Anda di halaman 1dari 116

STILISTIKA DAN NILAI-NILAI BUDAYA

DALAM KITAB KIDUNG AGUNG PASAL 1 DAN 2


KARYA SALOMO

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan


Mencapai Gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

GIBSON HUTABARAT

NIM : 20142110075

PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

Februari 2016

i
STILISTIKA DAN NILAI-NILAI BUDAYA
DALAM KITAB KIDUNG AGUNG PASAL 1 DAN 2
KARYA SALOMO

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan


Mencapai Gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

GIBSON HUTABARAT

NIM : 20142110075

PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

Februari 2016
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Gibson Hutabarat

NIM : 20142110075

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya Program Pascasarjana Program

Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Menyatakan bahwa tesis ini secara keseluruhan adalah ASLI hasil penelitian saya,

kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan disebutkan dalam daftar

pustaka.

Surabaya, 16 Februari 2016

Gibson Hutabarat

ii
PENGESAHAN

Tesis Magister Pendidikan atas nama Gibson Hutabarat

NIM 20142110075

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji

pada tanggal 28 Februari 2016

TIM PENGUJI

Dr. Endah Harumi, M.Pd. Penguji Utama/


Pembimbing

Dr. Lulus Margiati, M.M. Penguji I/


Anggota

Drs. Ali Nuke Affandy, M.Si. Penguji II/


Anggota

Mengetahui,
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Direktur,

Prof. Dr. Ahmad Saiful Anam, MA

iii
Dr. Endah Harumi, M.Pd.
Program Studi Magister (S-2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya

NOTA DINAS

Lamp : 4 eksemplar Kepada


Hal : Penyerahan Tesis Program Magister Pendidikan
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
di Surabaya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, meneliti dan merevisi seperlunya, kami berpendapat


bahwa tesis saudara Gibson Hutabarat yang berjudul : Stilistika dan Nilai-nilai
Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo, telah dapat
diujikan. Bersama ini kami kirimkan naskahnya untuk segera dapat diujikan dalam
sidang ujian tesis.

Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, Februari 2016

Pembimbing I

Dr. Endah Harumi, M.Pd.

iv
Dr. Lulus Margiati, M.M.
Program Studi Magister (S-2)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya

NOTA DINAS

Lamp : 4 eksemplar Kepada


Hal : Penyerahan Tesis Program Magister Pendidikan
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surabaya
di Surabaya

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, meneliti dan merevisi seperlunya, kami berpendapat


bahwa tesis saudara Gibson Hutabarat yang berjudul : Stilistika dan Nilai-nilai
Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo, telah dapat
diujikan. Bersama ini kami kirimkan naskahnya untuk segera dapat diujikan dalam
sidang ujian tesis.

Atas perhatiannya, diucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, Februari 2016

Pembimbing II

Dr. Lulus Margiati, M.M.

v
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan kasih-Nya kepada penulis, sehingga penulisan tesis dengan judul

Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo

dapat terselesaikan.

Penulisan tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan diksi, citraan,

kata-kata konkret, bahasa figuratif, dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi

Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo tersebut. Selain itu, penulisan tesis ini

digunakan sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian tesis Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia guna memperoleh gelar Magister Pendidikan.

Penulis pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Sukadiono, M.M. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya.

2. Prof. Dr. Ahmad Saiful Anam, M.A. selaku Direktur PPs Universitas Muhammadiyah

Surabaya.

3. Dr. Sujinah, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia.

4. Pembimbing I, Dr. Endah Harumi, M.Pd. dan Pembimbing II, Dr. Lulus Margiati,

M.M.

5. Bapak E.T. Panjaitan, M.A. selaku Direktur Sekolah Lanjutan Advent Purwodadi

yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan untuk mengikuti perkuliahan di

samping wajib menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai guru di kelas.

vi
6. Staf guru dan karyawan Sekolah Lanjutan Advent yang telah memberi dorongan

dalam menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis.

7. Istri (Wulan Pratiwi), anakku tercinta (Loveno Moses Sabatino Hutabarat), serta

orang tua yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Bapak Glenny Bolang yang membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.

9. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah banyak

memberikan dorongan dan bantuan dalam rangka penyusunan tesis ini.

Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang mencintai sastra (baca:

puisi). Kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun penulis terima guna

kesempurnaan tesis ini.

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN .. ii

PENGESAHAN iii

HALAMAN NOTA DINAS ................................................................... iv

KATA PENGANTAR .. vi

DAFTAR ISI .................................................................... viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR SINGKATAN.. xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Batasan Masalah . 8

1.3 Rumusan Masalah .. 9

1.4 Tujuan Penelitian 9

1.5 Manfaat Penelitian . 9

1.6 Definisi Istilah 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 13

2.1 Tinjauan Pustaka ... 13

2.2 Kerangka Teori . 15

2.2.1 Asal Kata Stilistika 15

2.2.2 Pengertian Stilistika... 16

2.2.3 Tujuan Kajian Stilistika. 16

2.2.4 Lapangan Kajian Stilistika. 17

2.2.5 Bahasa Karya Sastra... 17

viii
2.2.6 Diksi, Citraan, Kata-Kata Konkret, Bahasa Figuratif 19

2.2.6.1 Diksi (Diction). 19

2.2.6.2 Citraan (Imaginery).. 19

2.2.6.3 Kata-kata Konkret (The Concrete Words) 22

2.2.6.4 Bahasa Figuratif (Figurative Language) 22

2.2.7 Pemahaman Terhadap Struktur Batin Puisi.. 25

2.2.8 Gaya, Gaya Bahasa, Majas, dan Stilistika 25

2.2.9 Nilai Budaya. 27

2.2.10 Puisi dan Pengertiannya.. 29

2.2.11 Kidung Agung sebagai Puisi... 29

BAB III METODE PENELITIAN . 33

3.1 Jenis Penelitian ......... 33

3.2 Pendekatan Penelitian 33

3.3 Sumber Data . 35

3.4 Data/Objek Penelitian ... 35

3.5 Teknik Pengumpulan Data 36

3.6 Teknik Analisis Data . 37

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN . 38

4.1 Deskripsi Data ... 38

4.2 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 1 Karya Salomo . 41

4.2.1 Diksi 42

4.2.2 Citraan 46

4.2.3 Kata-kata Konkret .. 49

4.2.4 Bahasa Figuratif.. 51

4.3 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 2 Karya Salomo . 53


ix
4.3.1 Diksi 54

4.3.2 Citraan . 58

4.3.3 Kata-kata Konkret 63

4.3.4 Bahasa Figuratif... 64

4.4 Analisis Nilai Budaya dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo 66

4.4.1 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesama . 66

4.4.2 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Alam 69

4.4.3 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan .. 72

4.5 Hasil dan Pembahasan Analisis.. 73

4.5.1 Tabel Diksi dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo . 73

4.5.2 Tabel Citraan dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo .. 75

4.5.3 Tabel Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo 79

4.5.4 Tabel Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo 80

4.5.5 Tabel Nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo . 83

BAB V PENUTUP 85

5.1 Simpulan . 85

5.2 Saran 86

DAFTAR PUSTAKA .. 87

LAMPIRAN 1 . 90

LAMPIRAN 2 . 92

LAMPIRAN 3 . 93

x
DAFTAR TABEL

Tabel 4.5.1 Diksi dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Tabel 4.5.2 Citraan dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Tabel 4.5.3 Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Tabel 4.5.4 Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Tabel 4.5.5 Nilai-nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

xi
DAFTAR SINGKATAN

CG : Citraan Gerak

CPc : Citraan Penciuman

CPce : Citraan Pencecapan

CPd : Citraan Pendengaran

CPl : Citraan Penglihatan

CPr : Citraan Peraba

GMn : Gaya Bahasa Metonimia

GMt : Gaya Bahasa Metafora

GP : Gaya Bahasa Personifikasi

GR : Gaya Bahasa Repetisi

GSi : Gaya Bahasa Simile

GSn : Gaya Bahasa Sinekdok

xii
ABSTRAK

Hutabarat, Gibson. 2016. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung
Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo. Tesis: Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Pembimbing: (1) Dr. Endah Harumi, M.Pd.(2) Dr. Lulus Margiati, M.M.

Kata kunci: bahasa figuratif, citraan, diksi, kata konkret, dan nilai budaya.

Kitab Kidung Agung 1 dan 2 membicarakan secara mendasar kebutuhan


manusia akan kasih dan keintiman, melukiskan penarikan, nafsu, kelembutan, dan
kesenangan, mengungkapkan isi hati, keluh kesah, ketakutan, dan pergumulan. Dan
penelitian terhadap Kidung Agung 1 dan 2 ini mendeskripsikan penggunaan diksi,
citraan, kata-kata konkret, dan bahasa figuratif, serta nilai-nilai budayanya.

Penelitian ini menggunakan stilistika yang difokuskan pada teori diksi,


citraan, kata konkret, bahasa figuratif, dan nilai budaya. Pendekatan stilistika
dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan
dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai
keseluruhan makna. Sasaran utama penelitian ini yaitu penggunaan diksi, citraan, kata
konkret, bahasa figuratif, dan nilai budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 karya
Salomo. Data dalam penelitian ini adalah data deskriptif yang berupa kata, frasa,
klausa, dan kalimat dalam puisi tersebut. Sumber datanya berupa Kitab Kidung
Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo. Teknik analisis data yang digunakan adalah
teknik analisis diskriptif kualitatif.

Kidung Agung pasal 1 terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbangun dalam
10 bait dan pasal 2 terdiri atas 17 ayat dan 57 larik yang terbangun dalam 5 bait.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa (1) dalam Kidung Agung
1 dan 2 karya Salomo terdapat 34 larik yang menggunakan diksi untuk
mengintensifkan atau memperkuat makna, sapaan, dan menguatkan latar tokoh,
sembilan citraan pendengaran, empat citraan penciuman, 45 citraan penglihatan,
delapan citraan gerak, tiga citraan pencecapan, dan satu citraan peraba, 13 larik yang
menggunakan kata-kata konkret, 13 gaya bahasa simile, tiga gaya bahasa metafora,
satu personifikasi, 26 repetisi, satu sinekdoke, dan dua metonimia. Dan di dalamnya
pun terdapat nilai-nilai budaya yang mencakup hubungan manusia dengan sesama,
hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

xiii
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian sastra
dan menjadi referensi penelitian sastra berikutnya yang menggunakan pendekatan
stilistika dengan memfokuskan teori diksi, citraan, kata konkret, dan bahasa figuratif,
serta menambahkannya dengan kajian nilai-nilai budaya. Kidung Agung pasal 1 dan 2
yang dipergunakan sebagai media penelitian ini diharapkan dapat dianalisis dengan
pendekatan lain.

xiv
ABSTRACT

Hutabarat, Gibson. 2016. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung
Pasal 1 dan 2 Karya Salomo. Thesis: Indonesian Language and Literature Major.
Indonesian Language and Literature Study Program. Universitas
Muhammadiyah Surabaya Magister Program. Advisors: (1) Dr. Endah Harumi,
M.Pd. (2) Dr. Lulus Margiati, M.M.
Keywords: figurative language, imagery, diction, concrete words, and cultural values.
Song of Songs discuss the fundamental human need for love and intimacy,
described the withdrawal, passion, tenderness and pleasure, to show their feelings, as well
as grief, fear, and their struggles. And this study aimed to describe the use of diction,
imagery, concrete words, figurative language, and cultural values contained in the Song
of Songs chapter 1 and 2 works of Solomon.
This study uses stylistics focused on the theory of diction, imagery, concrete
words, figurative language, and cultural values. Stylistics approach is done by analyzing
the linguistic system and continued with the literary work interpreting their
characteristics, seen from an aesthetic purpose literature as a whole meaning. The main
target of this research is the use of diction, imagery, concrete words, figurative language,
and cultural values in the Song of Solomon 1 and 2 works of Solomon. The data in this
research is descriptive data in the form of phrases, words, and sentences in the poem Song
of Solomon 1 and 2 of the article. The data source is the Song of Songs chapter 1 and 2
works of Solomon. Data analysis technique used is qualitative descriptive analysis
techniques.
Song of Songs chapter 1 consists of 17 verses and 55 lines which are built into 10
stanzas and chapter 2 consists of 17 verses and 57 lines were awakened in the fifth stanza.
Based on the results of this research is that (1) in the Song of Solomon 1 and 2 by
the Solomon there are 34 lines that use diction to intensify or amplify meaning, greeting,
and strengthen the background figures, nine images hearing, four images of smell, 45
images eyesight, eight images motion, three images foretaste, and the imagery of touch,
13 arrays that use concrete words, 13 stylistic simile, three styles of metaphorical
language, a personification, 26 reps, one sinekdoke, and two metonymy. And in it was
found the cultural values that include relationships with fellow human beings, the human
relationship with nature, and man's relationship with God.
The results of this study are expected to add to the treasures of study literature and
become the next reference literature research using Stylistics approach by focusing on the
theory of diction, imagery, concrete words and figurative language, and add it to the study

xiii
of cultural values. Song of Songs chapter 1 and 2 were used as media research is expected
to be analyzed with other approaches.

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta stra,

yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar s- yang

berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk

merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau

keindahan tertentu.

Menurut Hudson (dalam Tarigan 2009:10), sastra merupakan

pengungkapan baku dari peristiwa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, yang

telah direnungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang menarik

minat secara langsung dan kuat dari seorang pengarang atau penyair. Sastra hadir sebagai

hasil perenungan pengarang terhadap fenomena yang ada. Sastra tidak saja dinilai sebagai

sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Akan tetapi, sastra telah

dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di

samping konsumsi emosi.

Dengan membaca sastra, pembaca akan memperoleh beberapa keuntungan. Di

samping mendapatkan hiburan dan untuk mengisi waktu luang, menurut Olsen (dalam

Slamet 2012:1) bahwa cipta sastra sedikitnya mengandung tiga elemen. Pertama,

aesthetic properties, yang berhubungan dengan unsur-unsur instrinsik maupun media

pemaparan suatu cipta sastra. Kedua, aesthetic dimension, berhubungan dengan dimensi

1
2

keindahan yang dikandung oleh suatu cipta sastra. Ketiga, aesthetic objek, berhubungan

dengan kemampuan cipta sastra untuk dijadikan kegiatan objek manusia sesuai dengan

keanekaragaman tujuan yang ingin dicapainya.

Dari paparan di atas dapat diambil pemikiran bahwa seorang pembaca sastra

dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mendapatkan berbagai macam nilai kehidupan. Tidak

salah apabila kegiatan membaca sastra dapat memberikan informasi yang berhubungan

dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan dan memperkaya pandangan atau wawasan

kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun

peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri.

Karya sastra adalah wujud permainan kata-kata pengarang yang berisi maksud

tertentu, yang akan disampaikan kepada penikmat sastra. Karya sastra merupakan luapan

perasaan pengarang yang dicurahkan dalam bentuk tulisan, menggunakan kata-kata yang

disusun sedemikian rupa. Karya sastra adalah wacana yang khas yang di dalam

ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang

tersedia (Sudjiman 1993:7). Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan

wahana ekspresi dalam karya sastra. Bahasa memiliki pesan keindahan sekaligus

membawa makna dalam karya sastra.

Medium utama sastra adalah bahasa, sastra tercipta dari rangkaian kata-kata dan

kata-kata itu sendiri merupakan bagian dari bahasa. Bahasa merupakan bahan mentah

sastrawan. Karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu,

seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit

bagian-bagiannya (Wellek 1989:217).


3

Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra

(Nurgiyantoro 2010:272). Bahasa dalam seni sastra tersebut dapat disamakan dengan cat

warna. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana

pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra.

Menggunakan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan imajinasi dalam proses

penciptaan karya sastra sangat diperlukan oleh setiap pengarang. Hal ini menyiratkan

bahwa karya sastra merupakan peristiwa bahasa (Sudjiman 1993:1). Dengan demikian,

unsur bahasa merupakan sarana yang penting dan diperhitungkan dalam penyelidikan

suatu karya sastra, karena bahasa berfungsi untuk memperjelas makna dan menambah

keindahan karya sastra.

Bahasa berperan dalam menentukan nilai suatu karya sastra (Suharianto 1982:21).

Bahasa menjadi jembatan utama yang menghubungkan dunia pengarang dengan

pembacanya. Isi yang baik belum merupakan jaminan bagi berhasilnya suatu karya sastra,

bila tidak dijalin dengan bahasa yang baik. Bahasa sastra lebih bersifat khas (Wellek

1989:15). Bahasa sastra penuh ambiguitas, homonim, dan sangat konotatif, sedangkan

bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistematika atau logika simbolis dan bersifat

denotatif. Maka tidak mengherankan jika bahasa sastra bersifat menyimpang dari kaidah-

kaidah ketatabahasaan.

Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan

antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek 1989:218). Keistimewaan

pemakaian bahasa dalam karya sastra sangat menonjol karena salah satu keindahan suatu

karya sastra dapat dilihat dari bahasanya. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi
4

hambar. Keistimewaan bahasa dalam karya sastra terjadi karena adanya kebebasan

penyair atau pengarang dalam menggunakan bahasa atau pengarang mempunyai maksud

tertentu. Kebebasan seorang sastrawan untuk menggunakan bahasa yang menyimpang

dari bentuk aturan konvensional guna menghasilkan efek yang dikehendaki sangat

diperbolehkan. Dalam memilih penggunaan bahasa, sastrawan dapat memilih antara, (1)

mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional, (2) memanfaatkan potensi dan

kemampuan bahasa secara inovatif, atau (3) menyimpang dari konvensi yang berlaku

(Sudjiman 1993:19-20).

Menurut Wellek (1989:14), ada perbedaan utama antara bahasa sastra, bahasa

sehari-hari, dan bahasa ilmiah. Pemakaian bahasa sehari- hari lebih beragam, sementara

bahasa sastra adalah hasil dari penggalian dan peresapan secara sistematis dari seluruh

kemungkinan yang dikandung oleh bahasa itu.

Dalam penciptaan karya sastra tak pernah terlepas dari penggunaan gaya bahasa.

Sangat mustahil bila sebuah karya sastra lahir tanpa adanya keterlibatan atau keterkaitan

dengan penggunaan gaya bahasa, sehingga semakin pekat penggunaan gaya bahasa dalam

sastra, semakin terasa pula nilai estetik yang terkandung di dalamnya.

Dalam mengkaji bahasa di dalam karya sastra perlu menggunakan kajian stilistika.

Bahasa di dalam karya sastra yang dikaji dengan stilistika terdapat dua kemungkinan

dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem

linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari

tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini
5

dilakukan dengan mempelajari sejumlah ciri khas dengan membedakan sistem bahasa

yang satu dengan sistem-sistem lain (Wellek 1989:226). Dari kedua pendekatan tersebut

terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya

tidak saling bertentangan.

Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode

estetik (Aminuddin :1995:22). Kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada

wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-

empirik dapat dipertanggungjawabkan. Landasan empirik merujuk pada kesesuaian

landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan

karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.

Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan

obyektif. Kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan

menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk

mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Melalui kajian

stilistika diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektivitas dan

keilmiahan (Aminuddin 1995:42).

Menurut Aminuddin (dalam Munir 2013:4,5), prosedur analisis yang digunakan

dalam kajian stilistika, di antaranya sebagai berikut, (1) analisis aspek gaya dalam karya

sastra, (2) analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan

tanda baca dan cara penulisan, dan (3) analisis gagasan atau makna yang dipaparkan

dalam karya sastra. Stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan
6

unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh

penggunanya. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.

Pembagian karya sastra yang telah dikenal ada tiga, yakni prosa, puisi, dan drama.

Semua jenis sastra itu menggunakan kata-kata yang indah supaya menarik. Persamaan

pokok ketiganya adalah menggunakan bahasa sebagai sarana penyampaiannya.

Puisi adalah salah satu karya sastra yang dapat dikaji dengan stilistika. Puisi

merupakan bentuk karya sastra yang sangat populer dalam masyarakat kita sampai saat

ini. Puisi digemari oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang

dewasa. Karena kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu selalu meningkat, corak sikap

dan bentuk puisi pun selalu berubah mengikuti perkembangan selera, konsep estetik juga

berubah, dan kemajuan intelektual pun meningkat. Setiap puisi pasti mempunyai tujuan

tertentu yang ingin disampaikan pengarang kepada masyarakat sebagai pembacanya.

Puisi (Sherlley dalam Pradopo 2010:6) merupakan rekaman detik-detik yang

paling indah dalam hidup kita. Puisi adalah sintesis dari berbagai peristiwa bahasa yang

telah tersaring semurni-murninya dan berbagai proses jiwa yang mencari hakikat

pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk. Shahnon

Ahmad menyimpulkan, unsur puisi yang paling pokok adalah (1) pemikiran, ide, dan

emosi, (2) bentuknya, dan (3) kesan yang dibiaskan oleh ide dalam puisi (dalam Pradopo

2010:6).

Menurut Pradopo (2010:v), puisi merupakan pernyataan sastra yang paling inti.

Unsur-unsur seni kesusastraan mengental dalam puisi. Berbeda dengan karya sastra
7

lainnya, prosa dan drama, karya sastra berbentuk puisi bersifat konsentrif dan intensif.

Pengarang tidak mengungkapkan secara terperinci maksud yang hendak disampaikan

kepada pembaca. Pengarang menyampaikan yang menurut perasaan atau pendapatnya

merupakan bagian pokok atau penting saja. Oleh karena itu, puisi memiliki bentuk yang

padat (intensif). Padat yang dimaksud adalah penghematan unsur-unsur bahasanya. Kata-

kata yang tidak mendukung makna akan dihilangkan.

Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai media untuk

mengungkapkan makna. Dalam hal ini pengamatan atau pengkajian terhadap puisi

khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap puisi

melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman

bahasanya disebut kajian stilistika.

Secara umum, kajian terhadap puisi dengan menggunakan pendekatan stilistika di

Indonesia, sudah banyak dilakukan. Antara lain seperti yang dilakukan oleh Nurhayati,

dengan judul Kajian Stilistika terhadap Puisi-puisi Rendra (Studi tentang Aspek-aspek

Linguistik dan Kesusastraan pada Sepuluh Puisi Rendra). Fitriah (2009), dengan judul

Gaya Bahasa dalam Balada-balada W.S. Rendra: Kajian stilistika Genetik. Hasil

penelitian tersebut memaparkan gaya bahasa khususnya dalam enam balada W.S. Rendra

yang dicuplik dari dua buku kumpulan sajak, yaitu Balada Orang-Orang Tercinta dan

Blues untuk Bonnie. Masing-masing balada tersebut adalah Balada Kasan dan Patima,

Balada Petualang, Balada Terbunuhnya Atmo Karpo, Rick dari Corona, Nyanyian

Angsa, dan Khotbah. Bahkan ada pula penelitian terhadap karya sastra jenis prosa dengan

menggunakan kajian stilistika yang dilakukan oleh Rosyid dengan judul Gaya Bahasa
8

Pramudya Ananta Toer dalam Novel Rumah Kaca: Sebuah Kajian Stilistika. Dari

penelitian-penelitian terdahulu tersebut peneliti ingin melakukan penelitian terhadap

Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo dari sisi stilistika dan nilai-nilai budaya.

Kajian stilistika dan nilai-nilai budaya merupakan satu hal penting dalam

pembelajaran sastra. Dikatakan penting karena adanya kajian stilistika dari sebuah karya

sastra diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siswa

mengenai makna sebuah puisi. Di samping itu pula, dapat memperkaya pengetahuan

siswa tentang nilai-nilai yang terkandung dalam puisi, di antaranya nilai-nilai budaya.

1.2 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membatasi permasalahan yang akan dijadikan bahan

penelitian pada kajian stilistika yang meliputi diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa

figuratif, serta nilai-nilai budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.

Kedua pasal tersebut terdiri atas tiga perikop, yaitu : Mempelai Perempuan dan Putri-

putri Yerusalem; Mempelai Laki-laki dan Mempelai Perempuan Puji-memuji; dan Di

Pintu Mempelai Perempuan.

Hasil kajian stilistika dan nilai-nilai budaya tersebut kemudian akan dijadikan

alternatif penerapan integrated faith and learning (pemaduan imtak) dalam model

pembelajaran apresiasi sastra di SMA Advent Purwodadi Pasuruan.


9

1.3 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari batasan masalah di atas, maka rumusan permasalahan yang muncul

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah stilistika dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya

Salomo?

2. Nilai-nilai budaya apa sajakah yang terkandung dalam Kitab Kidung Agung

Pasal 1 dan 2 karya Salomo?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan stilistika yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1

dan 2 karya Salomo.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Kitab Kidung

Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Secara Teoretis

Secara teoretis, manfaat yang diperoleh setelah mengkaji hal-hal di atas adalah

dapat mengetahui, menelaah, dan memberikan sumbangan untuk perkembangan teori-

teori sastra, khususnya stilistika dan dapat menjadi bahan pertimbangan penelitian-

penelitian selanjutnya.
10

2. Secara Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh setelah mengkaji puisi tersebut adalah :

a. Bagi Guru

Guru dapat memperkaya materi pembelajaran yang menarik mengenai stilistika dan

nilai-nilai budaya dalam puisi yang bukan dari Indonesia, sekaligus menerapkan ajaran

iman dan takwa dalam penyampaian materi tersebut.

b. Bagi Siswa

Siswa mampu memahami materi apresiasi sastra yang kajian utamanya menganalisis

atau menguraikan karya-karya sastra, baik dari segi struktur maupun makna.

c. Bagi Dosen

Dosen mata kuliah Apresiasi Sastra dapat menambah wawasan tentang puisi yang

diciptakan oleh seorang raja yang terkenal arif dan bijaksana, yaitu Raja Salomo.

d. Bagi Mahasiswa

Mahasiswa memperoleh tambahan pengetahuan dalam menerapkan mata kuliah

Apresiasi Sastra dalam hal kajian stilistika dan nilai-nilai budaya.

e. Bagi Universitas/Sekolah

Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan di perpustakaan yang dapat menolong

para mahasiswa atau siswa pada saat belajar tentang contoh kajian stilistika.
11

1.6 Definisi Istilah

Dalam penelitian ini digunakan istilah stilistika, diksi, citraan, kata-kata konkret,

bahasa figuratif (gaya bahasa), dan nilai budaya.

a. Stilistika adalah ilmu tentang gaya (Shipley dalam Ratna, 2009:8). Pernyataan

tersebut identik dengan tulisan Panuti Sudjiman (1984:71) yang menyatakan bahwa

stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa di dalam karya sastra.

b. Diksi merupakan unsur leksikal dalam gaya bahasa (Nurgiyantoro 2010:290). Diksi

mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh

pengarang. Mengingat karya sastra adalah dunia kata, komunikasi dilakukan dan

ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tersebut tentunya melewati

pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek ketepatan dan efek

keindahan. Efek itu sendiri secara sederhana dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan

makna untuk mendukung estetis karya sastra yang bersangkutan, mampu

mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan yang

dimaksudkan oleh pengarang. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.

c. Citraan adalah produksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi

yang terwujud kalimat-kalimat yang ditulis pengarang dalam karyanya. Pencitraan tidak

selalu bersifat visual (Wellek & Warren terjemahan Melani Budianta, 1989:236). Tidak

jauh beda dengan pendapat di atas, Sudjiman (1984:16) mengungkapkan bahwa


12

pencitraan adalah hal yang berhubungan dengan kesan mental atau bayangan visual yang

ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat.

d. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang

pengarang mengunkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Style (gaya bahasa)

menyarankan pada pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu,

dan untuk kajian tertentu. Menurut Muljana (dalam Pradopo 2010:93), gaya bahasa adalah

susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati

penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya itu

menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa tersebut untuk

menimbulkan reaksi tertentu dan menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.

e. Nilai Budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu

masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu

kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat

dibedakan satu dengan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan

terjadi atau sedang terjadi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai kajian pustaka dalam

penelitian ini, antara lain Karen Flowers (2002), C. Hassell Bullock (2003), Abdul Rosid

(2011), Ebi (2012), dan Herman (2013).

Karen Flowers (2002) dalam buku Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa (

Penuntun Guru) dengan judul Kidung Agung, Satu Nyanyian Kasih. Buku yang terbit

untuk periode Oktober-Desember 2002 ini membahas Kitab Kidung Agung adalah satu

puisi yang diakui sebagai sastra bermutu tinggi pada zamannya. Buku ini mengungkapkan

bahwa Kidung Agung membicarakan secara mendasar kebutuhan manusia akan kasih dan

keintiman. Karen, secara umum, membahas Kitab Kidung Agung dari pasal 1 sampai 8

dari segi sejarah penulisannya, tipologinya, dan makna isi puisi tersebut bagi kehidupan

pergaulan dan perkawinan manusia pada umumnya. Berbeda dengan penelitian ini,

peneliti secara khusus akan mengkaji stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam

Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo. Peneliti akan mengungkapkan secara

spesifik tentang diksinya, citraannya, kata-kata konkretnya, bahasa figuratifnya, dan nilai-

nilai budayanya.

C. Hassell Bullock (2003), dalam karyanya berjudul Kitab-kitab Puisi dalam

Perjanjian Lama, mengungkapkan lima kitab puisi dalam Perjanjian Lama, yaitu Kitab

Ayub, Kitab Mazmur, Kitab Amsal, Kitab Pengkhotbah, dan Kitab Kidung Agung.

Hampir sama dengan Karen Flowers, Bullock lebih dalam menguraikan asal-usul

13
14

penulisan Kitab Kidung Agung, ciri-ciri dan tujuan penulisan kitab tersebut, pendekatan-

pendekatan yang dapat digunakan untuk menafsirkan kitab tersebut, bentuk atau

tipografinya, dan menjelaskan adegan demi adegan yang tergambar dalam kedelapan

pasalnya. Sementara penelitian ini tidak menguraikan hal-hal seperti yang disebutkan di

atas, tetapi lebih tertuju pada stilistika dan nilai-nilai budayanya.

Abdul Rosid (2011) menulis tesis tentang stilistika dan nilai-nilai budaya dalam

puisi Indonesia. Rosid mendeskripsikan diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif,

dan nilai-nilai budaya dalam sepuluh puisi terkenal Indonesia. Peneliti juga akan

membahas hal-hal seperti yang disebutkan di atas, tetapi pada objek penelitian yang

berbeda, yakni pada dua buah puisi yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung, yaitu pasal

1 dan pasal 2. Kedua pasal yang peneliti ambil adalah versi Bahasa Indonesia.

Penelitian lain pernah dilakukan Ebi (2012) dalam Journal of Language

Teaching and Research dengan judul Figurative Language and Stylistic Function

in J.P. Clark-Bekederemo's Poetry. Hasil penelitian tersebut memaparkan penggunaan

perangkat figuratif bahasa, citra, humor, dan makna teks pada puisi JP Clark-

Bekederemos. Setiap studi eksplorasi gaya puisi J.P. Clark-Bekederemos menyampaikan

pesan tekstual dan menghasilkan efek estetika.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ebi dan penelitian ini terdapat persamaan

dan perbedaan yang menonjol. Persamaannya terletak pada karya sastra, yaitu puisi.

Perbedaanya terletak pada apa yang diteliti, jika Ebi memaparkan penggunaan perangkat

figuratif bahasa, citra, humor, dan makna teks pada puisi J.P. Clark-Bekederemos, dalam
15

penelitian ini penulis meneliti diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif, dan nilai-

nilai budaya pada Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.

Herman Silalahi (2013), menulis karya ilmiah dengan judul Kidung Agung.

Karyanya dimuat dalam Kitab28.blogspot.co.id. Tetapi Silalahi sama sekali tidak

membahas secara mendalam tentang diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa figuratif

yang terdapat dalam Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo. Silalahi membahas latar

belakang kitab, penulisan dan waktu penulisan, struktur kitab, tujuan kitab, dan tema

teologisnya. Sedikit disinggung mengenai nilai-nilai budayanya. Sementara peneliti,

fokus pada penguraian mengenai diksi, citraan, kata-kata konkret, dan bahasa figuratif,

serta juga nilai-nilai budayanya.

Jadi, kelima hasil penelitian di atas tidak mengkaji tentang stilistika dan nilai-nilai

budaya yang terdapat dalam Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo. Itu sebabnya penulis

memandang perlu melakukan penelitian ini untuk melengkapi dan memperkaya

penelitian-penelitian yang sebelumnya.

2.2 Kerangka Teori


2.2.1 Asal Kata Stilistika
Tesis ini menggunakan istilah stilistika sebagai kata bendanya, dan menggunakan

stilistik sebagai kata sifatnya. Menurut Junus (dalam Rosid 2011:16), stilistika

berhubungan dengan gaya, diambil dari kata stylistic (bahasa Inggris), kemudian

diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu; sedangkan Slametmulyana menggunakan istilah

stilistika (dalam Nurhayati, 1992: 21).


16

Kata stilus berarti alat yang ujungnya tajam, digunakan untuk menulis di atas

lembaran kertas yang dilapisi lilin (Shipley dalam Rosid 2011:16), kemudian dieja

menjadi stylus oleh para penulis lainnya. Pada perkembangannya, stylus memiliki arti

yang menjelaskan mengenai sebuah penulisan tentang kritik sebuah tulisan.

2.2.2 Pengertian Stilistika

Stilistika adalah bagian dari linguistic yang mengacu kepada ragam penggunaan

bahasa kompleks dalam sebuah karya sastra (Turner dalam Rosid 2011:17). Menurut

Leech dan Short (dalam Rosid 2011:17), stilistika adalah studi mengenai hubungan

bentuk bahasa dan fungsi literalnya. Menurut Sudjiman (1984:71), stilistika adalah ilmu

mengenai penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra. Pernyataan

serupa juga diajukan oleh Cummings dan Simmons (dalam Rosid 2011:17) yang

berargumentasi bahwa stilistika adalah analisis yang orientasinya adalah linguistik.

Sementara, Keris Mas memberikan pengertian serupa dengan Sudjiman yang

menyatakan bahwa stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya bahasa dalam sebuah karya

sastra (1988: 31). Dengan demikian, ia mencoba menunjukkan bagaimana penuturan

sebuah bahasa dalam sebuah karya sastra yang tidak lazim digunakan dalam bahasa

sehari-hari menjadikannya gaya dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan.

2.2.3 Tujuan Kajian Stilistika

Pembelajaran mengenai bahasa yang digunakan oleh penulis dapat menunjukkan

jalan kepada pengertian yang lebih baik dan penghargaan yang lebih penuh mengenai

kemampuan sastranya (Brook dalam Rosid 2011:19).


17

Pada dasarnya pembelajaran stilistika tersebut bertujuan untuk memberikan

kemampuan untuk merespons teks dan kemampuan observasi sebuah karya sastra (Leech

dan Short, dalam Rosid 2011:20). Sejalan dengan pengertian tersebut, Widdowson (dalam

Rosid 2011:21) mengungkapkan bahwa tujuan analisis stilistik adalah untuk mengerti

unsur bahasa yang terdapat dalam hasil pesan-pesan aktual. Selain itu, Widdowson juga

mengungkapkan bahwa yang paling utama adalah untuk mengembangkan kesadaran

wacana sastra konvensional lebih jauh dalam diri seorang siswa (ibid).

2.2.4 Lapangan Kajian Stilistika

Berikut ini adalah pemaparan area kajian stilistika agar tujuan analisis akan

menjadi jelas dengan berpatokan kepada definisi stilistika tersebut. Berdasarkan beberapa

kajian yang telah diobservasi terhadap bahasa sastra seperti prosa dan puisi, maka

disimpulkan bahwa rima, makna kata dan tata bahasa, diksi, bahasa kiasan, citraan dan

kata konkret merupakan bagian dari stilistika seperti yang diungkapkan oleh Junus (dalam

Rosid 2011:22); dan hal ini juga diperkuat dengan argumentasi Keraf (1981: 99).

2.2.5 Bahasa Karya Sastra

Sumardi dkk (1985: 2) menjelaskan bahwa bahasa sastra merupakan bahasa yang

dikarang sedemikian rupa sehingga susunannya menjadi menarik, atau mampu memikat

para pembaca walaupun terkadang membutuhkan waktu lebih lama untuk memahaminya.

Sementara Cummings dan Simmons (dalam Rosid 2011:31) menyatakan bahwa bahan

dasar pemolaan bahasa terdapat perbedaan antarteks tertentu, terhadap teks sastra dan

nonsastra.
18

Selain itu, meminjam istilah Leech, Widdowson (dalam Rosid 2011:32)

menggunakan istilah foregrounding yang menjelaskan mengenai penyimpangan terhadap

kaidah sebuah bahasa yang menarik perhatian pembaca karena bersifat tidak

konvensional. Seperti yang dijelaskan Aminuddin dalam Nurhadi (1978: 90), apabila

dalam sebuah komunikasi keseharian penutur pada umumnya mementingkan kejelasan,

tetapi pada karya sastra ini, justru disampaikan secara terselubung.

Sumardi dkk. (dalam Nurhayati, 1992: 4) lebih jauh mengungkapkan tentang

penyimpangan bahasa dalam penciptaan puisi. Penyimpangan bahasa tersebut

dimungkinkan bahkan lebih ekstrim lagi dihalalkan karena memang kata-kata itu

menjadi bahan yang harus ditata, diolah sedemikian rupa dengan memperhatikan

keselarasan bunyi, makna, dan citraan yang didukungnya. Puisi memang memperlakukan

bahasa secara relatif lebih bebas, baik yang menyangkut struktur sintaksisnya maupun

struktur morfologisnya.

Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi dalam

istilah kesusastraan dikenal sebagai licentia poetica, Sumardi dkk. (dalam

Nurhayati,1992: 44). Yang dimaksud dengan licentia poetica ialah kebebasan seorang

sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk

menghasilkan efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1993: 18). Pada sisi lain Sudjiman

mengatakan bahwa licentia kurang tepat jika diterjemahkan sebagai kebebasan, tetapi

mungkin lebih tepat jika diterjemahkan sebagai kewenangan. Kebebasan memiliki

konotasi semau-maunya, sedangkan kewenangan bermakna ada ke-sah-an. Dengan

demikian, licentia poetica adalah kewenangan yang diberikan oleh masyarakat (atau oleh
19

dirinya sendiri? Pengarang) kepada sastrawan untuk memilih cara penyampaian

gagasannya dalam usaha menghasilkan efek yang diinginkan. Istilah licentia poetica

tersebut menyiratkan adanya semacam dispensasi bagi penyair untuk tidak mematuhi

norma kebahasaan. Namun, tentulah penyimpangan pemakaian bahasa dari norma tata

bahasa tersebut tetap memperhitungkan tercapainya nilai kepuitisan.

2.2.6 Diksi, Citraan, Kata-Kata Konkret, Bahasa Figuratif.

Berikut ini dikemukakan teori-teori yang berhubungan dengan kajian stilistika

lainnya, yaitu diksi, citraan, kata-kata konkret, serta bahasa figuratif.

2.2.6.1 Diksi (Diction)

Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan

perasaan (Achmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif

dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan pokok masalah, audien, dan kejadian.

Menurut Keraf istilah diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan mana

yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi persoalan

gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya (1981: 18). Dengan demikian

pemilihan kata tidak dapat dilihat sebagai hal yang berdiri sendiri, tetapi harus dilihat

dalam konteks yang lebih luas karena karya sastra sebagai sebuah wacana yang utuh.

2.2.6.2 Citraan (Imaginery)

Berasal dari bahasa Latin, imago, citraan merupakan gambaran impian dalam

puisi seorang penyair; dibuat dalam bentuk verbal untuk mendeskripsikan sesuatu,
20

sehingga pembaca atau penikmat sastra dapat membayangkan tanpa harus melihat hal

konkritnya (Scott dalam Rosid 2011:39). Jadi, pada dasarnya, citraan meliputi gambaran

angan-angan dan penggunaan bahasa yang menggambarkan angan-angan tersebut.

Menurut Burton (dalam Rosid 2011:41), citraan dalam puisi merupakan daya

penarik indera melalui kata-kata. Melalui indera tersebut emosi dan intelek pembaca dapat

dikobarkan dengan cepat. Oleh karena itu wajar saja jika puisi banyak menggunakan

citraan. Namun ditambahkan pula oleh Burton bahwa tidak berarti semua puisi yang

bagus harus mengandung citraan.

Mengambil penjelasan Icksan, Saudaryono (dalam Rosid 2011:41) menyatakan

bahwa imaji lihatan (visual) adalah sesuatu pembayangan kembali pengalaman

sensasional maupun perseptual yang bersifat visual gambaran yang Nampak, sedangkan

imaji selera (gustatory image) merupakan pembayangan kembali pengalaman sensasional

maupun perseptual yang berhubungan dengan rasa: manis,pahit, getir, payau, asin, lezat,

hambar, asam, pedas. Imaji pembauan (olfactory image) merupakan pembayangan

kembali pengalaman sensasional maupun perseptual yang berhubungan dengan bau-

bauan: wangi, anyir, tengik, segar, harum, amis, busuk. Imaji tekanan (pressure image)

merupakan suatu pembayangan kembali pengalaman sensasional maupun perseptual yang

berhubungan dengan tekanan, imaji ini meliputi tiga macam (1) imaji perabaan (haptic

image) yang berhubungan dengan perabaan: kasar, halus, lembut, kenyal, dan sebagainya;

(2) imaji gerakan (synaesthetic image) yang berhubungan dengan gerakan: lambat, cepat,

berulang, melesat, mengalir, mengarus, melaju, timpang, gemulai, menghambur,

menggelombang, dan dengan tekanan yang berat/menindih; hati yang tertekan, beban
21

penderitaan, dan sebagainya. Selain itu ada juga imaji pendengaran (auditory image) yang

diartikan sebagai suatu pembayangan kembali pengalaman yang sensasional dan

perseptual yang berhubungan dengan suara: hati menjerit, rasa kesadarannya berbisik,

amarahnya menggelegak, jeritan hati nurani, himbauan kasih, dan sebagainya. Terakhir

adalah imaji warna (colour image) yang diartikan sebagai suatu pembayangan kembali

pengalaman-pengalaman sensasional dan perseptual yang berhubungan dengan warna-

warna: dukamu yang coklat, seputih hatinya, sejarah hidupnya yang hitam, September

yang kelabu, dan sebagainya. Berikut dipaparkan bagan jenis imaji.

Jenis Imaji

PEMBAUAN TEKANAN PENDENGARAN

SELERA PERABAAN WARNA

LIHATAN GERAKAN

Sumber : Saudaryono (dalam Rosid, 2011:41)


22

2.2.6.3 Kata-kata Konkret (The Concrete Words)

Kata konkret adalah kata yang melukiskan dengan tepat serta membayangkan

dengan jitu agar imaji pembaca dapat ditingkatkan (Nurhayati, 1992: 81). Menurut Scott

(dalam Rosid 2011:43), kata konkret adalah sebuah cara untuk mengusulkan pengalaman

sesegera mungkin akan realita yang berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata

yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan

yang dilukiskan oleh penyair.

2.2.6.4 Bahasa Figuratif (Figurative Language)

Pradopo (2010) dan Sudjiman (1993) menyebut bahasa figuratif dengan istilah

bahasa kiasan atau majas. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair

untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasanya dan cara yang tidak langsung

(Waluyo dalam Nurhayati, 1991: 83); Istilah ini juga sejajar pengertiannya dengan

metafora, simile, personifikasi, dan metonimi (Scott, dalam Rosid 2011:45).

Sementara itu, bahasa figuratif sebenarnya merupakan bagian dari pilihan kata

yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu (Keraf,

1984: 117). Oleh sebab itu, persoalan bahasa figuratif meliputi semua hirarki kebahasaan:

pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat atau mencakup sebuah wacana

secara keseluruhan. Dengan demikian, pembahasan diksi, kata-kata konkret, citraan, dan

bahasa figuratif, tidak dapat dipisah-pisahkan secara jelas.

Beberapa bahasa figuratif yang banyak muncul dalam karya sastra adalah :
23

1. Metafora. Menurut Cuddon (dalam Rosid 2011:46), metafora merupakan the basic

figure in poetry. Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak

mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti dan

sebagainya, Altenbernd (dalam Pradopo, 2010: 66). Metafora merupakan wujud

nyata dari citraan; bentuk yang paling tepat untuk menggambarkan citraan atau

imagery. Metafora mengidentifikasikan dua objek yang berbeda dan

menyatukannya dalam pijaran imajinasi. Dalam hal ini metafora bertugas

membangkitkan daya bayang yang terdapat dalam angan pembaca.

Majas metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak

langsung dan implisit. Hubungan antarsesuatu yang pertama dengan yang kedua

hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembanding eksplisit

(Nurgiyantoro 2010:229).

2. Simile. Jika metafora mengandung perbandingan yang biasanya tidak

mengungkapkan perbandingan secara eksplisit, simile memerlukan upaya yang

secara eksplisit yang menunjukkan kesamaan tersebut, misalnya seperti, sama,

sebagai, bagaikan, dan laksana (Keraf, 1984: 138; Pradopo, 2010:62).

3. Sinekdoke, berasal dari bahasa Yunani synekdechesthai, yang berarti menerima

bersama-sama (Keraf, 1984: 142). Bahasa figuratif ini mempergunakan sebagian

dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhannya (pars prototo) atau

mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem proparte).

4. Metonimia, juga berasal dari bahasa Yunani metonymia. Kata metonymia

berasal dari meta yang berarti berubah (change) dan onoma yang berarti nama
24

(name) (Hawkes, dalam Rosid 2011:47). Dengan demikian, metonimia adalah

bahasa figuratif yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal

lain karena memiliki pertalian yang sangat dekat. Misalnya, saya naik kijang, ia

naik panter. Kata kijang dan panter merujuk kepada mobil.

Majas metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal

yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal lainnya sebagai penggantinya

(Tarigan 2009:121). Kita dapat menyebut pencipa atau buatannya bisa pula kita

menyebut bahan dari barang yang dimaksud.

5. Personifikasi, adalah bahasa figuratif yang menggambarkan benda-benda mati

atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

Benda-benda tersebut bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia

(memanusiakan alam, binatang, dan tumbuh-tumbuhan). Keraf 1984: 125).

Menurut Pradopo (2010:75), personifikasi adalah kiasan yang

mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat,

berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Majas personifikasi ini banyak

digunakan oleh penyair dari dahulu hingga sekarang.

6. Alegori. Menurut Pradopo (2010:71), alegori ialah cerita kiasan atau lukisan

kiasan. Alegori ini banyak digunakan dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun

pada waktu sekarang banyak juga sajak-sajak Indonesia modern. Alegori ini

sebenarnya metafora yang dilanjutkan.


25

Alegori adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang dikisahkan dalam

lambang-lambang metafora yang diperluas kesinambungan, tempat, objek-objek

atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan (Tarigan 2009:24).

7. Repetisi, adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang

dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai

(Keraf 1984:127)

2.2.7 Pemahaman terhadap Struktur Batin Puisi

Pada dasarnya, karya sastra terdiri atas unsur-unsur pembangun yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan lainnya. Wellek dan Warren (dalam Rosid 2011:52)

membaginya ke dalam dua jenis yaitu hakikat puisi yang juga dikenal sebagai isi, dan

metode puisi yang juga disebut dengan bentuk. Hakikat adalah unsur hakiki yang

menjiwai puisi (tema, perasaan, nada, amanat), sedangkan medium bagaimana hakikat itu

diungkapkan disebut metode puisi (diksi, pengimajian, kata-kata konkret, bahasa

figuratif, rima dan ritma). (Waluyo dalam Nurhayati, 1991: 27).

2.2.8 Gaya, Gaya Bahasa, Majas, dan Stilistika

Menurut Kamus Istilah Sastra, gaya adalah pemakaian kata yang melewati batas-

batas makna lazim, atau yang artinya secara harafiah menyimpang. Gaya mempunyai

perbedaan secara garis besar yaitu intensitas gaya rendah, menengah, dan tinggi

(Sudjiman, 1984: 34).


26

Gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan struktur kalimat

yang dijabarkan menjadi klimaks, antiklimaks, paralelisme, antithesis, dan repetisi, serta

berdasarkan langsung atau tidaknya yang dipisahkan ke dalam gaya retorik dan kiasan.

Dalam gaya bahasa retorik terbagi atas asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis,

eufemisme, pleonasme, tautologi, periprasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio,

hiperbola, dan paradoks. Sedangkan yang termasuk ke dalam gaya bahasa kiasan adalah

gaya bahasa perumpamaan, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi, alusio,

eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonimia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, dan

satire. Berikut merupakan bagan klasifikasi gaya bahasa.

GAYA BAHASA GAYA BAHASA GAYA BAHASA GAYA BAHASA


PERBANDINGAN PERTENTANGAN PERTAUTAN PERULANGAN
Perumpamaan Hiperbola Metonomia Aliterasi
Metafora Litotes Sinekdok Asonansi
Personifikasi Ironi Alusio Kiasmus
Alegori Satire Aufemisme Anafora
Antitesis Paradoks Eponim Epistrofa
Pleonasme Klimaks Epitet Simploke
Periprasis Antiklimaks Antonomasia
Sinisme Paralelisme
Sarkasme Ellipsis
Asindeton
Polisindeton
Sumber : Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa hlm 124-145

Ada perbedaan secara gradual antara gaya dalam kehidupan sehari-hari dengan

gaya bahasa dalam karya sastra. Peranan bahasalah yang membedakan di antara

keduanya. Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari tidak berulang, sehingga kehidupan

sehari-hari tidak memiliki plot. Sebaliknya dalam karya sastra, dengan medium bahasa

peristiwa disusun kembali. Penyusunan kembali inilah yang pada gilirannya


27

menghasilkan alur yang berbeda, sebagai akibat penyusunan itu sendiri, sehingga

menghasilkan keindahan. Klimaks pembacaan novel pada dasarnya adalah mekanisme

pemplotan. Secara singkat, istilah gaya digunakan dalam pengertian umum, sedangkan

gaya bahasa secara khusus menyangkut bidang pemakaian bahasa. Gaya lebih banyak

berkaitan dengan karya seni nonsastra, sedangkan majas lebih banyak berkaitan dengan

aspek kebahasaan. Dengan singkat, gaya bahasa meliputi gaya dan majas. Dalam

hubungan ini tujuan yang dimaksudkan meliputi aspek estetis, etis, dan pragmatis. Oleh

karena itulah, sebagai pendukung gaya bahasa, jenis majas yang paling dominan adalah

penegasan.

Stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada

umumnya lebih banyak merujuk pada gaya bahasa. Jadi, dalam pengertian yang paling

luas, stilistika adalah sebagai ilmu tentang gaya. Secara analisis, gaya, gaya bahasa, serta

majas adalah objek sastra, sedangkan stilistika adalah ilmu yang mempelajari objek

tersebut.

2.2.9 Nilai Budaya

Banyaknya suku bangsa yang tersebar dan mendiami daerah menyebabkan

terjadinya keanekaragaman namun bertemu pada satu muara, Indonesia, yang memiliki

budaya daerah yang tersebar di berbagai suku dan daerah, yang kemudian memberikan

wajah terhadap nilai budaya. Nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah

dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (KBBI, 2014: 963).
28

Norma-norma yang ditemukan di tengah kehidupan masyarakat merupakan

produk budaya yang dapat dijadikan sebagai patokan penilaian baik-buruk atau benar-

salah dalam masyarakat tersebut. Hal ini dipertegas oleh Syam (dalam Rosid, 2011:83)

yang mengatakan bahwa nilai merupakan sebuah kata yang sulit didefinisikan secara tepat

karena penggunaannya hampir pada semua aspek kehidupan yang sering diucapkan. Oleh

sebab itu, Hamidy (dalam Rosid, 2011:83) mengemukakan pengertian nilai sebanyak

sepuluh jenis, yaitu arti, makna, peranan, guna, kepandaian atau kemampuan, pandangan,

kualitas (mutu), bobot, harga, dan hakikat.

Hamidy (ibid) mengemukakan mengenai sepuluh jenis fungsi nilai yang cukup

mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu: (1) untuk meningkatkan taraf hidup, (2) untuk

meningkatkan kualitas hidup, (3) mengatur hubungan sosial, (4) mempercepat persatuan,

(5) memberikan pola berbuat dan bertingkah laku, (6) memberikan pandangan hidup, (7)

mengenal dan menghayati misteri alam, (8) untuk mengetahui kebenaran, (9)

membimbing manusia dari hidup menuju kematian, dan (10) dapat berperan untuk

mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut Kluckhon (dalam Kuntjaraningrat,

1985: 28), sistem nilai budaya berkaitan dengan lima pokok masalah kehidupan manusia,

yaitu (1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, (2) masalah mengenai hakikat

dari karya manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang

dan waktu, (4) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,

(5) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.


29

2.2.10 Puisi dan Pengertiannya

Kata puisi berasal dari bahasa Yunani, poeima, yang berarti membuat; dalam

bahasa Inggris, kata puisi adalah poem atau poetry, yang berarti membuat atau

pembuatan, karena melalui puisi, seseorang pada dasarnya telah membuat atau

menciptakan sesuatu yang berisi pesan mengenai sebuah keadaan tertentu, baik fisik

maupun mental (Aminuddin, 1995: 134). Dalam pemahaman puisi menurut definisi

Alternbernd (dalam Rosid, 2011:97), menurutnya puisi adalah pendramaan pengalaman

yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama, dan seseorang perlu

mengetahui ciri-ciri secara intuitif, namun wujud puisi selalu berubah seiring

perkembangan zaman.

Samuel Taylor Coleridge (dalam Royid, 2011: 98) mengemukakan puisi adalah

kata-kata yang terindah dalam susunan yang terindah.

Jadi, dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan seperti

yang diungkapkan Shahnon Ahamad (dalam Rosid 2011:99) bahwa dalam puisi

terkandung beberapa unsur berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan

pancaindera, susunan kata-kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang

bercampur aduk.

2.2.11 Kidung Agung sebagai Puisi

Gordis (dalam Bullock 2003:299) mengatakan bahwa Kidung Agung adalah

sebuah himpunan sajak yang agung, yang berisi kidung-kidung tentang cinta dan alam,

tentang cumbuan dan perkawinan, yang berasal dari sekurang-kurangnya lima abad
30

sejarah Ibrani, dari zaman Salomo sampai zaman Persia. Jadi, Kidung Agung sejajar

dengan Kitab Mazmur-walaupun dalam batas ukuran yang lebih kecil- yang merupakan

himpunan tulisan/sajak dan cinta akan Allah.

Dalam bahasa Ibrani, kitab ini diberi judul Shir Hashshirim, artinya nyanyian

terbaik dari segala nyanyian. Judul ini diberikan dengan alasan bahwa dari 1005 nyanyian

karangan Salomo (I Raj.4:32), Kidung Agung adalah yang terbaik dan terpenting. Judul

Septuaginta (Asma Asmaton), Vulgata (Canticum Canticorum), Inggrs (Song of Songs

atau The Song of Solomon).

Kidung Agung dimasukkan ke dalam kelompok kitab sastra, di mana dalam kitab

sastra, banyak terdapat puji-pujian berupa nyanyian dan puisi. Seringkali kitab ini

dianggap tidak pantas untuk diangkat sebagai kitab suci oleh karena gaya bahasanya yang

cenderung erotik.

Nama kitab ini diambil dari ayat pertama, Kidung agung dari Salomo. Kitab ini

adalah yang pertama dari lima gulungan (megillot) dalam kanon Ibrani yang digunakan

dalam perayaan-perayaan; biasanya ditentukan untuk dibaca pada perayaan

Paskah. Dalam bahasa Inggris, kitab ini disebut song of songs yang artinya nyanyian

dari nyanyian, dan dalam bahasa Ibrani (Shir Hashshirim, 1:1) ialah superlatif, yang

mengartikan nyanyian yang paling baik karena sukar sekali ditemukan tulisan yang

setaraf dengannya tentang cinta manusia. Kidung ini sangat indah dan mengesankan

sekali dan memuat gambaran-gambaran yang diambil secara halus dari padang dan taman.

Kidung Agung dikategorikan dalam Kitab Hikmat, sebab ciri-ciri sastra hikmat

pada umumnya juga ada dalam Kidung Agung, misalnya bersifat universal dan
31

langsung berhubungan dengan pengalaman hidup manusia dan tidak berorientasi pada

sejarah. Kendatipun ada beberapa kritikus yang menolak Salomo sebagai penulis, terdapat

dukungan kuat bahwa Salomo adalah penulisnya:

- Kata lisylomo yang diartikan pada Salomo atau untuk Salomo, dapat juga diartikan of

Solomon, oleh Salomo. Nama Salomo disebutkan 7 kali.

- Keahlian Salomo sebagai penulis kidung sudah dikenal (I Raja-raja 4:32).

- Diperkirakan ditulis sebelum Salomo dipengaruhi oleh isteri-isterinya untuk

menyembah berhala (I Raj. 11:3-4), yaitu + 965 BC. Penyuntingan (editing) di waktu

kemudian sangat mungkin terjadi.

Orang Yahudi kuno menghargai keistimewaan kitab Kidung Agung.

Kitab Kidung Agung merupakan kitab Perjanjian Lama yang terbukti sangat

membingungkan (menyulitkan) para penafsir. Pertama, karena tema yang gamblang

mengejutkan dan sering memalukan para pembaca Yahudi maupun Kristen. Kedua,

sebagian besar bahasanya sangat unik dan tidak jelas, sehingga mempersulit

penerjemahan maupun penafsirannya. Ada 4 macam bentuk penafsiran yang signifikan

terhadap kitab Kidung Agung (Bullock 2003: 287-295).

1. Dramatis. Pendekatan ini memahami kitab Kidung Agung sebagai sebuah sandiwara

(sandiwara Ibrani kuno). Syair ini dimaksudan untuk acara hiburan di istana, entah

dilakonkan atau dinyanyikan.

2. Literal. Penafsiran secara harafiah. Jadi kitab Kidung Agung merupakan gambaran

cinta kasih antara seorang pria dan wanita yang sangat romantis yang diangkat dari
32

kehidupan pribadi Salomo, yang tidak bermaksud menyampaikan pengajaran spiritual.

Pertanyaan yang muncul adalah: jika demikian, mengapa kitab ini dimasukkan dalam

kanon? Bangsa Ibrani adalah bangsa yang menjunjung tinggi kitab sucinya, dan

sungguh-sungguh menjaga dengan teliti agar tidak satupun yang dimasukkan kecuali

yang diilhamkan oleh Allah.

3. Alegoris. (Yunani: Allos artinya lain dan agoreyo artinya menyatakan atau

mengumumkan). Dengan demikian, penafsiran alegori dapat diartikan

menyampaikan ide atau menyatakan sesuatu hal, tetapi berbeda dari yang tertulis (lain

artinya). Jadi secara alegoris, Kidung Agung merupakan figuratif (kiasan) bukan

berdasarkan fakta sejarah.

4. Tipos/Lambang. (Yunani: typos artinya suatu pola), maka tipos dapat diartikan:

berarti seperti tertulis dengan memberikan tambahan pengertian. Tipos dapat berdasar

fakta sejarah, atau merupakan figuratif tetapi juga sesuai firman Tuhan, mengandung

hal rohani yakni suatu gambaran yang mewakili suatu peristiwa. Jadi Kidung Agung

menggambarkan hubungan Tuhan dengan Israel, di mana Israel sebagai mempelai

perempuan. Orang Yahudi menafsirkan Kidung Agung dengan cara ini, itulah

sebabnya kitab ini masuk dalam kanon. Bagi kita, penafsiran tipos, maka mempelai

wanita adalah hubungan gereja maupun pribadi dengan Tuhan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ialah

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis (Bogdan dalam

Moleong 2010:4). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,

pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata 2009:60).

3.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah cara pandang objek kajian yang akan diteliti. Pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural atau objektif, dengan

cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi

ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai keseluruhan makna. Pendekatan

tersebut digunakan untuk mengkaji penggunaan diksi, citraan, kata-kata konkret, dan

bahasa figuratif yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2 karya Salomo.

Sementara untuk mengkaji nilai-nilai budayanya digunakan pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak ubahnya artefak (benda mati),

pembacalah yang mengidupkan sebagai proses konkritasi. Ini menitikberatkan pada

dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya sastra (Teeuw,

1994). Pada penelitian yang penulis lakukan, objek kajian berupa teks sastra. Teks sastra

dideskripsikan, dianalisis, dan ditafsirkan, sehingga menghasilkan data deskriptif tertulis.

33
34

Teks Sastra Dideskripsikan

Dianalisis

Ditafsirkan

Deskriptif Tertulis

Menurut Sukmadinata (2009:72), penelitian deskriptif adalah suatu bentuk

penelitian yang paling dasar, yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau

menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah

ataupun rekayasa manusia. Dengan kata lain, metode deskriptif adalah suatu metode yang

digunakan untuk mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti dengan menguraikan hal-

hal yang menjadi pusat perhatian dan mendukung objek penelitian tersebut. Penelitian

deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi, atau pengubahan pada varibel-

variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya. Metode deskriptif ini

disertai dengan kegiatan analisis agar diperoleh pemahaman dan pembahasan yang

mendalam mengenai stilistika dan nilai budaya yang terdapat dalam Kitab Kidung Agung

Pasal 1 dan 2 karya Salomo dan kemungkinannya untuk digunakan sebagai bahan

pembelajaran sastra di SMA Advent Purwodadi Pasuruan.


35

3.3 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya

Salomo. Kitab Kidung Agung pasal 1 terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbangun

dalam 10 bait. Setiap ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar.

Kidung Agung pasal 1 (biasa disingkat Kid. 1) ini diawali dengan judul dan nama penulis

(Salomo, putra raja Daud) pada ayat 1 serta mengandung dua perikop, yaitu Mempelai

perempuan dan puteri-puteri Yerusalem dan Mempelai laki-laki dan mempelai

perempuan puji-memuji.

Kidung Agung pasal 2 (biasa disingkat Kid. 2) terdiri atas 17 ayat dan 57 larik

yang terbangun dalam 5 bait. Setiap ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau

huruf besar. Kidung Agung pasal 2 mengandung satu perikop, yaitu Di pintu mempelai

perempuan.

3.4. Data/Objek Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari Kitab Kidung Agung

pasal 1 dan 2 karya Salomo, yang merupakan salah satu Kitab Puisi dalam Alkitab

Perjanjian Lama, yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada tahun

2006. Data tersebut berbentuk kata-kata, frasa, klausa, atau kalimat atau ungkapan yang

secara totalitas menyatu dalam keseluruhan isi puisi. Hal ini senada dengan pendapat

Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 1999:112) bahwa sumber data utama dalam

penelitian alamiah adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti

dokumen dan lain-lain.


36

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Studi pustaka

adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang

relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat

diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan

disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan

sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Dengan kata lain, kajian

pustaka adalah bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan objek penelitian yang pernah

dibuat dan didokumentasikan yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian yang

dikaji. Pegumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pembacaan. Data yang

berupa puisi/teks diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur/bagian-bagian tertentu sesuai

dengan stilistika dan nilai budaya dalam puisi yang diteliti.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Membaca,

menelaah dan memahami stilistika dan nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 2)

Mencatat data berupa kata, frasa, klausa, kalimat, ungkapan (teks) yang berkaitan dengan

stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 3) Mengelompokkan data

berdasarkan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 4) Menganalisis

data berdasarkan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi.

Sugiyono (2010:305,306) mengatakan, yang menjadi instrumen dalam penelitian

kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Posisi peneliti dalam penelitian kualitatif sebagai

human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai


37

sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,

menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan untuk mengungkapkan proses pengorganisasian

dan pengurutan data tentang stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam Kitab

Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo kedalam pola katagori dan satuan uraian,

sehingga pada akhirnya dapat ditarik simpulan tentang stilistika dan nilai-nilai budayanya

yang dilengkapi dengan data pendukung. Setelah data terkumpul secara keseluruhan,

kemudian data diklasifikasikan, lalu dianalisis berdasarkan masalah penelitian. Teknik

analisis data dalam penelitian ini adalah: 1) Data diklasifikasikan berdasarkan masalah

penelitian, yaitu berdasarkan stilistika (diksi, citraan, kata-kata konkret, bahasa figuratif)

serta nilai-nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra, dalam hal ini puisi. 2)

Menganalisis stilistika puisi dan menganalisis nilai-nilai budaya yang terdapat dalam

puisi. 3) Mendeskripsikan stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi. 5)

Menyimpulkan hasil analisis stilistika dan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam puisi.

6) Menyusun laporan hasil penelitian.7) Melaporkan hasil penelitian.


BAB IV

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data

Berikut ini adalah puisi Kidung Agung 1 dan 2 karya Salomo secara utuh dalam

versi Bahasa Indonesia.

1 Kidung agung dari Salomo. larik 1


Mempelai perempuan dan judul perikop
puteri-puteri Yerusalem
2 __Kiranya ia mencium aku dengan kecupan! larik 2
Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur, --larik 3
3 harum bau minyakmu, --larik 4
bagaikan minyak yang tercurah namamu, --larik 5
oleh sebab itu gadis-gadis cinta kepadamu! larik 6
4 Tariklah aku di belakangmu, --larik 7
marilah kita cepat-cepat pergi! larik 8

Sang raja telah membawa aku larik 9


ke dalam maligai-maligainya. larik 10

Kami akan bersorak-sorai dan larik 11


bergembira karena engkau, --larik 12
kami akan memuji cintamu larik 13
lebih dari pada anggur! larik 14
Layaklah mereka cinta kepadamu! larik 15

5 Memang hitam aku, tetapi cantik, --larik 16


hai puteri-puteri Yerusalem, --larik 17
seperti kemah orang Kedar, --larik 18
seperti tirai-tirai orang Salma.larik 19

6 Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam, --larik 20


karena terik matahari membakar aku. larik 21
Putera-putera ibuku marah kepadaku, --larik 22
aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; --larik 23
kebun anggurku sendiri tak kujaga. larik 24
7 Ceriterakanlah kepadaku, jantung hatiku, --larik 25
di mana kakanda menggembalakan domba, --larik 26
di mana kakanda membiarkan larik 27

38
39

domba-domba berbaring pada petang hari. larik 28


Karena mengapa aku akan jadi serupa pengembara larik 29
dekat kawanan-kawanan domba teman-temanmu? larik 30
8 __Jika engkau tak tahu, --larik 31
hai jelita di antara wanita, --larik 32
ikutilah jejak-jejak domba, --larik 33
dan gembalakanlah anak-anak kambingmu larik 34
dekat perkemahan para gembala.larik 35

Mempelai laki-laki dan mempelai judul perikop 2


perempuan puji-memuji
9 __Dengan kuda betina dari pada kereta-kereta Firaun larik 36
kuumpamakan engkau, manisku.larik 37
10 Moleklah pipimu di tengah perhiasan-perhiasan larik 38
dan lehermu di tengah kalung-kalung. larik 39

11 Kami akan membuat bagimu perhiasan-perhiasan emas larik 40


dengan manik-manik perak. larik 41

12 __Sementara sang raja duduk pada mejanya, --larik 42


semerbak bau narwastuku. larik 43
13 Bagiku kekasihku bagaikan sebungkus mur, --larik 44
tersisip di antara buah dadaku. larik 45
14 Bagiku kekasihku setangkai bunga pacar larik 46
di kebun-kebun anggur En-Gedi.larik 47

15 __Lihatlah, cantik engkau, manisku, --larik 48


sungguh cantik engkau, --larik 49
bagaikan merpati matamu. larik 50

16 __Lihatlah, tampan engkau, kekasihku, --larik 51


sungguh menarik; --larik 52
sungguh sejuk petiduran kita.larik 53

17 Dari kayu aras balok-balok rumah kita, --larik 54


dari kayu eru papan dinding-dinding kita.larik 55

2 Bunga mawar dari Saron aku, --larik 1


bunga bakung di lembah-lembah. larik 2
2 __Seperti bunga bakung di antara duri-duri, --larik 3
demikianlah manisku di antara gadis-gadis. larik 4
3 __Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan, --larik 5
demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna. larik 6
Di bawah naungannya aku ingin duduk, --larik 7
buahnya manis bagi langit-langitku.larik 8
40

4 Telah dibawanya aku ke rumah pesta, --larik 9


dan panjinya di atasku adalah cinta.larik 10
5 Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, --larik 11
segarkanlah aku dengan buah apel, --larik 12
sebab sakit asmara aku. larik 13
6 Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, --larik 14
tangan kanannya memeluk aku. larik 15
7 Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, --larik 16
demi kijang-kijang atau demi larik 17
rusa-rusa betina di padang: --larik 18
jangan kamu membangkitkan dan larik 19
menggerakkan cinta sebelum diingininya! larik 20

Di pintu mempelai perempuan judul perikop


8 Dengarlah! Kekasihku! larik 21
Lihatlah, ia datang, --larik 22
melompat-lompat di atas gunung-gunung, --larik 23
meloncat-loncat di atas bukit-bukit. larik 24
9 Kekasihku serupa kijang atau anak rusa. larik 25
Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita, --larik 26
sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap larik 27
dan melihat dari kisi-kisi. larik 28
10 Kekasihku mulai berbicara kepadaku: --larik 29
"Bangunlah manisku, jelitaku, marilah! larik 30
11 Karena lihatlah, musim dingin telah lewat, --larik 31
hujan telah berhenti dan sudah lalu. larik 32
12 Di ladang telah nampak bunga-bunga, --larik 33
tibalah musim memangkas; --larik 34
bunyi tekukur terdengar di tanah kita. larik 35
13 Pohon ara mulai berbuah, --larik 36
dan bunga pohon anggur semerbak baunya. larik 37
Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah! larik 38

14 Merpatiku di celah-celah batu, --larik 39


di persembunyian lereng-lereng gunung, larik 40
perlihatkanlah wajahmu, --larik 41
perdengarkanlah suaramu! larik 42
Sebab merdu suaramu larik 43
dan elok wajahmu!" larik 44

15 Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, --larik 45


rubah-rubah yang kecil, --larik 46
yang merusak kebun-kebun anggur, --larik 47
kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga! larik 48
16 Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia larik 49
yang menggembalakan domba di larik 50
tengah-tengah bunga bakung. larik 51
41

17 Sebelum angin senja berembus --larik 52


dan bayang-bayang menghilang, --larik 53
kembalilah, kekasihku, --larik 54
berlakulah seperti kijang, --larik 55
atau seperti anak rusa larik 56
di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah! larik 57

4.2 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 1 (Diksi, Citraan, Kata-kata Konkret dan
Bahasa Figuratif)

Berikut akan dipaparkan analisis terhadap puisi Kidung Agung Pasal 1. Analisis

yang dilakukan ini tentunya akan membuka berbagai interpretasi terhadap puisi tersebut.

Interpretasi yang diperoleh dari analisis terhadap puisi tersebut, bukanlah interpretasi yang

bersifat mutlak. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan penafsiran lain yang luput

dari perhatian pengkaji.

Puisi ini terdiri atas 17 ayat dan 55 larik yang terbagi dalam 10 bait. Setiap ayat

dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Kidung Agung 1 (biasa

disingkat Kid. 1) ini diawali dengan judul dan nama penulis (Salomo, putra raja Daud)

pada ayat 1 serta mengandung dua perikop, yaitu Mempelai perempuan dan puteri-puteri

Yerusalem dan Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan puji-memuji.

Kidung Agung pasal 1 berisikan percakapan antara kedua kekasih, walaupun

sebagian mungkin merupakan pembicaraan bayangan saja, yang diucapkan pada waktu

pasangan yang bersangkutan tidak hadir. Dalam puisi ini sangat jelas terdapat adanya

kidung (nyanyian) penggambaraan, kidung (nyanyian) kekaguman, dan kidung (nyanyian)

kerinduan. Pembagian isi pasal 1 ini sebagai berikut : (a) Kidung Agung 1:1 = Judul, (b)

Kidung Agung 1:2-3 = Nyanyian mempelai perempuan, (c) Kidung Agung 1:4= Nyanyian

mempelai perempuan dan puteri-puteri Yerusalem, (d) Kidung Agung 1:5-6 = Nyanyian
42

mempelai perempuan, (e) Kidung Agung 1:7 = Nyanyian mempelai perempuan kepada

mempelai laki-laki, (f) Kidung Agung 1:8-10 = Nyanyian mempelai laki-laki kepada

mempelai perempuan, (g) Kidung Agung 1:11 = Nyanyian puteri-puteri Yerusalem, (h)

Kidung Agung 1:12-14= Nyanyian mempelai perempuan, (i) Kidung Agung 1:15 =

Nyanyian mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, (j) Kidung Agung 1:16-17 =

Nyanyian mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini banyak menggunakan bahasa kias,

namun sebagian juga menggunakan kata-kata konkret seperti bahasa yang kita gunakan

sehari-hari. Untuk mengkonkretkan tanggapan, kata-kata dalam puisi ini mempergunakan

bahasa kiasan.

4.2.1 Diksi

Diksi yang digunakan dalam puisi Kidung Agung 1 sangat dominan, seperti yang

tampak pada larik-larik berikut ini:

Larik ke-2 yang berbunyi Kiranya ia mencium aku dengan kecupan. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:270) kata cium berarti sentuh dengan bibir atau

hidung, sedangkan kata kecupan (2014:645) berarti hasil mengecup. Kata kecup artinya

tiruan bunyi bibir yang dimoncongkan lalu ditarik kembali sehingga berbunyi cup.

Kedua kata itu dipilih oleh penulis dalam puisinya untuk mengungkapkan betapa

perempuan sangat mendambakan rasa cinta dan kasih sayang yang dalam dari sang lelaki

pujaan hatinya. Seseorang yang dicium dengan kecupan akan merasakan hubungan yang

lebih dekat dan intim.


43

Larik ke-3 yang berbunyi cintamu lebih nikmat daripada anggur, dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2014:268) kata cinta bermakna kasih sekali, terpikat (antara

laki-laki dan perempuan) dan kata anggur artinya tumbuhan merambat, buahnya kecil-

kecil sebesar kelereng dan berangkai atau buah anggur. Namun dalam puisi ini kata cinta

bermakna segala bentuk perhatian, kebahagiaan, kesenangan, kebutuhan lahiriah dan

batiniah jauh melebihi anggur yang menggambarkan sukacita dan kegembiraan. Kita

mengetahui bahwa pada zaman raja-raja, anggur adalah salah satu buah favorit dan

berkelas. Sekarang pun harganya termasuk mahal. Tetapi bagi si perempuan yang

dilukiskan dalam puisi tersebut, anggur tidak lebih penting atau berharga daripada cinta

dari lelaki pujaannya.

Larik ke-4 berbunyi harum bau minyakmu. Kata minyak berarti zat cair

berlemak, biasanya kental, tidak larut dalam air, larut dalam eter dan alkohol (KBBI,

2014:918). Dalam hal ini tidak dipakai kata parfum, sekalipun parfum juga harum baunya.

Di daerah Timur Tengah, minyaklah yang lebih terkenal dan berharga. Di sana sangat

diperlukan karena udaranya sangat panas. Minyak membuat tubuh jadi harum, tidak berbau

keringat. Kemudian wanginya minyak itu digunakan untuk menggambarkan keharuman

nama sang pujaan hati seperti yang tampak pada larik ke-5, bagaikan minyak yang

tercurah namamu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:950) kata nama berarti

kata untuk menyebut atau memanggil orang (tempat, barang, binatang, dsb.), namun dalam

puisi di atas kata namamu mengandung makna tanda sesuatu yang khusus dari seseorang.

Salomo, sebagai seorang raja, sangat banyak kelebihannya dibandingkan raja-raja

sebelumnya. Dia memiliki karakter yang luar biasa. Dia seorang yang sangat bijaksana

dalam mengambil keputusan. Kemasyurannya itu sampailah kemana-mana, bahkan ke

negeri orang.
44

Larik ke-10 berbunyi, dalam maligai-maligainya; dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2014:867) arti kata maligai adalah ruang di istana tempat kediaman raja atau

putri-putri raja, namun dalam puisi ini kata maligai merujuk pada kamar pengantin.

Larik ke-18 berbunyi, seperti kemah orang Kedar. Kata kemah berarti tempat

tinggal darurat, biasanya berupa tenda yang ujungnya hampir menyentuh tanah dibuat dari

kain terpal dsb. (KBBI, 2014:661). Namun dalam puisi ini kata kemah orang Kedar

bermakna hitam yang cantik dan menarik karena pada zaman itu pada umumnya kemah

dibuat dari bulu domba jantan hitam. Begitu pula larik ke-19 yang berbunyi, seperti tirai-

tirai orang Salma, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:1472) kata tirai berarti

kain (sutra dsb.) berumbai-umbai yang dipakai untuk perhiasan langit-langit tempat tidur

atau tempat duduk, namun dalam puisi ini kata tirai orang Salma bermakna kecantikan

yang sungguh indah dipandang mata karena tirai milik Salomo memang sangat indah,

mahal, dan berharga.

Larik ke-25 berbunyi, Ceritakanlah kepadaku, jantung hatiku,, dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2014:566) dijelaskan bahwa jantung adalah bagian tubuh yang

menjadi pusat peredaran darah, dan jantung hati berarti pusat perasaan, tetapi dalam puisi

ini kata jantung hati mengandung makna kekasih; yang tercinta; yang disayangi. Dan

secara keseluruhan, ayat ketujuh itu menggambarkan bahwa si perempuan selalu rindu

berada di dekat kekasihnya atau sama sekali tidak ingin terpisah.

Larik ke-36 dikatakan bahwa sang lelaki mengumpamakan perempuannya dengan

kuda betina, seperti tampak pada baris : Dengan kuda betina daripada kereta-kereta

Firaun. Kuda adalah binatang menyusui, berkuku satu, biasa dipiara orang sebagai

kendaraan (tunggangan, angkutan) atau penarik kendaraan (KBBI, 2014:749). Kuda sering
45

digunakan sebagai lambang kekuatan dan keindahan. Jadi, dalam puisi ini, kata kuda betina

bermakna sang gadis yang terlihat sangat cantik dan memiliki pribadi yang baik dan

menarik.

Larik ke- 43 berbunyi semerbak bau narwastuku. Di sana ada kata narwastu.

Narwastu adalah tanaman wewangian dari India yang harganya sangat mahal dan bernilai

tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:952) dituliskan bahwa narwastu

adalah akar wangi; bau-bauan yang dibuat dari akar wangi. Dalam puisi di atas, dipilihnya

kata narwastu untuk menyatakan bahwa cinta sang perempuan sungguh besar dan

berharganya, dan itu (baca : cinta) sangat jelas terlihat oleh yang lain. Kemudian senada

dengan narwastu, dalam larik ke-44 digunakan kata mur : Bagiku kekasihku bagaikan

sebungkus mur, tersisip di antara buah dadaku. Mur juga berasal dari India, yakni bahan

dupa yang harum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:941) disebutkan, mur

adalah damar yang harum baunya, dipakai untuk dupa dan sebagainya. Namun dalam puisi

ini kata mur bermakna cinta yang menggairahkan yang senantiasa tersimpan dalam dada.

Larik ke-46 yang terdapat dalam ayat 14 berbunyi, Bagiku kekasihku setangkai

bunga pacar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:222) menjelaskan bahwa bunga

adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum

baunya; atau sinonim dengan kembang. Bunga pacar adalah jenis bunga yang terdapat di

daerah Palestina, berwarna kuning dan putih, serta harum baunya. Dalam puisi di atas kata

bunga pacar, memiliki makna cinta yang indah dan abadi.

Larik ke-48 tertulis, Lihatlah, cantik engkau, manisku. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2014:875) dijelaskan, manis artinya rasa seperti rasa gula; atau sangat
46

menarik hati; atau indah, menyenangkan. Namun dalam puisi ini kata manisku berarti

kekasih, orang yang dicintai, atau pujaan hati.

Larik terakhir (54 dan 55) berbunyi : /Dari kayu aras balok-balok rumah kita/dari

kayu eru papan dinding-dinding kita//. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:127)

dijelaskan bahwa balok ialah batang kayu yang telah dirimbas, tetapi belum dijadikan

papan dan sebagainya, sedangkan papan ialah kayu yang lebar dan tipis. Di daerah

Palestina, kayu aras dan kayu eru adalah jenis kayu yang sangat bagus, kuat, dan mahal.

Dalam puisi di atas, balok dan papan menyatakan aturan-aturan/hukum yang mengikat

hubungan dan kehidupan kedua kekasih tersebut, dan aturan-aturan/hukum itu kuat dan

tahan lama.

4.2.2 Citraan

Citraan adalah gambaran angan yang muncul dibenak kita ketika kita membaca

puisi. Citraan dalam puisi akan memberi efek kepada pembaca. Pembaca seolah-olah dapat

melihat, dapat merasakan, dan dapat mendengar apa yang dilihat, dirasakan, dan didengar

penulis. Penggunaan citraan juga tampak pada puisi Kidung Agung pasal 1 ini.

Larik ke-2 berbunyi : /Kiranya ia mencium aku dengan kecupan//. Pada larik ini

terdapat citraan pendengaran, yang penulis beri kode cpd. Ketika kita dikecup oleh

seseorang atau kita mengetahui seseorang yang sedang memberi kecupan, kita tentu

mendengar suara cup karena bunyi itu bersumber dari bunyi bibir yang dimoncongkan

lalu ditarik kembali sehingga berbunyi cup.

Larik ke-11 dan 12 juga mengandung cpd. Ini tampak pada lariknya : /Kami akan

bersorak-sorai dan bergembira karena engkau/. Sorak-sorai adalah suara teriak dan pekik
47

beramai-ramai sebagai tanda gembira atau senang, menghina, dan sebagainya. Dan suara

itu tentu dapat terdengar oleh telinga yang normal.

Larik ke-22 yang berbunyi /Putera-putera ibuku marah kepadaku/, terdapat pula

cpd. Kadang-kadang atau sering, kemarahan seseorang disertai kata-kata yang keras,

menegur, membentak, mengomeli, atau bahkan memaki. Dalam angan kita, kita dapat

mendengar bagaimana si gadis dalam puisi itu dimarahi oleh saudara-saudaranya sendiri.

Selain citraan pendengaran, citraan penciuman (penulis beri kode cpc) tampak

dalam puisi Kidung Agung pasal 1. Pada larik ke-4: /harum bau minyakmu/ dan ke-43:

/semerbak bau narwastuku// serta larik ke-44: /Bagiku kekasihku bagaikan sebungkus

mur/. Minyak adalah zat cair berlemak yang biasanya kental, dan narwastu serta mur adalah

jenis minyak yang sangat wangi. Kita tentu dapat mencium bau harum yang ditimbulkan

oleh minyak wangi dengan menggunakan indra penciuman kita.

Larik ke-7 dan 8 mengandung citraan gerak (penulis beri kode cg, yaitu :

/Tariklah aku di belakangmu/ marilah kita cepat-cepat pergi//. Gadis Sulam atau mempelai

perempuan meminta agar puteri-puteri Yerusalem itu membawanya pergi menemui

kekasihnya dengan cara menarik tangannya, dia berada di belakang. Lalu para puteri

Yerusalem mengajak gadis itu untuk bergegas meninggalkan tempat mereka. Jadi kita jelas

mengetahui bahwa mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain.

Larik ke-21 mengandung citraan peraba (penulis beri kode cpr). Ini tampak pada

larik: /karena terik matahari membakar aku//. Panasnya terik matahari dapat dirasakan pada

kulit. Rupanya si gadis dalam puisi ini biasa bekerja di kebun. Jadi dia sering merasakan

panas terik matahari membakar kulitnya. Karena seringnya kena sinar matahari, dia jadi

terlihat hitam.
48

Dari beberapa citraan, citraan penglihatan (penulis beri kode cpl) adalah yang

paling dominan terdapat pada puisi ini. Mulai dari larik ke-9 dan 10: /Sang raja telah

membawa aku ke/ dalam maligai-maligainya//. Maligai adalah ruang di istana tempat

kediaman raja atau putri-putri raja. Tentu kita dapat melihat bagaimana indah dan

mewahnya ruang itu. Yang lain tampak pada larik ke-16: /Memang hitam aku, tetapi

cantik/. Indra apakah yang dapat mengetahui warna hitam dan sesuatu atau seseorang yang

cantik kalau bukan indra penglihatan? Pada larik ke-18 dan 19 juga terdapat citraan

penglihatan: / seperti kemah orang Kedar/ seperti tirai-tirai orang Salma//. Kecantikan

Gadis Sulam itu disamakan dengan kemah orang Kedar yang terbuat dari kulit kambing

warna hitam, satu kemah yang bagus dan indah. Begitu juga tirai-tirai orang Salma itu,

sungguh cantik, indah dan bagus.

Larik ke-28 juga mengandung cpl: /domba-domba berbaring pada petang hari//.

Dan ini sama dengan larik ke-30: /dekat kawanan-kawanan domba teman-temanmu?//

Senang rasanya mata ini saat melihat banyak domba yang berbaring atau rebahan di atas

rumput atau dataran. Warna domba-domba itu kebanyakan putih, namun ada juga yang

keemasan. Atau kawanan domba itu sedang makan rumput, terlihat mulut domba-domba

itu sedang mengunyah-ngunyah makanannya.

Larik ke- 32: /hai jelita di antara wanita/ dan larik ke-35: /dekat perkemahan para

gembala// tampak juga cpl. Sang gadis dalam puisi ini rupanya adalah gadis tercantik di

antara wanita. Dengan mata kita melihat kecantikan seorang gadis. Dengan mata pula kita

dapat melihat adanya perkemahan yang didirikan oleh para gembala sebagai tempat mereka

menunggui domba-domba gembalaan mereka.

Berikutnya hal-hal yang indah, bagus, cantik, tampan, atau mewah hanya dapat

diketahui oleh indra penglihatan, seperti yang tampak pada larik /Dengan kuda betina
49

daripada kereta-kereta Firaun (larik 36)/ Moleklah pipimu di tengah perhiasan-perhiasan

(larik 38)/ dan lehermu di tengah kalung-kalung (larik 39)/ perhiasan-perhiasan emas (larik

40)/ dengan manik-manik perak (larik 41)/ tersisip di antara buah dadaku (larik 45)/ di

kebun-kebun anggur En-Gedi (larik 47)/ lihatlah tampan engkau, kekasihku (larik 51)/ dari

kayu aras balok-balok rumah kita (larik 54)/ dari kayu eru papan dinding-dinding kita (larik

55)//.

4.2.3 Kata-kata Konkret

Kata konkret adalah kata yang melukiskan dengan tepat serta membayangkan

dengan jitu agar imaji pembaca dapat ditingkatkan. Dengan kata lain, kata konkret adalah

sebuah cara untuk mengusulkan pengalaman sesegera mungkin akan realita yang

berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata yang diperkonkret, pembaca dapat

membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.

Secara umum, kata-kata dalam puisi Kidung Agung pasal 1 ini mudah dipahami

karena mengandung makna denotatif, tetapi sebagian menggunakan kata kiasan atau

bahasa figuratif untuk menunjukkan kekohesian larik demi larik. Puisi Kidung Agung pasal

1 mengisahkan perjalanan cinta sepasang kekasih, antara gadis Sulam dan Raja Salomo.

Ketertarikan satu sama lain membuat mereka saling memuji kekasihnya. Dan mereka

berharap dapat mempererat hubungan mereka. Berikut adalah beberapa deskripsi kata-kata

konkret yang terdapat dalam puisi Kidung Agung pasal 1.

Larik ke-3 berbunyi: /Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur/. Pada larik ini

digunakan kata anggur. Diketahui, anggur adalah tumbuhan merambat, buahnya kecil-

kecil sebesar kelereng (kelereng kecil atau besar) dan berangkai. Buah anggur tergolong

buah yang berkelas, mahal, manis dan lezat rasanya. Bentuk dan warnanya pun
50

menggiurkan. Di istana raja-raja, dalam hidangan santapan raja selalu atau sering disajikan

buah anggur. Buah anggur adalah buah favoritnya. Tetapi tampaknya anggur terkalahkan

oleh cinta. Rasa cinta itu lebih nikmat daripada buah anggur. Jadi, kata anggur digunakan

untuk lebih mengkonkretkan kata cinta sebagai sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Dan hal

ini diulang lagi pada larik ke-13 dan 14: /kami akan memuji cintamu/ lebih daripada

anggur//.

Larik ke-16 berbunyi: /Memang hitam aku/. Kemudian diteruskan dengan larik ke-

18 dan 19 yang berbunyi: /seperti kemah orang Kedar/ seperti tirai-tirai orang Salma//.

Kata hitam mengandung makna denotatif. Dapat dibayangkan bagaimana rupa seorang

gadis yang kulitnya hitam. Tetapi gadis Sulam ini meskipun hitam, dia cantik. Dan

kecantikannya walaupun hitam itu dipertegas dengan larik 18 dan 19. Kemah orang Kedar

terbuat dari kulit kambing berwarna hitam mengkilat dan licin. Harganya pun mahal. Tirai-

tirai orang Salma berwarna-warni dan terkesan mewah. Jadi, dengan penggunaan kata-kata

itu, dipahami bahwa gadis Sulam itu hitam namun benar-benar cantik. Dan hal yang

menunjukkan bahwa dia memang hitam, diulang lagi pada larik ke-20 dan 21: /Janganlah

kamu perhatikan bahwa aku hitam/ karena terik matahari membakar aku//.

Kecantikan gadis Sulam atau ketampanan Raja Salomo sangat jelas diketahui

karena kata-kata yang menyatakan itu beberapa kali digunakan dalam puisi ini. Misalnya

penggunaan kata cantik sebanyak tiga kali dan kata jelita satu kali. Selain itu banyak

kata lain yang menunjukkan pernyataan kecantikan gadis tersebut.

Larik ke-25 menggunakan kata /jantung hatiku/ memperjelas bahwa gadis Sulam

dan Raja Salomo saling cinta, memiliki hubungan yang dekat atau intim. Dan pada

beberapa lariknya digunakan pula kata manisku, kekasihku. Semakin mempertegas

bahwa mereka saling mengasihi.


51

Larik ke-36 berbunyi: /Dengan kuda betina daripada kereta-kereta Firaun/.

Pertanyaan muncul, mengapa gadis Sulam itu diumpamakan dengan kuda betina milik

Firaun? Penggunaan kata kuda betina bukan hendak mengatakan kebinalan sang gadis,

melainkan untuk menggambarkan bahwa gadis tersebut kuat dan indah, serta menarik,

layaknya kuda-kuda kereta Firaun.

Larik ke-47 menggunakan kata En-Gedi: /di kebun-kebun anggur En-Gedi//. Di

Palestina tidak ada satu aliran sungai pun yang sepanjang tepinya begitu subur seperti

daerah En-Gedi. Gadis Sulam itu dikiaskan seperti bunga pacar (bunga bakung/lili) yang

tumbuh di kebun-kebun anggur yang subur karena hidup di dekat aliran sungai di En-Gedi.

Sekali lagi ini mempertegas bahwa gadis tersebut sungguh menarik dan cantik.

4.2.4 Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif disebut juga dengan istilah bahasa kiasan atau majas. Bahasa

figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk mengatakan sesuatu dengan

cara yang tidak biasanya dan cara yang tidak langsung. Persoalan bahasa figuratif meliputi

semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa dan kalimat atau

mencakup sebuah wacana secara keseluruhan.

Puisi Kidung Agung pasal 1 menggunakan gaya bahasa simile (penulis beri kode

gsi), repetisi (penulis beri kode gr), metafora (penulis beri kode gmt), personifikasi

(penulis beri kode gp) , sinekdok (penulis beri kode gsn), dan hiperbola (penulis beri

kode gh).

Larik ke-5, ke-18, ke-19, ke-29, ke36 dan 37, ke-44, dan ke-50 adalah larik-larik

yang menggunakan gsi. Pada larik ke-5 digunakan kata bagaikan sebagai kata

pembanding. Nama Raja Salomo yang harum dibandingkan dengan harumnya bau minyak.
52

Pada larik ke-18 dan 19 terdapat kata seperti sebagai kata pembanding. Hitam dan

cantiknya gadis Sulam dibandingkan dengan kemah orang Kedar yang terbuat dari kulit

kambing berwarna hitam dan indahnya tirai orang Salma. Pada larik ke-29 digunakan kata

serupa sebagai kata pembandingnya. Pada larik ini si gadis yang kebingungan mencari di

mana kekasihnya berada diperbandingkan dengan pengembara yang tidak tahu arah tujuan.

Pada larik ke-36 dan 37 digunakan kata umpama sebagai kata pembanding. Si gadis yang

cantik dan kuat diperbandingkan dengan kuda betina yang kuat, gagah, dan menarik. Pada

larik ke-44 terdapat kata bagaikan sebagai kata pembanding. Dalam larik ini si lelaki yang

begitu menawan dan menyenangkan hati diperbandingkan dengan mur yang harum

baunya. Dan pada larik ke-50 juga digunakan kata bagaikan sebagai kata pembanding.

Di sini mata yang lembut, indah, dan menarik itu diperbandingkan dengan merpati yang

terlihat lembut, indah, dan lincah.

Larik ke-11 dan 13, larik ke-26 dan 27, larik ke-48 dan 49, larik ke-54 dan 55 adalah

larik-larik yang menggunakan gr. Pada larik ke-11 dan 13 terdapat pengulangan kata

kami di awal setiap lariknya. Pada larik ke-26 dan 27 terdapat pengulangan kata di mana

pada awal lariknya. Pada larik ke-48 dan 49 terdapat pengulangan kata cantik di tengah

kedua larik. Dan pada larik ke-54 dan 55 terdapat pengulangan kata kayu di tengah larik

dan kata kita di akhir setiap larik.

Larik ke-21 berbunyi: /karena terik matahari membakar aku//. Pada larik ini

terdapat gp dan gh. Terik matahari seolah dapat melakukan kegiatan membakar

sesuatu seperti yang biasa dilakukan oleh manusia. Tentulah terik matahari tidak sampai

membakar kulit manusia hingga hangus dan melepuh. Jadi, penggunaan kata membakar

di sini terasa hiperbol.


53

Larik ke-46 yang berbunyi /Bagiku kekasihku setangkai bunga pacar/

menggunakan gmt. Dalam larik ini tidak terdapat kata pembanding. Metafora yaitu

perbandingan secara singkat dan langsung. Dalam puisi ini kekasih secara langsung

dibandingkan dengan setangkai bunga pacar. Bunga pacar itu warnanya kuning dan putih,

serta baunya harum. Sang kekasih kurang lebih menarik dan menyenangkan.

Larik ke-55 menggunakan gsn. Bunyi lariknya: /dari kayu eru papan dinding-

dinding kita//. Yang dimaksud dinding-dinding tentulah rumah secara utuh.

4.3 Analisis Stilistika Kidung Agung Pasal 2 (Diksi, Citraan, Kata-kata Konkret dan
Bahasa Figuratif)

Berikut akan dipaparkan analisis terhadap puisi Kidung Agung Pasal 2. Analisis

yang dilakukan ini pun tentunya akan membuka berbagai interpretasi terhadap puisi

tersebut, sama seperti terhadap Kidung Agung Pasal 1. Interpretasi yang diperoleh dari

analisis terhadap puisi tersebut, bukanlah interpretasi yang bersifat mutlak. Dengan

demikian, tidak tertutup kemungkinan penafsiran lain yang luput dari perhatian pengkaji.

Puisi ini terdiri atas 17 ayat dan 57 larik yang terbagi dalam 5 bait. Setiap

ayat dalam puisi ini diawali dengan huruf kapital atau huruf besar. Kidung Agung 2 (biasa

disingkat Kid. 2) mengandung satu perikop, yaitu Di pintu mempelai perempuan.

Sama dengan Kidung Agung pasal 1, Kidung Agung Pasal 2 ini juga berisikan

percakapan antara kedua kekasih, walaupun sebagian mungkin merupakan pembicaraan

bayangan saja, yang diucapkan pada waktu pasangan yang bersangkutan tidak hadir.

Dalam puisi ini sangat jelas terdapat adanya kidung (nyanyian) penggambaraan, kidung

(nyanyian) kekaguman, dan kidung (nyanyian) kerinduan. Pembagian isi pasal 1 ini

sebagai berikut : (a) Kidung Agung 2:1 = Nyanyian mempelai perempuan; (b) Kidung
54

Agung 2:2 = Nyanyian mempelai laki-laki; (c) Kidung Agung 2:3 = Nyanyian mempelai

perempuan; (d) Kidung Agung 2:4-7 = Nyanyian mempelai perempuan kepada puteri-

puteri Yerusalem; (e) Kidung Agung 2:8-14 = Nyanyian mempelai perempuan; (f) Kidung

Agung 2:15 = Nyanyian saudara-saudara laki-laki mempelai perempuan; (g) Kidung

Agung 2:16 = Nyanyian mempelai perempuan; (h) Kidung Agung 2:17 = Nyanyian

mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini banyak menggunakan bahasa kias,

namun sebagian juga menggunakan kata-kata konkret seperti bahasa yang kita gunakan

sehari-hari. Untuk mengkonkretkan tanggapan, kata-kata dalam puisi ini menggunakan

bahasa kiasan.

4.3.1 Diksi

Diksi yang digunakan dalam puisi Kidung Agung 2 cukup dominan, seperti yang

tampak pada larik-larik berikut ini:

Larik ke-3 yang berbunyi Seperti bunga bakung di antara duri-duri. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:123) dijelaskan bahwa bakung adalah tumbuhan

yang ditanam sebagai tanaman hias, bunganya berwarna putih atau merah, akarnya

digunakan untuk mengobati luka dan dianggap sebagai penawar racun. Dalam bahasa

Inggrisnya disebut lily of the valleys. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:827)

dijelaskan bahwa lili adalah tanaman hias berasal dari Jepang atau Cina, bunganya

berbentuk corong berwarna putih atau bergaris-garis merah tua dan dibiakkan dengan

umbi. Dalam puisi di atas, kata bunga bakung jelas menunjukkan seorang gadis cantik nan

menawan, yang begitu dikagumi oleh sang lelaki. Gadis pujaan itu tampak berbeda dengan
55

gadis-gadis dewasa lainnya. Kemudian kata duri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2014:348) adalah bagian tumbuhan yang runcing dan tajam. Namun dalam puisi di atas,

kata duri-duri bermakna para gadis yang tidak lebih cantik daripada gadis sang kekasih itu.

Larik ke-5 ayat 3 yang berbunyi Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di

hutan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:1087) kata pohon mempunyai arti

tumbuhan yang berbatang keras dan besar; pokok kayu, sedangkan kata apel (2014:80)

bermakna pohon yang buahnya bundar, berdaging tebal dan mengandung air serta berkulit

lunak berwarna merah (kemerah-merahan), kuning (kekuning-kuningan), atau hijau, jika

matang rasanya manis keasam-asaman. Jadi pohon apel adalah pohon buah apel. Namun

dalam puisi di atas kata pohon apel bermakna laki-laki tampan, gagah, dan kuat yang

menjadi pujaan hati si gadis. Laki-laki tersebut tampak berbeda dengan pemuda-pemuda

lainnya, yang digambarkan dengan pohon-pohon di hutan. Penyataan ini sangat terlihat

dari larik ke-6 yang berbunyi demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna. Kemudian

pada larik ke-7 dan 8 dikatakan, Di bawah naungannya aku ingin duduk, buahnya manis

bagi langit-langitku. Kata naungan artinya lindungan; tempat naungan (KBBI, 2014:955)

dan kata buah artinya bagian tumbuhan yang berasal dari bunga atau putik (biasanya

berbiji) (KBBI, 2014:211). Sebagaimana pohon dapat digunakan untuk tempat bernaung

atau berlindung, dalam puisi di atas laki-laki terkasih itu dapat melindungi atau menjaga

gadisnya, dan kasih sayang atau cinta kasih sebagai buahnya begitu melegakan tubuh gadis

tersebut.

Larik ke-12 berbunyi segarkanlah aku dengan buah apel. Di atas telah dijelaskan

mengenai arti kata buah apel. Buah apel memang adalah salah satu buah yang biasa

disajikan dalam hidangan raja-raja. Buah apel termasuk buah yang cukup mahal dan
56

rasanya enak. Pada puisi ini kata buah apel memiliki makna cinta, perhatian, dan kasih

sayang seorang kekasih. Gadis dalam puisi ini begitu mendambakan itu karena dia sedang

dilanda mabuk asmara. Dalam larik ke-13 dikatakan, sebab sakit asmara aku. Kamus

Besar Bahasa Indonesia (2014:1204) menjelaskan arti kata sakit yaitu berasa tidak nyaman

di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu. Dalam puisi di atas si gadis

merasakan hatinya berbunga-bunga, gelisah tidak menentu, mungkin juga kurang selera

makan, tidur tidak enak, sehingga tubuh kurang sehat. Namun sakit seperti ini dapat

terobati oleh cinta dan kasih sayang dari sang pujaan hati.

Larik ke-30 menyebutkan kata manisku, seperti yang terdapat dalam pasal 1 :

Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2014:875) kata manis berarti rasa seperti rasa gula; sangat menarik hati; indah;

menyenangkan. Tetapi yang dimaksud manisku dalam puisi ini adalah gadis yang dicintai

dan disayangi.

Larik ke-31 berbunyi: musim dingin telah lewat dan baris ke-32 tertulis hujan

telah berhenti dan sudah lalu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014:943)

dijelaskan bahwa musim dingin berarti musim sesudah musim gugur atau sebelum musim

semi, dan kata hujan (2014:509) artinya titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena

proses pendinginan, namun dalam puisi Kidung Agung Pasal 2 ini frasa musim dingin dan

kata hujan menyatakan hubungan cinta yang baru tumbuh. Sesuai dengan bunyi kedua larik

tersebut, maka itu artinya sekarang hubungan cinta kedua kekasih itu sudah matang. Hal

ini kontras dengan ayat 7 tepatnya larik ke-19 dan 20 yang berbunyi jangan kamu

membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya.


57

Larik ke-33-44 berbunyi, /Di ladang telah nampak bunga-bunga/ tibalah musim

memangkas/ bunyi tekukur terdengar di tanah kita// Pohon ara mulai berbuah/ dan bunga

pohon anggur semerbak baunya// Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah!// Merpatiku di

celah-celah batu/ di persembunyian lereng-lereng gunung/ perlihatkanlah wajahmu/

perdengarkanlah suaramu!// Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!//. Larik-larik ini

senada dengan larik ke-31 dan 32 di atas, yang menyatakan bahwa hubungan cinta mereka

sudah matang. Dua sejoli tersebut sudah sama-sama siap untuk melanjutkan hubungan

cinta mereka ke jenjang berikutnya. Terutama sang gadis, sudah mengharapkan kedatangan

sang pujaan hati untuk melamarnya.

Larik ke-39 di atas terdapat kata merpatiku, dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2014:906) kata merpati bermakna burung; burung dara, namun dalam puisi ini

kata merpati bermakna rasa kasih atau kekasih.

Larik ke-45 terdapat kata rubah-rubah : Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu

dan dilanjutkan pada larik ke-46: rubah-rubah yang kecil. Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2014:1186) menerangkan bahwa rubah adalah binatang jenis anjing,

bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya. Pada puisi ini rubah-

rubah maknanya segala gangguan dan kesusahan yang datang dalam hidup ini.

Larik ke-47 dikatakan bahwa rubah-rubah itu merusak kebun-kebun anggur dan

larik ke-48 kebun-kebun anggur yang sedang berbunga. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2014:642) dijelaskan, kebun artinya sebidang tanah yang ditanami pohon

musiman, namun dalam puisi ini kebun-kebun anggur bermakna tempat hidup, kehidupan

itu sendiri, atau hubungan cinta kasih yang sedang terjalin itu.
58

Larik ke-50 dan 51 berbunyi yang menggembalakan domba di tengah-tengah

bunga bakung. Frasa gembala domba artinya orang yang pekerjaannya menggembala

domba (KBBI, 2014:435) dan bunga bakung artinya sama dengan bunga lili, tanaman hias

yang bunganya berbentuk corong berwarna putih atau bergaris-garis merah tua yang

dibiakkan dengan umbi. Namun dalam puisi ini klausa tersebut bermakna orang yang

menjalankan tugas-tugasnya di lingkungan yang sesuai dengan karakter dan kemuliaannya.

4.3.2 Citraan

Penggunaan citraan yang paling dominan dalam puisi Kidung Agung Pasal 2 ini

adalah cpl. Ini tampak dalam larik-lariknya sbb. :

Larik ke-1 dan 2: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di lembah-lembah//.

Mempelai perempuan atau gadis Sulam membandingkan dirinya dengan bunga-bunga liar

yang sederhana di padang-padang rumput, karena ia tidak terbiasa dengan segala

kemewahan yang ada di Yerusalem. Saron adalah dataran di pesisir Laut Tengah di bagian

selatan Gunung Karmel. Sementara bunga bakung di lembah-lembah (bahasa Inggris: Lily

of the Valley) merupakan terjemahan harfiah istilah bahasa Ibrani "shoshannat-ha-

amaqim". Bunga yang diyakini sejenis dengan bunga yang dimaksud adalah Lilium

longiflorum, atau "Bakung Paskah". Sekalipun bunga mawar dari Saron dan bunga bakung

itu dianggap bunga liar, keindahan bentuk dan warnanya terlihat sangat menyenangkan.

Larik ke-3 dan ke-4 juga mengandung cpl: /Seperti bunga bakung di antara duri-

duri/ demikianlah manisku di antara gadis-gadis//. Kecantikan gadis Sulam itu terlihat

melebihi para gadis lain yang juga ada bersama mereka. Kecantikan gadis Sulam itu

disamakan dengan indahnya bunga bakung. Kemudian pada larik ke-5 dan ke-6 kita dapat
59

melihat ketampanan atau kegagahan dan keelokan sang lelaki yang dicintai gadis Sulam,

yaitu Raja Salomo. Perawakannya yang menarik dan menawan hati itu dibandingkan

dengan pohon apel. Perhatikan bunyi lariknya: /Seperti pohon apel di antara pohon-pohon

di hutan/ demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna//.

Larik ke-9 pun terlihat adanya cpl: /Telah dibawanya aku ke rumah pesta/; hal ini

memperlihatkan adanya keramaian di sebuah rumah yang tentunya bagus dan mewah

karena rumah itu milik seorang raja, yakni Raja Salomo. Dan di rumah pesta itu kita dapat

melihat hidangan makanan: /Kuatkanlah aku dengan penganan kismis/ segarkanlah aku

dengan buah apel// (larik ke-11 dan 12).

Larik ke-14 dan 15 pun terdapat cpl: /Tangan kirinya di bawah kepalaku/ tangan

kanannya memeluk aku//. Melalui melihat, kita jelas mengetahui bahwa tangan kiri kekasih

pria itu diletakkannya di bawah kepala sang gadis, bukan di pinggang atau di bagian tubuh

yang lain. Dan melalui melihat, kita juga mengetahui pasti bahwa tangan kanannya sedang

memeluk sang gadis, bukan sedang memijat atau melakukan kegiatan lainnya.

Larik ke-22 sampai dengan larik ke-28, kita sangat jelas dapat mengamati adanya

cpl. Sang kekasih diibaratkan seperti seekor kijang atau anak rusa, yang ketika datang

menemui kekasihnya, si gadis Sulam itu, ia melompat-lompat kecil, kemudian mendekat

untuk dapat melihat gadis pujaannya. Perhatikan kata-kata dalam lariknya: /Lihatlah, ia

datang, melompat-lompat di atas gunung-gunung, meloncat-loncat di atas bukit-bukit//

Lihatlah, ia berdiri di balik dinding kita/ sambal menengok-nengok melalui tingkap-

tingkap/ dan melihat dari kisi-kisi//.

Larik ke-32, 33, dan 36 berbunyi: /hujan telah berhenti dan sudah lalu// Di ladang

telah nampak bunga-bunga/ Pohon ara mulai berbuah/. Pada larik-larik ini pun tampak
60

adanya cpl. Kita tidak melihat lagi adanya air hujan yang turun dari langit karena musim

hujan sudah lewat. Sekarang yang terlihat oleh mata ialah bunga-bunga yang indah, yang

bermekaran di ladang. Selain itu, buah-buah ara mulai bermunculan di batang-batang

pohonnya, mula-mula tentu berwarna hijau.

Larik ke-39, 40, dan 41 berbunyi: /Merpatiku di celah-celah batu/ di persembunyian

lereng-lereng gunung/ dan elok wajahmu//. Pada ketiga larik di atas kita dapat melihat

(adanya cpl) bagaimana batu-batu yang ada di lereng-lereng gunung. Kekasihnya yang

diibaratkan dengan merpati, terlihat dari jauh berada di antara bebatuan gunung itu. Sang

gadis tidak sabar untuk segera melihat dari dekat wajah kekasihnya yang rupawan.

Larik ke-46, 47, dan 48 juga memperlihatkan cpl: /rubah-rubah yang kecil/ yang

merusak kebun-kebun anggur/ kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!//.

Tampak dengan jelas bahwa rubah-rubah itu berukuran kecil, bukan besar. Tetapi

walaupun kecil, rubah-rubah itu terlihat telah merusak kebun-kebun anggur yang sedang

berbunga.

Larik ke-52 dan 53 berbunyi /Sebelum angin senja berembus/ dan bayang-bayang

menghilang//. Pada kedua larik di atas tampak bahwa hari sudah senja dan matahari hampir

tenggelam. Bayang-bayang pohon, tanaman jenis lain, atau benda-benda yang ada di alam

akibat pantulan sinar matahari masih terlihat, tetapi segera akan menghilang seiring

tenggelamnya matahari di ufuk barat.

Larik ke-57 berbunyi /di atas gunung-gunung tanaman rempah-rempah!//, ini

memperlihatkan dataran tinggi perbukitan yang ditanami berbagai jenis tanaman palawija

dan tanaman keras. Dari jauh bukit-bukit itu terlihat hijau dan indah, tetapi di sela-selanya

terdapat pula tanah-tanah terjal.


61

Di samping citraan penglihatan, pada Kidung Agung Pasal 2 ini terdapat pula

cpce, seperti pada larik ke-8 yang berbunyi /buahnya manis bagi langit-langitku//. Buah

yang dimaksud dalam larik ini ialah buah apel karena pada larik sebelumnya dikatakan

bahwa si gadis ingin berteduh di bawah pohon apel. Buah apel dapat diketahui rasanya

manis atau asam setelah dicecap atau dirasakan pada lidah manusia.

Larik ke-11 dan 12 juga mengandung cpce. Kedua larik ini berbunyi:

/Kuatkanlah aku dengan penganan kismis/ segarkanlah aku dengan buah apel//. Dari larik

sebelumnya sudah dijelaskan bahwa si gadis telah di bawa ke rumah sang lelaki,

kekasihnya. Dan di rumah itu tersedia penganan kismis dan buah apel. Karena si gadis

sedang sakit asmara, dia membutuhkan makanan-makanan yang dapat menolong agar

tubuhnya kuat dan sehat kembali. Penganan kismis dan buah apel adalah makanan yang

tepat. Kismis adalah buah anggur yang dikeringkan dan dihilangkan bijinya. Kedua jenis

makanan itu tentu adalah makanan yang bergizi dan menyehatkan dan terasa enak.

Larik ke-23 dan 24 serta 27 dan 28 mengandung cg. Larik-larik ini berbunyi

sebagai berikut : /melompat-lompat di atas gunung-gunung/ meloncat-loncat di atas bukit-

bukit/ sambil menengok-nengok melalui tingkap-tingkap/ dan melihat dari kisi-kisi//.

Lompat adalah bergerak dengan mengangkat kaki ke depan (ke bawah, ke atas) dan dengan

cepat menurunkannya lagi. Loncat adalah lompat dengan kedua atau keempat kaki

bersama-sama. Melompat-lompat atau meloncat-loncat artinya melompat atau meloncat

berulang kali. Sementara kata menengok-nengok berarti menjenguk, mengunjungi,

memperhatikan, atau melihat berulang kali. Jadi, jelas tampak bahwa sang kekasih yang

digambarkan seperti seekor kijang atau anak rusa itu bergerak dari satu tempat ke tempat

lain untuk melihat atau memperhatikan si gadis. Dan hal ini diulang kembali pada larik ke-
62

55 dan 56 saat sang gadis menghendaki kekasihnya pulang: /berlakulah seperti kijang/ atau

seperti anak rusa/.

Larik ke-29 dan 30 memperlihatkan adanya cpd. Perhatikan bunyi lariknya:

/Kekasihku mulai berbicara kepadaku: /Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!//. Pada

larik itu terdapat kata berbicara. Bila ada seseorang yang sedang berbicara, sudah pasti

ada suara, dan suara itu terdengar oleh telinga yang berada dekat dengan orang yang

berbicara itu. Apa yang dikatakan oleh si laki-laki? Dia memanggil gadisnya untuk bangun

dari tempatnya berada dan datang kepadanya.

Larik ke-35 pun mengandung cpd. Lariknya berbunyi: /bunyi tekukur terdengar

di tanah kita//. Kata bunyi artinya sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh

telinga. Setelah tiba musim bunga dan buah, banyak burung tekukur berdatangan ke

wilayah itu dan burung-burung tekukur itu memperdengarkan suara mereka yang merdu.

Larik ke-42 dan 43 yang berbunyi /perdengarkanlah suaramu!// Sebab merdu

suaramu/ juga menegaskan cpd. Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut

manusia, seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis; atau bunyi

binatang. Sang gadis sudah rindu mendengarkan suara kekasihnya, dia ingin bercakap-

cakap dengannya.

Larik ke-37 mengandung cpc. Dan ini hanya satu-satunya citraan penciuman

dalam Kidung Agung pasal 2. Lariknya berbunyi: /dan bunga pohon anggur semerbak

baunya//. Kata bau artinya apa yang dapat ditangkap oleh indra pencium, seperti anyir,

harum, busuk. Bunga pohon anggur semerbak baunya artinya bau yang dikeluarkan oleh

bunga pohon anggur itu harum kemana-mana.


63

4.3.3 Kata-kata Konkret

Kata konkret adalah sebuah cara untuk mengusulkan pengalaman sesegera

mungkin akan realita yang berhubungan dengan hal nyata sehingga dengan kata yang

diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang

dilukiskan oleh penyair.

Secara umum, kata-kata dalam puisi Kidung Agung pasal 2 ini mudah dipahami

karena mengandung makna denotatif, tetapi sebagian menggunakan kata kiasan atau

bahasa figuratif. Larik demi larik dan bait demi bait menunjukkan kekohesian yang padat.

Kata-kata kiasan atau konotatif digunakan juga untuk membayang sesuatu atau keadaan

yang dimaksud penulis. Puisi Kidung Agung pasal 2 ini adalah lanjutan kisah perjalanan

cinta sepasang kekasih seperti yang tergambar dalam pasal 1. Bila dalam pasal 1 dimulai

dengan perkenalan, maka di pasal 2 hubungan mereka semakin dekat atau intim . Berikut

adalah beberapa deskripsi kata-kata konkret yang terdapat dalam puisi Kidung Agung pasal

2.

Larik ke-1 dan 2 berbunyi: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di lembah-

lembah//. Bunga merupakan kata konkret yang dapat membantu pembaca untuk

membayangkan bahwa gadis dalam puisi itu adalah cantik. Gadis Sulam itu ibarat bunga,

lebih konkretnya ibarat bunga mawar dan bunga bakung. Bunga adalah bagian tumbuhan

yang akan menjadi buah, dan biasanya elok warnanya dan harum baunya. Dengan memakai

kata bunga mawar dan bunga bakung untuk menunjuk pada gadis itu, maka dengan nyata

kita mengetahui kecantikannya yang luar biasa. Dan kepastian bahwa gadis ini memang

cantik dapat kita ketahui dari penggunaan kata-kata yang merujuk pada kata cantik,

misalnya kata manisku dan jelitaku.


64

Larik ke-10 berbunyi: /dan panjinya di atasku adalah cinta//. Satu kata yang

mempertegas sumpah janji bahwa sang lelaki benar-benar mencintai sang gadis yaitu kata

panji. Dua orang yang saling mencintai haruslah diikat oleh janji setia. Dan janji itu harus

dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan perbuatan. Kata panji dapat diartikan tanda

kebesaran atau pedoman hidup. Ini berarti pernyataan cinta itu tidak boleh dianggap main-

main.

Larik ke-13 yang berbunyi /sebab sakit asmara aku/ kembali menekankan adanya

hubungan cinta antara dua insan. Karena perasaan cinta yang membara itu, sang gadis

sampai sakit. Orang yang sakit asmara tidaklah dapat disebuhkan oleh dokter. Dia akan

sembuh dengan sendirinya ketika idaman hatinya memberikan cinta kepadanya. Suatu

pengalaman yang lumrah dalam kehidupan manusia.

Larik ke-49 yang berbunyi /Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia/ juga

menyatakan bahwa kedua insan yang jatuh cinta itu, yaitu gadis Sulam dan Raja Salomo,

sudah saling mengikat janji, saling memahami, saling memiliki, dan saling setia. Tidak ada

lagi yang dapat memisahkan mereka kecuali maut. Suatu hubungan yang suci dan indah.

4.3.4 Bahasa Figuratif

Puisi Kidung Agung pasal 2 mengandung lima gaya bahasa simile (gsi), dua gaya

bahasa metafora (gmt), sepuluh gaya bahasa repetisi (gr), dua gaya bahasa metonimia

(gmn).

Larik ke-1 dan ke-2 berbunyi: /Bunga mawar dari Saron aku/ bunga bakung di

lembah-lembah//. Kedua larik ini menggunakan gmt. Si aku diperbandingkan dengan


65

bunga mawar dan bunga bakung. Hubungan yang pertama aku dengan yang kedua

bunga hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata petunjuk pembanding eksplisit.

Larik ke-3 sampai ke-6, larik ke-25, larik ke-55 dan ke-56 adalah larik-larik yang

menggunakan gsi. Pada larik-larik itu terdapat kata-kata pembanding seperti dan serupa.

Pada larik ke-3 dan ke-4 sang lelaki memuji gadisnya yang cantik dengan

membandingkannya dengan bunga bakung. Pada larik ke-5 dan ke-6 sang gadis memuji

kegagahan lelakinya dengan membandingkannya dengan pohon apel. Selain itu ia pun

membandingkannya dengan kijang dan anak rusa (larik ke-25, ke-55, dank e-56).

Larik ke-3 sampai ke-6, ke-11 dan 12, ke-14 dan 15, ke-17, ke-23 dan 24, ke-42

dan 43, ke-45 dan 46, ke-47 dan 48, ke-49 menggunakan gr. Pada larik ke-3 sampai ke-

6 terdapat pengulangan kata di antara di tengah setiap larik. Pada larik ke-11 dan 12

terdapat pengulangan kata dengan di tengah lariknya. Pada larik ke-14 dan 15 terdapat

pengulangan kata tangan di awal setiap larik. Pada larik ke-17 terdapat pengulangan kata

demi. Pada larik ke-23 dan 24 terdapat pengulangan kata di atas di tengah setiap larik.

Pada larik ke-42 dan 43 terdapat pengulangan kata suaramu di akhir setiap larik. Pada

larik ke-45 dan 46 terdapat pengulangan kata rubah-rubah di tengah setiap lariknya. Pada

larik ke-47 dan 48 terdapat pengulangan kata kebun-kebun anggur di akhir dan di awal

larik. Dan pada larik ke-49 terdapat pengulangan kata kepunyaan di tengah lariknya.

Larik ke-35 berbunyi: /bunyi tekukur terdengar di tanah kita//. Pada larik ini

terdapat gmn. Kata tekukur adalah nama yang menunjuk pada burung sebagai benda

yang dimaksud. Tekukur adalah salah satu dari sekian banyak jenis burung.
66

Larik ke-39 berbunyi: /Merpatiku di celah-celah batu/ juga menunjukkan gmn.

Kata merpati yang seyogyanya menunjuk pada burung, digunakan sebagai pengganti

kekasih.

4.4 Analisis Nilai Budaya dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
4.4.1 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Sesama
Hubungan pergaulan antara sesama dalam hidup bermasyarakat harus terus dibina

dengan bersikap: berbudi bahasa yang baik, berhati mulia, saling melakukan kebajikan,

saling menasihati antarsesama atas kekurangan masing-masing, sehingga tercipta suasana

kehidupan yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, saling menolong, saling

menghargai dan menghormati, sopan santun, tidak berkhianat dan kekeluargaan dengan

sesama. Berikut deskripsi nilai budaya yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan

sesama manusia yang terdapat dalam puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo.

Perhatikan bait puisi berikut yang terdapat pada pasal 1:

2 __Kiranya ia mencium aku dengan kecupan!


Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur,
3 harum bau minyakmu,
bagaikan minyak yang tercurah namamu,
oleh sebab itu gadis-gadis cinta kepadamu!
4 Tariklah aku di belakangmu,
marilah kita cepat-cepat pergi!

Dalam bait tersebut terkandung makna bahwa seseorang sedang jatuh cinta kepada

pujaan hatinya, dan hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang akrab antara manusia

satu dengan lainnya. Hal tersebut juga merupakan sifat manusia sebagai makhluk sosial

yang tergantung kepada manusia yang lainnya. Dalam puisi di atas pun terlihat suatu

hubungan yang baik antara seorang manusia (baca: gadis) dengan sesama jenisnya (baca:
67

para gadis). Sangat jelas digambarkan bahwa gadis-gadis itu (putri-putri Yerusalem) juga

banyak yang jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang sangat terkenal itu (Raja Salomo).

Sebagai sesama teman, si gadis mengajak teman-temannya (para gadis) menemui pujaan

hatinya dan gadis-gadis itu pun menyanggupinya.Bahkan mereka pun memberi dukungan

terhadap perasaan cinta temannya itu. Lalu si gadis juga beranggapan bahwa gadis-gadis

lain sebenarnya wajar bila mencintai sang lelaki itu. Hal itu tampak dari kutipan bait

berikut:

Kami akan bersorak-sorai dan


bergembira karena engkau,
kami akan memuji cintamu
lebih dari pada anggur!
Layaklah mereka cinta kepadamu!

Akan tetapi, dalam latar belakang kehidupan si gadis (gadis Sulam) terungkap

bahwa dia memiliki sedikit pengalaman pahit di dalam keluarganya. Ternyata yang

membuat warna kulitnya hitam adalah karena dia seorang gadis yang bekerja keras sebagai

pekerja kebun anggur. Dan dia sering dimarahi oleh saudara-saudaranya yang laki-laki,

dipaksa untuk bekerja di kebun anggur. Namun, dia tetap terlihat sebagai seorang gadis

yang cantik. Perhatikan bait berikut ini:

5 Memang hitam aku, tetapi cantik,


hai puteri-puteri Yerusalem,
seperti kemah orang Kedar,
seperti tirai-tirai orang Salma.
6 Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam,
karena terik matahari membakar aku.
Putera-putera ibuku marah kepadaku,
aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur;
kebun anggurku sendiri tak kujaga.

Namun cinta tidak membedakan warna kulit. Bila sudah cinta, tidak ada yang dapat

menghalanginya. Di sini, sang lelaki pujaan pun ternyata sudah jatuh cinta kepada gadis

Sulam yang warna kulitnya hitam namun cantik itu. Mereka saling memuji kekasihnya
68

dengan perasaan yang tulus. Dan para gadis (putri-putri Yerusalem), sekali lagi, memberi

dukungan terhadap hubungan itu dengan berjanji akan membuat perhiasan-perhiasan untuk

si gadis (ayat 11). Hal ini digambarkan dalam kutipan bait di bawah ini.

9 __Dengan kuda betina dari pada kereta-kereta Firaun


kuumpamakan engkau, manisku.
10 Moleklah pipimu di tengah perhiasan-perhiasan
dan lehermu di tengah kalung-kalung.

11 Kami akan membuat bagimu perhiasan-perhiasan emas


dengan manik-manik perak.

12 __Sementara sang raja duduk pada mejanya,


semerbak bau narwastuku.
13 Bagiku kekasihku bagaikan sebungkus mur,
tersisip di antara buah dadaku.
14 Bagiku kekasihku setangkai bunga pacar
di kebun-kebun anggur En-Gedi.

15 __Lihatlah, cantik engkau, manisku,


sungguh cantik engkau,
bagaikan merpati matamu.

16 __Lihatlah, tampan engkau, kekasihku,


sungguh menarik;
sungguh sejuk petiduran kita.

Hingga tiba pada pasal 2, hubungan dua kekasih ini melangkah pada hubungan

yang lebih dekat satu dengan lainnya. Mereka masih saling memberi pujian. Perasaan cinta

mereka semakin dalam. Tetapi si gadis tetap menjaga kesucian. Sekalipun penuh gairah,

dia tidak mengotori dirinya dengan melakukan pelanggaran seks. Hal ini dapat kita telusuri

dari larik-larik puisi di bawah ini.

2 __Seperti bunga bakung di antara duri-duri,


demikianlah manisku di antara gadis-gadis.
3 __Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan,
demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna.
Di bawah naungannya aku ingin duduk,
buahnya manis bagi langit-langitku.

4 Telah dibawanya aku ke rumah pesta,


dan panjinya di atasku adalah cinta.
69

5 Kuatkanlah aku dengan penganan kismis,


segarkanlah aku dengan buah apel,
sebab sakit asmara aku.
6 Tangan kirinya ada di bawah kepalaku,
tangan kanannya memeluk aku.
7 Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem,
demi kijang-kijang atau demi
rusa-rusa betina di padang:
jangan kamu membangkitkan dan
menggerakkan cinta sebelum diingininya!

Dari ayat tiga di atas terkandung makna bahwa gadis/wanita Sulam merasa aman

di hadapan kekasihnya serta menaruh percaya padanya. Di samping itu, sebagai manusia

yang normal dalam menjalin hubungan, dia membutuhkan juga sentuhan yang dapat

memberikannya rasa tenang dan nyaman. Kemudian adanya waktu untuk bersama-sama

dengan orang lain itu sangat perlu. Pada saat kita bersama-sama dengan sesorang yang kita

kasihi, kita dapat meluangkan waktu untuk berbicara-bicara, mendegar orang lain, dan

yang tidak kalah pentingnya ialah kontak mata. Seterusnya kita pun akan saling mengabdi

satu dengan yang lain. Hal ini tampak dari larik-larik berikut.

10 Kekasihku mulai berbicara kepadaku:


"Bangunlah manisku, jelitaku, marilah!
14 Merpatiku di celah-celah batu,
di persembunyian lereng-lereng gunung,
perlihatkanlah wajahmu,
perdengarkanlah suaramu!
Sebab merdu suaramu
dan elok wajahmu!"
16 Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia
yang menggembalakan domba di
tengah-tengah bunga bakung.

4.4.2 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Alam

Alam selalu menyimpan banyak kekayaan, baik flora, fauna, maupun benda lainnya

untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Alam yang indah, asri, dan

terjaga akan melindungi hidup manusia dan memberikan banyak manfaat, antara lain kita
70

akan menikmati kesegaran udara, keindahan dari warna hijau daun yang tampak dan

kenikmatan buah yang dihasilkan dari pohon tersebut. Oleh karena itu, kita harus mencintai

dan merawat bumi kita karena hal tersebut juga merupakan nilai budaya yang harus

dilestarikan.

Dalam puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 ini sarat terdapat kata-kata yang

menggambarkan hubungan manusia dengan alam yang sangat akrab. Kedua pasang

kekasih, gadis atau wanita Sulam dan Raja Salomo, sangat mengenal alam sekitarnya.

Mereka menggunakan benda-benda atau alam sekitarnya dalam mengungkapkan pikiran

atau isi hati masing-masing, sehingga menjadikan puisi ini terkesan lebih romantis dan

alami. Di sisi lain, mengungkapkan alam sekitar dalam percakapan mereka menunjukkan

bahwa mereka memang bagian dari lingkungan tersebut. Dengan menggunakan bahasa

kiasan yang cenderung berisi benda-benda alam, maksud penyair lebih sampai kepada

pembaca. Sebagai contoh:

6 Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam,


karena terik matahari membakar aku.
Putera-putera ibuku marah kepadaku,
aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur;
kebun anggurku sendiri tak kujaga.

Larik-larik dari Kidung Agung pasal 1 di atas sangat jelas menyatakan bahwa gadis

Sulam itu biasa berada di kebun anggur, dan memang ia seorang pekerja kebun anggur.

Sebagai seorang yang sehari-harinya bekerja di kebun anggur, tentulah dia sangat ahli

dalam menjaga dan merawat pohon-pohon anggur. Lagi pula kita pun dapat

membayangkan betapa indah, luas, dan menariknya kebun anggur itu, sebagai sumber

penghidupan masyarakat sekitar.

Larik-larik berikut ini pun akan membawa pikiran kita ke satu padang rumput yang

terbentang luas nan hijau. Dan di sana ada kumpulan-kumpulan domba yang sedang
71

makan rumput. Tentu terdengar pula suara-suara embik mereka. Ada yang berjalan atau

berlari kesana-kemari. Ada yang sedang berbaring di permadani hijau itu; mungkin sedang

tidur. Dan gembala-gembala mengawasi kawanan-kawanan dombanya.

7 Ceriterakanlah kepadaku, jantung hatiku,


di mana kakanda menggembalakan domba,
di mana kakanda membiarkan
domba-domba berbaring pada petang hari.
Karena mengapa aku akan jadi serupa pengembara
dekat kawanan-kawanan domba teman-temanmu?
8 __Jika engkau tak tahu,
hai jelita di antara wanita,
ikutilah jejak-jejak domba,
dan gembalakanlah anak-anak kambingmu
dekat perkemahan para gembala.

Begitu juga dalam Kidung Agung pasal 2, digambarkan kehidupan manusia yang

sangat dekat dan kenal dengan alamnya. Sepanjang pasal ini masih digunakan benda-benda

alam seperti bunga mawar dari Saron, bunga bakung di lembah, pohon apel, kijang

atau anak rusa, bunyi tekukur, pohon ara, gunung-gunung dan bukit-bukit, kebun

anggur, dan domba. Di bawah ini adalah kutipannya.

1 Bunga mawar dari Saron aku,


bunga bakung di lembah-lembah.
3 __Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan,
demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna.
9 Kekasihku serupa kijang atau anak rusa.
12 Di ladang telah nampak bunga-bunga,
tibalah musim memangkas;
bunyi tekukur terdengar di tanah kita.
13 Pohon ara mulai berbuah,
dan bunga pohon anggur semerbak baunya.

15 Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu,


rubah-rubah yang kecil,
yang merusak kebun-kebun anggur,
kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!
16 Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia
yang menggembalakan domba di
tengah-tengah bunga bakung.
72

4.4.3 Nilai Budaya tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan

Agama merupakan aspek yang sangat substansial dalam kehidupan manusia. Sejak

dulu manusia telah meyakini akan adanya Tuhan, mereka meyakininya dengan cara

masing-masing memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Berdasarkan metode penafsiran, yakni metode alegori dan metode tipologi,

diyakini bahwa secara keseluruhan Kitab Kidung Agung menggambarkan hubungan antara

manusia dengan Tuhan. Metode alegori menyatakan bahwa Kidung Agung dipandang

sebagai alegori terhadap satu tema yaitu kasih Allah dan sikap-Nya terhadap jemaat.

Sementara metode tipologi menyatakan bahwa syair itu mengakui adanya kasih sayang

manusia, tetapi cenderung memusatkannya terhadap tokoh-tokohnya sebagai tipe atau

lambing kuasa rohani atau kenyataan pada masa mendatang, misalnya seperti Allah sebagai

mempelai pria dan jemaat sebagai mempelai wanita.

Larik ke-49 (ayat 16 pasal 2) menyatakan: /Kekasihku kepunyaanku, dan aku

kepunyaan dia/. Ini mengungkapkan hubungan yang suci. Ikatan perjanjian di antara Allah

dengan umat-Nya disampaikan dalam Bahasa kasih pernikahan. Tetapi dalam keadaan kita

yang berdosa ini, banyak orang yang pengalaman pernikahannya tidak menyenangkan,

mengecewakan, dan bahkan menggetirkan. Yang lain tidak merasakan pengalaman

pernikahan. Sebab itu, kita dapat mengharapkan bahwa Allah kita yang Mahabijaksana itu

akan memberikan kepada umat-Nya pengertian tentang kasih sayang pernikahan yang

serasi, suatu teladan kasih dan kesetiaan yang luar biasa, yang akan menjadi teladan ikatan

yang tiada taranya bagi manusia yaitu ikatan di antara Allah dan jemaat-Nya
73

4.5 Hasil Analisis

Berdasarkan analisis data tentang stilistika dan nilai-nilai budaya terhadap puisi

Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo yang telah dilakukan, berikut ini ditampilkan

hasil analisisnya, yang terdiri atas:

Tabel 4.5.1 Diksi dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo

Puisi Diksi Larik

(P)

P1 Kiranya ia mencium aku dengan kecupan, cintamu lebih 2, 3, 4, 5, 10, 18, 19, 25,

nikmat daripada anggur, harum bau minyakmu, bagaikan 36, 43, 44, 46, 48, 54,

minyak yang tercurah namamu, dalam maligai- 55

maligainya, seperti kemah orang Kedar, seperti tirai-tirai

orang Salma, Ceritakanlah kepadaku, jantung hatiku,

Dengan kuda betina daripada kereta-kereta Firaun,

semerbak bau narwastuku, Bagiku kekasihku bagaikan

sebungkus mur, Bagiku kekasihku setangkai bunga pacar,

Lihatlah, cantik engkau, manisku, Dari kayu aras balok-

balok rumah kita, dari kayu eru papan dinding-dinding

kita.

P2 Seperti bunga bakung di antara duri-duri, Seperti pohon 3, 5, 7, 8, 12, 30, 31, 32,

apel di antara pohon-pohon di hutan, Di bawah 39, 45, 47, 50, 51,

naungannya aku ingin duduk, buahnya manis bagi langit-

langitku, segarkanlah aku dengan buah apel, Bangunlah,

manisku, jelitaku, musim dingin telah lewat, hujan telah


74

berhenti dan sudah lalu, merpatiku, Tangkaplah bagi kami

rubah-rubah itu, merusak kebun-kebun anggur, yang

menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung,

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa diksi selalu digunakan dalam

penulisan puisi Kidung Agung 1 dan 2. Hal ini sesuai dengan teori diksi yang berarti

pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan (Scott dalam Rosid, 2011:

166).
75
76
77
78
79

Tabel 4.5.3 Kata-kata Konkret dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Puisi Kata-kata Konkret Larik

(P)

P1 Karena cintamu lebih nikmat daripada anggur, lebih 3, 14, 16, 18, 19, 25,

daripada anggur, Memang hitam aku, seperti kemah 36, 47

orang Kedar, seperti tirai-tirai orang Salma, jantung

hatiku, Dengan kuda betina daripada kereta-kereta

Firaun, di kebun-kebun anggur En-Gedi.

P2 Bunga mawar dari Saron aku, bunga bakung di 1, 2, 10, 13, 49

lembah-lembah, dan panjinya di atasku adalah cinta,

sebab sakit asmara aku, Kekasihku kepunyaanku, dan

aku kepunyaan dia.

Berdasarkan tabel tentang penggunaan kata-kata konkret dalam penulisan puisi

Kidung Agung 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa dalam penulisannya, puisi ini selalu

menggunakan kata-kata konkret. Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa

untuk membangkitkan imaji (citraan) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret,

(Nurhayati, 1992: 81). Kata konkret ialah kata yang dapat melukiskan dengan tepat,

membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair (Situmorang,

1980: 22).
80

Tabel 4.5.4 Bahasa Figuratif dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Puisi Bahasa Figuratif

(P) metafora sinekdoke metonimia repetisi personifikasi simile

P1 Bagiku Dari kayu Kami bersorak- Terik Bagaikan

kekasihku eru papan sorai, kami matahari minyak yang

setangkai dinding- memuji cintamu. membakar tercurah

bunga dinding Di mana aku namamu.

pacar kita kakandadi seperti kemah

mana orang Kedar,

kakanda. seperti tirai-

Lihatlah cantik tirai orang

engkau, sungguh Salma.

cantik engkau. Jadi serupa

pengembara.

kuumpama

kan engkau,

manisku.

Kekasihku

bagaikan

sebungkus

mur.
81

Bagaikan

merpati

matamu.

P2 Bunga Bunyi Bunga bakung di Seperti bunga

mawar tekukur antara duri-duri, bakungsepe

dari terdengar manisku di rti pohon

Saron di tanah antara gadis- apel.

aku, kita. gadis, pohon Kekasihku

bunga apel di serupa kijang.


82

bakung di Merpatiku antara.kekasi Berlakulah

lembah di celah- hku di antara seperti kijang,

celah batu. teruna atau seperti

Tangan anak rusa.

kirinyatangan

kanannya

Demi kijang-

kijang atau demi

rusa-rusa

Perdengarkanlah

suaramu, sebab

merdu suaramu.

Tangkaplah bagi

kami rubah-

rubah itu,

rubah-rubah

yang kecil.

Yang merusak

kebun-kebun

anggur, kebun-

kebun anggur

kami yang.
83

Kekasihku

kepunyaanku,

dan aku

kepunyaan dia.

Berdasarkan tabel hasil analisis tentang bahasa figuratif dalam puisi Kidung Agung

1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif banyak digunakan dalam penulisan

Kidung Agung 1 dan 2 tersebut. Bahasa figuratif yang banyak digunakan adalah metafora,

repetisi, dan simile. Sementara bahasa figuratif lainnya jarang digunakan. Penggunaan

bahasa figuratif dalam penulisan puisi seperti dalam puisi di atas memang harus dilakukan,

hal tersebut sesuai dengan teori Hawkes yang menyatakan figurative is language which

doesnt mean what it says. (dalam Rosid, 2011:174).

Tabel 4.5.5 Nilai Budaya dalam Kidung Agung 1 dan 2 Karya Salomo

Puisi Nilai Budaya

(P) Hubungan manusia Hubungan manusia Hubungan manusia

dengan sesama dengan alam dengan Tuhan

P1 Kiranya ia mencium aku aku dijadikan mereka


dengan kecupan! penjaga kebun-kebun
Karena cintamu lebih anggur;
nikmat dari pada anggur, kebun anggurku sendiri
harum bau minyakmu, tak kujaga.
bagaikan minyak yang
tercurah namamu,
oleh sebab itu gadis-
gadis cinta kepadamu!
84

P2 Telah dibawanya aku ke Di ladang telah nampak Kekasihku


rumah pesta, bunga-bunga, kepunyaanku, dan aku
dan panjinya di atasku tibalah musim kepunyaan dia. (sesuai
adalah cinta. memangkas; dengan metode alegori
Kuatkanlah aku dengan bunyi tekukur terdengar dan tipologi)
penganan kismis, di tanah kita.
segarkanlah aku dengan Pohon ara mulai
buah apel, berbuah,
sebab sakit asmara aku. dan bunga pohon
Tangan kirinya ada di anggur semerbak
bawah kepalaku, baunya.
tangan kanannya
memeluk aku.

Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam puisi Kidung Agung 1

dan 2 terkandung nilai budaya yang harus dilestarikan. Konsep tersebut sesuai dengan teori

nilai budaya yang dikemukakan oleh Kluckhon (Kuntjaraningrat, 1985: 28) bahwa semua

sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan adalah berkaitan dengan lima pokok masalah

dalam kehidupan manusia, yaitu (1) masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, (2)

masalah mengenai hakikat dari karya manusia, (3) masalah mengenai hakikat dari

kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) masalah mengenai hakikat dari hubungan

manusia dengan alam sekitarnya, (5) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia

dengan sesamanya.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari penelitian terhadap puisi Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo,

penulis memperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Dalam Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 terdapat 34 larik yang menggunakan diksi

untuk mengintensifkan atau memperkuat makna, sapaan, dan menguatkan latar tokoh;

terdapat sembilan citraan pendengaran, empat citraan penciuman, 45 citraan

penglihatan, delapan citraan gerak, tiga citraan pencecapan, dan satu citraan peraba;

terdapat sebanyak 13 larik yang menggunakan kata-kata konkret; terdapat 13 gaya

bahasa simile, tiga gaya bahasa metafora, satu personifikasi, 26 gaya bahasa repetisi,

satu sinekdoke, dan dua gaya bahasa metonimia.

2. Dalam Kitab Kidung Agung pasal 1 dan 2 terdapat juga nilai-nilai budaya. Nilai-nilai

budaya tersebut mencakup hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia

dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

5.2 Saran

Dari penelitian terhadap puisi Kidung Agung pasal 1 dan 2 karya Salomo ini,

penulis menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penunjang penelitian-penelitian lainnya.

85
86

2. Guru dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai materi pengayaan dalam

pembelajaran di kelas, sekaligus contoh penerapan iman dan takwa.

3. Siswa mau menggunakan hasil penelitian ini untuk memperkaya pemahaman materi

tentang apresiasi sastra.

4. Para dosen di fakultas sastra dengan senang hati mau menjadikan hasil penelitian ini

sebagai salah satu contoh bahan materi matakuliah Apresiasi Sastra.

5. Para mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menambah pengetahuan

mengenai stilistika dan nilai-nilai budaya dengan membaca hasil penelitian ini.

6. Pihak universitas menjadikan tesis ini sebagai tambahan sumber pustaka di

perpustakaan setempat.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang
: IKIP Semarang Press.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak, Teori Metodologi dan Aplikasi. Bandung : Angkasa.
Bullock, C. Hassell. 2003. Kitab-kitab Puisi dalam Perjanjian Lama (Terj. Suhadi
Yeremia). Malang: Gandum Mas.
Depdiknas. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan ke-8 Edisi IV. Jakarta :
Gramedia.
Fitriah, Nurul. 2009. Gaya Bahasa dalam Balada-balada W.S. Rendra: Kajian Stilistika
Genetik. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Flowers, Karen. 2002. Kidung Agung, Satu Nyanyian Kasih (Terj. M. Panjaitan).
Bandung: Indonesia Publishing House.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan kedua. Ende Flores : Nusa Indah.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krispendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta:
Rajawali Press.
LaSor, Ws, DA Hubbard, dan FW Bush. 2013. Pengantar Perjanjian Lama: Sastra dan
Nubuat, cet. ke-14. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Mas, Keris. 1988. Perbincangan Gaya Bahasa Sastera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munir, Syaiful. 2013. Diksi dan Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Dalam Kelam
Karya Sutikno W.S.: Kajian Stilistika. Skripsi. Semarang : Universitas Negeri
(Tidak diterbitkan).
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi, Cetakan ke-8. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.

87
88

Nurhadi (Ed.). 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Malang:
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Malang.
Nurhayati. 1992. Kajian Stilistika terhadap Puisi-puisi Rendra (Studi tentang Aspek-aspek
Linguistik dan Kesusastraan pada Sepuluh Puisi Rendra). Tesis. Bandung: IKIP
(Tidak diterbitkan).
Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi, Cetakan ke-11. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Purwanto, A. Teguh. 2006. Diktat Eksposisi PL III Ezra-Kidung Agung. Surabaya: STTII.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika, Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosid, Abdul. 2011. Stilistika dan Nilai-nilai Budaya dalam Puisi Indonesia. Tesis.
Bandung: UPI.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Silalahi, Herman.Kitab28.blogspot.co.id/2013/05/kidungagung.html.
Slamet. 2012. Stilistika Konflik Tokoh Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Tesis.
Surabaya: Universitas Muhammadiyah (Tidak diterbitkan).
Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: Raja Grafindo.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
______________. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suharianto. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suriasumantri, J. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
89

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia.
Yeibo, Ebi. 2012. Figurative Language and Stylistic Function in J. P. ClarkBekederemo's
Poetry. Journal of Language Teaching and Research. Niger Delta University. No
3. Vol 3. Hal 180-187.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Figurative+Language+and+St
ylistic+Fuction+in+J.+P.+Clark-Bekederemo%27s+Poetry. (diunduh 2 Jan
2016 pukul 19.09).

https://id.wikipedia.org/wiki/Salomo
Lampiran 1

Tabel Instrumen
Tabel Instrumen Analisis Data Stilistika dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
No Unsur Intrinsik Indikator Hasil Analisis Ket/Hal
(Teks)
1 Diksi
2 Citraan
1. Penglihatan
2. Penciuman
3. Pengecapan
4. Gerak
5. Intelektual
6. perabaan
3 Kata-kata Konkret
4 Bahasa Figuratif
1. metafora
2. sinekdoke
3. metonimi
4. repetisi
5. personifikasi
6. simile
7. alegori

Tabel Instrumen Analisis Data Nilai-nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung
Pasal 1 dan 2
No Nilai Budaya Indikator Hasil Analisis Ket/Hal
(Teks)
1 Hubungan manusia
dengan sesama
2 Hubungan manusia
dengan alam
3 Hubungan manusia
dengan Tuhan

90
Tabel Data Diksi dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Diksi Baris/Larik
PP 1
PP 2

Tabel Data Citraan dalam Kitab Kidung Agung


Puisi Citraan Baris/
Pasal (PP) Pengli- Pende- Pencium- Penge- Gerak Pera- Intelek- Larik
hatan ngaran an capan baan tual
PP 1
PP 2

Tabel Data Kata-kata Konkret dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Kata-kata Konkret Baris/Larik
PP 1
PP 2

Tabel Data Bahasa Figuratif dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Bahasa Figuratif
Pasal(PP) Metafora Sinekdoke Metonimi Repetisi Personifikasi Simile
PP 1
PP 2

Tabel Data Nilai Budaya dalam Kitab Kidung Agung Pasal 1 dan 2
Puisi Pasal (PP) Nilai Budaya
Hubungan manusia Hubungan manusia Hubungan manusia
dengan sesama dengan alam dengan Tuhan
PP 1
PP 2

91
Lampiran 2

SINOPSIS

Kitab Kidung Agung (Ibrani: Shir-HaShirim) adalah sebuah kumpulan syair


cinta. Sering ditafsirkan sebagai sebuah representasi kiasan dari hubungan Allah
dengan Israel atau dengan orang Kristen atau dengan Gereja, atau Kristus dengan jiwa
manusia, yang sangat intim sehingga diibaratkan seperti hubungan perkawinan. Misalnya
orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen melakukan eksegesis terhadap kitab ini,
dengan mencoba mengrohanikannya. Misalnya orang Yahudi menafsirkan "kekasih laki-
laki" dengan merujuk kepada gambaran Allah sedangkan "kekasih perempuannya"
ialah Israel.
Kidung Agung berbicara tentang cinta, ia ialah tema sentral dalam kitab
ini. Kekasih laki-laki dan kekasih perempuan yang sedang dilanda cinta, menjadi lakon
utamanya. Mereka berbicara mengenai kisah cinta mereka, misal tentang kekagumannya
terhadap pasangannya, kerinduan yang amat, juga menceritakan pertemuan mereka.

92
Lampiran 3

RIWAYAT HIDUP SALOMO

Nama Salomo (bahasa Ibrani Standar: lomo; bahasa Ibrani Tiberia: lmh,
bermakna "damai"; bahasa Arab: Sulaiman) adalah seorang putra raja Daud, yang
kemudian menjadi raja ketiga kerajaan Israel setelah Saul dan Daud, ayahnya. Ibunya
bernama Batsyeba binti Eliam. Riwayat Salomo terutama diketahui dari catatan Alkitab
Ibrani atau Perjanjian Lama di Alkitab Kristen, yang diyakini paling lambat dilengkapi
pada abad ke-4 SM, dan didukung oleh tulisan-tulisan Yahudi, Kristen dan Islam.
Sejumlah peninggalan arkeologis membuktikan sejumlah fakta yang disebutkan dalam
catatan-catatan kuno tersebut.
Menurut 2 Tawarikh 1:1-13 Salomo dikisahkan sebagai raja yang bijaksana.
Kebijaksanaannya itu diperolehnya karena anugerah Tuhan.
Kitab Amsal, Pengkotbah, dan Kidung Agung dipercaya ditulis oleh Raja Salomo.
Di dalam Kitab 2 Samuel dicatat bahwa Salomo lahir di Yerusalem dan juga terdapat kisah
yang melatarbelakangi kelahirannya. Raja Daud berhubungan gelap dengan Batsyeba, ibu
Salomo, ketika perempuan itu masih menjadi istri Uria orang Het, salah seorang pahlawan
Daud. Ketika Batsyeba hamil dari hubungan itu, maka Daud kemudian memerintahkan
agar Uria dikirimkan ke garis paling depan dari peperangan supaya ia mati terbunuh.
Setelah Uria mati, dan lewat waktu berkabung, maka Daud menyuruh membawa
perempuan itu ke rumahnya. Perempuan itu menjadi isterinya, dan melahirkan seorang
anak laki-laki baginya. Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata
TUHAN. TUHAN mengutus nabi Natan kepada Daud untuk membuka kejahatan itu serta
hukuman yang akan diberikan TUHAN, sehingga Daud menyesal. Dan TUHAN menulahi
anak yang dilahirkan bekas isteri Uria bagi Daud, sehingga sakit. Lalu Daud memohon
kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun, dan apabila ia masuk ke
dalam, semalam-malaman itu ia berbaring di tanah. Pada hari yang ketujuh matilah anak
itu. Kemudian Daud menghibur hati Batsyeba, isterinya; ia menghampiri perempuan itu,
dan tidur dengan dia, dan perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, lalu Daud
memberi nama Salomo kepada anak itu. TUHAN mengasihi anak ini, dan dengan
perantaraan nabi Natan Ia menyuruh menamakan anak itu Yedija, oleh karena TUHAN.

Ketika Daud telah tua, dan diperkirakan tidak lama lagi usianya, Adonia putra
Daud dari istrinya, Hagit, mengangkat diri menjadi raja, dengan dukungan
panglima Yoab dan
imam besar Abyatar. Pada acara pengangkatan menjadi raja, Adonia mempersembahkan

93
94

domba, lembu, dan ternak gemukan sebagai korban dekat batu Zohelet yang ada di samping
En-Rogel, lalu mengundang semua saudaranya, anak-anak raja, dan semua orang Yehuda,
pegawai-pegawai raja; tetapi nabi Natan, imam Zadok, Benaya bin Yoyada dan para
pahlawan, dan Salomo, adiknya, tidak diundangnya. Nabi Natan memberi nasehat kepada
Batsyeba, ibu Salomo, agar memberitahukan hal ini kepada Daud, yang tidak mengetahui
akan hal itu, demi menyelamatkan nyawanya serta nyawa Salomo. Maka Batsyeba
menghadap raja ke dalam kamarnya. Waktu itu raja sudah sangat tua, dan Abisag, gadis
Sunem itu, melayani raja. Lalu Batsyeba berlutut, dan sujud menyembah kepada raja. Raja
bertanya: "Ada yang kauingini?" Lalu perempuan itu berkata kepadanya:
"Tuanku sendiri telah bersumpah demi TUHAN, Allahmu, kepada hambamu ini: Anakmu
Salomo akan menjadi raja sesudah aku, dan ia akan duduk di atas takhtaku. Tetapi
sekarang, lihatlah, Adonia telah menjadi raja, sedang tuanku raja sendiri tidak
mengetahuinya. Ia telah menyembelih banyak lembu, ternak gemukan dan domba, dan
telah mengundang semua anak raja dan imam Abyatar dan Yoab, panglima itu, tetapi
hambamu Salomo tidak diundangnya. Dan kepadamulah, ya tuanku raja, tertuju mata
seluruh orang Israel, supaya engkau memberitahukan kepada mereka siapa yang akan
duduk di atas takhta tuanku raja sesudah tuanku. Nanti aku ini dan anakku Salomo dituduh
bersalah segera sesudah tuanku raja mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek
moyangnya."
Selagi Batsyeba berbicara dengan raja, datanglah nabi Natan. Diberitahukan
kepada raja: "Itu ada nabi Natan." Masuklah ia menghadap raja, lalu sujud menyembah
kepada raja dengan mukanya sampai ke tanah. Natan menanyakan apakah Daud telah
memutuskan Adonia menjadi penggantinya karena pada saat yang bersamaan Adonia
mengadakan pesta pengangkatannya dengan mengundang orang-orang yang makan minum
di depannya sambil berseru: "Hidup raja Adonia!" tetapi tidak mengundang Natan, imam
Zadok, Benaya maupun Salomo. Segera setelah mendapat kepastian dari Natan, maka
Daud menyuruh memanggil Batsyeba, dan di depan mereka, Daud menegaskan
keputusannya dengan bersumpah, dan berkata:
"Demi TUHAN yang hidup, yang telah membebaskan nyawaku dari segala kesesakan,
pada hari ini aku akan melaksanakan apa yang kujanjikan kepadamu demi TUHAN, Allah
Israel, dengan sumpah ini: Anakmu Salomo akan menjadi raja sesudah aku, dan dialah
yang akan duduk di atas takhtaku menggantikan aku."
Lalu Batsyeba berlutut dengan mukanya sampai ke tanah; ia sujud menyembah
kepada raja, dan berkata: "Hidup tuanku raja Daud untuk selama-lamanya!"
Daud segera menyuruh memanggil imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin
Yoyada. Setelah mereka masuk menghadap raja, Daud memberi perintah khusus:
95

"Bawalah para pegawai tuanmu ini, naikkan anakku Salomo ke atas bagal betina
kendaraanku sendiri, dan bawa dia ke Gihon. Imam Zadok dan nabi Natan harus mengurapi
dia di sana menjadi raja atas Israel; kemudian kamu meniup sangkakala dan berseru: Hidup
raja Salomo! Sesudah itu kamu berjalan pulang dengan mengiring dia; lalu ia akan masuk
dan duduk di atas takhtaku, sebab dialah yang harus naik takhta menggantikan aku, dan
dialah yang kutunjuk menjadi raja atas Israel dan Yehuda."
Lalu pergilah imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin Yoyada, dengan orang
Kreti, dan orang Pleti, mereka menaikkan Salomo ke atas bagal betina raja Daud, dan
membawanya ke Gihon. Imam Zadok telah membawa tabung tanduk berisi minyak dari
dalam kemah, lalu diurapinya Salomo. Kemudian sangkakala ditiup, dan seluruh rakyat
berseru: "Hidup raja Salomo!" Sesudah itu seluruh rakyat berjalan di belakangnya sambil
membunyikan suling, dan sambil bersukaria ramai-ramai, sampai seakan-akan bumi
terbelah oleh suara mereka.
Menurut penuturan Yonatan, putra imam Abyatar, Salomo dengan aman duduk di
atas takhta kerajaan. Pegawai-pegawai raja telah datang mengucap selamat kepada raja
Daud, dengan berkata: Kiranya Allahmu membuat nama Salomo lebih masyhur dari pada
namamu, dan takhtanya lebih agung dari pada takhtamu. Dan raja Daudpun telah sujud
menyembah di atas tempat tidurnya, dan beginilah katanya: :"Terpujilah TUHAN, Allah
Israel, yang pada hari ini telah memberi seorang duduk di atas takhtaku yang aku sendiri
masih boleh saksikan."
Tabel 4.5.2 Citraan dalam Kidung Agung Pasal 1 dan 2 Karya Salomo
Puisi Citraan
(P) Penglihatan Pendengaran Penciuman Pencecapan Gerak Peraba Larik
P1 Sang raja telah Kiranya ia mencium harum bau Tariklah aku di karena terik 2, 4, 7, 8, 9,
membawa aku ke/ aku dengan kecupan, minyakmu, belakangmu, matahari 10 11, 12,
dalam maligai- Kami akan bersorak- semerbak bau marilah kita membakar aku 16, 18, 19,
maligainya, sorai dan bergembira narwastuku, cepat-cepat pergi 21, 22, 28,
Memang hitam aku, karena engkau, Bagiku kekasihku 30, 32, 35,
tetapi cantik, seperti Putera-putera ibuku bagaikan 36, 38, 39,
kemah orang Kedar/ marah kepadaku sebungkus mur 40, 41, 43,
seperti tirai-tirai 44, 45, 47,
orang Salma, 51, 54, 55
domba-domba
berbaring pada
petang hari; dekat
kawanan-kawanan
domba teman-
temanmu?
hai jelita di antara
wanita; dekat
perkemahan para
gembala, Dengan
kuda betina daripada
kereta-kereta Firaun;
Moleklah pipimu di
tengah perhiasan-
perhiasan; dan
lehermu di tengah
kalung-kalung;
perhiasan-perhiasan
emas; dengan
manik-manik perak;
di kebun-kebun
anggur En-Gedi
tersisip di antara
buah dadaku;
lihatlah tampan
engkau, kekasihku;
dari kayu aras balok-
balok rumah kita;
dari kayu eru papan
dinding-dinding kita
P2 Bunga mawar dari Kekasihku mulai dan bunga pohon buahnya manis melompat-lompat 1, 2, 3, 4, 5,
Saron aku/ bunga berbicara kepadaku: anggur semerbak bagi langit- di atas gunung- 6, 8, 9, 11,
bakung di lembah- /Bangunlah baunya langitku; gunung/ 12, 14, 15,
lembah; Seperti manisku, jelitaku, Kuatkanlah aku meloncat-loncat 22-28, 23,
bunga bakung di marilah!/ bunyi dengan penganan di atas bukit- 23, 27, 28,
antara duri-duri/ tekukur terdengar di kismis/ bukit/ sambil 29, 30, 32,
demikianlah tanah kita; segarkanlah aku menengok- 33, 35, 36,
manisku di antara perdengarkanlah dengan buah apel nengok melalui 37, 39, 40,
gadis-gadis; Seperti suaramu tingkap-tingkap/ 41, 42, 43,
pohon apel di antara dan melihat dari 46, 47, 48,
pohon-pohon di kisi-kisi 52, 53, 57
hutan/ demikianlah
kekasihku di antara
teruna-teruna; Telah
dibawanya aku ke
rumah pesta;
Kuatkanlah aku
dengan penganan
kismis/ segarkanlah
aku dengan buah
apel; Tangan kirinya
di bawah kepalaku/
tangan kanannya
memeluk aku; hujan
telah berhenti dan
sudah lalu// Di
ladang telah nampak
bunga-bunga/ Pohon
ara mulai berbuah
Lihatlah, ia datang,
melompat-lompat di
atas gunung-gunung,
meloncat-loncat di
atas bukit-bukit//
Lihatlah, ia berdiri
di balik dinding kita/
sambal menengok-
nengok melalui
tingkap-tingkap/ dan
melihat dari kisi-
kisi; Merpatiku di
celah-celah batu/ di
persembunyian
lereng-lereng
gunung/ dan elok
wajahmu; rubah-
rubah yang kecil/
yang merusak
kebun-kebun
anggur/ kebun-
kebun anggur kami
yang sedang
berbunga!; Sebelum
angin senja
berembus/ dan
bayang-bayang
menghilang; di atas
gunung-gunung
tanaman rempah-
rempah

Anda mungkin juga menyukai