********************************************
Bab I
(Trinitas Economia)
Misi Keselamatan Allah merupakan karya nyata dari Allah Yang Tunggal, yaitu:
(Trinitas Imanen)
*************************
Allah yang Tunggal dan Tritunggal (Trinitas) adalah Inti dan Obyek Iman Kristiani
****************
Iman kepada hakekat Allah yang Tritunggal tidak diperoleh dan tidak terbentuk
dari doktrin spekulatif-filosofis tentang Allah, tetapi lahir dari Wahyu Allah sendiri
dalam realitas historis-keselamatan: Allah mewahyukan diri-Nya sebagai Pencipta,
Penebus, Pembaharu/Pembawa rekonsisliasi bagi semua manusia.
o Puncak pewahyuan diri Allah (Bapa: Dia yang ber-Sabda) nyata dalam diri Sang
Sabda Kekal yang menjadi Manusia dalam diri Yesus dari Nazaret
o Putra: Sabda yang keluar dari diri Allah. Seluruh Diri Dia yang ber-Sabda dikenal
dari Sabda-Nya.
o Putra (Sabda yang keluar dari mulut Dia ber-Sabda) melaksanakan “Kehendak”
Dia yang ber-Sabda (Roh, Semangat, Vitalitas, Spirit, Daya Hidup Dia yang ber-
Sabda).
1
spekulasi abstrak tentang hakikat Allah, melainkan bersumber pada obyek iman yang
otentik, yaitu “pengalaman historis-konkret atas pewahyuan Allah Tritunggal”.
2. Landasan Biblis-Dogmatis
a. Perjanjian Lama:
3) Perjanjian Baru menjelaskan relasi timbal-balik antara Bapa, Putera dan Roh
Kudus
o “Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus
beserta kita” (II Kor 13,13).
o “Tetapi demi Kristus, Tuhan kita, dan demi kasih Roh, aku menasihatkan kamu,
saudara-saudara, untuk bergumul bersama-sama dengan aku dalam doa kepada
Allah untuk aku” (Rom 15,30).
o “Berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu demikian dalam kasih Allah
sambil menantikan rahmat Tuhan kita Yesus Kristus untuk hidup yang kekal
(Yudas 20s).
3
o Keselamatan eskatologis dikomunikasikan melalui baptisan dalam <<nama Bapa,
Putera dan Roh Kudus>> (Mat 28,19).
o Menurut kesaksian Kitab para Rasul, di dalam baptisan <<dalam nama Yesus>>
tersingkap formulasi Trinitas, sebab dalam <<nama Yesus>> (Kis. 4,12), Allah
mewahyukan hakikat dan rencana keselamatan-Nya bagi manusia. Putera selalu
berada dalam relasi-Nya dengan Bapa dan Roh Kudus. Inilah landasan iman
Trinitas yang otentik dalam pengakuan iman Gereja.
4
Aneka Bentuk Kritik dan Penolakan Kaum Heretik
1. Dualisme dan Platonisme Gnostik
o Dunia fisik dianggap sebagai tempat yang tidak layak bagi manusia.
o Gagasan tentang dosa diadopsi dari pengertian Yahudi Kristen
o Gnosis merupakan satu-satunya jalan keluar dari situasi aktual.
o Moral diganti dengan praktek ritus-magis.
Dalam “isme” ini tersingkap gagasan mereka tentang Allah yang jauh dari materi.
Adapun beberapa gagasan hakiki kaum gnostik:
5
o Siapakah Allah dan Yesus Kristus menurut kaum gnostik?
Kristus bukanlah Sabda yang menjadi daging, melainkan aeon yang turun
dari pleroma Ilahi yang tidak sungguh-sungguh mengambil rupa insani.
Pleroma Ilahi disatukan dengan manusia suci, yaitu Yesus.
Aeon tinggal di dalam Yesus sejak pembaptisan hingga penderitaan.
Mereka menolak kemanusiaan Yesus Kristus; tidak mengakui validitas
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta menolak otoritas Gereja dan
tradisinya.
Doktrin Kristiani menjelaskan bahwa hakikat Allah Trinitas nyata dalam
peristiwa inkarnasi dan karya keselamatan Yesus Kristus: a) Dalam realitas
personal-Nya, Allah adalah Pencipta; b) Dia tidak hanya menciptakan
dunia, tetapi juga menghendaki agar dunia menggapai keselamatan; c) Oleh
karena itu, Dia memutuskan untuk menjumpai manusia di dalam
peziarahan mereka menuju keselamatan.
2. Modalisme
1) Bapa, Putera dan Roh Kudus hanya memanisfestasikan Allah yang Unipersonal di
dunia:
a. Dalam penciptaan, Allah memanifestasikan diri-Nya sebagai Bapa;
b. Dalam penebusan, Allah menifestasikan diri-Nya sebagai Putera;
c. Dalam pengudusan, Allah memanifestasikan diri-Nya sebagai Roh Kudus.
2) Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak bersatu dalam realitas internal Allah, melainkan
hanya dalam wujud manifestasi fenomenikal dan energi dari kesatuan hypostasis
menuju kekekalan.
3) Dalam konteks ini diperlukan definisi yang jelas konsep Latin mengenai persona dan
konsep Yunani mengenai ousia dan hypostasis untuk menjelaskan substansi Allah.
6
Dalam perspektif teologis, para Bapa Capadocia akan menjelaskan perbedaan hakiki
antara ousia (esensi) dan hypostasis (pengaktualisasian esensi).
3. Triteisme
o Tidak seorang pun dari teolog Kristiani yang mempertahankan kebenaran dan
keunikan doktrin tiga allah.
o Doktrin mengenai keberadaan tiga allah untuk melukiskan species-species yang
menyatu dalam hakikat Allah dan konsekuensinya ini dinilai “sangat tidak
menyegarkan telinga dan batin iman kristiani”.
o Triteisme merumuskan Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagai pribadi yang lain
dan memiliki hakikat masing-masing.
4. Yudaisme
Yudaisme post-Biblis
5. Islam
Mohammad mencela kaum Kristiani (padahal dia tidak mengetahui secara pasti
tentang inti ajaran Kristiani) karena menjadikan nabi Isa (Yesus) sebagai Allah yang
kedua. Secara logis, iman Kristiani kepada Allah Tritunggal berbauh politeis sebab
mengakui adanya tiga Allah: “Tiga”... Allah hanya Satu, sangat mulia dan tinggi
memiliki seorang anak!
Bab IV
Perspektik Historis-Teologis
7
I. Pengantar
1) Sejak abad II muncul pelbagai usaha untuk mendalami dan memikirkan hubungan
antara Putera dan Roh Kudus dengan Allah yang Tunggal.
a. Paham Subordinasianisme
Usaha awal ini diwarnai oleh pemahaman yang bersifat subordinatianisme:
b. Yustinus Martir
a) Paham yang bersifat subordinatianisme ini juga ditemukan dalam rumusan Doa
Syukur Agung yang ditulis oleh Yustinus Martir (165):
o “Hormat dan pujian bagi Bapa alam semesta alam melalui nama Putera
dan Roh Kudus”.
o Kata “melalui” menyingkapkan sebuah ide dasar bahwa Putera dan
Roh Kudus merupakan Pengantara yang tergantung sepenuhnya
pada Bapa.
8
Allah dipikirkan sebagai pangkal dunia yang tidak terbatas dan
tidak bergerak.
Hakikat-Nya merupakan sebuah kepenuhan yang bisa dibagikan-Nya
tanpa kehidupan apa pun dari-Nya.
o “Hanya Sang Allah, yaitu Bapa, yang diakui sebagai Subyek Ilahi yang
Absolut”.
o Kehadiran Allah Bapak tidak nyata di dunia karena Dia tidak terbatas, tidak
kelihatan dan tidak bernama.
o Logos, Sang Sabda berasal dari (bukan diciptakan oleh) Kehendak Allah
yang Tertinggi.
o Logos hadir dalam wujud yang kasat mata di dunia ini dan memiliki
kualitas setinggi Allah;
o Logos adalah Allah yang lebih rendah.
o Roh Kudus memiliki kesamaan dengan Logos sebab sama-sama berasal dari
Allah Tertinggi.
1. Di awal kekristenan, muncul sebuah aliran yang sangat prihatin dan getol
memperjuangkan inti iman akan keesaan Allah agar tidak disurutkan oleh pengakuan
iman Kristiani akan ke-Allah-an Yesus Kristus.
2. Mereka mencari jalan untuk menjelaskan hubungan khusus antara Yesus dengan Allah
tanpa membahayakan inti iman akan keesaan absolut Allah.
3. Mereka memberikan dua jawaban mendasar untuk menegaskan hakikat Allah sebagai
Penguasa Tunggal. Aliran ini disebut Monarkianisme.
4. Melihat model pendekatan yang dipergunakan, aliran ini terbagi dalam dua kelompok,
yaitu:
9
1) Logos, Sabda Ilahi adalah kekuatan Allah sendiri.
2) Kekuatan ini disamakan dengan Kebijaksanaan (sophia) Allah dan Roh (pneuma)
Ilahi.
3) Kekuatan Ilahi Allah ini melengkapi kemanusiaan Yesus.
4) Kekuatan itu tidak berdiri sendiri sebagai Pribadi Ilahi
5) Kekuatan itu hanya sebagai salah satu sifat Ilahi.
1. Pada prinsipnya, aliran ini berjuang untuk mempertahankan keesaan absolut Allah.
1) Bagi mereka, inkarnasi hanyalah suatu cara bagi Allah untuk menyatakan diri-Nya.
2) Mereka berkeyakinan: Yesus sungguh-sungguh Allah sebab hanya jika Dia Allah,
maka Dia bisa menyelamatkan dunia.
3) Agar keilahian Yesus tidak membahayakan keesaan absolut Allah, mereka
mengajarkan bahwa:
a. Bapa, Putera dan Roh Kudus hanyalah nama atau cara penampakan (prosopon,
topeng) yang berbeda dari Allah yang sama.
b. Dengan memberikan hukum dalam Perjanjian Lama, Allah menyingkapkan
diri-Nya sebagai Bapa.
c. Dengan menyelamatkan manusia melalui inkarnasi hingga pengangkatan-Nya
ke Surga, Allah yang sama tampak sebagai Putera
d. Dalam menguduskan jiwa-jiwa, Allah tampak sebagai Roh Kudus.
4) Bagi mereka, Bapa, Putera dan Roh Kudus hanyalah sebuah topeng yang
dipergunakan Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada dunia.
5) Walaupun demikian:
a. Ketiga nama itu bukanlah Allah dalam diri-Nya sendiri dan tidak serentak
berada dalam diri Allah.
b. Sejak inkarnasi, Allah bukan lagi Bapa dan setelah pengangkatan ke Surga,
Allah bukan lagi Putera.
c. Ketiga nama yang disingkapkan kepada manusia bukanlah kenyataan dalam diri
Allah yang sesungguhnya.
d. Allah tidak memperkenalkan diri-Nya sebagaimana adanya diri-Nya.
e. Allah justru menyembunyikan diri-Nya di balik aneka topeng.
f. Allah diibaratkan dengan seorang pemain drama yang bersandiwara dengan
manusia
Menurut aliran Doketisme (kata Yunani doketein: rupanya saja, keilhatannya saja):
o Di bumi fana ini, Yesus, Sang Penebus tidak memiliki tubuh manusiawi yang asli;
o Tubuh manusiawi Yesus hanya berwujud semu.
o Tubuh dan darah Yesus tidak dibentuk dari darah dan daging ibu-Nya.
10
o Tubuh itu ditinggalkan-Nya sebelum penyaliban.
1) Putera dan Roh Kudus hanya dilihat sebagai penampakan diri Allah semata.
2) “Menurut ada dan kuasan-Nya, pada hakikatnya, Allah itu Esa, akan tetapi menurut
peristiwa dan pelaksanaan penebusan terdapat Bapa dan Putera”.
2. Dengan pernyataannya ini, Irenius berusaha mencegah pengakuan iman yang berbauh
pluralistik tentang Allah.
1) Di satu pihak, dia ingin mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa, Putera dan
Roh Kudus.
2) Di pihak lain, dia mengajarkan bahwa sejak kekal, Allah mempunyai Sabda dan
kebijaksanaan yang ada bersama-sama dengan-Nya.
11
3) Firman dan kebijaksanaan itu adalah Hypostasis yang lahir daripada-Nya sebelum
dunia diciptakan. Putera lahir dari Bapa sebelum adanya waktu.
1. Metafora
Persona
Hypostasis
1
Catatan:
o Hanya dari para bapa Capadocia ditemukan perbedaan yang tegas antara ousia dan hypostasis dan:
o Hanya dari para bapa neocalcedonia (Yohanes Grammatico, Leonzio Bisanzio, Leonzio
Gerusalemme, Massimo Confessore dan Yohanes Damaskus) yang membuat pembedaan tegas
antara hypostasis dan ousia, antara substansi dan esensi.
o Di Barat: untuk membedakan konsep hypostasis atau persona, maka dipergunakan kata substansi.
o Namun kita tidak mengacu pada sebuah definisi yang netral dari konsep-konsep sebelumnya.
o Di bawah profil sejarah dogma diakui bahwa pemahaman tersebut berasal dari pengertian yang
berbeda.
12
b. Kata hypostasis memiliki kandungan yang sama dengan kata substansi.
c. Kedua kata ini (substansi dan hypostasis) membentuk konsep relasional.
d. Relasi itu tidak diungkapkan dalam substansi yang aksidentil, melainkan keunikan
pribadi Ilahi yang memiliki memiliki substansi yang satu dan sama.
e. Substansi Ilahi membentuk hubungan-relasi di antara ketiga pribadi Ilahi.
f. Kata Substansi/Hypostasi yang dipadankan dengan Persona secara tegas
mengindikasikan kesatuan dan keunikan Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagaimana
dikenal dalam iman untuk memperlihatkan sisi intern dari kesatuan esensi Allah
dalan relasi timbal balik di antara mereka.
a. Rumusan asli Teologi Allah Tritunggal dalam tradisi Latin, dari dulu hingga saat
ini berasal dari gagasan Tertullianus ini: Allah Trinitas itu satu dalam substansi-
tiga pribadi (persona).
o Dalam hakikat Allah yang satu terdapat tiga pribadi.
o Namun, adanya tiga pribadi itu tidak berarti bahwa terdapat lebih dari satu
c. Mengacu pada makna hakiki dari kata substantia ini, Tertullianus merumuskan
teologis Trinitasnya dengan dengan pernyataan ini:
13
o ‘Pribadi Putera berbeda dari Bapa, namun tergantung seutuhnya dari
substantia Bapa.
o Pribadi Putera berasal dan menyatu dengan substantia Bapa hanya dalam
perwujudan karya penciptaan dan penyelamatan, bukan dalam struktur internal
Allah.
o Di dalam realitas sejarah, tersingkap realitas esternal Allah, namun tidak
dimanifestasikan secara langsung dan utuh.
Apabila ditakar dari perspektif dogmatis, maka harus diakui bahwa rumusan
Trinitas Tertullianus memiliki kelemahan sebab:
1. Origenes menjelaskan “iman akan kesatuan Allah dalam tiga Pribadi dalam rumusan
ini: mia ousia – treis hypostasis.
2. Diakui bahwa Origenes adalah teolog pertama yang merumuskan konsep Trinitas
dengan mempergunakan kata hypostasis:
1) Allah itu satu Triade dan tiga hypostasis: Bapa, Putera dan Roh Kudus.
2) Masing-masing hypostasis Ilahi berbeda dalam martabat dan kekuatan.
3) “Sesungguhnya, “ada” (martabat, kuasa) Putera berbeda dari Bapa”.
4) Bapa dan Putera saling respek dalam hypostasis;
5) Bapa dan Putera hanya satu dalam ‘harmoni, kehendak dan identitas’.
a. Dalam lingkup Ilahi, semua “ada”, “kebaikan” dan “keilahian” berasal dari
Allah Bapa dan dari Bapa diturunkan kepada Putera dalam bentuk partisipatif
melalui kekuatan Roh Kudus.
b. Hubungan antara Bapa dan Putera diungkapkan dengan kata “memperanak”
atau “mengasalkan”.
c. Kekekalan hidup Ilahi mengalir dari Bapa kepada Putera
d. Putera berpartisipasi dalam keilahian atau inti diri Allah sendiri.
e. Secara singkat dan padat dapat dirumuskan bahwa menurut Origenes:
14
Bapa adalah Sumber/Asal keilahian Putera/Logos
1) Logos tidak bersatu dengan Allah, Bapa-Nya dalam waktu, tetapi di luar waktu.
2) Logos tidak keluar dari pancaran natural hakekat Allah, tetapi berasal dari
kehendak esensial Bapa dan sehakekat dengan-Nya.
3) Putera menjadi Mediator.
1) Bapa, Putera dan Roh Kudus satu dalam Trinitas, kudus, Ilahi dan dalam kesatuan
hakekat Ilahi tersebut, pribadi Putera dan Roh Kudus berbeda dari semua ciptaan.
2) Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam kesahakekatan dan keotonomian mereka
menjadi landasan ilahi bagi semua ciptaan.
3) Bapa, Putera dan Roh Kudus menyingkapkan aktivitas spesifik mereka dalam
perjalanan sejarah keselamatan sebagai energi ilahi yang berbeda antara satu
dengan yang lainnya.
1. Pandangan:
o Logos/Sabda/Putera itu tidak kekal, diciptakan dari ketiadaan dan dalam waktu.
o Logos itu ciptaan murni, bisa berubah sehingga ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan yang baru.
o Secara teoritis, Logos tidak membutuhkan bantuan khusus dari Allah dan Logos
bisa jatuh ke dalam dosa.
o Logos adalah ciptaan pertama.
o Logos lebih utama dari semua ciptaan.
o Logos diciptakan secara bebas (tidak dijadikan melalui actus, tindakan, vital yang
perlu) sebagai sarana penciptaan.
o Ajaran Arius dapat diringkas sebagai berikut:
Logos itu tidak kekal.
Logos itu ada dalam waktu.
Itu berarti, pada suatu ketika, Logos/Sabda itu tidak pernah ada dan Logos itu
berasal dari ketiadaan.
Dengan demikian disimpulkannya bahwa:
Logos/Putera bukanlah Allah yang benar dari Allah benar.
Apabila Logos itu sungguh-sungguh Allah, maka Logos tidak bisa menjadi
manusia.
o Mengacu pada landasan pemikiran ini, Arius menegaskan beberapa hal penting:
Di satu pihak, Logos, Sabda Allah itu ada dalam diri Bapa. Sabda Allah adalah
sifat Allah.
15
Di pihak lain, Logos itu tidak abadi seperti Allah Bapa sebab:
Logos tetaplah ciptaan, sebab pada suatu waktu, Logos itu tidak ada.
Sebagai ujian, Logos harus menjadi manusia dalam wujud yang radikal.
Dalam inkarnasi, Logos menggantikan jiwa manusia dalam kemanusiaan Yesus.
Baginya, Yesus, Sang Logos yang Menjelma:
Yesus Kristus itu “allah” sejauh “eksistensi” yang ada pada-Nya itu
dianugerahkan dan diciptakan.
Yesus Kristus tidak mempunyai substansi (hakikat) Bapa.
Logos adalah sebuah eksistensi yang diciptakan, makhluk tengah yang berada
di antara Allah dan kosmos (ciptaan).
Roh Kudus adalah ciptaan Logos – kualitas ilahi Roh Kudus lebih rendah
daripada Logos yang menjelma menjadi “daging”.
a. Kontroversi ini tidak hanya disebabkan oleh campur tangan negara, tetapi juga
akibat keanekaan pengertian dan penafsiran tentang istilah tertentu.
16
o Di satu pihak, ousia berarti hakikat, kodrat, substansi;
o Di pihak lain, ousia juga berarti pribadi atau hypostasis.
o Kata hypostasis berhubungan dengan kata Latin substansi:
mengindikasikan apa yang berada di bawah, yang mendukung, yang
menjadi asal-usul, kekuatan dan realitas: secara perlahan, substansi
diartikan sebagai pribadi yang bertanggung-jawab, dianggap
sinonim.
d) Di Barat, kedua kata ini masih lestari sebagai arti dari substansi dan kodrat.
e) Namun, di Timur, kata-kata ini sungguh-sungguh dibedakan.
o Hypostasis mengandung arti pribadi dan ousia lebih dekat dengan arti
substansi atau kodrat.
o Karena ambiguitas makna kata ini, maka ketika orang-orang Timur
berbicara tentang tiga hypostasis¸sesungguhnya yang dimaksudkan
adalah tiga divinitas yang terpisah.
o Namun, ketika orang Barat berbicara tentang substansi, maka orang-
orang Timur mengerti makna kata tersebut sebagai satu-satunya
hakikat dan tidak bersifat pribadi.
1. Dalam membela ajaran Konsili Nicea, Atanasius menekankan kesamaan hakikat antara
Bapa dan Putera.
17
2) Walaupun demikian, dia tidak bisa menjelaskan perbedaan antara Bapa dan Putera.
3) Dia tidak mempergunakan kata prosopon karena kata tersebut sudah salah
dipergunakan oleh kaum Modalisme (prosopon: topeng); sedangkan kata ousia dan
hypostasis masih belum terbedakan, tetapi diberikan makna yang sama, yaitu
hakikat.
c) Roh Kudus:
o Roh Kudus Allah berasal dari hakekat terdalam diri Allah dan
tersembunyi dalam diri-Nya (I Kor 2,10s;
o Roh itu adalah Allah sendiri, namun berbeda dari Bapa dan Putera.
o Hanya dalam Roh Kudus dikomunikasikan Bapa dan Putera.
o Asal Putera dari Bapa harus dibedakan dengan asal Roh Kudus sebab
Putera dan Roh Kudus bukanlah bagian ibarat sepasang saudara yang
paralel.
o Roh Kudus tidak berasal dari Bapa sebagaimana Putera datang dari Bapa.
o Putera dan Roh Kudus datang dari Bapa dengan cara yang spesifik,
namun tidak saling memperanakan dalam arti subordinasi.
o Putera dan Roh Kudus dengan cara yang sama berasal dan satu dengan
dengan esensi Allah.
o Hypostasi Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putera
18
Namun tidak seorang pun yang meragukan keilahian Roh
Kudus sebab berasal dan sekodrat dengan Allah Bapa dan
Allah Putera.
Bapa, Putera dan Roh Kudus satu dalam kodrat dan satu
dalam keilahian Trinitas.
1. Dalam tulisan para Bapa Capadocia yang bersifat anti-Arianisme tampak beberapa
penegasan penting mengenai Iman Trinitarian:
19
b. Gregorius Nazianze menyebutkan hypostasis dengan prosopon.
Untuk menghindari keterpisahan relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus
seperti yang diajarkan penganut modalisme, maka kata prosopon dipaparkan
originalitas maknanya sebagai <<masker seorang aktor>> sebab perbedaan
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus hanya berada dalam tataran keilahian
yang monopersonal.
c. Menurut para Bapa Capadocia, hakikat Ilahi yang tidak terbatas (secara absolut)
tidak bisa dipahami.
d. Namun, hakikat yang esa ini justru mengembangkan diri ke dalam ketigaan:
Bapa, Putera dan Roh Kudus.
e. Hakikat yang ada dalam ketigaan ini bisa dipahami sebagai berikut:
b) Ketiga pribadi Ilahi ini satu dalam hakikat yang terbatas dalam Bapa, yang
dari-Nya asal Putera dan Roh Kudus tanpa meninggalkan-Nya.
c) Hakikat Ilahi yang esa itu hidup dalam tiga hypostasis atau kenyataan.
g. Cara ini ditempuh untuk mempertahankan inti ajaran iman (apalogetika) tentang
Trinitas, yaitu:
a) “Kesatuan esensi Ilahi dan tiga hypostasis ilahi, namun tidak saling
bertentangan”.
b) Hypostasis tidak menyingkapkan (di dalam diri Allah) segala sesuatu yang
sungguh-sungguh paralel di antara ketiga pribadi Ilahi: Bapa, Putera dan
Roh Kudus adalah Allah yang Esa dan Tunggal serta membentuk kesatuan
dan ketunggalan Allah.
20
c) Di dalam doktrin Trinitasnya, Gregorius dari Nazianze menerjemahkan
hubungan antara gagasan hypostasis, gagasan “relasional” dan secara
mendalam mempengaruhi gagasan Agustinus.
21
Untuk menjelaskan kesatuan Allah dan perbedaan antara individu dalam
kesatuan Tritunggal, Agustinus mempergunakan kata ousia dan hypostasis.
Dia sangat menekankan kesatuan Allah sehingga dia menolak penjelasan para
Bapa Capadocia mengenai kesatuan hakikat yang dimiliki Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Allah itu satu hakikat, tiga diri. Untuk menyingkapkan hakikat Allah yang
Satu, Tiga Diri ini, Agustinus mempergunakan kata substansi sebagaimana
dipergunakan dalam Tradisi sebelumnya.
Dalam kerangkah filosofis ini, Agustinus menjelaskan hakikat Allah sebagai berikut:
7) Ditegaskannya bahwa:
22
e. Bapa, Putera dan Roh Kudus dibedakan dalam Deus Trinitas, yaitu dalam
relasi yang real antara “asal, dasar” dengan “yang diasalkan”.
f. Masing-masing pribadi Ilahi berada dalam kesatuan dan keutuhan relasi, satu
hakikat Ilahi.
g. Akan tetapi, relasi itu bukanlah aksidens (sesuatu yang bisa ada, tetapi tidak
seharusnya ada pada sesuatu. Misalnya, kebapaan seorang manusia).
h. Relasi dalam diri Allah bukanlah tambahan pada hakikat-Nya, tidak mengubah
hakikat-Nya, melainkan identik dengan hakikat-Nya sehingga relasi itu kekal,
tanpa awal dan akhir.
8) Dijelaskannya bahwa:
1. Dalam konteks ini, bisa dimengerti mengapa Agustinus tidak suka mempergunakan
kata “diri”, atau “pribadi” (Persona, Prosopon) untuk mengungkapkan kesatuan di
antara pribadi-pribadi Ilahi.
1) Dia lebih suka mempergunakan kata relatio sebab ketigaan itu berada dalam relasi.
2) Penggunaan kata relatio didasarkan pada pertimbangannya bahwa:
23
a. Allah itu “Sempurna”, “Baik”, “Mahakuasa”.
b. Sifat-sifat mutlak ini menyingkapkan kesatuan kodrat Allah dan hanya dapat
dikatakan mengenai Trinitas dalam kesatuan-Nya.
4) Akan tetapi, apabila berbicara tentang Bapa, Putera dan Roh Kudus, muatannya
tidaklah demikian:
a. Sebutan Bapa, Putera dan Roh Kudus adalah sebutan-sebutan yang bersifat
relatif:
a) “Sebab bukan setiap mereka merupakan Bapa, atau Putera terhadap diri-Nya
sendiri, melainkan yang satu terhadap yang lain.
b) Di dalam Allah segala sesuatu adalah satu “kecuali apa yang mengenai
masing-masing Pribadi dikatakan berhubungan dengan Yang Lain”.
a) Pernyaan Primer:
b) Pernyataan Sekunder:
24
o Menurut Agustinus, Roh Kudus memiliki keunikan: Sang Roh
merupakan pemberian timbal-balik antara Bapa dan Putera; ikatan
cinta kasih itu mempersatukan Bapa dan Putera.
5) Apabila dogma Trinitarian Agustinus tentang “Satu Allah, Tiga Diri” ini ditafsir,
terutama dalam lingkup pemahaman tentang Trinitas Imanen maka dapat ditemukan
alur pemikiran ini:
a. Sebutan Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak menyingkapkan perbedaan substantial,
kuantitatif dan kualitatif sebab perbedaan hakikat, jumlah dan mutu tidak
ditemukan dalam Ketiga Diri Ilahi.
b) Dari kekal hingga kekal, Allah bukan hanya Bapa semata, melainkan Allah
Tritunggal yang Maha Esa, Bapa, Putera dan Roh Kudus.
25
d) Agustinus sadar dan beriman bahwa di dalam diri-Nya, Allah itu tidak
terkatakan dengan bahasa manusia.
e) Dia berkeyakinan bahwa manusia wajib berbicara tentang Allah, walaupun
Dia tidak terkatakan.
26
o Dengan ilustrasi ini, sama sekali tidak dibayangkan mengenai
adanya tiga subyek dalam diri Allah.
o Agustinus tahu bahwa perumpamaan dalam wujud apa pun sama
sekali tidak sesuai dengan kenyataan dalam diri Allah.
o Dengan ilustrasi tersebut, dia hanya menegaskan bahwa pelbagai
daya yang berbeda dalam diri manusia ini merupakan daya dalam
jiwa manusia yang satu dan dalam perbedaan daya yang bersatu itu,
jiwa manusia dilukiskan sebagai gambar Allah Tritunggal sendiri.
1) Relasionalitas sudah ada di dalam personalitas atau pribadi itu sendiri, yaitu dalam
Paternitas, Keputeraan dan dalam Roh Kudus Allah.
2) Oleh karena itu, Allah itu Esa dan setiap pribadi Ilahi secara relasional dibedakan
antara yang satu dari yang lainnya.
3) Perbedaan antara tiga pribadi Ilahi menurut kategori Aristoteles, bukanlah
perbedaan aksidental, melainkan perbedaan relasi, yaitu relasi yang real, yang
membentuk hakikat itu sendiri.
4) Esensi kekal Allah mengandung arti bahwa dari kekal, Dia adalah Bapa dari Putera.
5) Perbedaan Paternitas, aktivitas penciptaan bukanlah bagian dari esensi Allah, sebab
ciptaan itu tidak penting.
6) Yang terpenting adalah diciptakan karena Cinta.
a. Sejak kekal Roh Kudus merupakan pemberian (Il dono, rahmat) timbal balik
dari Bapa kepada Putera dan di dalamnya Putera memberikannya kembali
dengan cinta yang total kepada Bapa-Nya.
b. Bapa dan Putera berbeda, namun di dalam Roh Kudus Bapa dan Putera
dipersatukan dari kekal sebagai kesatuan Cinta.
27
c. Roh Kudus adalah Rahmat, Cinta dan Pemersatu.
a. Roh Kudus merupakan Rahmat keselamatan dan sejarah keselamatan Allah dan
Allah menganugerahkannya.
b. Roh Kudus adalah cinta Allah bagi manusia dan di dalam manusia dan Allah,
dalam pewahyuan diri-Nya memberdayakan manusia dengan daya rahmat Ilahi-
Nya untuk memberikan tanggapan atas panggilan-Nya dalam iman, harapan dan
cinta serta memasukan kita ke dalam persekutuan cinta dengan-Nya.
c. Oleh karena itu, setiap pribadi manusia dan Gereja-Nya menjadi imaginasi,
tanda dan sakramen persekutuan dengan pribadi Ilahi dan dengan persatuan
Bapa, Putera dan Roh Kudus.
9) Bagi Agustinus, relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus tidak bisa direduksikan
ke dalam hakikat esse ed se, tetapi ke dalam esse ed aliud.
a. Bapa tidak bisa dibedakan dari Yang Ilahi, Yang Kudus dan Yang Hidup, tetapi
hanya dari Putera dan dari Roh Kudus.
b. Demikian juga Putera dan Roh Kudus tidak dibedakan dari Yang Ilahi, Yang
Kudus dan Yang Hidup, tetapi hanya dari Bapa.
1) Menurut Anselmus, sebelum segala zaman, Allah sudah berpikir dan berbicara
dalam diri-Nya sendiri.
2) Berpikir dan berbicara dalam diri Allah tidak berbeda dari hakikat-Nya, melainkan
identik dengan hakikat-Nya.
3) Apabila Allah berbicara, Dia tidak menyampaikan banyak informasi, tetapi hanya
menyampaikan satu Sabda dan melalui Sabda itu, substansi Ilahi-Nya yang paling
tinggi ini mengungkapkan diri-Nya.
4) Karena itu, Sabda yang satu itu dipandang sebagai Putera Tunggal dari substansi
tertinggi itu sendiri.
28
d. Seturut hakikat-Nya, Cinta itu sama dengan Bapa dan Putera. Cinta itu sama
dengan Allah, Cinta itu adalah Allah.
e. Dalam Wahyu, Cinta itu dinamakan Roh Kudus.
1) Allah bukanlah Realitas di seberang sana yang mustahil dijangkau oleh nalar
manusia.
2) Allah adalah Kebenaran Tertinggi.
a. Allah melingkupi cinta kita sebagai Kebenaran Tertinggi, dan harus ada di
dalam cinta-Nya sendiri.
b. Cinta hanya bisa dipikirkan dalam wujud dialogis.
c. Sebuah bangunan relasi antara Allah dan manusia dinyatakan tidak sempurna
dan tidak adekuat apabila tidak dilandaskan pada pemberian Cinta.
3) Allah adalah sumber kesatuan tertinggi bagi yang mencintai dan dicintai.
a. Hanya dalam relasi antara Aku dan Engkau, Cinta Ilahi diaktualisasikan secara
dialogis.
b. Cinta akan menggapai kepenuhannya hanya apabila relasi baru antara Aku dan
Engkau membuka relasi yang ketiga untuk memperlihatkan kekuatan cinta di
antara mereka.
c. Yang ketiga adalah kondisi yang mempersatukan antara yang mencintai dan
yang dicintai.
a) Dalam bahasa Trinitarian, yang ketiga adalah Roh Kudus.
b) Roh Kudus mempertemukan, mempersatukan dan menyempurnakan cinta
Bapa dan cinta Putera.
c) Roh Kudus berbeda dari Bapa dan Putera, namun sehakekat dengan Allah.
29
a) Bapa adalah Cinta yang memberikan diri;
b) Putera adalah Cinta yang menerima dan memberikan diri,
c) Roh Kudus adalah Cinta yang menerima dan mempersatukan cinta Bapa dan
Putera.
Bapa:
30
Putra
Roh Kudus
1. Kunci untuk memahami Allah dan hakikat-Nya adalah memahami Wahyu Allah itu
sendiri.
2. Dengan mengenal Wahyu Allah, maka: Manusia akan memperoleh pemahaman yang
benar tentang ciptaan.
a) Allah menciptakan segala sesuatu melalui Sabda, serta menolak kesalahan orang-
orang yang mengatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari dan demi
kodrat.
b) Dengan menerima bahwa cinta berasal dari Allah, maka nyata bahwa tidak ada
produksi penciptaan hanya dengan alasan ekstrinsik, melainkan semata-mata
untuk cinta dan kebaikan-Nya.
Bapa
Putra
Roh Kudus
Tatkala berbicara mengenai “asal” (keluar atau datang dari: Yoh 8,42) Putera dan Roh
Kudus, Thomas membedakan:
2) “asal” intra-Ilahi Putera dan Roh Kudus dari Bapa (processio operati).
o Putera dan Roh Kudus tidak datang dari Bapa dalam rupa yang miskin.
o Putera dan Roh Kudus berasal dari karya absolut Allah: Allah mewahyukan
Ilahian-Nya dalam diri Putera melalui Roh Kudus.
o Bapa tidak pernah Ilahi dalam diri-Nya apabila tidak mengaktualisasikan karya
esensial-Nya melalui Putera dan pengutusan Roh Kudus.
o Dasar pewahyuan hakikat-Nya tidak bisa dibedakan dari Bapa: hanya Bapa
sendiri yang bertindak sebagai Pewahyu. Dia adalah Sumber dan dasar semua
Pribadi Trinitas.
o Kekhususan asal Putera dilukiskan dalam Yohanes 1,18: “ada bersama Bapa, di
pangkuan Bapa”.
o Secara obyektif, penegasan ini identik dengan pernyataan bahwa Putera berasal
dari dan sehakekat dengan Bapa.
3) Asal Putra:
o Putera berasal (keluar, datang) dari dan sehakikat dengan Bapa.
o Putera tidaklah diciptakan atau memiliki substansi yang sama dengan substansi
ciptaan, sebab Putera tidak diciptakan.
o Putera adalah Sabda Bapa
o Asal Putera bisa dikatakan processo per modum intellectum (Sabda adalah
Daya Allah, Kata Allah).
o Bapa dikenal melalui Sabda-Nya dan melalui alam ciptaan.
o Sabda adalah Dia yang identik dengan substansi Ilahi, namun berbeda dalam
hubungannya antara aktivitas penyataannya dengan muatan pernyataan, relasi
yang menjadi dasar pribadi Ilahi.
4) “Asal”, “datang” Roh Kudus dari Allah (dan dari Putera) dalam wujud “napas”,
maka patut dikatakan bahwa:
32
Dalam aktualisasi spiritual kita akan menemukan hal pertama tentang ekspresi dalam
sabda batin.
Sabda batin merupakan sebuah ekspresi figuratif dari diri saya sendiri.
o Saya mengambil di dalam diri saya dualitas interior dari ekspresi dan apa yang
diekspresikan.
o Dalam waktu yang sama saya mengidentifikasikan diri saya dengan sabda batin
saya yang sesungguhnya diri saya sendiri, yaitu penegasan saya dan penegasan itu
merupakan sebuah peristiwa cinta.
o Tindakan spiritual manusiawi selalu terarah kepada pengenalan dan cinta.
o Kita bisa menyebutkannya posisi batin dari sabda batin tersebut dengan kata
“asal”, “datang”, “keluar”, yaitu sebuah produksi yang sepadan atau sehakikat.
o Di dalam Allah, kita bisa berbicara, selalu dalam bentuk analogi tentang Sabda dan
kekekalan Putera.
o Asal cinta, kita sebutkan dengan kata napas atau pernapasan.
o Napas disimbolisasikan dengan sebuah asimialsi batin tentang cinta dengan yang
mencintai dan kehendak untuk mengomunikasikan Sabda yang adalah diri-Nya
sendiri.
o Sabda Kekal Allah berasal dari Allah sendiri dan Dia adalah Allah itu sendiri.
o Sabda Kekal Allah-Putera Allah adalah Citra Allah yang Tersempurna dan
berbeda dari Bapa dan dalam perbedaan itu direalisasikan kepenuhan hakikat
Ilahi-Nya.
o Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putera atau Roh Kudus berasal dari
hubungan antara Bapa dan Putera.
o Berdasarkan profil Biblis dijelaskan bahwa Roh Kudus bukanlah nama pribadi.
o Pengertian Roh mengindikasikan baik hakikat Allah maupun pribadi ketiga Allah.
33
Pembentukan Pribadi dan Karya Relasional
1. Dari kodratnya, relasi merupakan hubungan antara satu hal dengan hal yang lainnya.
2. Kalau diaplikasikan skema ini ke dalam kehidupan intra-Ilahi akan ditemukan empat
relasi:
1) Relasi antara Bapa dan Putera dalam Paternitas (asal yang aktif).
2) Asal Putera dari Bapa dalam Keputeraan (asal yang pasif)
3) Relasi antara Bapa dengan Putera dan Roh Kudus dalam Napas (aktif)
4) Relasi Roh Kudus dengan Bapa dan Putera dalam Napas atau dalam pribadi Roh
Kudus (pasif).
34
3. Di antara empat bentuk relasi ini hanya tiga wujud relasi yang sungguh-sungguh real
antara Bapa, Putera dan Roh Kudus serta berbeda dan membentuk sesosok pribadi:
1) Asal (Paternitas),
2) yang diasalkan (Keputraan, Fogliolanza) dan
3) Roh, Napas (Roh),
4) Napas aktif menyatu dengan Paternitas dan Figliolanza dan di antara ketiga pribadi
Ilahi hanya berbeda dalam tataran konseptual, bukan dalam wujud yang real.
4. Antara esensi Ilahi dan relasi yang membentuk pribadi-pribadi Ilahi tidak ditemukan
adanya perbedaan real (melawan ajaran Gilberto Poitiers):
1) Bertautan dengan relasi timbal-balik, hanya satu dasar yang membentuk, pribadi-
pribadi Ilahi tidak berada dalam relasi juga dengan kodrat Ilahi.
2) Pribadi-pribadi Ilahi berasal dari Bapa, yang menjadi dasar, asal kodrat Ilahi dan
Bapa mengomunikasikan dalam model esensi-Nya kepada Putera dan Roh Kudus.
3) Hanya satu kodrat dan individualitas Allah tersingkap dalam relasi asali dan
membentuk pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.
4) Dalam lingkup ciptaan, sebuah substansi menyingkapkan ada bagi dirinya
sendiri...di dalam Allah, subyek aktivitas pewahyuan dan penerima identik dengan
tindakan komunikasi.
5) Di dalam Allah tidak ada relasi aksidental. Pembentukkan pribadi-pribadi Ilahi
identik dalam relasionalitas dengan Bapa yang menjadi dasar, asal bagi semua
pribadi Ilahi.
6) Pribadi-pribadi Ilahi berada dalam relasi yang hidup dan relasi yang hidup itu ada
dalam pribadi-pribadi Ilahi.
a) Paternitas,
b) Figliolanza,
c) Napas pasif dari Roh;
d) dari relasi Roh Kudus dengan Bapa dan Putera tidak keluar satu pun dari
pribadi Ilahi.
7) Dalam wawasan Doktrinal Thomas Aquino, relasi merupakan konsep kunci dalam
Doktrin Trinitas.
35
a) Hanya di dalam Allah, relasi membentuk landasan kesatuan pribadi Ilahi.
b) Oleh karena hanya Bapa, Putera dan Roh Kudus yang berada dalam kesatuan
relasi dengan yang lain dalam kesatuan relaitas personal Allah, maka bisa
dikonsepkan sebagai hypostasis dari pribadi Ilahi yang terpisah di antara
mereka.
a) Hakikat setiap pribadi Trinitas dikonsepkan sebagai sebuah relasi yang hidup
dan kesatuan hakikat itu ada dalam relasi pribadi di antara pribadi-pribadi
Trinitas.
b) Refleksi yang menakjubkan ditemukan dalam kenyataan bahwa konsep
pribadi (persona) tidak segera dipergunakan dalam wujud yang absolut dan
kemudian dibedakan dengan konsep relasi.
c) Di sini tidak dikatakan tiga pribadi, satu di hadapan yang lain, tetapi
dipikirkan membentuk kesatuan dan setiap pribadi berada dalam relasi yang
hidup.
d) Kehidupan dan relasionalitas merupakan dua momentum yang terjadi timbal-
balik sehingga membentuk hakikat atau esensi pribadi Ilahi.
e) Di antara hakikat Ilahi dan relasi personal yang hidup tidak menyetabilkan
perbedaan esensial di antara pribadi Ilahi.
f) Pribadi-pribadi Ilahi tidak saling bertentangan dalam kesatuan hakikat Ilahi.
g) Oleh karena itu, perbedaan esensi Ilahi dan tiga relasi personal hanyalah
perbedaan konseptual, bukan perbedaan real.
h) Kesatuan hakikat Allah berada dalam pertentangan dengan relasi yang hidup
dan Kitab Suci memebrikan kepada kita pengenalan dan menyembah Bapa,
Putera dan Roh Kudus.
2. Secara khusus, perhatian diarahkan kepada penggunaan analogi dan bukan pada kata
hypostasis, persona dalam dogma Trinitas, Kristologi dan Antropologi-Teologi.
1) Kata “kodrat” mengindikasikan “apa”, yaitu wujud partisipasi dari sebuah “ada”.
36
a. Dari kosep ini maka diabstraksikan konsep-konsep yang universal (pohon,
manusia, dll).
b. Kehidupan Allah diidentikkan dengan kodrat Ilahi-Nya, maka:
a. Realitas yang tidak bisa direduksilan dan tidak bisa diubah dari kesatuan dan
kesamaan hakikat yang ada dalam setiap hypostasis Ilahi.
b. Konsep persona secara esensial berubah dalam Filsafat Abad Pertengahan. Dari
sini muncul pelbagai pemisahan dan perbedaan dalam ajaran klasik tentang
Trinitas.
3) Apabila konsep yang sama dikenakan pada kepada Allah, disimpulkan bahwa:
1. Dari perbedaan relasional antara tiga pribadi Ilahi muncul keunikan masing-masing
pribadi. Di sini juga muncul perbedaannya:
a. Paternitas Bapa,
b. Keputeraan (Figliolanza) Sang Putera dan
c. Napas pasif Roh Kudus.
37
a. Bukan terletak pada: asal Bapa, asal Putera serta asal aktif Roh Kudus dari Bapa
dan Putera.
b. Keunikan-keunikan itu merupakan tanda yang berbeda dari pribadi-pribadi Ilahi.
c. Tindakan-tindakan itu aktif di mana pribadi-pribadi itu berbeda antara satu
dengan yang lain.
3) Oleh karena itu, pengenalan akan keunikan pribadi-pribadi itu nyata dalam karakter
masing-masing:
2. Semua karya Allah Trinitas yang terarah kepada kekekalan. Karya itu menyingkapkan:
1) Kesatuan hakikat pribadi Ilahi yang berada dalam korelasi pasti di antara keunikan
absolut dan karya Allah dalam ciptaan, penebusan dan pengudusan sebagaimana
nyata dalam nama-nama masing-masing pribadi Ilahi
2) (Allah sebagai Bapa Yesus Kristus, Putera sebagai Penebus dan Penyelamat, Roh
Kudus sebagai Tuhan dan Pembagi Anugera Kehidupan) dan tiga pribadi Ilahi.
Pericoresis Trinitas
1. Keberadaan setiap pribadi Ilahi dalam yang lain dan kesatuan yang tidak terpisahkan
dalam kodrat Ilahi dilukiskan oleh Yohanes Damaskus dalam Teologi Timur melalui
gagasan kesalingpenetrasian antara pribadi-pribadi Ilahi.
2. Teologi Barat berangkat dari pandangan Agustinus tentang kesatuan hakikat Ilahi dan
menggariskan kesamaan tiga pribadi Ilahi tatkala berhadapan dengan paham arianisme
dan subordinasionisme.
38
1) Bagi Teologi Barat bahaya untuk merumuskan Teologi Trinitas terletak pada
pemisahan yang terlalu tajam mengenai hakikat Allah Trininitas yang terdiri dari
tiga pribadi Ilahi.
2) Penerimaan teologi Barat terhadap teologi Yohanes Damaskus terpusat pada
kesatuan pribadi dengan hakikat Ilahi.
3. Satu hal penting yang patut diingat adalah catatan Fulgenzio di Ruspe tentang Bolla
Kesatuan yang dirumuskan dalam Konsili Firenze tahun 1442:
Tiga pribadi Ilahi adalah Allah yang Esa dan Tunggal, bukan tiga Allah
sebab hanya satu hakikat, satu esensi, satu kodrat satu dalam keilahian, satu
kekekalan bagi tiga pribadi tersebut. Untuk semua kesatuan ini, Bapa berada dalam
Putera dan Roh Kudus; Putera berada dalam Bapa dan Ro Kudus; Roh Kudus
berada dalam Bapa dan Putera...
Misi Ilahi
1. Konsep misi yang diangkat dari landasan Biblis (Rom 4,4; 5,5; Yoh 20,21) bertautan
erat dengan konsep tentang Trinitas Imanen dan Trinitas Ekonomia.
1) Misi Sang Putera dalam inkarnasi dan misi Roh Kudus dalam pencurahan cinta
Allah bukanlah tindakan Allah yang bersifat aksidental dan berbeda-beda antara
satu dengan yang lainnya, tetapi Allah yang satu dan sama dalam aktivitasnya dan
dalam pewahyuan diri-Nya di dunia.
2) Misi Sang Putera dan misi Roh Kudus merupakan “kelanjutan”, berasal dari misi
intra-Trinitas dalam ciptaan.
2. Siapa yang kukuh dalam iman dan dalam cinta akan Sang Putera Allah yang menjelma
dan membiarkan Roh Kudus berdiam di dalam dirinya dan melalui misi Ilahi, akan
39
berpatisipasi dalam rahmat dan dalam cinta akan kehidupan Ilahi yang diidentikkan
dengan asal intra-Ilahi dari pribadi-pribadi itu.
1. Berangkat dari gagasan Patriarkal Fozio Constantinopoli (867) dan dari skisma
definitif antara Gereja Timur dan Gereja Barat yang diverifikasi pada tahun 1054 di
bawah otorits Mikhael Cerulario, konsep Filioque dipertimbangkan sebagai sebuah
alasan/motif dogmatis untuk berpisah, sekurang-kurangnya dari perspektif Gereja
Ortodox-Yunani.
1) Dalam Gereja Barat, terutama di Spanyol, penegasan tentang asal Roh Kudus
diaplikasikan kesatuannya dengan kata Filioque.
40
a. Keyakinan bahwa Roh Kudus secara original berasal dari Bapa dan melalui
Putera seperti berasal dari satu dasar, menunjukkan bahwa Bapa, Putera dan
Roh Kudus berhakekat sama sebagaimana ditegaslan dalam Teologi Trinitas
Barat.
b. Senada dengan itu, Sinode Toledo mengatakan bahwa Roh Kudus berasal dari
Bapa melalui Putera.
c. Pada Abad VII dan VIII kesatuan itu diterjemahkan dalam teks tradisional
mengenai Simbol Nicea-Konstantinopel.
d. Dalam forma baru ini dituliskan Simbol yang dipegang-teguh di Perancis,
Inggris dan beberapa bagian Eropa Barat di bawah penguasaan Carlos Mangnus
dan akhirnya masik ke dalam liturgi Romawi.
4) Para Bapa Gereja Timur lebih suka menyebutkan bahwa Roh Kudus berasal dari
Bapa melalui Putera.
2. Dalam analisis terakhir, perbedaan itu tidak berdasar dan tidak memiliki motivasi
dogmatis, tetapi disebabkan oleh kenyataan bahwa:
a. Teologi Trinitas Timur harus mengambil posisi yang tetap tatkala harus
berhadapan dengan modalisme
41
b. Di dalam tradisi Timur, diskusi tentang kesatuan “asal” Roh Kudus dari Bapa
dan Putera dilukiskan seperti asal Roh Kudus secara langsung dari hakikat
Bapa.
c. Apabila perbedaan di antara pribadi Ilahi merupakan konsekuensi asal dari
Bapa, maka bagaimanakah kesatuan di antara pribadi Ilahi, kodrat dan tidak
bisa ada sebab “asal” Roh Kudus”.
a. Teologi Barat harus mengambil posisi yang benar tatkala harus berhadapan
dengan arianisme (Sinode Toledo).
d. Dalam Tradisi para Bapa Gereja Barat ditekankan kesamaan di antara pribadi-
pribadi Ilahi,
e. Keunikan dari masing-masing pribadi Ilahi tidak didasarkan pada “asal” intar-
Ilahi, tetapi berkenaan dengan relasi yang hidup di antara pribadi-pribadi Ilahi.
f. Keunikan pribadi Ilahi didefinisikan melalui perbedaan yang dimiliki masing-
masing pribadi Ilahi.
3) Latin
42
o Namun digariskan bahwa Roh Kudus harus berasal dari Putera
sebab tidak ada kemungkinan untuk membedakan relasi antara
Putera, Roh Kudus dan Bapa.
o Karena itu, Putera dianugerahkan untuk datang dan Roh Kudus
untuk napas, yaitu berasal dari cinta Bapa kepada Putera dan dari
cinta Putera kepada Bapa.
Bab V
43
Doktrin Trinitas
1. Allah Trinitas dalam Magisterium Gereja
1. Pergumulan kritis dalam merumuskan inti ajaran tentang Allah Trinitas hingga
dibakukannya menjadi Doktrin Resmi Gereja membutuhkan waktu lebih kurang 150
tahun.
1) Rentang waktu ini dihitung sejak Abad II (sejak Tertullianus) hingga Konsili
Konstantinopel.
2) Namun, momen terpenting dalam merumuskan dan menetapkan Doktrin Gereja
tentang Allah Trinitas termaktub di dalam:
2. Penetapan Doktrinal tentang Allah Trinitas dalam Konsili dan Doktrin Resmi Gereja
sebagaimana disebutkan di atas dipadatkan hanya ke dalam “Tujuh Rumusan
Kebenaran Trinitas”. Adapun ketujuh rumusan itu:
a. Dia adalah Allah Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, asal mula
tanpa asal mula, sumber dan awal mula dari kehidupan trinitaris.
b. Dia adalah Allah Bapa yang Ber-Sabda-Ber-Firman
c. Sabda-Firman hanya keluar dari-Nya
d. Sabda-Firman yang adalah Sabda Allah Bapa tidak tinggal dalam Sabda-
Firman, tetapi mem-Pribadi (Menjelma menjadi Manusia). Dia adalah Sabda
Allah Bapa, Putera Tunggal-Nya yang menjelma menjadi manusia
(diperanakkan).
e. Dia adalah Penghembus aktif Roh Kudus.
44
e. Dia menerima kodrat Ilahi, hakikat dan substansi dari Bapa melalui pemberian
diri Bapa, bukan karena paksaan atau lahir dari keputusan yang sewenang-
wenang.
f. Dia sehakikat dengan Bapa sebab Dia adalah Firman, Gambaran dan Sakramen
Bapa, baik dalam lingkungan internal Trinitas maupun dalam misi inkarnatoris-
Nya.
a. Dalam tata imanen, “ke-Bapa-an” tanpa asal adalah milik eksklusif Bapa;
b. “Diper-Anak-kan” adalah milik eksklusif Putera;
c. “Dihembuskan” oleh Bapa dan Putera adalah milik eksklusif Roh Kudus.
a. Sebagai kebenaran yang diwahyukan, inti iman akan Allah Trinitas tetap
menjadi sebuah misteri.
45
b. Akan tetapi, misteri iman ini selalu terbuka bagi manusia untuk merenungkan
dan memahaminya dengan iman dan ratio manusiawinya.
c. Potensi rohani (iman) dan rationalitas manusia diyakini mampu menjelaskan
inti misteri iman ini karena misteri iman ini merupakan sebuah misteri yang
mutlak dan disingkapkan dalam wujud “Pribadi Manusia”:
a) “Hadiah yang diberikan Bapa kepada manusia dalam Roh, kebebasan dan
cinta supaya manusia diilahikan oleh-Nya.
b) Misteri merupakan hakikat asali Trinitas sehingga misteri iman ini tetap
tinggal sebagai misteri hingga kekal bagi manusia.
Gereja menegaskan kesatuan Ilahi-Insani dalam diri Yesus Kristus dalam formulasi
iman ini:
Allah adalah Dia yang ber-Sabda. Ketika Allah ber-Sabda, Allah tidak
menyampaikan banyak informasi, tetapi hanya satu informasi, yaitu Cinta. Dalam Sabda-
Nya, Allah menyatakan hakekat-Nya, yaitu Cinta dan Dia sangat Mencintai Ciptaan-Nya.
Sabda Cinta Allah tidak tinggal dalam “Kata”. Sabda Cinta Allah yang
merupakan isi batin terdalam dari hidup Allah/diri Allah sendiri menerima “Daging
Manusiawi” supaya Cinta dan Daya Cinta-Nya dikenal, didekati dan dialami oleh
manusia, ciptaan-Nya.
Sabda Cinta Allah yang menerima daging manusiawi adalah Sabda Bapa, berasal
dari dan sehakikat dengan Bapa. Asal Sabda Cinta Allah adalah processo per modum
intellectum (Sabda adalah Daya Allah, Kata Allah). Bapa dikenal melalui Sabda-Nya dan
melalui alam ciptaan. Sabda Cinta Allah adalah Allah sendiri.
Sabda Allah menerima daging manusiawi dan tinggal di antara manusia. Sabda
Allah harus tunduk pada hukum yang berlaku untuk semua manusia, yaitu hukum
kelahiran serta segala sesuatu yang berlaku untuk manusia. Allah yang menerima daging
manusiawi tidak mengecualikan dirinya dari semua keterbatasan manusiawi. Ketika Allah
menerima daging manusiawi, Allah yang Mahakuasa masuk dalam keterbatasan
manusiawi dan harus mengalami semua keterbatasan manusiawi. Dalam keterbatasan
inilah, Allah menunjukkan kuasa-Nya yang tidak terbatas, agung dan kekal: Dia
mengatasi dan melampaui keterbatasan manusiawinya dalam kata dan tindakan-Nya yang
46
berpuncak pada kebangkitan-Nya dari alam maut. Kebangkitan-Nya menyatakan bahwa
keterbatasan daging manusiawi dan keterbatasan alam ini tidak berdaya mengurung ke-
Allah-an-Nya. Daging manusiawi dan maut yang menakutkan tunduk di bawah kekuasaan
Ilahi-Nya sebab segala yang ada berasal dari kuasa-Nya.
Contoh Kotbah:
Raya Allah Tritunggal
************************************
Allah adalah Terang, Jalan, Kebenaran dan Kehidupan
Yohanes 16,12-15
*****************************
STSP, 07 Juni 2020
****************************
Adalah kisah mengenai seorang Raja yang memiliki keinginan yang kuat untuk
melihat Allah. Dia melakukan banyak hal untuk memenuhi keinginannya:
Pada suatu saat, seorang pertapa datang untuk menjumpai sang Raja dan
mengajaknya keluar dari istana beberapa menit saja. Sesampainya di luar, pertapa itu
meminta kepada sang Raja untuk memandang lurus-lurus ke arah matahari tanpa sedikit
pun memejamkan matanya. Dengan geram sang Raja membentak si pertama: “Kau gila,
saya bisa buta!.
Namun, pertapa balik berkata, “Bagaimana tuan bisa memandang wajah Allah,
kalau melihat ciptaan-Nya saja, yaitu matahari, tuanku Raja tidak sanggup
melihatnya!
******************
Perkataan pertapa ini patut direnungkan:
o Apabila matahari, salah satu ciptaan Allah tidak bisa ditatap mata karena
terangnya yang sangat tajam, sangat panas dan sangat menyengat, bagaimana
mungkin kita mampu menatap Allah, Sang Pencipta matahari?
47
o Apabila matahari, ciptaan Allah, sedemikian terang sehingga tidak bisa ditatap
mata, apakah kita bisa membayangkan Terang Allah, Sang Penciptanya?
o Mungkinkah terang matahari, ciptaan Allah jauh lebih benderang cahayanya
dibandingkan dengan Pencipta-Nya?
Terang Allah, Sang Pencipta melampaui terang matahari. Allah adalah Sumber
Terang, Sumber Cahaya bagi matahari dan semua makhluk ciptaan-Nya di jagat ini.
Karena landasan inilah, maka Kitab Suci melukiskan dan mengidentikkan “Allah
dengan Terang”. Allah adalah Terang Abadi, Sang Matahari Sejati. Mata kita terlalu
lemah untuk memandang-Nya. Otak kita terlalu kecil untuk mengenal dan mencerna
keberadan-Nya.
Namun, Allah Sang Terang Abadi, Sang Matahari Sejati tidak membiarkan
Terang-Nya tidak bisa ditatap, tidak bisa dikenal akal manusiawi kita dan tidak bisa
didekati oleh kita, manusia ciptaan-Nya. karena besarnya cinta-Nya kepada dunia, Allah
menghendaki agar Terang diri-Nya bisa ditatap, bisa dikenal, bisa didekati, bisa
dimengerti dan diimani oleh manusia. Karena itu, Allah berinisiatif dan bertindak dengan
cara-Nya untuk mewujudkan keinginan dan kehendak-Nya ini.
Allah Bapa
Allah, Sang Sumber Terang, Sang Matahari Sejati harus “menerima” dan
“mengenakan daging manusiawi”. Allah harus berinkarnasi-menjelma menjadi
Daging/Manusia dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Dia adalah Terang Allah yang
hadir secara konkrit/kasat mata di bumi ini untuk menerangi hati dan kehidupan kita yang
penuh kegelapan akibat dosa. Karena dasar iman inilah, Yohanes bersaksi dalam prolog
Injil yang diwartakannya: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia [...]
Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap manusia, sedang datang ke dalam
dunia”.
Allah Putra
Terang Allah yang tidak bisa ditatap mata, kini sudah datang ke dalam dunia.
Terang Allah hadir secara nyata dan kasat mata dalam diri diri Putra-Nya Yesus Kristus.
Dia adalah Terang Diri Allah yang menerima daging manusiawi. Dia adalah Terang
Allah yang menjelma menjadi daging. Seluruh diri-Nya, hidup-Nya, kata dan tindakan-
Nya adalah Terang bagi kita. Dia hadir untuk menerangi kita yang hidup dalam
kegelapan dengan Terang Hidup-Nya sendiri agar kita dituntun ke “jalan kebenaran”
yang “memberikan kehidupan kekal” kepada kita. Karena itu, Yohanes kembali bersaksi,
“Terang itu bercahaya dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya”.
Terang Allah yang menerima dan menjadi daging manusiawi dalam diri Yesus
Kristus adalah Terang Diri Allah sendiri; Terang Diri Allah yang sesungguhnya.
Keyakinan iman ini menegaskan bahwa Yesus Kristus, Terang Allah yang menjelma dan
menerima daging manusiawi sungguh-sungguh Allah, sehakekat dengan Allah sebab Dia
ada bersama Allah sebelum segala sesuatu dijadikan. Dia adalah Logos, Sabda Kekal
Allah yang ada bersama Allah dan Dia adalah Allah. “Pada mulanya adalah Sabda; Sabda
itu bersama-sama dengan Allah dan Sabda itu adalah Allah”.
48
Terang Sabda Kekal yang ada bersama Allah adalah Terang Kebenaran dari Allah.
Terang Kebenaran Kekal itu nyata dalam setiap Sabda yang keluar dari mulut
Yesus Kristus. Kenyataan iman ini menegaskan kesehakekatan antara Diri Allah
sebagai “Sumber Terang” dengan “Terang Allah yang dinyatakan dalam Sabda-
Nya yang menjelma atau menerima daging manusiawi dalam diri Yesus Kristus”.
o Terang Sabda yang keluar dari mulut Yesus Kristus adalah Terang Sabda Allah
sendiri.
o Terang Sanda yang keluar dari mulut Yesus Kristus sehakekat dengan Diri Allah,
Sang Sumber Terang.
o Terang Sabda yang keluar dari mulut Yesus adalah Sabda Batin, Sabda Allah
sendiri dan tidak terpisahkan dari Diri Allah, Sang Terang.
o Seluruh Diri Allah dan Terang-Nya dinyatakan dan dikenal secara tuntas dalam
Terang Sabda yang menjelma.
o Karena itu, Yesus Kristus, Sang Terang Sabda Allah berkata tegas, “Akulah
Terang” [...] “Barang siapa melihat Aku, melihat Bapa”.
o Totalitas kemanusiaan kita yang terbentuk dari “Jiwa” (unsur yang tidak
kelihatan, kekal dan tidak bisa mati dari kemanusiaan kita; kemanusiaan kita yang
sesungguhnya), “Tubuh” (unsur yang kelihatan dari jiwa; jiwa menjadi jiwa yang
kelihatan dan hidup jika memiliki tubuh/anima forma corporis) dan “Roh”
(seluruh dinamika dalam jiwa yang bertubuh sehingga jiwa menjadi jiwa yang
49
hidup dalam tubuh hanya mungkin jika ada Nefesy Haya, Napas, Ruah dari Allah
sendiri) dikenal dari setiap “Sabda”/“Kata” yang keluar dari mulut kita.
o Sabda/kata yang keluar dari mulut kita adalah hakekat diri kita. Sabda/kata yang
keluar dari mulut kita menyatakan identitas, martabat diri kita dan menyatakan
siapakah kita yang sesungguhnya. Kemanusiaan kita dikenal dari setiap
Sabda/kata yang keluar dari mulut kita.
o Dalam setiap Sabda/kata yang keluar dari mulut kita dinyatakan pneuma, spirit,
pikiran dan kehendak batin kita. Roh, Pneuma bekerja pada tataran
Kehendak/Voluntas. Apabila kita membiarkan hati kita digerakan oleh Roh Allah,
maka kehendak dan pikiran dipenuhi dengan Roh Allah sehingga kita
diberdayakan untuk melakukan sesuatu sesuai yang dengan Kehendak Allah.
50
Indikasi Persekutuan Allah Trinitas
dalam Peristiwa Pewahyuan
1. Dogma tentang Persekutuan Allah Trinitas bukanlah hasil spekulasi filosofis atau
teologis para intelektual Gereja.
1. Doktrin Allah Trinitas merupakan permenungan sistematis kaum kristiani atas kodrat
Allah yang mewahyukan diri dalam diri Sang Putera Tunggal, Yesus Kristus yang
menjelma menjadi manusia dalam kekuatan Roh Kudus.
51
b. Roh Kudus turun dan menaungi Yesus tatkala dibaptis di sungai Yordan,
mewahyukan Abba-Bapa dan misteri Allah Putra kepada dunia dalam misteri
salib, menyingkapkan realitas Ilahi Yesus melalui kebangkitan serta
mengobarkan semangat para Rasul untuk bersaksi tentang Kristus yang bangkit
sebagai Allah, Penyelamat dunia.
1. Yesus Kristus adalah Sabda Kekal Allah, Putera Allah yang menjelma
2. Kodrat-Nya sebagai Sabda Allah dinyatakan di dalam “tindakan dan keterlibatan-Nya”
di dalam sejarah dan realitas kehidupan manusia.
52
Karena Bapa dan Putera satu adanya, saling meresapi dan memiliki, maka misi
fundamental yang diemban Sang Putera di dunia adalah mewahyukan dan mewartakan
Abba, sebagai Bapa yang penuh kasih dan kebaikan-Nya tidak berhingga. Allah Bapa
dalam diri Yesus adalah Allah yang berinisiatif mendatangi, mencari dan mendekati
putera-putri-Nya yang tersesat dan menderita karena menjauhkan diri dari rangkulan
kasih-Nya demi keselamatan mereka. Sosok Allah dalam diri Yesus, Sang Putera ini
dinyatakan-Nya sendiri dalam aneka perumpamaan.
Keintiman relasi antara Bapa dan Putera bukanlah buah permenungan dogmatis
Gereja, melainkan realita yang hidup-konkrit dalam persekutuan antara Bapa dan Putera.
Realita ini dinyatakan dalam kehidupan dan karya Yesus, Sang Putera yang menjelma di
tengah dunia:
Pertama, Yesus mendasarkan dan mengarahkan seluruh kehidupan dan karya-Nya
kepada Allah, Bapa-Nya sembari memperlihatkan jarak di antara mereka;
Kedua, Yesus bertindak dalam nama Allah, Bapa-Nya dan menempatkan diri-Nya
sebagai utusan untuk mewujudkan dan menegakkan Kerajaan Allah, Bapa-Nya di dunia;
Ketiga, Yesus serentak menegaskan bahwa Kerajaan Allah, Bapa-Nya nyata dan
terpenuhi di dalam diri-Nya. Dia adalah isi dan inti Kerajaan Allah itu sendiri. Karena itu,
Dia menegaskan keberadaan-Nya sebagai “Putera” sebab seluruh diri, kehidupan dan
karya-Nya meresap dan diresapi, memiliki dan dimiliki oleh Allah, Bapa-Nya. Bapa dan
Putera satu adanya.
“Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku” (Mat 11:27). Mengacu pada
makna hakiki yang terkandung di dalamnya, pernyataan “semua” mengandung arti:
Pertama, Putera menerima misi pengutusan dari Allah, Bapa-Nya menegakkan
Kerajaan-Nya di dunia;
Kedua, Yesus menerima, meresapi dan memiliki seluruh kodrat Allah, Bapa-Nya
sehingga di dalam seluruh kehidupan dan karya-Nya, kodrat Allah, Bapa-Nya yang
tersembunyi dinyatakan dan dimuliakan;
Ketiga, Yesus menunjukkan kepada dunia bahwa keberadaan-Nya sebagai Putera
hanya mungkin karena seluruh diri dan kehidupan-Nya satu adanya dengan Allah, Bapa-
Nya.
Ketiga fakta ini dengan tegas dan gamlang memperlihatkan bahwa Putera
sehakikat dengan Allah, Bapa-Nya dalam keilahian. Inilah bukti nyata dan akurat
mengenai kesatuan-persekutuan antara Bapa dan Putera. Namun, di dalam persektuan itu,
Bapa dan Putera tetap menjadi diri-Nya sendiri, tetapi sebagai Pribadi yang lain. Bapa
adalah Bapa dan Putera adalah Putera karena diresapi oleh seluruh kodrat Bapa-Nya.
Bapa dan Putera terbuka satu terhadap yang lain dalam persekutuan Ilahi.
53
Roh Kudus adalah Roh yang berasal dari Bapa dan Putera. Roh Kudus tinggal di
antara manusia untuk menyingkapkan misteri perikhoresis cinta Trinitas kepada manusia,
menuntun manusia untuk memahami kodrat diri Yesus sebagai Putra Allah dan
memberdayakan manusia untuk menyapa Allah sebagai Abba, Bapa terkasih.
Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri. Isi dan inti iman ini berakar tradisi biblis
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sendiri. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, “Roh
Kudus” adalah nama lain dari “Yahwe”, yaitu Allah yang memimpin, menuntun,
membebaskan Israel dari perbudakan Mesir. Kekuatan Allah nyata dalam Roh-Nya. Roh
Kudus, daya Ilahi Allah juga berperan efektif dalam mewahyukan misterisitas diri Allah
kepada manusia. Kodrat dan efektifitas daya Roh Kudus ini menegaskan bahwa
sesungguhnya Roh Kudus adalah Roh Allah sendiri: Dengan kekuatan Roh-Nya, Allah
bertindak di dalam sejarah manusia, terutama membuka, menuntun dan memperbaharui
jalan bagi manusia dan seluruh ciptaan menuju persatuan dengan Allah sendiri.
Di dalam Kitab Perjanjian Baru ditegaskan bahwa seluruh derap hidup Yesus,
sejak awal penjelmaan hingga kebangkitan-Nya dari alam maut digerakkan oleh Roh
Kudus. Roh Kudus menjadi Aktor Utama dalam peristiwa perkandungan Yesus di dalam
rahim Maria, Ibu-Nya. Roh Kudus turun ke atas-Nya, menauingi-Nya dalam wujud
burung merpati tatkala dibaptis di sungai Yordan dan memakhlumkan kodrat-Nya sebagai
Putera Terkasih Allah. Dalam kekuatan Roh Kudus, Dia menghadapi dan mengalahkan
semua godaan Iblis; beranjak menuju Galilea (Luk 4:14) untuk mengawali karya-Nya di
hadapan umum; mengusir roh jahat dan menghapus dosa manusia. Dalam kekuatan Roh
Kudus (Kis 2:23), Dia dibangkitkan dari belenggu maut yang mematikan. Akhirnya, Dia
yang Bangkit Jaya dalam Paskah Raya berkat kekuatan Roh Kudus menjadi Sumber dan
Pemberi rahmat keselamatan da kehidupan kepada umat-Nya dan menyertai mereka
dengan kekuatan Roh-Nya itu hingga akhir zaman.
Roh Kudus mendasari semua pergerakan Yesus dalam mewahyukan Allah, Bapa
kepada manusia serta merealisasikan karya keselamatan Allah dalam diri-Nya bagi semua
bangsa manusia. Roh Kudus adalah daya Ilahi Allah yang menggerakan dan menuntun
manusia yang dibaptis kepada Allah dalam diri-Nya serta memberdayakan mereka untuk
membentuk dan hidup dalam persekutuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yaitu Gereja (1Kor
12:13). Di dalam dan berkat kekuatan Roh Kudus, misterisitas kodrat diri Yesus sebagai
Putera Allah, Sang Penyelamat Tunggal dan Universal manusia tidak hanya menjadi
kenyataan klasik semata (peristiwa yang terjadi di masa lampau), tetapi justru menjadi
pengalaman keselamatan yang efektif dan aktual di sepanjang zaman.
Roh Kudus yang mendasari semua pergerakan hidup Yesus adalah Roh yang
berasal dari Bapa (Yoh 15:26). Roh Kudus dianugerahkan Bapa kepada-Nya atas
permintaan-Nya sendiri (Yoh 14; dan dalam kepenuhan dan kekuatan Roh Kudus Allah
sendiri, Dia menganugerahkan serta memberdayakan semua manusia untuk bersekutu
dalam kekuatan cinta Allah dan bergerak menuju Allah di dalam dan melalui diri-Nya
(Yoh 15:26; 16:7).
54
dipenuhi dengan Roh Kudus (Luk 1:35). Setelah dimuliakan oleh Bapa-Nya dalam
peristiwa kebangkitan, Yesus menjadi Pemberi Roh kepada jemaat-Nya (Kis 2:33). Dia
melebihi seorang “pneumatik” atau “kharismatik” sebab totalitas diri dan kehidupan-Nya
berada dalam tuntunan Roh Kudus. Dia tidak berada di titik subordinatif dari Roh Kudus
sebab keberadaan Roh Kudus tidak terpisahkan dari peristiwa Yesus Kristus (Kis 1:8).
Walaupun demikian, Dia yang Bangkit mulia tidak bisa disamakan dengan Roh Kudus
sebab Dia adalah Pencurah Roh Kudus yang diterima-Nya dari Bapa (Kis 2:33).
Walaupun Roh Kudus sungguh-sungguh memenuhi kehidupan Yesus sejak
peristiwa inkarnasi hingga seluruh detak hidup dan karya-Nya di dunia ini, namun
baginya kehadiran dan peranan Roh Kudus justru lebih menyata dalam peristiwa
kebangkitan-Nya dari alam maut. Di dalam peristiwa kebangkitan ini, Yesus jasmani-
manusiawi ditransfigurasikan secara total oleh kekuatan Roh Kudus. Berkat kekuatan Roh
Kudus, tubuh jasmani-manusiawi-Nya diubah menjadi Tubuh Roh, yaitu Tubuh Baru
yang dimuliakan berkat daya Hidup Ilahi (1Kor 15:45).
55
Kedua akar kata ini membentuk kata perichoreuo yang berarti “tarian melingkar atau
menari berkeliling” (dance around); kedua, kata kerja perichoreo: mengelilingi,
melingkari, melingkungi (encircle) atau meliputi, mencakup (encompass).
Dalam lingkup teologis, kata perikhoresis untuk pertama kalinya dipergunakan
pada abad IV oleh Gregorius dari Nyssa. Bagi Gregorius dari Nyssa, kata ini sangat tepat
untuk menjelaskan relasi persekutuan (kesatuan) di antara Tiga Pribadi Ilahi yang
dinyatakan dalam peristiwa penjelmaan Allah Putera menjadi manusia. Baginya,
perikhoresis cinta trinitarian menegaskan kodrat diri Yesus Kristus sebagai Allah dan
manusia. Kodrat diri Yesus ini menunjukkan bahwa Yesus satu adanya dengan Allah,
Bapa-Nya: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30), “Bapa di dalam Aku dan Aku di
dalam Bapa” (Yoh 10:38; 14:11), dan “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti
Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh 17:21).
Dalam perkembangannya, tepatnya pada abad VI, Pseudo-Cyril menghubungkan
konsep perikhoresis dengan isi dan dan inti iman tentang Allah Trinitas. Pada
pertengahan abad VII, Yohanes dari Damaskus menjadikan perikhoresis sebagai term
teknis untuk menjelaskan doktrin mengenai Trinitas. Untuk itu, konsep perikhoresis
diterjemahkan ke dalam dua term Latin, yaitu:
Pertama, circuminsessio (circum-in-sedere): “duduk mengelilingi”. Kata ini
merupakan sebuah bentuk penafsiran pasif terhadap relasi Trinitarian: Misteri Trinitas
dipahami sebagai satu Pribadi berada dalam diri yang lain dan dikelilingi dari segala sisi
(circum) oleh yang lain. Setiap Pribadi menempati ruang yang sama dan saling mengisi
dengan kehadiran-Nya.
Kedua, circumincessio (circum-incedere): “menembus ke dalam atau menerobos”.
Makna hakiki yang terkandung dalam kata ini menyingkapkan relasi aktif, saling
meresapi dan saling menganyam antara Pribadi yang satu dengan Pribadi yang lain atau
dalam Pribadi yang lain.
Di dalam Konsili Florence, (1438-1445) konsep tentang perikhoresis atau
circumincessio ditegaskan kembali untuk menjelaskan kesatuan kodrat, substansi atau
hakikat dari yang sama pada setiap Pribadi dari Allah Trinitas. Setiap Pribadi Ilahi
memiliki kodrat yang sama, saling berada dan menemukan diri, saling meresapi dan
diresapi oleh Pribadi yang lain. Persekutuan di antara Pribadi-pribadi Ilahi ini disebut
perikhoresis.
Sesungguhnya, makna hakiki yang terkandung dalam kata perikhoresis (Yunani)
serentak mengungkapkan dan meneguhkan arti dari sebuah “persekutuan” dan
“koinonia”. Di dalam persekutuan dan koinonia terkandung relasi timbal-balik di antara
Pribadi-pribadi Ilahi; masing-masing Pribadi Ilahi saling berada, saling menemukan diri
dan saling meresapi.
Dalam lingkup teologis, konsep perikhoresis memiliki dua kandungan makna
hakiki:
Pertama, melukiskan “relasi antara Allah dengan materi”. Allah hadir dalam
keseluruhan materi ciptaan. Allah berada dalam dunia dan meresapi dunia dengan
kehadiran, tindakan dan penyelenggaraan Ilahi-Nya. Walaupun demikian, antara Allah
dan materi tidak terjalin relasi timbal-balik sebab materi tidak memiliki potensi untuk
menanggapi Allah dan berada di dalam Allah. Perikhoresis ini dalam tataran ini dinilai
tidak sempurna.
56
Kedua, melukiskan relasi di antara dua kodrat dalam diri Yesus Kristus.
Perikhoresis ini dinilai sempurna untuk menyingkapkan kodrat diri Yesus Kristus yang
serentak Ilahi dan manusiawi. Kesatuan kodrat Ilahi dan manusiawi dalam diri Yesus ini
sedemikian unik dan mendalam, saling meresapi, tanpa peleburan dan percampuran sebab
kedua kodrat dalam diri Yesus saling menerima: kodrat Ilahi menerima kodrat manusiawi.
Baik kodrat Ilahi maupun kodrat manusiawi berada dalam hipostasis Ilahi sehingga
membentuk perikhoresis yang sejati (communicatio idiomatum).
2.4.3.1. Hubungan yang Senantiasa Triadis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus
Sesungguhnya muatan hakiki yang terkandung dalam kata perikhoresis juga
menegaskan bahwa setiap Pribadi Ilahi “tidak berawal (“tanpa permulaan”). Ketiga
Pribadi Ilahi menyatakan diri secara serentak serta menjadi “Sumber” atau “Asal” bagi
Pribadi yang lain. Kandungan makna kata perikhoresis ini justru menghindari bahaya
untuk merumuskan dan memahami Allah Trinitaris dalam wujud hierarki,
subordinasianis, teogonisme dan modalisme.
Perikhoresis cinta Allah Trinitas ini bersifat abadi. Ketiga Pribadi Ilahi berada
sebelum segala abad. “Adanya” Pribadi yang satu tidak mendahului Pribadi yang lain.
Pribadi yang satu menjadi syarat bagi pewahyuan Pribadi yang lain dalam sebuah
dinamika yang tidak berakhir ibarat cermin memantulkan tanpa akhir tatkala
57
memancarkan gambaran Ketiga Pribadi Ilahi tersebut. Konsep ini justru memiliki daya
untuk menangkal bahaya triteisme.
Di dalam perikhoresis cinta Allah Trinitas, Ketiga Pribadi Ilahi berada secara
serentak dan kekal. Bapa, Putera dan Roh Kudus serentak berada bersama dan asali.
Keyakinan iman akan kodrat perikhoresis cinta Allah Trinitas ini ditegaskan dalam
Konsili Toledo XI (675): “Kami percaya kepada Putera, yang dilahirkan sejak keabadian
tanpa asal mula dari hakikat Bapa…”. Keyakinan iman ini juga diperuntukkan bagi Roh
Kudus. Dalam rumusan yang khas dan tegas, Konsili Lateran IV (1215) mengungkapkan
bahwa Allah Trinitas itu “tanpa awal, selalu dan tanpa akhir, sehakikat, sama sempurna,
sama mahakuasa, sama kekal”. Mengacu pada penegasan kedua konsili ini, maka
disimpulkan bahwa “segala sesuatu yang berada di dalam Allah selalu dan selamanya
bersifat triadis, segala sesuatu adalah Bapa (Patreque), Putera (Filioque), Roh Kudus
(Spirituque)”.
Dalam Perikhoresis cinta Allah Trinitas, setiap Pribadi Ilahi menerima segala
sesuatu dari yang lain dan saling memberi satu kepada yang lain. Oleh karena Ketiga
Pribadi Ilahi adalah Tiga tetapi Satu, maka tiada relasi yang berkutub ganda dan saling
berlawanan. Relasi yang terjalin di antara Ketiga Pribadi Ilahi adalah relasi triadis dalam
persekutuan dan komunikasi. Karena Ketiga Pribadi Ilahi itu bereksistensi dalam
Ketigaan hingga kekal, maka Ketiganya saling mengikat dan menyatu dalam persekutuan
tertinggi hingga keabadaian, yaitu selalu berada dalam kesatuan Allah yang satu dan
sama. Di dalam dinamika di antara Ketiga Pribadi Ilahi terciptalah (tertuang keluar dari
Ketiga Pribadi) benda dan makhluk duniawi (kosmos dan manusia). Makhluk-makhluk
inilah yang menjadi wadah-lautan komunikatif dari cinta dan kehidupan trinitaris yang
tidak bertepi.
58
seluruh ciptaan-Nya diangkat dan diintegrasikan ke dalam persekutuan dengan Tiga
Pribadi Ilahi itu sendiri.
59
Dalam lingkup pergerakan Teologi Pembebasan ditegaskannya bahwa perjuangan
umat beriman untuk mendapatkan hak atas kehidupan dan kebebasan manusiawi mereka
akibat struktur yang tidak adil dan menindas akan bermakna, bernyawa dan penuh daya
apabila perjuangan itu dialami sebagai wujud nyata dari perjuangan Bapa, Putera dan Roh
Kudus demi kebahagiaan, keselamatan, kemuliaan dan kehidupan kekal manusia ciptaan-
Nya. Kesadaran ini dilandaskan pada keyakinan iman bahwa manusia selalu hidup dalam
kebersamaan serta ambil bagian, baik dalam persekutuan dengan sesama maupun dalam
perikhoresis trinitaris.
Iman akan perikhoresis cinta Allah Trinitas sama sekali tidak menginginkan
manusia ditindas oleh ketidakadilan, tetapi justru memotivasi setiap pribadi untuk
memperjuangkan kesederajadan dan kesemartabatan mereka serta ditantang untuk
mengubah diri demi membangun sebuah kehidupan yang lebih berciri trinitaris. Iman
akan Allah Trinitas sungguh-sungguh menjadi Kabar Gembira bagi kaum beriman apabila
memperlihatkan keterlibatan Bapa dalam diri Putera dan Roh Kudus dalam kehidupan
dan perjungan kaum tertindas dan siapa pun saja berada di pinggiran untuk mendapatkan
hak dan kehidupan yang layak.
60
Dasar iman kristiani untuk mengumandangkan doa pujian-kemuliaan kepada Allah
lahir dari inti permenungan tentang misteri Trinitas, baik Trinitas ekonomia maupun
Trinitas imanensa serta daya penebusan dan penyelamatan Allah dalam sejarah
keselamatan manusia. Landasan iman akan Allah Trinitas ini berakar dalam Kitab
Perjanjian Baru sendiri. Di dalamnya dinyatakan bahwa Allah mewahyukan diri-Nya
kepada manusia dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus dalam dan berkat kekuatan Roh
Kudus. Puncak persekutuan Bapa, Putera dan Roh Kudus terwujud secara definitif dan
otentik dalam diri Yesus Kristus, Sang Putera yang menjelma menjadi manusia.
Perjanjian Baru juga memperlihatkan dan membuktikan bahwa sebagai puncak
pewahyuan diri Allah, Yesus Kristus bukanlah Pribadi Ilahi yang otonom-berdiri sendiri,
melainkan selalu berada dalam relasi dengan Bapa dan Roh Kudus. Dalam relasi
persekutuan inilah karya keselamatan Allah terwujud dalam sejarah kehidupan manusia.
Kesaksian Perjanjian Baru ini membuktikan bahwa sedari awal, kodrat Allah in se adalah
Bapa, Putera dan Roh Kudus. Namun, keberadaan Putera dan Roh Kudus baru dinyatakan
secara definitif melalui penjelmaan Putera Kekal Allah menjadi manusia dalam diri Yesus
Kristus. Ketiga Pribadi Ilahi, Bapa, Putera dan Roh Kudus membentuk persekutuan yang
unik, yaitu Allah Tritunggal yang Esa, yang ada sejak kekal dan berinisiatif memasuki
sejarah manusia untuk membebaskan dan menarik manusia untuk masuk ke dalam
persekutuan kekal bersama Allah Trinitas sendiri.
Keagungan relasi persekutuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus menjadi alasan
fundamental bagi kaum kristiani untuk bergembira dan berekstase tentang-Nya dalam
Roh. Allah pantas dimuliakan, sebab keagungan dan kemuliaan masing-masing Pribadi
Ilahi dan relasi persekutuan di antara ke-Tiga-nya itu sungguh mengagumkan sehingga
kaum kristiani hanya bisa berseru dan bernyanyi untuk memuji, menyembah dan
bersyukur kepada-Nya. Keagungan dan kemuliaan Allah Trinitas akan senantiasa
dimadahkan karena kaum kristiani berkeyakinan bahwa ke-Tiga Pribadi Ilahi berjuang
untuk membebaskan dan memasukan mereka ke dalam persekutuan trinitaris itu serta
ambil bagian atau terlibat di dalamnya. Pelibatan kaum kristiani dan siapa pun yang
beriman kepada Allah Trinitas bukanlah janji hampa untuk masa depan, sebab wujud
kwtweliatan itu sudah terealisasir dalam kehidupan saat ini dan kini, terutama tatkala
pribadi-pribadi bersekutu dalam kekuatan iman dan cinta kepada-Nya. Kehadiran Allah
Trinitas akan senantiasa dinyatakan apabila relasi persekutuan di antara Allah dengan
manusia dan manusia dengan manusia dibangun di bumi fana ini dalam kekuatan cinta-
Nya.
61
Tuhan Yang Esa di Surga: “Karena hanya ada satu Tuhan di Surga, demikian juga harus
dan hanya ada satu tuan di bumi, yakni Sri Kaisar atau Sang Raja”. Kemutlakan
kekuasaan seorang Raja dunaiwi merupakan cerminan dari kemutlakan kekuasaan Allah
sendiri. Konsekuensi terburuk dari monotheisme yang kaku ini adalah: Penguasa akan
memanfaatkan kekuasaannya untuk menindas dan memperbudak; undang-undang
diciptakan hanya berdasarkan pada kehendak dan keinginan sang penguasa, bukan
didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Ideologi yang sudah merasuk dan meracuni
benak leluhur dan penerusnya ini justru menimbulkan kesulitan yang tidak tertandingi,
bahkan mematikan bagi manusia yang miskin, lemah dan tidak berdaya.
Demokrasi yang digagaskan Plato, Aristoteles dan pemikir lainnya tidak bisa
dijadikan struktur sosial yang definitif, tetapi sebagai prinsip inspiratif untuk
mengembangkan model kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Demokrasi yang
sungguh-sungguh memperjuangkan dan mengutamakan persamaan, partisipasi dan
keakraban yang berlandaskan pada nilai-nilai transendental hanya mungkin tercipta
apabila kaum kristiani sungguh-sungguh memahami dan menghayati inti iman mereka
akan Allah Trinitas sebab di dalam perikhoresis cinta Allah Trinitas, masing-masing
Pribadi Ilahi, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus saling meresap dan terbuka, saling
melengkapi dan saling mengisi.
Paham monoteisme non-trinitaris juga diperjuangkan dan dipertahankan oleh
masyarakat yang patriarkat dan paternalisme. Bagi mereka, Allah Yang Esa adalah
Patriarkat Besar, Bapa Tertinggi dan Penguasa yang Mutlak. Mereka mengenakan kepada
Allah sifat-sifat yang dimiliki oleh para penguasa absolut budaya duniawi-manusiawi,
baik dalam lingkup keluarga (kuasa sang ayah) maupun dalam lingkup masyarakat (kuasa
sri kaisar atau sang pangeran). Secara ideologis-teologis, kekuatan dan kekuasan sosio-
historis yang dimiliki oleh para bapak atau macho atau maskulin dibenarkan berkat
keyakinan akan Allah yang Tunggal. Allah hanya dilihat sebagai Bapak sehingga cinta
dan kelembutan-Nya tidak dinyatakan. Keyakinan ini justru menjadi persoalan
fundamental bagi feminisme.
Dalam lingkup gerejawi, keyakinan iman akan Allah yang Tunggal dan Esa, tetapi
mengabaikan ke-Tritunggal-an-Nya menyebabkan kesatuan dan keutuhan Gereja tidak
fleksibel: “Sebagaimana hanya ada satu Kepala yang Tunggal di Surga, yaitu Tuhan
Allah, demikian juga di bumi hanya dan harus ada satu kepala tunggal”. Paham ini
dicetuskan oleh Ignasius dari Antiokhia: “Jika hanya satu Allah yang Tunggal, demikian
juga hanya ada satu uskup yang tunggal dan satu jemaat lokal yang tunggal”. Paham ini
berdampak buruk bagi kaum religius karena kesatuan yang ditegaskan dalam paham ini
justru ditempatkan dalam kerangka monarkis-monoteistis.
Pemahaman tentang kesatuan Allah yang berbauh monarkis-monoteistis ini sama
sekali tidak membangun persekutuan jemaat beriman sebagai saudara-saudari yang hidup
bersama, saling berbagi dan memberikan diri dalam kelembutan kasih dan juga tidak
menghidupi hakekat Gereja yang satu dan melayani. Distorsi sosial-politik dan
keagamaan akibat paham ini hanya bisa dikoreksi dan diluruskan secara radikal apabila
manusia berpaling kepada Allah kristiani yang diimani sebagai Allah Tritunggal Kudus.
62
Bab V
Trinitas
dalam
Perspektif Teologi Masa Kini
1. Trinitarianisme Monopersona
Menurut Karl Bart, Allah Tritunggal bukanlah Allah yang terdiri dari Tiga Pribadi
(Tiga Kepribadian, Tiga Subyek). Allah Tritunggal itu “hanya terdiri dari Satu Aku,
Satu Sabda, Satu Kehendak, Satu Wajah dan Satu Karya. Allah Tritunggal adalah
Satu Tuhan.
Cara berada Allah yang berangkap tiga bertautan erat dengan pewahyuan diri-Nya
yang Trinitaris:
Allah sendiri adalah Pewahyu, Diwahyukan dan Keterwahyuan (Allah Bapa adalah
Sumber Pewahyuan-Nya yang Personal; hasil subyektif dan obyektif dari
pewahyuan;
Allah menghadirkan diri-Nya kepada makhluk insani sebagai Yesus Kristus;
63
Allah memberdayakan kaum beriman untuk menerima kehadiran-Nya dalam hati
mereka sebagai Roh Kudus.
1.2. Karl Rahner: Kesatuan antara Trinitas Ekonomia dan Trinitas Immanenza
Pemberian diri Allah terungkap dalam dua cara dasariah berdasarkan eksistensi
personal rohani, yaitu Cinta dan Kebenaran. Dua cara hakiki pemberian diri ini terjadi
dalam diri Allah sendiri dan keluar dari diri-Nya dalam karya pengutusan.
Allah serentak Satu dan Sama: Bapa adalah Allah tanpa asal dalam diri-Nya; Allah
menyingkapkan diri-Nya sendiri dalam wujud Sabda dan diterima dalam diri-Nya sendiri
dalam wujud Roh. Allah yang Satu dan Sama memberikan diri-Nya keluar secara bebas,
dalam penciptaan, rahmat dan penyempurnaan.
2. Jalan Tengah
64
o Pribadi Ilahi menjadi antarpribadi dengan bergerak menuju makhluk insani.
o Apabila pribadi dikenakan pada Allah, maka kata tersebut hanya diperuntukkan bagi
Sang Bapa;
o Sang Putera dan Roh Kudus hanya menjadi pribadi secara ekonomis: berkat
pergerakan Allah yang mendatangi manusia, Putera dan Roh Kudus memprofilasikan
diri Allah Bapa sendiri dan menjadikan manusia sebagai pribadi.
o Dinamika ini disebut personalisasi atau hypostasis.
o Konsekuensi logis dari dinamika ini adalah sebagai berikut: secara imanen
terdapat Satu Pribadi dengan Dua pancaran, yaitu Sabda dan Roh.
o Namun, secara ekonomis, terutama sejak peristiwa inkarnasi terdapat
interpersonalitas yang otentik.
o Putera dan Roh Kudus mempribadikan diri sendiri:
Pribadi Bapa mempribadikan Sabda-Nya menjadi Putera dalam diri Yesus dan
Roh-Nya menjadi Roh Putera-Nya.
o Proses pergerakan diri Allah menuju manusia bersifat kekal dan dikehendaki-Nya
dengan bebas.
o Proses ini terjadi di dalam hakikat Allah, karena diri Allah sendirilah yang dipribadikan
dalam kontaknya dengan makhluk ciptaan-Nya.
Dengan konsep ini, tampak bahwa Hans Uhr von Balthasar melukiskan Ketiga
Pribadi Ilahi sebagai Subyek yang Berdikari. Agar pendiriannya tidak kontradiktif, maka
kata pribadi dipergunakan untuk menegaskan bahwa Allah itu hanya Satu Pribadi dan
harus dibedakan secara tegas dengan kata pribadi dalam Tiga Pribadi.
Menurut Barth, setiap makhluk insani serentak individu dan kolektif, subyek
mental dan benda mati; makhluk hidup nabati dan hewani. Akan tetapi, seorang makhluk
insani bisa menjadi seorang pribadi (person) sehingga martabatnya melebihi
individualitas dan subyektivitas mental serta tidak jatuh, baik ke dalam individualisme
atau kolektIvisme maupun ke dalam animalisme, voluntarisme dan rasionalisme. Martabat
ini dijelaskannya dengan dua cara:
65
Kedua, dalam teologi Trinitas, pribadi didefenisikan sebagai diri yang secara
sempurna menyangkal dirinya, memiliki kasih yang murni dan memberikan dirinya
kepada yang lain.
3. Trinitas Sosial
Refleksi iman mengenai Trinitas Sosial menegaskan bahwa: pertama, Bapa, Putra
dan Roh Kudus merupakan persekutuan tiga Pribadi, tiga Subyek dalam arti penuh, yaitu
tiga Pusat Cinta Kasih, Kehendak, Pengetahuan dan Tindakan Berencana. Kedua, masing-
masing pribadi Ilahi berhubungan satu dengan yang lain, walaupun hubungan itu melebihi
hubungan antara anggota suatu badan sosial yang terdiri dari tiga makhluk insani.
Para teolog zaman ini lebih cenderung merenungkan kodrat Allah Tritunggal
dalam model sosial ini. Jurgen Moltmann menyatakan bahwa Allah Tritunggal
merupakan Allah yang terdiri dari Tiga Subyek dalam relasi persekutuan antara satu
dengan yang lain. Moltmann menggunakan kata Subyek untuk menggantikan kata person.
Baginya, keesaan Allah bukanlah terletak pada identitas Subyek yang Tunggal,
melainkan sebagai Persekutuan Tiga Pribadi, suatu komunitas yang penuh. Untuk Trinitas
yang bertindak dalam sejarah keselamatan, dia berbicara mengenai Tiga Subyek yang
secara intim dan intensif bersekuru dan berhubungan. Akan tetapi, kesatuan Trinitas
Imanen ini lebih erat.
Moltmann menggariskan bahwa antara Pribadi Ekonomis dan Pribadi Imanen ada
ketegangan. Proses imanen dalam Trinitas bersifat adikodrati, kekal dan niscaya,
sedangkan perutusan ekonomis bersifat sukarela, temporal dan bebas. Namun, karena bagi
Allah antara keniscayaan dan kebebasan bertindih tepat, maka antara imanen dan
ekonomia menjadi spontanitas, terutama spontanitas cinta kasih. Allah mengasihi “dengan
sendirinya”.
Relasi timbal balik antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, bukanlah cara berada yang
berlainan dari Satu Subyek Ilahi yang Tunggal semata, melainkan juga dimengerti sebagai
proses kehidupan dari tiga pusat kegiatan yang independen. Bapa, Putra dan Roh Kudus
adalah tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta
kasih. Daya cintalah yang mendorong pribadi-pribadi ilahi untuk keluar dari diri sendiri
sehingga pribadi-pribadi ilahi menghayati hidupnya bukan dari diri mereka sendiri
menuju yang lain, melainkan dari diri yang menuju diri mereka sendiri. Tiap Pribadi
menerima diri-Nya sendiri dari yang lain.
Seperti pribadi insani, Pribadi Ilahi pun mempunyai diri-Nya dalam Pribadi yang
lain. Ini berarti bahwa dalam memperoleh diri itu, kodratnya yang temporal dan
fragmentaris dapat dilampaui. Namun apabila konsep diri dialihkan dari taraf insani ke
66
taraf ilahi harus ada perbedaan antara Aku dengan diri dalam Allah atau antara subyek
dengan hakikat. Setiap Pribadi , sebagai Aku, menerima diri-Nya berkat yang lain. Proses
memberi dan menerima ini terjadi dalam hakikat Allah yang kekal, namun diteruskan
dalam waktu, yaitu dalam sejarah Allah dan manusia. Setiap Pribadi mempertaruhkan diri
sampai pada eskaton.. Allah memperoleh sifat-sifat-Nya melalui tindakan-tindakan yang
dipilih-Nya untuk dilakukan; hakekat-Nya diperoleh secara historis. Trinitas yang terlibat
dalam proses ini akan diselesaikan secara eskatologis.
67