***********************************
Ajaran Resmi Gereja mengenai kedudukan dan peranan Santa Maria dalam
iman Gereja dirumuskan dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, Lumen
Gentium, Bab VIII, Nomor 52-69. Dalam dokumen resmi ini, Gereja berbicara
mengenai “Santa Perawan Maria, Bunda Yesus - Bunda Allah - Bunda Gereja serta
kedudukan dan peranannya dalam takhta keselamatan Kristus bagi dunia.
Gereja menjelaskan bahwa kedudukan dan peranan Santa Maria dilihat dari dua
sisi penting, yaitu: pertama, kedudukan dan peranan Santa Maria dalam tata
keselamatan Putranya Yesus Kristus; kedua, kedudukan dan fungsi Bunda Maria
dalam Gereja.
Berkenaan dengan kedudukan kedudukan dan peranan Santa Maria dalam tata
keselamatan Putranya Yesus Kristus, Gereja menegaskan bahwa keberadaan Bunda
Maria menjadi sangat penting dalam Gereja karena dia bersatu, tidak terpisahkan dari
Putra-Nya, Yesus Kristus. Walaupun demikian, kedudukan dan peranan Maria tidak
sama dengan kedudukan dan peranan Yesus Kristus dan juga tidak bisa disamakan
dengan kedudukan dan peranan umat beriman. Dalam Konstitusi Dogmatis tentang
Gereja, Lumen Gentium 66, para Bapa Konsili Vatikan II menegaskan kedudukan
Maria dengan pernyataan ini: “Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah
Putera-Nya, di atas semua Malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci,
yang hadir pada misteri-misteri Kristus”.
Melalui pernyataan ini, Gereja menegaskan inti imannya bahwa hanya Yesus
Kristus yang menjadi “Pengantara Tunggal dan Universal” antara Alah dan manusia.
Ini berarti bahwa semua hubungan antara Allah dan manusia, manusia dengan Allah
hanya dibangun melalui Yesus Kristus. Karena itu, tidaklah tepat apabila ada orang
Katolik (para legioner Maria) yang mengatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda
Pengantara serta berdoa dengan pengantaraan Bunda Maria. Umat Katolik
membutuhkan pendampingan Bunda Maria dan berdoa bersama Bunda Maria, bukan
berdoa kepada Bunda Maria. Isi doa orang Katolik ditujukan kepada Allah Bapa
dengan Pengantaraan Yesus Kristus, bukan dengan pengantaraan Bunda Maria.
Peran Bunda Maria bagi seluruh umat manusia tidak boleh menyurutkan
kedudukan dan peranan Yesus Kristus sebagai “Pengantara Tunggal” antara Allah dan
manusia, tetapi justru menyingkapkan kekuatan dan meneguhkannya (Lumen Gentium
60) sebab perannya bagi manusia terkandung di dalam jasa Yesus, Puteranya. Peranan
ini memperlihatkan bahwa kedudukan Maria sangat istimewa serta mengungguli
peran Malaikat dan umat beriman.
Berkenaan dengan kedudukan dan peranan Santa Maria dalam Gereja, iman
Katolik menegaskan bahwa Bunda Maria adalah adalah salah satu anggota Gereja
Kristus. Namun dia adalah pola atau teladan unggul-istimewa Gereja dalam
persekutuan mesra dengan Kristus, terutama dalam iman, cinta kasih dan harapan.
Maria adalah Bunda umat manusia dan Bunda kaum beriman yang bersekutu dalam
Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja.
1. Maria: Bunda Putera Allah yang Menjelma menjadi Manusia (St. Paulus)
Kedua, Paulus tidak menyebutkan bahwa Yesus dikandung dan dilahirkan dari
Maria berkat daya Roh Kudus; Paulus juga tidak menjelaskan apakah Maria
mengandung dan melahirkan sebagai seorang perawan atau bertentangan dengannya.
Paulus justu menyingkapkan kodrat manusiawi Yesus dengan menjelaskan akar pra-
eksistensi-Nya sebagai Putera Allah, tanpa mempersoalkan akar kemanusiaan-Nya,
terutama momen kelahiran-Nya. Baginya, “seluruh detak peristiwa kehidupan Putera
Allah terjadi di dalam Allah dan tindakan-Nya demi keselamatan manusia”.
o Yesus dari Nazareth adalah “Putera Allah” (Markus 1:1); “Mesias dan Putera
yang Terberkati” (bdk. Markus 14:61).
o Nabi Eskatologis: Yesus bukan nabi biasa; Dia adalah Bentara Kerajaan
Eskatologi Allah (Markus 1:5).
o Dengan demikitan tampak bahwa Yesus bukanlah sosok ilahi mitologis sebab
“Dia sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia”.
o Dalam hubungan-Nya dengan Allah, Markus menyembutkan-Nya sebagai
“Anak Allah”. Namun, “Dia yang adalah Anak Allah” adalah juga “Anak
Maria” (Markus 3: 31-35 dan 6:3.)
o Penegasan Markus bahwa Yesus serentak Anak Allah dan Anak Maria
menunjukan bahwa kemanusiaan (historisitas) Yesus merupakan garansi untuk
membuktikan kesamaan-Nya dengan manusia-ciptaan yang hidup dalam
sejarah dunia.
o Karena alasan fundamental inilah maka dia menegaskan inti keyakinan
imannya bahwa “Maria adalah Ibu Yesus (bdk. Markus 3,31).
o Cakupan Saudara Yesus dan Hubungan Yesus dengan Keluarga
Tatkala Yesus mengawali penampilan dan karya-Nya di hadapan publik,
keluarga-Nya berjuang agar Dia dibawa kembali ke rumah-Nya karena
mereka berpikir bahwa “Dia tidak waras lagi” (Markus 3:31-31),
terutama ketika Dia menyembuhkan seorang lumpuh (Markus 2,12).
Makna teologis yang digariskan Markus adalah: menegaskan bahwa
misi Yesus adalah misi religius dan ikatan natural keluarga tidak mutlak
dihubungkan dengan bingkai tradisi religius Yudaisme, melainkan
melampaui praksis historis dan kehidupan manusiawi. Relasi baru yang
dibangun Yesus di dalam dan dengan Pengantaraan-Nya adalah
menjadikan semua manusia sebagai “saudara, saudari dan ibu-Nya”
(Markus 3:35). Relasi ini hanya bisa terpupuk apabila pribadi-pribadi
manusia memenuhi satu tuntutan fundamental yang diajarkan-Nya,
yaitu: “Melakukan kehendak Allah”, memahami dan
mengaktualisasikan daya dan misi Ilahi di dalam-Nya sebab Dia adalah
Mediator Kerajaan Eskatologi Allah.
3. Yesus Dikandung di dalam Rahim Perawan Maria berkat Karya Roh Kudus
(St. Matius dan St. Lukas)
3.1. Apakah Matius 1-2 dan Lukas 1-2 merupakan Kisah Historis?
o Menurut sejumlah ahli Kitab Suci (aliran fundamentalis), aneka bentuk kisah
yang dilukiskan dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 merupakan tradisi yang
berasal dan dipelihara oleh sanak-saudara Yesus.
o Namun pendapat ini kurang didukung dan penilaian atas kisah-kisah tersebut
justru melemahkan pendapat dan kesimpulan mereka sendiri.
o Harus ditegaskan bahwa Matius 1-2 dan Lukas 1-2 bukanlah laporan historik,
melainkan sebuah pewartaan iman tentang Yesus (bukan tentang Maria).
o Diakui bahwa di dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 dikisahkan tentang Ibu
Yesus, namun inti kisah itu selalu ditempatkan dalam konteks pewartaan
tentang Yesus: “Matius 1-2 dan Lukas 1-2 tidak bermaksud melaporkan hal-
ikhwal Yesus, orang Nazaret, melainkan mewartakan Yesus Kristus
sebagaimana diimani jemaat Kristen tatkala Injil disusun oleh orang-orang
yang tidak terlibat dalam kehidupan Yesus, orang Nazaret itu”.
Walaupun kisah kelahiran dan masa muda Yesus dinilai sebagai ciptaan
tradisi (penginjil), namun tidak bisa disimpulkan bahwa kisah-kisah tersebut
merupakan khayalan semata. Kisah-kisah tersebut berisikan inti iman Kristiani akan
sosok historik Yesus dari Nazareth, kendati apa yang diimani “tidak historik, tidak
bisa diamati dan tidak bisa diselidiki dengan oleh ilmu sejarah”.
Kisah-kisah tentang Maria, Ibu Yesus dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2
memiliki ciri yang unik. Dalam dan melalui kisah-kisah ini, tertuang:
o Visi penulis dan jemaat Kristen tentang Ibu Yesus yang ditempatkan dalam
konteks pemberitaan tentang Yesus Kristus (menjelang Abad Pertama) dalam
sejarah dan takhta penyelamatan.
o Keberadaan Ibu Yesus hanya relevan sejauh ditempatkan dalam konteks iman
akan Yesus Kristus.
o Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila di dalam kisah kelahiran Yesus
selalu disertakan dengan kisah tentang ibunya.
o Perbedaannya, di dalam kisah Lukas, Maria, Ibu Yesus menjadi pelaku utama,
di samping Puteranya, Yesus Kristus.
o Dalam kisah Matius, peran Maria disingkirkan. Peran utama yang ditonjolkan
adalah Yesus dan Yosef untuk menegaskan bahwa Yesus, Sang Mesias adalah
keturunan Daud.
Titik Berangkat
o Berbeda dengan Paulus dan Yohanes, permenungan Matius dan Lukas tidak
merujuk pada pra-eksistensi Putera bersama Bapa sebelum inkarnasi (Yohanes
1,1.14.18), misi-Nya dalam daging (Roma 8:3) dan kelahiran-Nya sebagai
seorang manusia dari seorang perempuan (Galatia 4:8).
o Matius dan Lukas justru berangkat dari relasi filial kemanusiaan Yesus dengan
Allah, Bapa-Nya.
o Dengan pendasaran ini, Matius dan Lukas memperlihatkan bahwa “kodrat
Yesus sebagai Putera Allah” merupakan landasan fundamental untuk
menjelaskan “kelahiran kemanusiaan Yesus” sebagai puncak Wahyu Allah
dan inti cinta-Nya demi keselamatan dunia.
o Keyakinan iman Matius dan Lukas akan kesehakekatan kodrat Allah dan
manusia dalam diri Yesus memotivasi mereka untuk menyusun kembali tradisi
injili yang berakar pada budaya Yudaisme Palestina berkenaan dengan
peristiwa “Yesus yang dikandung dan dilahirkan dari Perawan Maria berkat
karya Roh Kudus”, “tanpa kerjasama dengan laki-laki” serta ‘kisah awal
kehidupan Yesus di hadapan publik”.
o Untuk mewujudkan impian iman ini, Matius dan Lukas menyusun Kisah
Kanak-kanak Yesus. Usaha ini tidak dimaksudkan untuk menyenangkan
pembaca dan pendengar dengan kisah menakjubkan seputar masa Kanak-
kanak Yesus, tetapi menyingkapkan kandungan teologis yang sangat
mendalam berkenaan dengan penegasan langsung atas “Kekuatan atau Daya
Roh Ilahi”, baik di dalam kelahiran kemanusiaan Yesus dari Maria, eksistensi
historis, misi maupun dalam pewahyuan diri-Nya sebagai Mediator Eskatologi
Kerajaan Allah.
o Dalam Injil Matius (1-2), Yosef, tunangan Maria merupakan sosok kunci untuk
memahami peristiwi hidup Yesus: Yesus, Putera Allah adalah sosok manusia
yang melampaui kodrat semua makhluk ciptaan dan melampaui pengenalan
alamiah manusia. Putera Allah yang dinantikan Maria bukanlah buah
hubungan natural antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
(Matius 1:18.25), sebab keberadaan-Nya di dalam rahim Maria
merupakan buah karya Roh Kudus Allah (Matius 1:8.20).
o Untuk mengerti peran Roh Kudus Allah ini, kita dituntun untuk memahami
kandungan biblis perihal karya penciptaan yang dikondisikan oleh Allah
sendiri. Roh Kudus, kodrat (esensi) Allah sendiri tidak bekerja
berdasarkan alasan-pertimbangan natural- empiris-nyata seperti yang
dilakukan oleh seorang laki-laki. Karena itu, secara ekslusif, titik
berangkat permenungan Matius dan Lukas adalah lukisan-struktur
teogami ini: “Memperanakan Allah-Manusia yang berkodrat Pengantara
Allah-Manusia”.
o Roh Kudus Allah tidak bekerja berdasarkan alasan-lasan natural
sebagaimana terjadi dalam karya ciptaan.
o Roh Kudus Allah menghasilkan sesuatu dari ketiadaan, tanpa membutuhkan
aneka praduga-pertimbangan manusia.
o Yesus Kristus tidak diperanakan secara biologis-natural, melainkan berkat daya
Roh Kudus dan aksi Roh Kudus Allah itu memiliki respesitasnya terhadap
rencana penciptaan itu sendiri. Perkandungan Yesus di dalam rahim Perawan
Maria tanpa keterlibatan seorang laki-laki serentak menyingkapkan karya
efektif dan penuh daya dari Allah di dalam diri Maria.
o Antara Allah dan Maria tidak ada hubungan teogami; Allah tidak mengadakan
hubungan seksual dengan Maria, tetapi tanpa membutuhkan aneka dugaan
mengenai hubungan fisik dan kondisi alami, dengan kehendak penciptaan-Nya,
yaitu dengan Pneuma dan dynamis-Nya dilakukan: kemanusiaan Yesus diawali
keberadaan-Nya di dalam tubuh Maria, Ibu-Nya.
o Karena itu, totalitas diri Yesus berbeda dari manusia yang dikisahkan dalam
mitologi-mitologi yang berkembang dalam sejarah.
o Yesus Kristus bukanlah sosok setengah Allah dan setengah manusia, melainkan
sebagaimana ditegaskan dalam pengakuan inti iman Gereja, Dia sungguh-
sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia.
o Kesatuan Allah-Manusia dalam diri Yesus tidaklah lahir dari percampuran fisik
antara unsur-unsur manusiawi dan elemen-elemen ilahi, melainkan melalui
persona Logos yang menyokong kesatuan antara kodrat Ilahi dengan kodrat
manusiawi dan keduanya tidak bercampur dalam diri Yesus.
Berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di kaki salib, berita yang disampaikan
Yohanes bukanlah berita historik, terutama berkenaan dengan rasa cemas yang
menguncang Yesus terhadap Maria, ibunya dan para murid-Nya. Pada momen ini,
unsur terpenting yang dipaparkan Yohanes adalah kedalaman makna simbolik yang
terkandung di dalam penegasan Yesus: makna kehidupan Kristen hanya bisa dipahami
apabila seluruh peritiwa hidup-Nya terjadi dan diungkapkan secara transparan.
Perkataan Yesus kepada Maria: Ibu, inilah anakmu” dan kepada murid-murid-Nya
“Inilah ibumu” serta penegasan: “dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam
rumahya” (Yohanes 19:26) diterjemahkan dengan muatan spiritual mengenai relasi
ibu-anak antara Yesus dan Maria serta hubungan antara Maria dengan Gereja. Maria
adalah bagian dari komunitas mudah sebagai figur iman yang pertama dan paling
utama dan murid Yesus tersempurna, sebab seluruh kehidupannya terarah total kepada
Yesus, Puncak Penyingkapan kemuliaan Allah.
Maria adalah Hamba Pilihan Allah, melalui rahmat Roh Kudus, peristiwa
eskatologi Putera Allah menjadi dan tinggal di antara manusia.
Dalam persekutuan Perjanjian Baru, Maria adalah prototipe hubungan antara
manusia dengan Allah yang nyata dalam korelasi kebenaran antara Sabda dan
Iman (cinta). Dia adalam model manusia beriman dan model Gereja, Umat
Allah dalam Persekutuan Baru.
Kontinuitas antara Israel dan Gereja juga dinyatakan dalam Wahyu 12:1-
8. Sebuah tanda yang menakjubkan tersingkap di surga: seorang perempuan
yang berselimutkan matahari dengan bulan di kakinya dan dua belas corona di
kepalanya. Seekor naga ...
Maria adalah Bunda Tuhan (Allah) yang sedehana dan rendah hati. Di dalam
dirinya dinyatakan kemanusiaan Yesus berkat kekuatan Roh Kudus. Maria
terbuka menerima rahmat Allah dalam dirinya dalam wujud iman, harapan dan
cinta, dalam hubungannya dengan Yesus Kristus dan komunitas keselamatan,
yaitu Gereja.
Kesaksian akan maternitas ilahi dan keperawanan Maria ditegaskan dalam
landasan biblis tentangnya dan penegasan Gereja di dalam semua bentuk
kultus Mariani.
Maria adalah Bunda Allah, Ibu Yesus. Keyakinan iman ini ditegaskan oleh
Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia 4:4: “Setelah genap waktunya, maka Allah
mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan”. Dengan pernyataan ini,
Paulus mengungkapkan keyakinan imannya bahwa sama seperti manusia, Yesus
serentak dilahirkan dari seorang perempuan dan ditempatkan dalam rangkaian
manusia.
Paulus tidak menyebut “perempuan” itu dengan namanya karena dia sungguh-
sungguh percaya yakin bahwa Yesus sudah ada sebelum Bunda Maria dan semua
umat manusia ada di dunia ini. Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia.
Dia sungguh-sungguh Allah. Dia sudah ada “sebelum adanya waktu dan sebelum
adanya dunia ini dengan segala isinya”. Segala sesuatu yang ada di dunia ini “ada
dalam ruang dan waktu”. Ini berarti, semua yang ada di dunia ini diciptakan oleh
Allah dalam ruang dan waktu serta berada berada ruang dan dalam waktu. Allah
menciptakan semua yang ada di dunia ini, termasuk manusia dalam ruang dan waktu.
Allah menciptakan dengan kekuatan Sabda-Nya, yaitu Daya Cipta-Nya sendiri dalam
diri Yesus Kristus. Allah dalam diri Yesus Kristus berada “di luar” ruang dan waktu.
Allah sudah ada sebelum adanya waktu dan sebelum semua makhluk ada, termasuk
bunda Maria.
Setelah genap waktunya, Allah harus menjelma menjadi manusia. Allah tidak
membiarkan identitas diri-Nya tetap tersembunyi bagi manusia, ciptaan-Nya. Allah
tidak menjadi Allah bagi diri-Nya sendiri. Allah menjadi Allah bagi semua ciptaan-
Nya, terutama manusia. Karena itu, Allah harus menyatakan diri-Nya supaya dikenal,
didekati dan diimani oleh manusia. Satu-satunya jalan yang dilakukan Allah adalah:
Dia harus “menerima daging manusiawi” atau menjelma menjadi manusia.
Ketika genap waktunya bagi Allah untuk menjelma menjadi manusia, Allah
harus tunduk kepada hukum yang berlaku bagi manusia, yaitu hukum kelahiran. Allah
harus menerima daging manusiawi dalam rahim seorang perempuan. Paulus tidak
menyebutkan nama perempuan itu adalah Maria sebab:
Misi penjelmaan Allah menjadi manusia (inkarnasi) dan adanya Yesus, Anak
Allah di dunia ini bergantung pada Ibu-Nya, sama seperti setiap anak bergantung pada
ibunya. Menurut tradisi Kristiani (bdk. Lukas 2:11), hanya Anak Maria yang diimani
sebagai Juru Selamat dunia (Yohanes 4:42). Ini berarti, adanya Juru Selamat
bergantung pada Maria. Inilah kedudukan dan peranan tunggal bertautan dengan
keibuan biologis-personal seorang Maria. Dengan demikian, secara tidak langsung
karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus juga bergantung pada Maria.
Matius 1:21 juga menegaskan bahwa Maria melahirkan Yesus, (dengan-Nya Allah)
Penyelamat umat manusia dari belenggu dosa. Nama Yesus (Yesua) berarti “Tuhan
‘Yahwe’ yang menyelamatkan/menolong”.
Ditegaskan bahwa hanya iman Kristiani yang mengakui Yesus sebagai Juru
Selamat Dunia; “Allah Beserta Kita” (Matius 1:23). Anak Maria bukanlah manusia
biasa. Kaum Kristiani yang percaya dan beriman akan kebangkitan-Nya memberikan
pelbagai gelar kepada-Nya untuk mengungkapkan inti iman mereka kepada-Nya.
Gelar-gelar itu juga disingkapkan pada momen kelahiran Yesus. Dia adalah Mesias
(Matius 2:4; Lukas 2:11), keturunan Daud, seperti diperlihatkan dalam silsilah yang
disusun dalam tradisi Kristen (penginjil Matius 1:1-16) dan ditegaskan dalam Lukas
1:32). Oleh karena itu, Yesus harus lahir di Betlehem, Kota Daud (Matius 2:1; Lukas
2:4-7.11). Menurut keyakinan iman Kristiani, Yesus adalah Anak Allah yang Maha
Tinggi (Lukas 1:32-35; Matius 2:15) dan Tuhan (Kyrios). Seluruh inti iman Kristiani
akan Yesus diungkapkan dalam kisah tentang kelahiran-Nya. Iman yang berkembang
sesudah Paskah Kebangkitan Kristus ini menjadi kunci untuk menjelaskan dan
memahami peristiwa kelahiran-Nya. Oleh karena itu, gelar-gelar yang diberikan
kepada Yesus Kristus adalah gelar yang sudah ada sejak kekal dan pada momen
kelahiran sesungguhnya Yesus sudah demikian adanya, walaupun baru tersingkap
sesudah Paskah Kebangkitan-Nya.
Penegasan iman Gereja kepada Yesus Kristus ini serentak berimplikasi pada
penegasan iman Gereja mengenai Maria: Konsili menegaskan gagasan Theotokos
bagi Maria. Dia adalah Theo-tokos, Bunda Allah. Muatan teologis yang terkandung di
dalam penegasan Konsili ini adalah:
Lumen Gentium
Markus menyembutkan bahwa Yesus adalah “Anak Allah”. Namun, “Dia yang
adalah Anak Allah” juga “Anak Maria” (Markus 3:31-35 dan 6:3.) Penegasan Markus
bahwa Yesus serentak Anak Allah dan Anak Maria menunjukan bahwa kemanusiaan
(historisitas) Yesus merupakan garansi untuk membuktikan kesehaketan Yesus
dengan Allah dan kesamaan-Nya dengan semua manusia, ciptaan Allah yang hidup
dalam sejarah dunia. Karena alasan fundamental inilah, maka dia menegaskan inti
keyakinan imannya bahwa “Yesus adalah Anak Allah dan Maria menjadi Ibu-Nya
(bdk. Markus 3:31).
Maria menjadi tujuan “langsung” dan “utama” dari pemakluman Kabar
Gembira Allah melalui Malaikat-Nya untuk menjadi Bunda Putra Allah. Dalam
dirinya, Sabda Kekal Allah sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Dia
mengandung dan melahirkan Yesus, Putra Allah dengan “Daya Cipta Allah” sendiri.
Peristiwa perkandungan dan kelahiran Yesus, Putra Allah dari rahimnya sama sekali
tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya sebab
Daya Cipta Allah yang bekerja dalam dirinya.
Karena landasan iman ini, maka Gereja menegaskan bahwa Maria adalah
Bunda Allah (Bunda Penebus) yang sesungguhnya sebab dia memberikan “Hidup”,
yaitu Yesus, Sang Hidup dan Sang Penebus kepada dunia. Dia dipersatukan dalam
ikatan yang erat dan tidak terputuskan dengan Yesus, Putra Allah yang menjelma
menjadi manusia dalam rahimnya. Dia dianugerahi kurnia dan martabat luhur sebagai
Bunda Putra Allah.
Ajaran Resmi Gereja Katolik selalu memperlihatkan keterikatan hubungan
antara Maria dengan Yesus, Putranya serta memaralelkan perannya sebagai Ibu Yesus
dengan Puteranya, Yesus Kristus. Tendensi ini diungkapkan secara tegas dalam
Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium no. 57-59. Muatan hakiki tendensi ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Maria hanya berarti dalam iman Gereja sejauh
terikat dengan Yesus serta terlibat dalam seluruh peristiwa hidup Yesus, Puteranya.
Konsili menegaskan bahwa Maria adalah Ibu Yesus. Konsili menjelaskan
bahwa Maria setia mengikuti jejak hidup Yesus, Putranya yang berpuncak pada
sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut demi keselamatan manusia.
Terpaut dengan puncak karya hidup Yesus ini, maka tidaklah mengherankan apabila
Gereja berusaha menyingkapkan keterlibatan Maria dalam seluruh ikhwal kehidupan
Yesus, Putranya: Sebagaimana Yesus menderita, wafat, bangkit dan masuk ke dalam
kemuliaan-Nya (Lukas 24:26), Maria pun turut menderita dan turut dimuliakan (bdk.
Roma 24:26).
Jika demikian, patut dipertanyakan, “Sejauh manakah keterlibatan Maria
bermakna bagi manusia? Manakah peranan Maria dalam karya penyelamatan?
Keterlibatan Maria dalam kehidupan Yesus berawal dari peristiwa penjelamaan
Yesus, Putra Tunggal Allah dalam rahimnya menjadi manusia. Dia adalah Ibu fisik-
biologis serta spiritual dan personal bagi Yesus, Puteranya. Dia merelakan diri
sepenuhnya untuk menjadi Ibu Yesus.
Maria adalah Ibu Yesus. Dia secara istimewa mendampingi Yesus, Putranya
dengan penuh kemurahan hati. Dia menjadi hamba Allah yang rendah hati di saat dia
menerima Kabar Gembira, mengandung, melahirkan, membesarkan,
mempersembahkan Putranya kepada Allah di kenisah serta ikut menderita bersama
Puteranya yang wafat di kayu salib. Dia menemani Putra-Nya dalam melaksanakan
karya keselamatan-Nya dengan penuh ketaatan, iman, harapan serta cinta kasih yang
berkobar.
Namun, keibuan Maria diperuntukkan bagi semua manusia sebab Yesus,
Puteranya adalah Juru Selamat dunia. Adanya Sang Juru Selamat dan karya
keselamatan-Nya bagi manusia tidak terpisahkan dari keberadaannya sebagai Ibu,
kendati sebagai Sang Juru Selamat, Yesus, Puteranya tidak tergantung kepadanya.
Argumen iman yang ditegaskan Konsili Vatikan II berakar pada pernyataan Irenius
(Abad II): Maria adalah sebab (causa) penyelamatan (salutis) [Lumen Gentium 56].
Gaya bicara konsili ini dimaksudkan untuk mengedepankan relasi Ibu-Anak
antara Maria dengan Yesus, Puteranya. Dengan kebebasan dan kerelaaan yang penuh,
Maria menjadi Ibu Sang Juru Selamat. Di satu pihak, sebagai Anak, Yesus tergantung
pada Maria, ibu-Nya sebagaimana anak-anak umumnya tergantung pada ibu mereka.
Namun, di pihak lain, Maria dan Yesus Puteranya tergantung kepada Allah, Pencipta
dan Juru Selamat. Kendati dengan penuh kerelaan Maria menerima tugas mulia yang
diembankan kepadanya, namun agen utama yang bertindak di dalam dirinya adalah
Allah sendiri: Allah memberdayakannya dengan daya cipta dan kekuatan Ilahi-Nya
untuk mengemban tugas luhur sebagai Ibu Sang Juru Selamat. Kerelaan, kesediaan,
kesanggupan dan keselamatan Maria tergantung seutuhnya pada pilihan Allah dan
daya Ilahi-Nya demi Sang Juru Selamat dunia.
Dalam dirinya, Yesus Kristus, Putra Allah hadir di dunia dalam rupa manusia.
Yesus Kristus menyatu dengannya dan seluruh umat manusia dalam rahimnya.
Sebagai seorang ibu, Maria juga membuka diri terhadap pewartaan Sabda Putranya.
Dia menerima Sabda Putranya bahwa relasi yang dibangun dengan Allah tidak
didasarkan pada ikatan daging dan darah. Dia juga menerima Sabda Putranya bahwa
manusia yang berbahagia adalah manusia yang mendengar dan melakukan Sabda
Allah. Dalam tuntutan Sabda Putranya ini, Maria berlangkah dalam peziarahan iman.
Dia tetap setia mempertahankan kesatuannya dengan Putranya hingga di kaki salib
sesuai dengan rencana Allah sendiri. Dia menanggung penderitaan yang dasyat
bersama Putranya. Dengan hati keibuannya, dia menyatukan diri dengan korban Putra-
Nya dan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkan dari rahimnya.
Menjelang wafat-Nya, Yesus Putranya mengaruniakan kepadanya murid-Nya sendiri
agar dia menjadi ibu baginya dan ibu bagi semua orang yang percaya kepada-Nya:
“wanita, inilah anakmu”.
Sacramentum Caritatis
Dalam Anjuran Apostoliknya, Sacramentum Caritatis, Paus menyapa Bunda
Maria dengan sapaan Bunda Allah, yaitu gelar yang diproklamirkan oleh Konsili
Efesus 431.
Paus menghadirkan dan menghubungkan keberadaan Maria sebagai Bunda
Allah dengan Allah yang adalah Kasih. Ditegaskannya bahwa Bunda Maria memiliki
keistimewaan dalam memberikan kesaksian imannya mengenai kasih Allah bila
dibandingkan dengan para kudus yang hidup dalam sejarah manusia. Misi kasih Allah
dinyatakan Maria kepada Elisabeth, saudaranya: Dia hadir di tengah kehidupan
Elisabet tatkala dia mengalami kesulitan, yaitu mengandung di usia tua. Dalam
mengemban dan mewujudkan kasih Allah ini, Maria menjadikan Allah sebagai Pusat
Hidupnya, bukan dirinya. Sentralitas Allah dalam kehidupannya ini dinyatakan dalam
kata-kata pujiannya: Magnificat anima mea dominum. Dia merendahkan dirinya dan
merasa hina di hadapan Allah.
Sebagai Bunda Allah, Maria menjadi pelayan kasih Allah. Misi kasih Allah
dalam dirinya ini terwujud dalam peristiwa inkarnasi: penyataan tertinggi kasih Allah
bagi manusia di dalam dan melalui kerelaan Maria. Sebagai pelayan kasih Allah, Paus
mengungkapkan tiga keutamaan teologal yang dimiliki Bunda Allah:
o Maria adalah wanita yang berpengharapan mendalam, utuh, total kepada Allah.
Dia percaya seutuhnya kepada janji Allah melalui Malaikat-Nya serta
mengharapkan keselamatan bagi Israel.
o Maria adalah wanita yang beriman. Magnificatnya merupakan penyataan Sabda
Allah; dia berpikir dan berbicara tentang dan dengan kekuatan Sabda Allah:
Sabda Allah menjadi kata-katanya dan setiap perkataannya lahir dari Sabda
Allah sendiri. Jalan pikirannya senada dengan jalan pikiran Allah; keinginannya
yang paling dalam adalah bersama Allah. Dengan membiarkan diri dan
kehidupannya dimekarkan oleh Sabda Cinta Allah, dia menjadi Ibu Sang Sabda
yang menjelma.
o Maria adalah wanita pencinta. Keutamaan ini ditampakannya dalam pesta
perkawinan di Kana. Tatkala tuan pesta kehabisan anggur, dia menyerahkan dan
mempercayakan persoalan tuan pesta kepada Yesus Puteranya. Keutamaan ini
juga ditampakkannya tatkala Yesus, Puteranya mulai tampil di hadapan umum:
dia memilih untuk mengundurkan diri karena dia tahu bahwa Kristus Puteranya
harus mendirikan keluarga baru. Akan tetapi, tatkala Kristus Puteranya
menjalani derita-Nya di salib, dia berada dan berjuang bersama-Nya. Tatkala
semua murid meninggalkan Kristus Puteranya, Dia setia bersama Putera-Nya di
kaki salib-Nya.
Perihal keperawanan Maria, Gereja menjelaskan isi imannya dalam tiga fase,
yaitu:
Berkenaan dengan isi pengakuan iman Gereja mengenai kodrat Maria sebagai
Ibu dan Perawan, maka patut direnungkan bahwa Allah memanggil Maria untuk
berpartisipasi dalam rencana keselamatan: Dia menjadi Ibu Tuhan. Namun, rencana
itu berbenturan dengan situasi Maria yang berstatus perawan. Bagaimanakah
memperdamaikan keibuan dengan keperawanan serta bagaimanakah Maria
melaksanakan tugas panggilannya?
Di sinilah kita menemukan titik perbedaan antara kita, semua manusia dengan
Maria. Maria mampu menguasai dan mengendalikan semua kecenderungan dan
keinginan manusiawi dalam segala bidang dan semua segi. Kecenderungan, keinginan
dan dorongan akan kebutuhan manusiawinya ini diarahkan kepada tujuan yang baik
sehingga dia berkembang dalam kerendahan hati, kasih dan keterbukaan terhadap
yang lain dan terhadap Allah sendiri. Dia tidak mengarahkan kecenderungan,
keinginan dan dorongan manusiawinya agar terarah seutuhnya pada dirinya sendiri
dan cenderung egosentrik. Dia melepaskan semua kecenderungan, keinginan dan
kebutuhan manusiawinya dengan mengikuti gerakan Roh Allah. Dia berani bertaruh
hingga mati dari semua kebutuhan untuk dikagumi, diakui, dihargai oleh yang lain,
termasuk oleh Allah sendiri.
Dalam diri kita, kecenderungan, keinginan dan dorongan akan pemenuhan
kebutuhan manusiawi yang menjadikan diri kita masing-masing sebagai pusat dan
penentu hidup inilah yang membuahkan dosa. Dalam mewujudkan diri dan
kebebasannya di hadapan Allah dan sesama, Maria tidak terhalang oleh apa pun saja
yang ada di dalam dirinya sendiri, kendati seperti manusia biasa lainnya, Maria juga
terbentuk oleh halangan yang bersifat lahiriah.
Dalam diri Maria tidak ada gejolak emosi, psikis, dan lain-lainnya. Maria tidak
tunduk pada setiap bentuk godaan dan kecenderungan manusiawinya. Dalam Injil
Lukas 2:34-35, Maria dihadapkan pada dua pilihan yang secara obyektif, atau yang
baik, atau yang buruk; atau diri sendiri atau Allah dan sesama. Kedua godaan ini
memiliki daya tarik dan daya pikat yang unik, sebab di dalam yang buruk juga
terkandung yang baik dan menarik bagi manusia.
Keunggulan Maria adalah: Dia mampu menguasai dan mampu mengendalikan
semua keinginan/emosi manusiawinya. Kekuatan-Nya terletak pada keterbukaan dan
keterarahannya kepada Allah dan kehendaknya. Karena hidupnya terarah seutuhnya
pada Allah, maka tidak ada peluang baginya untuk berbuat dosa. Dia melepaskan
semua keinginan dan kebutuhan manusiawinya karena selalu mengikuti gerakan Roh
Allah. Dia hidup dalam persekutuan cinta yang mesrah dengan Allah dan sesama. Dia
tidak berdosa karena dia takut melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti hati
Allah dan sesama. Dia membuka diri seutuhnya kepada Allah dan sesama serta
bersatu utuh dan sempurna dengan Allah dan sesama. Dia membuang semua
keinginan dan kebutuhannya untuk dikagumi, diakui dan dihargai oleh orang lain,
kecuali keinginan untuk diakui, dikagumi dan dihargai oleh Allah sendiri.
Dengan demikian tampak bahwa isi yang terkandung dalam dogma Maria
Dikandung tanpa noda adalah Maria tidak bernoda atau tidak berdosa. Gereja beriman
bahwa Maria sungguh-sungguh tidak bernoda sebab “dalam mengaktualisasikan diri
dan kebebasannya di hadapan Allah, Maria tidak terhalang oleh apa pun saja yang ada
di dalam dirinya sendiri”, kendati seperti manusia biasa lainnya, Maria juga terbentuk
oleh halangan yang bersifat lahiriah. Maria membuka diri terhadap rahmat
pengudusan Allah dan hidup seturut kehendak Allah, bukan seturut keinginan
manusiawinya. Dia tidak bebas dari godaan manusiawi (seperti Yesus, bdk. Ibr
2:18;4:15), namun tidak tunduk pada semua bentuk godaan itu. Di dalam Lukas 2:34-
35, Maria diperhadapkan pada dua pilihan yang secara obyektif, atau yang baik, atau
yang buruk. Kedua godaan ini memiliki daya tarik dan daya pikat yang unik, sebab di
dalam yang buruk juga terkandung yang baik dan menarik bagi manusia.
Dia bukanlah “Manusia Firdaus”. Dia terlibat dalam realitas hidup manusiawi
yang mejemuk. Setiap saat dia menghayati dan menghidupi kekudusannya dengan
sikap batin yang bebas, kendati hambatan dari luar dirinya senantiasa
menggerogotinya. Kesetiaannya kepada Allah dan dirinya sendiri tidak selamanya
berjalan mulus.
“.... dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang
Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan
mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda
Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan
perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan
surgawi”.
Dogma ini ditetapkan oleh Paus Pius XII, pada tangga; 1 November 1950
dalam Konstitusi Apostolik “Munificentissimus Deus”. Paus Pius XII menjelaskan
bahwa kejayaan dan keistimewaan Maria, baik sebagai Bunda Allah, Bunda Perawan
dan Bunda yang tidak Bernoda disimpulkan dalam Dogma Gereja yang terakhir, yaitu
“Maria Diangkat ke Surga dengan Jiwa dan Raganya”.
Landasan iman yang mendasari dogma ini adalah dogma Bunda Maria yang
tidak Bernoda. Bunda Maria kudus secara total dan menyeluruh di hadapan Allah
dan manusia. Karena itu, seluruh diri Maria dalam keutuhan (jiwa dan raganya),
yaitu “keberadaan duniawinya” beralih ke dalam cara yang baru, yaitu “keberadaan
surgawi”. Dengan peristiwa pengangkatan ini, Maria bersekutu dengan Kristus,
menyatu dengan Allah.
Iman Gereja Katolik sangat yakin bahwa Bunda Maria sungguh-sungguh
diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi. Ada pun alasannya:
Bunda Maria menganggapi panggilan Allah secara utuh dan total, dengan
seluruh jiwa dan raganya. Seluruh dirinya tearah kepada Allah, mendengarkan
perkataan Allah dan taat kepada kehendak-Nya. Karena sedemikian tearah dan taat
kepada kehendak Allah, maka tidak ada peluang sedikit pun bagi Maria untuk
menyakiti hati Allah dan sesama. Semua kecenderungan manusiawinya tidak berbuah
dosa, tetapi berbuah rahmat persatuan cinta dengan Allah dan sesama.
Dalam diri Maria tidak ditemukan halangan negatif apa pun yang
menghubungkan dirinya dengan Allah: Dia tidak memiliki dosa pribadi. Semua
kecenderungan manusiawinya (concupiscientia: sumber dosa) mengarahkan diri dan
hidupnya kepada Allah dan sesama. Karena itu, seluruh diri manusiawinya diserap
dan disatukan secara utuh dengan Allah.
Dengan demikian tampak bahwa level hidup Maria, bukanlah level hidup
manusia. Hidup Maria berada dalam level Ilahi/Allah sendiri, level surgawi. Hidupnya
ditinggikan dan diangkat pada level hidup yang mulia: Dia berada dalam kemuliaan
bersama Allah karena tiada penghalang baginya untuk menatap wajah Allah, berada
bersama dan bersatu dengan Allah.
Berbeda dengan Maria, seluruh diri dan kemanusiaan kita belum disatukan
secara total, utuh dan penuh dengan Allah karena belum dikuduskan dan belum
diserap oleh Roh Allah. Dalam diri kita selalu ada sisi negatif (dosa) yang
menghalangi hubungan kita dengan Allah. Unsur inilah yang menghambat pergerakan
kita untuk menyatukan seluruh diri kita dengan Allah, Sang Penyelamat.
Konsekuensinya: Seluruh diri dan kemanusiaan kita “belum” bisa beralih ke dalam
keberadaan yang definitif sebab masih ada “sisa” negatif yang menghalangi kita untuk
mewujudkan kemanusiaan kita secara utuh dan sempurna.
Dengan kata lain, dalam diri manusiawi kita yang terdiri dari unsur rohani-
jasmani masih ada unsur yang tidak bisa diikutsertakan atau masih ada unsur yang
menghambat kita untuk bersekutu dengan Allah. Unsur penghambat yang ada dalam
diri kita ini menyebabkan tawaran diri Allah (kasih-Nya) tidak meresap ke dalam
seluruh kemanusiaan kita sehingga kita tidak bisa berali ke dalam keberadaan yang
baru, yaitu kesatuannya dengan Kristus yang bangkit.
Sisi negatif yang tetap ada dan melekat dalam diri kita adalah dosa. “Sisa dosa”
(dosa pribadi dan dosa asal) baru akan lenyap di saat perjalanan sejarah umat manusia
berakhir. Pada momen ini, seluruh kemanusiaan kita yang lama akan dibebaskan dan
beralih ke dalam keberadaan baru, yaitu keberadaan surgawi.
Ini berarti bahwa setelah sejarah kehidupan dunia dan sejarah hidup kita
berakhir, seluruh diri manusiawi kita akan dibebaskan dari dosa pribadi dan kolektif
dan seluruh kemanusiaan kita yang positif diserap oleh dan ke dalam kasih Allah
tanpa halangan. Inilah makna otentik dari “kebangkitan badan”. Namun, kenyataan
kebangkitan badan ini tidak akan dialami sebelum sejarah manusia berakhir dan
eksistensi negatif manusia masih melekat dalam diri manusia.
Berkenaan dengan Maria, dogma ini menegaskan bahwa:
a. Dalam diri Maria tidak ada unsur negatif (dosa) sehingga seluruh diri dan
kemanusiaanya diserap ke dalam persekutuan definitif dengan Allah
(kekudusan Maria). Maria beralih ke dalam keberadaan yang baru dan definitif,
yaitu keberadaan yang baru dan mulia;
b. Maria tidak menjalani proses “pengadilan terakhir” karena tidak ada unsur
hakiki dalam dirinya yang harus dihakimi:
o Adalah tidak adil apabila Allah mengadili Maria sebab tidak ada alasan
bagi Allah untuk mengadili Maria. Kita, umat manusia layak diadili sebab
ada alasan bagi Allah untuk mengadili kita, yaitu dosa-dosa kita. Maria
tidak berdosa sehingga tidak ada alasan bagi Allah untuk mengadilinya.
o Adalah tidak adil apabila Allah memberikan hukuman kepada Maria dalam
bentuk kehancuran dan kebusukan tubuh. Maria tidak berdosa sehingga
tubuhnya tidak dikorupsi, tidak dihancurkan dan tidak dibusukan oleh
dosa-dosanya.
o Karena itu, jiwa dan raganya tidak binasa, tidak terkurung di dunia fana,
tetapi diangkat ke dalam kemuliaan Allah. Dia bersatu dengan Allah dan
memandang wajah-Nya dengan seluruh jiwa dan raganya.
Apabila diterima bahwa Maria mengalami kematian fisik-biologik dan
dibangkitkan oleh Allah, maka perlu diingat bahwa: “Kebangkitan badan” bukanlah
“perkara mayat” yang harus diapakan atau dibagaimanakan. Kebangkitan badan
merupakan “perkara keberadaan jasmani kita yang ikut serta dalam keadaan baru dan
definitif”.
Seluruh diri dan kehidupan Maria ikut serta dalam diri Yesus, Puteranya di
dunia ini. Oleh karena itu, dia pun ikut serta dalam kejayaan Yesus Kristus, Putranya.
Akan tetapi, janji Allah untuk ikut-serta dalam kejayaan Kristus ini juga diperuntukan
bagi kita semua yang percaya kepada-Nya. Kita akan duduk di atas dua belas takhta
untuk menghakimi ke dua belas suku Israel (Matius 19:28), bahkan “menghakimi
dunia dan Malaikat” (I Kor 6:2-3) dan akan memerintah bersama Kristus (II Timoteus
2:12).
Dogma Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi mengajarkan kita bahwa:
a. Apabila kita terarah kepada Allah dan tunduk kepada kehendak-Nya seperti
Maria, maka tidak ada peluang bagi kita untuk berbuat dosa. Kita tidak akan
menyakiti hati Allah yang hidup dalam diri kita.
b. Apabila kita tidak menyakiti hati Allah dan sesama, maka hidup kita akan
diangkat, ditinggikan dan dimuliakan seperti Maria. Kita akan hidup dalam
kemuliaan Allah.
c. Kita akan layak memandang wajah Allah apabila tidak ada penghalang bagi
kita untuk menatap-Nya. Penghalang utama adalah dosa. Penghalang itu selalu
ada ketika kita hidup menurut keinginan kita, bukan keinginan Allah.
d. Memandang wajah Allah berarti memperoleh keselamatan. Kita akan
menikmati keselamatan kekal bersama Allah, memandang wajah-Nya yang
agung dan mulia apabila kita memberian tempat dan membiarkan Allah hidup
dalam diri kita.
e. Kemuliaan jiwa dan raga kita akan dinyatakan apabila kita memperlihatkan
keindahan dan kemuliaan hidup Allah dalam diri kita.