Anda di halaman 1dari 26

Santa Maria

Dalam Ajaran Resmi Gereja

Alfonsus Very Ara, Pr

***********************************

Posisi Santa Maria dalam Gereja

Ajaran Resmi Gereja mengenai kedudukan dan peranan Santa Maria dalam
iman Gereja dirumuskan dalam Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, Lumen
Gentium, Bab VIII, Nomor 52-69. Dalam dokumen resmi ini, Gereja berbicara
mengenai “Santa Perawan Maria, Bunda Yesus - Bunda Allah - Bunda Gereja serta
kedudukan dan peranannya dalam takhta keselamatan Kristus bagi dunia.

Gereja menjelaskan bahwa kedudukan dan peranan Santa Maria dilihat dari dua
sisi penting, yaitu: pertama, kedudukan dan peranan Santa Maria dalam tata
keselamatan Putranya Yesus Kristus; kedua, kedudukan dan fungsi Bunda Maria
dalam Gereja.

a. Kedudukan dan Peranan Santa Maria dalam Takhta Keselamatan Yesus


Kristus

Berkenaan dengan kedudukan kedudukan dan peranan Santa Maria dalam tata
keselamatan Putranya Yesus Kristus, Gereja menegaskan bahwa keberadaan Bunda
Maria menjadi sangat penting dalam Gereja karena dia bersatu, tidak terpisahkan dari
Putra-Nya, Yesus Kristus. Walaupun demikian, kedudukan dan peranan Maria tidak
sama dengan kedudukan dan peranan Yesus Kristus dan juga tidak bisa disamakan
dengan kedudukan dan peranan umat beriman. Dalam Konstitusi Dogmatis tentang
Gereja, Lumen Gentium 66, para Bapa Konsili Vatikan II menegaskan kedudukan
Maria dengan pernyataan ini: “Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah
Putera-Nya, di atas semua Malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci,
yang hadir pada misteri-misteri Kristus”.

Melalui pernyataan ini, Gereja menegaskan inti imannya bahwa hanya Yesus
Kristus yang menjadi “Pengantara Tunggal dan Universal” antara Alah dan manusia.
Ini berarti bahwa semua hubungan antara Allah dan manusia, manusia dengan Allah
hanya dibangun melalui Yesus Kristus. Karena itu, tidaklah tepat apabila ada orang
Katolik (para legioner Maria) yang mengatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda
Pengantara serta berdoa dengan pengantaraan Bunda Maria. Umat Katolik
membutuhkan pendampingan Bunda Maria dan berdoa bersama Bunda Maria, bukan
berdoa kepada Bunda Maria. Isi doa orang Katolik ditujukan kepada Allah Bapa
dengan Pengantaraan Yesus Kristus, bukan dengan pengantaraan Bunda Maria.

Peran Bunda Maria bagi seluruh umat manusia tidak boleh menyurutkan
kedudukan dan peranan Yesus Kristus sebagai “Pengantara Tunggal” antara Allah dan
manusia, tetapi justru menyingkapkan kekuatan dan meneguhkannya (Lumen Gentium
60) sebab perannya bagi manusia terkandung di dalam jasa Yesus, Puteranya. Peranan
ini memperlihatkan bahwa kedudukan Maria sangat istimewa serta mengungguli
peran Malaikat dan umat beriman.

b. Peranan dan Kedudukan Santa Maria dalam Gereja

Berkenaan dengan kedudukan dan peranan Santa Maria dalam Gereja, iman
Katolik menegaskan bahwa Bunda Maria adalah adalah salah satu anggota Gereja
Kristus. Namun dia adalah pola atau teladan unggul-istimewa Gereja dalam
persekutuan mesra dengan Kristus, terutama dalam iman, cinta kasih dan harapan.
Maria adalah Bunda umat manusia dan Bunda kaum beriman yang bersekutu dalam
Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja.

Keunggulan Bunda Maria terletak pada imannya. Dengan kekuatan imannya,


Bunda Maria mengajarkan seluruh umat manusia bagaimana seharusnya berziarah
menuju Allah. Model imannya memperlihatkan bahwa dalam totalitas
kemanusiaannya sebagai makhluk ciptaan Allah, dia sedang berziarah menuju
kepenuhannya sebagai manusia. Muara peziarahannya adalah bersekutu dan bersatu
dengan Allah dalam kekuatan rahmat. Dalam peziarahan hidupnya di dunia ini, Bunda
Maria menghadapi aneka bentuk tantangan sejak dia menerima Kabar Gembira dari
Malaikat Allah hingga di kaki salib Putranya. Bunda Maria menghadapi semua
peristiwa hidupnya yang penuh misteri dengan iman dan harapan yang kokoh kepada
Allah. Pikiran dan hatinya hanya terarah kepada Allah dan dia taat seutuhnya kepada
kehendak Allah. Model iman Maria dalam perjalanan menuju Allah inilah yang
dibutuhkan oleh semua manusia beriman.
Kesaksian Biblis

1. Maria: Bunda Putera Allah yang Menjelma menjadi Manusia (St. Paulus)

Kendati tidak menyebutkan nama Maria, namun Paulus mendedikasikan


permenungan tentangnya (hanya satu kali saja) di dalam suratnya kepada jemaat di
Galatia 4: 4-5. Paulus menjelaskan bahwa, “... setelah genap waktunya, [...] Allah
mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan ... ”.

Apabila dikaji secara mendalam gagasan-gagasan Paulus yang tertuang di


dalam surat-suranya, maka ditemukan dua alasan fundamental baginya untuk tidak
menyebutkan nama Maria sebagai Ibu Yesus:

Pertama, bagi Paulus, keberadaan Yesus, Putera Allah sebelum berinkarnasi


serta kehidupan duniawi yang dijalani-Nya sebelum pra-Paskah merupakan kunci
untuk memahami inti teologi tentang Wahyu Allah dalam sejarah manusia. Dengan
memusatkan permenungannya pada pra-eksistensi Putera Allah dan puncak Wahyu
Allah pada diri-Nya dalam peristiwa inkarnasi, Paulus menegaskan bahwa di dalam
bingkai sejarah keselamatan, “Putera Allah yang sebelumnya (pra-eksistensi) ada
bersama Allah dan sehakekat dengan-Nya adalah sungguh-sungguh Allah”.

Walaupun demikian, dalam peristiwa inkarnasi, Putera Allah yang sebelumnya


ada bersama Allah itu harus “takluk kepada hukum Taurat”. Keyakinan iman ini
dituangkan dalam suratnya kepada jemaat di Roma dan Filipi: Putera Allah “yang
menurut daging, diperanakkan dari keturunan Daud” (Rom 1:3) itu “sama dengan
Allah” (Fil 2:6); “Dia diutus Allah dalam daging, yang serupa dengan daging yang
dikuasai dosa karena dosa” (bdk. Rom. 8:3). Dia diutus ke dunia; menjadi manusia,
sama seperti manusia dan menjadi Mediator Keselamatan.

Kedua, Paulus tidak menyebutkan bahwa Yesus dikandung dan dilahirkan dari
Maria berkat daya Roh Kudus; Paulus juga tidak menjelaskan apakah Maria
mengandung dan melahirkan sebagai seorang perawan atau bertentangan dengannya.
Paulus justu menyingkapkan kodrat manusiawi Yesus dengan menjelaskan akar pra-
eksistensi-Nya sebagai Putera Allah, tanpa mempersoalkan akar kemanusiaan-Nya,
terutama momen kelahiran-Nya. Baginya, “seluruh detak peristiwa kehidupan Putera
Allah terjadi di dalam Allah dan tindakan-Nya demi keselamatan manusia”.

Kendati tidak menyebutkan nama Maria, di dalam suratnya kepada jemaat di


Galatia, Paulus menghubungkan pra-eksistensi Putera Allah dengan sejarah
keselamatan dunia serta menghubungkan Anak Allah dan ibu-Nya. Keyakinan akan
pra-eksistensi Putera Allah, kesehakekatan-Nya dengan Allah serta kelahiran-Nya
dalam peristiwa inkarnasi menuntun Paulus kepada sebuah pengakuan iman bahwa
“perempuan” yang dimaksud dalam suratnya kepada jemaat di Galatia ini adalah
Bunda Allah. Pernyataan dan pengakuan iman ini kelak dijadikan dogma dan inti
ajaran iman Gereja tentang Maria.

2. Putera Allah adalah Putera Maria (St. Markus)

Markus mengawali Injilnya dengan memaklumkan inti iman kepada Yesus


Kristus:

o Yesus dari Nazareth adalah “Putera Allah” (Markus 1:1); “Mesias dan Putera
yang Terberkati” (bdk. Markus 14:61).
o Nabi Eskatologis: Yesus bukan nabi biasa; Dia adalah Bentara Kerajaan
Eskatologi Allah (Markus 1:5).
o Dengan demikitan tampak bahwa Yesus bukanlah sosok ilahi mitologis sebab
“Dia sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia”.
o Dalam hubungan-Nya dengan Allah, Markus menyembutkan-Nya sebagai
“Anak Allah”. Namun, “Dia yang adalah Anak Allah” adalah juga “Anak
Maria” (Markus 3: 31-35 dan 6:3.)
o Penegasan Markus bahwa Yesus serentak Anak Allah dan Anak Maria
menunjukan bahwa kemanusiaan (historisitas) Yesus merupakan garansi untuk
membuktikan kesamaan-Nya dengan manusia-ciptaan yang hidup dalam
sejarah dunia.
o Karena alasan fundamental inilah maka dia menegaskan inti keyakinan
imannya bahwa “Maria adalah Ibu Yesus (bdk. Markus 3,31).
o Cakupan Saudara Yesus dan Hubungan Yesus dengan Keluarga
 Tatkala Yesus mengawali penampilan dan karya-Nya di hadapan publik,
keluarga-Nya berjuang agar Dia dibawa kembali ke rumah-Nya karena
mereka berpikir bahwa “Dia tidak waras lagi” (Markus 3:31-31),
terutama ketika Dia menyembuhkan seorang lumpuh (Markus 2,12).
 Makna teologis yang digariskan Markus adalah: menegaskan bahwa
misi Yesus adalah misi religius dan ikatan natural keluarga tidak mutlak
dihubungkan dengan bingkai tradisi religius Yudaisme, melainkan
melampaui praksis historis dan kehidupan manusiawi. Relasi baru yang
dibangun Yesus di dalam dan dengan Pengantaraan-Nya adalah
menjadikan semua manusia sebagai “saudara, saudari dan ibu-Nya”
(Markus 3:35). Relasi ini hanya bisa terpupuk apabila pribadi-pribadi
manusia memenuhi satu tuntutan fundamental yang diajarkan-Nya,
yaitu: “Melakukan kehendak Allah”, memahami dan
mengaktualisasikan daya dan misi Ilahi di dalam-Nya sebab Dia adalah
Mediator Kerajaan Eskatologi Allah.

3. Yesus Dikandung di dalam Rahim Perawan Maria berkat Karya Roh Kudus
(St. Matius dan St. Lukas)
3.1. Apakah Matius 1-2 dan Lukas 1-2 merupakan Kisah Historis?
o Menurut sejumlah ahli Kitab Suci (aliran fundamentalis), aneka bentuk kisah
yang dilukiskan dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 merupakan tradisi yang
berasal dan dipelihara oleh sanak-saudara Yesus.
o Namun pendapat ini kurang didukung dan penilaian atas kisah-kisah tersebut
justru melemahkan pendapat dan kesimpulan mereka sendiri.
o Harus ditegaskan bahwa Matius 1-2 dan Lukas 1-2 bukanlah laporan historik,
melainkan sebuah pewartaan iman tentang Yesus (bukan tentang Maria).
o Diakui bahwa di dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 dikisahkan tentang Ibu
Yesus, namun inti kisah itu selalu ditempatkan dalam konteks pewartaan
tentang Yesus: “Matius 1-2 dan Lukas 1-2 tidak bermaksud melaporkan hal-
ikhwal Yesus, orang Nazaret, melainkan mewartakan Yesus Kristus
sebagaimana diimani jemaat Kristen tatkala Injil disusun oleh orang-orang
yang tidak terlibat dalam kehidupan Yesus, orang Nazaret itu”.

Beberapa ahli Ilmu Sejarah Agama-agama berusaha membuktikan bahwa


kisah-kisah itu dipengaruhi oleh mitologi agama kafir. Akan tetapi pembuktian ini
tidak dibutuhkan sebab:

o Pertama, Perjanjian Lama dan Tradisi Yahudi menjadi dasar/landasan untuk


menjelaskan kisah-kisah ini;
o Kedua, kisah-kisah itu berakar dalam lingkup Kristen Yahudi yang sama sekali
tertutup terhadap mitologi kafir;
o Ketiga, di zaman Perjanjian Baru, kaum kafir yang terdidik pun agak skeptis
terhadap mitologi tradisional sehingga tidak dipergunakan sebagai media
pengungkapan iman.
o Adalah sangat aneh apabila tradisi Kristen, terutama penginjil, kaum terdidik,
memanfaatkan mitologi tradisional yang sama sekali tidak berperan itu sebagai
media untuk mengungkapkan inti iman Kristen yang baru.

Walaupun kisah kelahiran dan masa muda Yesus dinilai sebagai ciptaan
tradisi (penginjil), namun tidak bisa disimpulkan bahwa kisah-kisah tersebut
merupakan khayalan semata. Kisah-kisah tersebut berisikan inti iman Kristiani akan
sosok historik Yesus dari Nazareth, kendati apa yang diimani “tidak historik, tidak
bisa diamati dan tidak bisa diselidiki dengan oleh ilmu sejarah”.

Kisah-kisah tentang Maria, Ibu Yesus dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2
memiliki ciri yang unik. Dalam dan melalui kisah-kisah ini, tertuang:

o Visi penulis dan jemaat Kristen tentang Ibu Yesus yang ditempatkan dalam
konteks pemberitaan tentang Yesus Kristus (menjelang Abad Pertama) dalam
sejarah dan takhta penyelamatan.
o Keberadaan Ibu Yesus hanya relevan sejauh ditempatkan dalam konteks iman
akan Yesus Kristus.
o Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila di dalam kisah kelahiran Yesus
selalu disertakan dengan kisah tentang ibunya.
o Perbedaannya, di dalam kisah Lukas, Maria, Ibu Yesus menjadi pelaku utama,
di samping Puteranya, Yesus Kristus.
o Dalam kisah Matius, peran Maria disingkirkan. Peran utama yang ditonjolkan
adalah Yesus dan Yosef untuk menegaskan bahwa Yesus, Sang Mesias adalah
keturunan Daud.

Titik Berangkat

o Berbeda dengan Paulus dan Yohanes, permenungan Matius dan Lukas tidak
merujuk pada pra-eksistensi Putera bersama Bapa sebelum inkarnasi (Yohanes
1,1.14.18), misi-Nya dalam daging (Roma 8:3) dan kelahiran-Nya sebagai
seorang manusia dari seorang perempuan (Galatia 4:8).
o Matius dan Lukas justru berangkat dari relasi filial kemanusiaan Yesus dengan
Allah, Bapa-Nya.
o Dengan pendasaran ini, Matius dan Lukas memperlihatkan bahwa “kodrat
Yesus sebagai Putera Allah” merupakan landasan fundamental untuk
menjelaskan “kelahiran kemanusiaan Yesus” sebagai puncak Wahyu Allah
dan inti cinta-Nya demi keselamatan dunia.
o Keyakinan iman Matius dan Lukas akan kesehakekatan kodrat Allah dan
manusia dalam diri Yesus memotivasi mereka untuk menyusun kembali tradisi
injili yang berakar pada budaya Yudaisme Palestina berkenaan dengan
peristiwa “Yesus yang dikandung dan dilahirkan dari Perawan Maria berkat
karya Roh Kudus”, “tanpa kerjasama dengan laki-laki” serta ‘kisah awal
kehidupan Yesus di hadapan publik”.
o Untuk mewujudkan impian iman ini, Matius dan Lukas menyusun Kisah
Kanak-kanak Yesus. Usaha ini tidak dimaksudkan untuk menyenangkan
pembaca dan pendengar dengan kisah menakjubkan seputar masa Kanak-
kanak Yesus, tetapi menyingkapkan kandungan teologis yang sangat
mendalam berkenaan dengan penegasan langsung atas “Kekuatan atau Daya
Roh Ilahi”, baik di dalam kelahiran kemanusiaan Yesus dari Maria, eksistensi
historis, misi maupun dalam pewahyuan diri-Nya sebagai Mediator Eskatologi
Kerajaan Allah.
o Dalam Injil Matius (1-2), Yosef, tunangan Maria merupakan sosok kunci untuk
memahami peristiwi hidup Yesus: Yesus, Putera Allah adalah sosok manusia
yang melampaui kodrat semua makhluk ciptaan dan melampaui pengenalan
alamiah manusia. Putera Allah yang dinantikan Maria bukanlah buah
hubungan natural antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
(Matius 1:18.25), sebab keberadaan-Nya di dalam rahim Maria
merupakan buah karya Roh Kudus Allah (Matius 1:8.20).
o Untuk mengerti peran Roh Kudus Allah ini, kita dituntun untuk memahami
kandungan biblis perihal karya penciptaan yang dikondisikan oleh Allah
sendiri. Roh Kudus, kodrat (esensi) Allah sendiri tidak bekerja
berdasarkan alasan-pertimbangan natural- empiris-nyata seperti yang
dilakukan oleh seorang laki-laki. Karena itu, secara ekslusif, titik
berangkat permenungan Matius dan Lukas adalah lukisan-struktur
teogami ini: “Memperanakan Allah-Manusia yang berkodrat Pengantara
Allah-Manusia”.
o Roh Kudus Allah tidak bekerja berdasarkan alasan-lasan natural
sebagaimana terjadi dalam karya ciptaan.
o Roh Kudus Allah menghasilkan sesuatu dari ketiadaan, tanpa membutuhkan
aneka praduga-pertimbangan manusia.
o Yesus Kristus tidak diperanakan secara biologis-natural, melainkan berkat daya
Roh Kudus dan aksi Roh Kudus Allah itu memiliki respesitasnya terhadap
rencana penciptaan itu sendiri. Perkandungan Yesus di dalam rahim Perawan
Maria tanpa keterlibatan seorang laki-laki serentak menyingkapkan karya
efektif dan penuh daya dari Allah di dalam diri Maria.

3.2. Makna Teologis

o Peristiwa Yesus dikandung di dalam rahim Perawan Maria berkat kekuatan


Roh Kudus tidak bisa diverifikasi secara empiris dengan menggunakan ilmu
alam atau biologi serta tidak bisa ditarik titik kesimpulan bahwa peristiwa
tersebut tidaklah real dan hanya sebuah interpretasi teologis.
o Realitas peristiwa tersebut melampaui semua detak empiris-manusiawi-
duniawi.
o Allah tidak bekerja dalam wujud material, tetapi tindakan-Nya
merangkum dimensi tubuhnia dan kelak diperlihatkan kepada ciptaan
dalam wujud simbolik.
o Realitas Yesus dikandung di dalam rahim Perawan Maria berkat kekuatan Roh
Kudus dan makna fundamental yang terkandung di dalamnya hanya bisa
dimengerti dalam horison iman biblis kepada Allah.
o Allah Israel mengomunikasikan transendensi diri-Nya dalam realitas historis-
manusiawi, yaitu dalam kondisi, sebab dan efek-efek alami dan real eksistensi
manusiawi-Nya.
o Allah, Inisiator tindakan inkarnasi serentak menjadi landasan transendental
kelahiran eksistensi manusiawi Yesus.
o Allah tidak menyatukan diri-Nya dengan seorang manusia, melainkan
menjadi dan menyatu dengan hypostasis manusia-ciptaan tanpa mediasi
prokreasi natural.
o Dalam rencana inkarnasi Allah yang nyata dalam tindakan penciptaan-Nya ini,
(tanpa mediasi prokreasi alami yang serentak menjadi alasan penciptaan
melalui kelahiran seorang manusia), tampak fundamennya, yaitu di dalam
hypostasis Sabda Ilahi yang tidak diciptakan ini nyata eksistensi kemanusiaan
Yesus.

Tradisi iman Israel mengakui bahwa keberadaan motif transendensi personal-


radikal diri Allah merupakan sebuah hubungan yang sama sekali berbeda antara Allah
dan ciptaan. Allah tidak memasuki sejara dunia dalam wujud aneka kehadiran fisik,
sebaliknya melalui Sabda dan tindakan-Nya dalam sejarah.

o Antara Allah dan Maria tidak ada hubungan teogami; Allah tidak mengadakan
hubungan seksual dengan Maria, tetapi tanpa membutuhkan aneka dugaan
mengenai hubungan fisik dan kondisi alami, dengan kehendak penciptaan-Nya,
yaitu dengan Pneuma dan dynamis-Nya dilakukan: kemanusiaan Yesus diawali
keberadaan-Nya di dalam tubuh Maria, Ibu-Nya.
o Karena itu, totalitas diri Yesus berbeda dari manusia yang dikisahkan dalam
mitologi-mitologi yang berkembang dalam sejarah.
o Yesus Kristus bukanlah sosok setengah Allah dan setengah manusia, melainkan
sebagaimana ditegaskan dalam pengakuan inti iman Gereja, Dia sungguh-
sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia.
o Kesatuan Allah-Manusia dalam diri Yesus tidaklah lahir dari percampuran fisik
antara unsur-unsur manusiawi dan elemen-elemen ilahi, melainkan melalui
persona Logos yang menyokong kesatuan antara kodrat Ilahi dengan kodrat
manusiawi dan keduanya tidak bercampur dalam diri Yesus.

4. Maria, Saksi Kemuliaan Allah (St. Yohanes)

Yohanes memperkenalkan bahwa semua tindakan historik Yesus merupakan


puncak pewahyuan tentang Kemuliaan Allah dan kesatuan-Nya dengan Allah, Bapa-
Nya sebelum adanya dunia. Dengan penyingkapan wahyu kemuliaan Allah ini, Yesus
menghimpun dan menuntun para murid-Nya untuk percaya (Yohanes 2:11). Dalam
iman dan cinta, para murid ambil bagian dalam persekutuan dengan Bapa, Putera dan
Roh Kudus dalam Cinta Allah yang merupakan esensi Allah sendiri (Yohanes 17:24).

Tatkala berbicara tentang Maria, Yohanes tidak mendasarkan permenungannya


pada profil biografi seorang Maria. Dalam Injilnya, Yohanes hanya dua kali berbicara
tentang Maria, yaitu diawal pewahyuan kemuliaan Yesus dalam pesta perkawinan di
Kana dan penyingkapan kemuliaan Yesus di kayu salib. Dalam dua momen ini,
Yohanes menghubungkan Maria dengan pewahyuan kemuliaan Allah. Maria
sungguh-sungguh mengenal siapakah Yesus, Puteranya dan dia adalah murid pertama
yang percaya dan beriman akan Allah dalam diri Yesus Putera-Nya: “Apa yang
dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yohanes 2:5).

Berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di kaki salib, berita yang disampaikan
Yohanes bukanlah berita historik, terutama berkenaan dengan rasa cemas yang
menguncang Yesus terhadap Maria, ibunya dan para murid-Nya. Pada momen ini,
unsur terpenting yang dipaparkan Yohanes adalah kedalaman makna simbolik yang
terkandung di dalam penegasan Yesus: makna kehidupan Kristen hanya bisa dipahami
apabila seluruh peritiwa hidup-Nya terjadi dan diungkapkan secara transparan.
Perkataan Yesus kepada Maria: Ibu, inilah anakmu” dan kepada murid-murid-Nya
“Inilah ibumu” serta penegasan: “dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam
rumahya” (Yohanes 19:26) diterjemahkan dengan muatan spiritual mengenai relasi
ibu-anak antara Yesus dan Maria serta hubungan antara Maria dengan Gereja. Maria
adalah bagian dari komunitas mudah sebagai figur iman yang pertama dan paling
utama dan murid Yesus tersempurna, sebab seluruh kehidupannya terarah total kepada
Yesus, Puncak Penyingkapan kemuliaan Allah.

Maria memberikan kesaksian imannya sebagai ibu Yesus, eksistensi historis


Yesus dalam kemanusiaan-Nya serta memberikan kesaksian tentang kemuliaan dan
keilahian-Nya dan dalam kepenuhannya semua manusia menerima rahmat demi
rahmat (bdk. Yohanes 1:16).

5. Garis-garis Imaginasi Perjanjian Baru tentang Maria

Maria adalah Hamba Pilihan Allah, melalui rahmat Roh Kudus, peristiwa
eskatologi Putera Allah menjadi dan tinggal di antara manusia.
Dalam persekutuan Perjanjian Baru, Maria adalah prototipe hubungan antara
manusia dengan Allah yang nyata dalam korelasi kebenaran antara Sabda dan
Iman (cinta). Dia adalam model manusia beriman dan model Gereja, Umat
Allah dalam Persekutuan Baru.
Kontinuitas antara Israel dan Gereja juga dinyatakan dalam Wahyu 12:1-
8. Sebuah tanda yang menakjubkan tersingkap di surga: seorang perempuan
yang berselimutkan matahari dengan bulan di kakinya dan dua belas corona di
kepalanya. Seekor naga ...
Maria adalah Bunda Tuhan (Allah) yang sedehana dan rendah hati. Di dalam
dirinya dinyatakan kemanusiaan Yesus berkat kekuatan Roh Kudus. Maria
terbuka menerima rahmat Allah dalam dirinya dalam wujud iman, harapan dan
cinta, dalam hubungannya dengan Yesus Kristus dan komunitas keselamatan,
yaitu Gereja.
Kesaksian akan maternitas ilahi dan keperawanan Maria ditegaskan dalam
landasan biblis tentangnya dan penegasan Gereja di dalam semua bentuk
kultus Mariani.

6. Maria dalam Kitab Apokrip

Di dalam kitab apokrip ditemukan kisah mengenai masa kanak-kanak Maria


dan Yesus. Kisah ini dipaparkan karena informasi Perjanjian Baru dinilai tidak
memadai. Diakui bahwa para Bapa Gereja mempergunakan data-data yang tersaji
dalam kitab ini tatkala berbicara tentang citra dan jati diri Maria. Ada pun kitab-kitab
yang dimaksud:
6.1. Protoevangelium Jacobi (tahun 150 M)

Di dalam Proteevangelium Jacobi, penginjil menegaskan Maternitas Ilahi


seorang Maria: Maria adalah Perawan dan Bunda Allah dan Yesus dilahirkan tanpa
peranan seorang ayah. Adapun beberapa unsur marialogi yang ditegaskan dalam
Protoevangelum Jacobi ini:

Maria berjanji untuk hidup sebagai seorang perawan.


Maria tetap perawan (keperawanan permanen) sesudah melahirkan.
Saudara-saudara Tuhan adalah putera Yosef yang lahir dari perkawinan
pertamanya (Yosef sudah memiliki putera sebelum berkenalan dengan Maria).
Gagasan ini mendukung keperawanan permanen Maria.
Kesaksian Maria sendiri tentang keperawannya tatkala dia mengandung.
Dikisahkan bahwa tatkala Yosef berada di lokasi pembangunan, Malaikat
Tuhan mendatangi Maria dan menyampaikan Kabar Sukacita kepadanya.
Ketika pulang, Yosef mengeluh karena Maria sudah mengandung. Kepada
Yosef, Maria bersaksi bahwa dia mengandung bukan dari seorang laki-laki dan
Allah sendiri tahu tentang peristiwa itu.
Warta lain berasal dari kesaksian seorang bidan (Protev. 19:3). Dikisahkan
bahwa Bayi Yesus keluar dari rahim Maria secara alamiah. Setelah melahirkan
Bayi itu, rahim Maria tetap tertutup. Maria tidak menderita-menjerit kesakitan
di saat melahirkan sebab dia tidak mendapat hukuman yang diberikan kepada
Hawa sebagaimana dilukiskan dalam Kejadian 3:16.

Dogma Gereja mengenai Bunda Maria

1. Maria, Bunda Allah (Theotokos)

Maria adalah Bunda Allah, Ibu Yesus. Keyakinan iman ini ditegaskan oleh
Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia 4:4: “Setelah genap waktunya, maka Allah
mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan”. Dengan pernyataan ini,
Paulus mengungkapkan keyakinan imannya bahwa sama seperti manusia, Yesus
serentak dilahirkan dari seorang perempuan dan ditempatkan dalam rangkaian
manusia.

Persoalannya, “Mengapa Paulus tidak menyebut nama perempuan itu adalah


Maria? Mengapa Paulus menyebut Ibu Yesus dengan kata “perempuan?”

Paulus tidak menyebut “perempuan” itu dengan namanya karena dia sungguh-
sungguh percaya yakin bahwa Yesus sudah ada sebelum Bunda Maria dan semua
umat manusia ada di dunia ini. Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia.
Dia sungguh-sungguh Allah. Dia sudah ada “sebelum adanya waktu dan sebelum
adanya dunia ini dengan segala isinya”. Segala sesuatu yang ada di dunia ini “ada
dalam ruang dan waktu”. Ini berarti, semua yang ada di dunia ini diciptakan oleh
Allah dalam ruang dan waktu serta berada berada ruang dan dalam waktu. Allah
menciptakan semua yang ada di dunia ini, termasuk manusia dalam ruang dan waktu.
Allah menciptakan dengan kekuatan Sabda-Nya, yaitu Daya Cipta-Nya sendiri dalam
diri Yesus Kristus. Allah dalam diri Yesus Kristus berada “di luar” ruang dan waktu.
Allah sudah ada sebelum adanya waktu dan sebelum semua makhluk ada, termasuk
bunda Maria.

Setelah genap waktunya, Allah harus menjelma menjadi manusia. Allah tidak
membiarkan identitas diri-Nya tetap tersembunyi bagi manusia, ciptaan-Nya. Allah
tidak menjadi Allah bagi diri-Nya sendiri. Allah menjadi Allah bagi semua ciptaan-
Nya, terutama manusia. Karena itu, Allah harus menyatakan diri-Nya supaya dikenal,
didekati dan diimani oleh manusia. Satu-satunya jalan yang dilakukan Allah adalah:
Dia harus “menerima daging manusiawi” atau menjelma menjadi manusia.

Ketika genap waktunya bagi Allah untuk menjelma menjadi manusia, Allah
harus tunduk kepada hukum yang berlaku bagi manusia, yaitu hukum kelahiran. Allah
harus menerima daging manusiawi dalam rahim seorang perempuan. Paulus tidak
menyebutkan nama perempuan itu adalah Maria sebab:

a. Bukan Bunda Maria yang membentuk kemanusiaan Yesus, Anak Allah


b. Allah sudah ada sebelum Maria ada.
c. Dengan tidak menyebutkan nama perempuan itu Maria, Paulus menegaskan
bahwa asal Yesus adalah dari Allah. Dia adalah Allah yang menjadi manusia.
d. Maria hanyalah media bagi Allah untuk menerima daging manusiawi atau
menjelma menjadi manusia. Walaupun demikian, Paulus menegaskan bahwa
“karena perempuan itulah, Yesus, Anak Allah menjadi manusia. Antara Yesus
dan “perempuan” itu terjalin relasi yang unik. Tiada seorang perempuan pun
yang menjadi Ibu Yesus, kecuali seorang perempuan yang bernama Maria.
Berkat relasi yang unik itu, Yesus, Anak Allah menjadi manusia. Dengan
demikian, perempuan yang menjadi Ibu Yesus serentak memiliki kedudukan
dan peranan yang unik dalam sejarah dan karya penyelamatan Allah sebab
Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan untuk menebus
manusia yang takluk kepada hukum supaya diterima menjadi anak-anak Allah.

Misi penjelmaan Allah menjadi manusia (inkarnasi) dan adanya Yesus, Anak
Allah di dunia ini bergantung pada Ibu-Nya, sama seperti setiap anak bergantung pada
ibunya. Menurut tradisi Kristiani (bdk. Lukas 2:11), hanya Anak Maria yang diimani
sebagai Juru Selamat dunia (Yohanes 4:42). Ini berarti, adanya Juru Selamat
bergantung pada Maria. Inilah kedudukan dan peranan tunggal bertautan dengan
keibuan biologis-personal seorang Maria. Dengan demikian, secara tidak langsung
karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus juga bergantung pada Maria.
Matius 1:21 juga menegaskan bahwa Maria melahirkan Yesus, (dengan-Nya Allah)
Penyelamat umat manusia dari belenggu dosa. Nama Yesus (Yesua) berarti “Tuhan
‘Yahwe’ yang menyelamatkan/menolong”.

Ditegaskan bahwa hanya iman Kristiani yang mengakui Yesus sebagai Juru
Selamat Dunia; “Allah Beserta Kita” (Matius 1:23). Anak Maria bukanlah manusia
biasa. Kaum Kristiani yang percaya dan beriman akan kebangkitan-Nya memberikan
pelbagai gelar kepada-Nya untuk mengungkapkan inti iman mereka kepada-Nya.
Gelar-gelar itu juga disingkapkan pada momen kelahiran Yesus. Dia adalah Mesias
(Matius 2:4; Lukas 2:11), keturunan Daud, seperti diperlihatkan dalam silsilah yang
disusun dalam tradisi Kristen (penginjil Matius 1:1-16) dan ditegaskan dalam Lukas
1:32). Oleh karena itu, Yesus harus lahir di Betlehem, Kota Daud (Matius 2:1; Lukas
2:4-7.11). Menurut keyakinan iman Kristiani, Yesus adalah Anak Allah yang Maha
Tinggi (Lukas 1:32-35; Matius 2:15) dan Tuhan (Kyrios). Seluruh inti iman Kristiani
akan Yesus diungkapkan dalam kisah tentang kelahiran-Nya. Iman yang berkembang
sesudah Paskah Kebangkitan Kristus ini menjadi kunci untuk menjelaskan dan
memahami peristiwa kelahiran-Nya. Oleh karena itu, gelar-gelar yang diberikan
kepada Yesus Kristus adalah gelar yang sudah ada sejak kekal dan pada momen
kelahiran sesungguhnya Yesus sudah demikian adanya, walaupun baru tersingkap
sesudah Paskah Kebangkitan-Nya.

Gereja mengakui dan menetapkan keyakinan imannya bahwa Maria adalah


Bunda Allah (Theotokos: Yang Melahirkan Allah) dalam Konsili Ekumenis Ketiga di
Efesus (431) ... “mengumunkan bahwa Maria, karena dia mengandung Putera Allah
dalam rahimnya, benar-benar menjadi “Yang Melahirkan Allah”.

Penegasan iman Gereja kepada Yesus Kristus ini serentak berimplikasi pada
penegasan iman Gereja mengenai Maria: Konsili menegaskan gagasan Theotokos
bagi Maria. Dia adalah Theo-tokos, Bunda Allah. Muatan teologis yang terkandung di
dalam penegasan Konsili ini adalah:

Maria tidak melahirkan manusia biasa. Maria tidak mengandung dan


melahirkan pribadi Logos (Sabda Allah) menurut keilahian-Nya, melainkan dalam
kemanusiaan-Nya. “Hakekat Sabda dan keilaihan-Nya (Yesus Kristus) tidak berasal
dari Perawan Suci, melainkan dari Daya Cipta Allah sendiri. Gelar Maria sebagai
Bunda Allah dimaksudkan untuk menjamin bahwa Yesus Kristus sehakekat dengan
Allah dan manusia. Sejak inkarnasi, pribadi-kemanusiaan Yesus yang berasal dari
Sabda Kekal Allah itu sungguh-sungguh seorang manusia, Anak Maria. Dia adalah
Allah sejati. Konsekuensinya, perempuan yang melahirkan-Nya adalah Bunda Allah.
Gelar ini serentak menangkal pelbagai tuduhan bahwa Allah memiliki seorang ibu dan
Maria melahirkan hanya satu komponen saja dalam diri Yesus, yaitu kodrat insani-
Nya.

Lumen Gentium

Markus menyembutkan bahwa Yesus adalah “Anak Allah”. Namun, “Dia yang
adalah Anak Allah” juga “Anak Maria” (Markus 3:31-35 dan 6:3.) Penegasan Markus
bahwa Yesus serentak Anak Allah dan Anak Maria menunjukan bahwa kemanusiaan
(historisitas) Yesus merupakan garansi untuk membuktikan kesehaketan Yesus
dengan Allah dan kesamaan-Nya dengan semua manusia, ciptaan Allah yang hidup
dalam sejarah dunia. Karena alasan fundamental inilah, maka dia menegaskan inti
keyakinan imannya bahwa “Yesus adalah Anak Allah dan Maria menjadi Ibu-Nya
(bdk. Markus 3:31).
Maria menjadi tujuan “langsung” dan “utama” dari pemakluman Kabar
Gembira Allah melalui Malaikat-Nya untuk menjadi Bunda Putra Allah. Dalam
dirinya, Sabda Kekal Allah sungguh-sungguh menjelma menjadi manusia. Dia
mengandung dan melahirkan Yesus, Putra Allah dengan “Daya Cipta Allah” sendiri.
Peristiwa perkandungan dan kelahiran Yesus, Putra Allah dari rahimnya sama sekali
tidak mengurangi keutuhan keperawanannya, melainkan justru menyucikannya sebab
Daya Cipta Allah yang bekerja dalam dirinya.

Karena landasan iman ini, maka Gereja menegaskan bahwa Maria adalah
Bunda Allah (Bunda Penebus) yang sesungguhnya sebab dia memberikan “Hidup”,
yaitu Yesus, Sang Hidup dan Sang Penebus kepada dunia. Dia dipersatukan dalam
ikatan yang erat dan tidak terputuskan dengan Yesus, Putra Allah yang menjelma
menjadi manusia dalam rahimnya. Dia dianugerahi kurnia dan martabat luhur sebagai
Bunda Putra Allah.
Ajaran Resmi Gereja Katolik selalu memperlihatkan keterikatan hubungan
antara Maria dengan Yesus, Putranya serta memaralelkan perannya sebagai Ibu Yesus
dengan Puteranya, Yesus Kristus. Tendensi ini diungkapkan secara tegas dalam
Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium no. 57-59. Muatan hakiki tendensi ini
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Maria hanya berarti dalam iman Gereja sejauh
terikat dengan Yesus serta terlibat dalam seluruh peristiwa hidup Yesus, Puteranya.
Konsili menegaskan bahwa Maria adalah Ibu Yesus. Konsili menjelaskan
bahwa Maria setia mengikuti jejak hidup Yesus, Putranya yang berpuncak pada
sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut demi keselamatan manusia.
Terpaut dengan puncak karya hidup Yesus ini, maka tidaklah mengherankan apabila
Gereja berusaha menyingkapkan keterlibatan Maria dalam seluruh ikhwal kehidupan
Yesus, Putranya: Sebagaimana Yesus menderita, wafat, bangkit dan masuk ke dalam
kemuliaan-Nya (Lukas 24:26), Maria pun turut menderita dan turut dimuliakan (bdk.
Roma 24:26).
Jika demikian, patut dipertanyakan, “Sejauh manakah keterlibatan Maria
bermakna bagi manusia? Manakah peranan Maria dalam karya penyelamatan?
Keterlibatan Maria dalam kehidupan Yesus berawal dari peristiwa penjelamaan
Yesus, Putra Tunggal Allah dalam rahimnya menjadi manusia. Dia adalah Ibu fisik-
biologis serta spiritual dan personal bagi Yesus, Puteranya. Dia merelakan diri
sepenuhnya untuk menjadi Ibu Yesus.
Maria adalah Ibu Yesus. Dia secara istimewa mendampingi Yesus, Putranya
dengan penuh kemurahan hati. Dia menjadi hamba Allah yang rendah hati di saat dia
menerima Kabar Gembira, mengandung, melahirkan, membesarkan,
mempersembahkan Putranya kepada Allah di kenisah serta ikut menderita bersama
Puteranya yang wafat di kayu salib. Dia menemani Putra-Nya dalam melaksanakan
karya keselamatan-Nya dengan penuh ketaatan, iman, harapan serta cinta kasih yang
berkobar.
Namun, keibuan Maria diperuntukkan bagi semua manusia sebab Yesus,
Puteranya adalah Juru Selamat dunia. Adanya Sang Juru Selamat dan karya
keselamatan-Nya bagi manusia tidak terpisahkan dari keberadaannya sebagai Ibu,
kendati sebagai Sang Juru Selamat, Yesus, Puteranya tidak tergantung kepadanya.
Argumen iman yang ditegaskan Konsili Vatikan II berakar pada pernyataan Irenius
(Abad II): Maria adalah sebab (causa) penyelamatan (salutis) [Lumen Gentium 56].
Gaya bicara konsili ini dimaksudkan untuk mengedepankan relasi Ibu-Anak
antara Maria dengan Yesus, Puteranya. Dengan kebebasan dan kerelaaan yang penuh,
Maria menjadi Ibu Sang Juru Selamat. Di satu pihak, sebagai Anak, Yesus tergantung
pada Maria, ibu-Nya sebagaimana anak-anak umumnya tergantung pada ibu mereka.
Namun, di pihak lain, Maria dan Yesus Puteranya tergantung kepada Allah, Pencipta
dan Juru Selamat. Kendati dengan penuh kerelaan Maria menerima tugas mulia yang
diembankan kepadanya, namun agen utama yang bertindak di dalam dirinya adalah
Allah sendiri: Allah memberdayakannya dengan daya cipta dan kekuatan Ilahi-Nya
untuk mengemban tugas luhur sebagai Ibu Sang Juru Selamat. Kerelaan, kesediaan,
kesanggupan dan keselamatan Maria tergantung seutuhnya pada pilihan Allah dan
daya Ilahi-Nya demi Sang Juru Selamat dunia.
Dalam dirinya, Yesus Kristus, Putra Allah hadir di dunia dalam rupa manusia.
Yesus Kristus menyatu dengannya dan seluruh umat manusia dalam rahimnya.
Sebagai seorang ibu, Maria juga membuka diri terhadap pewartaan Sabda Putranya.
Dia menerima Sabda Putranya bahwa relasi yang dibangun dengan Allah tidak
didasarkan pada ikatan daging dan darah. Dia juga menerima Sabda Putranya bahwa
manusia yang berbahagia adalah manusia yang mendengar dan melakukan Sabda
Allah. Dalam tuntutan Sabda Putranya ini, Maria berlangkah dalam peziarahan iman.
Dia tetap setia mempertahankan kesatuannya dengan Putranya hingga di kaki salib
sesuai dengan rencana Allah sendiri. Dia menanggung penderitaan yang dasyat
bersama Putranya. Dengan hati keibuannya, dia menyatukan diri dengan korban Putra-
Nya dan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkan dari rahimnya.
Menjelang wafat-Nya, Yesus Putranya mengaruniakan kepadanya murid-Nya sendiri
agar dia menjadi ibu baginya dan ibu bagi semua orang yang percaya kepada-Nya:
“wanita, inilah anakmu”.

Sacramentum Caritatis
Dalam Anjuran Apostoliknya, Sacramentum Caritatis, Paus menyapa Bunda
Maria dengan sapaan Bunda Allah, yaitu gelar yang diproklamirkan oleh Konsili
Efesus 431.
Paus menghadirkan dan menghubungkan keberadaan Maria sebagai Bunda
Allah dengan Allah yang adalah Kasih. Ditegaskannya bahwa Bunda Maria memiliki
keistimewaan dalam memberikan kesaksian imannya mengenai kasih Allah bila
dibandingkan dengan para kudus yang hidup dalam sejarah manusia. Misi kasih Allah
dinyatakan Maria kepada Elisabeth, saudaranya: Dia hadir di tengah kehidupan
Elisabet tatkala dia mengalami kesulitan, yaitu mengandung di usia tua. Dalam
mengemban dan mewujudkan kasih Allah ini, Maria menjadikan Allah sebagai Pusat
Hidupnya, bukan dirinya. Sentralitas Allah dalam kehidupannya ini dinyatakan dalam
kata-kata pujiannya: Magnificat anima mea dominum. Dia merendahkan dirinya dan
merasa hina di hadapan Allah.
Sebagai Bunda Allah, Maria menjadi pelayan kasih Allah. Misi kasih Allah
dalam dirinya ini terwujud dalam peristiwa inkarnasi: penyataan tertinggi kasih Allah
bagi manusia di dalam dan melalui kerelaan Maria. Sebagai pelayan kasih Allah, Paus
mengungkapkan tiga keutamaan teologal yang dimiliki Bunda Allah:

o Maria adalah wanita yang berpengharapan mendalam, utuh, total kepada Allah.
Dia percaya seutuhnya kepada janji Allah melalui Malaikat-Nya serta
mengharapkan keselamatan bagi Israel.
o Maria adalah wanita yang beriman. Magnificatnya merupakan penyataan Sabda
Allah; dia berpikir dan berbicara tentang dan dengan kekuatan Sabda Allah:
Sabda Allah menjadi kata-katanya dan setiap perkataannya lahir dari Sabda
Allah sendiri. Jalan pikirannya senada dengan jalan pikiran Allah; keinginannya
yang paling dalam adalah bersama Allah. Dengan membiarkan diri dan
kehidupannya dimekarkan oleh Sabda Cinta Allah, dia menjadi Ibu Sang Sabda
yang menjelma.
o Maria adalah wanita pencinta. Keutamaan ini ditampakannya dalam pesta
perkawinan di Kana. Tatkala tuan pesta kehabisan anggur, dia menyerahkan dan
mempercayakan persoalan tuan pesta kepada Yesus Puteranya. Keutamaan ini
juga ditampakkannya tatkala Yesus, Puteranya mulai tampil di hadapan umum:
dia memilih untuk mengundurkan diri karena dia tahu bahwa Kristus Puteranya
harus mendirikan keluarga baru. Akan tetapi, tatkala Kristus Puteranya
menjalani derita-Nya di salib, dia berada dan berjuang bersama-Nya. Tatkala
semua murid meninggalkan Kristus Puteranya, Dia setia bersama Putera-Nya di
kaki salib-Nya.

Dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis, Paus menghadirkan dan


menghubungkan Maria, Bunda Allah dengan Misteri Kristus dalam Ekaristi Kudus.
Ditegaskannya bahwa tatkala kita menghampiri Tubuh dan Darah Kristus dalam
perayaan Ekaristii Kudus, kita serentak mengarahkan pandangan kepada Maria yang
setia dan sempurna menerima Korban Kristus bagi Gereja. Maria adalah Imakulata,
Perawan tak Bernoda yang menerima rahmat Allah tanpa syarat dan berpartisipasi
penuh dalam mewujudkan karya keselamatan Allah bagi manusia. Dia adalah Ikon
Gereja Baru, Model bagi semua orang yang dipanggil untuk menerima Rahmat
Kristus dalam perayaan Ekaristi Kudus.

2. Maria, Bunda-Perawan: Maria Mengandung dari Roh Kudus (Conceptio


Virginalis)

Kaum Kristiani Perjanjian Baru berkeyakinan bahwa kehadiran Yesus di bumi


fana ini sangat berbeda dengan manusia biasa. Walaupun Dia dilahirkan dari rahim
Ibu-Nya, seperti manusia lainnya, namun Dia tidak diperanakkan dari seorang ayah,
tetapi dikandung dari Roh Kudus, Daya Cipta Allah sendiri (Matius 1:8): Dengan
daya Roh Ilahi-Nya, yaitu Daya Cipta-Nya sendiri (bdk. Kejadian 1:1), Allah
menghendaki agar proses alamiah terjadi dalam pembentukan Putera-Nya, Yesus
Kristus dalam rahim Ibu-Nya, tanpa campur tangan seorang laki-laki.

Untuk memahami makna perkandungan Yesus dalam rahim Maria berkat


kekuatan Roh Kudus (conceptii virginalis), maka titik tradisi yang harus diteropong
bukanlah Maria, melainkan Yesus. Ini berarti bahwa perkandungan Yesus di dalam
rahim Maria berkat kekuatan Roh Kudus bukanlah persoalan Maria, melainkan
persoalan Yesus Kristus sendiri, kendati inti keyakinan ini secara tidak langsung
mengatakan sesuatu mengenai Bunda Maria: Bunda Maria serentak Perawan dan Ibu;
Dia adalah Ibu-Perawan. Sebagai Perawan, Maria mengandung Yesus, Putera Allah.

Perihal keperawanan Maria, Gereja menjelaskan isi imannya dalam tiga fase,
yaitu:

a. Maria: Ibu-Perawan (Virginitas ante Partum)


Tradisi mengenai keperawanan Maria ketika mengandung Yesus (virginitas
ante partum) berakar pada Kitab Suci Perjanjian Baru sendiri: “Ketika ibu Yesus
bertunangan dengan Yusuf ia kedapatan mengandung dari Roh Kudus, sebelum
mereka berkumpul” (Matius 1,18). Yusuf “tidak mengenal dia (istilah Ibrani:
bersetubuh) hingga ia melahirkan anak”.

Berkenaan dengan isi pengakuan iman Gereja mengenai kodrat Maria sebagai
Ibu dan Perawan, maka patut direnungkan bahwa Allah memanggil Maria untuk
berpartisipasi dalam rencana keselamatan: Dia menjadi Ibu Tuhan. Namun, rencana
itu berbenturan dengan situasi Maria yang berstatus perawan. Bagaimanakah
memperdamaikan keibuan dengan keperawanan serta bagaimanakah Maria
melaksanakan tugas panggilannya?

Pertama, Maria mengalami kegembiraan dan tawaran kegembiraan dalam


panggilannya. Rencana Allah atas dirinya, yaitu menjadi Ibu Penyelamat dunia
memungkinkan bagi Allah sendiri untuk turun dan menjelma di dalam dirinya. Ini
merupakan sebuah privilese, panggilan istimewa yang tidak terbandingkan. “Engkau
akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki...” merupakan berita tentang
datangnya kehidupan baru; sebuah pengalaman tentang hidup yang pasti membawa
kegembiraan. Menjadi seorang ibu merupakan sesuatu yang membahagiakan. Dari sisi
iman, panggilan Maria menjanjikan kebahagiaan.
Pengalaman Maria sangat unik. Allah sendiri yang menawarkan kegembiraan itu
melalui Malaikat-Nya. Tugas dan panggilannya memiliki kemungkinan untuk
kebahagiaan dan kepuasan. Salam pertama yang diterima Maria bukan sekadar basa-
basi, melainkan sebuah undangan untuk berbahagia. “Salam hai engkau yang
dikaruniai...”. Sesungguhnya Maria dan tugas panggilannya seharusnya
menggembirakan sebab Tuhan kelak datang ke tengah bangsanya melalui dirinya.
Bahkan kegembiraannya bukan hanya karena peristiwa manusiawi, menjadi Ibu,
melainkan sebuah kegembiraan mesianis. Maria bergembira karena dengan tugasnya,
keselamatan semakin menyata dan dekat dengan manusia. Penantian diubah menjadi
pemenuhan karena panggilannya. Maria bergembira bukan karena kebahagiaan diri,
tetapi karena melihat keuntungan yang kelak dialami oleh banyak manusia, apabila dia
menerima tugas itu.
Pernyataan Malaikat, “Engkau yang telah dikaruniai, Tuhan menyertai
Engkau...” menunjukan bahwa pengalaman bahagia itu telah menjadi kenyataan
karena jaminan Allah sendiri atas diri Maria dalam tugas panggilannya. Kegembiraan
yang dialami Maria bukanlah sebuah harapan, melainkan sudah dipersiapkan Allah
karena tugas panggilannya. Allah mentransformasikan diri Maria demi tugasnya
sebagai Ibu.
Kedua, pada saat yang sama, panggilan Maria menjadi ibu membawa persoalan
tanpa jalan keluar. Persoalan itu terasa sangat membebankan, memalukan, bahkan
membawa kesepian atas dirinya. Suasana batin dicetuskan Maria dalam satu
pernyataan, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi sebab aku belum bersuami? (Lukas
1:34) Di sinilah letak kekuatan batin Maria: tidak pasrah menerima saja dengan diam,
melainkan berani mempertanyakan rencana Allah tentang panggilannya. Maria berani
menggugat Allah. Persoalannya: pada tingkat ini Maria berpikir secara manusiawi.
Dia sadar bahwa hidupnya sebagai seorang perawan diserahkan secara utuh kepada
Allah, namun serentak dengan itu juga dia harus menjadi ibu, tuntutan Allah sendiri.
Maria melihat ini secara manusiawi. Di satu pihak, sikap hidup Maria sebagai
perawan menuntutnya untuk hidup menyeluruh demi Tuhan (1 Korintus 7:32), seperti
kebanyakan perawan kudus dalam Kitab Suci, namun di lain pihak, panggilan menjadi
Ibu merupakan tuntutan Allah sendiri. Bagaimanakah panggilan untuk menjadi Ibu
dan tuntutan keperawanan bisa diperdamaikan? Maria bercita-cita menjadi perawan
sejati seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus supaya seluruh hidupnya terpusat pada
perkara-perkara Allah. Namun Allah menuntutnya menjadi Ibu yang memberikan
kuasa kesuburan dan keselamatan bagi manusia.
Maria melihat peristiwa itu secara manusiawi. Penginjil Matius mengemukakan
beban panggilan Maria: Dia berpikir, bagaimana harus menjelaskan tugasnya ini
kepada Yosef? Bagaimana harus menanggung aib di mata masyarakat terhadap
kenyataan: menjadi ibu dan tetap perawan? Saat itu Maria berpikir, atau tetap
perawan menurut cita-cita biblis, atau menjadi menjadi Ibu menurut cara manusia
dengan mengenal seorang laki-laki yang memberikan kesuburan? Tidak pernah
terlintas dalam pikiran Maria bahwa keperawanan Kristen berarti menjadi ibu,
melahirkan Tuhan bagi sesama yang lain; dan bahwa keperawanan Kristen
dimungkinkan karena Roh Allah. Privilese dari Allah berarti serentak membawa
kegembiraan dan beban, bahkan membawa kesepian. Maria diminta persetujuannya
dan dia menerima tugas panggilan ini sebagai anugerah dan tantangan.
Ketiga, kita menyaksikan satu jalan penyelesaian dari pihak Allah. Terhadap
pertanyaan yang diajukan Maria; sebuah pertanyaan yang serentak lahir dan
mencerminkan sikap batin Maria untuk tetap perawan yang sangat sulit diperdamaikan
dengan tugas yang diberikan Allah untuk menjadi Ibu. Jalan penyelesaikan dari pihak
Allah: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan
menaungi engkau. Anak itu Anak Allah” (Lukas 1:35).
Apabila kita memperhatikan jalan penyelasaian ini, ternyata bukan sebuah
penyelesaian biasa yang dapat diterima dengan jelas sebab yang dijelaskan hanyalah
peranan Allah dan tidak pernah dijelaskan bagaimana peranan Maria: Allah yang
memanggil, Dia sendirilah yang menyediakan kegembiraan itu. Inilah pengalaman
pertama Maria dalam panggilannya: berpartisipasi dalam rencana Allah dengan
bersedia menjadi Ibu. Jaminan dari Allah atas kenyataan dan kemungkinan atas
kesediaan Maria adalah kegembiraan dan kebahagiaan. Inilah sebuah rahasia dalam
diri Maria; rahasia ini bisa dialami, tetapi sulit dijelaskan dengan nalar manusiawi
sebab yang menjadi pelaku utama dalam tindakan ini adalah Allah sendiri, bukan
Maria.
Allah yang memanggil dan menugaskan Maria, Dia sendirilah yang
menyelesaikannya dalam diri Maria. Allah sendiri yang memberikan daya kesuburan
dan daya penciptaan dalam diri Maria. Itu berarti, keperawanan Maria, cita-citanya
sama sekali tidak menghalangi tugas panggilannya untuk menjadi Ibu, tetapi justru
menjadi berkat yang penuh daya sebab Allah sendiri yang memberikan daya cipta
dalam dirinya.
Kata-kata Allah disertai tanda, yaitu contoh dari Elisabet sendiri yang mandul,
namun Allah berkuasa memanggilnya untuk menjadi ibu serta sejumlah wanita
mandul dalam Perjanjian Lama: Rakel, Rebeka yang menjadi ibu karena intervensi
Allah. Mereka ibarat perawan mandul, namun kuasa Allah memberikan mereka daya
kesuburan dan mereka menjadi ibu.
Maria menerima panggilan Allah menjadi Ibu, sambil tetap perawan sebab daya
penyuburan satu-satunya bukanlah dari manusia, tetapi Allah sendiri. Maria menjadi
lambang para perawan yang mengabdikan diri kepada Allah dan dengan kekuatan
Ilahi-Nya, Allah memberikan kuasa untuk menjalankan tugas-Nya, meyelamatkan
manusia. Inilah pengalaman tentang penyelesaian Ilahi atas persoalan panggilan
Maria. Kedua hal ini tidak bertentangan: keperawanan harus terarah kepada panggilan
menjadi Ibu untuk melahirkan Penyelamat dunia. Untuk melaksanakan fungsi keibuan
diperlukan perawan. Itu berarti Allah sendiri berkuasa sehingga hati lebih bulat, utuh
untuk percaya kepada perkara surgawi.
Keempat, penyelesaian dari pihak Allah sudah terjadi dan dari pihak Allah, jalan
penyelesaian itu sangat teologis. Terhadap jalan penyelasaian Allah ini, Maria dituntut
untuk menerima dengan sikap iman, bukan karena semuanya sudah terungkap jelas.
Maria menyatakan fiatnya, bukan karena jelas, tetapi karena diterima dalam iman.
Apalagi fiat Maria bukan seperti yang dipikirkan manusia: kepasrahan, penyerahan
dan semuanya selesai (Jadilah padaku menurut perkataanmu itu, Lukas 1:38). Arti fiat
Maria ini terlalu lemah. Sesunggunya, dengan fiatnya itu, Maria serentak menyatakan
harapan (optatif), keinginan, mudah-mudahan rencana Allah sungguh-sungguh
terlaksana. Apabila fiat Maria hanya mengungkapkan kesediaan dan kepasrahan
seorang Maria, maka penyelesaian Allah belum mencapai titik yang definitif.
Dalam situasi ini, justru ditemukan satu momen lain dari pengalaman Maria,
yaitu pengalaman tentang persahabatan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk
mengatasi kesulitan dalam menjalani panggilan. Maria menemukan panggilan sebagai
sesuatu yang membebankan dan kemudian Allah memberikan jalan keluar. Secara
manusiawi, Maria masih mencari jalan lain yang cukup manusiawi. Maria
membutuhkan peneguhan manusiawi di samping rahmat Allah. Dia ingin
menyalurkan dan membuka isi hati tentang panggilan itu kepada sebayanya; kepada
orang lain yang mengalami panggilan yang sama. Di sinilah peranan dan arti
perjalanan Maria untuk bertemu dengan Elisabet, orang yang senasib dengannya
dalam kesepian manusiawi.
Lihatlah, apa yang menjadi kenyataan dalam perjumpaan antara kedua wanita
itu. Pertemuan antar-pribadi. Salam dijawab dengan salam; tanpa perlu banyak kata
untuk menangkap serta mata untuk melihat apa yang terjadi di dalam diri mereka.
Maria merasakan kehangatan. Dia merasa langsung dimengerti. Maria merasa bahwa
rahasia hatinya diketahui, tertampung oleh Elisabet. Ada sahabat yang berintuisi
tentang apa yang dialami oleh Maria. Maria merasa beban panggilannya diringankan,
dimengerti dengan penuh kasih sayang dan cinta, dengan kedermawan dan penuh
kepercayaan. Maria dipuji sebagai orang yang berbahagia, perannya diteguhkan.
Elisabet pun merasakan arti kunjungan Maria untuk tugas panggilannya: membawa
kebahagiaan, anugerah besar yang tak terduga. Di balik persahabatan manusia ini, ada
dorongan Roh Allah sendiri. Di sini kita melihat keajaiban persahabatan untuk
mengukuhkan panggilan. Hubungan khusus mereka berdua membawa pemecahan
manusiawi untuk beban panggilan. Panggilan bukanlah sesuatu yang begitu pribadi,
yang hanya boleh diketahui oleh Tuhan sendiri, melainkan suatu beban yang dipikul
bersama.
b. Maria: Perawan yang Melahirkan (Virginitas in Partum)
Kitab Suci (Matius dan Lukas 1-2) memberikan kesaksian mengenai inti iman
Kristiani bahwa Yesus dikandung dari Roh Kudus dalam rahim Maria sebagai
perawan. Namun, pada Abad II muncul dan berkembang keyakinan iman bahwa
Yesus dilahirkan oleh Maria sebagai perawan: Yesus serentak dikandung dan
dilahirkan secara ajaib.
Keyakinan ini sudah diungkapkan oleh Ignatius Antiokhia dan Irenius, kendati
keterangan yang diberikan tidak jelas. Dalam tulisan apokrip (pra-injil Yakobus)
dijelaskan bahwa “Selaput darah Maria tidak rusak akibat kelahiran Yesus”.
Ajaran Tradisi Gereja menjelaskan bahwa keperawanan Maria in partum
berarti sikap hati Maria yang sepenuhnya mengandung dan melahirkan Yesus tidak
pernah dibatalkan, walaupun tidak gampang diwujudkan, terutama di saat persalinan.
Lukas 2:1-17 melukiskan bahwa Maria melahirkan di saat yang sangat tidak
menguntungkan.
Sejak abad IV (Ephifanes), Maria digelari “Tetap Perawan”: perawan sebelum,
waktu dan sesudah melahirkan (DS 44, 46, 291, 299, 422, 533, 571, 1880). Di dalam
Lumen Gentium 49, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “kelahiran Yesus tidak
merusak, tetapi menguduskan keperawanan Maria”. Dalam konteks ini, keperawanan
di saat melahirkan dimengerti sebagai kebulatan hati dan totalitas diri Maria
merelakan dirinya untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibunya.
c. Maria Tetap Perawan (Virginitas post Partum)
Keyakinan iman Gereja mengenai keperawanan tetap Maria (virginitas post
partum) mulai diperdebatkan tatkala pelbagai pihak berusaha menafsir pernyataan
Perjanjian Baru tentang “saudara-saudari Yesus” (Jakobus, Joses, Yudas dan Simon).
Catatan: Perjanjian Baru tidak menyebutkan nama saudari kepada Maria dan Salome
atau Hana dan Salome; Maria, Hana, Salome. Jika mereka bukan anak Maria,
bagaimanakah hubungan mereka dengan Yesus?
Perjanjian Baru tidak pernah menyebutkan “saudara-saudari Yesus” dengan
“anak-anak Maria”. Maria selalu berada bersama saudara-saudara Yesus, tetapi tidak
pernah bersama dengan anak-anaknya. Dalam Markus 3:21; 3:31 dilukiskan dengan
jelas mengenai ketegangan antara Yesus dengan ibu dan saudara-saudara Yesus. Ibu
Yesus lebih berada di pihak saudara-saudara Yesus, bukan di pihak Yesus. Jika
demikian, “Mengapa mereka tidak disebut “anak-anak Maria, anak-anak ibu Yesus?
Dalam bahasa Yunani, saudara-saudari (adelphos, adelphe) berarti saudara
sekandung; saudara seayah-seibu. Dalam bahasa Ibrani, saudara-saudari (‘ah,’aha)
berarti sanak saudara yang lain (keponakan). Kata adelphos, adelphe bisa
dipergunakan dalam arti luas, terutama untuk meningkatkan kedudukan orang dengan
mengembangkan relasi kekeluargaannya dengan tokoh penting dalam masyarakat
(raja, kaisar). Jika demikian, maka dinyatakan mungkin apabila kaum kristiani
menyebutkan saudara-saudara Yesus sebagai saudara-saudara-Nya untuk
menghormati mereka sebab mereka memainkan peranan vital pada perkembangan
awal Gereja.
Diakui bahwa Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan Tradisi iman
mengenai “keperawanan tetap Maria” yang sudah dipertahankan sejak Abad II. Isi
iman Gereja mengenai “keperawanan tetap Maria” ini tidak akan pernah muncul
apabila saudara-saudara Yesus masih hidup. Kaum kristiani sungguh-sungguh
mengerti bahwa sebutan “saudara-saudara Yesus” hanyalah gelar kehormatan yang
diperuntukkan bagi saudara-saudari Yesus.
Ketika generasi pertama hilang, gelar “saudara-saudari” justru menimbulkan
kerancuhan sebab selalu ditempatkan dalam konteks pemahaman Yunani. Penulis
yang hidup di Abad II, Hegesippus (dikutip oleh Eusebius dalam Sejarah Gerejanya)
menyebutkan bahwa Simeon (Simon, Markus 6:3), Uskup Yerusalem yang kedua
adalah saudara Tuhan. Dia adalah keponakan Tuhan yang kedua yang menggantikan
Uskup Pertama Yerusalem, yaitu Yakobus, saudara Tuhan. Menurut Hegesippus,
Yakobus, saudara Tuhan adalah keponakan Yesus, anak paman-Nya (dari sisi Yusuf).
Keterangan Hegesippus ini juga diperdepatkan para ahli sehingga tidak bisa dijadikan
bukit utama bahwa saudara-saudara Yesus bukanlah anak-anak Maria.
Landasan Perjanjian Baru terakhir yang dijadikan bukti mengenai Tradisi
keperawanan tetap Maria adalah:
Pertama, Yohanes 19:27. Dalam ayat ini dikisahkan bahwa Yesus
mempercayakan ibu-Nya kepada “murid yang dikasihi-Nya”. Tindakan Yesus ini
tidak akan mungkin terjadi apabila Maria, Ibu-Nya memiliki anak yang lain.
Kedua, Lukas 2:41-51. Dalam bab ini dikisahkan bahwa Maria dan Yusuf
berziarah ke Yerusalem bersama Yesus. Adalah sangat mustahil bagi Maria untuk
berziarah apabila di rumah masih ada anak kecil. (Lukas 2:41-51).
Ada landasan teologik (bukan historik) yang lebih mendukung kaum kristiani
untuk mempertahanlan keperawanan tetap Ibu Yesus, Maria:
Sedari awal, Maria merelakan diri sepenuhnya untuk menjadi Hamba Tuhan
dan Ibu Yesus (keperawanan spiritual). Oleh karena itu, sangatlah wajar, pantas dan
masuk akal apabila Maria tidak lagi merelakan diri untuk seseorang yang lain. Apabila
Maria masih memiliki anak yang lain, dia juga wajib merelakan diri bagi anak-anak
itu. Memiliki anak yang lain juga tidak bertentangan dengan kesucian Maria.
Walaupun demikian, diakui bahwa memiliki anak yang lain tidak sesuai dengan
keperawanan spiritual yang sudah dijalaninya sejak awal. Penyerahan total kepada
Allah dan Yesus terasa sangat sulit apabila disertai tuntutan untuk menyerahkan diri
demi anak-anak yang lain. Dengan demikian, tampak bahwa keperawanan tetap Maria
dilihat sebagai konsekuensi dari keperawanan awal dan keperawanan itu pun memiliki
dimensi fisik-biologik.
Apapun perdebatannya mengenai keperawanan Maria sebelum melahirkan,
pada saat melahirkan dan sesudah melahirkan, landasan yang kokoh adalah Surat
Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 4:4: Yesus, Putra Allah sudah ada sebelum
Maria ada. Yesus ada dalam rahim Maria, bukan dengan kekuatan Maria dan Yosef,
melainkan karena kekuatan atau Daya Cipta Allah sendiri. Allah bekerja dengan
kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi seperti yang
diinginkan-Nya. Cara kerja Allah sesuai dengan logika kehendak-Nya, bukan dengan
kehendak manusia dan tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Sebagaimana kita
tidak mampu menjelaskan cara Allah menciptakan kita, demikian juga kita tidak akan
mampu menjelaskan cara Allah bekerja untuk menghadirkan Putra-Nya dalam rahim
Maria. Kita hanya bisa mengerti cara kerja Allah apabila kita masuk ke dalam pikiran
Allah dengan iman. Kita harus berkata bahwa Allah bekerja dengan Daya Cipta-Nya,
yaitu Roh-Nya sendiri dan tiada sesuatu pun yang mustahil jika Allah
menghendakinya terjadi.

3. Maria Dikandung tanpa Noda


Dogma tentang Maria yang bebas dari dosa pribadi dan dosa asal ditetapkan
Gereja di bawah otoritas Paus Pius IX pada tanggal 8 Desember 1854 dalam
Konstitusi Apostiliknya, Ineffabilis Deus. Adapun isi dogma tersebut:
“Sejak saat pertama dikandungnya perawan Maria yang amat bahagia
terlindung/terpelihara (praeservatam) bebas dari segala noda (labes) kesalahan asal
(originalis culpae) berkat kasih karunia yang seluruhnya istimewa dari pihak Allah
yang Mahakuas, berdasarkan (intuitu) jasa (merita) Kristus Yesus, Juru Selamat Umat
Manusia, yang sebelumnya sudah dilihat (Allah)”.
Apabila isi dogma ini dicermati, maka kita tidak menemukan keistimewaan
Maria sebagai manusia sehingga dia bebas dari semua kesalahan dan dosa. Dia tidak
berdosa karena terlindung/terpelihara oleh kasih karunia Allah. Dia dikecualikan dari
realitas umum yang dialami oleh manusia sebab dosa asal yang mencemarkan kodrat
kemanusiaan kita tidak menyentuh diri dan kehidupan Maria. Satu pertanyaan yang
patut kita ajukan adalah: “Apabila Allah mengecualikan, tidak melindungi dan
memeliharanya dengan kasih karunia-Nya, apakah Maria tidak berdosa?
Pertanyaan ini pasti tidak akan bisa dijawab sebab Maria adalah manusia biasa
seperti kita. Apabila Allah sungguh-sungguh mengecualikan Maria dari semua
manusia dengan memberikan perlindungan kepadanya, maka tidak ada keistimewaan
Maria dari semua manusia.
Terhadap kesulitan ini, Gereja menjernihkan isi dogma ini, walaupun
judul/nama dogma ini tetap sama (Maria Dikandung tanpa Noda). Ada pun isi
penjernihan dogma ini:
Bunda Maria bukanlah “manusia Firdaus” yang hidup tanpa gejolak-gejolak
kemanusiaan. Dia bukanlah sosok manusia yang hidup dalam ketenteraman hati. Dia
adalah manusia biasa seperti kita. Karena itu, seperti kita-manusia biasa lainnya, dia
tidak bebas dari godaan manusiawi (seperti Yesus, bdk. Ibr 2:18;4:15). Dia memiliki
kecenderungan-kecenderungan manusiawi seperti kita (concupiscientia): dorongan
untuk dicintai, dihargai, didukung dan diakui sebagai manusia. Dia juga harus
memilih: menutup diri terhadap yang lain demi kepentingan manusiawinya atau
membuka diri terhadap yang lain, dan terutama terhadap Allah.

Kecenderungan-kecenderungan manusiawi ini ada dalam diri kita semua,


termasuk Maria. Kecenderungan-kecenderungan inilah yang menjadi “sumber dosa”.
Kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam diri kita mengarahkan kita untuk
memilih dua keputusan utama dalam kehidupan kita, yaitu memilih Allah dan
kehendak-Nya atau memilih diri sendiri. Apabila kita tidak mampu mengarahkan
kecenderungan manusiawi kita kepada Allah, tidak mampu menguasai dan
mengendalikan keinginan manusia kita dalam segala bidang dan semua segi
kehidupan, maka kecenderungan itu akan berbuah dosa. Apabila kita mampu
mengarahkan dan mengintegrasikan kecenderungan dan semua keinginan manusiawi
kita kepada Allah, maka akan berbuah rahmat dan kebaikan. Kita akan bersatu dengan
Allah.

Di sinilah kita menemukan titik perbedaan antara kita, semua manusia dengan
Maria. Maria mampu menguasai dan mengendalikan semua kecenderungan dan
keinginan manusiawi dalam segala bidang dan semua segi. Kecenderungan, keinginan
dan dorongan akan kebutuhan manusiawinya ini diarahkan kepada tujuan yang baik
sehingga dia berkembang dalam kerendahan hati, kasih dan keterbukaan terhadap
yang lain dan terhadap Allah sendiri. Dia tidak mengarahkan kecenderungan,
keinginan dan dorongan manusiawinya agar terarah seutuhnya pada dirinya sendiri
dan cenderung egosentrik. Dia melepaskan semua kecenderungan, keinginan dan
kebutuhan manusiawinya dengan mengikuti gerakan Roh Allah. Dia berani bertaruh
hingga mati dari semua kebutuhan untuk dikagumi, diakui, dihargai oleh yang lain,
termasuk oleh Allah sendiri.
Dalam diri kita, kecenderungan, keinginan dan dorongan akan pemenuhan
kebutuhan manusiawi yang menjadikan diri kita masing-masing sebagai pusat dan
penentu hidup inilah yang membuahkan dosa. Dalam mewujudkan diri dan
kebebasannya di hadapan Allah dan sesama, Maria tidak terhalang oleh apa pun saja
yang ada di dalam dirinya sendiri, kendati seperti manusia biasa lainnya, Maria juga
terbentuk oleh halangan yang bersifat lahiriah.
Dalam diri Maria tidak ada gejolak emosi, psikis, dan lain-lainnya. Maria tidak
tunduk pada setiap bentuk godaan dan kecenderungan manusiawinya. Dalam Injil
Lukas 2:34-35, Maria dihadapkan pada dua pilihan yang secara obyektif, atau yang
baik, atau yang buruk; atau diri sendiri atau Allah dan sesama. Kedua godaan ini
memiliki daya tarik dan daya pikat yang unik, sebab di dalam yang buruk juga
terkandung yang baik dan menarik bagi manusia.
Keunggulan Maria adalah: Dia mampu menguasai dan mampu mengendalikan
semua keinginan/emosi manusiawinya. Kekuatan-Nya terletak pada keterbukaan dan
keterarahannya kepada Allah dan kehendaknya. Karena hidupnya terarah seutuhnya
pada Allah, maka tidak ada peluang baginya untuk berbuat dosa. Dia melepaskan
semua keinginan dan kebutuhan manusiawinya karena selalu mengikuti gerakan Roh
Allah. Dia hidup dalam persekutuan cinta yang mesrah dengan Allah dan sesama. Dia
tidak berdosa karena dia takut melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti hati
Allah dan sesama. Dia membuka diri seutuhnya kepada Allah dan sesama serta
bersatu utuh dan sempurna dengan Allah dan sesama. Dia membuang semua
keinginan dan kebutuhannya untuk dikagumi, diakui dan dihargai oleh orang lain,
kecuali keinginan untuk diakui, dikagumi dan dihargai oleh Allah sendiri.
Dengan demikian tampak bahwa isi yang terkandung dalam dogma Maria
Dikandung tanpa noda adalah Maria tidak bernoda atau tidak berdosa. Gereja beriman
bahwa Maria sungguh-sungguh tidak bernoda sebab “dalam mengaktualisasikan diri
dan kebebasannya di hadapan Allah, Maria tidak terhalang oleh apa pun saja yang ada
di dalam dirinya sendiri”, kendati seperti manusia biasa lainnya, Maria juga terbentuk
oleh halangan yang bersifat lahiriah. Maria membuka diri terhadap rahmat
pengudusan Allah dan hidup seturut kehendak Allah, bukan seturut keinginan
manusiawinya. Dia tidak bebas dari godaan manusiawi (seperti Yesus, bdk. Ibr
2:18;4:15), namun tidak tunduk pada semua bentuk godaan itu. Di dalam Lukas 2:34-
35, Maria diperhadapkan pada dua pilihan yang secara obyektif, atau yang baik, atau
yang buruk. Kedua godaan ini memiliki daya tarik dan daya pikat yang unik, sebab di
dalam yang buruk juga terkandung yang baik dan menarik bagi manusia.
Dia bukanlah “Manusia Firdaus”. Dia terlibat dalam realitas hidup manusiawi
yang mejemuk. Setiap saat dia menghayati dan menghidupi kekudusannya dengan
sikap batin yang bebas, kendati hambatan dari luar dirinya senantiasa
menggerogotinya. Kesetiaannya kepada Allah dan dirinya sendiri tidak selamanya
berjalan mulus.

4. Maria Diangkat ke Surga

 “.... dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang
Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan
mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda
Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan
perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan
surgawi”.

Dogma ini ditetapkan oleh Paus Pius XII, pada tangga; 1 November 1950
dalam Konstitusi Apostolik “Munificentissimus Deus”. Paus Pius XII menjelaskan
bahwa kejayaan dan keistimewaan Maria, baik sebagai Bunda Allah, Bunda Perawan
dan Bunda yang tidak Bernoda disimpulkan dalam Dogma Gereja yang terakhir, yaitu
“Maria Diangkat ke Surga dengan Jiwa dan Raganya”.

Landasan iman yang mendasari dogma ini adalah dogma Bunda Maria yang
tidak Bernoda. Bunda Maria kudus secara total dan menyeluruh di hadapan Allah
dan manusia. Karena itu, seluruh diri Maria dalam keutuhan (jiwa dan raganya),
yaitu “keberadaan duniawinya” beralih ke dalam cara yang baru, yaitu “keberadaan
surgawi”. Dengan peristiwa pengangkatan ini, Maria bersekutu dengan Kristus,
menyatu dengan Allah.
Iman Gereja Katolik sangat yakin bahwa Bunda Maria sungguh-sungguh
diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi. Ada pun alasannya:
Bunda Maria menganggapi panggilan Allah secara utuh dan total, dengan
seluruh jiwa dan raganya. Seluruh dirinya tearah kepada Allah, mendengarkan
perkataan Allah dan taat kepada kehendak-Nya. Karena sedemikian tearah dan taat
kepada kehendak Allah, maka tidak ada peluang sedikit pun bagi Maria untuk
menyakiti hati Allah dan sesama. Semua kecenderungan manusiawinya tidak berbuah
dosa, tetapi berbuah rahmat persatuan cinta dengan Allah dan sesama.
Dalam diri Maria tidak ditemukan halangan negatif apa pun yang
menghubungkan dirinya dengan Allah: Dia tidak memiliki dosa pribadi. Semua
kecenderungan manusiawinya (concupiscientia: sumber dosa) mengarahkan diri dan
hidupnya kepada Allah dan sesama. Karena itu, seluruh diri manusiawinya diserap
dan disatukan secara utuh dengan Allah.
Dengan demikian tampak bahwa level hidup Maria, bukanlah level hidup
manusia. Hidup Maria berada dalam level Ilahi/Allah sendiri, level surgawi. Hidupnya
ditinggikan dan diangkat pada level hidup yang mulia: Dia berada dalam kemuliaan
bersama Allah karena tiada penghalang baginya untuk menatap wajah Allah, berada
bersama dan bersatu dengan Allah.
Berbeda dengan Maria, seluruh diri dan kemanusiaan kita belum disatukan
secara total, utuh dan penuh dengan Allah karena belum dikuduskan dan belum
diserap oleh Roh Allah. Dalam diri kita selalu ada sisi negatif (dosa) yang
menghalangi hubungan kita dengan Allah. Unsur inilah yang menghambat pergerakan
kita untuk menyatukan seluruh diri kita dengan Allah, Sang Penyelamat.
Konsekuensinya: Seluruh diri dan kemanusiaan kita “belum” bisa beralih ke dalam
keberadaan yang definitif sebab masih ada “sisa” negatif yang menghalangi kita untuk
mewujudkan kemanusiaan kita secara utuh dan sempurna.
Dengan kata lain, dalam diri manusiawi kita yang terdiri dari unsur rohani-
jasmani masih ada unsur yang tidak bisa diikutsertakan atau masih ada unsur yang
menghambat kita untuk bersekutu dengan Allah. Unsur penghambat yang ada dalam
diri kita ini menyebabkan tawaran diri Allah (kasih-Nya) tidak meresap ke dalam
seluruh kemanusiaan kita sehingga kita tidak bisa berali ke dalam keberadaan yang
baru, yaitu kesatuannya dengan Kristus yang bangkit.
Sisi negatif yang tetap ada dan melekat dalam diri kita adalah dosa. “Sisa dosa”
(dosa pribadi dan dosa asal) baru akan lenyap di saat perjalanan sejarah umat manusia
berakhir. Pada momen ini, seluruh kemanusiaan kita yang lama akan dibebaskan dan
beralih ke dalam keberadaan baru, yaitu keberadaan surgawi.
Ini berarti bahwa setelah sejarah kehidupan dunia dan sejarah hidup kita
berakhir, seluruh diri manusiawi kita akan dibebaskan dari dosa pribadi dan kolektif
dan seluruh kemanusiaan kita yang positif diserap oleh dan ke dalam kasih Allah
tanpa halangan. Inilah makna otentik dari “kebangkitan badan”. Namun, kenyataan
kebangkitan badan ini tidak akan dialami sebelum sejarah manusia berakhir dan
eksistensi negatif manusia masih melekat dalam diri manusia.
Berkenaan dengan Maria, dogma ini menegaskan bahwa:
a. Dalam diri Maria tidak ada unsur negatif (dosa) sehingga seluruh diri dan
kemanusiaanya diserap ke dalam persekutuan definitif dengan Allah
(kekudusan Maria). Maria beralih ke dalam keberadaan yang baru dan definitif,
yaitu keberadaan yang baru dan mulia;
b. Maria tidak menjalani proses “pengadilan terakhir” karena tidak ada unsur
hakiki dalam dirinya yang harus dihakimi:
o Adalah tidak adil apabila Allah mengadili Maria sebab tidak ada alasan
bagi Allah untuk mengadili Maria. Kita, umat manusia layak diadili sebab
ada alasan bagi Allah untuk mengadili kita, yaitu dosa-dosa kita. Maria
tidak berdosa sehingga tidak ada alasan bagi Allah untuk mengadilinya.
o Adalah tidak adil apabila Allah memberikan hukuman kepada Maria dalam
bentuk kehancuran dan kebusukan tubuh. Maria tidak berdosa sehingga
tubuhnya tidak dikorupsi, tidak dihancurkan dan tidak dibusukan oleh
dosa-dosanya.
o Karena itu, jiwa dan raganya tidak binasa, tidak terkurung di dunia fana,
tetapi diangkat ke dalam kemuliaan Allah. Dia bersatu dengan Allah dan
memandang wajah-Nya dengan seluruh jiwa dan raganya.
Apabila diterima bahwa Maria mengalami kematian fisik-biologik dan
dibangkitkan oleh Allah, maka perlu diingat bahwa: “Kebangkitan badan” bukanlah
“perkara mayat” yang harus diapakan atau dibagaimanakan. Kebangkitan badan
merupakan “perkara keberadaan jasmani kita yang ikut serta dalam keadaan baru dan
definitif”.
Seluruh diri dan kehidupan Maria ikut serta dalam diri Yesus, Puteranya di
dunia ini. Oleh karena itu, dia pun ikut serta dalam kejayaan Yesus Kristus, Putranya.
Akan tetapi, janji Allah untuk ikut-serta dalam kejayaan Kristus ini juga diperuntukan
bagi kita semua yang percaya kepada-Nya. Kita akan duduk di atas dua belas takhta
untuk menghakimi ke dua belas suku Israel (Matius 19:28), bahkan “menghakimi
dunia dan Malaikat” (I Kor 6:2-3) dan akan memerintah bersama Kristus (II Timoteus
2:12).
Dogma Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi mengajarkan kita bahwa:

a. Apabila kita terarah kepada Allah dan tunduk kepada kehendak-Nya seperti
Maria, maka tidak ada peluang bagi kita untuk berbuat dosa. Kita tidak akan
menyakiti hati Allah yang hidup dalam diri kita.
b. Apabila kita tidak menyakiti hati Allah dan sesama, maka hidup kita akan
diangkat, ditinggikan dan dimuliakan seperti Maria. Kita akan hidup dalam
kemuliaan Allah.
c. Kita akan layak memandang wajah Allah apabila tidak ada penghalang bagi
kita untuk menatap-Nya. Penghalang utama adalah dosa. Penghalang itu selalu
ada ketika kita hidup menurut keinginan kita, bukan keinginan Allah.
d. Memandang wajah Allah berarti memperoleh keselamatan. Kita akan
menikmati keselamatan kekal bersama Allah, memandang wajah-Nya yang
agung dan mulia apabila kita memberian tempat dan membiarkan Allah hidup
dalam diri kita.
e. Kemuliaan jiwa dan raga kita akan dinyatakan apabila kita memperlihatkan
keindahan dan kemuliaan hidup Allah dalam diri kita.

Anda mungkin juga menyukai