Tesis
GIBSON HUTABARAT
NIM : 20142110075
PROGRAM PASCASARJANA
Februari 2016
i
STILISTIKA DAN NILAI-NILAI BUDAYA
DALAM KITAB KIDUNG AGUNG PASAL 1 DAN 2
KARYA SALOMO
Tesis
GIBSON HUTABARAT
NIM : 20142110075
PROGRAM PASCASARJANA
Februari 2016
PERNYATAAN KEASLIAN
NIM : 20142110075
Menyatakan bahwa tesis ini secara keseluruhan adalah ASLI hasil penelitian saya,
kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Gibson Hutabarat
ii
PENGESAHAN
NIM 20142110075
TIM PENGUJI
Mengetahui,
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Direktur,
iii
Dr. Endah Harumi, M.Pd.
Program Studi Magister (S-2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
NOTA DINAS
Pembimbing I
iv
Dr. Lulus Margiati, M.M.
Program Studi Magister (S-2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
NOTA DINAS
Pembimbing II
v
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan kasih-Nya kepada penulis, sehingga penulisan tesis dengan judul
Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
dapat terselesaikan.
kata-kata konkret, bahasa figuratif, dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi
Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo tersebut. Selain itu, penulisan tesis ini
digunakan sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian tesis Program Studi Pendidikan
2. Prof. Dr. Ahmad Saiful Anam, M.A. selaku Direktur PPs Universitas Muhammadiyah
Surabaya.
3. Dr. Sujinah, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
4. Pembimbing I, Dr. Endah Harumi, M.Pd. dan Pembimbing II, Dr. Lulus Margiati,
M.M.
5. Bapak E.T. Panjaitan, M.A. selaku Direktur Sekolah Lanjutan Advent Purwodadi
samping wajib menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai guru di kelas.
vi
6. Staf guru dan karyawan Sekolah Lanjutan Advent yang telah memberi dorongan
7. Istri (Wulan Pratiwi), anakku tercinta (Loveno Moses Sabatino Hutabarat), serta
orang tua yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis, sehingga penulis
8. Bapak Glenny Bolang yang membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.
9. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah banyak
Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang mencintai sastra (baca:
puisi). Kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun penulis terima guna
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN .. ii
PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR .. vi
DAFTAR TABEL xi
BAB I PENDAHULUAN 1
viii
2.2.6 Diksi, Citraan, Kata-Kata Konkret, Bahasa Figuratif 19
4.2.1 Diksi 42
4.2.2 Citraan 46
4.3.2 Citraan . 58
4.4 Analisis Nilai Budaya dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo 66
4.5.3 Tabel Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo 79
4.5.4 Tabel Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo 80
4.5.5 Tabel Nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo . 83
BAB V PENUTUP 85
5.1 Simpulan . 85
5.2 Saran 86
DAFTAR PUSTAKA .. 87
LAMPIRAN 1 . 90
LAMPIRAN 2 . 92
LAMPIRAN 3 . 93
x
DAFTAR TABEL
Tabel 4.5.3 Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
Tabel 4.5.4 Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
Tabel 4.5.5 Nilai-nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
xi
DAFTAR SINGKATAN
CG : Citraan Gerak
xii
ABSTRAK
Hutabarat, Gibson. 2016. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung
Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo. Tesis: Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Pembimbing: (1) Dr. Endah Harumi, M.Pd.(2) Dr. Lulus Margiati, M.M.
Kata kunci: bahasa figuratif, citraan, diksi, kata konkret, dan nilai budaya.
Kidung Agung pasal 1 terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbangun dalam
10 bait dan pasal 2 terdiri atas 17 ayat dan 57 larik yang terbangun dalam 5 bait.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa (1) dalam Kidung Agung
1 dan 2 karya Salomo terdapat 34 larik yang menggunakan diksi untuk
mengintensifkan atau memperkuat makna, sapaan, dan menguatkan latar tokoh,
sembilan citraan pendengaran, empat citraan penciuman, 45 citraan penglihatan,
delapan citraan gerak, tiga citraan pencecapan, dan satu citraan peraba, 13 larik yang
menggunakan kata-kata konkret, 13 gaya bahasa simile, tiga gaya bahasa metafora,
satu personifikasi, 26 repetisi, satu sinekdoke, dan dua metonimia. Dan di dalamnya
pun terdapat nilai-nilai budaya yang mencakup hubungan manusia dengan sesama,
hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
xiii
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian sastra
dan menjadi referensi penelitian sastra berikutnya yang menggunakan pendekatan
stilistika dengan memfokuskan teori diksi, citraan, kata konkret, dan bahasa figuratif,
serta menambahkannya dengan kajian nilai-nilai budaya. Kidung Agung pasal 1 dan 2
yang dipergunakan sebagai media penelitian ini diharapkan dapat dianalisis dengan
pendekatan lain.
xiv
ABSTRACT
Hutabarat, Gibson. 2016. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung
Pasal 1 dan 2 Karya Salomo. Thesis: Indonesian Language and Literature Major.
Indonesian Language and Literature Study Program. Universitas
Muhammadiyah Surabaya Magister Program. Advisors: (1) Dr. Endah Harumi,
M.Pd. (2) Dr. Lulus Margiati, M.M.
Keywords: figurative language, imagery, diction, concrete words, and cultural values.
Song of Songs discuss the fundamental human need for love and intimacy,
described the withdrawal, passion, tenderness and pleasure, to show their feelings, as well
as grief, fear, and their struggles. And this study aimed to describe the use of diction,
imagery, concrete words, figurative language, and cultural values contained in the Song
of Songs chapter 1 and 2 works of Solomon.
This study uses stylistics focused on the theory of diction, imagery, concrete
words, figurative language, and cultural values. Stylistics approach is done by analyzing
the linguistic system and continued with the literary work interpreting their
characteristics, seen from an aesthetic purpose literature as a whole meaning. The main
target of this research is the use of diction, imagery, concrete words, figurative language,
and cultural values in the Song of Solomon 1 and 2 works of Solomon. The data in this
research is descriptive data in the form of phrases, words, and sentences in the poem Song
of Solomon 1 and 2 of the article. The data source is the Song of Songs chapter 1 and 2
works of Solomon. Data analysis technique used is qualitative descriptive analysis
techniques.
Song of Songs chapter 1 consists of 17 verses and 55 lines which are built into 10
stanzas and chapter 2 consists of 17 verses and 57 lines were awakened in the fifth stanza.
Based on the results of this research is that (1) in the Song of Solomon 1 and 2 by
the Solomon there are 34 lines that use diction to intensify or amplify meaning, greeting,
and strengthen the background figures, nine images hearing, four images of smell, 45
images eyesight, eight images motion, three images foretaste, and the imagery of touch,
13 arrays that use concrete words, 13 stylistic simile, three styles of metaphorical
language, a personification, 26 reps, one sinekdoke, and two metonymy. And in it was
found the cultural values that include relationships with fellow human beings, the human
relationship with nature, and man's relationship with God.
The results of this study are expected to add to the treasures of study literature and
become the next reference literature research using Stylistics approach by focusing on the
theory of diction, imagery, concrete words and figurative language, and add it to the study
xiii
of cultural values. Song of Songs chapter 1 and 2 were used as media research is expected
to be analyzed with other approaches.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta stra,
yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar s- yang
berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu.
pengungkapan baku dari peristiwa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, yang
telah direnungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang menarik
minat secara langsung dan kuat dari seorang pengarang atau penyair. Sastra hadir sebagai
hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra tidak saja dinilai sebagai
sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Akan tetapi, sastra telah
dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di
samping mendapatkan hiburan dan untuk mengisi waktu luang, menurut Olsen (dalam
Slamet 2012:1) bahwa cipta sastra sedikitnya mengandung tiga elemen. Pertama,
pemaparan suatu cipta sastra. Kedua, aesthetic dimension, berhubungan dengan dimensi
1
2
keindahan yang dikandung oleh suatu cipta sastra. Ketiga, aesthetic objek, berhubungan
dengan kemampuan cipta sastra untuk dijadikan kegiatan objek manusia sesuai dengan
Dari paparan di atas dapat diambil pemikiran bahwa seorang pembaca sastra
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mendapatkan berbagai macam nilai kehidupan. Tidak
salah apabila kegiatan membaca sastra dapat memberikan informasi yang berhubungan
kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun
Karya sastra adalah wujud permainan kata-kata pengarang yang berisi maksud
tertentu, yang akan disampaikan kepada penikmat sastra. Karya sastra merupakan luapan
perasaan pengarang yang dicurahkan dalam bentuk tulisan, menggunakan kata-kata yang
disusun sedemikian rupa. Karya sastra adalah wacana yang khas yang di dalam
tersedia (Sudjiman 1993:7). Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan
wahana ekspresi dalam karya sastra. Bahasa memiliki pesan keindahan sekaligus
Medium utama sastra adalah bahasa, sastra tercipta dari rangkaian kata-kata dan
kata-kata itu sendiri merupakan bagian dari bahasa. Bahasa merupakan bahan mentah
sastrawan. Karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu,
seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra
(Nurgiyantoro 2010:272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat
warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana
penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan
bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa (Sudjiman 1993:1). Dengan demikian,
unsur bahasa merupakan sarana yang penting dan diperhitungkan dalam penyelidikan
suatu karya sastra, karena bahasa berfungsi untuk memperjelas makna dan menambah
Bahasa berperan dalam menentukan nilai suatu karya sastra (Suharianto 1982:21).
pembacanya. Isi yang baik belum merupakan jaminan bagi berhasilnya suatu karya sastra,
bila tidak dijalin dengan bahasa yang baik. Bahasa sastra lebih bersifat khas (Wellek
1989:15). Bahasa sastra penuh ambiguitas, homonim, dan sangat konotatif, sedangkan
bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistematika atau logika simbolis dan bersifat
denotatif. Maka tidak mengherankan jika bahasa sastra bersifat menyimpang dari kaidah-
kaidah ketatabahasaan.
Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan
pemakaian bahasa dalam karya sastra sangat menonjol karena salah satu keindahan suatu
karya sastra dapat dilihat dari bahasanya. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi
4
hambar. Keistimewaan bahasa dalam karya sastra terjadi karena adanya kebebasan
penyair atau pengarang dalam menggunakan bahasa atau pengarang mempunyai maksud
dari bentuk aturan konvensional guna menghasilkan efek yang dikehendaki sangat
diperbolehkan. Dalam memilih penggunaan bahasa, sastrawan dapat memilih antara, (1)
mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional, (2) memanfaatkan potensi dan
kemampuan bahasa secara inovatif, atau (3) menyimpang dari konvensi yang berlaku
(Sudjiman 1993:19-20).
Menurut Wellek (1989:14), ada perbedaan utama antara bahasa sastra, bahasa
sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Pemakaian bahasa sehari- hari lebih beragam, sementara
bahasa sastra adalah hasil dari penggalian dan peresapan secara sistematis dari seluruh
Dalam penciptaan karya sastra tak pernah terlepas dari penggunaan gaya bahasa.
Sangat mustahil bila sebuah karya sastra lahir tanpa adanya keterlibatan atau keterkaitan
dengan penggunaan gaya bahasa, sehingga semakin pekat penggunaan gaya bahasa dalam
Dalam mengkaji bahasa di dalam karya sastra perlu menggunakan kajian stilistika.
Bahasa di dalam karya sastra yang dikaji dengan stilistika terdapat dua kemungkinan
dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem
linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari
tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini
5
dilakukan dengan mempelajari sejumlah ciri khas dengan membedakan sistem bahasa
yang satu dengan sistem-sistem lain (Wellek 1989:226). Dari kedua pendekatan tersebut
terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya
Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode
estetik (Aminuddin :1995:22). Kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada
wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-
landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan
menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk
mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Melalui kajian
stilistika diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektivitas dan
dalam kajian stilistika, di antaranya sebagai berikut, (1) analisis aspek gaya dalam karya
sastra, (2) analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan
tanda baca dan cara penulisan, dan (3) analisis gagasan atau makna yang dipaparkan
dalam karya sastra. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan
6
unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh
penggunanya. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Pembagian karya sastra yang telah dikenal ada tiga, yakni prosa, puisi, dan drama.
Semua jenis sastra itu menggunakan kata-kata yang indah supaya menarik. Persamaan
Puisi adalah salah satu karya sastra yang dapat dikaji dengan stilistika. Puisi
merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer dalam masyarakat kita sampai saat
ini. Puisi digemari oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang
dewasa. Karena kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu selalu meningkat, corak sikap
dan bentuk puisi pun selalu berubah mengikuti perkembangan selera, konsep estetik juga
berubah, dan kemajuan intelektual pun meningkat. Setiap puisi pasti mempunyai tujuan
paling indah dalam hidup kita. Puisi adalah sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang
telah tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat
pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk. Shahnon
Ahmad menyimpulkan, unsur puisi yang paling pokok adalah (1) pemikiran, ide, dan
emosi, (2) bentuknya, dan (3) kesan yang dibiaskan oleh ide dalam puisi (dalam Pradopo
2010:6).
Menurut Pradopo (2010:v), puisi merupakan pernyataan sastra yang paling inti.
Unsur-unsur seni kesusastraan mengental dalam puisi. Berbeda dengan karya sastra
7
lainnya, prosa dan drama, karya sastra berbentuk puisi bersifat konsentrif dan intensif.
merupakan bagian pokok atau penting saja. Oleh karena itu, puisi memiliki bentuk yang
padat (intensif). Padat yang dimaksud adalah penghematan unsur-unsur bahasanya. Kata-
mengungkapkan makna. Dalam hal ini pengamatan atau pengkajian terhadap puisi
khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap puisi
Indonesia, sudah banyak dilakukan. Antara lain seperti yang dilakukan oleh Nurhayati,
dengan judul Kajian Stilistika terhadap Puisi-puisi Rendra (Studi tentang Aspek-aspek
Linguistik dan Kesusastraan pada Sepuluh Puisi Rendra). Fitriah (2009), dengan judul
Gaya Bahasa dalam Balada-balada W.S. Rendra: Kajian stilistika Genetik. Hasil
penelitian tersebut memaparkan gaya bahasa khususnya dalam enam balada W.S. Rendra
yang dicuplik dari dua buku kumpulan sajak, yaitu Balada Orang-Orang Tercinta dan
Blues untuk Bonnie. Masing-masing balada tersebut adalah Balada Kasan dan Patima,
Balada Petualang, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, Rick dari Corona, Nyanyian
Angsa, dan Khotbah. Bahkan ada pula penelitian terhadap karya sastra jenis prosa dengan
menggunakan kajian stilistika yang dilakukan oleh Rosyid dengan judul Gaya Bahasa
8
Pramudya Ananta Toer dalam Novel Rumah Kaca: Sebuah Kajian Stilistika. Dari
Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo dari sisi stilistika dan nilai-nilai budaya.
Kajian stilistika dan nilai-nilai budaya merupakan satu hal penting dalam
pembelajaran sastra. Dikatakan penting karena adanya kajian stilistika dari sebuah karya
sastra diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siswa
mengenai makna sebuah puisi. Di samping itu pula, dapat memperkaya pengetahuan
siswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam puisi, di antaranya nilai-nilai budaya.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi permasalahan yang akan dijadikan bahan
penelitian pada kajian stilistika yang meliputi diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa
figuratif, serta nilai-nilai budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.
Kedua pasal tersebut terdiri atas tiga perikop, yaitu : Mempelai Perempuan dan Putri-
Hasil kajian stilistika dan nilai-nilai budaya tersebut kemudian akan dijadikan
alternatif penerapan integrated faith and learning (pemaduan imtak) dalam model
Bertitik tolak dari batasan masalah di atas, maka rumusan permasalahan yang muncul
Salomo?
2. Nilai-nilai budaya apa sajakah yang terkandung dalam Kitab Kidung Agung
1. Secara Teoretis
Secara teoretis, manfaat yang diperoleh setelah mengkaji hal-hal di atas adalah
teori sastra, khususnya stilistika dan dapat menjadi bahan pertimbangan penelitian-
penelitian selanjutnya.
10
2. Secara Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh setelah mengkaji puisi tersebut adalah :
a. Bagi Guru
Guru dapat memperkaya materi pembelajaran yang menarik mengenai stilistika dan
nilai-nilai budaya dalam puisi yang bukan dari Indonesia, sekaligus menerapkan ajaran
b. Bagi Siswa
Siswa mampu memahami materi apresiasi sastra yang kajian utamanya menganalisis
atau menguraikan karya-karya sastra, baik dari segi struktur maupun makna.
c. Bagi Dosen
Dosen mata kuliah Apresiasi Sastra dapat menambah wawasan tentang puisi yang
diciptakan oleh seorang raja yang terkenal arif dan bijaksana, yaitu Raja Salomo.
d. Bagi Mahasiswa
e. Bagi Universitas/Sekolah
para mahasiswa atau siswa pada saat belajar tentang contoh kajian stilistika.
11
Dalam penelitian ini digunakan istilah stilistika, diksi, citraan, kata-kata konkret,
a. Stilistika adalah ilmu tentang gaya (Shipley dalam Ratna, 2009:8). Pernyataan
tersebut identik dengan tulisan Panuti Sudjiman (1984:71) yang menyatakan bahwa
stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa di dalam karya sastra.
b. Diksi merupakan unsur leksikal dalam gaya bahasa (Nurgiyantoro 2010:290). Diksi
mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh
pengarang. Mengingat karya sastra adalah dunia kata, komunikasi dilakukan dan
keindahan. Efek itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan
dimaksudkan oleh pengarang. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
c. Citraan adalah produksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi
yang terwujud kalimat-kalimat yang ditulis pengarang dalam karyanya. Pencitraan tidak
selalu bersifat visual (Wellek & Warren terjemahan Melani Budianta, 1989:236). Tidak
pencitraan adalah hal yang berhubungan dengan kesan mental atau bayangan visual yang
d. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang
menyarankan pada pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu,
dan untuk kajian tertentu. Menurut Muljana (dalam Pradopo 2010:93), gaya bahasa adalah
susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati
penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya itu
menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa tersebut untuk
e. Nilai Budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu
dibedakan satu dengan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan
Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai kajian pustaka dalam
penelitian ini, antara lain Karen Flowers (2002), C. Hassell Bullock (2003), Abdul Rosid
Penuntun Guru) dengan judul Kidung Agung, Satu Nyanyian Kasih. Buku yang terbit
untuk periode Oktober-Desember 2002 ini membahas Kitab Kidung Agung adalah satu
puisi yang diakui sebagai sastra bermutu tinggi pada zamannya. Buku ini mengungkapkan
bahwa Kidung Agung membicarakan secara mendasar kebutuhan manusia akan kasih dan
keintiman. Karen, secara umum, membahas Kitab Kidung Agung dari pasal 1 sampai 8
dari segi sejarah penulisannya, tipologinya, dan makna isi puisi tersebut bagi kehidupan
pergaulan dan perkawinan manusia pada umumnya. Berbeda dengan penelitian ini,
peneliti secara khusus akan mengkaji stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo. Peneliti akan mengungkapkan secara
spesifik tentang diksinya, citraannya, kata-kata konkretnya, bahasa figuratifnya, dan nilai-
nilai budayanya.
Perjanjian Lama, mengungkapkan lima kitab puisi dalam Perjanjian Lama, yaitu Kitab
Ayub, Kitab Mazmur, Kitab Amsal, Kitab Pengkhotbah, dan Kitab Kidung Agung.
Hampir sama dengan Karen Flowers, Bullock lebih dalam menguraikan asal-usul
13
14
penulisan Kitab Kidung Agung, ciri-ciri dan tujuan penulisan kitab tersebut, pendekatan-
pendekatan yang dapat digunakan untuk menafsirkan kitab tersebut, bentuk atau
tipografinya, dan menjelaskan adegan demi adegan yang tergambar dalam kedelapan
pasalnya. Sementara penelitian ini tidak menguraikan hal-hal seperti yang disebutkan di
Abdul Rosid (2011) menulis tesis tentang stilistika dan nilai-nilai budaya dalam
puisi Indonesia. Rosid mendeskripsikan diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif,
dan nilai-nilai budaya dalam sepuluh puisi terkenal Indonesia. Peneliti juga akan
membahas hal-hal seperti yang disebutkan di atas, tetapi pada objek penelitian yang
berbeda, yakni pada dua buah puisi yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung, yaitu pasal
1 dan pasal 2. Kedua pasal yang peneliti ambil adalah versi Bahasa Indonesia.
Teaching and Research dengan judul Figurative Language and Stylistic Function
perangkat figuratif bahasa, citra, humor, dan makna teks pada puisi JP Clark-
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ebi dan penelitian ini terdapat persamaan
dan perbedaan yang menonjol. Persamaannya terletak pada karya sastra, yaitu puisi.
Perbedaanya terletak pada apa yang diteliti, jika Ebi memaparkan penggunaan perangkat
figuratif bahasa, citra, humor, dan makna teks pada puisi J.P. Clark-Bekederemos, dalam
15
penelitian ini penulis meneliti diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif, dan nilai-
Herman Silalahi (2013), menulis karya ilmiah dengan judul Kidung Agung.
membahas secara mendalam tentang diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa figuratif
yang terdapat dalam Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo. Silalahi membahas latar
belakang kitab, penulisan dan waktu penulisan, struktur kitab, tujuan kitab, dan tema
fokus pada penguraian mengenai diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa figuratif,
Jadi, kelima hasil penelitian di atas tidak mengkaji tentang stilistika dan nilai-nilai
budaya yang terdapat dalam Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo. Itu sebabnya penulis
stilistik sebagai kata sifatnya. Menurut Junus (dalam Rosid 2011:16), stilistika
berhubungan dengan gaya, diambil dari kata stylistic (bahasa Inggris), kemudian
Kata stilus berarti alat yang ujungnya tajam, digunakan untuk menulis di atas
lembaran kertas yang dilapisi lilin (Shipley dalam Rosid 2011:16), kemudian dieja
menjadi stylus oleh para penulis lainnya. Pada perkembangannya, stylus memiliki arti
Stilistika adalah bagian dari linguistic yang mengacu kepada ragam penggunaan
bahasa kompleks dalam sebuah karya sastra (Turner dalam Rosid 2011:17). Menurut
Leech dan Short (dalam Rosid 2011:17), stilistika adalah studi mengenai hubungan
bentuk bahasa dan fungsi literalnya. Menurut Sudjiman (1984:71), stilistika adalah ilmu
mengenai penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra. Pernyataan
serupa juga diajukan oleh Cummings dan Simmons (dalam Rosid 2011:17) yang
menyatakan bahwa stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya bahasa dalam sebuah karya
sebuah bahasa dalam sebuah karya sastra yang tidak lazim digunakan dalam bahasa
jalan kepada pengertian yang lebih baik dan penghargaan yang lebih penuh mengenai
kemampuan untuk merespons teks dan kemampuan observasi sebuah karya sastra (Leech
dan Short, dalam Rosid 2011:20). Sejalan dengan pengertian tersebut, Widdowson (dalam
Rosid 2011:21) mengungkapkan bahwa tujuan analisis stilistik adalah untuk mengerti
unsur bahasa yang terdapat dalam hasil pesan-pesan aktual. Selain itu, Widdowson juga
wacana sastra konvensional lebih jauh dalam diri seorang siswa (ibid).
Berikut ini adalah pemaparan area kajian stilistika agar tujuan analisis akan
menjadi jelas dengan berpatokan kepada definisi stilistika tersebut. Berdasarkan beberapa
kajian yang telah diobservasi terhadap bahasa sastra seperti prosa dan puisi, maka
disimpulkan bahwa rima, makna kata dan tata bahasa, diksi, bahasa kiasan, citraan dan
kata konkret merupakan bagian dari stilistika seperti yang diungkapkan oleh Junus (dalam
Rosid 2011:22); dan hal ini juga diperkuat dengan argumentasi Keraf (1981: 99).
Sumardi dkk (1985: 2) menjelaskan bahwa bahasa sastra merupakan bahasa yang
dikarang sedemikian rupa sehingga susunannya menjadi menarik, atau mampu memikat
para pembaca walaupun terkadang membutuhkan waktu lebih lama untuk memahaminya.
Sementara Cummings dan Simmons (dalam Rosid 2011:31) menyatakan bahwa bahan
dasar pemolaan bahasa terdapat perbedaan antarteks tertentu, terhadap teks sastra dan
nonsastra.
18
kaidah sebuah bahasa yang menarik perhatian pembaca karena bersifat tidak
konvensional. Seperti yang dijelaskan Aminuddin dalam Nurhadi (1978: 90), apabila
dimungkinkan bahkan lebih ekstrim lagi dihalalkan karena memang kata-kata itu
menjadi bahan yang harus ditata, diolah sedemikian rupa dengan memperhatikan
keselarasan bunyi, makna, dan citraan yang didukungnya. Puisi memang memperlakukan
bahasa secara relatif lebih bebas, baik yang menyangkut struktur sintaksisnya maupun
struktur morfologisnya.
Nurhayati,1992: 44). Yang dimaksud dengan licentia poetica ialah kebebasan seorang
sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk
menghasilkan efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1993: 18). Pada sisi lain Sudjiman
mengatakan bahwa licentia kurang tepat jika diterjemahkan sebagai kebebasan, tetapi
demikian, licentia poetica adalah kewenangan yang diberikan oleh masyarakat (atau oleh
19
gagasannya dalam usaha menghasilkan efek yang diinginkan. Istilah licentia poetica
tersebut menyiratkan adanya semacam dispensasi bagi penyair untuk tidak mematuhi
norma kebahasaan. Namun, tentulah penyimpangan pemakaian bahasa dari norma tata
Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan
perasaan (Achmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif
dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan pokok masalah, audien, dan kejadian.
Menurut Keraf istilah diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan mana
yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan
pemilihan kata tidak dapat dilihat sebagai hal yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat
dalam konteks yang lebih luas karena karya sastra sebagai sebuah wacana yang utuh.
Berasal dari bahasa Latin, imago, citraan merupakan gambaran impian dalam
puisi seorang penyair; dibuat dalam bentuk verbal untuk mendeskripsikan sesuatu,
20
sehingga pembaca atau penikmat sastra dapat membayangkan tanpa harus melihat hal
konkritnya (Scott dalam Rosid 2011:39). Jadi, pada dasarnya, citraan meliputi gambaran
Menurut Burton (dalam Rosid 2011:41), citraan dalam puisi merupakan daya
penarik indera melalui kata-kata. Melalui indera tersebut emosi dan intelek pembaca dapat
dikobarkan dengan cepat. Oleh karena itu wajar saja jika puisi banyak menggunakan
citraan. Namun ditambahkan pula oleh Burton bahwa tidak berarti semua puisi yang
sensasional maupun perseptual yang bersifat visual gambaran yang Nampak, sedangkan
maupun perseptual yang berhubungan dengan rasa: manis,pahit, getir, payau, asin, lezat,
bauan: wangi, anyir, tengik, segar, harum, amis, busuk. Imaji tekanan (pressure image)
berhubungan dengan tekanan, imaji ini meliputi tiga macam (1) imaji perabaan (haptic
image) yang berhubungan dengan perabaan: kasar, halus, lembut, kenyal, dan sebagainya;
(2) imaji gerakan (synaesthetic image) yang berhubungan dengan gerakan: lambat, cepat,
menggelombang, dan dengan tekanan yang berat/menindih; hati yang tertekan, beban
21
penderitaan, dan sebagainya. Selain itu ada juga imaji pendengaran (auditory image) yang
perseptual yang berhubungan dengan suara: hati menjerit, rasa kesadarannya berbisik,
amarahnya menggelegak, jeritan hati nurani, himbauan kasih, dan sebagainya. Terakhir
adalah imaji warna (colour image) yang diartikan sebagai suatu pembayangan kembali
warna: dukamu yang coklat, seputih hatinya, sejarah hidupnya yang hitam, September
Jenis Imaji
LIHATAN GERAKAN
Kata konkret adalah kata yang melukiskan dengan tepat serta membayangkan
dengan jitu agar imaji pembaca dapat ditingkatkan (Nurhayati, 1992: 81). Menurut Scott
(dalam Rosid 2011:43), kata konkret adalah sebuah cara untuk mengusulkan pengalaman
sesegera mungkin akan realita yang berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata
yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan
Pradopo (2010) dan Sudjiman (1993) menyebut bahasa figuratif dengan istilah
bahasa kiasan atau majas. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair
untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasanya dan cara yang tidak langsung
(Waluyo dalam Nurhayati, 1991: 83); Istilah ini juga sejajar pengertiannya dengan
Sementara itu, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bagian dari pilihan kata
yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu (Keraf,
1984: 117). Oleh sebab itu, persoalan bahasa figuratif meliputi semua hirarki kebahasaan:
pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat atau mencakup sebuah wacana
secara keseluruhan. Dengan demikian, pembahasan diksi, kata-kata konkret, citraan, dan
Beberapa bahasa figuratif yang banyak muncul dalam karya sastra adalah :
23
1. Metafora. Menurut Cuddon (dalam Rosid 2011:46), metafora merupakan the basic
figure in poetry. Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
nyata dari citraan; bentuk yang paling tepat untuk menggambarkan citraan atau
langsung dan implisit. Hubungan antarsesuatu yang pertama dengan yang kedua
(Nurgiyantoro 2010:229).
berasal dari meta yang berarti berubah (change) dan onoma yang berarti nama
24
bahasa figuratif yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal
lain karena memiliki pertalian yang sangat dekat. Misalnya, saya naik kijang, ia
Majas metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal
yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal lainnya sebagai penggantinya
(Tarigan 2009:121). Kita dapat menyebut pencipa atau buatannya bisa pula kita
6. Alegori. Menurut Pradopo (2010:71), alegori ialah cerita kiasan atau lukisan
kiasan. Alegori ini banyak digunakan dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun
pada waktu sekarang banyak juga sajak-sajak Indonesia modern. Alegori ini
7. Repetisi, adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai
(Keraf 1984:127)
Pada dasarnya, karya sastra terdiri atas unsur-unsur pembangun yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Wellek dan Warren (dalam Rosid 2011:52)
membaginya ke dalam dua jenis yaitu hakikat puisi yang juga dikenal sebagai isi, dan
metode puisi yang juga disebut dengan bentuk. Hakikat adalah unsur hakiki yang
menjiwai puisi (tema, perasaan, nada, amanat), sedangkan medium bagaimana hakikat itu
Menurut Kamus Istilah Sastra, gaya adalah pemakaian kata yang melewati batas-
batas makna lazim, atau yang artinya secara harafiah menyimpang. Gaya mempunyai
perbedaan secara garis besar yaitu intensitas gaya rendah, menengah, dan tinggi
Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan struktur kalimat
yang dijabarkan menjadi klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi, serta
berdasarkan langsung atau tidaknya yang dipisahkan ke dalam gaya retorik dan kiasan.
Dalam gaya bahasa retorik terbagi atas asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis,
hiperbola, dan paradoks. Sedangkan yang termasuk ke dalam gaya bahasa kiasan adalah
eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonimia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, dan
Ada perbedaan secara gradual antara gaya dalam kehidupan sehari-hari dengan
gaya bahasa dalam karya sastra. Peranan bahasalah yang membedakan di antara
sehari-hari tidak memiliki plot. Sebaliknya dalam karya sastra, dengan medium bahasa
menghasilkan alur yang berbeda, sebagai akibat penyusunan itu sendiri, sehingga
pemplotan. Secara singkat, istilah gaya digunakan dalam pengertian umum, sedangkan
gaya bahasa secara khusus menyangkut bidang pemakaian bahasa. Gaya lebih banyak
berkaitan dengan karya seni nonsastra, sedangkan majas lebih banyak berkaitan dengan
aspek kebahasaan. Dengan singkat, gaya bahasa meliputi gaya dan majas. Dalam
hubungan ini tujuan yang dimaksudkan meliputi aspek estetis, etis, dan pragmatis. Oleh
karena itulah, sebagai pendukung gaya bahasa, jenis majas yang paling dominan adalah
penegasan.
Stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada
umumnya lebih banyak merujuk pada gaya bahasa. Jadi, dalam pengertian yang paling
luas, stilistika adalah sebagai ilmu tentang gaya. Secara analisis, gaya, gaya bahasa, serta
majas adalah objek sastra, sedangkan stilistika adalah ilmu yang mempelajari objek
tersebut.
terjadinya keanekaragaman namun bertemu pada satu muara, Indonesia, yang memiliki
budaya daerah yang tersebar di berbagai suku dan daerah, yang kemudian memberikan
wajah terhadap nilai budaya. Nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah
dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (KBBI, 2014: 963).
28
produk budaya yang dapat dijadikan sebagai patokan penilaian baik-buruk atau benar-
salah dalam masyarakat tersebut. Hal ini dipertegas oleh Syam (dalam Rosid, 2011:83)
yang mengatakan bahwa nilai merupakan sebuah kata yang sulit didefinisikan secara tepat
karena penggunaannya hampir pada semua aspek kehidupan yang sering diucapkan. Oleh
sebab itu, Hamidy (dalam Rosid, 2011:83) mengemukakan pengertian nilai sebanyak
sepuluh jenis, yaitu arti, makna, peranan, guna, kepandaian atau kemampuan, pandangan,
Hamidy (ibid) mengemukakan mengenai sepuluh jenis fungsi nilai yang cukup
mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu: (1) untuk meningkatkan taraf hidup, (2) untuk
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengatur hubungan sosial, (4) mempercepat persatuan,
(5) memberikan pola berbuat dan bertingkah laku, (6) memberikan pandangan hidup, (7)
mengenal dan menghayati misteri alam, (8) untuk mengetahui kebenaran, (9)
membimbing manusia dari hidup menuju kematian, dan (10) dapat berperan untuk
1985: 28), sistem nilai budaya berkaitan dengan lima pokok masalah kehidupan manusia,
yaitu (1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, (2) masalah mengenai hakikat
dari karya manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang
dan waktu, (4) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani, poeima, yang berarti membuat; dalam
bahasa Inggris, kata puisi adalah poem atau poetry, yang berarti membuat atau
pembuatan, karena melalui puisi, seseorang pada dasarnya telah membuat atau
menciptakan sesuatu yang berisi pesan mengenai sebuah keadaan tertentu, baik fisik
maupun mental (Aminuddin, 1995: 134). Dalam pemahaman puisi menurut definisi
yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama, dan seseorang perlu
mengetahui ciri-ciri secara intuitif, namun wujud puisi selalu berubah seiring
perkembangan zaman.
Samuel Taylor Coleridge (dalam Royid, 2011: 98) mengemukakan puisi adalah
Jadi, dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan seperti
yang diungkapkan Shahnon Ahamad (dalam Rosid 2011:99) bahwa dalam puisi
terkandung beberapa unsur berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan
bercampur aduk.
sebuah himpunan sajak yang agung, yang berisi kidung-kidung tentang cinta dan alam,
tentang cumbuan dan perkawinan, yang berasal dari sekurang-kurangnya lima abad
30
sejarah Ibrani, dari zaman Salomo sampai zaman Persia. Jadi, Kidung Agung sejajar
dengan Kitab Mazmur-walaupun dalam batas ukuran yang lebih kecil- yang merupakan
Dalam bahasa Ibrani, kitab ini diberi judul Shir Hashshirim, artinya nyanyian
terbaik dari segala nyanyian. Judul ini diberikan dengan alasan bahwa dari 1005 nyanyian
karangan Salomo (I Raj.4:32), Kidung Agung adalah yang terbaik dan terpenting. Judul
Kidung Agung dimasukkan ke dalam kelompok kitab sastra, di mana dalam kitab
sastra, banyak terdapat puji-pujian berupa nyanyian dan puisi. Seringkali kitab ini
dianggap tidak pantas untuk diangkat sebagai kitab suci oleh karena gaya bahasanya yang
cenderung erotik.
Nama kitab ini diambil dari ayat pertama, Kidung agung dari Salomo. Kitab ini
adalah yang pertama dari lima gulungan (megillot) dalam kanon Ibrani yang digunakan
Paskah. Dalam bahasa Inggris, kitab ini disebut song of songs yang artinya nyanyian
dari nyanyian, dan dalam bahasa Ibrani (Shir Hashshirim, 1:1) ialah superlatif, yang
mengartikan nyanyian yang paling baik karena sukar sekali ditemukan tulisan yang
setaraf dengannya tentang cinta manusia. Kidung ini sangat indah dan mengesankan
sekali dan memuat gambaran-gambaran yang diambil secara halus dari padang dan taman.
Kidung Agung dikategorikan dalam Kitab Hikmat, sebab ciri-ciri sastra hikmat
pada umumnya juga ada dalam Kidung Agung, misalnya bersifat universal dan
31
langsung berhubungan dengan pengalaman hidup manusia dan tidak berorientasi pada
sejarah. Kendatipun ada beberapa kritikus yang menolak Salomo sebagai penulis, terdapat
- Kata lisylomo yang diartikan pada Salomo atau untuk Salomo, dapat juga diartikan of
menyembah berhala (I Raj. 11:3-4), yaitu + 965 BC. Penyuntingan (editing) di waktu
Kitab Kidung Agung merupakan kitab Perjanjian Lama yang terbukti sangat
mengejutkan dan sering memalukan para pembaca Yahudi maupun Kristen. Kedua,
sebagian besar bahasanya sangat unik dan tidak jelas, sehingga mempersulit
1. Dramatis. Pendekatan ini memahami kitab Kidung Agung sebagai sebuah sandiwara
(sandiwara Ibrani kuno). Syair ini dimaksudan untuk acara hiburan di istana, entah
2. Literal. Penafsiran secara harafiah. Jadi kitab Kidung Agung merupakan gambaran
cinta kasih antara seorang pria dan wanita yang sangat romantis yang diangkat dari
32
Pertanyaan yang muncul adalah: jika demikian, mengapa kitab ini dimasukkan dalam
kanon? Bangsa Ibrani adalah bangsa yang menjunjung tinggi kitab sucinya, dan
sungguh-sungguh menjaga dengan teliti agar tidak satupun yang dimasukkan kecuali
3. Alegoris. (Yunani: Allos artinya lain dan agoreyo artinya menyatakan atau
menyampaikan ide atau menyatakan sesuatu hal, tetapi berbeda dari yang tertulis (lain
artinya). Jadi secara alegoris, Kidung Agung merupakan figuratif (kiasan) bukan
4. Tipos/Lambang. (Yunani: typos artinya suatu pola), maka tipos dapat diartikan:
berarti seperti tertulis dengan memberikan tambahan pengertian. Tipos dapat berdasar
fakta sejarah, atau merupakan figuratif tetapi juga sesuai firman Tuhan, mengandung
hal rohani yakni suatu gambaran yang mewakili suatu peristiwa. Jadi Kidung Agung
perempuan. Orang Yahudi menafsirkan Kidung Agung dengan cara ini, itulah
sebabnya kitab ini masuk dalam kanon. Bagi kita, penafsiran tipos, maka mempelai
METODE PENELITIAN
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis (Bogdan dalam
Pendekatan adalah cara pandang objek kajian yang akan diteliti. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural atau objektif, dengan
cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi
ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai keseluruhan makna. Pendekatan
tersebut digunakan untuk mengkaji penggunaan diksi, citraan, kata-kata konkret, dan
bahasa figuratif yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya artefak (benda mati),
dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya sastra (Teeuw,
1994). Pada penelitian yang penulis lakukan, objek kajian berupa teks sastra. Teks sastra
33
34
Dianalisis
Ditafsirkan
Deskriptif Tertulis
ataupun rekayasa manusia. Dengan kata lain, metode deskriptif adalah suatu metode yang
digunakan untuk mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti dengan menguraikan hal-
hal yang menjadi pusat perhatian dan mendukung objek penelitian tersebut. Penelitian
variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya. Metode deskriptif ini
disertai dengan kegiatan analisis agar diperoleh pemahaman dan pembahasan yang
mendalam mengenai stilistika dan nilai budaya yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung
Pasal 1 dan 2 karya Salomo dan kemungkinannya untuk digunakan sebagai bahan
Sumber data dalam penelitian ini adalah Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya
Salomo. Kitab Kidung Agung pasal 1 terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbangun
dalam 10 bait. Setiap ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar.
Kidung Agung pasal 1 (biasa disingkat Kid. 1) ini diawali dengan judul dan nama penulis
(Salomo, putra raja Daud) pada ayat 1 serta mengandung dua perikop, yaitu Mempelai
perempuan puji-memuji.
Kidung Agung pasal 2 (biasa disingkat Kid. 2) terdiri atas 17 ayat dan 57 larik
yang terbangun dalam 5 bait. Setiap ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau
huruf besar. Kidung Agung pasal 2 mengandung satu perikop, yaitu Di pintu mempelai
perempuan.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari Kitab Kidung Agung
pasal 1 dan 2 karya Salomo, yang merupakan salah satu Kitab Puisi dalam Alkitab
Perjanjian Lama, yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada tahun
2006. Data tersebut berbentuk kata-kata, frasa, klausa, atau kalimat atau ungkapan yang
secara totalitas menyatu dalam keseluruhan isi puisi. Hal ini senada dengan pendapat
Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 1999:112) bahwa sumber data utama dalam
penelitian alamiah adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Studi pustaka
adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang
relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan
sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Dengan kata lain, kajian
pustaka adalah bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan objek penelitian yang pernah
dibuat dan didokumentasikan yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian yang
dikaji. Pegumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pembacaan. Data yang
menelaah dan memahami stilistika dan nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 2)
Mencatat data berupa kata, frasa, klausa, kalimat, ungkapan (teks) yang berkaitan dengan
stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 3) Mengelompokkan data
berdasarkan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 4) Menganalisis
data berdasarkan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi.
kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Posisi peneliti dalam penelitian kualitatif sebagai
sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,
dan pengurutan data tentang stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Kitab
Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo kedalam pola katagori dan satuan uraian,
sehingga pada akhirnya dapat ditarik simpulan tentang stilistika dan nilai-nilai budayanya
yang dilengkapi dengan data pendukung. Setelah data terkumpul secara keseluruhan,
analisis data dalam penelitian ini adalah: 1) Data diklasifikasikan berdasarkan masalah
penelitian, yaitu berdasarkan stilistika (diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif)
serta nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra, dalam hal ini puisi. 2)
Menganalisis stilistika puisi dan menganalisis nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
puisi. 3) Mendeskripsikan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 5)
Menyimpulkan hasil analisis stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi.
Berikut ini adalah puisi Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo secara utuh dalam
38
39
4.2 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 1 (Diksi, Citraan, Kata-kata Konkret dan
Bahasa Figuratif)
Berikut akan dipaparkan analisis terhadap puisi Kidung Agung Pasal 1. Analisis
yang dilakukan ini tentunya akan membuka berbagai interpretasi terhadap puisi tersebut.
Interpretasi yang diperoleh dari analisis terhadap puisi tersebut, bukanlah interpretasi yang
bersifat mutlak. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan penafsiran lain yang luput
Puisi ini terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbagi dalam 10 bait. Setiap ayat
dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Kidung Agung 1 (biasa
disingkat Kid. 1) ini diawali dengan judul dan nama penulis (Salomo, putra raja Daud)
pada ayat 1 serta mengandung dua perikop, yaitu Mempelai perempuan dan puteri-puteri
sebagian mungkin merupakan pembicaraan bayangan saja, yang diucapkan pada waktu
pasangan yang bersangkutan tidak hadir. Dalam puisi ini sangat jelas terdapat adanya
kerinduan. Pembagian isi pasal 1 ini sebagai berikut : (a) Kidung Agung 1:1 = Judul, (b)
Kidung Agung 1:2-3 = Nyanyian mempelai perempuan, (c) Kidung Agung 1:4= Nyanyian
mempelai perempuan dan puteri-puteri Yerusalem, (d) Kidung Agung 1:5-6 = Nyanyian
42
mempelai perempuan, (e) Kidung Agung 1:7 = Nyanyian mempelai perempuan kepada
mempelai laki-laki, (f) Kidung Agung 1:8-10 = Nyanyian mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan, (g) Kidung Agung 1:11 = Nyanyian puteri-puteri Yerusalem, (h)
Kidung Agung 1:12-14= Nyanyian mempelai perempuan, (i) Kidung Agung 1:15 =
Nyanyian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, (j) Kidung Agung 1:16-17 =
Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini banyak menggunakan bahasa kias,
namun sebagian juga menggunakan kata-kata konkret seperti bahasa yang kita gunakan
bahasa kiasan.
4.2.1 Diksi
Diksi yang digunakan dalam puisi Kidung Agung 1 sangat dominan, seperti yang
Larik ke-2 yang berbunyi Kiranya ia mencium aku dengan kecupan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:270) kata cium berarti sentuh dengan bibir atau
hidung, sedangkan kata kecupan (2014:645) berarti hasil mengecup. Kata kecup artinya
tiruan bunyi bibir yang dimoncongkan lalu ditarik kembali sehingga berbunyi cup.
Kedua kata itu dipilih oleh penulis dalam puisinya untuk mengungkapkan betapa
perempuan sangat mendambakan rasa cinta dan kasih sayang yang dalam dari sang lelaki
pujaan hatinya. Seseorang yang dicium dengan kecupan akan merasakan hubungan yang
Larik ke-3 yang berbunyi cintamu lebih nikmat daripada anggur, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2014:268) kata cinta bermakna kasih sekali, terpikat (antara
laki-laki dan perempuan) dan kata anggur artinya tumbuhan merambat, buahnya kecil-
kecil sebesar kelereng dan berangkai atau buah anggur. Namun dalam puisi ini kata cinta
batiniah jauh melebihi anggur yang menggambarkan sukacita dan kegembiraan. Kita
mengetahui bahwa pada zaman raja-raja, anggur adalah salah satu buah favorit dan
berkelas. Sekarang pun harganya termasuk mahal. Tetapi bagi si perempuan yang
dilukiskan dalam puisi tersebut, anggur tidak lebih penting atau berharga daripada cinta
Larik ke-4 berbunyi harum bau minyakmu. Kata minyak berarti zat cair
berlemak, biasanya kental, tidak larut dalam air, larut dalam eter dan alkohol (KBBI,
2014:918). Dalam hal ini tidak dipakai kata parfum, sekalipun parfum juga harum baunya.
Di daerah Timur Tengah, minyaklah yang lebih terkenal dan berharga. Di sana sangat
diperlukan karena udaranya sangat panas. Minyak membuat tubuh jadi harum, tidak berbau
nama sang pujaan hati seperti yang tampak pada larik ke-5, bagaikan minyak yang
tercurah namamu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:950) kata nama berarti
kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dsb.), namun dalam
puisi di atas kata namamu mengandung makna tanda sesuatu yang khusus dari seseorang.
sebelumnya. Dia memiliki karakter yang luar biasa. Dia seorang yang sangat bijaksana
negeri orang.
44
Indonesia (2014:867) arti kata maligai adalah ruang di istana tempat kediaman raja atau
putri-putri raja, namun dalam puisi ini kata maligai merujuk pada kamar pengantin.
Larik ke-18 berbunyi, seperti kemah orang Kedar. Kata kemah berarti tempat
tinggal darurat, biasanya berupa tenda yang ujungnya hampir menyentuh tanah dibuat dari
kain terpal dsb. (KBBI, 2014:661). Namun dalam puisi ini kata kemah orang Kedar
bermakna hitam yang cantik dan menarik karena pada zaman itu pada umumnya kemah
dibuat dari bulu domba jantan hitam. Begitu pula larik ke-19 yang berbunyi, seperti tirai-
tirai orang Salma, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:1472) kata tirai berarti
kain (sutra dsb.) berumbai-umbai yang dipakai untuk perhiasan langit-langit tempat tidur
atau tempat duduk, namun dalam puisi ini kata tirai orang Salma bermakna kecantikan
yang sungguh indah dipandang mata karena tirai milik Salomo memang sangat indah,
Besar Bahasa Indonesia (2014:566) dijelaskan bahwa jantung adalah bagian tubuh yang
menjadi pusat peredaran darah, dan jantung hati berarti pusat perasaan, tetapi dalam puisi
ini kata jantung hati mengandung makna kekasih; yang tercinta; yang disayangi. Dan
secara keseluruhan, ayat ketujuh itu menggambarkan bahwa si perempuan selalu rindu
kuda betina, seperti tampak pada baris : Dengan kuda betina daripada kereta-kereta
Firaun. Kuda adalah binatang menyusui, berkuku satu, biasa dipiara orang sebagai
kendaraan (tunggangan, angkutan) atau penarik kendaraan (KBBI, 2014:749). Kuda sering
45
digunakan sebagai lambang kekuatan dan keindahan. Jadi, dalam puisi ini, kata kuda betina
bermakna sang gadis yang terlihat sangat cantik dan memiliki pribadi yang baik dan
menarik.
Larik ke- 43 berbunyi semerbak bau narwastuku. Di sana ada kata narwastu.
Narwastu adalah tanaman wewangian dari India yang harganya sangat mahal dan bernilai
tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:952) dituliskan bahwa narwastu
adalah akar wangi; bau-bauan yang dibuat dari akar wangi. Dalam puisi di atas, dipilihnya
kata narwastu untuk menyatakan bahwa cinta sang perempuan sungguh besar dan
berharganya, dan itu (baca : cinta) sangat jelas terlihat oleh yang lain. Kemudian senada
dengan narwastu, dalam larik ke-44 digunakan kata mur : Bagiku kekasihku bagaikan
sebungkus mur, tersisip di antara buah dadaku. Mur juga berasal dari India, yakni bahan
dupa yang harum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:941) disebutkan, mur
adalah damar yang harum baunya, dipakai untuk dupa dan sebagainya. Namun dalam puisi
ini kata mur bermakna cinta yang menggairahkan yang senantiasa tersimpan dalam dada.
Larik ke-46 yang terdapat dalam ayat 14 berbunyi, Bagiku kekasihku setangkai
bunga pacar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:222) menjelaskan bahwa bunga
adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum
baunya; atau sinonim dengan kembang. Bunga pacar adalah jenis bunga yang terdapat di
daerah Palestina, berwarna kuning dan putih, serta harum baunya. Dalam puisi di atas kata
Larik ke-48 tertulis, Lihatlah, cantik engkau, manisku. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2014:875) dijelaskan, manis artinya rasa seperti rasa gula; atau sangat
46
menarik hati; atau indah, menyenangkan. Namun dalam puisi ini kata manisku berarti
Larik terakhir (54 dan 55) berbunyi : /Dari kayu aras balok-balok rumah kita/dari
kayu eru papan dinding-dinding kita//. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:127)
dijelaskan bahwa balok ialah batang kayu yang telah dirimbas, tetapi belum dijadikan
papan dan sebagainya, sedangkan papan ialah kayu yang lebar dan tipis. Di daerah
Palestina, kayu aras dan kayu eru adalah jenis kayu yang sangat bagus, kuat, dan mahal.
Dalam puisi di atas, balok dan papan menyatakan aturan-aturan/hukum yang mengikat
hubungan dan kehidupan kedua kekasih tersebut, dan aturan-aturan/hukum itu kuat dan
tahan lama.
4.2.2 Citraan
Citraan adalah gambaran angan yang muncul dibenak kita ketika kita membaca
puisi. Citraan dalam puisi akan memberi efek kepada pembaca. Pembaca seolah-olah dapat
melihat, dapat merasakan, dan dapat mendengar apa yang dilihat, dirasakan, dan didengar
penulis. Penggunaan citraan juga tampak pada puisi Kidung Agung pasal 1 ini.
Larik ke-2 berbunyi : /Kiranya ia mencium aku dengan kecupan//. Pada larik ini
terdapat citraan pendengaran, yang penulis beri kode cpd. Ketika kita dikecup oleh
seseorang atau kita mengetahui seseorang yang sedang memberi kecupan, kita tentu
mendengar suara cup karena bunyi itu bersumber dari bunyi bibir yang dimoncongkan
Larik ke-11 dan 12 juga mengandung cpd. Ini tampak pada lariknya : /Kami akan
bersorak-sorai dan bergembira karena engkau/. Sorak-sorai adalah suara teriak dan pekik
47
beramai-ramai sebagai tanda gembira atau senang, menghina, dan sebagainya. Dan suara
Larik ke-22 yang berbunyi /Putera-putera ibuku marah kepadaku/, terdapat pula
cpd. Kadang-kadang atau sering, kemarahan seseorang disertai kata-kata yang keras,
menegur, membentak, mengomeli, atau bahkan memaki. Dalam angan kita, kita dapat
mendengar bagaimana si gadis dalam puisi itu dimarahi oleh saudara-saudaranya sendiri.
Selain citraan pendengaran, citraan penciuman (penulis beri kode cpc) tampak
dalam puisi Kidung Agung pasal 1. Pada larik ke-4: /harum bau minyakmu/ dan ke-43:
/semerbak bau narwastuku// serta larik ke-44: /Bagiku kekasihku bagaikan sebungkus
mur/. Minyak adalah zat cair berlemak yang biasanya kental, dan narwastu serta mur adalah
jenis minyak yang sangat wangi. Kita tentu dapat mencium bau harum yang ditimbulkan
Larik ke-7 dan 8 mengandung citraan gerak (penulis beri kode cg, yaitu :
/Tariklah aku di belakangmu/ marilah kita cepat-cepat pergi//. Gadis Sulam atau mempelai
kekasihnya dengan cara menarik tangannya, dia berada di belakang. Lalu para puteri
Yerusalem mengajak gadis itu untuk bergegas meninggalkan tempat mereka. Jadi kita jelas
Larik ke-21 mengandung citraan peraba (penulis beri kode cpr). Ini tampak pada
larik: /karena terik matahari membakar aku//. Panasnya terik matahari dapat dirasakan pada
kulit. Rupanya si gadis dalam puisi ini biasa bekerja di kebun. Jadi dia sering merasakan
panas terik matahari membakar kulitnya. Karena seringnya kena sinar matahari, dia jadi
terlihat hitam.
48
Dari beberapa citraan, citraan penglihatan (penulis beri kode cpl) adalah yang
paling dominan terdapat pada puisi ini. Mulai dari larik ke-9 dan 10: /Sang raja telah
membawa aku ke/ dalam maligai-maligainya//. Maligai adalah ruang di istana tempat
kediaman raja atau putri-putri raja. Tentu kita dapat melihat bagaimana indah dan
mewahnya ruang itu. Yang lain tampak pada larik ke-16: /Memang hitam aku, tetapi
cantik/. Indra apakah yang dapat mengetahui warna hitam dan sesuatu atau seseorang yang
cantik kalau bukan indra penglihatan? Pada larik ke-18 dan 19 juga terdapat citraan
penglihatan: / seperti kemah orang Kedar/ seperti tirai-tirai orang Salma//. Kecantikan
Gadis Sulam itu disamakan dengan kemah orang Kedar yang terbuat dari kulit kambing
warna hitam, satu kemah yang bagus dan indah. Begitu juga tirai-tirai orang Salma itu,
Larik ke-28 juga mengandung cpl: /domba-domba berbaring pada petang hari//.
Dan ini sama dengan larik ke-30: /dekat kawanan-kawanan domba teman-temanmu?//
Senang rasanya mata ini saat melihat banyak domba yang berbaring atau rebahan di atas
rumput atau dataran. Warna domba-domba itu kebanyakan putih, namun ada juga yang
keemasan. Atau kawanan domba itu sedang makan rumput, terlihat mulut domba-domba
Larik ke- 32: /hai jelita di antara wanita/ dan larik ke-35: /dekat perkemahan para
gembala// tampak juga cpl. Sang gadis dalam puisi ini rupanya adalah gadis tercantik di
antara wanita. Dengan mata kita melihat kecantikan seorang gadis. Dengan mata pula kita
dapat melihat adanya perkemahan yang didirikan oleh para gembala sebagai tempat mereka
Berikutnya hal-hal yang indah, bagus, cantik, tampan, atau mewah hanya dapat
diketahui oleh indra penglihatan, seperti yang tampak pada larik /Dengan kuda betina
49
(larik 38)/ dan lehermu di tengah kalung-kalung (larik 39)/ perhiasan-perhiasan emas (larik
40)/ dengan manik-manik perak (larik 41)/ tersisip di antara buah dadaku (larik 45)/ di
kebun-kebun anggur En-Gedi (larik 47)/ lihatlah tampan engkau, kekasihku (larik 51)/ dari
kayu aras balok-balok rumah kita (larik 54)/ dari kayu eru papan dinding-dinding kita (larik
55)//.
Kata konkret adalah kata yang melukiskan dengan tepat serta membayangkan
dengan jitu agar imaji pembaca dapat ditingkatkan. Dengan kata lain, kata konkret adalah
sebuah cara untuk mengusulkan pengalaman sesegera mungkin akan realita yang
berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat
membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.
Secara umum, kata-kata dalam puisi Kidung Agung pasal 1 ini mudah dipahami
karena mengandung makna denotatif, tetapi sebagian menggunakan kata kiasan atau
bahasa figuratif untuk menunjukkan kekohesian larik demi larik. Puisi Kidung Agung pasal
1 mengisahkan perjalanan cinta sepasang kekasih, antara gadis Sulam dan Raja Salomo.
Ketertarikan satu sama lain membuat mereka saling memuji kekasihnya. Dan mereka
berharap dapat mempererat hubungan mereka. Berikut adalah beberapa deskripsi kata-kata
Larik ke-3 berbunyi: /Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur/. Pada larik ini
digunakan kata anggur. Diketahui, anggur adalah tumbuhan merambat, buahnya kecil-
kecil sebesar kelereng (kelereng kecil atau besar) dan berangkai. Buah anggur tergolong
buah yang berkelas, mahal, manis dan lezat rasanya. Bentuk dan warnanya pun
50
menggiurkan. Di istana raja-raja, dalam hidangan santapan raja selalu atau sering disajikan
buah anggur. Buah anggur adalah buah favoritnya. Tetapi tampaknya anggur terkalahkan
oleh cinta. Rasa cinta itu lebih nikmat daripada buah anggur. Jadi, kata anggur digunakan
untuk lebih mengkonkretkan kata cinta sebagai sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Dan hal
ini diulang lagi pada larik ke-13 dan 14: /kami akan memuji cintamu/ lebih daripada
anggur//.
Larik ke-16 berbunyi: /Memang hitam aku/. Kemudian diteruskan dengan larik ke-
18 dan 19 yang berbunyi: /seperti kemah orang Kedar/ seperti tirai-tirai orang Salma//.
Kata hitam mengandung makna denotatif. Dapat dibayangkan bagaimana rupa seorang
gadis yang kulitnya hitam. Tetapi gadis Sulam ini meskipun hitam, dia cantik. Dan
kecantikannya walaupun hitam itu dipertegas dengan larik 18 dan 19. Kemah orang Kedar
terbuat dari kulit kambing berwarna hitam mengkilat dan licin. Harganya pun mahal. Tirai-
tirai orang Salma berwarna-warni dan terkesan mewah. Jadi, dengan penggunaan kata-kata
itu, dipahami bahwa gadis Sulam itu hitam namun benar-benar cantik. Dan hal yang
menunjukkan bahwa dia memang hitam, diulang lagi pada larik ke-20 dan 21: /Janganlah
kamu perhatikan bahwa aku hitam/ karena terik matahari membakar aku//.
Kecantikan gadis Sulam atau ketampanan Raja Salomo sangat jelas diketahui
karena kata-kata yang menyatakan itu beberapa kali digunakan dalam puisi ini. Misalnya
penggunaan kata cantik sebanyak tiga kali dan kata jelita satu kali. Selain itu banyak
Larik ke-25 menggunakan kata /jantung hatiku/ memperjelas bahwa gadis Sulam
dan Raja Salomo saling cinta, memiliki hubungan yang dekat atau intim. Dan pada
Pertanyaan muncul, mengapa gadis Sulam itu diumpamakan dengan kuda betina milik
Firaun? Penggunaan kata kuda betina bukan hendak mengatakan kebinalan sang gadis,
melainkan untuk menggambarkan bahwa gadis tersebut kuat dan indah, serta menarik,
Palestina tidak ada satu aliran sungai pun yang sepanjang tepinya begitu subur seperti
daerah En-Gedi. Gadis Sulam itu dikiaskan seperti bunga pacar (bunga bakung/lili) yang
tumbuh di kebun-kebun anggur yang subur karena hidup di dekat aliran sungai di En-Gedi.
Sekali lagi ini mempertegas bahwa gadis tersebut sungguh menarik dan cantik.
Bahasa figuratif disebut juga dengan istilah bahasa kiasan atau majas. Bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasanya dan cara yang tidak langsung. Persoalan bahasa figuratif meliputi
semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat atau
Puisi Kidung Agung pasal 1 menggunakan gaya bahasa simile (penulis beri kode
gsi), repetisi (penulis beri kode gr), metafora (penulis beri kode gmt), personifikasi
(penulis beri kode gp) , sinekdok (penulis beri kode gsn), dan hiperbola (penulis beri
kode gh).
Larik ke-5, ke-18, ke-19, ke-29, ke36 dan 37, ke-44, dan ke-50 adalah larik-larik
yang menggunakan gsi. Pada larik ke-5 digunakan kata bagaikan sebagai kata
pembanding. Nama Raja Salomo yang harum dibandingkan dengan harumnya bau minyak.
52
Pada larik ke-18 dan 19 terdapat kata seperti sebagai kata pembanding. Hitam dan
cantiknya gadis Sulam dibandingkan dengan kemah orang Kedar yang terbuat dari kulit
kambing berwarna hitam dan indahnya tirai orang Salma. Pada larik ke-29 digunakan kata
serupa sebagai kata pembandingnya. Pada larik ini si gadis yang kebingungan mencari di
mana kekasihnya berada diperbandingkan dengan pengembara yang tidak tahu arah tujuan.
Pada larik ke-36 dan 37 digunakan kata umpama sebagai kata pembanding. Si gadis yang
cantik dan kuat diperbandingkan dengan kuda betina yang kuat, gagah, dan menarik. Pada
larik ke-44 terdapat kata bagaikan sebagai kata pembanding. Dalam larik ini si lelaki yang
begitu menawan dan menyenangkan hati diperbandingkan dengan mur yang harum
baunya. Dan pada larik ke-50 juga digunakan kata bagaikan sebagai kata pembanding.
Di sini mata yang lembut, indah, dan menarik itu diperbandingkan dengan merpati yang
Larik ke-11 dan 13, larik ke-26 dan 27, larik ke-48 dan 49, larik ke-54 dan 55 adalah
larik-larik yang menggunakan gr. Pada larik ke-11 dan 13 terdapat pengulangan kata
kami di awal setiap lariknya. Pada larik ke-26 dan 27 terdapat pengulangan kata di mana
pada awal lariknya. Pada larik ke-48 dan 49 terdapat pengulangan kata cantik di tengah
kedua larik. Dan pada larik ke-54 dan 55 terdapat pengulangan kata kayu di tengah larik
Larik ke-21 berbunyi: /karena terik matahari membakar aku//. Pada larik ini
terdapat gp dan gh. Terik matahari seolah dapat melakukan kegiatan membakar
sesuatu seperti yang biasa dilakukan oleh manusia. Tentulah terik matahari tidak sampai
membakar kulit manusia hingga hangus dan melepuh. Jadi, penggunaan kata membakar
menggunakan gmt. Dalam larik ini tidak terdapat kata pembanding. Metafora yaitu
perbandingan secara singkat dan langsung. Dalam puisi ini kekasih secara langsung
dibandingkan dengan setangkai bunga pacar. Bunga pacar itu warnanya kuning dan putih,
serta baunya harum. Sang kekasih kurang lebih menarik dan menyenangkan.
Larik ke-55 menggunakan gsn. Bunyi lariknya: /dari kayu eru papan dinding-
4.3 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 2 (Diksi, Citraan, Kata-kata Konkret dan
Bahasa Figuratif)
Berikut akan dipaparkan analisis terhadap puisi Kidung Agung Pasal 2. Analisis
yang dilakukan ini pun tentunya akan membuka berbagai interpretasi terhadap puisi
tersebut, sama seperti terhadap Kidung Agung Pasal 1. Interpretasi yang diperoleh dari
analisis terhadap puisi tersebut, bukanlah interpretasi yang bersifat mutlak. Dengan
demikian, tidak tertutup kemungkinan penafsiran lain yang luput dari perhatian pengkaji.
Puisi ini terdiri atas 17 ayat dan 57 larik yang terbagi dalam 5 bait. Setiap
ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Kidung Agung 2 (biasa
Sama dengan Kidung Agung pasal 1, Kidung Agung Pasal 2 ini juga berisikan
bayangan saja, yang diucapkan pada waktu pasangan yang bersangkutan tidak hadir.
Dalam puisi ini sangat jelas terdapat adanya kidung (nyanyian) penggambaraan, kidung
(nyanyian) kekaguman, dan kidung (nyanyian) kerinduan. Pembagian isi pasal 1 ini
sebagai berikut : (a) Kidung Agung 2:1 = Nyanyian mempelai perempuan; (b) Kidung
54
Agung 2:2 = Nyanyian mempelai laki-laki; (c) Kidung Agung 2:3 = Nyanyian mempelai
perempuan; (d) Kidung Agung 2:4-7 = Nyanyian mempelai perempuan kepada puteri-
puteri Yerusalem; (e) Kidung Agung 2:8-14 = Nyanyian mempelai perempuan; (f) Kidung
Agung 2:16 = Nyanyian mempelai perempuan; (h) Kidung Agung 2:17 = Nyanyian
Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini banyak menggunakan bahasa kias,
namun sebagian juga menggunakan kata-kata konkret seperti bahasa yang kita gunakan
bahasa kiasan.
4.3.1 Diksi
Diksi yang digunakan dalam puisi Kidung Agung 2 cukup dominan, seperti yang
Larik ke-3 yang berbunyi Seperti bunga bakung di antara duri-duri. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:123) dijelaskan bahwa bakung adalah tumbuhan
yang ditanam sebagai tanaman hias, bunganya berwarna putih atau merah, akarnya
digunakan untuk mengobati luka dan dianggap sebagai penawar racun. Dalam bahasa
Inggrisnya disebut lily of the valleys. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:827)
dijelaskan bahwa lili adalah tanaman hias berasal dari Jepang atau Cina, bunganya
berbentuk corong berwarna putih atau bergaris-garis merah tua dan dibiakkan dengan
umbi. Dalam puisi di atas, kata bunga bakung jelas menunjukkan seorang gadis cantik nan
menawan, yang begitu dikagumi oleh sang lelaki. Gadis pujaan itu tampak berbeda dengan
55
gadis-gadis dewasa lainnya. Kemudian kata duri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2014:348) adalah bagian tumbuhan yang runcing dan tajam. Namun dalam puisi di atas,
kata duri-duri bermakna para gadis yang tidak lebih cantik daripada gadis sang kekasih itu.
Larik ke-5 ayat 3 yang berbunyi Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di
hutan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:1087) kata pohon mempunyai arti
tumbuhan yang berbatang keras dan besar; pokok kayu, sedangkan kata apel (2014:80)
bermakna pohon yang buahnya bundar, berdaging tebal dan mengandung air serta berkulit
matang rasanya manis keasam-asaman. Jadi pohon apel adalah pohon buah apel. Namun
dalam puisi di atas kata pohon apel bermakna laki-laki tampan, gagah, dan kuat yang
menjadi pujaan hati si gadis. Laki-laki tersebut tampak berbeda dengan pemuda-pemuda
lainnya, yang digambarkan dengan pohon-pohon di hutan. Penyataan ini sangat terlihat
dari larik ke-6 yang berbunyi demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna. Kemudian
pada larik ke-7 dan 8 dikatakan, Di bawah naungannya aku ingin duduk, buahnya manis
bagi langit-langitku. Kata naungan artinya lindungan; tempat naungan (KBBI, 2014:955)
dan kata buah artinya bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik (biasanya
berbiji) (KBBI, 2014:211). Sebagaimana pohon dapat digunakan untuk tempat bernaung
atau berlindung, dalam puisi di atas laki-laki terkasih itu dapat melindungi atau menjaga
gadisnya, dan kasih sayang atau cinta kasih sebagai buahnya begitu melegakan tubuh gadis
tersebut.
Larik ke-12 berbunyi segarkanlah aku dengan buah apel. Di atas telah dijelaskan
mengenai arti kata buah apel. Buah apel memang adalah salah satu buah yang biasa
disajikan dalam hidangan raja-raja. Buah apel termasuk buah yang cukup mahal dan
56
rasanya enak. Pada puisi ini kata buah apel memiliki makna cinta, perhatian, dan kasih
sayang seorang kekasih. Gadis dalam puisi ini begitu mendambakan itu karena dia sedang
dilanda mabuk asmara. Dalam larik ke-13 dikatakan, sebab sakit asmara aku. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2014:1204) menjelaskan arti kata sakit yaitu berasa tidak nyaman
di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu. Dalam puisi di atas si gadis
merasakan hatinya berbunga-bunga, gelisah tidak menentu, mungkin juga kurang selera
makan, tidur tidak enak, sehingga tubuh kurang sehat. Namun sakit seperti ini dapat
terobati oleh cinta dan kasih sayang dari sang pujaan hati.
Larik ke-30 menyebutkan kata manisku, seperti yang terdapat dalam pasal 1 :
(2014:875) kata manis berarti rasa seperti rasa gula; sangat menarik hati; indah;
menyenangkan. Tetapi yang dimaksud manisku dalam puisi ini adalah gadis yang dicintai
dan disayangi.
Larik ke-31 berbunyi: musim dingin telah lewat dan baris ke-32 tertulis hujan
telah berhenti dan sudah lalu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:943)
dijelaskan bahwa musim dingin berarti musim sesudah musim gugur atau sebelum musim
semi, dan kata hujan (2014:509) artinya titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena
proses pendinginan, namun dalam puisi Kidung Agung Pasal 2 ini frasa musim dingin dan
kata hujan menyatakan hubungan cinta yang baru tumbuh. Sesuai dengan bunyi kedua larik
tersebut, maka itu artinya sekarang hubungan cinta kedua kekasih itu sudah matang. Hal
ini kontras dengan ayat 7 tepatnya larik ke-19 dan 20 yang berbunyi jangan kamu
Larik ke-33-44 berbunyi, /Di ladang telah nampak bunga-bunga/ tibalah musim
memangkas/ bunyi tekukur terdengar di tanah kita// Pohon ara mulai berbuah/ dan bunga
perdengarkanlah suaramu!// Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!//. Larik-larik ini
senada dengan larik ke-31 dan 32 di atas, yang menyatakan bahwa hubungan cinta mereka
sudah matang. Dua sejoli tersebut sudah sama-sama siap untuk melanjutkan hubungan
cinta mereka ke jenjang berikutnya. Terutama sang gadis, sudah mengharapkan kedatangan
Larik ke-39 di atas terdapat kata merpatiku, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2014:906) kata merpati bermakna burung; burung dara, namun dalam puisi ini
Larik ke-45 terdapat kata rubah-rubah : Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu
dan dilanjutkan pada larik ke-46: rubah-rubah yang kecil. Kamus Besar Bahasa
bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya. Pada puisi ini rubah-
rubah maknanya segala gangguan dan kesusahan yang datang dalam hidup ini.
Larik ke-47 dikatakan bahwa rubah-rubah itu merusak kebun-kebun anggur dan
larik ke-48 kebun-kebun anggur yang sedang berbunga. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2014:642) dijelaskan, kebun artinya sebidang tanah yang ditanami pohon
musiman, namun dalam puisi ini kebun-kebun anggur bermakna tempat hidup, kehidupan
itu sendiri, atau hubungan cinta kasih yang sedang terjalin itu.
58
bunga bakung. Frasa gembala domba artinya orang yang pekerjaannya menggembala
domba (KBBI, 2014:435) dan bunga bakung artinya sama dengan bunga lili, tanaman hias
yang bunganya berbentuk corong berwarna putih atau bergaris-garis merah tua yang
dibiakkan dengan umbi. Namun dalam puisi ini klausa tersebut bermakna orang yang
4.3.2 Citraan
Penggunaan citraan yang paling dominan dalam puisi Kidung Agung Pasal 2 ini
Larik ke-1 dan 2: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di lembah-lembah//.
Mempelai perempuan atau gadis Sulam membandingkan dirinya dengan bunga-bunga liar
kemewahan yang ada di Yerusalem. Saron adalah dataran di pesisir Laut Tengah di bagian
selatan Gunung Karmel. Sementara bunga bakung di lembah-lembah (bahasa Inggris: Lily
amaqim". Bunga yang diyakini sejenis dengan bunga yang dimaksud adalah Lilium
longiflorum, atau "Bakung Paskah". Sekalipun bunga mawar dari Saron dan bunga bakung
itu dianggap bunga liar, keindahan bentuk dan warnanya terlihat sangat menyenangkan.
Larik ke-3 dan ke-4 juga mengandung cpl: /Seperti bunga bakung di antara duri-
duri/ demikianlah manisku di antara gadis-gadis//. Kecantikan gadis Sulam itu terlihat
melebihi para gadis lain yang juga ada bersama mereka. Kecantikan gadis Sulam itu
disamakan dengan indahnya bunga bakung. Kemudian pada larik ke-5 dan ke-6 kita dapat
59
melihat ketampanan atau kegagahan dan keelokan sang lelaki yang dicintai gadis Sulam,
yaitu Raja Salomo. Perawakannya yang menarik dan menawan hati itu dibandingkan
dengan pohon apel. Perhatikan bunyi lariknya: /Seperti pohon apel di antara pohon-pohon
Larik ke-9 pun terlihat adanya cpl: /Telah dibawanya aku ke rumah pesta/; hal ini
memperlihatkan adanya keramaian di sebuah rumah yang tentunya bagus dan mewah
karena rumah itu milik seorang raja, yakni Raja Salomo. Dan di rumah pesta itu kita dapat
melihat hidangan makanan: /Kuatkanlah aku dengan penganan kismis/ segarkanlah aku
Larik ke-14 dan 15 pun terdapat cpl: /Tangan kirinya di bawah kepalaku/ tangan
kanannya memeluk aku//. Melalui melihat, kita jelas mengetahui bahwa tangan kiri kekasih
pria itu diletakkannya di bawah kepala sang gadis, bukan di pinggang atau di bagian tubuh
yang lain. Dan melalui melihat, kita juga mengetahui pasti bahwa tangan kanannya sedang
memeluk sang gadis, bukan sedang memijat atau melakukan kegiatan lainnya.
Larik ke-22 sampai dengan larik ke-28, kita sangat jelas dapat mengamati adanya
cpl. Sang kekasih diibaratkan seperti seekor kijang atau anak rusa, yang ketika datang
untuk dapat melihat gadis pujaannya. Perhatikan kata-kata dalam lariknya: /Lihatlah, ia
Larik ke-32, 33, dan 36 berbunyi: /hujan telah berhenti dan sudah lalu// Di ladang
telah nampak bunga-bunga/ Pohon ara mulai berbuah/. Pada larik-larik ini pun tampak
60
adanya cpl. Kita tidak melihat lagi adanya air hujan yang turun dari langit karena musim
hujan sudah lewat. Sekarang yang terlihat oleh mata ialah bunga-bunga yang indah, yang
lereng-lereng gunung/ dan elok wajahmu//. Pada ketiga larik di atas kita dapat melihat
(adanya cpl) bagaimana batu-batu yang ada di lereng-lereng gunung. Kekasihnya yang
diibaratkan dengan merpati, terlihat dari jauh berada di antara bebatuan gunung itu. Sang
gadis tidak sabar untuk segera melihat dari dekat wajah kekasihnya yang rupawan.
Larik ke-46, 47, dan 48 juga memperlihatkan cpl: /rubah-rubah yang kecil/ yang
Tampak dengan jelas bahwa rubah-rubah itu berukuran kecil, bukan besar. Tetapi
walaupun kecil, rubah-rubah itu terlihat telah merusak kebun-kebun anggur yang sedang
berbunga.
Larik ke-52 dan 53 berbunyi /Sebelum angin senja berembus/ dan bayang-bayang
menghilang//. Pada kedua larik di atas tampak bahwa hari sudah senja dan matahari hampir
tenggelam. Bayang-bayang pohon, tanaman jenis lain, atau benda-benda yang ada di alam
akibat pantulan sinar matahari masih terlihat, tetapi segera akan menghilang seiring
memperlihatkan dataran tinggi perbukitan yang ditanami berbagai jenis tanaman palawija
dan tanaman keras. Dari jauh bukit-bukit itu terlihat hijau dan indah, tetapi di sela-selanya
Di samping citraan penglihatan, pada Kidung Agung Pasal 2 ini terdapat pula
cpce, seperti pada larik ke-8 yang berbunyi /buahnya manis bagi langit-langitku//. Buah
yang dimaksud dalam larik ini ialah buah apel karena pada larik sebelumnya dikatakan
bahwa si gadis ingin berteduh di bawah pohon apel. Buah apel dapat diketahui rasanya
manis atau asam setelah dicecap atau dirasakan pada lidah manusia.
Larik ke-11 dan 12 juga mengandung cpce. Kedua larik ini berbunyi:
/Kuatkanlah aku dengan penganan kismis/ segarkanlah aku dengan buah apel//. Dari larik
sebelumnya sudah dijelaskan bahwa si gadis telah di bawa ke rumah sang lelaki,
kekasihnya. Dan di rumah itu tersedia penganan kismis dan buah apel. Karena si gadis
sedang sakit asmara, dia membutuhkan makanan-makanan yang dapat menolong agar
tubuhnya kuat dan sehat kembali. Penganan kismis dan buah apel adalah makanan yang
tepat. Kismis adalah buah anggur yang dikeringkan dan dihilangkan bijinya. Kedua jenis
makanan itu tentu adalah makanan yang bergizi dan menyehatkan dan terasa enak.
Larik ke-23 dan 24 serta 27 dan 28 mengandung cg. Larik-larik ini berbunyi
Lompat adalah bergerak dengan mengangkat kaki ke depan (ke bawah, ke atas) dan dengan
cepat menurunkannya lagi. Loncat adalah lompat dengan kedua atau keempat kaki
memperhatikan, atau melihat berulang kali. Jadi, jelas tampak bahwa sang kekasih yang
digambarkan seperti seekor kijang atau anak rusa itu bergerak dari satu tempat ke tempat
lain untuk melihat atau memperhatikan si gadis. Dan hal ini diulang kembali pada larik ke-
62
55 dan 56 saat sang gadis menghendaki kekasihnya pulang: /berlakulah seperti kijang/ atau
larik itu terdapat kata berbicara. Bila ada seseorang yang sedang berbicara, sudah pasti
ada suara, dan suara itu terdengar oleh telinga yang berada dekat dengan orang yang
berbicara itu. Apa yang dikatakan oleh si laki-laki? Dia memanggil gadisnya untuk bangun
Larik ke-35 pun mengandung cpd. Lariknya berbunyi: /bunyi tekukur terdengar
di tanah kita//. Kata bunyi artinya sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh
telinga. Setelah tiba musim bunga dan buah, banyak burung tekukur berdatangan ke
wilayah itu dan burung-burung tekukur itu memperdengarkan suara mereka yang merdu.
suaramu/ juga menegaskan cpd. Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut
manusia, seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis; atau bunyi
binatang. Sang gadis sudah rindu mendengarkan suara kekasihnya, dia ingin bercakap-
cakap dengannya.
Larik ke-37 mengandung cpc. Dan ini hanya satu-satunya citraan penciuman
dalam Kidung Agung pasal 2. Lariknya berbunyi: /dan bunga pohon anggur semerbak
baunya//. Kata bau artinya apa yang dapat ditangkap oleh indra pencium, seperti anyir,
harum, busuk. Bunga pohon anggur semerbak baunya artinya bau yang dikeluarkan oleh
mungkin akan realita yang berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata yang
diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang
Secara umum, kata-kata dalam puisi Kidung Agung pasal 2 ini mudah dipahami
karena mengandung makna denotatif, tetapi sebagian menggunakan kata kiasan atau
bahasa figuratif. Larik demi larik dan bait demi bait menunjukkan kekohesian yang padat.
Kata-kata kiasan atau konotatif digunakan juga untuk membayang sesuatu atau keadaan
yang dimaksud penulis. Puisi Kidung Agung pasal 2 ini adalah lanjutan kisah perjalanan
cinta sepasang kekasih seperti yang tergambar dalam pasal 1. Bila dalam pasal 1 dimulai
dengan perkenalan, maka di pasal 2 hubungan mereka semakin dekat atau intim . Berikut
adalah beberapa deskripsi kata-kata konkret yang terdapat dalam puisi Kidung Agung pasal
2.
Larik ke-1 dan 2 berbunyi: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di lembah-
lembah//. Bunga merupakan kata konkret yang dapat membantu pembaca untuk
membayangkan bahwa gadis dalam puisi itu adalah cantik. Gadis Sulam itu ibarat bunga,
lebih konkretnya ibarat bunga mawar dan bunga bakung. Bunga adalah bagian tumbuhan
yang akan menjadi buah, dan biasanya elok warnanya dan harum baunya. Dengan memakai
kata bunga mawar dan bunga bakung untuk menunjuk pada gadis itu, maka dengan nyata
kita mengetahui kecantikannya yang luar biasa. Dan kepastian bahwa gadis ini memang
cantik dapat kita ketahui dari penggunaan kata-kata yang merujuk pada kata cantik,
Larik ke-10 berbunyi: /dan panjinya di atasku adalah cinta//. Satu kata yang
mempertegas sumpah janji bahwa sang lelaki benar-benar mencintai sang gadis yaitu kata
panji. Dua orang yang saling mencintai haruslah diikat oleh janji setia. Dan janji itu harus
dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan perbuatan. Kata panji dapat diartikan tanda
kebesaran atau pedoman hidup. Ini berarti pernyataan cinta itu tidak boleh dianggap main-
main.
Larik ke-13 yang berbunyi /sebab sakit asmara aku/ kembali menekankan adanya
hubungan cinta antara dua insan. Karena perasaan cinta yang membara itu, sang gadis
sampai sakit. Orang yang sakit asmara tidaklah dapat disebuhkan oleh dokter. Dia akan
sembuh dengan sendirinya ketika idaman hatinya memberikan cinta kepadanya. Suatu
Larik ke-49 yang berbunyi /Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia/ juga
menyatakan bahwa kedua insan yang jatuh cinta itu, yaitu gadis Sulam dan Raja Salomo,
sudah saling mengikat janji, saling memahami, saling memiliki, dan saling setia. Tidak ada
lagi yang dapat memisahkan mereka kecuali maut. Suatu hubungan yang suci dan indah.
Puisi Kidung Agung pasal 2 mengandung lima gaya bahasa simile (gsi), dua gaya
bahasa metafora (gmt), sepuluh gaya bahasa repetisi (gr), dua gaya bahasa metonimia
(gmn).
Larik ke-1 dan ke-2 berbunyi: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di
bunga mawar dan bunga bakung. Hubungan yang pertama aku dengan yang kedua
bunga hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembanding eksplisit.
Larik ke-3 sampai ke-6, larik ke-25, larik ke-55 dan ke-56 adalah larik-larik yang
menggunakan gsi. Pada larik-larik itu terdapat kata-kata pembanding seperti dan serupa.
Pada larik ke-3 dan ke-4 sang lelaki memuji gadisnya yang cantik dengan
membandingkannya dengan bunga bakung. Pada larik ke-5 dan ke-6 sang gadis memuji
kegagahan lelakinya dengan membandingkannya dengan pohon apel. Selain itu ia pun
membandingkannya dengan kijang dan anak rusa (larik ke-25, ke-55, dank e-56).
Larik ke-3 sampai ke-6, ke-11 dan 12, ke-14 dan 15, ke-17, ke-23 dan 24, ke-42
dan 43, ke-45 dan 46, ke-47 dan 48, ke-49 menggunakan gr. Pada larik ke-3 sampai ke-
6 terdapat pengulangan kata di antara di tengah setiap larik. Pada larik ke-11 dan 12
terdapat pengulangan kata dengan di tengah lariknya. Pada larik ke-14 dan 15 terdapat
pengulangan kata tangan di awal setiap larik. Pada larik ke-17 terdapat pengulangan kata
demi. Pada larik ke-23 dan 24 terdapat pengulangan kata di atas di tengah setiap larik.
Pada larik ke-42 dan 43 terdapat pengulangan kata suaramu di akhir setiap larik. Pada
larik ke-45 dan 46 terdapat pengulangan kata rubah-rubah di tengah setiap lariknya. Pada
larik ke-47 dan 48 terdapat pengulangan kata kebun-kebun anggur di akhir dan di awal
larik. Dan pada larik ke-49 terdapat pengulangan kata kepunyaan di tengah lariknya.
Larik ke-35 berbunyi: /bunyi tekukur terdengar di tanah kita//. Pada larik ini
terdapat gmn. Kata tekukur adalah nama yang menunjuk pada burung sebagai benda
yang dimaksud. Tekukur adalah salah satu dari sekian banyak jenis burung.
66
Kata merpati yang seyogyanya menunjuk pada burung, digunakan sebagai pengganti
kekasih.
4.4 Analisis Nilai Budaya dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
4.4.1 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesama
Hubungan pergaulan antara sesama dalam hidup bermasyarakat harus terus dibina
dengan bersikap: berbudi bahasa yang baik, berhati mulia, saling melakukan kebajikan,
menghargai dan menghormati, sopan santun, tidak berkhianat dan kekeluargaan dengan
sesama. Berikut deskripsi nilai budaya yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan
sesama manusia yang terdapat dalam puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo.
Dalam bait tersebut terkandung makna bahwa seseorang sedang jatuh cinta kepada
pujaan hatinya, dan hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara manusia
satu dengan lainnya. Hal tersebut juga merupakan sifat manusia sebagai makhluk sosial
yang tergantung kepada manusia yang lainnya. Dalam puisi di atas pun terlihat suatu
hubungan yang baik antara seorang manusia (baca: gadis) dengan sesama jenisnya (baca:
67
para gadis). Sangat jelas digambarkan bahwa gadis-gadis itu (putri-putri Yerusalem) juga
banyak yang jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang sangat terkenal itu (Raja Salomo).
Sebagai sesama teman, si gadis mengajak teman-temannya (para gadis) menemui pujaan
hatinya dan gadis-gadis itu pun menyanggupinya.Bahkan mereka pun memberi dukungan
terhadap perasaan cinta temannya itu. Lalu si gadis juga beranggapan bahwa gadis-gadis
lain sebenarnya wajar bila mencintai sang lelaki itu. Hal itu tampak dari kutipan bait
berikut:
Akan tetapi, dalam latar belakang kehidupan si gadis (gadis Sulam) terungkap
bahwa dia memiliki sedikit pengalaman pahit di dalam keluarganya. Ternyata yang
membuat warna kulitnya hitam adalah karena dia seorang gadis yang bekerja keras sebagai
pekerja kebun anggur. Dan dia sering dimarahi oleh saudara-saudaranya yang laki-laki,
dipaksa untuk bekerja di kebun anggur. Namun, dia tetap terlihat sebagai seorang gadis
Namun cinta tidak membedakan warna kulit. Bila sudah cinta, tidak ada yang dapat
menghalanginya. Di sini, sang lelaki pujaan pun ternyata sudah jatuh cinta kepada gadis
Sulam yang warna kulitnya hitam namun cantik itu. Mereka saling memuji kekasihnya
68
dengan perasaan yang tulus. Dan para gadis (putri-putri Yerusalem), sekali lagi, memberi
dukungan terhadap hubungan itu dengan berjanji akan membuat perhiasan-perhiasan untuk
si gadis (ayat 11). Hal ini digambarkan dalam kutipan bait di bawah ini.
Hingga tiba pada pasal 2, hubungan dua kekasih ini melangkah pada hubungan
yang lebih dekat satu dengan lainnya. Mereka masih saling memberi pujian. Perasaan cinta
mereka semakin dalam. Tetapi si gadis tetap menjaga kesucian. Sekalipun penuh gairah,
dia tidak mengotori dirinya dengan melakukan pelanggaran seks. Hal ini dapat kita telusuri
Dari ayat tiga di atas terkandung makna bahwa gadis/wanita Sulam merasa aman
di hadapan kekasihnya serta menaruh percaya padanya. Di samping itu, sebagai manusia
yang normal dalam menjalin hubungan, dia membutuhkan juga sentuhan yang dapat
memberikannya rasa tenang dan nyaman. Kemudian adanya waktu untuk bersama-sama
dengan orang lain itu sangat perlu. Pada saat kita bersama-sama dengan sesorang yang kita
kasihi, kita dapat meluangkan waktu untuk berbicara-bicara, mendegar orang lain, dan
yang tidak kalah pentingnya ialah kontak mata. Seterusnya kita pun akan saling mengabdi
satu dengan yang lain. Hal ini tampak dari larik-larik berikut.
Alam selalu menyimpan banyak kekayaan, baik flora, fauna, maupun benda lainnya
untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Alam yang indah, asri, dan
terjaga akan melindungi hidup manusia dan memberikan banyak manfaat, antara lain kita
70
akan menikmati kesegaran udara, keindahan dari warna hijau daun yang tampak dan
kenikmatan buah yang dihasilkan dari pohon tersebut. Oleh karena itu, kita harus mencintai
dan merawat bumi kita karena hal tersebut juga merupakan nilai budaya yang harus
dilestarikan.
Dalam puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 ini sarat terdapat kata-kata yang
menggambarkan hubungan manusia dengan alam yang sangat akrab. Kedua pasang
kekasih, gadis atau wanita Sulam dan Raja Salomo, sangat mengenal alam sekitarnya.
atau isi hati masing-masing, sehingga menjadikan puisi ini terkesan lebih romantis dan
alami. Di sisi lain, mengungkapkan alam sekitar dalam percakapan mereka menunjukkan
bahwa mereka memang bagian dari lingkungan tersebut. Dengan menggunakan bahasa
kiasan yang cenderung berisi benda-benda alam, maksud penyair lebih sampai kepada
Larik-larik dari Kidung Agung pasal 1 di atas sangat jelas menyatakan bahwa gadis
Sulam itu biasa berada di kebun anggur, dan memang ia seorang pekerja kebun anggur.
Sebagai seorang yang sehari-harinya bekerja di kebun anggur, tentulah dia sangat ahli
dalam menjaga dan merawat pohon-pohon anggur. Lagi pula kita pun dapat
membayangkan betapa indah, luas, dan menariknya kebun anggur itu, sebagai sumber
Larik-larik berikut ini pun akan membawa pikiran kita ke satu padang rumput yang
terbentang luas nan hijau. Dan di sana ada kumpulan-kumpulan domba yang sedang
71
makan rumput. Tentu terdengar pula suara-suara embik mereka. Ada yang berjalan atau
berlari kesana-kemari. Ada yang sedang berbaring di permadani hijau itu; mungkin sedang
Begitu juga dalam Kidung Agung pasal 2, digambarkan kehidupan manusia yang
sangat dekat dan kenal dengan alamnya. Sepanjang pasal ini masih digunakan benda-benda
alam seperti bunga mawar dari Saron, bunga bakung di lembah, pohon apel, kijang
atau anak rusa, bunyi tekukur, pohon ara, gunung-gunung dan bukit-bukit, kebun
Agama merupakan aspek yang sangat substansial dalam kehidupan manusia. Sejak
dulu manusia telah meyakini akan adanya Tuhan, mereka meyakininya dengan cara
diyakini bahwa secara keseluruhan Kitab Kidung Agung menggambarkan hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Metode alegori menyatakan bahwa Kidung Agung dipandang
sebagai alegori terhadap satu tema yaitu kasih Allah dan sikap-Nya terhadap jemaat.
Sementara metode tipologi menyatakan bahwa syair itu mengakui adanya kasih sayang
lambing kuasa rohani atau kenyataan pada masa mendatang, misalnya seperti Allah sebagai
kepunyaan dia/. Ini mengungkapkan hubungan yang suci. Ikatan perjanjian di antara Allah
dengan umat-Nya disampaikan dalam Bahasa kasih pernikahan. Tetapi dalam keadaan kita
yang berdosa ini, banyak orang yang pengalaman pernikahannya tidak menyenangkan,
pernikahan. Sebab itu, kita dapat mengharapkan bahwa Allah kita yang Mahabijaksana itu
akan memberikan kepada umat-Nya pengertian tentang kasih sayang pernikahan yang
serasi, suatu teladan kasih dan kesetiaan yang luar biasa, yang akan menjadi teladan ikatan
yang tiada taranya bagi manusia yaitu ikatan di antara Allah dan jemaat-Nya
73
Berdasarkan analisis data tentang stilistika dan nilai-nilai budaya terhadap puisi
Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo yang telah dilakukan, berikut ini ditampilkan
Tabel 4.5.1 Diksi dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
(P)
P1 Kiranya ia mencium aku dengan kecupan, cintamu lebih 2, 3, 4, 5, 10, 18, 19, 25,
nikmat daripada anggur, harum bau minyakmu, bagaikan 36, 43, 44, 46, 48, 54,
kita.
P2 Seperti bunga bakung di antara duri-duri, Seperti pohon 3, 5, 7, 8, 12, 30, 31, 32,
apel di antara pohon-pohon di hutan, Di bawah 39, 45, 47, 50, 51,
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa diksi selalu digunakan dalam
penulisan puisi Kidung Agung 1 dan 2. Hal ini sesuai dengan teori diksi yang berarti
pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan (Scott dalam Rosid, 2011:
166).
75
76
77
78
79
Tabel 4.5.3 Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
(P)
P1 Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur, lebih 3, 14, 16, 18, 19, 25,
Kidung Agung 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa dalam penulisannya, puisi ini selalu
menggunakan kata-kata konkret. Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
(Nurhayati, 1992: 81). Kata konkret ialah kata yang dapat melukiskan dengan tepat,
membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair (Situmorang,
1980: 22).
80
Tabel 4.5.4 Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
pengembara.
kuumpama
kan engkau,
manisku.
Kekasihku
bagaikan
sebungkus
mur.
81
Bagaikan
merpati
matamu.
kirinyatangan
kanannya
Demi kijang-
rusa-rusa
Perdengarkanlah
suaramu, sebab
merdu suaramu.
Tangkaplah bagi
kami rubah-
rubah itu,
rubah-rubah
yang kecil.
Yang merusak
kebun-kebun
anggur, kebun-
kebun anggur
kami yang.
83
Kekasihku
kepunyaanku,
dan aku
kepunyaan dia.
Berdasarkan tabel hasil analisis tentang bahasa figuratif dalam puisi Kidung Agung
1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif banyak digunakan dalam penulisan
Kidung Agung 1 dan 2 tersebut. Bahasa figuratif yang banyak digunakan adalah metafora,
repetisi, dan simile. Sementara bahasa figuratif lainnya jarang digunakan. Penggunaan
bahasa figuratif dalam penulisan puisi seperti dalam puisi di atas memang harus dilakukan,
hal tersebut sesuai dengan teori Hawkes yang menyatakan figurative is language which
Tabel 4.5.5 Nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo
Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam puisi Kidung Agung 1
dan 2 terkandung nilai budaya yang harus dilestarikan. Konsep tersebut sesuai dengan teori
nilai budaya yang dikemukakan oleh Kluckhon (Kuntjaraningrat, 1985: 28) bahwa semua
sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan adalah berkaitan dengan lima pokok masalah
dalam kehidupan manusia, yaitu (1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, (2)
masalah mengenai hakikat dari karya manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) masalah mengenai hakikat dari hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, (5) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia
dengan sesamanya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari penelitian terhadap puisi Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo,
1. Dalam Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 terdapat 34 larik yang menggunakan diksi
untuk mengintensifkan atau memperkuat makna, sapaan, dan menguatkan latar tokoh;
penglihatan, delapan citraan gerak, tiga citraan pencecapan, dan satu citraan peraba;
bahasa simile, tiga gaya bahasa metafora, satu personifikasi, 26 gaya bahasa repetisi,
2. Dalam Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 terdapat juga nilai-nilai budaya. Nilai-nilai
5.2 Saran
Dari penelitian terhadap puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo ini,
85
86
2. Guru dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai materi pengayaan dalam
3. Siswa mau menggunakan hasil penelitian ini untuk memperkaya pemahaman materi
4. Para dosen di fakultas sastra dengan senang hati mau menjadikan hasil penelitian ini
5. Para mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menambah pengetahuan
mengenai stilistika dan nilai-nilai budaya dengan membaca hasil penelitian ini.
perpustakaan setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang
: IKIP Semarang Press.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak, Teori Metodologi dan Aplikasi. Bandung : Angkasa.
Bullock, C. Hassell. 2003. Kitab-kitab Puisi dalam Perjanjian Lama (Terj. Suhadi
Yeremia). Malang: Gandum Mas.
Depdiknas. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan ke-8 Edisi IV. Jakarta :
Gramedia.
Fitriah, Nurul. 2009. Gaya Bahasa dalam Balada-balada W.S. Rendra: Kajian Stilistika
Genetik. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Flowers, Karen. 2002. Kidung Agung, Satu Nyanyian Kasih (Terj. M. Panjaitan).
Bandung: Indonesia Publishing House.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan kedua. Ende Flores : Nusa Indah.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krispendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta:
Rajawali Press.
LaSor, Ws, DA Hubbard, dan FW Bush. 2013. Pengantar Perjanjian Lama: Sastra dan
Nubuat, cet. ke-14. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Mas, Keris. 1988. Perbincangan Gaya Bahasa Sastera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munir, Syaiful. 2013. Diksi dan Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Dalam Kelam
Karya Sutikno W.S.: Kajian Stilistika. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri
(Tidak diterbitkan).
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi, Cetakan ke-8. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
87
88
Nurhadi (Ed.). 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang:
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Malang.
Nurhayati. 1992. Kajian Stilistika terhadap Puisi-puisi Rendra (Studi tentang Aspek-aspek
Linguistik dan Kesusastraan pada Sepuluh Puisi Rendra). Tesis. Bandung: IKIP
(Tidak diterbitkan).
Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi, Cetakan ke-11. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Purwanto, A. Teguh. 2006. Diktat Eksposisi PL III Ezra-Kidung Agung. Surabaya: STTII.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosid, Abdul. 2011. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Puisi Indonesia. Tesis.
Bandung: UPI.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Silalahi, Herman.Kitab28.blogspot.co.id/2013/05/kidungagung.html.
Slamet. 2012. Stilistika Konflik Tokoh Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Tesis.
Surabaya: Universitas Muhammadiyah (Tidak diterbitkan).
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: Raja Grafindo.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
______________. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suharianto. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suriasumantri, J. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
89
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia.
Yeibo, Ebi. 2012. Figurative Language and Stylistic Function in J. P. ClarkBekederemo's
Poetry. Journal of Language Teaching and Research. Niger Delta University. No
3. Vol 3. Hal 180-187.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Figurative+Language+and+St
ylistic+Fuction+in+J.+P.+Clark-Bekederemo%27s+Poetry. (diunduh 2 Jan
2016 pukul 19.09).
https://id.wikipedia.org/wiki/Salomo
Lampiran 1
Tabel Instrumen
Tabel Instrumen Analisis Data Stilistika dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
No Unsur Intrinsik Indikator Hasil Analisis Ket/Hal
(Teks)
1 Diksi
2 Citraan
1. Penglihatan
2. Penciuman
3. Pengecapan
4. Gerak
5. Intelektual
6. perabaan
3 Kata-kata Konkret
4 Bahasa Figuratif
1. metafora
2. sinekdoke
3. metonimi
4. repetisi
5. personifikasi
6. simile
7. alegori
Tabel Instrumen Analisis Data Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung
Pasal 1 dan 2
No Nilai Budaya Indikator Hasil Analisis Ket/Hal
(Teks)
1 Hubungan manusia
dengan sesama
2 Hubungan manusia
dengan alam
3 Hubungan manusia
dengan Tuhan
90
Tabel Data Diksi dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Diksi Baris/Larik
PP 1
PP 2
Tabel Data Kata-kata Konkret dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Kata-kata Konkret Baris/Larik
PP 1
PP 2
Tabel Data Bahasa Figuratif dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Bahasa Figuratif
Pasal(PP) Metafora Sinekdoke Metonimi Repetisi Personifikasi Simile
PP 1
PP 2
Tabel Data Nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Nilai Budaya
Hubungan manusia Hubungan manusia Hubungan manusia
dengan sesama dengan alam dengan Tuhan
PP 1
PP 2
91
Lampiran 2
SINOPSIS
92
Lampiran 3
Nama Salomo (bahasa Ibrani Standar: lomo; bahasa Ibrani Tiberia: lmh,
bermakna "damai"; bahasa Arab: Sulaiman) adalah seorang putra raja Daud, yang
kemudian menjadi raja ketiga kerajaan Israel setelah Saul dan Daud, ayahnya. Ibunya
bernama Batsyeba binti Eliam. Riwayat Salomo terutama diketahui dari catatan Alkitab
Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, yang diyakini paling lambat dilengkapi
pada abad ke-4 SM, dan didukung oleh tulisan-tulisan Yahudi, Kristen dan Islam.
Sejumlah peninggalan arkeologis membuktikan sejumlah fakta yang disebutkan dalam
catatan-catatan kuno tersebut.
Menurut 2 Tawarikh 1:1-13 Salomo dikisahkan sebagai raja yang bijaksana.
Kebijaksanaannya itu diperolehnya karena anugerah Tuhan.
Kitab Amsal, Pengkotbah, dan Kidung Agung dipercaya ditulis oleh Raja Salomo.
Di dalam Kitab 2 Samuel dicatat bahwa Salomo lahir di Yerusalem dan juga terdapat kisah
yang melatarbelakangi kelahirannya. Raja Daud berhubungan gelap dengan Batsyeba, ibu
Salomo, ketika perempuan itu masih menjadi istri Uria orang Het, salah seorang pahlawan
Daud. Ketika Batsyeba hamil dari hubungan itu, maka Daud kemudian memerintahkan
agar Uria dikirimkan ke garis paling depan dari peperangan supaya ia mati terbunuh.
Setelah Uria mati, dan lewat waktu berkabung, maka Daud menyuruh membawa
perempuan itu ke rumahnya. Perempuan itu menjadi isterinya, dan melahirkan seorang
anak laki-laki baginya. Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata
TUHAN. TUHAN mengutus nabi Natan kepada Daud untuk membuka kejahatan itu serta
hukuman yang akan diberikan TUHAN, sehingga Daud menyesal. Dan TUHAN menulahi
anak yang dilahirkan bekas isteri Uria bagi Daud, sehingga sakit. Lalu Daud memohon
kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun, dan apabila ia masuk ke
dalam, semalam-malaman itu ia berbaring di tanah. Pada hari yang ketujuh matilah anak
itu. Kemudian Daud menghibur hati Batsyeba, isterinya; ia menghampiri perempuan itu,
dan tidur dengan dia, dan perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, lalu Daud
memberi nama Salomo kepada anak itu. TUHAN mengasihi anak ini, dan dengan
perantaraan nabi Natan Ia menyuruh menamakan anak itu Yedija, oleh karena TUHAN.
Ketika Daud telah tua, dan diperkirakan tidak lama lagi usianya, Adonia putra
Daud dari istrinya, Hagit, mengangkat diri menjadi raja, dengan dukungan
panglima Yoab dan
imam besar Abyatar. Pada acara pengangkatan menjadi raja, Adonia mempersembahkan
93
94
domba, lembu, dan ternak gemukan sebagai korban dekat batu Zohelet yang ada di samping
En-Rogel, lalu mengundang semua saudaranya, anak-anak raja, dan semua orang Yehuda,
pegawai-pegawai raja; tetapi nabi Natan, imam Zadok, Benaya bin Yoyada dan para
pahlawan, dan Salomo, adiknya, tidak diundangnya. Nabi Natan memberi nasehat kepada
Batsyeba, ibu Salomo, agar memberitahukan hal ini kepada Daud, yang tidak mengetahui
akan hal itu, demi menyelamatkan nyawanya serta nyawa Salomo. Maka Batsyeba
menghadap raja ke dalam kamarnya. Waktu itu raja sudah sangat tua, dan Abisag, gadis
Sunem itu, melayani raja. Lalu Batsyeba berlutut, dan sujud menyembah kepada raja. Raja
bertanya: "Ada yang kauingini?" Lalu perempuan itu berkata kepadanya:
"Tuanku sendiri telah bersumpah demi TUHAN, Allahmu, kepada hambamu ini: Anakmu
Salomo akan menjadi raja sesudah aku, dan ia akan duduk di atas takhtaku. Tetapi
sekarang, lihatlah, Adonia telah menjadi raja, sedang tuanku raja sendiri tidak
mengetahuinya. Ia telah menyembelih banyak lembu, ternak gemukan dan domba, dan
telah mengundang semua anak raja dan imam Abyatar dan Yoab, panglima itu, tetapi
hambamu Salomo tidak diundangnya. Dan kepadamulah, ya tuanku raja, tertuju mata
seluruh orang Israel, supaya engkau memberitahukan kepada mereka siapa yang akan
duduk di atas takhta tuanku raja sesudah tuanku. Nanti aku ini dan anakku Salomo dituduh
bersalah segera sesudah tuanku raja mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek
moyangnya."
Selagi Batsyeba berbicara dengan raja, datanglah nabi Natan. Diberitahukan
kepada raja: "Itu ada nabi Natan." Masuklah ia menghadap raja, lalu sujud menyembah
kepada raja dengan mukanya sampai ke tanah. Natan menanyakan apakah Daud telah
memutuskan Adonia menjadi penggantinya karena pada saat yang bersamaan Adonia
mengadakan pesta pengangkatannya dengan mengundang orang-orang yang makan minum
di depannya sambil berseru: "Hidup raja Adonia!" tetapi tidak mengundang Natan, imam
Zadok, Benaya maupun Salomo. Segera setelah mendapat kepastian dari Natan, maka
Daud menyuruh memanggil Batsyeba, dan di depan mereka, Daud menegaskan
keputusannya dengan bersumpah, dan berkata:
"Demi TUHAN yang hidup, yang telah membebaskan nyawaku dari segala kesesakan,
pada hari ini aku akan melaksanakan apa yang kujanjikan kepadamu demi TUHAN, Allah
Israel, dengan sumpah ini: Anakmu Salomo akan menjadi raja sesudah aku, dan dialah
yang akan duduk di atas takhtaku menggantikan aku."
Lalu Batsyeba berlutut dengan mukanya sampai ke tanah; ia sujud menyembah
kepada raja, dan berkata: "Hidup tuanku raja Daud untuk selama-lamanya!"
Daud segera menyuruh memanggil imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin
Yoyada. Setelah mereka masuk menghadap raja, Daud memberi perintah khusus:
95
"Bawalah para pegawai tuanmu ini, naikkan anakku Salomo ke atas bagal betina
kendaraanku sendiri, dan bawa dia ke Gihon. Imam Zadok dan nabi Natan harus mengurapi
dia di sana menjadi raja atas Israel; kemudian kamu meniup sangkakala dan berseru: Hidup
raja Salomo! Sesudah itu kamu berjalan pulang dengan mengiring dia; lalu ia akan masuk
dan duduk di atas takhtaku, sebab dialah yang harus naik takhta menggantikan aku, dan
dialah yang kutunjuk menjadi raja atas Israel dan Yehuda."
Lalu pergilah imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin Yoyada, dengan orang
Kreti, dan orang Pleti, mereka menaikkan Salomo ke atas bagal betina raja Daud, dan
membawanya ke Gihon. Imam Zadok telah membawa tabung tanduk berisi minyak dari
dalam kemah, lalu diurapinya Salomo. Kemudian sangkakala ditiup, dan seluruh rakyat
berseru: "Hidup raja Salomo!" Sesudah itu seluruh rakyat berjalan di belakangnya sambil
membunyikan suling, dan sambil bersukaria ramai-ramai, sampai seakan-akan bumi
terbelah oleh suara mereka.
Menurut penuturan Yonatan, putra imam Abyatar, Salomo dengan aman duduk di
atas takhta kerajaan. Pegawai-pegawai raja telah datang mengucap selamat kepada raja
Daud, dengan berkata: Kiranya Allahmu membuat nama Salomo lebih masyhur dari pada
namamu, dan takhtanya lebih agung dari pada takhtamu. Dan raja Daudpun telah sujud
menyembah di atas tempat tidurnya, dan beginilah katanya: :"Terpujilah TUHAN, Allah
Israel, yang pada hari ini telah memberi seorang duduk di atas takhtaku yang aku sendiri
masih boleh saksikan."
Tabel 4.5.2 Citraan dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
Puisi Citraan
(P) Penglihatan Pendengaran Penciuman Pencecapan Gerak Peraba Larik
P1 Sang raja telah Kiranya ia mencium harum bau Tariklah aku di karena terik 2, 4, 7, 8, 9,
membawa aku ke/ aku dengan kecupan, minyakmu, belakangmu, matahari 10 11, 12,
dalam maligai- Kami akan bersorak- semerbak bau marilah kita membakar aku 16, 18, 19,
maligainya, sorai dan bergembira narwastuku, cepat-cepat pergi 21, 22, 28,
Memang hitam aku, karena engkau, Bagiku kekasihku 30, 32, 35,
tetapi cantik, seperti Putera-putera ibuku bagaikan 36, 38, 39,
kemah orang Kedar/ marah kepadaku sebungkus mur 40, 41, 43,
seperti tirai-tirai 44, 45, 47,
orang Salma, 51, 54, 55
domba-domba
berbaring pada
petang hari; dekat
kawanan-kawanan
domba teman-
temanmu?
hai jelita di antara
wanita; dekat
perkemahan para
gembala, Dengan
kuda betina daripada
kereta-kereta Firaun;
Moleklah pipimu di
tengah perhiasan-
perhiasan; dan
lehermu di tengah
kalung-kalung;
perhiasan-perhiasan
emas; dengan
manik-manik perak;
di kebun-kebun
anggur En-Gedi
tersisip di antara
buah dadaku;
lihatlah tampan
engkau, kekasihku;
dari kayu aras balok-
balok rumah kita;
dari kayu eru papan
dinding-dinding kita
P2 Bunga mawar dari Kekasihku mulai dan bunga pohon buahnya manis melompat-lompat 1, 2, 3, 4, 5,
Saron aku/ bunga berbicara kepadaku: anggur semerbak bagi langit- di atas gunung- 6, 8, 9, 11,
bakung di lembah- /Bangunlah baunya langitku; gunung/ 12, 14, 15,
lembah; Seperti manisku, jelitaku, Kuatkanlah aku meloncat-loncat 22-28, 23,
bunga bakung di marilah!/ bunyi dengan penganan di atas bukit- 23, 27, 28,
antara duri-duri/ tekukur terdengar di kismis/ bukit/ sambil 29, 30, 32,
demikianlah tanah kita; segarkanlah aku menengok- 33, 35, 36,
manisku di antara perdengarkanlah dengan buah apel nengok melalui 37, 39, 40,
gadis-gadis; Seperti suaramu tingkap-tingkap/ 41, 42, 43,
pohon apel di antara dan melihat dari 46, 47, 48,
pohon-pohon di kisi-kisi 52, 53, 57
hutan/ demikianlah
kekasihku di antara
teruna-teruna; Telah
dibawanya aku ke
rumah pesta;
Kuatkanlah aku
dengan penganan
kismis/ segarkanlah
aku dengan buah
apel; Tangan kirinya
di bawah kepalaku/
tangan kanannya
memeluk aku; hujan
telah berhenti dan
sudah lalu// Di
ladang telah nampak
bunga-bunga/ Pohon
ara mulai berbuah
Lihatlah, ia datang,
melompat-lompat di
atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di
atas bukit-bukit//
Lihatlah, ia berdiri
di balik dinding kita/
sambal menengok-
nengok melalui
tingkap-tingkap/ dan
melihat dari kisi-
kisi; Merpatiku di
celah-celah batu/ di
persembunyian
lereng-lereng
gunung/ dan elok
wajahmu; rubah-
rubah yang kecil/
yang merusak
kebun-kebun
anggur/ kebun-
kebun anggur kami
yang sedang
berbunga!; Sebelum
angin senja
berembus/ dan
bayang-bayang
menghilang; di atas
gunung-gunung
tanaman rempah-
rempah