yang akan datang adalah suatu anakhronisme dan sisa-sisa dari
periode kanak-kanak umat manusia. Keselamatan kini berarti pembebasan dari takhyul
keagamaan, perhatian terhadap kesejahteraan manusia dan peningkatan moral umat manusia.
Muncul suatu soteriologi alternatif suatu pemahaman tentang keselamatan di mana umat manusia
menjadi agen-agen yang aktif dan bertanggung jawab yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi guna menghasilkan perbaikan material dan mendurong perubahan sosial-politik di masa
kini. Dalam hubungan ini, para pengkritik agama, pada hakikatnya menjadi pengkritik soteriologi.

Jadi, dalam paradigma ini, kesalahan dan keselamatan tidaklah pertama-tama memisahkan
dan mempersatukan Allah dan umat manusia, melainkan umat manusia dengan sesamanya.
Teriakan Luther, "Di manakah aku dapat menemukan Allah yang penuh belas kasih?" diubah
menjadi "Bagaimana kita dapat berbelas kasih kepada sesama kita?" Kedatangan Allah yang
"vertikal" ke dalam dunia ini mewujudkan dirinya dalam hubungan-hubungan yang berubah, yang
baik, "horisontal'": hubungan yang menyelamatkan antara manusia dengan Allah dijadikan konkret
dalam pertobatan seseorang kepada sesama saudaranya. Dalam paradigma ini, dosa didefinisikan
terutama sekali sebagai ketidaktahuan (ignorance). Orang hanya perlu diberitahuhan tentang apa
yang menjadi kepentingan mereka sendiri. Misi Barat adalah pendidik besar yang akan
memperantarai keselamatan kepada orang-orang yang belum mendapatkan pencerahan.

Pada Konferensi Gereja dan Masyarakat di Geneva (1966), baik Emmanuel Mesthene dan
Richard Shaull menggunakan kategori-kategori Hoekendijk tentang keselamatan, meskipun
mereka melakukan-nya dalam cara-cara yang sangat berbeda. Keduanya setuju bahwa dunia ini
adalah arena utama aktivitas Allah dan tempat di mana keselamatan dapat diberlakukan. Sementara
kerangka acuan Mesthene adalah dunia Barat modern yang mengalami industrialisasi dan

15
sekularisasi, dan sementara ia melihat jawaban-jawaban atas masalah-masalah dunia dalam
kemajuan teknologi, kerangka acuan Shaull adalah Dunia Ketiga, khususnya pengalamannya
dengan ketidakadilan, penghisapan dan kemiskinan. Teologi Mesthene berusaha menjawab
tantangan-tantangan Pencerahan, Shaull berusaha menjawab tantangan-tantangan Karl Marx dan
penghisapan kolonial. Bagi Mesthene. keselamatan berarti ekspansi besar-besaran pembangunan
teknologi sehingga semuanya dapat memperoleh bagian kekayaan Barat; bagi Shaull, keselamatan
berarti pembebasan, yang dapat dicapai hanva dengan menggulingkan tatanan yang ada.

Pemikiran misioner Katolik tentang keselamatan sejajar dengan Protestanisme, khususnya


setelah Yohanes XXIII mengumum. kan diselenggarakannya Konsili Vatican Ill pada 1959.
Seperti dalam Protestanisme, diyakin; bahwa keselamatan tidak dapat didefinisikan dalam
pemahaman-pemahaman "keagamaan" (atau "gerejawi) saia tetapi juga dalam pemahaman-
pemahaman tentang apa yang terjadi di tempat lain. Gaudium et Spes memberikan perhatian yang
khusus terhadap hal ini. Tidak dapat diragukan bahwa penafsiran tentang keselamatan, yang telah
muncul dalam pemikiran dan praktek misioner yang mutakhir, telah memperkenalkan unsur-unsur
ke dalam definisi tentang keselamatan. Tanpa unsur-unsur tersebut pemahaman itu akan menjadi
berbahaya dan sempit. Dalam sebuah dunia di mana orang saling tergantung dan setiap orang
berada dalam jaringan hubungan antar-manusia, sama sekali tidak mungkin kita membatasi
keselamatan kepada individu dan hubungan pribadi-nya dengan Allah. Kebencian, ketidakadilan,
penindasan, perang dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya adalah perwujudan-perwujudan dari
kuasa jahat; keprihatinan tentang kemanusiaan, tentang usaha untuk mengalahkan kelaparan,
penyakit dan ketidakbermaknaan adalah bagian dari keselamatan yang kita harapkan dan
perjuangkan. Orang Kristen berdoa agar pemerintahan Allah datang dan kehendak Allah berlaku
di bumi seperti di dalam Sorga (Mat. 6: 10), dan sini kita simpuIkan bahwa bumi adalah locus dari
panggilan dan pengudusan Kristen.16

Krisis Dalam Paradigma Modern Tentang Keselamatan

Namun selama tahun 1970-an, definisi sekularis dan liberasionis mendapat tekanan.
Penulis mengacu pada suasana yang lebih sadar yang menjadi ciri pertemuan WCC sejak SR
Nairobi pada tahun 1975. Kurang lebih sama terjadi pada Katolik sejak Sinode Para Uskup 1934
dan penerbitan Evangelii Nuntiandi pada tahun 1975. Lambat laun menjadi jelas bahwa model
horizontalis diwarnai oleh inkonsistensi, baik teologis maupun praktis. Ini adalah penipuan diri
sendiri ketika kita mulai berpikir dan bertindak seolah-olah keselamatan ada dalam genggaman
kita, ada di tangan kita atau sesuatu yang dapat kita hadirkan, kita mulai menyadari sekali lagi
bahwa meskipun kita memiliki kesadaran palsu yang sangat dalam yang dapat kita bawa.
keselamatan melalui perbuatan baik kita yang kaya. Orang Kristen membuat terlalu banyak janji
untuk diri mereka sendiri misalnya di Uppsala. Ketika pernyataan dibuat sedemikian rupa sehingga

16
David J.Bosch, Transormasi Misi Kristen, hlm 605-608

16
di masa depan yang melihat semua ketidakadilan, semua kemiskinan dan semua bentuk
perbudakan akan menjadi sejarah dan keselamatan sudah dekat. Thomas Wieser anggota staf WCC
yang bertanggung jawab untuk mengoordinasikan proyek Safety Today, di mana dia
mengeluarkan peringatan berikut. Yesus Kristus inilah yang "menggenapi semua keselamatan. Tak
seorangpun yang dapat menyelesaikan karya-Nya bila la sendiri tidak menyelesaikannya"
(Memorandum 1982:459). Sebagai kesimpulan, keselamatan dan kesejahteraan, bahkan kalaupun
mereka saling terkait erat, tidak sepenuhnya bertumpang tindih. Iman Kristen adalah sebuah faktor
kritis, pemerintahan Allah adalah sebuah kategori kritis dan Injil Kristen tidaklah identis dengan
agenda gerakan-gerakan emansipasi dan pembebasan dunia. Namun, kita tidak dapat begitu saja
kembali ke penafsiran Klasik tentang keselamatan, meskipun misalnya posisi tersebut menjunjung
dan membela unsur-unsur yang tetap tidak dapat disingkirkan bagi suatu pemahaman Kristen
tentang Keselamatan. Keselamatan di dalam Kristus adalah keselamatan di dalam konteks
masyarakat manusia dalam perjalanan menuju dunia yang utuh dan disembuhkan.17

Menuju Keselamatan yang Utuh


Tantangan-tantangan dunia modern terhadap misi gereja sehubungan dengan penafsiran
tentang keselamatan sama sekali tidak dapat diabaikan. Tantangan-tantangan baru menuntut
jawaban yang baru dan kita dipaksa oleh keadaan-keadaan untuk merefleksikan kembali
keseluruhan masalah ini. Barangkali dengan membaca kembali pemahaman-pemahaman Alkitab
tentang keselamatan yang dilakukan dari perspektif kesadaran bahwa ternyata penafsiran-
penafsiran tradisional maupun modern tentang keselamatan tidaklah memadai.

Kita membutuhkan suatu penafsiran tentang keselamatan yang bekerja di dalam kerangka
Kristologis yang komprehensif, yang membuat Totus Christus (keseluruhan Kristus) – inkarnasi,
kehidupan-Nya di dunia, kematian, kebangkitan dan Parousia-Nya – tidak dapat diabaikan bagi
gereja dan teologi. Semua unsur Kristologis ini bersama-sama membentuk praksis Yesus. Dia yang
memulai keselamatan dan memberikan kita sebuah model untuk kita teladani.18

17
David J.Bosch, Transormasi Misi Kristen, hlm 609-610
18
David J.Bosch, Transormasi Misi Kristen, hlm 611-614.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Misi diambil dari bahasa Latin Mitto, yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani
apostellō yang artinya mengutus. Misi lebih luas dari aktivitas gereja. Missio Dei istilah yang
diberikan oleh Karl Hartenstein tahun 1934 dipakai dalam konferensi WILLINGEN untuk
menekankan misi adalah milik Allah dan bukan gereja. Karena luasnya makna misi, maka defenisi
dari misi dapat dibuat berdasarkan orientasi teologi sekedar melakukan analisa etimologi.

Berbagai unsur paradigma misi yang dibicarakan di bawah ini, tidak boleh dianggap
sebagai komponen yang berbeda dan terpisah dari sebuah model baru, namun saling berkaitan satu
sama lain. Menurut Bosch unsur-unsur paradigma misi oikumenis yang sedang muncul antara lain:

1. Misi sebagai gereja dengan yang lainnya, gereja lokal adalah pusat misi, gereja sebagai
lembaga, tubuh mistis Kristus, sakramen, bentara dan hamba.
2. Misi sebagai Missio Dei, misi Kristen tidak berarti membangun sesuatu, melainkan
memaklumkan sesuatu yang sudah dibangun Allah melalui kebangkitan Kristus.
3. Misi sebagai perantara keselamatan, Allah menyerahkan kuasanya kepada hirarki Gereja
dan sekarang ini hirarki tersebut menjalankan misi Allah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bosch, David J, 2005,. Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia)

Downey, Murray W, 1957,. Cara-cara Memenangkan Jiwa (Bandung: Kalam Hidup)

Jonge, Christian De, 2013,. Gereja mencari jawab, Kapita Selekta Sejarah Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia)

Kirk, Andrew J, 2015,. Apa Itu Misiologi?, (Jakarta, Gunung Mulia)

Packer, J. I, 2003,. Penginjilan Dan Kedaulatan Allah Evangelism And The Sovereignty Of God
(Surabaya: Momentum)

Series, Tambaram, 1939,. Jilid 1: The Authority of the Faith (London: Oxford University Press)

19

Anda mungkin juga menyukai