Anda di halaman 1dari 142

KEMENTRIAN AGAMA RI

1
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah yang mahapengasih dan mahatahu yang telah memberi roh
pengertian dan roh kebijaksanaan sehingga berkat kebaikan-Nya Modul Mata Kuliah
Pendidikan Profesi Guru dapat diselesaikan dan harapannya dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan profesi guru, khususnya Guru Agama Katolik.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru
yang disusun oleh Ristekdikti 2017, pendidikan merupakan investasi masa depan yang sangat
bernilai, yang harus disiapkan dan dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Hal
ini untuk mencapai apa yang telah diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia warga negara.
Untuk mengusahakan pendidikan yang demikian, dibutuhkan para guru yang profesional
dan kompeten dalam bidangnya karena mereka yang akan menjalankan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Seperti dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah no 74, tahun 2008, para guru dituntut memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Program Studi Pendidikan Profesi Guru (PPG) diselenggarakan untuk menyiapkan dan
menghasilkan guru-guru profesional, yang unggul dan siap menghadapi tantangan zaman.
Diantara guru-guru profesional itu adalah guru-guru Agama Katolik yang mengajar di sekolah
formal dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah.
Modul Katekese ini disiapkan untuk penyelenggaraan PPG bagi para guru Agama
Katolik. Melalui modul ini para guru dibimbing memiliki pengetahuan katekese yang
mendalam, kemampuan menjalankan tugas katekese secara terampil dan kemampuan
mengajarkan aspek-aspek katekese kepada peserta didik. Semoga Modul ini berguna untuk
siapapun yang menempuh Pendidikan Profesi Guru khususnya PPG dalam Jabatan.

2
DAFTAR ISI

Judul 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
KEGIATAN BELAJAR 1 5
1 Kompetensi Mahasiswa 5
2 Peta Konsep 5
3 Uraian Materi 6
3.1 Pengertian Katekese 6
3.2 Sifat dan Aspek Katekese 9
3.3 Sumber dan Tujuan Katekese 16
3.4 Tugas Katekese 21
3.5 Rangkuman 24
4 Glosarium 25
5 Daftar Pustaka 26

KEGIATAN BELAJAR 2 28
1 Kompetensi Mahasiswa 28
2 Peta Konsep 29
3 Uraian Materi 29
3.1 Katekese pada zaman Para RasulRasul 29
3.2 Katekese Sesudah Zaman Para 34
3.3 Katekese pada Abad Pertengahan 38
3.4 Perkembangan Katekese (abad XVI-XX) 41
3.5 Katekese pada tahun di Sekitar Tahun 1900 44
3.6 Katekese sejak Tahun 1954-1964 47
3.7 Katekese Sejak Tahun 1965 48

3
3.8 Perkembangan katekese Di Indonesia 54
3.9 Katekese Umat dan Pelajaran Pendidikan agama katolik 61
4 Glosarium 68
5 Daftar Pustaka 70

KEGIATAN BELAJAR 3 72
1 Kompetensi Mahasiswa 72
2 Peta Konsep 73
3 Uraian Materi 73
3.1 Bentuk Katekese Berdasarkan Materi 73
3.2 Bentuk Katekese Berdsarkan Usia 78
3.3 Bentuk Katekese Berdasarkan Konteks Situasi Khusus 83
3.4 Bentuk Katekese Berdasarkan Proses 87
3.5 Bentuk Katekese Berdasarkan Multimedia 91
3.6 Rangkuman 95
4 Glosarium 95
5 Daftar Pustaka 96

KEGIATAN BELAJAR 4 98
1 Kompetensi Mahasiswa 98
2 Peta Konsep 99
3 Uraian Materi 99
3.1 Pelaku Katekese 99
3.2 Spiritualitas Katekis / Guru Agama Katolik 106
3.3 Pembinaan Pelaku Katekese 111
3.4 Berkatekese dengan Sukacita 124
4 Latihan 130
5 Glosarium 130
6 Daftar Pustaka 131

4
Kegiatan Belajar 1

Hakekat Katekese

1. Kompetensi Mahasiswa
1.1 Kompetensi Inti
Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik Agama Katolik yang
mempesona, yang dilandasi sikap cinta tanah air, berwibawa, tegas, disiplin, penuh
panggilan jiwa, samapta, disertai dengan jiwa sepenuh hati dan kemurahatian dalam
proses pembelajaran.
1.2. Kompetensi Dasar
Mampu menguasai isi pokok katekese dan berkatekese di lingkup Gereja dan Sekolah.
1.3. Indikator
Mampu merumuskan hakekat katekese dan peran pentingnya dalam hidup Gereja.
1.4. Tujuan Pembelajaran
1.3.1. Mampu menjelaskan pengertian katekese dari berbagai dokumen Gereja
1.3.2. Mampu menemukan unsur-unsur pokok dari sifat, aspek dan obyek katekese
1.3.3. Mampu menunjukkan pentingnya katekese bagi hidup dan perkembangan Gereja

2. Peta Konsep

5
3. Uraian Materi

3.1. Pengertian Katekese


Katekese berasal dari kata catechein, catechesis atau katekeo (Yunani). Akar kata dari
kata itu adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luar dan echo berarti gema/gaung.
Catechesis berarti suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke luar. Sedangkan
catechein (kata kerja) berarti menggemakan atau memperdengarkan keluar. Dari akar kata itu,
dapat dirumuskan secara etimologis bahwa katekese adalah segala macam usaha untuk
menggemakan atau menggaungkan atau memperdengarkan kepada orang lain apa yang menjadi
obyek katekese yaitu Yesus Kristus. Usaha ini dapat dijalankan oleh semua umat beriman
terutama para guru agama baik di lingkup persekutuan umat maupun di lingkup sekolah.
Dari kata katekese itu kemudian muncul istilah-istilah yang berhubungan yaitu
katekismus, katekumen, katekumenat, kateketik1.

1
Dr. Marinus Telaumbauna OFMCap, , Ilmu Kateketik, Jakarta: Penerbit OBOR, 1999

hlm 5-6

6
a. Katekismus adalah buku pelajaran iman yang dikeluarkan secara resmi oleh pimpinan
Gereja. Dari sifat dan sasarannya, katekismus ada yang bersifat universal, nasional
maupun lokal. Salah satu katekismus yang kita kenal sekarang ini adalah Katekismus
Gereja Katolik yang berlaku untuk Gereja semesta. Seiring dengan munculnya buku
tersebut, Konferensi Wali Gereja Indonesia menerbitkan buku Iman Katolik: Buku
Informasi dan Referensi. Buku-buku ini menjadi bahan dan acuan utama katekese bagi
umat beriman.
b. Katekumen adalah calon baptis. Mereka adalah orang-orang yang telah dipersiapkan oleh
katekis melalui proses pembelajaran (katekisasi) untuk menerima sakramen baptis.
Mereka secara pribadi terpanggil, tertarik dan berkehendak untuk menjadi katolik.
Katekumenat adalah masa persiapan atau masa pembelajaran katekumen tersebut.
Umumnya masa persiapan ini berlangsung satu tahun. Ada 4 masa dan tiga tahap.
Keempat masa itu adalah prakatekumenat, katemumenat, persiapan akhir dan mistagogi.
Sedangkan tahapnya adalah tahap pertama yaitu upacara pelantikan menjadi katekumen,
tahap kedua upacara pemilihan menjadi calon baptis dan upacara penerimaan sakramen
baptis.
c. Katekumenat adalah proses pembelajaran seorang katekumen oleh katekis melalui
pertemuan berkala. Proses ini dimulai setelah orang diterima melalui tahap pertama
sampai orang masuk tahap ketiga yaitu baptisan. Istilah katekumenat kadang diganti
dengan istilah katekisasi. Biasanya berlangsung sekitara 1 tahun.
d. Katekis adalah orang yang memberikan katekese. Ia disebut juga pembina iman atau guru
agama. Di antara mereka ada orang-orang yang dipersiapkan secara khusus melalui
proses pendidikan formal dan mendapat missio canonica dari pimpinan Gereja. Namun
ada pula yang sekedar dibekali dengan materi-materi tertentu disertai pelatihan agar
mampu menjalankan tugas katekese. Sekalipun pendidikannya terbatas, namun banyak di
antara mereka memiliki totalitas dan ketulusan dalam menjalankan tugas katekese.
Mereka inilah yang disebut dengan katekis volunter.
e. Kateketik adalah ilmu pendidikan agama atau ilmu bina iman, yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan pembinaan iman. Dalam lembaga pendidikan tinggi, ada
sekolah tinggi kateketik yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab mempersiapkan
para tenaga guru agama melalui proses pendidikan formal. Sedangkan di lingkup lembaga

7
Gereja, ada komisi kateketik yang bertanggung jawab mengelola dan melayani umat
untuk segala urusan yang berhubungan dengan pewartaan atau katekese. Komisi
Kateketik ini menjadi representasi Gereja untuk urusan dan tanggung jawab isi
katekese/pengajaran agama katolik. Di antara mereka yang pakar dalam ilmu kateketik
disebut kateket.
Andaikan istilah-istilah itu digabungkan, maka katekese dapat dimengerti sebagai proses
pengajaran atau pembinaan iman yang dijalankan oleh katekis kepada para katekumen dalam
masa katekumenat mereka tujuannya agar mereka semakin mantap dalam beriman dan siap
menjadi pengikut Kristus yang setia. Sumber dan bahan utama yang digunakan untuk
pembinaan adalah Katekismus Gereja Katolik. Oleh karena itu sangatlah baik kalau seorang
katekis perlu dibekali pendidikan ilmu kateketik agar mampu menjalankan tugasnya dengan
baik.
Dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) yang ditulis
oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 16 Oktober 1979, dirumuskan bahwa katekese adalah
pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, khususnya mencakup
penyampaian ajaran kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis,
dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.
Menurut Emilio Alberich, katekese dimengerti sebagai pengajaran, pendalaman, dan
pendidikan iman agar seorang kristen semakin dewasa dalam iman. Rumusan ini disimpulkan
dari apa yang dilakukan oleh Yesus dan para rasul dalam Kitab Suci: Luk 1:4 diajarkan; Mat
18:25 pengajaran dalam jalan Tuhan; Kis 21:21 menunjuk pada kata mengajar; Rom 2:18
diajar; 1Kor 14:19 mengajar; Gal 6:6 pengajaran. Katekese ini diperuntukkan bagi orang-orang
yang sudah dibaptis2.
Dalam Kitab Hukum Kanonik, katekese menjadi bagian dari tugas Gereja mengajar yang
di dalamnya ada tugas pelayanan sabda (kan 756-761), tugas pewartaan sabda Allah (762-772),
pengajaran kateketik (kan 773-780) dan macam-macam kegiatan misioner Gereja (kan 781-
791). Paus dan Kolegium para Uskup menerima tugas memaklumkan Injil untuk kepentingan
Gereja universal. Sedangkan tingkat keuskupan, dipercayakan kepada para uskup masing-
masing dengan dibantu para imam-imamnya. Sementara umat beriman berdasarkan baptis dan
penguatan dipanggil untuk menjadi saksi-saksi warta injili dengan perkataan dan teladan hidup

2
Dr. martinus Telaumbanua OFM Cap, 1999, hlm. 4

8
kristiani, serta bekerjasama dengan Uskup dan imam menjalankan tugas pelayanan sabda dan
pemakluman Injil. Pada kan 773, terutama pada para gembala jiwa ditegaskan tanggung
jawabnya untuk mengusahakan katekese umat beriman agar iman umat beriman melalui
penyampaian ajaran dan melalui pengalaman hidup kristiani menjadi hidup, eksplisit dan
operatif. Para pastor paroki dengan dibantu para anggota tarekat dan orang-orang beriman
kristiani awam harus mengusahakan pembinaan kateketik orang-orang dewasa, orang muda dan
anak-anak. Orang tua didorong pula untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam
praktek kehidupan kristiani baik dengan perkataan maupun teladan hidup mereka.
Dalam Direktorium Formatio Keuskupan Agung Semarang, dijelaskan bahwa katekese
dirumuskan sebagai suatu formatio iman. Formatio iman itu mengandung unsur pewartaan,
pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan serta pendewasaan iman3.
Semua itu diberikan kepada umat agar terjadi pembentukan hidup seturut teladan Yesus sendiri.
Segala bentuk media dan sarana, segala macam peristiwa dan kesempatan bisa digunakan untuk
berkatekese baik di sekolah-sekolah atau di berbagai pertemuan umat.
Berpijak dari berbagai sumber tersebut, dapat kita rumuskan bahwa katekese adalah suatu
usaha Gereja yang melibatkan hirarki, kaum religius dan umat beriman kristiani awam untuk
membantu semua umat beriman agar iman mereka melalui penyampaian ajaran dan melalui
pengalaman hidup kristiani menjadi hidup, eksplisit dan juga operatif (bdk. Kan 773) sesuai
dengan jenjang usia dan konteks kehidupannya. Iman yang hidup adalah iman yang dinamis,
dihayati dalam hidup sehari-hari, mempengaruhi seluruh kehidupan. Iman yang eksplisit adalah
iman yang dinyatakan dalam pengakuan pribadi dan diungkapkan dalam doa, devosi dan
peribadatan. Iman yang operatif adalah iman yang mempengaruhi perilaku dan tindakan hidup
sehari-hari.

3.2. Sifat dan Aspek Katekese


Katekese memiliki emmat sifat dan tiga aspek, yang masing-masing saling terkait dan
sekaligus menunjukkan suatu proses pendewasaan iman.

3.2.1. Sifat-sifat katekese

3
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, Direktorium Formatio Iman, Yogyakarta: Kanisius, 2018,
hlm. 33.

9
a. Fundamental
Katekese bersifat fundamental dalam hidup Gereja. Katekese tak terpisahkan dari hidup
Gereja. Gereja tidak mungkin tanpa katekese, sebagaimana Gereja tidak mungkin tanpa
evangelisasi. Katekese ini menjadi konsekuensi langsung dari Gereja yang misioner, Gereja
yang mewartakan Injil kepada semua bangsa, Gereja yang berevangelisasi. Katekese menjadi
bagian dari tahap evangelisasi. Antara katekese dan evangelisasi ada hubungan yang sangat
erat, saling berintegrasi dan saling melengkapi. Katekese manjadi salah satu di antara momen-
momen dalam keseluruhan proses evangelisasi.
Pewartaan Injil atau kerygma yang membawa pertobatan dan membangkitkan iman dan
melahirkan pembaptisan, menuntut Gereja untuk memupuk iman yang baru ditanam itu agar
semakin kuat, dewasa, matang dan berbuah. Pemupukan inilah yang menjadi tugas katekese.
Dalam Catechesi Tradendae disebutkan bahwa usaha pemupukan itu dilaksanakan melalui
pembinaan anak-anak, kaum muda, orang-orang dewasa dalam iman, yang mencakup
penyampaian ajaran Kristen, yang diberikan secara organis dan sistematis sehingga mereka
yang mendengarkan dapat memasuki kepenuhan hidup kristen. Tindakan kateketis itu merasuk
dalam semua kegiatan Gereja baik dalam perayaan sakremental, dalam doa dan devosi maupun
dalam seluruh kesaksian hidup kristiani.

b. Eklesial
Katekese bersifat eklesial. Hal ini dengan tegas dijelaskan dalam Petunjuk Umum
Katekese (PUK) no 78. “Pada dasarnya katekese merupakan suatu tindakan eklesial. Subyek
katekese yang benar adalah Gereja, yang dalam melanjutkan misi Yesus, Sang Guru dan yang
dijiwai oleh Roh Kudus, diutus untuk menjadi guru iman. Gereja mengikuti Bunda Allah dalam
menyimpan harta Injil dalam hatinya. Dia mewartakannya, menghayatinya dan meneruskannya
dalam katekese bagi mereka yang telah mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus Kristus.”
Gereja meneruskan iman yang dihayatinya dan secara aktif menaburkan benih iman itu
dalam diri umat. Gereja bertindak sebagai ibu yang melahirkan umat baru dan memberi makan
bagi pertumbuhannya. Juga Gereja bertindak sebagai guru yang terus mengajar mereka untuk
semakin dewasa dalam iman dan semakin berani dalam bersaksi.
Semua umat yang menjadi anggota Gereja memiliki hak dan kewajiban dalam
berkatekese yang tidak bisa diambil daripadanya. Mereka memiliki kewajiban berkatekese

10
bersumber dari perintah Tuhan dan terutama bertumpu pada mereka yang menerima panggilan
untuk pelayanan pastoral. Namun mereka juga berhak untuk menerima dari Gereja pengajaran
dan pendidikan yang memungkinkannya menghayati hidup Kristen yang sejati.

c. Total
Katekese bersifat total. Total yang dimaksudkan di sini adalah kesungguhan dan
keseluruhan. Katekese membutuhkan kesungguhan atau totalitas dalam menjalankannya.
Bagaimanapun juga perkembangan dan pertumbuhan Gereja sangat dipengaruhi oleh pelayanan
katekese. Telah terbukti di banyak tempat, bahwa katekese yang dijalankan tanpa perencanaan
dan tanpa kesungguhan, hasilnya tidak maksimal dan umat tidak merasakan pendampingan
yang serius dalam menghayati imannya. Sebaliknya tempat-tempat yang memberikan
pelayanan katekese secara sungguh-sungguh ternyata berpengaruh besar bagi perkembangan
dan pertumbuhan Gereja.
Juga totalitas menunjuk pada keseluruhan. Katekese tidak hanya ditujukan kepada orang
atau kelompok tertentu. Semua orang yang telah beriman mulai dari anak-anak sampai lansia,
termasuk juga mereka yang berada dalam keadaan khusus berhak menerima katekese sesuai
dengan situasi dan umur mereka masing-masing. Perencanaan dan kegiatan pelayanan katekese
hendaknya diusahakan secara menyeluruh untuk semua orang di masing-masing usianya.
Thomas Groome menyebut katekese yang berkelanjutan sepanjang hidup itu dengan istilah
lifelong faith formation (pendampingan iman sepanjang hidup). Sepanjang hayat orang perlu
mendapat katekese. Karena itu perlu dipikirkan metode, cara dan bentuk pendampingan untuk
tiap-tiap jenjang usia tersebut.

d. Integral
Katekese bersifat integral menunjuk pada adanya tanggung jawab bersama dalam
menjalankan katekese. Katekese bukan tanggung jawab sekelompok orang atau tergantung
pada segelintir orang. Thomas Groome menggunakan istilah total community catechesis, yang
menunjuk pada unsur-unsur dan pihak-pihak yang bertangungg jawab dalam katekese. Mereka
itu adalah paroki, keluarga dan sekolah katolik. Dalam paroki ada pimpinan hirarkis dan para
pelayan pastoral Gereja yang bertanggung jawab menjalankan katekese. Di dalam keluarga, ada
orang tua yang memiliki tanggung jawab atas pendidikan iman dalam keluarga. Dalam sekolah,

11
ada para guru yang juga bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan iman kepada anak
didik.
Di antara pihak-pihak yang bertanggung jawab itu diharapkan kerjasama satu sama lain.
Kita tahu sekalipun semua mengambil bagian dalam katekese, tetapi bentuk pelaksanaan
tugasnya bisa berbeda-beda. Para pastor bertanggung jawab untuk mengembangkan,
membimbing dan mengkoordinasi katekese. Sedangkan orang tua juga memiliki tanggung
jawab istimewa pula dalam keluarga, demikian juga para guru, katekeis dan pelayan gereja
lainnya. Sekalipun sesuai dengan kekhasannya, katekese mesti dilaksanakan di masing-masing
persekutuan itu. Karena itu kerjasama dan sinerginya untuk menjalankan katekese sangat
diperlukan.

3.2.2. Aspek-aspek katekese


Ada tiga aspek katekese yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik iman. Aspek aspek
ini menunjuk pada tingkat pemahaman, penghayatan dan pengamalan iman yang telah
diberikan dalam katekese. Masing-masing aspek itu saling terkait. Ada istilah untuk menunjuk
keterkaitan antar aspek tersebut yaitu head (memahami), heart (menghayati) dan hand
(menghidupi dan mengamalkan). Atau istilah lain lagi juga dipakai yaitu information
(menerima informasi atau pengajaran), formation (pendidikan atau pembentukan) dan
transformation (membarui dan mengubah kehidupan sesuai dengan pengajaran yang diberikan.
Untuk itu mari kita lihat satu persatu aspek-aspek tersebut, sambil membandingkan aspek-aspek
dalam taknonomi bloom4.

a. Aspek kognitif
Aspek kognitif adalah aspek dalam katekese yang menunjuk pada semua kegiatan yang
berhubungan dengan otak atau pengetahuan. Di dalamnya ada proses berpikir yang melibatkan
kemampuan untuk memahami, menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu
kejadian atau peristiwa. Apabila diberi stimulus atau rangsangan serta motivasi untuk belajar
dan menggali potensi, aspek ini bisa berkembang dan menunjukkan tingkat kecerdasan yang
tinggi.

4
http://henker17.blogspot.com/2012/09/aspek-kognitif-afektif-dan-psikomotorik.html

12
Dalam taksonomi bloom, aspek kognitif meliputi unsur pengetahuan, pemahaman,
penerapan, analisa, sistesis dan evaluasi. Pengetahuan berhubungan dengan kemampuan untuk
mengenal dan mengingat materi dari yang sederhana sampai yang sulit. Pemahaman
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memahami makna materi yang diterimanya.
Penerapan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menerapkan materi atau ilmu
yang diterimanya dalam situasi yang baru. Ini termasuk dalam tingkat tinggi kemampuan
berpikir karena ia bisa memanfaatkan materi untuk mendukung pemikiran-pemikiran baru.
Analisa menunjuk pada kemampuan untuk menguraikan materi ke dalam komponen-komponen
tertentu serta menghubungan bagian satu dengan bagian lainnya. Pada bagian ini, terdapat sikap
kritis atas suatu persoalan atau materi tertentu. Sintesa menunjuk pada kemampuan untuk
memadukan komponen-komponen yang ada untuk membentuk suatu pola struktur dan bentuk
baru. Disini dibutuhkan suatu perilaku yang kreatif. Akhirnya evaluasi menunjuk pada
kemampuan untuk memberi pertimbangan atas nilai-nilai materi tertentu yang diharapkan bisa
membarui atau mengembangkan materi yang telah ada.
Dalam kaitannya dengan katekese, cara pikir taksonomi bloom tersebut sangat membantu
agar materi yang diterima melalui katekese dikembangkan sedemikian rupa sehingga umat
tidak hanya sekedar tahu tetapi sampai pada tingkat pemahaman, penerapan dan analisa tertentu
sehingga memberi pengayaaan katekese yang telah diberikan. Umat tidak hanya menjadi
penerima pasif, tetapi juga memiliki keaktifan mencari dan mengolah melalui diskusi, berpikir
bersama yang lebih mendalam, termasuk usaha-usaha untuk memecahkan persoalan-persoalan
yang ada.

b. Aspek afektif
Aspek afektif berhubungan dengan penghayatan, hati, sikap dan nilai. Di dalamnya ada
unsur perasaan, minat, sikap, emosi dan nilai atau pemaknaan. Ciri-ciri perkembangan afektif
dapat nampak dalam perubahan perilaku tertentu. Di antara perilaku itu adalah menerima,
menanggapi, menilai atau menghargai dan dalam pembentukan pola hidup. Pada aspek ini
seseorang yang mendapat pembinaan katekese itu memperhatikan dan menanggapi dengan
baik. Mereka juga merespon secara positif dan atraktif terhadap suatu pesan yang disampaikan.
Mereka menunjukkan sikap antusiasme dalam merespon, mensyukuri peristiwa-peristiwa

13
hidup dan memberi kebanggaan diri atas apa yang diterima dan dimilikinya. Ada suatu pola
sikap baru yang terbangun setelah mendapat katekese dalam hidupnya.
Perubahan sikap itu dapat diantisipasi bila aspek kognitif terolah dengan baik sampai pada
unsur yang optimal. Sebab bagaimanapun juga, pengetahuan seseorang itu akan sangat
berhubungan dengan sikap yang dibangun. Tidak sedikit orang yang kadang tingkat perubahan
sikapnya sangat lambat atau cenderung sedikit karena pemahaman mereka juga terbatas
sehingga tidak melihat nilai atau makna yang ada dalam ajaran-ajaran tertentu. Karena itu, kalau
menghendaki perubahan perasaan, emosi atau sikap mengandaikan adanya usaha untuk
meningkatkan aspek pengetahuan dengan segala tingkatan unsurnya.

c. Aspek psikomotorik
Aspek psikomotorik berhubungan erat dengan kehendak, ketrampilan, tindakan dan
perubahan perilaku setelah mereka menerima pembelajaran. Aspek psikomotorik ini
merupakan kelanjutan atau hasil dari pengembangan aspek kognitif dan afektif. Ada aktivitas
dan kegiatan yang mereka lakukan berhubungan dengan pengalaman iman yang mereka
pahami, hayati dan hidupi. Umat yang telah mendapat katekese terbangun suatu kehendak
untuk melakukan suatu tindakan-tindakan baru yang berhubungan dengan nilai-nilai atau
pesan-pesan yang mereka terima.
Hasil pengembangan aspek psikomotorik ini dapat dilihat melalui pengamatan terhadap
perubahan tindakan atau perilaku. Misalnya mereka diberi tugas untuk menjalankan suatu
perintah tertentu. Mereka juga diberi stimulus untuk memiliki sikap dan tindakan tertentu sesuai
dengan pesan kateketis yang mereka terima dalam proses pembinaan atau katekese. Bisa juga
dari kesadaran mereka sendiri, suatu tindakan atau perilaku mereka lakukan sesuai dengan
ajaran yang mereka terima. Misalnya dalam suatu pembinaan iman bertemakan Hukum Kasih
sebagaimana diajarkan oleh Yesus, umat setelah mendapat pembinaan itu kemudian
mengembangkan kasih itu melalui tindakan-tindakan nyata dalam keluarga, atau kepada
sesamanya, terutama kepada mereka yang berkekurangan. Cinta mereka kepada Tuhan juga
terungkap secara nyata melalui kesediaan mereka untuk mengambil bagian dalam pelayanan-
pelayanan Gereja atau melalui keaktifan mereka untuk terlibat aktif dalam perayaan sakramen-
sakramen Gereja.

14
Mengenai aspek-aspek katekese, ada pula yang membaginya tidak berdasarkan
perkembangan psikologis setiap pribadi, tetapi berdasarkan unsur-unsur dalam kehidupan
beriman yaitu unsur pengetahuan iman, tradisi katolik, moral kristiani dan
menggereja/memasyarakat5.
Aspek pengetahuan iman adalah aspek-aspek katekese yang berhubungan pengetahuan
mendasar yang bersifat doktrinal dan menyangkut keseluruhan ajaran Gereja katolik. Sumber
pengembangan aspek ini adalah Kitab Suci dan dokumen-dokumen Gereja. Dengan adanya
aspek ini, katekese mesti meningkatkan pengetahuan iman seseorang. Katekese mendidik atau
mengajar agar mereka semakin memahami pokok-pokok iman katolik melalui berbagai sumber
yang tersedia. Setidak-tidaknya mereka tahu siapa yang diimaninya sebagai orang katolik? Apa
yang diajarkan Gereja? Apa itu sakramen-sakramen Gereja dan bagaimana merayakannya?
Sikap dan perilaku hidup seperti apa yang dituntut dari seluruh umat? Bagaimana doa-doa orang
katolik? Masih banyak pengetahuan lain yang berhubungan dengan hukum Gereja, Ajaran
Sosial Gereja dan ajaran-ajaran moral lainnya. Dengan pengetahuan ini, umat bisa memahami
dan mempertanggungjawabkan imannya. Dengan cara demikian, umat akan semakin mendalam
dan cerdas imannya.
Aspek tradisi kristiani adalah aspek-aspek katekese yang berhubungan dengan
pengungkapan dan penghayatan iman umat. Tradisi berasal dari bahasa latin, traditio yang
berarti sesuatu yang diserahkan, diteruskan dan diwariskan. Apa yang diwariskan adalah
praksis hidup keagamaan yang mengungkapkan pengalaman iman jemaat yang telah diterima,
diwartakan, dirayakan dan diwariskan dari angkatan ke angkatan, mulai dari Gereja perdana
sampai zaman sekarang ini.
Ada banyak tradisi katolik yang dihidupi oleh jemaat, diantaranya tradisi sakramental,
sakramentali, doa dan devosi serta praksis hidup katolik lainnya. Praksis hidup sakramental
adalah praksis hidup keagamaan yang mengalir dari perayaan sakramen-sakramen Gereja.
Praksis hidup sakramentali adalah praksis hidup yang mengalir dari perayaan sakramentali
seperti pemberkatan rumah, pemberkatan jenasah, pengikraran kaul kebiaraan dan aneka ibadat
sakramen lainnya. Praksis hidup doa dan devosi adalah praksis hidup yang mengalir dari doa
dan devosi yang terjadi dalam Gereja. Praksis itu berupa adorasi, visitasi, novena, ziarah, jalan
salib, doa rosario, praksis keagamaan lainnya seperti berpuasa, meditasi, dan lain-lain.

5
Dewan Karya Pastoral KAS, Formatio Iman Berjenjang, hlm 32-37.

15
Aspek moral katolik adalah aspek yang berhubungan dengan sikap dan tindakan etis yang
bersumber dari pengalaman iman dan ajaran-ajaran sosial Gereja. Melalui aspek ini, ditekankan
agar katekese bisa mengarahkan orang kepada tindakan etis atau perilaku yang sesuai dengan
ajaran moral kristiani.
Tindakan etis umat itu dapat didasarkan pada Sepuluh Perintah Allah yang mengajak
orang untuk melakukan kewajiban-kewajiban moral sebagai bagian dari cara manusia berperan
dalam tindakan penyelamatan Allah. Dalam Perjanjian Baru, tindakan etis nampak dari perintah
Yesus untuk mengasihi. “Perintah yang paling utama ialah: Dengarkanlah hai orang Israel,
Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, dengan
segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatanmu. Dan perintah yang
kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang
lebih utama dari pada kedua perintah ini” (Mrk 12:29-31). Sangat jelas bahwa perintah Yesus
kepada para murid-Nya adalah mengasihi Allah dan sesama dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian katekese tidak cukup hanya membuat orang paham akan ajaran Yesus,
juga membuat orang penghayatan hidup dan mewujudkannya dalam tindakan-tindakan nyata
sebagaimana diperintahkan oleh Yesus: mengasihi. Sebagai bagian dari mengasihi adalah
mengampuni, melakukan berbagai tindakan yang mendatangkan kebaikan.
Prinsip-prinsip tindakan etis juga ditegaskan dalam Ajaran Sosial Gereja. Prinsip-prinsip
itu diantaranya adalah menjunjung martaban manusia, bonum commune, solidaritas,
subsidiaritas dan memihak kepada mereka yang lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Karena
itu sebagai bagian dari katekese, Ajaran Sosial Gereja perlu dijadikan sumber pengajaran atau
katekese.
Aspek menggereja dan memasyarat merupakan aspek yang menunjuk pada partisipasi
dan misi Gereja yang bersumber dari pengalaman iman. Allah memanggil untuk bersekutu antar
umat beriman dan sekaligus untuk diutus menjadi garam dan terang dunia. Semangat partisipasi
dan misi ini menyadarkan semua umat beriman untuk tidak hanya terkungkung pada urusan
dan kepentingan pribadi, melainkan juga diutus untuk hadir, terlibat di tengah-tengah jemaat
dan masyarakat. Secara internal, demi mendukung partisipasi di tengah jemaat, Paulus
menegaskan bahwa tiap-tiap orang diberi karunia dan karisma untuk terlibat dalam jemaatnya.
“Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainnan menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita. Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya

16
sesuai dengan iman kita. Jika karunia itu untuk melayani, baiklah kita melayaninya; jika karunia
untuk mengajar, baiklah kita mengjar; jika karunia untuk menasehati, baiklah kita menasehati.
Dan siapa yang membagi-bagikan sesuatu hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ihklas;
siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang
menunjukkan kemurahan, hendaknya ia melakukannya dengan sukacita” (Rom 12:6-8).
Pesan Paulus tersebut memperlihatkan panggilan dan tanggungjawab jemaat untuk
melayani jemaat lainnya dengan karunia-karunia yang diterimanya dari Allah dan melayaninya
dengan semangat yang tulus, rajin dan penuh sukacita. Panggilan pelayanan ini tentu terbuka
untuk semua orang. Dalam kesempatan lain, Yesus juga menyampaikan pesannya kepada para
murid-Nya, “Hendaklah kamu saling mengasihi, sama seperti Aku mengasihi kamu demikian
pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu
adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:34-35). Dan kepada
Petrus, mewakili para murid lainnya, Yesus menyerahkan tugas penggembalaan-Nya.
“Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:17).
Sebagai Jemaat misioner, umat juga memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam
masyarakat. Keterlibatan itu dirumuskan secara biblis dengan istilah “menjadi terang dan garam
dunia”. “Kamu adalah garam dunia..... Kamu adalah terang dunia......hendaklah terangmu
bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan
Bapamu yang di sorga” (Mat 5:13-16).
Dengan sabda Tuhan itu, panggilan untuk berpartisipasi dan bermisi sebenarnya
bersumber dari Allah sendiri dan mengalir kepada orang-orang yang mengikuti-Nya.
Karenanya katekese tidak hanya mendewasakan iman secara personal dan meningkatkan relasi
pribadi dengan Allah tetapi juga mendorong orang untuk berpartisipasi aktif di tengah Gereja
dan menjalankan misi secara bertanggungjawab di tengah dunia.

3.3. Sumber dan Tujuan Katekese


Sumber katekese adalah segala bahan yang digunakan untuk berkatekese. Sumber
katekese itu merupakan harta iman, yang dalam suatu perumpamaan Injil harta itu menjadi
milik tuannya dan dibagi-bagikan atau diwariskan kepada anak-anaknya. Semua anaknya akan
hidup dari harta itu. Harta itu tidak pernah akan habis untuk dibagikan dan mampu menghidupi
berapapun anak yang ada di dalamnya. Harta iman ini kini diwariskan kepada Gereja, keluarga

17
Allah dan Gereja akan secara terus-menerus membagikan kepada semua anggotanya sebagai
makanan, kekuatan dan pegangan hidup mereka.

3.3.1. Sumber Katekese


Dalam Petunjuk Umum Katekese no. 94, dibedakan sumber utama dan sumber lainnya
dalam katekese. Sumber utama katekese adalah sabda Allah. Sabda Allah itu adalah Yesus
Kristus, yang menjadi manusia dan bahwa suaranya bergema dalam Gereja dan di dunia melalui
Roh Kudus. Mengenai sabda Allah, Yohanes mencatat dalam Injilnya dengan sangat jelas.
“Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah. Ia pada mulanya bersama dengan Allah” (Yoh 1:1-2). “Firman itu telah menjadi manusia
dan diam di antara kita dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan
kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Tidak
seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada dalam pangkuan
Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya” (Yoh 1:14,18).
Berdasarkan perikop tersebut, sabda Allah menunjuk pada seorang pribadi yaitu Yesus
Kristus sendiri. Dialah sumber dari segala sumber katekese. Dialah jantung katekese (bdk. CT
no. 5). Karenanya melalui katekese, orang tidak sekedar diajak mendengarkan sabda Allah
tetapi masuk dalam relasi pribadi dengan Kristus, mengenal Pribadi dan seluruh misteri
perutusan-Nya, mendalami sabda-sabda dan ajaran-Nya serta meneladan segala tindakan-Nya.
Terhadap Yesus Kristus, kepenuhan Wahyu Allah dan sekaligus Sabda Allah yang
menjadi manusia itu, Gereja menerimanya dengan ketaatan iman. “Kepada Allah yang
menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan ketaatan iman (Rom 16:26; lih. Rom 1:5;
2Kor 10:5-6). Gereja menyerahkan diri seutuhnya dengan mempersembahkan kepatuhan akal
budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan dan dengan secara
sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya” (DV 5).
Itulah sumber utama katekese. Sumber-sumber katekese lainnya tidak terpisahkan dari
Sabda Allah itu adalah Tradisi Suci, Kitab Suci dan Magisterium6. Ketiga sumber ini memuat
secara penuh Sabda Allah, Sabda yang menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.

a. Tradisi Suci

6
Modul PPPK, Pokok Kajian Yesus Kristus; Chatechesi Tradendae no. 27.

18
Tradisi berasal dari kata Latin traditio yang berarti penerusan. Apa yang diteruskan,
bagaimana meneruskan dan siapa yang meneruskan? Ketiga pertanyaan itu saling terkait. Yang
diteruskan atau seringkali juga yang diwariskan adalah perwahyuan diri Allah dalam sejarah
hidup manusia. Ia berkenan mewahyukan Diri dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya agar
manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, dalam Roh
Kudus dan ikut serta dalam kodrat ilahi (bdk. DV 2). Ia menyatakan diri-Nya secara bertahap
kepada manusia. Ia mempersiapkan manusia untuk menerima wahyu diri-Nya yang adikodrati,
yang mencapai puncaknya dalam pribadi dan perutusan Yesus Kristus, sabda yang menjadi
manusia. Karenanya, Allah menyanggupkan manusia untuk memberi jawaban kepada-Nya,
mengakui-Nya dan mencintai-Nya dengan cara yang jauh melampaui kemampuan manusia itu
sendiri (bdk. KHK 52).
Allah membiarkan Diri-nya dikenal sejak awal mula. Ia menampakkan diri kepada
manusia pertama. Ia menghimpun mereka dalam suatu persatuan yang erat dengan diri-nya,
sambil menghiasi mereka dengan rahmat dan keadilan yang gemilang. Perwahyuan Allah ini
tidak terputus sekalipun manusia berdosa. Ia terus memelihara mereka, mengaruniakan hidup
kekal kepada semua yang mencari keselamatan dengan bertekun melakukan apa yang baik
(KHK 54-55).
Puncak perwahyuan diri Allah adalah dengan mengutus Kristus, Putera-Nya. Setelah
sebelumnya berulangkali dan dengan berbagai cara Allah menyatakan diri, kini Ia menyatakan
Diri dalam diri Yesus Kristus. Dalam Dia, Allah mengatakan dan menyatakan segala-galanya.
Yesus menjadi sabda Allah yang definitif, yang menjadi manusia. Allah menghendaki semua
orang mengenal Yesus Kristus. Untuk itulah, Kristus memerintahkan kepada para rasul, supaya
Injil yang dahulu telah dijanjikan melalui para nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-
Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang
menyelamatkan dan sumber ajaran kesusilaan dan dengan demikian dibagi-bagikan karunia-
karunia ilahi kepada mereka (bdk. DV 7).
Proses penerusan Injil Yesus Kristus itu mula-mula dilakukan oleh para rasul. Mereka
yang sejak awal dipanggil, mengenal, mengikuti dan mengalami hidup Yesus menyakini bahwa
Yesus adalah Kristus dan Tuhan. Penerusan Injil itu dilakukan secara lisan dan tertulis. Para
Rasul secara lisan mewartakan Injil dengan teladan serta penetapan-penetapan atas apa yang
mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri. Penerusan secara lisan yang

19
berlangsung dengan bantuan Roh Kudus inilah yang disebut Tradisi. Tradisi itu terus
dilestarikan atau diteruskan berupa kotbah, ajaran, kesaksian hidup, peribadatan. Para Bapa
Suci banyak memberi kesaksian bahwa tradisi itu sungguh menghidupkan dan meresapi praktek
serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa (DV 8). Para rasul meneruskan apa yang
mereka terima dari Yesus sendiri dan kemudian dalam bimbingan Roh Kudus diteruskan lagi
oleh para pengganti mereka, yaitu para uskup dan melalui para uskup sampai pada semua
generasi sampai akhir zaman. Kemudian para Rasul dan tokoh-tokoh-tokok rasuli lainnya, atas
ilham Roh Kudus juga telah membukukan amanat keselamatan (DV 7). Tradisi tertulis inilah
yang disebut Kitab Suci.

b. Kitab Suci
Kitab Suci atau kita sering menyebut Alkitab merupakan buku-buku yang suci dan
kanonis karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (Yoh 20:31; 2Tim 3:16; 2Ptr 1:19-21; 3:15-
16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya serta dalam keadaannya demikian itu
diserahkan kepada Gereja. Namun dalam mengarang kitab-kitab itu Allah memilih orang-orang
yang digunakan-Nya, dengan segala kecakapan dan kemampuan mereka, supaya sementara Dia
berkarya dalam dan melalui mereka, semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri
dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh (DV 11). Karena diilhami
oleh Allah sendiri, Alkitab diakui mengandung kebenaran apa yang dikehendaki oleh Allah
untuk keselamatan manusia. Gereja dapat menggunakannya untuk mengajar, menyakinkan,
menegur dan mendidik dalam kebenaran supaya manusia, hamba Allah menjadi sempurna, siap
sedia bagi segala pekerjaan yang baik (DV 11).
Karenanya Tradisi dan Kitab Suci memiliki hubungan yang erat karena sama-sama
menyimpan khasanah iman yang suci (depositum fidei), yaitu semua yang secara definitf telah
diwahyukan oleh Allah melalui Yesus Kristus demi keselamatan manusia, yang menjadi harta
yang dipercayakan kepada Gereja untuk dijaga, ditafsirkan dan diwartakan dengan setia kepada
semua orang sampai akhir zaman. Khasanah iman ini berperan menjadi pemersatu umat, seperti
yang dirumuskan dalam DV 10. “Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat Suci bersatu
dengan para Gembala mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan,
dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42)" (DV 10).

20
Para rasul mempercayakan khasanah iman itu kepada seluruh Gereja. Namun untuk
menafsirkan khasanah iman tersebut dipercayakan kepada otoritas Magisterium yaitu pengganti
Petrus, yaitu Uskup Roma dan para uskup yang ada dalam kesatuan dengannya. Hal ini untuk
menghindari terjadinya salah tafsir terhadap tradisi dan Kitab Suci khususnya menyangkut
hidup iman dan susila seluruh Gereja. Tentu perbedaan tafsir bisa terjadi pada tingkat pribadi.
Namun demi pembangunan Tubuh Kristus untuk mencapai kesatuan iman dan pengetahuan
yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai
dengan kepenuhan Kristus, perlu adanya otoritas yang memiliki kuasa untuk menasfir yaitu
Magisterium (bdk. Surat Gembala KWI, September, 1991).

c. Magisterium
Magisterium ini tidak di atas Kitab Suci, melainkan melayaninya, dengan cara
mendengarkan Kitab Suci dengan kidmat, memeliharanya dengan suci dan mengajarkannya
dengan setia. Oleh karenanya berbicara mengenai Kitab Suci, juga tidak bisa dilepaskan dari
Tradisi dan Magisterium. Ketiganya memiliki hubungan yang erat, dimana ketiganya
menyimpan khasanah iman yang dihayati, dihidupi dan diwariskan dari generasi ke generasi
sepanjang zaman oleh Gereja dan dengan caranya sendiri masing-masing memberikan
sumbangan yang efektif bagi keselamatan jiwa-jiwa di bawah naungan Roh Kudus.
Singkatnya dapat dirumuskan bahwa Kitab Suci adalah cara berbicara Allah yang
dituangkan dalam tulisan di bawah embusan Roh Kudus. Tradisi Suci menerima keutuhan
sabda Allah yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus, telah dipercayakan kepada para Rasul.
Magisterium mempunyai tugas memberikan interpretasi yang autentik atas sabda Allah dan
dengan berbuat demikian, dalam nama Kristus, memenuhi pelayanan gerejani yang
fundamental. Tradisi, Kitab Suci dan Magisterium, yang ketiganya erat berkaitan satu dengan
yang lain, adalah sumber-sumber dasar katekese, namun masing-masing dengan caranya
sendiri7.
Sumber lain yang tidak lepas bahkan diterangi dari ketiga sumber itu adalah Katekismus
Gereja Katolik (KGK)8. KGK itu merupakan pernyataan iman Gereja serta ajaran Gereja. KGK
merupakan suatu tindakan dari Magisterium Paus, yang dalam zaman sekarang ini, berkat

7
Petunjuk Umum Katekese, hlm. 88.
8
Petunjuk Umum Katekese, hlm. 112

21
kewibawaan Apostolik membuat sintesis yang teratur dari keseluruhan iman katolik. KGK ini
menjadi referensi bagi penyajian autentik dari isi ajaran katolik yang paling esensial dan
fundamental, baik dalam iman dan moral. KGK bahkan diterima sebagai sarana yang sah bagi
pelayanan komunitas eklesial untuk menolong para murid Kristus mengakui iman yang
diterima dari para rasul. KGK juga menjadi norma yang pasti untuk pengajaran iman, untuk
menyiapkan katekismus setempat (partikular).
KGK memuat empat dimensi fundamental dari kehidupan kristiani yaitu pengakuan
iman, perayaan liturgi, moralitas Injil dan doa. Empat dimensi ini menyatakan aspek-aspek
esensial dari iman Gereja. Gereja memiliki obyek iman yaitu percaya pada Allah Tritunggal
dan rencana keselamatan-Nya. Iman itu dirayakan dan diungkapkan dalam tindakan liturgis.
Iman itu hadir untuk menerangi dan menopang umat dalam perbuatan-perbuatan mereka dan
akhirnya iman itu menjadi dasar doa kristiani yang mengungkapkan penantian akan kedatangan
Kerajaan Allah dan perjumpaan kita dengan Allah sendiri.
Dari sumber yang hidup yakni Sabda Allah dan sumber-sumber lain yang berasal darinya
dan melaluinya Sabda Allah itu diungkapkan, melalui katekese diteruskan pesannya kepada
mereka yang telah mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus Kristus.

3.3.2. Tujuan Katekese


Tujuan definitif katekese bukan sekedar orang saling berkontak melainkan terwujudnya
perjumpaan dan kesatuan yang mesra dengan Yesus Kristus. Segala kegiatan kateketis apapun
mesti membawa atau memajukan kesatuan dengan Yesus Kristus. Sebagaimana kita tahu saat
pewartaan awal orang diperkenalkan dengan Yesus Kristus dan kemudian bertobat serta
mengikuti-Nya melalui pembaptisan. Selanjutnya dengan katekese kesatuan dengan Kristus itu
semakin dimatangkan, dimantapkan dan dikembangsuburkan sampai orang mengalami
kepenuhan hidup kristen.
Dengan tujuan tersebut, kita menjadi tahu bahwa dalam katekese ada obyek. Obyek itu
dibedakan menjadi obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah jemaat atau umat
kristiani yang menjadi sasaran pelaksanaan katekese. Subyek katekese perlu diperhitungkan
dalam mengembangkan katekese, entah menyangkut usia jemaat maupun kondisi sosial
mereka. Berdasarkan subyek penerimanya, katekese lalu dibagi menjadi katekese anak, remaja
dan orang muda, katekese dewasa dan katekese lanjut usia. Ada pula disebut katekese untuk

22
orang-orang dalam keadaan khusus atau dalam konteks sosial yang khusus pula. Kondisi
masing-masing umat itu akan menentukan metode dan pendekatannya dalam berkatekese.
Obyek formalnya adalah pengalaman iman akan Yesus Kristus. Ia menjadi kepenuhan
wahyu Allah. “Yesus Kristus, Wahyu yang penuh dan sempurna melakukan hal ini dengan
kehadiran dan pernyataan Diri dengan perkataan dan perbuatan, tanda-tanda dan mukjijat-
mukjijat, tetapi terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya yang mulai dari antara orang mati
dan akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran” (DV 4). Dalam Yesus Kristus, Putera Allah
masuk ke dalam sejarah umat manusia, mengambil hidup dan kematian manusia, melaksanakan
perjanjian yang baru dan definitif antara Allah dan manusia.
Wahyu Allah yang berpuncak pada Yesus Kristus itu ditujukan bagi seluruh umat
manusia. Adalah tugas katekese untuk menunjukkan siapa Yesus Kristus itu, hidup dan
pelayanan-Nya dan menghadirkan iman kristiani untuk mengikuti pribadi-Nya. Katekese tidak
hanya mengajarkan tentang Yesus Kristus tetapi juga mempertemukan pribadi-pribadi dengan
Yesus Kristus sehingga melalui katekese tersebut terjadilah persekutuan dengan Kristus. Tiap
orang diundang untuk memasuki persekutuan yang erat dan mesra dengan Yesus Kristus.

3.4. Tugas Katekese


Dr. Marinus Telambuanua OFMCap menyebutkan adanya tiga tugas katekese9, yang
masing-masing saling terkait dan berhubungan.
3.4.1. Katekese Memberitakan Sabda Allah, mewartakan Kristus
Katekese dipandang sebagai media utama dan efisien untuk mewartakan sabda Allah.
Sabda Allah yang dimaksudkan tidak sekedar firman Tuhan yang terkandung dalam Kitab Suci.
Sabda Allah itu adalah Sabda yang menjadi daging yakni Yesus Kristus sendiri. Dengan
demikian mewartakan sabda Allah berarti juga mewartakan Yesus Kristus dengan segala
kegiatan dan pewartaan-Nya. Pokok pewartaan Yesus di depan umum adalah Kerajaan Allah10.
”Waktunya telah genap. Kerajaan Allah telah dekat. Bertobatlah dan percayalah pada Injil”
(Mrk 1:15). Pewartaan tentang Kerajaan Allah ini tidak di ruang kosong, tetapi dalam suatu
konteks sosio religius tertentu yaitu Yudaisme. Di dalamnya ada aliran-aliran yang diwakili
oleh kelompok Farisi, Saduki, Esseni dan Zelot. Yang tidak tertampung di dalam kelompok-

9
Dr. Marinus Telambuanua OFMCap, Ilmu Kateketik, Jakarta: Obor, 1999, hlm. 27-99
10
C. Putranto, Dihimpun untuk Diutus, Yogyakarta: Kanisius, 2019, hlm. 43-54.

23
kelompok itu adalah rakyat jelata yang tidak terorganisir seperti kaum profesi, kaum miskin,
kaum pendosa, termasuk di dalamnya adalah para pelanggar hukum.
Dalam konteks itulah Yesus mewartakan Kerajaan Allah. Dalam pewartaan Yesus
Kerajaan Allah bukanlah tempat atau barang melainkan pertama-tama adalah lingkup dan
situasi dimana Allah secara efektif menjadi Dia yang paling menentukan dalam hidup manusia,
dalam relasinya satu terhadap yang lain dalam masyarakat maupun dalam hidup perorangan.
Kerajaan Allah adalah situasi yang tercipta ketika Allah menghampiri manusia dalam dunianya
dan sebagai tanggapan manusia menomorsatukan Allah dalam hidupnya dan membiarkan
seluruh hidupnya diatur oleh kasih ilahi.
Katekese berarti mewartakan Kerajaan Allah yang telah dimulai oleh Yesus Kristus
sendiri. Gereja menghadirkan pewartaan Yesus di tengah jemaatnya agar pewartaan Yesus itu
terus dihidupi oleh jemaat sepanjang zaman. Mereka mampu menyatukan hidup dengan hidup
Yesus yang terus berkarya untuk keselamatan. Maka katekese juga membawa kesatuan hidup
atau mempertemukan diri dengan Yesus dan seluruh hidup, keprihatinan dan perjuangan-Nya.
Inilah yang berkali-kali juga disampaikan dalam Catechesi Tradendae. “Katekese pada
hakekatnya membawa kita pada perjumpaan dengan seorang pribadi, yakni Pribadi Yesus dari
Nasaret dan sekaligus mengundang kita untuk memasuki persekutuan hidup yang mesra
dengan-Nya. Dialah yang membimbing kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh dan mengajak
kita ikut serta menghayati hidup Tritunggal Kudus” (bdk. CT 5).

3.4.2. Katekese mendidik umat beriman


Dengan mengutip dari berbagai dokumen, Telaumbanua11 menyebutkan bahwa tugas
katekese juga mendidik umat beriman. “Katekese terdiri dari pendidikan iman yang teratur dan
kian berkembang melalui proses yang terus menerus menuju kedewasaan iman. Katekese
membina anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, khususnya mencakup
ajaran kristen dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup kristen”.
Katekese menjadi suatu pendidikan iman, pembinaan iman, perantaraan iman, pengajaran
iman dan langkah-langkah iman. Iman di sini dimengerti sebagai ketundukan dan penyerahan
hidup kepada Allah. Beriman berarti menerima Allah sebagai kebenaran dan menaruh sandaran

11
Martinus Telaumbanua, hlm. 41.

24
kepada-Nya. Beriman memberi rasa aman (he’ emîn), menyerahkan beban atau kelemahan
pribadi kepada Allah dan bertopang pada-Nya.
Berpijak pada pengertian iman tersebut, iman selalu mengandaikan adanya dua kutup
yaitu keterpautan diri secara penuh kepada Allah yang membawa pertobatan dan sekaligus
pendalaman iman terus menerus yang membawa pada pemahaman. Atau dengan lain kata
dalam iman ada fides qua (mempercayakan diri kepada Allah) yang menunjuk pada iman
eksistensial dan fides quae (percaya akan Allah) yang menunjuk pada iman doktrinal.
Dengan pengertian iman yang demikian, katekese sebagai pendidikan iman tidak
bermaksud mengaburkan pemahaman bahwa iman itu terikat pada karya Allah dan jawaban
manusia. Katekese lebih ditempatkan sebagai suatu instrumen. Katekese menjadi suatu
pendidikan atau media yang berfungsi memudahkan, menolong dan menghindari rintangan
dalam proses pertumbuhan iman. Katekese membantu terciptanya pertemuan antara manusia
dan tawaran Allah yang menuntut jawaban. Katekese menyiapkan segala bantuan untuk
pertumbuhan hidup iman, dengan memberikan pemahaman secara penuh terhadap kebenaran
yang diwahyukan dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Sebagai suatu pendidikan iman, katekese dilakukan sepanjang hidup manusia. Katekese
tidak berhenti pada aspek tertentu misalnya pada pengenalan atau pemahaman kebenaran yang
diwahyukan, tetapi hingga sampai pada pembentukan sikap iman sebagai suatu jawaban atau
tanggapan total manusia pada Kristus. Katekese bertugas membantu menyuburkan semangat
pertobatan, meneguhkan iman melalui perkembangan yang harmonis antar komponen kognitif,
afektif dan operatif dan mendampingi dinamika pertumbuhan dan kedewasaan iman ke arah
kepenuhan eskatologis. Dalam pertumbuhan itu, terlihat adanya semangat pertobatan yaitu
penyangkalan duniawi dan memilih Kristus dalam persekutuan Gereja, menghayati dan
menghidupi secara intensif sikap hidup yang baru yang semakin mematangkan imannya.

3.4.3. Katekese mengembangkan Gereja


Secara umum Gereja dipahami sebagai suatu persekutuan jemaat yang terpanggil untuk
mendengarkan dan menghidupi sabda Allah dalam hidupnya. Gereja menjadi lingkungan dan
subyek katekese. Gereja menjadi sasaran semua usaha katekese Gereja. Diyakini bahwa
katekese menjadi media Gereja yang sangat membantu perkembangan Gereja. Katekese
dipercaya mampu membawa iman tiap pribadi atau jemaat bertumbuh menjadi dewasa.

25
Demikianlah Gereja tidak bisa dipisahkan dari katekese. Bahkan sebagaimana disebut oleh
Paus Yohanes Paulus kedua, Gereja lahir, hidup, tumbuh dan ada untuk katekese. Gereja
berkembang karena pewartaan dan katekese tentang sabda Allah. Sabda Allah menjadi sumber
hidup Gereja. Namun sekaligus Sabda Allah itu membarui, memurnikan dan sekaligus
mengadili Gereja.
Sebagaimana di awal sudah disampaikan bahwa salah satu tugas katekese adalah
mewartakan sabda Allah atau menghadirkan Yesus Kristus. Karenanya katekese yang melayani
Gereja senantiasa menghadirkan sabda Allah yang sangat dibutuhkan oleh Gereja untuk
perkembangannya. Lewat katekese, Sabda Allah yang membarui Gereja diperdengarkan, diolah
dan dihidupi oleh Gereja.
Dalam arti itulah, katekese turut mengembangkan Gereja baik melalui sabda yang
diwartakannya maupun melalui pendidikan iman dari berbagai sumber katekese. Kita bisa
membayangkan bagaimana kehidupan Gereja seandainya katekese tidak diperhatikan
keberadaannya atau diabaikan perannya. Gereja dipastikan tidak berkembang. Oleh karena itu
menjadi tugas Gereja untuk mengembangkan katekese sedemikian rupa sehingga lewat
katekese itu pula Gereja berkembang.
Tugas mengembangkan ini menjadi tugas bersama seluruh anggota Gereja. Tugas ini
melekat pada penerimaan sakramen permandian dan penguatan. Dengan cara dan kharisma
masing-masing, detiap orang dipanggil untuk mewartakan Injil dan mengambil peran secara
aktif demi hidup beriman sesamanya terutama anak-anak dan orang muda agar iman mereka
bertumbuh dan semakin dewasa. Para gembala memegang peran penting untuk kegiatan
berkatekese untuk mengkoordinasi, memotivasi dan mengkaji kegiatan bina iman. Uskup
sebagai guru iman dan katekis yang utama diharapkan peran aktifnya untuk menjamin
terlaksananya kegiatan katekese secara teratur di wilayah keuskupannya dan
memperkembangkan bentuk-bentuk katekese sesuai dengan jamannya. Orang tua, katekis dan
biarawan biarawati diharapkan berperan aktif dan kreatif mengembangkan katekese di lingkup
tanggungjawabnya masing-masing.

4. Glosarium
Afektif : sifat yang menekankan aspek perasaan, hati, penghayatan iman
Atraktif : menarik

26
Bonum Commune : berarti kebaikan bersama
Catechein : menggemakan, menggaungkan keluar
Catechesi Tradendae: penyelenggaraan ilahi
Depositum fidei : kashanah iman
Eklesial : memiliki sifat gereja atau unsur kegerejaan
Evangelisasi : mewartakan injil atau kabar gembira kepada semua orang dengan
maksud untuk pertobatan dan pengenalan akan Kristus
Fides qua : iman yang mencari pemahaman
Fides quae : iman yang diwujudkan dalam tindakan
Formatio : pembentukan atau pembinaan
Hirarki : orang-orang yang memegang otoritas dalam Gereja Katolik
Katekese : pembinaan iman untuk tujuan pendewasaan iman
Kateket : seorang ahli dalam bidang katekese
Katekis : orang yang diangkat oleh Gereja menjadi pengajar calon baptis dan
pengajar iman
Katekismus : bahan yang digunakan untuk pengajaran atau pembinaan iman
katolik
Katekumen : calon baptis yang sedang didampingi
Katekumenat : masa pembinaan calon baptis
Kerajaan Allah : suatu keadaan dimana Allah merasa yang ditandai dengan
kedamaian, kebaikan, kerukunan, pengampunan, belaskasih dan
pemberdayaan kaum lemah.
Kerygma : pewartaan sabda Allah
Kognitif : sifat yang menekankan aspek pengetahuan atau intelektual
Kolegium : jajaran
Magisterium : kuasa mengajar Gereja Katolik
Misioner : semangat perutusan
Missio canonica : tugas pengajaran atau pemberitaan agama sesuai dengan doktrin
Gereja Katolik.

27
Mistagogi : masa sesudah menerima sakramen baptis untuk membimbing
mereka lebih memahami makna sakramen dan menghayatinya
daoam hidup sehari-hari
Operatif : memiliki sifat tindakan
Psikomotorik : sifat yang menekankan aspek tindakan, perilaku dan sikap nyata
Sakramental : mengandung unsur sakramen
Sakramentali : mengandung unsur hal-hal yang mirip sakramen
Tradisi : Penerusan secara lisan yang berlangsung dengan bantuan Roh
Kudus
Wahyu : pernyataan Diri Allah dalam diri Yesus Kristus

5. Daftar Pustaka
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1994
Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan
Katekese), Jakarta: Dokpen, 2006
Dewan Karya Pastoral KAS, Formatio Iman Berjenjang, Yogyakarta: Kanisius, 2014
Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, Direktorium Formatio Iman,
Yogyakarta: Kanisius, 2018
Imbauan Apostoloik Bapa Suci Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), KWI:
Dokpen, 1994
Kitab Hukum Kanonik, Bogor: Grafika Mardi Yuwana, 2016
Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Gagasan Dasar dan Modul Katekese,
Yogyakarta: Kanisius, 2014
Komisi Kateketik KWI, Model-Model Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial,
Yogyakarta: Kanisius, 1997
Konferensi Waligereja Indonesia (pentj), Kompendium Katekismus Gereja Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, 2009
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara (pentj), Katekismus Gereja Katolik, Ende:
Penerbit Nusa Indah, 2007
Kongregasi Untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Jakarta: Dokpen KWI, 2000
Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi dalam Dokumen Konsili Vatikan II

28
Martasudjita Pr, E., Pengantar Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Purwa Hadiwardoyo MSF, Al, Ajaran Gereja Katolik tentang Evangelisasi, Yogyakarta:
Kanisius, 2020
Rukiyanto SJ, B.A (ed), Pewartaan di Zaman Global, Yogyakarta: Kanisius, 2012
Suharyo, Pr, I, Pemahaman Dasar Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Telaumbauna OFMCap, Dr. Marinus, Ilmu Kateketik, Jakarta: Penerbit OBOR, 1999
Yosef Lalu, Pr, Katekese Umat, Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 2005

29
Kegiatan Belajar 2

Perkembangan Katekese

1. Kompetensi Mahasiswa
1.1 Kompetensi Inti
Mahasiswa mampu menguasai pokok-pokok iman dan Tradisi Kristiani yang menjadi
dasar pelaksanaan tugas sebagai guru pendidikan Agama Katolik yang profesional
1.2 Kompetensi Dasar
Mahasiswa memahami dan menganalisis tentang perkembangan katekese baik Gereja
universal maupun Gereja lokal Indonesia sehingga dapat mengembangkan katekese
sesuai tuntutan perkembangan zaman.
1.3 Indikator Capaian Kompetensi
1.3.1. Mahasiswa menganalisis perkembangan katekese sejak zaman para rasul
1.3.2. Mahasiswa menganalisis perkembangan pada abad II dan III
1.3.3. Mahasiswa menganalisis perkembangan katekese pada awal abad IV – V
1.3.4. Mahasiswa menganalisis perkembangan Katekese pada Abad XIII-XVI (Akhir
abad Pertengahan)
1.3.5. Mahasiswa menganalisis perkembangan Katekese Mulai Abad XVI Sampai
Abad XX
1.3.6. Mahasiswa menjelaskan perkmbangan katekese umat di Indonesia.
1.3.7. Mahasiswa menganalisis perkembangan tematik katekese umat di Indonesia.
1.3.8. Mahasiswa dapat menganalisis kekhasan katekese umat dan pelajaran
pendidikan agama Katolik.
1.4 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar tentang perkembangan katekese, maka mahasiswa
diharapkan mampu:
1.4.1. Menjelaskan perkembangan katekese pada zaman para rasul (Abad
Awal/Pertama)
1.4.2. Menganalisis perkembangan Katekese pada Abad II-III
1.4.3. Mengnlisis perkembangan Katekese pada Awal abad IV-V

30
1.4.4. Menganalisis perkembangan Katekese pada Abad XIII-XVI (Akhir abad
Pertengahan)
1.4.5. Mahasiswa menjelaskan makna Katekese Umat
1.4.6. Menganalisis perkembangan tematik katekese umat di Indonesia
1.4.7. Membandingkan katekese umat dan pengajaran agama Katolik di sekolah

2 Peta Konsep

3. Uraian Materi
3.1. Katekese pada Zaman Para Rasul
3.1.1. Situasi Sekitar Zaman Para Rasul
Pewartaan atau katekese tidak terlepas dari situasi dan kondisi serta dimana pewartaan itu
dilaksanakan. Hal ini berlaku dari zaman Gereja purba, atau Gereja perdana hingga zaman
sekarang. Untuk itu kita perlu memahami situasi dan kondisi pewartaan atau katekese pada
zaman Gereja Perdana atau Gereja para Rasul.

31
Dikisahkan bahwa pada zaman Para Rasul, kerajaan Romawi mengalami pergolakan dan
ketidakstabilan.Orang-orang kristiani dianggap sebagai sumber pergolakan di masyarakat dan
bangsa Yahudi. Dengan alasan itulah maka orang-orang kristiani dikejar, dianiay bahkan tidak
sedikit yang dihilangkan nyawanya oleh perintah kaisar Nero (64-68). Penganiayaan dilakukan
secara masif dan sistematik pada masa pemerintahan kaisar Domitianus (81-96) dan tersebar
luas pada masa pemerintahan Kaisar Traianus (98-117). Sebab-sebab penganiayaan terhadap
orang-orang kristiani adalah sebagai berikut:
- Orang-orang kristiani menolak perintah kebaktian kepada kaisar, yang dikeluarkan
oleh kaisar Agustus. Oleh karena itu mereka didakwa sebagai ateist.
- Orang-orang kristani mempunyai perintah-perintah moral yang keras, yang
menentang arus zamannya, karena itu mereka tidak diterima.
- Orang-orang kristiani mempunyai bentuk kehidupan bersama yang khusus; harta
benda menjadi milik bersama (bdk. Kis 2:44). Hal ini menjadi dianggap sebagai
suatu ancaman bagi struktur kehidupan ekonomi.
- Karena mula-mula dianggap sebagai suatu sekte dari agama Yahudi, agama
kristiani ikut menikmati hasil perjanjian dalam hal agama antara yudaisme dan
kekaisaran. Tetapi ketika diketahui bahwa agama kristiani jelas-jelas terpisah dari
yudaisme, penganiayaan menjadi semakin hebat. Dalam laporannya kepada kaisar
Traianus (thn 112), Philipus mendakwa orang-orang kristiani sebagai “canibal”.
Gereja sendiri pada waktu itu mulai menyebar secara lebih luas dengan kebudayaan
Yunani dan Romawi. Meski mengalami penganiayaan, Gereja tetap melaksanakan tugas
perutusannya mewartakan Injil Yesus Kristus dan mengusahakan kesatuab iman. Tetapi
rupanya kontak dengan kebudayaan Yunani dan Romawi ternyata mulai menimbulkan
ancaman bagi kesatguan iman Gereja. Ancaman itu berupa munculnya bidaah yang pertama,
yakni “gnoticisme”. Bidaah ini muncul dari pertanyaan,” Apakah yang menjadi inti iman
kristiani?”. Menurut penganut bidaah ini pengetahuan penting untuk keselamatan. Pengetahuan
ini merupakan suatu rahasia dan hanya diperuntukan bagi sedikit orang yang terpilih. Dengan
demikin “gnoticisme” merupakan ancaman bagi pandangan Gereja bahwa kristianisme adalah
cara hidup yang terbuka bagi semua orang.

32
3.1.2. Latar Belakang Pewartaan Para Rasul

Katekese merupakan salah satu bentuk pewartaan Gereja. Keberadaan katekese setua
Gereja itu sendiri. Para rasul menjalankan karya pewartaan sebagai pelaksanaan tugas
perutusan yang mereka terima dari Yesus sendiri. Yesus, Sabda yang menjadi manusia,
mewartakan Kabar Gembira Kerajaan Allah yang menyelamatkan dan membebaskan kepada
orang-orang di sekitar-Nya melalui kata-kata, tindakan pribadiNya. Terdorong oleh cinta Allah
Bapa dan cinta-Nya sendiri kepada umat manusia, sebelum naik ke surga, Yesus mengutus
para rasulNya unutk melanjutkan pewartaan Kabar Gembira tersebut kepada semua bangsa di
seluruh dunia.
Yesus pun berjanji akan selalu menyertai dan membantu mereka dalam menjalankan
tugas perutusan tersebut dengan memberikan Roh Kudus sebagai penolong (bdk Yoh 14:16-
17). Santo Markus mengisahkan bahwa para rasul segera melaksanakan tugas perutusan
mereka (bdk. Mark 16:20). Menurut kisah para rasul, para murid Yesus menganggap tugas
pewartaan sebagai tugas yang utama, melebihi karya karitatif (bdk. Kis 6:2) dan bagi Santo
Paulus juga melebihi pelayanan sakramental (bdk 1 Kor 1:17).

3.1.3. Dasar Pewartaan Para Rasul


Pewartaan para rasul berdasarkan pada pewartaan yang diberikan Gereja Yerusalem. Para
rasul menjaga agar apa yang mereka berikan selalu mengacu pada pewartaan Gereja
Yerusalem yang dianggap memiliki dan menyampaikan pewartaan Yesus secara utuh. Dalam
pewartaan kepada orang-orang Yahudi, yang menerima dan percaya pada Kitab Suci Perjanjian
Lama, para rasul banyak berbicara tentang rencana keselamatan Allah seperti tertulis dalam
Perjanjian Lama dan nubuat para nabi. Mereka menyatakan bahwa dalam diri Yesus Kristus,
Perjanjian Lama dan nubuat para nabi terlaksana atau terpenuhi. Yesus Kristus juga
merupakan penyempurnaan hukum lama (bdk Kis 2:14-36; 13:16-41). Sedangkan pada orang-
orang yang belum percaya pada Allah yang Maha Esa dan masih menyembah berhala, para
rasul tidak langsung mewartakan Yesus Kristus, tetapi mereka terlebih dahulu mengajarkan
iman akan Allah Pencipta, penolakan penyembahan berhala dan elemen-elemen dasar moral
kristiani. Hal itu terlihat jelas dalam pewartaan Paulus kepada orang-orang Atena seperti
dikisahkan dalam Kisah para Rasul 17:16-31.

33
Meski dalam mewartakan para rasul tidak jarang terpengaruh oleh orang-orang Yahudi
atau Yunani, baik dalam hal cara maupun dalam hal isi terutama dalam ajaran moral, namun
jelas sekali bahwa pewartaan para rasul sungguh-sungguh dimodifikasi oleh iman kristiani:
yang menjadi pusat dan dasar pewartaan mereka adalah Yesus Kristus dan seluruh ajarannya
serta seluruh peristiwa hidup Yesus yang berujung pada karya penebusan Yesus Kristus, sang
Juru Selamat hidup manusia.

3.1.4. Isi Pewartaan Para Rasul


Inti pewartaan para rasul adalah kesaksian mereka tentang kebangkitan Kristus dan
bahwa Dia adalah mesias yang menebus umat manusia dengan sengsara, wafat dan
kebangkitan-Nya. Pewartaan diberikan dalam bentuk “kerygma dan dalam bentuk “didache”.
Pewartaan para rasul yang berbentuk kerygma menekankan hal-hl berikut:
- Campur tangan Allah yang menyelamatkan umat manusia dalam diri Putera-Nya
yang tunggal. Hendaknya pada diri umat hanya ada Yesus Kristus yang tersalib dan
merupakan kebanggaan bagi para rasul (bdk. 1 Kor 1;22-23; 22).
- Rencana keselamatan Allah terlaksana dan terpenuhi dalam Yesus Kristus yang
disalibkan dan bangkit. Yesus adalah satu-satunya penyelamat umat manusia dan
merupakan pusat kerygma (bdk. Kis 4:12).
- Disamping wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, metanoia (berbalik dan
kembalinya manusia kepada Allah) merupakan tema utama pewartaan para rasul.
Alasannya ialah: Tujuan utama kerygma adalah pertobatan (bdk. Mrk 1:15; Kis
20:21).
- Motivasi pertobatan adalah misteri paskah. Hal ini dapat dijelaskan demikian:
dengan kebangkitan dan kemenangan-Nya atas kekuasaan dosa, dalam diri Yesus
terlaksana rencana keselamatan Allah secara sempurna dan sekalugus Ia juga
membangun kembali antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan
dunia ciptaan. Dengan demikian Paskah menciptakan suatu zaman baru dalam
sejarah keselamatan umat manusia dan mengundang mereka untuk ikut
diselamatkan bersama Yesus dengan jalan pertobatan.
Pewartaan para rasul yang berbentuk “didache” mengemukakan beberapa pokok iman
seperti berikut:

34
- Permandian (dibedakan antara permandian sebagai sakramen dengan upacara
pentahiran orang-orang Yahudi dan permandian yang dilakukan oleh Yohanes
Pemandi), penumpangan tangan tangan, kebangkitan orang mati dan penghakiman
terakhir (bdk. Ibr 6:21).
- Keilahian Yesus (bdk. Kis 8:37 dan karya penebusan-Nya.
- Kepercayaan pada Allah Bapa dan Yesus Kristus (bdk. 1 Kor 8:6; 2 Tim 4:1).
- Liturgi: St. Paulus menekankan pentingnya penghayatan liturgi bagi orang-orang
beriman. Hal ini tampak antara lain dalam pengandaiannya bahwa orang-orang
beriman mengerti arti mistik dari permandian, penguatan dan ekaristi (Rom 6:3; 1
Kor 11:23-32; Gal 3:2-3; Kis 19:2-6).
- Tema-tema tentang kehidupan moral kristiani. Ajaran-ajaran para rasul biasanya
diakhiri dengan ajakan yang berhubungan dengan tingkah laku jemaat (bdk. Kis
2:37-39; Ibr 6:1; Kol 4:12).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pewartaan para rasul yang berbentuk “didache” berisi
pokok-pokok pembicaraan sebagai berikut:
- Dogma: Monotheisme; Yesus adalah Putera Allah; kebangkitan Yesus, kedatangan
Yesus yang kedua; keselamatan, panggilan Gereja kedalam Kerajaan Allah,
kemuliaan Allah.
- Moral: Panggilan orang-orang kristiani kepada kesucian; penolakan atas
pandangan-pandangan kafir; hukum cinta kasih, motivasi eskatologis.

3.1.5. Tata Pewartaan Para Rasul


Mengenai Tata pewartaan para rasul hanya sedikit yang diketahui. Misalnya organisasi
persiapan penerimaan sakramen permandian. Pada mulanya tidak ada persiapan yang dibuat
secara sistematis bagi para calon penerima sakramen permandian. Permandian begitu diberikan,
setelah seorang menyatakan iman akan Kristus (bdk.Kis 2:41; 4:4; 8:26-40; 10:1-48). Alasan
mengapa pada mulanya Gereja kurang memberi perhatian secara khusus kepada persiapan
ialah karena orang-orang yang akan menerima sakramen permandian kebanyakan orang-orang
Yahudi yang sudah memiliki kepercayaan kepada Allah dan hukum Musa. Tambahan pula
kesiapan iman orang akan yang akan dipermandikan kadang-kadang ditandai dengan mukjizat.

35
Tetapi situasi berubah setelah para rasul mewartakan Kabar Gembiara di kalangan orang
kafir. Orang-orang kafir yang ingin menerima sakramen permandian perlu disiapkan cukup
lama. Kalau para rasul sendiri tidak mungkin mempersiapkan para calon penerima sakramen
permandian dengan ckup lama disuatu tempat tertentu karena harus cepat meninggalkan tempat
tersebut, dan selanjutnya melakukan hal-hal berikut:
- Para rasul mengirim murid-murid ke tempat-tempat tersebut untuk mempersiapkan
para calon penerima sakramen permandian lebih lanjut (bdk. Kis 19:22).
- Para rasul kembali ke tempat tersebut secara teratur (bdk Kis 18:23) dan tinggal di
sana lebih lama dari sebelumnya (bdk Kis 18:11; 19:10).
- Para rasul berkirim surat pada mereka.

Demikianlah pada zaman para rasul, Gereja berada dan tumbuh di tengah budaya orang
Yahudi yang sudah hidup dalam penantian Mesias Sang Juru Selamat yang dijanjikan dan di
tengah-tengah kaum kafir yang politeis. Pewartaan mereka ditujukan kepada orang-orang
Yahudi dan bukan Yahudi. Inti pewartaan para rasul ialah wafat dan kebangkitan Yesus Kristus
yang juga sekaligus menjadi pokok iman atau syahadat para rasul.12 Syahadat akan wafat dan
kebangkitan Kristus menjadi kunci keselamatan orang kristen atau pengikut kristus. Iman akan
wafat dan kebangkitan kemudian diungkapkan atau disampaikan kepada orang lain yang
awalnya secara lisan kemudian ditulis sehingga terbentuklah Kitab Suci Perjanjian Baru.
Sasaran dari pewartaan para rasul ini ialah orang Yahudi yang setia pada agamanya, tetapi mau
bertobat dan menjadi kristen; orang-orang yang dulu merencanakan untuk membunuh Yesus. orang-
orang kafir bukan Yahudi di tengah-tengah orang Yahudi. Dan orang-orang bukan Yahudi yang sama
sekali tidak tahu apa-apa tentang Israel. Katekese pada zaman ini ditujukan kepada orang dewasa,
dan belum ada katekese untuk anak-anak.

3.2. Katekese Sesudah Zaman Para rasul


Katekese sesudah Zaman para Rasul tetap berjalan terus, biarpun para Rasul tidak ada
lagi. Pewartaan diteruskan oleh para bapa Gereja. Pusat perhatian ialah tetap pada iman akan
Yesus yang wafat dan bangkit. Isi pewartaan selalu berpusat pada sejarah keselamatan yang

12
Bdk. Ladislao Csonka, Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja (Jakarta: Komkat KWI, 2010) HAL.1-25 dan
lihat P.C Mandagi, Buah-Buah Iman dalam Peziarahan Iman, (Jakarta: Hati Baru, 2009), hal. 12-15.

36
terlaksana dalam Yesus Kristus, maka pewartaan pun bersifat Kristosentris.13 Ketekese ini pun
masih ditujukan hanya kepada orang dewasa. Jadi, tugas katekis dalam mengajar kepada orang
Yahudi harus menerangkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Kalau Kabar Gembira
itu diterima dengan iman, mereka langsung dibaptis. Sedangkan katekese bagi orang kafir atau
atheis ; seorang katekis harus menjelaskan Doktrin satu Allah Yang Maha Esa serta melepaskan
politeisme dan merenima kessusilaan kristiani. Bagi orang bukan Yahudi persiapannya
berlangsung lebih lama.
Perkembangan lebih lanjut (abad II) pengajaran secara pribadi diganti dengan pengajaran
secara kelompok dan disertai dengan pembaptisan kelompok. Pembaptisan dilaksanakan di saat
Paskah, sehingga liturgi dan katekese saling melengkapi.

3.2.1 Katekese pada Abad II-III


Situasi yang dialami oleh Gereja pada zaman ini adalah zaman yang sangat sulit. Pada
abad ini Gereja mengalami masa penganiayaan. Orang-orang Kristen semula dikira hanya salah
satu aliran agama Yahudi yang dibiarkan terus secara bebas menjalankan tugas agamanya,
maka orang Kristen pun diberi juga kebebasan untuk melakukan agamanya. Tetapi ternyata
agama Kristen adalah agama baru dan bukan agama kebangsaan. Karena itu para pemeluk
agama Kristen dianggap berbahaya bagi Negara.
Dalam pergaulan hidup orang Kristen sangat berbeda dengan orang penganut agama
Romawi. Orang-orang Kristen menjauhkan diri dari persinahan, sandiwara, dan tidak suka
menjadi tentara, maka akhirnya pemerintah Romawi mencurigai kesetiaan dan kejujuran orang
Kristen terhadap Negara. Lebih-lebih karena mereka menolak untuk mempersembahkan
kurban kepada kaisar dan dewa-dewi Romawi. Maka dimulailah masa penindasan dan
penganiayaan yang dilakukan oleh kaisar Nero (tahun 64)14 dan kaisar Domitianus (tahun 81-

13
Bdk. P.C. Mandagi, Umat Yang Terkasih, (Jakarta: Hati Baru, 2009), hal 30-31. “Bukan diri, kehendak, dan
kepentingan diri kita, bukan pula interes kelompok, bukan juga tuntutan tradisi, adat dan kebiasaan yang kita
miliki melainkan Kristus dan kehendakNya saja. Nil nisi Christum: Tidak ada apa-apa lain kecuali Kristus, atau
ungkapan dari St. Agustinus Totus Christus (Whole Christ)”.
14
Catatan sejarawan Roma Tacitus(56-120 M) yang menggambarkan bagaimana Nero menganiaya Nasrani. Agar
dapat mendirikan sebuah kota Roma yang baru, maka Nero dengan sengaja membakar kota Roma. Setelah
kebakaran besar terjadi, penduduk Roma umumnya percaya bahwa biang keladi kebakaran itu adalah Nero, namun
Nero mengkambinghitamkan pengikut Nasrani sebagai penyebab kebakaran, dan menggunakan cara yang sangat
jahat untuk menghukum mereka. Dalam sebuah arena perlombaan, sebagian pengikut Nasrani ditutupi dengan
kulit hewan lalu melepas serombongan anjing pemburu, untuk menggigit dan mencabik-cabik mereka hingga mati.
Bagi pengikut Nasrani yang masih tersisa, Nero memerintahkan anak buahnya supaya mengikat mereka bersama

37
96). Dengan kekuatan alat Negara, orang Kristen diusahakan untuk dilenyapkan. Itulah
sebabnya banyak orang Kristen diseret ke pengadilan dan dipaksa untuk meninggalkan
kekristenannya. Jika mereka tidak mau meninggalkan kekristenannya, maka mereka dihukum
mati dengan berbagai cara yang mengerikan. Oleh Karena itu, menjadi Kristen pada saat itu
berarti bersedia untuk mati demi iman.15
Meskipun banyak mengalami tantangan/ hambatan, ternyata orang yang ingin menjadi
Kristen semakin banyak/bertambah. Semangat dan ajaran moral mampu memberi jawaban atas
pesoalan yang paling dasariah, misalnya tentang ketuhanan dan tentang tujuan hidup. Ajaran
cinta kasih, kerendahan hati, keadilan, semangat pengurbanan dan ketabahan membuat orang-
orang bukan Yahudi menjadi orang Kristen.
Semakin bertambahnya jumlah dan juga membengkaknya peminat untuk menjadi
Kristen, Katekse pada abad ini terlaksana sebagai berikut:
a. Bimbingan pribadi diganti dengan pengarahan kelompok yang dilanjutkan dengan
pembaptisan kelompok.
b. Persiapan untuk pembaptisan sungguh-sungguh dipersiapkan lebih baik (memakan waktu
2 atau 3 tahun). Dalam masa persiapan ini, ada 2 periode yang harus dilalui oleh para
katekumen, yaitu:
1) Periode Pemeriksaan
- Masa katekuminat dimulai dengan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan
apakah calon layak menjadi orang Kristen.
- Masa pemeriksaan ini berlangsung sekitar 3 tahun
- Tujuan masa ini adalah mempersiapkan katekumen agar berintegrasi dengan
hidup dan persaudaraan kristiani.
- Bahan pelajaran dari Alkitab yang menjelaskan tingkah laku kristiani dan member
pandangan bagaimana harus menjalani hidup. Kitab itu antara lain: Ester, Tobit,
Yudit dan Kebijaksanaan Salomo.
- Pengajar untuk para calon biasanya seorang awam dan setiap pelajaran ditutup
dengan penumpangan tangan.

jerami kering untuk dijadikan obor, dan disusun di dalam sebuah taman, dan dibakar pada tengah malam, menjadi
hiburan bagi Nero yang lalim. Pengikut Yesus yang bernama Petrusdan Paulus meninggal dalam penindasan itu.

15
J. Riberu, Kamu Diutus Untuk Melayani, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal. 197.

38
Kalau seseorang berhasil pada periode ini, maka ia bulah melanjutkan ke periode
berikutnya yaitu periode mendengarkan Injil.
2) Periode Mendengarkan Injil
- Seseorang yang masuk periode ini diberi pengajaran harian yang berhubungan
dengan pengajaran iman, dan setiap hari mendapat penumpangan tangan yang
bersifat pengusiran setan.
- Periode mendengarkan Injil ini mencapai puncaknya pada upacara pengakuan
Kredo para Rasul yang harus diucapkan para calon baptisan sebelum menerima
pembaptisan. Dalam minggu sebelum pembaptisan, calon baptis harus sering ke
Gereja dan setiap kali ia ditumpangi tangan di atasnya supaya dibebaskan dari
pengaruh setan. Pengajaran yang diberikan kepada mereka adalah syahadat para
rasul.
- Sebelum pembaptisan, calon baptis diminta menyangkal setan, mendoakan doa
Bapa Kami, Syahadat. Pembaptisan diberikan oleh uskup yang didampingi oleh
imam/diakon. Pembaptisan biasanya dilakukan pada hari Paskah atau Pentakosta.
Pembaptisan dilaksanakan dengan tiga kali penenggelaman dengan rumus
Tritunggal Mahakudus.

3.2.2. Katekese pada Awal abad IV-V


Perkembangan umat Kristen makin pesat di abad III, dapat menjadi masalah politik bagi
kekaisaran Romawi karena orang kristen tidak mau menyembah dewa-dewa kafir. Oleh karena
itu, pengejaran serta penganiayaan terhadap orang kristen juga semakin menjadi.
Penganiayaaan berakhir setelah keluarkan edikta Milano tahun 313 di mana agama
Kristen diberi kebebasan dan bahkan dijadikan agama negara dan semua harta Gereja yang
disita dikembalikan. Di zaman Konstantinus gereja mengalami kejayaan; Gereja diberi hak
istemewa, Agama Kristen diakui sebagai agama negara sehingga berpengaruh dalam bidang
sosial, politik. Akibat dari Edikta Milano, maka terjadilah pertobatan massal. Pewartaan
perorangan diganti dengan katekese umum dan resmi. Orang berbondong-bondong masuk

39
Kristen supaya aman, akan tetapi dapat mengakibatkan iman Kristen semakin merosot dan
semangat kekafiran tetap menonjol.16
Praktik katekese pada abad IV ini dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
- Aspirantes (katekumen)
Persiapan jauh untuk dibaptis, biasanya butuh waktu tiga tahun. Bahan katekese atau
pelajaran ialah garis besar sejarah keselamatan.
- Competentes
Persiapan dekat untuk pembaptisan. Tahap ini pada umumnya dilaksanakan selama 40
hari, yaitu dari awal puasa sampai malam Paskah. Para calon dituntut untuk hidup secara
Kristen dan hafal Credo dan Bapa Kami. Katekese periode ini dipadukan dengan upacara
pengusiran setan dan penumpangan tangan.
- Neophitat
Setelah menjalani tahap-tahap di atas seseorang kemudian dibaptis, yang dilaksanakan
pada Malam Paskah. Upacara diawali dengan penyangkalan setan dan pengakuan iman.
Sesudah dipermandian, langsung menerima sakramen Penguatan dan sakramen Ekaristi.

3.2.3. Kateksese pada abad VI


Di awal abad VI ini terjadi penurunan/ kurang minat katekumenat. Wilayah Roma dan
Yunani yang telah menjadi kristen, karena itu pembaptisan dewasa menjadi berkurang.
Sebaliknya bangsa Jerman dan Slavia terjadi pertobatan massal. Pertobatan ini tidak didasari
oleh kesadaran rohani (iman), tetapi karena desakan atau situasi dari luar.
Banyak pengaruh muncul seperti bidaah Plagianisme yang mengajarkan tentang dosa asal
itu tidak ada, oleh karna itu pembaptisan bagi anak-anak (bayi) tidak perlu. Namun Gereja tidak
tinggal diam, sebagai reaksi untuk menghindari bidaah Plagianisme itu; Gereja mengadakan
Konsili di Kartago tahun 41817 dan di Efesus tahun 431. Selain itu Gereja menggalakkan dengan

16
Ibid, hal 198. “Kaisar Konstantinus mengambil langkah lebih jauh lagi, agama yang tadinya ditindas
dan dikejar-kejar, sekarang dijadikan agama resmi kekaisaran. Walau status sebagai agama resmi
kekaisaran sudah dinikmati sejak Konstantinus, keputusan resmi mengenai kedudukan agama Kristen
sebagai agama kekaisaran, baru dilegalkan oleh kaisar Theodosius Agung pada akhir abad ke 4”.
17
Pada tanggal 1 Mei 418 sinode agung (Agustinus dari Hippo menyebutnya Konsili Afrika), berkumpul
di bawah pimpinan Aurelius, uskup di Kartago, untuk mengambil tindakan mengenai kesalahan
Caelestius, seorang murid dari Pelagius, mengecam ajaran Pelagian mengenai hakikat manusia, dosa,
kasih karunia, dan perfectibility; dan sepenuhnya setuju dengan pandangan Agustinus yang berlawanan.
Didorong oleh pemulihan oleh uskup Roma pada seorang imam Afrika yang dibuang (Apiarius dari

40
mengintesifkan pembaptisan bayi. Semangat ini sangat membawa pengaruh besar bagi
katekese. Maka ada 3 hal yang muncul:
a. Katekese bersifat Apologetis, isinya mempertahankan iman mengenai dosa asal manusia.
b. Pembaptisan bayi, konsekuensi dari dogma mengenai dosa asal.
c. Pembinaan iman anak-anak, berisi mengenai pendampingan terhadap anak-anak yang
sudah dipermandikan.

3.3. Katekese pada Abad Pertengahan


Abad pertengahan ini dibagi ke dalam tiga masa, yaitu: Awal abad Pertengahan, tahun
590 – 1048; Pertengahan abad Pertengahan, tahun 1048 – 1294; Akhir abad pertengahan, tahun
1294-1517

3.3.1. Awal abad Pertengahan, tahun 590 - 1048


Sejak awal abad ke-7 pengaruh Islam begitu tersebar luas. Semasa kaisar Karel Agung,
hubungan Gereja dengan negara terjalin baik. Kaisar dan Paus sama-sama memerintah sesuai
dengan bidangnya masing-masing. Didirikan sekolah-sekolah baik sekolah desa untuk
pelajaran sekolah rendah yang dijaga oleh pastor paroki; sekolah musik bagi para biarawan;
sekolah biara dan katedral: diajarkan ilmu Ketuhanan. Ciri-ciri katekese pada awal Abad
Pertengahan:
a. Karena berkontak dengan kebudayaan dan agama Islam, maka katekese agak berbau
konfrontatif. Gereja berusaha mempertahankan diri dari pengaruh agama Islam, maka
katekese juga bersifat apologetis.
b. Akibat pertobatan massal yang tidak disertai dengan pembinaan secara intensif dapat
mengakibatkan/membentuk orang Kristen yang formalistis.
c. Umat bingung karena harus taat kepada siapa; Gereja atau pemerintah.

Sicca), sinode memberlakukan bahwa siapa pun yang naik banding ke pengadilan di sisi lain dari laut
(berarti Roma) tidak dapat lagi diterima dalam persekutuan dengan salah satu keuskupan di Afrika
(kanon 17)

41
a. Karena sekolah didirikan oleh Karel Agung maka pendidikan agama lebih diakui sebagai
urusan penguasa negara daripada penguasa Gereja. Jadi katekese harus mengabdi pada
negara.

3.3.2. Katekese Pertengahan abad Pertengahan (Abad ke- XI-XIII)


Semangat keagamaan merosot, sikap acuh tak acuh terhadap hidup rohani dan
kemerosotan moral menjalar ke mana-mana, ini merupakan akibat dari pecahnya perang salib
tahun 1095-1270.18 Situasi ini tentu membwa dampak negatif terhadap katekese atau
pembinaan iman. Pembina iman mulai kendur semangatnya karena diganti dengan egoisme dan
kepentingan perseorangan.
Maka katekese diserahkan kepada orangtua dan wali baptis. Tugas pembina iman bukan
hanya tugas uskup, imam, diakon, dan wali baptis serta pemimpin rohani, tetapi juga orang tua
ikut memikul tanggung jawab. Di samping keluarga, sekolah juga mempunyai tugas untuk
mendidik anak-anak. Melalaui sistem pendidikan itu diharapkan pembinaan iman anak dapat
ditangani.

3.3.3. Katekese Akhir abad Pertengahan (Abad XIII-XVI)


Di abad ini muncul Aliran Skolastik, yang dibawakan oleh St. Anselmus di mana
Skolastik mempunyai metode khusus dalam mendidik anak. Skolastik menerangkan teologi
dengan filsafat dan ilmu pengetahuan alamiah; menjelaskan ajaran Gereja dengan
menggunakan filsafat, kepercayaan dengan logika; mau menunjukkan bahwa iman dan
pemikiran tidak bertentangan, justru terdapat harmonisasi antara iman (kepercayaan) dan
pikiran (akal). Ajaran mengenai hubungan antara iman dan pengetahuan disimpulkan dalam
credo ut intelligam yang dapat diartikan dengan “terlebih dahulu saya harus percaya, supaya
dapat menyelidiki kebenaran kepercayaan dengan pikiranku.” Menurut Anselmus, bukan

18
Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dalam sidang Konsili Clermont. Ia
mengimbau hadirin untuk angkat senjata membantu Kaisar Romawi Timur melawan orang Turki Seljuk, dan untuk
melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem. Imbauannya ditanggapi dengan penuh semangat oleh seluruh lapisan
masyarakat Eropa Barat. Para sukarelawan dikukuhkan menjadi anggota Laskar Salib melalui pengikraran kaul di
muka umum. Orang mengajukan diri lantaran didorong oleh niat yang berbeda-beda.

42
pikiran yang menjadi sumber terang, tetapi hanya Tuhan yang menjadi sumber iman dan
pengetahuan. Dalam berelasi dengan atau berhubungan dengan Tuhan ada beberapa tahap yang
harus ditempuh, yaitu ilmu pembersihan, penerangan, persatuan, dan akhirnya berpuncak pada
pandangan.
Katekese mulai bercorak intelektualistis, rasional muncul dari pemikiran Skolastik dan
Mistisisme. Banyak pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal budi manusia, sebab itu akal
budi takluk pada pernyataan ilahi, yaitu iman. Pendidikan iman baik orang dewasa, maupun
anak-anak diperhatikan. Pendidikan iman anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua,
tetapi juga oleh paroki.
Pada masa ini awal munculnya katekismus. Metode mengajar sampai abad ke-7 masih scara
lisan. Lama-kelamaan muncul katekismus. Namun sebelum itu sudah terdapat tulisan sebagai
berikut:
a. Katekismus Waisenburger, di dalamnya terdapat rumusan Syahadat Para Rasul, doa Bapa
Kami, dan doa-doa lainnya.
b. Konsili Verona (tahun 974) memutuskan bahwa setiap imam sedapat mungkin
mempunyai keterangan tertulis mengenai syahadat dan Bapa Kami.
c. Thomas Aquinas19 memberi keterangan tentang Credo (Aku Percaya), 10 perintah Allah,
dan Salam Maria.
Menjelang akhir Abad Pertengahan, praktek katekese dalam bentuk tanya-jawab menjadi
pangkal muncul brosur Sakramen Tobat. Pada saat bersamaan diterbitkan pula buku-buku
pelajaran agama berupa beberapa kumpulan teks katekese. Menjelang akhir abad pertengahan
dikembangkan seni lukis yang berusaha menafsirkan dan menjelaskan isi katekese.
Adapun katekese pada abad pertengahan sebagai berikut:

19
Santo Thomas Aquinas lahir di Roccasecca dekat Napoli pada 28 Januari 1225, Italia, dalam keluarga bangsawan
Aquino. Pada umur lima tahun Santo Thomas Aquinas diserahkan ke Biara Benedictus di Monte Cassino agar
dibina untuk menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun berada di Monte Cassino, ia kemudian dipindahkan
ke Naples. Santo Thomas Aquinas kadangkala juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso
d’Aquino) adalah salah seorang dari santo (orang suci dalam ajaran katolik) yang dikenal cerdas dan juga
merupakan seorang ahli filsafat dan teologi ternama dari Italia. Ia terutama menjadi terkenal karena dapat membuat
sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen dalam karya-karyanya.

43
Pewartaan dan katekese kehilangan semangat misi, yang menjadi ciri khas pada zaman
Gereja purba. Katekese tidak lagi bersifat biblis-liturgis, melainkan menjadi sistematis.Katekese untuk
orang dewasa menurun, karena tidak ada orang yang bertobat dan minta dipermandikan. Katekese untuk
anak-anak tidak ada, kecuali beberapa sekolah yang mulai dibangun di dekat katedral dan biara-biara.
Peranan liturgi terganggu, karena bahasa tidak dimengerti, upacara dan bentuknya
semakin dirasakan asing. Umat menjadi jauh dari liturgi, umat hanya “hadir pada misa” dan
kurang terlibat. Untuk meningkatkan iman, maka Pendidikan dan katekese dapat dilakukan
melalui:
a. Keluarga, dengan orang tua menjadi figur yang bertanggungjawab atas pendidikan
anak-anak dengan menerangkan misteri iman dan sakramen.
b. Kegiatan religius.Para imam mengajar dogma dan moral setiap hari Minggu atau dua
Minggu sekali. Bapa Kami, Syahadat para rasul, dan doa lainnya diucapkan secara
bersama-sama. Pengakuan dosa satu kali setahun menghidupkan iman. Dari sinilah
muncul buku pengakuan yang menjadi dasar katekismus.
c. Hidup dalam Jemaat. Kegiatan agama, seni, devosi dan sebagainya dapat menciptakan
iklim pembinaan iman. Melalui peristiwa ini umat mengalami suasana keagamaan.

3.4. Perkembangan Katekese Mulai Abad XVI Sampai Abad XX


3.4.1. Katekese pada Abad XVI
Tahun 1500, Eropa Barat mengalami zaman baru dalam bidang sosial, politik, dan
budaya. Ilmu cetak huruf sudah mulai dikenal. Namun pejabat Gereja terjerat pada kemewahan
duniawi, kemerosotan moral di kalangan tokoh-tokoh Kristen memprihatinkan. Pengetahuan
agama rendah dan berpendidikan rendah pula. Kewibaan Paus memudar, cara hidup para
biarawan tidak sesuai dengan semangat Kristus.
Dalam situasi demikian, Martin Luther20 mengadakan pembaharuan mengenai ajaran
tentang rahmat, sakramen, dosa, dan mengenai Gereja khususnya yang berhubungan dengan
kedudukan hierarki. Ajaran Martin Luther mendapat samabutan yang cukup luas sehingga
menggelisahkan Gereja. Upaya untuk mencegah agar kaum muda dan anak-anak supaya tidak

20
Martin Luther, O.S.A. lahir 10 November 1483– meninggal 18 Februari 1546 pada umur 62 tahun) adalah
seorang profesor teologi, komponis, imam, dan rahib berkebangsaan Jerman, serta seorang tokoh berpengaruh
dalam Reformasi Protestan.

44
kehilangan arah, maka Gereja menerbitkan Katekismus yang berisi ringkasan dan rangkuman
ajaran Kristen yang diterbitkan oleh orang-orang Katolik. Kemudian buku-buku ini
mendominasi katekese dan peranan jemaat digeser oleh buku-buku. Tahun 1530 muncul seri
katekismus Katolik yang dikarang oleh uskup Maltir dan Halding. Dari sinilah muncul katekese
dari tokoh-tokoh katekese seperti Petrus Kanisius dan Robertus Bellarminus. Petrus Kanisius
dalam katekesenya menekankan iman (credo), harapan dan doa, cinta dan perintah-perintah,
sakramen, keadilan dan keberanian kristiani. Ciri katekismusnya lebih bersifat apologetis
(pembelaan), kontroversi (bertentangan dengan ajaran reformasi), intelektualistis dan berusaha
mencocokkan ajaran-ajarannya dengan Kitab Suci dan ajaran Bapa Gereja.
Sedangkan Santo Belarminus dalam katekesenya dibuat dalam bentuk tanya jawab. Anak-anak
diajak memperhatikan hal-hal praktis. Ajaran terperinci dalam berbagai pasal yang berisi tuntutan
sebagai orang kristen dan sakramen-sakramen.

3.4.2. Katekese pada Abad XVIII


Pada abad-abad ini, muncul dua aliran, yaitu aliran rasionalisme, aliran aufklarung,
a. Aliran Rasionalisme
Di abad ini muncul aliran Rasionalisme21 dimana setiap orang dapat menafsirkan Kitab
Suci sesuai pendapatnya sendiri. Karena lebih mengandalkan pada rasio, maka tafsiran pribadi
rasio (akal budi) lebih dominan. Rasionalisme memikirkan adanya lima dasar:
- Ada sesuatu yang Tertinggi
- Manusia wajib menghormati apa yang Tertinggi itu
- Yang Tertinggi itu dihormati dengan hidup susila
- Barang siapa menghina yang Tertinggi itu ia akan mengalami perasaan takut
- Oleh karena Tertinggi itu adil, maka pekerjaan baik akan dibalas, dan pekerjaan
yang jahat akan disiksa di dalam hidup ini dan di kemudian hari.
Kelima hal ini merupakan basis (dasar) dari apa yang dinamakan “Deisme”, yaitu
kepercayaan kepada Tuhan pribadi, berdasarkan pikiran.

21
Rasionalisme adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan atau didapatkan
melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, bukan berasal dari pengalaman inderawi.
Rasionalisme menentang paham empirisme, karena kaum rasionalis berpendapat bahwa ada kebenaran yang secara
langsung dapat dipahami. Dengan kata lain, orang-orang yang menganut paham rasionalis ini menegaskan bahwa
beberapa prinsip rasional yang ada dalam logika, matematika, etika, dan metafisika pada dasarnya benar.

45
b. Aliran Aufkl‫ﺔ‬rung22
Aliran ini bergerak dalam lapangan filsafat, tetapi lambat laun menguasai lapangan
keagamaan. Ciri-cirinya, antara lain:
- Suatu kecenderungan kuat kepada kebebasan dan otonomi.
- Sebagai ukuran segala sesuatu adalah pikiran.
- Karena menghambahkana diri pada pikiran, maka aliran ini yakin bisa mengadakan
perubahan.
- Pandangan manusia tidak lagi terarah kepada yang adikodrati, tetapi hanya kepada
dunia.

Akibat dari latar belakang ini maka katekese dari abad XVIII mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
a. Pelajaran agama menjadi kewajiban. Untuk Pelajaran agama diwajibkan di sekolah.
Katekese yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Gereja beralih ke sekolah umum dan
masuk dalam jadwal sekolah. Dengan demikian mempunyai keuntungan sebagai berikut:
- Semua anak dengan cara demikian dapat dicapai dalam rangka sekolah dengan
jadwal yang tetap dan tegas.
- Lebih banyak waktu dipergunakan untuk pendidikan agama.
- Pendidikan agama dapat diintegrasikan dengan pendidikan kebudayaan profan.
Namun, tidak menutup kemungkinan mempunyai kerugian, misalnya:
- Motivasi mengikuti agama bukan karena kebutuhandan kesadaran melainkan
karena tuntutan dari luar, seperti jadwal, nilai rapor, sebagai persyaratan kenaikan,
kelulusan, kurikulum, dan sebagainya.
- Agama menjadi “fak sekolah” dan katekis yang seharusnya menggemakan Sabda
Allah, menjadi “guru agama”.

22
Aufklärung adalah kata Jerman yang berpadanan dengan kata Inggris enlightenment yang berarti pencerahan,
penerangan. Aufklarung mewujudkan cita-cita Renaissance dan dipercepat perkembangannya oleh empirisme dan
skeptisisme modern serta oleh penemuan-penemuan ilmiah abad ke-17.

46
- Gereja yang mempunyai wewenang pokok sering terhalangi oleh aturan-aturan
yang kadang-kadang cukup bermanfaat.
b. Aliran Rasionalisme dan aufklarung lebih mendewakan kemampuan akal budi, maka
katekese pun juga dipengaruhi oleh semangat Rasionalisme. Katekese cenderung
rasionalistis, terlalu mengandalkan daya rasio sehingga cenderung untuk kurang
mementingkan yang adikodrati dan yang bersifat misteri. Dalam katekese, kotbah-kotbah
dan sebagainya, moral lebih ditekankan daripada iman kepercayaan. Katekese pada saat
itu lupa bahwa agama terlebih dahulu berdasarkan wahyu ilahi bukan pikiran mausia.
Iman bukan hasil pemikiran manusia, bahkan tak dapat dipikirkan, iman adalah karunia
Tuhan (Ef. 2:8; Rm. 12:3).
c. Subjektif. Dalam katekese, anak tidak dipandang sebagai objek, tetapi sebagai subjek
(pelaku) katekese itu sendiri. Kesadaran ini muncul karena adanya kemajuan dalam dunia
pendidikan dan psikologi. Kemajuan dalam paedagogi profan juga digunakan untuk
berkatekese, baik dalam pendidikan profane maupun dalam katekese pada prinsip sama,
yaitu berpangkal pada dunia anak. Maka metode inipun harus disesuaikan dengan dunia
anak.

3. 5. Katekese di sekitar Tahun 1900


Akibat situasi suram pada Abad Pertengahan, Gereja mulai bangkit kembali dengan
semangat baru. Udara pembaruan sudah mulai berhembus dengan adanya Konsili di Trento.23
Sekolah-sekolah rohani mengarah ke meditasi dan doa mulai muncul di mana-mana. Sekolah
ini menarik bagi rohaniwan dan kaum awam. Salah satu cabang yang cukup terkenal ialah
devosi modern (kesalehan modern) yang didirikan oleh Geert Groote. Devosi ini sangat tertuju
kepada pengudusan diri. Namun semangat pembaruan yang tercetus dalam devosi modern dan
humanis belum mampu menembus kehidupan Gereja Gereja belum siap untuk diperbarui.

23
Konsili Trente, atau terkadang disebut Konsili Trento, adalah Konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19.
Dianggap sebagai salah satu konsili paling penting Gereja, konsili ini diadakan di Trento, Italia, selama tiga periode
antara tanggal 13 Desember 1545 dan tanggal 4 Desember 1563, sebagai jawaban terhadap gerakan Reformasi
Protestan (Kontra-Reformasi). Konsili ini memperinci doktrin Katolik mengenai Penyelamatan Jiwa, Sakramen
Suci, dan Kanon-kanon Kitab Suci, menjawab semua bantahan pihak Protestan.

47
Gereja sungguh-sungguh diperbarui apabila iman dapat meresapi seluruh dimensi
kehidupan sehari-hari semua orang. Pembaruan itu mulai dari ordo biara, karena biara menjadi
pusat hidup Gereja. Yang menjadi persoalan ialah bahwa apakah ordo biara sendiri mengadakan
pembaruan? Kerasulan tidak boleh dibatasi dengan tembok biara, melainkan lebih terbuka
memperhatikan pemeliharaan umat agar tidak terseret pada ajaran sesat, maka kerasulan harus
pula mengembalikan umat ke penghayatan iman secara lebih sadar dan mendalam.
Semangat pembaruan yang dimulai pada Abad Pertengahan itu masih bergema sampai
pada abad XX. Paus Pius X mempunyai semboyan Restaurare omnia in Christo, “membaharui
semua dalam Kristus”, dengan persyaratan-persyaratan penerimaan Sakramen Mahakudus.
Seluruh umat Katolik juga diminta agar menerima Sakramen Mahakudus sesering mungkin,
bahkan setiap hari. Hasilnya Codex Iuris Canonici menjadi pedoman atau tolak ukur utama
kehidupan moral kristiani. Devosi kepada Sakramen Mahakudus semakin meningkat.
Beberapa katekese yang cukup menonjol pada masa-masa ini diantaranya: katekese yang
sangat intelektualis, moralis, devosional dan tertutup.
a. Intelektualis: Karena budi dilukiskan sebagai kemampuan yang berdiri sendiri dan
terisolir, guru mementingkan persoalan bagaimana menyajikan wahyu dalam system
kebenaran yang dirumuskan dalam definisi yang jelas merupakan hasil penyimpulan dari
pemikiran selama beberapa abad.
b. Moralistis: Di samping dogma abstrak tesebut, katekis memberi moralitas yang konkret
dan terperinci, seperti halnya pelajaran yang bersifat dogmatis. Segala yang diperintahkan
dan dilarang Gereja diuraikan detail. Perkembangnan hati nurani pribadi pada diri murid
tidak begitu diperhatikan. Kejelasan moralitas itu disertai dengan latihan-latihan
kehendak yang kerap kali menghasilkan tingkah laku kristiani yang sangat keras dan
kaku.
c. Devosional: Sifat rasionalistis dan voluntaris dari pelajaran dapat mengesampingkan
kehidupan emosional. Doa dan ibadat merupakan sumber dari semangat iman yang teguh
dan semangat berani berkurban.
d. Tertutup: Suatu tirai besi memisahkan kehidupan iman dari kehidupan profan. Jika antara
keduanya itu ada hubungan, maka hubungan itu hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
moral saja. Moralitas menetukan yang baik dan yang jahat dalam hidup sehari-hari. Suatu

48
itikad yang baik menentukan niat-yaitu cinta kasih –dari segala sesuatu dan segala
perbuatan di mata Tuhan.

3.5.1. Metode Munich


Pada abad ini dikenal metode Munich dalam suatu katekese. Metode ini didasarkan pada
prinsip Aristoteles dan Filsafat Skolastik yang menjelaskan bahwa sesuatu tidak diperoleh dari
pengalaman batin (dari ketiadaan), tetapi masuk ke dalam batin melalui indra. Jika kita
mengabaikan hal ini, timbul bahaya bahwa kita hanya memberikan kepada anak-anak
penghayatan belaka.
Lebih-lebih bagi anak karena kegiatan mentalnya baru dalam taraf permulaan. Gerakan
pembaruan tersebut menyelesaikan satu kateketik secara bertahap didasarkan pada banyaknya
langkah. Langkah-langkah ini dipinjam dari hukum Psikologi. Menurut hukum ini
pengetahuan mulai dari pengamatan obyek, lalu ke pemikiran dan akhirnya ke perbuatan.
Perbuatan selalu berhubungan dengan (sesuai) dengan kemampuan indra, pikiran, dan
kehendak. Sistem dengan langkah-langkah ini dirumuskan oleh filsuf Jerman bernama Johan
Friedrich Herbart pada tahun 184124. Hasil diskusi para katekis Jerman itu (tahun 1896-1903)
adalah terpeincinya lima langkah dalam pengakuan agama, yakni:persiapan, pewartaan, uraian,
rumusan dan pelaksanaan. Karena metode ini dari Munich, maka disebut Metode Munich.

Untuk melihat metode Munich dapat diperbandingkan dengan metode tanya jawab.
Metode Tanya-Jawab Metode Munich
- Titik tolaknya teks tanya jawab dari - Titik tolaknya teks Kitab Suci
katekismus - Tanya jawab sebagai tekanan puncak
- Tanya jawab sebagai utama (induktif)
- Mengutamakan pengetahuan hafalan - Di samping pengetahuan juga
ditekankan pembentukan kepribadian

24
Johann Friedrich Herbart (lahir di Oldenburg, Jerman, 4 Mei 1776 – meninggal di Göttingen, Jerman, 14
Agustus 1841 pada umur 65 tahun) adalah seorang tokoh pendidik raksasa asal Jerman yang ternama dan
berpengaruh pada akhir abad 18 dan awal abad 19.

49
Perlu dipahami bersama dalam Metode Munich Katekis memulai dengan “contoh”.
Contoh hendaknya diterima anak, sehingga dapat memperluas dan memperdalam teks
katekismus. Menguraikan teks dengan memperdalam, memperluas, dan memperjelas teks. Ini
yang merupakan metode Munich. Gerakan ini dilanjutkan dengan pesat setelah PD1. Tidak
cukup kalau pelajaran hanya dimengerti oleh anak. Pelajaran haruslah memberikan efek
edukatif pada diri anak terus-menerus.
Lagi pula, kemajuan dalam system mengajar pelajaran-pelajaran profan, menimbulkan
ide baru lebih-lebih dengan adanya prinsip learn by doing. Anak bukan hanya belajar dengan
mendengar, tetapi juga dengan bertindak. Mereka bukan saja dibentuk oleh kata-kata, tetapi
juga oleh hidup mereka sendiri. Usaha-usaha untuk kembali memperkuat kesatuan katekese dan
liturgy semakin gita dicoba. Pembaharuan metode mempengaruhi susunan buku-buku pegangan
terutama katekismus. Katekismus tidak cocok lagi jika bahasa terlalu abstrak, dan terlalu banyak bahan
yang harus dipelajari sekaligus.
Menjelang akhir abad ke-19, di berbagai tempat diusahakan perbaikan buku-buku
katekismus. Tahun 1925, Katekismus Deharbe mulai memainkan perannya. Tahun 1930,
Austria menerbitkan sebuah katekismus. Kedua-duanya berusaha mengurangi rumus hafalan
dan menyederhanakan bahasa. Austria mencapai satu langkah maju, yaitu untuk kelas tertinggi
SD digunakan katekismus yang lebih abstrak uraiannya, sedangkan untuk kelas rendah
digunakan Religionsbuchlein. Dengan metode ini, para katekis jemaat berhasil menciptakan
katekismus, yaitu Katolischer Katechismus (Katekismus Jerman). Tujuan gerakan ini adalah
pembaharuan metode katekese; bahan pelajaran bukan saja ditancapkan pada pikiran anak
sebagai bahan hafalan, tetapi haruslah dimengerti dan disadari.
Dalam katekismus Jerman, dikenal istilah to see, to judge dan to act dalam metodenya.
To see (penyajian): Guru agama harus berusaha menghidupkan inti pokok pelajaran yang
disampaikan, baik berupa cerita, cace, lukisan, gambaran, tape, dan lain-lain. Metode ini
menuju ke pokok pelajaran. To judge: Penggemblengan agar anak dapat mempertimbangkan.
To act: Apa yang disampaikan katekis kemudian dipertimbangkan oleh penerima, lalu
diterapkan atau dilaksanakan. Penyajian mengajak keterlibatan pancaindra anak.
Pada abad ini, ada pembaruan dalam katekese. Katekese tidak lagi bertolak dari hafalan
ilmu pengetahuan yang gersang atau perintah-perintah yang datang dari luar atau pula daeri
devosi-devosi yang tidak berarti lagi. Katekese lebih berpangkal pada pengalaman konkrit dari anak
atau orang dewasa. Katekese berbeda bagi setiap usia atau golongan. Perlu mendengarkan mereka yang

50
diberi katekese: melihat pengalaman mereka dari keadaan yang sebenarnya. Perlu mengindahkan hukum
psikologi dan sosiologi dari kelompok tertentu. Jadi, katekese tidak boleh berupa pengajaran (pewartaan
doktrin), tetapi harus “membina sikap” sehingga menjadi “keyakinan”. Orang berkembang bukan
pertama-tama tahu dan hafal, tetapi kartena mengalami. Katekis dituntut kesaksian yang dialaminya
sendiri. Katekese harus menjadi bagian dari pastoral seluruhnya.

3.5.2. Gerakan Kerygmatis


Tanda-tanda yang mendahuluinya adanya gerakan ini diantaranya Sekolah Tubingen
dengan studi biblisnya, patristik, dan eklesiologi. Ada kemajuan dalam Metode Munich melalui
berbagai macam fase. Kegagalan metodologi, menurut Jungmann bukan berarti pelajaran itu salah.
Namun harus mengatahui tentang sakramen, Kristus, Maria, para rasul dan banyak hal yang lain, dan
melihat hal itu sebagai suatu keseluruhan. Titik balik yang baru, Peroalannya bukan terletak dalam
bentuk pelajaran tetapi juga dalam isinya.
Dalam gerakan Kerygmatis, ditegaskan bahwa pembaruan tidak dengan adaptasi metode
saja, melainkan meninjau kembali isinya. Isi pewartaan tidak hanya menduduki tempat
pertama, melainkan metode pun ditentukan olehnya. Jadi Gerakan Kerygmatis adalah gerakan
untuk kembali pada sumber-sumber, yaitu kabar gembira yang tidak lain ialah Yesus Kristus
sendiri, Sabda Allah yang oleh Dia segala sesuatu telah dikatakan.
Beberapa kekhasan Katekese Kerygmatis diantaranya katekese diarahkan pada isi.
Sumber pokoknya adalah Kitab suci. Katekese harus menggunakan bahasa historia biblis
sebagai bentuk pengajaran. Namun katekese tidak bisa dipisahkan dari gerakan pastoral Gereja,
yang gerakan biblis, liturgis, keluarga dan aksi katolik.

3.6. Katekese pada Tahun 1950-1964


Pada abad-abad ini, Katekese diphamai sebagai suatu yang sakral, dalam mana hal-hal
yang profane tidak diberi perhatian, hanya kalau sebagai persiapan atas pewartaan
seungguhnya. Katekese adalah mewartakan atau menjagar suatu ajaran. Anak-anak dan orang
muda perlu mendapat katekese.

Muchener membagi katekese menjadi tahap-tahap:

51
a. Setiap pelajaran mulai dengan penyajian bahan dalam bentuk teks yang mengandung inti
pokok pelajaran;
b. Kemudian keterangan dari bahan dengan memakai Kitab Suci, disusul dengan beberapa
pertanyaan supaya bahan itu menjadi milik anak-anak;
c. Pertanyaan dan jawaban harus dihafalkan;
d. Penerapan pada hidup setiap hari.
Selain itu dalam katekese juga diberi perhatian besar kepada paedagogi dan psikologi
anak. Fungsi seorang katekis di sini juga berubah, ia harus memberi kesaksiannya sendiri.

3.7. Katekese Sejak Tahun 1965 (Sesudah Konsili Vatikan II)


Sejak sesudah Konsili Vatikan II, ada beberapa dokumen yang berbicara mengenai
katekese:

3.7.1 Dekrit Tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem


Tujuan utama Dekrit ini adalah bagaimana memajukan kerasulan awam, yang secara
implisit mengandung hakekat katekese yang lebih mengarah pada pewartaan, proses pewartaan
dan setiap petugas dan pelaksana karya pewartaan itu. Secara singkat dapat dijelaskan tiga dasar
kerasulan awam, yaitu: Pertama: “Kerasulan dijalankan dalam iman”, Kedua: “Harapan dan
cinta kasih yang dicurahkan oleh Roh Kudus dalam hati setiap anggota Gereja”, dan Ketiga:”
Kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan
Kristus kepala, dan Roh Kudus menjadi satu- satunya sumber kekuatan yang dicurahkan oleh
Allah sebagai Rahmat.”25
Perwartaan itu sendiri diartikan sebagai perwujudan iman. “Hidup seperti itu menuntut
perwujudan iman, harapan dan cinta kasih, yang tiada hentinya.” Perwujudan dari iman,
harapan dan cinta kasih itu merupakan hakekat dari pewartaan dan perutusan kaum awam untuk
pelestarian Sabda Allah di muka bumi ini. Kaum awam dipanggil bukan hanya untuk tugas-
tugas duniawi melainkan juga untuk tugas-tugas ilahi. “Dalam melaksanakan perutusan Gereja
itu, kaum awam menunaikan tugas mereka baik dalam bidang rohani maupun di bidang

25
Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem (AA), R.
Hardawiryana, (Penerj), (Jakarta, OBOR, 2012). Art. 3

52
duniawi.” Maksud dari kerasulan itu adalah “setiap anggota Gereja pertama-tama ditujukan
untuk memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata maupun perbuatan
dan untuk menyalurkan rahmat-Nya.”26
Persatuan antara perasul dengan Kristus sebagai kebenaran sejati hendaknya identik
dengan tubuh, Kristus menjadi kepala dan para perasul sebagai anggota-anggota tubuh yang
mana anggota-anggota tubuh itu bergerak dan bertindak sesuai perintah dan pedoman dari
kepala yang menjadi sumber dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Pada Intinya
adalah “semua pelaksanaan kerasulan harus bersumber pada cinta kasih dan menimba kekuatan
27
darinya”
Maka dari itu, perhatian pada tugas dan tanggung jawab ini seharusnya tetap pada
prinsipnya sebagai satu kegiatan iman dan para pelaksana kegiatan ini diharapkan memahami
tugas ini sebagai bentuk tanggunjawab yang diberikan oleh Allah untuk membantu,
membimbing dan mengarahkan umat pada karya penyelamatan Allah dan mewartakan
kerajaan-Nya di muka bumi.

3.7.2. Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes


Catatan sejarah berkaitan dengan perjalanan panjang proses perkembangan karya
evangelisasi di dalam Gereja, dimulai sejak abad pertengahan. Sejak permulaan abad
pertengahan, “para rahib Benediktin berkeliling untuk mewartakan injil.”28 Usaha-usaha ini
“lebih dikenal dengan istilah misi dalam artian tertentu.” Perkembangan gerakan ini dimulai
sejak abad 16, ditandai dengan “adanya gerakan besar-besaran untuk menyebarkan
Kristianisme ke seluruh dunia.” Namun, pelaksanaan karya ini hanya dilaksanakan oleh pihak-
pihak tertentu. Karya ini “dipandang sebagai tugas tarekat-tarekat misioner, dan bukan sebagai
tugas seluruh Gereja.” Istilah yang digunakan pun bukanlah istilah Evangelisasi, melainkan
“kegiatan misi, penyebaran iman, menanamkan dan meluaskan Gereja.”
Kata Evangelisasi “mulai banyak dipakai dalam literature-literatur Katolik Sejak
permulaan abad 20.” Hal ini dilihat oleh para misiolog masa itu sebagai suatu usaha yang sangat

26
AA, 6.
27
AA, 8.
28
I. Suharyo, Dalam KOMKAT KWI, Katekese Umat Dan Evangelisasi Baru (Yogyakarta, Kanisius, 2014),
Hal. 98

53
penting. Usaha inisiasi ke dalam iman dibedakan dalam tiga tahap, yaitu: “pra-Evangelisasi:
usaha menimbulkan minat terhadap masalah-masalah hidup dan iman sebagai persiapan
mendengarkan warta Kristiani; Evangelisasi; pewartaan iman Kristiani yang dasar; Katekese:
pengajaran mengenai pokok-pokok iman Kristiani. Dalam konteks evangelisasi baru, “proses
pewartaan lebih ditekankan tentang penghayatan iman lewat kegiatan katekese kerygmatis atau
sering disebut sebagai prakatekese.” Hal ini mau menegaskan bahwa “katekese awal atau
katekese sebelum Ad Gentes merupakan kegiatan yang menyerukan pertobatan dan kegiatan
pastoral yang terus menerus bertujuan untuk memupuk perkembangan komunitas Kristen.”
Dalam dekrit ini tidak dijelaskan secara eksplisit juga berkaitan dengan katekese, tetapi
ada beberapa artikel yang mengarah pada hakekat dari katekese itu sendiri sebagai bagian dari
kegiatan misioner Gereja di muka bumi ini. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya “Seluruh
Gereja bersifat misioner, dan karya mewartakan Injil merupakan tugas umat Allah yang
mendasar.” “Kegiatan misioner Gereja bersumber dari hakekat Gereja sendiri.”29 Kegiatan
misioner dapat diartikan sebagai “Mewartakan Injil dan menanamkan Gereja di tengah bangsa-

bangsa, atau golongan-golongan tempat Gereja belum berakar.”4 Dalam kutipan ini sekaligus
menunjukkan tujuan khas dari karya misioner yang dilaksanakan oleh Gereja. Dalam proses
pelaksanaan karya misioner itu, Gereja berhadapan dengan berbagai persoalan. Seperti “situasi
permulaan dan penanaman, kemudian situasi kebaruan dan keremajaan.” Katekese berada pada
situasi bagian ke dua, yakni pada bagian kebaruan dan keremajaan. Tugas dari katekese adalah
melaksanakan pembaharuan dan peremajaan terus menerus dalam proses pewartaan dan
penyebaran ajaran Kristus.30 Selanjutnya kegiatan misioner “memberikan semangat kolegial
hierarkis, memberikan kesaksian akan kekudusan Gereja, menyebarkan dan mewujudkannya.”
Dalam pelaksanaan karya misioner itu, perwujudan dari pengahyatan semangat Injil menjadi
penting karena “Kesaksian perihidup itu akan lebih mudah berhasil bila dibawakan bersama
dengan kelompok-kelompok Kristiani lainnya, menurut kaidah-kaidah Dekrit tentang
ekumenisme”31

3.7.3. Direktorium Umum Katekese

29
Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (AG), R. Hardawiryana,
(Penerj), (Jakarta, OBOR, 2012). Art. 2.
30
AG, 6
31
AG, 36

54
Dalam Direktorium Umum Katekese, dikatakan bahwa Katekese merupakan salah satu
bentuk pelayanan Sabda, yang bertujuan membuat iman umat hidup, berdasar, dan aktif lewat

cara pengajaran. “Dalam ruang lingkup kegiatan pastoral, istilah katekese diartikan sebagai
karya Gerejani, yang menghantarkan kelompok maupun perorangan kepada iman yang
dewasa.”32 Katekese terpadu dengan karya-karya pastoral Gereja yang lain, tetapi sifat khasnya,
yakni sebagai inisiasi, pendidikan dan pembinaan tetap dipertahankan. 33 Isi katekese adalah
Wahyu Allah, misteri Allah dan karya-karya-Nya yang menyelamatkan, yang terjadi dalam
sejarah umat manusia.34

3.7.4. Katekese Menurut Surat-Surat Apostolik Para Paus


a. Evangelii Nuntiandi
Dalam ensiklik ini, ada beberapa artikel yang berhubungan langsung dengan katekese dan
inti dari pelaksanaan katekese itu sendiri yang oleh peneliti sangat penting untuk dicatat.
Ensiklik Evangeli Nuntiandi mengatakan bahwa “Pewartaan Injil adalah rahmat dan panggilan
yang khas bagi Gereja yang merupakan jati diri paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan
Injil.”35 Pewartaan Injil itu diharapkan ada perubahan bagi manusia, bukan saja dari luar diri
manusia yang berkaitan dengan perubahan hidup dan kehidupan manusia ke arah yang lebih
baik, melainkan juga perubahan dari dalam yang berkaitan dengan iman dan kepercayaan
manusia. Hal ini ditegaskan dalam ensiklik ini tepatnya pada artikel 18 yang berbunyi
“penginjilan berarti membawa kabar baik kepada segala tingkat kemanusiaan dan melalui
pengaruhnya Injil merubah manusia dari dalam dan membuatnya menjadi manusia baru”36
Ketika manusia mengalami perubahan dari dalam, secara otomatis perubahan dari luar
juga dapat terjadi. Ini dikarenakan oleh daya perubah dari Injil yang diwartakan sehingga

32
Direktorium Umum Katekese, no.21
33
DUK, No 31
34
Penjelasan dogma atau ajaran/pewartaan yang lengkap ada pada Katekismus Gereja Katolik, atau biasa
disingkat KGK, adalah katekismus yang dipergunakan dalam Gereja Katolik; penggunaannya diresmikan
oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1992. Penerbitan KGK merupakan salah satu praktik
kewenangan mengajar dari Magisterium Gereja Katolik, dan karenanya berlaku bagi semua umat Katolik di
seluruh dunia. Khazanah iman (bahasa Latin: depositum fidei), yaitu Tradisi Suci dan Kitab Suci, ditafsirkan secara
terperinci oleh Magisterium di dalam publikasi ini.[3][4] Secara umum, KGK merupakan ringkasan keyakinan umat
Katolik dalam bentuk buku.
35
Paus Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (EN), J. Hadiwikarta, Pr. (Penerj), (Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001) No. 14
36
EN, no.18

55
dengan mendapat perubahan-perubahan itu, pewartaan Injil dapat dikembangkan dan Injil itu
harus diwartakan melalui kesaksian hidupnya. Maka dari itu, “kabar baik yang diwartakan
melalui kesaksian hidup itu, cepat atau lambat harus diwartakan dengan Sabda kehidupan. Segi
yang penting dalam pewartaan Sabda kehidupan itu adalah kotbah dan katekese.”37

b. Catechesi Tradendae
Anjuran Apostolik dari Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae dengan tegas
menempatkan katekese sebagai bagian dari misi evangelisasi Gereja dalam karya pewartaan
Sabda Allah dan penyebaran kabar Gembira kepada semua orang. Katekese ialah “pembinaan
anak-anak, kaum muda dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup
penyampain ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis,
dengan maksud menghantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen.”38 Selain itu,
Katekese diartikan juga sebagai mengajak sesama untuk mendalami misteri Kristus dalam
segala dimensinya. Dengan demikian, ketika katekese itu bergerak untuk mewartakan seluruh
misteri Kristus dalam segala dimensi-Nya, maka katekese juga dapat diberikan kepada semua
orang dan kepada semua kategori. Katekese yang dilaksanakan oleh Gereja sebagai salah satu
bentuk kegiatan pastoral secara umum ini bertolak dari anjuran apostolik Paus Yohanes Paulus
II bahwa dasar dari pelaksanaan katekese oleh Gereja adalah penugasan Kristus sendiri kepada
para rasul dan juga seluruh umat manusia yang percaya kepada-Nya. Secara umum,
pelaksanaan katekese haruslah bersifat Kristosentris, bertitik tolak dari pribadi Kristus.
Kehidupan, karya, wafat dan kebangkitan-Nya menjadi inti pokok pelaksanaan katekese
sehingga pewartaan yang dijalankan ini dapat diarahkan pada satu pembaharuan iman.39 Secara
umum, isi dari katekese adalah menampilkan dalam pribadi Kristus segala rencana kekal Allah
yang mencapai kepenuhannya dalam pribadi (Kristus) itu. Dalam artian ini, katekese berpusat
pada Kistus dan ideal dari sebuah katekese bertitik tolak dari Kristus dan kembali kepada
Kristus sendiri. Selain itu, katekese juga perlu mendalami beberapa hal, secara khusus “arti

37
EN, no. 54
38
Yohanes Paulus II, Himbauan Apostolik Catechesi Tradendae (CT), J. Hardawiryana, SJ (Penerj), (Jakarta,
Dep. Dok. Pen. KWI), No. 18
39
CT, No. 12.

56
kegiatan dan kata-kata Kristus, begitu pula tanda-tanda yang dikerjakan-Nya, sebab semuanya
40
sekaligus menyelubungi dan mewahyukan misteri-Nya.”

c. Evangelii Gaudium
Evangelii Gaudium, seruan apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus sangat besar
pengaruhnya terhadap pelaksanaan karya pewartaan Gereja pada zaman sekarang. Esensi dari
Kitab Suci sebagai kabar gembira kembali ditegaskan oleh Bapa Suci dan meminta untuk
disikapi secara serius oleh Gereja masa kini dalam proses pewartaannya. Pewartaan Sabda
bukan menjadi satu beban melainkan satu suka cita yang perlu dihidupi agar hidup dan
kehidupan umat Allah di dunia selalu dipenuhi oleh suka cita Injil. Katekese sebagai salah satu
media pewartaan dengan mengandalkan komunikasi iman antar umat mendapat perhatian
khusus oleh Bapa Suci dalam seruan apostoliknya ini, secara khusus pada artikel 163 sampai
artikel 168. Fokus pembahasan dari lima artikel ini lebih dikhususkan pada pembahasan
mengenai katekese kerygmatis dan mistagogis.
Penjelasan mengenai kerygmatis telah dijabarkan pada bagian awal penulisan karya
ilmiah ini, sedangkan mistagogis lebih diarahkan pada pengertian tentang pembinaan lanjutan
bagi umat untuk lebih memahami makna keberimanannya. “Dalam katekese juga, kita telah
menemukan ada peran pokok pewartaan pertama atau kerygma, yang hendaknya menjadi pusat
dari semua kegiatan evangelisasi dan seluruh upaya pembaruan Gereja.”41
Katekese sebagai salah satu media komunikasi iman secara tegas melibatkan diri dalam
proses evangelisasi baru sehingga dapat menampilkan wajah baru dalam kehidupan Gereja.
Baru di sini bukan saja dalam tatanan metodenya melainkan “baru dalam semangat, cara dan
wujudnya”42 Dalam proses pewartaan Sabda Allah, kerygma tidak dapat ditinggalkan dengan
alasan apapun. Hal ini karena “semua pembinaan Kristiani merupakan pendalaman kerygma,
yang mendarah daging semakin mendalam dan terus menerus menerangi karya katekese.”43
Dalam tulisan ini mau menjelaskan tentang hubungan antara katekese dan kerygma. Kerygma
merupakan sentral sedangkan katekese merupakan jalan atau media perwujudan dan penjelasan
tentang kerygma dalam kehidupan umat manusia.

40
CT, No. 5
41
Paus Fransiskus, Seruan Apostolic Evangelii Gaudium (EG), (Jakarta, Dep Dok. Pen. KWI, 2014), No. 164.
42
KOMKAT KWI, Katekese Umat dan Evangelisasi Baru, (Yogyakarta, Kanisius, 2014), Hal. 98
43
EG, no. 165.

57
Dalam kaitannya dengan mistagogis, katekese berkaitan dengan dua hal, yaitu
“pengalaman progresif pembinaan yang melibatkan seluruh komunitas dan penghargaan yang
dibarui akan tanda-tanda liturgi inisiasi kristiani.”44 Peran pembinaan progresif pengalaman di
sini adalah pendekatan yang menjurus pada pengalaman pribadi yang berkesan dari setiap
anggota umat atau kelompok dibina secara mendalam, untuk membantu anggota umat yang lain
agar lebih memahami peran serta Allah dalam kehidupan mereka.
Sedangkan penghargaan yang dibarui akan tanda-tanda liturgis inisiasi kristiani di sini,
lebih ditekankan pada pemaknaan setiap sakramen yang ada di dalam Gereja sebagai jalan
untuk memaknai hidup mereka. “Katekese adalah pewartaan Sabda dan selalu berpusat pada
Sabda, namun selalu membutuhkan lingkungan yang sesuai dan penyajian yang menarik,
pemakaian simbol-simbol yang menyapa, penyisipan ke dalam proses pertumbuhan yang lebih
luas dan integrasi semua dimensi pribadi dalam perjalanan untuk mendengar dan menaggapi
sebagai komunitas.”45 Maksudnya adalah sebuah katekese yang menarik adalah katekese yang
dilaksanakan sesuai dengan konteks dan kebutuhan setiap kelompok dalam lingkungan tertentu.
Metode yang menarik, tentu dapat menarik setiap anggota umat untuk turut ambil bagian dalam
setiap kegiatan katekese.
Lebih lanjut dikatakan bahwa katekese yang baik adalah katekese yang selalu
menampilkan keindahan dari Sabda itu. “adalah baik bila setiap bentuk katekese memberikan
perhatian yang istimewa kepada ‘jalan keindahan ’(Via Pulchritudinis)” “Mewartakan Kristus
berarti menunjukkan bahwa percaya kepada-Nya dan mengikuti-Nya bukan hanya sesuatu yang
tepat dan benar melainkan juga sesuatu yang indah, yang mampu memenuhi hidup dengan
semarak yang baru dan suka cita mendalam, bahkan di tengah-tengah kesulitan”46 Dengan kata
lain bahwa Gereja dituntut untuk selalu menampilkan setiap keindahan dari simbol-simbol
Kristiani yang nampak dalam setiap sakramen yang mengikat setiap anggota Gereja, lewat cara-
cara yang membangun. Salah satu cara yang ditawarkan oleh Gereja kepada umatnya adalah
dengan jalan katekese. Alasan utamanya adalah dengan adanya kegiatan katekese, bukan saja
Sabda dapat diwartakan dan didalami melainkan juga termaktub di dalamnya suatu pembinaan
lanjutan bagi setiap umat. Dengan demikian, setiap sakramen yang diterimanya tidak hanya

44
EG, no.166
45
EG, no. 167
46
EGG, No. 167

58
bertahan seketika diterimakan melainkan dibina secara terus menerus untuk kepentingan dan
perkembangan iman umat atau setiap anggota Gereja.
Dengan adanya pembinaan lanjutan ini, setiap umat dituntut untuk tidak menjadi
pengecut yang menyibukkan diri dengan persoalan-persoalan yang menghilangkan suka cita
Injil itu melainkan setiap anggota umat dituntut untuk “hadir dan tampak sebagai utusan-utusan
penuh suka cita dari setiap usulan yang menantang, penjaga-penjaga kebaikan dan keindahan
yang memancar dari kehidupan yang setia pada Injil.”47

3.8. Perkembangan Katekese Di Indonesia


Perkembangan katekese yang cukup khas di Indonesia ditandai dengan pemikiran para
ahli katekese dan pelaksana katekese di Indoensia. Satu bentuk katekese yang dihasilkan
bersama dalam pertemuan kateketik antara keuskupan se Indonesia pada tahun 1977. Katekese
yang dirumuskan adalah katekese umat.

3.8.1. Katekese Umat sebagai Cita-Cita


Perkembangan katekese sangat dipengaruhi oleh perkembangan paham atau konsep
mengenai Gereja. Perkembangan katekese tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sejarah gereja,
karena katekese selalu dipengaruhi oleh perkembangan Gereja itu sendiri. Perkembangan
katekese mempunyai latarbelakang pemahaman tentang Gereja serta sejarah Gereja itu sendiri
dari masa ke masa, sejak zaman para rasul sampai sekarang (Budiyono,H.D, 1988, 10).
Suatu langkah lebih maju dalam perkembangan Gereja sejak Konsili Vatikan II, adalah
Gereja umat Allah. Gereja adalah Gereja umat, berkembang dan hidup bersatu sebagai umat.
Didalam suatu wawancara dengan para imam dan biarawan yang diadakan bulan Juli 1980,
Mgr.F.X.Hadisumarto, O.Carm mengemukakan gagasan sebagai berikut: ”Gereja adalah umat
Allah. Karena itu tugas panggilannya harus dilaksanakan oleh umat beriman sebagai
keseluruhan. Seperti negara harus dirakyatkan, demikian juga gereja harus lebih diumatkan.
Gereja sebenarnya baru hidup dan berkembang, bila semua umat mengambil bagian
didalamnya. Gereja mengenal diri, berkembang dan berkarya bukan hanya demi kepentingan
umatnya saja, tetapi sekaligus juga harus lebih dikenal dan berfungsi sebagai tanda efektif atau
sakramen keselamatan keluar, artinya kepada masyarakat. Memasyarakatkan diri adalah inti

47
EGG, No. 167

59
hakekat Gereja. Partisipasi umat dalam Gereja secara menyeluruh sangat menentukan hidup
dan karya Gereja, bukan hanya kedalam tetapi sekaligus keluar dan menentukan gambaran yang
diterima masyarakat tentang Gerejani dan relevansinya” ( Janssen dan Mudjijo, 2015, 8).
Katekese adalah salah satu momen dan bentuk pelaksanaan perutusan Gereja. Supaya
dapat menemukan dan memahami katekese macam apa yang diperlukan bagi karya perutusan
Gereja Indonesia, kiranya perlu mengamati sepintas karya perutusan Gereja Indonesia. Menurut
Konsili Vatikan II, Gereja adalah “persekutuan orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus,
dibimbing oleh Roh Kudus dalam ziarah mereka menuju kerajaan Bapa dan telah menerima
warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang” (Gaudium et Spes,art.1) Setiap
anggota Gereja dipanggil untuk menjadi pewarta dan saksi tentang Yesus Kristus dan Injil-Nya
sesuai dengan kemampuan dan kedudukan mereka masing-masing. Disampng itu mereka juga
dipanggil untuk menjadi sakramen atau tanda bahwa Allah menghendaki keselamatan setiap
orang dan hendak membangun kerajaannya di dunia ini, yang akan diantar ke kepenuhannya
pada akir zaman.
Bagi Gereja Indonesia hal itu berarti bahwa Gereja Indonesia diutus untuk mengikuti
Kristus, mewartakan kabar gembira kerajaan Allah kepada bangsa dan masyarakat Indonesia
dan sekaligus ikut serta menjadi saksi serta pelaku perwujudan awalnya di Indonesia.
Gereja Indonesia sadar akan misi atau tugas perutusannya dan merasa wajib untuk mewartakan
Injil karena terdorong oleh rasa syukur yang mendalam kepada Allah, karena telah diberi
anugerah iman akan Yesus Kristus yang telah mengutusnya, karena telah disaturagakan dengan
Gereja berkat permandian, dan karena Injil merupakan kekuatan yang bisa membebaskan serta
merombak masyarakat. (Susanto, 1997, 189).
Katekese umat, yang embrionalnya ditemukan dan lahir dalam pertemuan kateketik antar
keuskupan se Indonesia yang pertama pada tahun 1977, secara singkat dirumuskan sebagai
katekese dari, oleh dan untuk umat. Gereja Indonesia bercita-cita, bahwa katekese Indonesia
adalah katekese yang melibatkan seluruh umat. Rumusan katekese umat menjadi semakin lebih
jelas dalam pertemuan kateketik antar keuskupan se Indonesia yang secara rutin setiap tiga
sampai dengan empat tahun sekali, khususnya dalam pertemuan yang kedua dirumuskan:
“Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukarmenukar pengalaman iman
(penghayatan iman) antar anggota jemaat/kelompok. Melalui kesaksian para peserta saling
membantu sedemikain rupa sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara

60
semakin sempurna. Dalam katekese umat tekanan terutama diletakan pada segi penghayatan
iman meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan adanya
perencanaan.

Adapun tujuan katekese umat adalah: supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti
pengalaman-pengalaman kita sehari-hari. Kita bertobat kepada Allah dan semakin menyadari
kehadiranNya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan demikian kita semakin sempurna
beriman, berharap mengamalkan cintakasih dan makin dikukuhkan, hidup Kristiani kita pula
makin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja
setempat dan mengokohkan gereja semesta. Sehingga kita sanggup memberikan kesaksian
tentang Kristus dalam hidup kita ditengah masyarakat. (Yosef Lalu, 2007, 12 -13). Dari uraian
tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa katekese umat adalah salah satu bentuk eksplisitasi dari
Gereja umat Allah itu. Dalam katekese umat diwujudkan secara kongkrit persekutuan umat
yang berbeda status sosial, budaya, fungsi, tetapi sama martabatnya. Dalam katekese umat
semua peserta adalah sederajat. Mereka saling meneguhkan dan memperkaya oleh kesaksian
dan kekayaan iman mereka.
Dalam PKKI yang ke empat dapat dijumpai rumusan katekese umat yang di cita-citakan
yaitu:
1. Katekese umat adalah katekese yang melibatkan seluruh umat. Oleh sebab itu pelaku
katekese umat adalah umat secara keseluruhan. Katekis hanyalah fasilitator.
2. Katekese umat merupakan komunikasi iman antara umat baik secara formal maupun
informal.
3. Melalui katekese umat, iharapkan iman umat akan Yesus Kristus semakin mendalam,
mantap dan bertangungjawab terhadap dirinya sendiri, terhadap umat, maupun
terhadap masyarakat.
4. Katekese umat sebagai komunikasi iman dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan
metode. Katekese umat tidak terikat pada satu bentuk atau metode karena metode atau
bentuk sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat. Katekese umat dapat
terjadi dalam keluarga, paroki, kring atau sekolah.
5. Supaya katekese umat menunjang terwujudnya iman umat yang memasyarakat, maka
pembina katekese umat hendaknya peka dan kritis terhadap masalah-masalah sosial,

61
ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kelestarian alam dan modernisasi. Oleh sebab
itu diperlukan analisa sosial. Analisis hidup umat serta pemilihan tematema katekese
umat yang mengena, sungguh menentukan tercipta/tidaknya komunikasi iman dalam
proses katekese umat. Katekese umat harus menaruh keprihatinanya terhadap
kebutuhankebutuhan dan persoalan orang-orang kecil yang tinggal di diaspora.
6. Bahan katekese umat sedapat mungkin diangkat dari persoalan hidup umat dan
masyarakat. (Yosef Lalu, 2007, 24).

3.8.2. Katekese Umat sebagai Pilihan


Dalam realitas kehidupan manusia, sering kita mendengar ungkapan ataupun
pernyataan yang mengatakan bahwa hidup ini memang pilihan. Banyak aspek yang dapat
ditinjau/menyoroti pernyataan itu dari berbagai perspektif, kebebasan, perlu
mempertimmbangkan banyak hal dan lain sebagainya. Gereja Indonesia memilih katekese umat
sebagai katekese yang cocok dengan situasi kehidupan di Indonesia. Masyarakat Indonesia
yang suka berkumpul dan bermusyawarah, mendasari pemilihan bentuk katekese umat.
Disini Katekese umat diartikan juga sebagai usaha saling menolong untuk
menggembalakan iman. Oleh sebab itu katekese umat sering diartikan sebagai katekese dari
umat, oleh umat dan untuk umat. Dalam katekese umat semua peserta adalah sederajat.
Pembimbing merupakan fasilitator atau pelancar. Semua umat dalam katekese umat turut aktif
berkatekese, tepat kalau dikatakan saling menolong (Intansakti, 2003/2004, 40). Saling tolong-
menolong itu terjadi dalam bentuk saling tukar menukar pengalaman iman. Oleh sebab itu
katekese umat sering diartikan sebagai komunikasi iman. Pengalaman iman dikomunikasikan
berdasarkan pengalaman iman yang otentik dari Gereja purba dan pengalaman iman gereja
sepanjang masa akan ajaran, karya dan pribadi Yesus Kristus. Kristuslah yang menjadi pokok
dan sekaligus pola dalam iman ketika berkatekese umat.
Disini dengan sengaja ditekankan komunikasi pengalaman iman dan bukan
pengetahuan seperti pada pola pengajaran/pelajaran agama,walaupun aspek pengetahuan tidak
dikecilkan. Bisa terjadi bahwa dalam komunikasi iman itu peserta akan juga berkomunikasi
pengetahuan menyangkut iman dan kemudian memperoleh sejumlah pengetahuan iman sebagai
hasil suatu proses berkatekese umat. Tetapi bukan itulah tujuan utama katekese umat. Katekese

62
umat tetap merupakan komunikasi iman yang olehnya peserta katekese umat diperteguhkan,
diperkaya dan dikoreksi imannya. Disini terjadi proses penyadaran bukan pelajaran.
Karena katekese umat merupakan komunikasi pengalaman iman peserta, maka tentu
saja sangat diharapkan keterbukaan dari semua peserta. Tanpa keterbukaan ini, maka tidak
mungkin terciptannya komunikasi. Oleh sebab itu suasana akrab, persaudaraan dan merasa
terlibat sungguh merupakan pula ciri khas dari katekese umat ini. Dalam katekese umat proses
atau langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Langkah pertama: Penyajian pengalaman manusia. Pada langkah pengalaman manusia
dapat ditampilkan melalui cerita, puisi, lagu, cergam, drama, film dan sebagainya. Pada
langkah ini peserta akan saling berbagi pengalaman hidup dan imannya kepada
sesamanya dengan dipandu oleh pertanyaan-pertanyaan penuntun.
2) Langkah kedua: Perjumpaan dengan teks Kitab Suci. Pada langkah ini para peserta, akan
diteguhkan, dikoreksi, dikritik oleh firman Tuhan. Firman Tuhan harus menjadi kekuatan
utama dalam suatu proses katekese. Pusat dan jantung katekese adalah Yesus Kristus.
“Berulangkali sidang umum IV sinode para uskup menekankan, bahwa katekese yang
otentik seluruhnya berpusat pada Kristus.” (Catechesi Tradendae art. 5,11 ).
3) Langkah ketiga: Ajakan pertobatan. Peserta diajak untuk mengngkapkan pertobatannya
dengan berdoa secara spontan atau aksi kongkrit lainnya.
Dari langkah-langkah diatas bisa dilihat bahwa pola katekese umat sungguh sesuai
dengan pola kerakyatan atau demokrasi bangsa kita, di desa-desa dan dikampung. Katekese
umat dapat juga dikatakan sebagai musyawarah iman. Bahkan katekese umat adalah
kristianisasi atau inkulturasi terhadap musyawarah masyarakat kita itu (Yosef Lalu,2007, 87).
Kita menjadikan musyawarah masyarakat kita berdimensi Injil. Dalam prosesnya, musyawarah
bukan saja kita menimba dari kebijakan leluhur sebagai pegangan, tetapi juga kebijaksanaan
Injili.

3.8.3. Katekese Umat sebagai Gerakan.


Kata gerakan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah model, pola atau contoh. Maka
apabila katekese umat dinyatakan sebagai gerekan, tentu yang dimaksudkan adalah bahwa
katekese umat, sebagai pola, model atau contoh bagi katekese-katekese lainnya yang ada di
Indonesia. Pada pertemuan yang pertama dalam sidang pertemuan kateketik antar keuskupan

63
se Indonesia yang pertama di Sindanglaya, Wisma Samadhi Syalom, pada tanggal 29 Juni
hingga 5 Juli 1977, dengan sangat jelas dikatakan: “Sejak saat itulah mulai didengungkan suatu
katekese dari umat, oleh umat dan untuk umat yang melibatkan seluruh umat. Katekese itu
terjadi dengan berkomunikasi iman dalam suatu kelompok umat. Bagaimanapun juga katekese
umat harus menjadi arah dan pola dari katekese kita di Indonesia ini. Bentuk-bentuk katekese
lainnya, termasuk katekese sekolah, katekese katekumenat, harus dilihat dalam rangka katekese
umat ini” (Yosef Lalu,2007, 11).
Katekese umat hendaknya menjadi pola atau model bagi katekese-katekese lainya di
Indonesia karena :
a. Katekese umat adalah katekese yang melibatkan seluruh umat. Umat dipandang
memiliki pengetahaun maupun pengalaman iman yang dapat memperkaya umat
yang lainnya.
b. Katekis bertindak sebagai fasilitator yang mempermudah proses katekese, dengan
memandang umat sebagai subyek bukan sebagai obyek dalam berkatekese.
c. Dikomunikasikan baik secara formal maupun informal.
d. Dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan metode yang sangat ditentukan oleh
situasi dan kondisi setempat.
e. Peka dan kritis terhadap masalah-masalah sosial yang ada dalam konteks setempat.
f. Bahan katekese umat sedapat mungkin diangkat dari persoalan hidup umat dan
masyarakat.
Katekese umat adalah cita-cita kita bersama, katekse umat adalah pilihan kita juga, maka
menjadi model katekese di Indonesia. Katekese umat terus menerus diolah dan disempurnkan,
maka mengakhiri tulisan ini dengan mengutip tulisan dari salah satu narasumber pada PKKI XI
di makasar pada tanggal 29 Agustus sampai dengan 2 Sepetember 2016 (RD. Manfred, 2016,
10 ):
a. Keberhasilan katekese umat dalam perspektif hermeneutika paskah tetap sangat
bergantung pada para pewarta atau fasilitator.Tidak ada metodologi, tidak ada
masalah betapun teruji baik, dapat membuang pribadi katekis dari proses katekese
pada setiap fasenya. Kharisma yang diberikan kepadanya oleh Roh, spiritualitasnya
yang kokoh dan kesaksian hidup yang transparan menjiwai setiap metode. Hanya
mutu manusiawi dan mutu kristianinya menjamin pemakaian yang baik dari teks-

64
teks dan alat kerja yang lain. (PUK 156). Keberhasilan katekese umat kedepan
tergantung pada formasi yang baik dan terus menerus dari para katekis, baik yang
tertahbis maupun katekis terbaptis yang berijasah maupun yang relawan.
b. Ke depan katekese umat perlu diselenggarakan tidak hanya dalam ruang lingkup
gerejani, seperti dalam KBG-KBG atau paroki, tetapi juga dalam ruang lingkup
kebangsaan, dimana pengalaman religious menjadi pengalaman keseharian dalam
hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia. Katekese umat tetap interaktif, tidak
hanya meneruskan pesan tetapi juga menerima kekayaan rahmat dari orang lain
apapun latarbelakangnya. Gereja harus selalu mau dievangelisasi melalui orang
lain. Menarik apa yang dikatakan oleh Romo (Bagus Laksana, 2016, 92) dalam
lokakarya kateketik di Sanata Dharma: ”Kalau kita betul-betul memperhatikan
dimensi agama sebagai sebuah kenyataan yang kaya dan hidup, katekese juga mesti
mengacu pada semua dinamika yang terjadi di tempat-tempat dimana agama itu
dihidupi dan dipraktekan dalam kompleksitas dan ambiguitasnya. Misalnya
tempattempat ziarah dan popular religiosity, momen-momen festival religious dan
pesta komunal, momen dan tempat pengalaman terminal dan krisis eksitensial”.
Intinya katekese perlu dikembangkan dalam ruang-ruang publik, termasuk dalam
dunia digital. Dunia internet diyakni memiliki kemampuan untuk membuat orang
mengalami transendensi, keselamatan dan keamanan ontologis serta charisma dan
internet pun bisa mengubah eksistensi atau hidup manusia. (Bagus Laksana, 2016:
93).
c. Katekese umat mengandaikan kerjasama dengan bidang-bidang pastoral yang lain.
Kekuatan katekese umat seringkali datang dari aneka bidang pastoral yang lain
seperti pastoral keluarga, pastoral sosial ekonomi, kerawam dan politik, pendidikan
dan lain-lain.
Katekese umat tidak bisa mengambil alih semua peran pastoral yang lain. Katekese
merupakan dimensi sabda dari seluruh karya pastoral Gereja. Bila pastoral lain berkembang
maka katekese akan turut berkembang. Tentu akan ada pengaruh timbal balik. Katekese yang
berkembang mempengaruhi perkembangan karya pastoral yang lain.

65
3.9. Katekese Umat dan Pelajaran Pendidikan Agama Katolik di Sekolah
Dalam kehidupan bergereja dan karya pastoral, kita memiliki rupa-rupa corak pewartaan
yang dapat membuat Gereja kita bergerak maju dengan cepat. Kita memiliki rupa-rupa corak
pewartaaan seperti: katekese, kotbah, homili, pendalaman dan sharing Kitab Suci, sampai
kepada berteologi dan sebagainya.
Dalam berkatekese saja, kita memiliki rupa-rupa pola, antara lain pola katekese pelajaran
iman atau pelajaran agama, yang umumnya dijalankan di sekolah-sekolah atau diparoki-paroki,
misalnya dalam rangka persiapan penerimaan sakramen-sakramen. Sementara itu kita memiliki
pula pola katekese sebagai komunikasi iman, yang di kembangkan sejak PKKI pertama (1977)
di Sandanglaya.
Kedua pola Katekese itu memiliki kekhasan dan peran serta kekuatannya masing-masing.
Jangan diminta dan dituntut sesuatu yang bukan merupakan perannya, sebab hal itu dapat
melemahkan kekhasan dan kekuatannya. Ia diberi beban berlebihan yang bukan khas
muatannya, sehingga ia tak dapat bergerak maju, bahkan bergerak mundur.
Katekese-Umat sebagai komunikasi-iman mempunyai kekhasan peran dan kekuatannya
sendiri. Demikian juga dengan Pelajaran Agama, jangan diminta dan dituntut terlalu banyak
dari padanya.
Dalam “Pesan Pastoral Sidang KWI 2011 tentang Katekese “pada butir 4.2. berbunyi:
“Isi Katekese seringkali dirasakan kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang
memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi
tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika berhadapan
dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka. Di lain pihak, ketika katekese lebih
memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi
umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang
menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang
mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan
lebih tertarik kepada cara doa dan pembinaan Gereja-Gereja lain yang dirasakan lebih menarik.
Kenyataan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan
mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan”.

66
Pesan pastoral itu menunjukkan keprihatinan para Wali Gereja tentang kurangnya
pengetahuan tentang doktrin ajaran iman dan tanggapan iman atas hidup sehari-hari dari umat
kita. Keluhan itu sangat berdasar dan sangat benar. Namun untuk mengatasi persoalan itu,
janganlah kita membebani persoalan itu hanya kepada satu pola katekese saja atau membebani
kedua-duanya, yang bukan menjadi perannya. Hal itu bisa membuat kedua-duanya tidak dapat
mencapai tujuannya.
Kita tahu bahwa dengan berkatekese, kita mau supaya umat (anggota Gereja) semakin
beriman. Iman itu paling kurang memiliki tiga dimensi, yaitu: pengetahuan tentang ajaran
imannya (dimensi teologis), perwujudan imannya dalam hidup sehari-hari (dimensi moral) dan
ungkapan imannya dalam ibadah (dimensi liturgis). Jadi kita berharap bahwa dengan katekese
kita dapat membantu umat untuk lebih mengenal ajaran imannya, lalu dapat mewujudkan
imannya dalam konteks hidup sehari-hari dan dipuncaki dengan ungkapan imannya dalam doa
dan ibadah.
Tiap-tiap dimensi iman itu dapat dibantu perwujudan dan perkembangannya oleh pola-
pola katekese tertentu sesuai perannya, walaupun tidak dapat terlalu dipilah-pilah dan di kotak-
kotakan, sebab semuanya saling terkait dan menyatu satu sama lain.Kita tahu dengan katekese
berpola pengajaran, yang terutama mau dicapai ialah pengetahuan iman. Memang pengetahuan
iman tidak serta merta membuat seseorang untuk beriman, tetapi kalau ia beriman ia dapat
mempertanggungjawabkan imannya itu.
Dengan katekese berpola komunikasi iman, yang terutama mau dicapai ialah supaya umat
terbantu untuk memberikan tanggapan iman atas hidupnya sehari-hari. Tanggapan iman atas
hidup sehari-hari dapat diperkaya dan diperteguh dalam suatu komunitas kalau mereka saling
mengisahkan pengalaman imannya.
Jadi yang mau dicapai dengan katekese berpola pengajaran ialah supaya umat memahami
ajaran imannya dan mempertanggung jawabkannya, sedangkan dengan katekese berpola
komunikasi iman, yang terutama mau dicapai ialah supaya umat semakin mampu memberikan
tanggapan imannya atas peristiwa hidupnya sehari-hari. Dalam proses komunikasi iman itu
dapat saja orang akan memperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang ajaran imannya, tetapi
bukan itu tujuan utamanya.

67
3.9.1. Katekese Umat dan Pelajaran Agama Adalah Khas
Untuk melihat kekhasan dari Katekese-Umat (KU) dan Pelajaran Agama Katolik (PAK),
kita akan menelaahnya dari aspek-aspek berikut ini.
a. Aspek Materi
Materi atau tema yang diangkat dalam KU adalah hal ikhwal kemasyarakatan. Dapat saja
dalam KU orang-orang berkomunikasi tentang pokok-pokok yang berhubungan dengan doktrin
dan ajaran iman kita atau perikope-perikope Kitab Suci, tetapi sejauh pokok-pokok itu digumuli
sebagai pengalaman iman, bukan terutama sebagai hal-hal teoretis yang perlu dipahami, yang
menjadi peran dari PAK dan diproses dalam suatu proses pembelajaran.
Materi dalam Pelajaran-Agama umumnya diambil dari doktrin dan ajaran Gereja atau
perikope-perikope Kitab Suci. Doktrin-doktrin dan perikope-perikope itu diproses dalam proses
pembelajaran yang sedapat mungkin partisipatif dan eksploratif, supaya peserta didik dapat
mengatahui dan memahaminya. Pengetahuan yang dicapai bukan saja bersifat reproduktif
(mengulang apa dikatakan guru atau buku), tetapi juga produktif sebagai hasil eksplorasi
peserta didik sendiri. Dalam PAK dibutuhkan ketajaman penalaran.
Tema-tema PAK umumnya diangkat dari doktrin-doktrin Gereja dan perikope-perikope
Kitab Suci. Dapat saja PAK mengangkat tema-tema yang bersifat kemasyarakatan, seperti
masalah-masalah ketidakadilan, namun tema-tema itu diproses dalam proses pembelajaran
seperti yang telah dikatakan diatas, sehingga peserta didik dapat memahami dan
mempertanggung jawabkannya. Yang ditekankan disini adalah pemahaman dan pertanggung-
jawabanya.

b. Aspek-tujuan
Tujuan Katekese-Umat, seperti sudah dirumuskan oleh PKKI II diatas ialah:
- Pertama-tama supaya kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalamaan kita sehari-
hari dalam terang Kitab Suci dan terang ajaran Gereja;
- Memungkinkan kita untuk mengubah hidup kita kearah yang lebih baik, yang berarti kita
mengalami metanoia dan bertobat.
- Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap dan mengamalkan cinta
kasih, dan semakin dikukuhkan hidup kristiani kita.

68
- Selanjutnya kita semakin bersatu dalam Kristus, makin menjemaat, makin tegas
mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengkokohkan Gereja semesta;
- Kita semakin sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita ditengah
masyarakat, sehingga masyarakat semakin menjadi tempat terwujudnya Kerajaan Allah.
Singkat kata, dengan berkomunikasi iman kita semakin beriman dalam hidup ini, bersatu
dengan Kristus dan menjadi anggota Gereja yang bertanggung jawab membangun Karajaan
Allah di bumi ini.
Tujuan Pelajaran-Agama adalah supaya kita semakin mampu merefleksikan dan
memahami ajaran iman kita dan kalau kita sudah percaya dan mengimani ajaran iman itu dalam
hidup nyata, kita dapat mempertanggung-jawabkannya. Beriman adalah sikap yang rasional,
walalupun tidak selalu dapat dipahami.
c. Aspek-Proses
Proses Katekese-Umat selalu bertolak dari peristiwa atau hal menyangkut hidup nyata.
Supaya peserta KU dapat terajak untuk mulai melihat dan membicarakan hal menyangkut hidup
nyata itu, dapat diawali dengan suatu ceritera yang inspiratif. Kalau ceritera itu dapat mengantar
peserta KU untuk melihat dan membicarakan hal menyangkut hidup nyata peserta (misalnya
tentang peristiwa “kelaparan”), selanjutnya peserta diajak untuk bersama-sama menganalisa,
mencari tahu sebab akibat dari peristiwa itu, supaya peristiwa itu menjadi sungguh-sungguh
jelas dan nyata. Yang dianalisis bukan peristiwa dalam ceritera tadi, tetapi peristiwa atau hal
yang dialami peserta KU.
Langkah berikutnya adalah usaha supaya peristiwa atau hal dari hidup nyata itu dilihat
dalam terang Kitab Suci atau ajaran Gereja. Peristiwa itu dilihat oleh peserta dengan mata iman
kristiani mereka. Dengan demikian diharapkan peserta KU terinspirasi dan tergerak hatinya
untuk menangani peristiwa dan hal menyangkut hidup nyata mereka itu.
Langkah terakhir diharapkan peserta KU dapat merencanakan aksi untuk menangani
peristiwa atau hal menyangkut hidup nyata itu, sehingga bisa terjadi transformasi sosial kearah
yang lebih baik dalam masyarakat mereka.

Proses Pelajaran-Agama, dapat bertolak dari doktrin atau ajaran Gereja, tetapi dapat
pula berotolak dari pengalaman peserta didik sehubungan dengan tema atau pokok yang
diangkat. Kalau bertolak dari doktrin atau perikope Kitab Suci, maka untuk doktrin atau

69
perikope itu dibuat skema dan sistematikanya dengan menguraikannya dalam sub-sub judul,
lalu dibahas secara logis supaya dapat gampang dipahami. Prosesnya hendaknya berlangsung
secara partisipatif dan ekploratif, sehingga pemahaman dan kompetensi peserta didik sungguh
tercapai secara efektif.
Langkah berikutnya ialah usaha untuk membuat supaya doktrin dan perikope yang sudah
dipahami itu menjadi relevan untuk hidup peserta didik. Disini harus terjadi proses internalisasi
ajaran tadi.
Langkah yang terakhir kiranya berusaha untuk membangkitkan niat dan menemukan cara
bagaimana ajaran/doktrin dan perikope Kitab Suci tadi dapat diwujudnyatakan dalam hidup
peserta didik.
Kalau bertolak dari pengalaman peserta didik sehubungan dengan tema doktrin dan
perikope yang diangkat, maka pertama-tama pengalaman siswa sehubungan dengan doktrin
atau perikope itu dikisahkan dan dianalisis, supaya peserta didik sungguh menyadari
pengalamannya sehubungan dengan semua itu. Akan terungkap pengalaman itu bersifat positif
membangun atau negatif merusak.
Langkah berikut, pengalaman siswa itu disorot dalam terang ajaran/doktrin atau perikope
yang menjadi tema pembelajaran. Pengalaman positif tentu akan diteguhkan dan pengalaman
negatif akan dikritisi dan ditegur.
Langkah terakhir, seperti diatas, supaya diusahakan munculnya niat dan menemukan cara
bagaimana ajaran/doktrin serta perikope Kitab Suci yang sudah dibahas dapat diwujud-
nyatakan dalam hidup peserta didik.
Akhirnya harus dikatakan bahwa dalam proses KU sangat dibutuhkan kecerdasan
emosional dan sosial, selain kecerdasan spiritual. Peserta berproses dengan menggunakan hati.
Dalam proses PAK sangat dibutuhkan kecerdasan intelektual dan kinestetik, selain kecerdasan
sosial dan spiritual. Peserta berproses dengan terutama menggunakan otak, pikiran dan daya
nalar.

d. Aspek-guru
Dalam KU guru/pemimpin berperan sebagai fasilitator. PKKI III (1984) di Pacet,
Mojokerto, menegaskan bahwa seorang fasilitator selain memiliki kepribadian dan spiritualitas
serta pengetahuan yang dituntut oleh tugasnya, dia perlu memiliki ketrampilan. Ketrampilan

70
disini tidak dipahami hanya secara teknis, tetapi harus dipahami sebagai kepekaan dari seluruh
pribadi seseorang terhadap apa saja, termasuk peka terhadap keadaan peserta KU, konteks
masyarakatnya, visi Injili dan kristianinya…dsbnya.
Keterampilan yang sangat dibutuhkan seorang fasilitator ialah ketrampilan untuk
berefleksi supaya dirinya terbekali dan ketrampilan untuk berkomunikasi, supaya kelompok
KUnya semakin menjadi suatu komunitas yang saling mengenal dan penuh semangat
persaudaraan.
Dalam hubungan dengan proses KU, seorang fasilitator harus mampu menciptakan situasi
yang memungkin semua peserta bisa mengungkapkan pengalaman imannya dengan bebas dan
jujur. Selanjutnya seorang fasilitor harus trampil untuk mengajak peserta untuk mengikuti
proses KU, mulai dari trampil mengamati fenomen dalam masyarakat, trampil memilih
perikope Kitab Suci atau ajaran Gereja untuk menerangi fenomena dalam masyarakat itu dan
trampil membuat niat dan rencana untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Semua proses
itu harus dilalui bersama-sama dan fasilitator sungguh menjadi fasilitator dan tidak merekayasa
atau memaksakan kehendaknya. Seorang fasilitor yang baik adalah seorang fasilitator yang
paling kurang berbicara. Berbicara hanya kalau sangat diperlukan. Seorang fasilitator yang baik
memiliki telinga yang lebar untuk mendengar, mata yang besar untuk mengamati, tetapi mulut
yang kecil untuk bicara seperlunya saja.
Dalam PAK seorang guru trampil sebagai pengajar dan pelatih. Dia perlu memiliki
kepribadian, spiritualitas dan pengetahuan serta ketrampilan didaktis dan kateketis yang
dibutuhkan seorang Guru-Agama. Ia harus mampu membimbing peserta didik untuk belajar
dalam suatu proses aktif-partisipatif dan eksploratif. Seperti kata UNESCO, seorang guru harus
mengajar dan melatih peserta didik untuk : learning to know, learning to do, learning to be, dan
learning to live togther.

e. Aspek-murid/peserta
Dalam KU, yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman, yang secara
pribadi memiliki Kristus dan secara bebas bekumpul untuk lebih memahami Kristus. Kristus
yang menjadi pola hidup pribadi, pun pula kehidupan kelompok. Jadi seluruh umat yang
berkumpul dalam kelompok-kelompok basis maupun disekolah ataupun di Perguruan Tinggi.
Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada

71
katekese sekarang. Penekanan peranan umat pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada
pengertian Gereja itu sendiri.
Katekese-Umat merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman
yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Peserta berdialog dalam suasana
terbuka, ditandai sikap saling menghargai dan saling mendengarkan.
Dalam PAK, peserta didik adalah murid yang perlu diajarkan dan dilatih, walau mereka
dituntut pula untuk bersikap partisipatatif. Guru adalah pengajar dan peserta didik adalah murid.
Jelas mereka tidak sama derajadnya dalam proses pembelajaran ini.

f. Aspek-suasana
Dalam KU diharapkan suasana agak tenang, supaya peserta bisa berefleksi dan
bekomunikasi. Suasana persaudaraan dan terbuka perlu diciptakan. Namun elakkan suasana
bernuansa ibadah (liturgis), sebab bisa menciptakan keadaan yang kaku, yang membuat peserta
terdiam, enggan mengungkapkan pengalaman imannya.
Dalam PAK dibutuhkan suasana yang penuh aktivitas, karena peserta didik diminta
untuk ikut dalam proses pembelajaran yang aktif-partisipatif. Semakin peserta terlibat dalam
aksi semakin tinggi daya serapnya. Penyelidikan mengungkapkan bahwa kalau peserta hanya
mendengar dalam proses pembelajaran, daya serapnya hanya mencapai sekitar 20%. Kalau
peserta didik terlibat dan bermain peran daya serap bisa mencapai 90%.
3.9.2. KU dan PAK Saling Melengkapi
Bahwa Katekese Umat dan Pelajaran Agama mempunyai peran yang khas dan bahwa
keduanya saling melengkapi dalam pewartaan kita. Dari pengalaman dan pengamatan di
lapangan, Katekese Umat kadangkala dituntut dan diberi muatan peran terlalu banyak, yang
sebenarnya bukan perannya. Katekese-Umat kadangkala dituntut untuk mengedepankan
ajaran/doktrin Iman Katolik, yang sebenarnya menjadi peran dari Pelajaran-Agama.
Kita perlu memiliki seni membatasi diri. Kita mungkin setuju bahwa homili itu lain dari
Pelajaran Agama, lain dari kuliah teologi, walaupun semuanya itu adalah karya pewartaan kita.
Semuanya khas, mempunyai kekuatan masing-masing, walaupun mempunyai tujuan yang
sama: supaya umat kita semakin beriman dalam hidup ini. Mencampur adukkan semuanya, bisa
membuat pewartaan kita tidak efektif. Jadi Katekese Umat itu khas peran pewartaannya, tidak
boleh dijadikan Pelajaran-Agama, yang perannya memang membahas doktrin.

72
Ungkapan keprihatinan dalam Pesan pastoral KWI tentang kurangnya pemahaman umat
kita tentang doktrin iman katolik diatas memicu kita untuk memberi warna doktriner pada KU.
Kemandegan KU disejumlah tempat, antara lain disebabkan oleh karena yang dianggap KU
adalah sebenarnya pelajaran agama. Kerancuan ini membuat proses yang tambal sulam itu tidak
efektif.
Pewartaan dengan pola “mengajar” rupanya sudah sangat berakar dalam Gereja dan
masyarakat kita. Kita sering mengalami bahwa sesudah berpayah-payah membuat penataran
dan pelatihan menyangkut KU, dan ketika peserta penataran diminta untuk menjadi fasilitator
proses KU, yang terjadi pemimpin KU itu akan senantiasa tampil sebagai pengajar, bukan
sebagai fasilitator. Dan peserta KU mengamininya.
Banyak model-model KU telah diterbitkan. Tetapi ada saja model KU yang bersifat
pelajaran, sehingga ketika model KU itu jatuh ketangan ketua Kelompok Basis misalnya, ia
akan membacakannya saja, sebab KU yang berwarna doktriner itu diatas kemampuan nalarnya.
Dan umat terpaksa menjadi pendengar, sebab mereka juga tidak mampu mendialogkannya. Bisa
jadi ada satu dua orang dalam kelompok yang sedikit tahu tentang tema yang diangkat dan
mereka akan memborong seluruh percakapan, tetapi mayoritas anggota kelompok akan menjadi
pendengar bisu. Disini yang terjadi adalah komunikasi pengetahuan iman, bukan komunikasi
pengalaman iman.
Kalau komunikasi pengalaman iman semua orang bisa berkisah dan berbicara, entah dia
petani atau dosen, umat biasa atau teolog ternama. Kalau yang dibicarakan dan
dikomunikasikan adalah pengetahuan/doktrin iman, hanya orang cerdik pandai yang akan
berbicara, berdiskusi, sedangkan kaum anawim akan diam seribu basa. Lalu kelompok Umat
Basis dan Gereja macam mana yang mau dibangun?
Sering Katekese-Umat diberi warna dan beban dengan hal-hal yang bernuansa ritual
kultis sakral. Tentu saja doa-doa dan nyanyian rohani tidak dilarang dalam proses KU, tetapi
kalau terlalu dipaksakan sehingga hampir menyerupai Upacara-Sabda, maka akan menghambat
proses KU, yang diharapkan berlangsung secara bebas dan spontan dalam berkisah tentang
pengalaman iman peserta. Doa dan nyanyian yang terlalu panjang, lebih-lebih pada awal proses
KU, membuat orang segan dan kaku untuk berbicara karena sudah dihantar dalam suasana
sakral kultis.

73
Doa yang menyentuh akan sungguh dirasakan kalau diucapkan pada akhir proses KU,
sesudah peserta tergugah oleh proses komunikasi iman yang mengharukan. Doa dan nyanyian
akan menjadi puncak dari proses KU, menjadi satu perayaan iman yang sangat bermakna, tidak
bersifat kultis formal saja. Doa-doa dan nyanyian yang dirasakan hanya karena secara formal
harus demikian tentu kurang bermanfaat.
Akhirnya perlu digarisbawahi kembali bahwa dengan pelbagai pola Katekese itu,
diharapkan umat kita akan semakin beriman. Tiap-tiap pola katekese itu mempunyai perannya
yang khas untuk menumbuhkan dan mengembangkan dimensi-dimensi tertentu dari kehidupan
beriman umat kita. Peranaannya yang khas itu jangan dikaburkan oleh pelbagai tuntutan yang
bukan merupakan perannya. Biarlah setiap pola Katekese menyumbangkan kekhasan perannya
yang autentik, dan dengan demikian saling melengkapi dan memperkaya kegiatan pewartaan
kita.

4. Glosarium

Kerygma : Kata Yunani “kerussein” berarti mewartakan secara meriah dan resmi Kabar
Gembira tentang kedatangan Kerajaan Allah. Kerygma berarti pewartaan
tentang Yesus Kristus beserta ajaran dan karya-Nya kepada orang-orang
“kafir”, yakni orang-orang yang belum mengenal atau percaya kepada Yesus
Kristus.
Didache : Kata Yunani “didaskein” berarti memberikan pelajaran kepada orang yang
telah beriman dalam rangka memperdalam dan mengembangkan, memekarkan
imannya yang mulai tumbuh. Didache berarti pewartaan lanjutan yang
diberikan kepada orang yang telah mulai mengenal dan percaya pada Yesus
Kristus.
Credo : Aku Percaya (Sahadat, pegakuan iman)
Aspirantes : Persiapan jauh katekumen untuk dibaptis, biasanya butuh waktu tiga tahun.
Bahan katekese atau pelajaran ialah garis besar sejarah keselamatan.
Competentes : Persiapan dekat untuk pembaptisan. Tahap ini pada umumnya dilaksanakan
selama 40 hari, yaitu dari awal puasa sampai malam Paskah. Para calon
dituntut untuk hidup secara Kristen dan hafal Credo dan Bapa Kami.

74
Neophitat : Setelah menjalani tahap-tahap di atas seseorang kemudian dibaptis, yang
dilaksanakan pada Malam Paskah. Upacara diawali dengan penyangkalan
setan dan pengakuan iman. Sesudah dipermandian, langsung menerima
sakramen Penguatan dan sakramen Ekaristi.
Credo Ut Intelligam : yang dapat diartikan dengan “terlebih dahulu saya harus percaya, supaya
dapat menyelidiki kebenaran kepercayaan dengan pikiranku.” St.
Anselmus
Aufklärung : Kata bahasa Jerman yang berpadanan dengan kata Inggris enlightenment yang
berarti pencerahan, penerangan. Aufklarung mewujudkan cita-cita
Renaissance dan dipercepat perkembangannya oleh empirisme dan skeptisisme
modern serta oleh penemuan-penemuan ilmiah abad ke-17.
Rasionalisme : Aliran yang mendewakan kemampuan akal budi
Restaurare omnia in Christo : “membaharui semua dalam Kristus”,
Apostolicam Actuositatem : Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kerasulan Awam,
Ad Gentes : Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kegiatan
Misioner Gereja
Catechesi Tradendae : Katekese Masa Kini. Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II
kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang
katekese masa kini, diterbitkan pada tgl 16 Oktober 1979
Evangelii Gaudium : Sukacita Injil. Seruan Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus tentang
Pewartaan Injil kepada Dunia Dewasa ini. Diterbitkan tgl 24 November
2013
Evangelii Nuntiandi : Mewartakan Injil. Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI tentang
Karya Pewartaan Injil dalam Jaman modern, diterbitkan tgl 8
Desember 1975.
General Directory for Catechesis : Pedoman/Petunjuk Umum Katekese (PUK) diterbitkan oleh
Kongregasi untuk para Klerus. (teks tahun 1971 dan 1997)

75
5. Daftar Pustaka

Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuositatem
(AA), R. Hardawiryana, (Penerj), (Jakarta, OBOR, 2012).
Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (AG), R.
Hardawiryana, (Penerj), (Jakarta, OBOR, 2012).
J. Riberu, Kamu Diutus Untuk Melayani, (Yogyakarta: Kanisius, 2011).
KOMKAT KWI, Katekese Umat dan Evangelisasi Baru, (Yogyakarta, Kanisius, 2014).
Ladislao Csonka, (penterj. FX Adisusanto, SJ) Menyusuri Sejarah Pewrataan Gereja,
(Jakarta, Komkat KWI, 2010)
Marianus Telaumbnanua OFMCap, Ilmu Kateketik Identitas, Medote, dan Peserta Katekese
Gerejawi, Sinasak Pematangsiantar, 1997.
P.C Mandagi, Buah-Buah Iman dalam Peziarahan Iman, (Jakarta: Hati Baru, 2009).
P.C. Mandagi, Umat Yang Terkasih, (Jakarta: Hati Baru, 2009).
Paus Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (EN), J. Hadiwikarta, Pr. (Penerj),
(Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001) No. 14
Paus Yohanes Paulus II, Himbauan Apostolik Catechesi Tradendae (CT), J. Hardawiryana, SJ
(Penerj), (Jakarta, Dep. Dok. Pen. KWI), No. 18
Paus Fransiskus, Seruan Apostolic Evangelii Gaudium (EG), (Jakarta, Dep Dok. Pen. KWI,
2014).
PausYohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan
Katekese), Seri Dokumentasi Gerejawi, Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Melky Malingkas, Katekese Dasar, Bahan Kuliah Katekese Dasar, Komkat KWI, 2018.
Susanto Adi 1997, Katekese yang memasyarakat, dalam buku Gereja Indonesia Pasca Vatikan
II refleksi dan tantangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius).
Intansakti Pius X 2003/2004, Katekese Umat, (Malang: Prodi PPAK STP IPI)
Intansakti Pius X, “Katekese Umat Sebagai Cita –Cita, Pilihan Dan Gerakan Katekese
Indonesia”
Lalu Yosef, 2007, Katekese Umat, Komisi Kateketik KWI, (Jakarta)
Lumen Gentium, Konstitutsi dogmatis mengenai Gereja, Konsili Vatikan II.

76
Gaudium Et Spes, Konstituasi Pastoral, mengenai peranan Gereja dalam dunia modern, Konsili
Vatikan II.
Paus Yohanes Paulus II, 1990, Catechesi Tradendae, Ensiklik tentang penyelenggaraan
katekese, diterjemahkan oleh Dokpen KWI.
Manfred Habur, 2016, Katekese umat antara isi ajaran dan kebermaknaan, PKKI XI, (Makasar)
Janssen P. dan Paulus Mudjijo 2015, Pastoral Umat, (Malang: STP-IPI)
Budiyono, Hd, 1988, Bunga rampai Katekese, (Surakarta: STP, Filial STP IPI Malang di
Surakarta)
Tim Reality, Kamus terbaru Bahasa Indonesia, dilengkapi dengan ejaan yang disempurnakan
(Surabaya: penerbit Reality Publisher).

77
Kegiatan Belajar 3

Bentuk-Bentuk Katekese

1. Kompetensi Mahasiswa
1.1 Kompetensi Inti
Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik Agama Katolik yang
mempesona, yang dilandasi sikap cinta tanah air, berwibawa, tegas, disiplin, penuh
panggilan jiwa, samapta, disertai dengan jiwa sepenuh hati dan kemurahatian dalam
proses pembelajaran.

1.2. Kompetensi Dasar


Mampu menguasai pokok-pokok iman dan Tradisi Kristiani yang menjadi dasar
pelaksanaan tugas sebagai guru pendidikan Agama Katolik yang profesional

1.3. Indikator
Mampu membedakan bentuk-bentuk katekese dan menerapkannya dalam pelaksanaan
katekese di tengah umat

1.4. Tujuan Pembelajaran


1.4.1. Mampu menjelaskan materi-materi pokok yan dibutuhkan dalam pelaksanaan
katekese praktis, historis dan sistematis.
1.4.2. Mampu membuat silabus dan bahan pendampingan iman dalam pelaksanaan
katekese berjenjang
1.4.3. Mampu mempraktekkan katekese berbasis digital untuk kepentingan
pendampingan iman anak
1.4.4. Mampu menjadi seorang fasilitator dalam pelaksanaan katekese umat

78
2. Peta Konsep

3. Uraian Materi

3.1. Bentuk Katekese Berdasarkan Materi


Ada begitu banyak materi yang bisa disampaikan sebagai bahan katekese. Materi-materi
itu menentukan bentuk-bentuk katekese yang dijalankan. Dibedakan tiga bentuk katekese
berdasarkan sumber materi atau bahannya, yaitu katekese praktis, katekese historis dan
katekese sistematik.

3.1.1. Katekese Praktis


Katekese praktis adalah bentuk katekese yang mengarahkan seluruh peserta katekese
untuk terlibat dengan sadar dan aktif menjalani praksis hidup beriman di seputar kehidupan

79
liturgi, doa dan devosi Gereja. Sumber pokok katekese praktis ini dalah liturgi Gereja. Liturgi
menjadi bagian dari pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus oleh tubuh mistik Kristus yaitu
Kepala dan anggota-anggotanya. Liturgi merupakan upacara yang sangat membantu umat
beriman mengungkapkan misteri Kristus dan hakekat asli Gereja yang sejati (SC 2). Dalam
liturgi dirayakan misteri karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus berupa karya
pengudusan umat manusia dan pemuliaan Allah. Dari liturgi terutama Ekaristi mengalirlah
rahmat kepada umat beriman. Oleh karena itu para Bapa Konsili Vatikan II berkali-kali lewat
Dokumen Konstitusi Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium) mengajak agar umat beriman bisa
terlibat secara sadar dan aktif dalam perayaan liturgi. “Maka dari itu hendaklah para gembala
rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan Liturgi jangan hanya dipatuhi
hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman
ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna” (SC 11). “Bunda Gereja sangat
menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing kearah keikut-sertaan yang
sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikut-sertaan seperti itu
dituntut oleh Liturgi sendiri, dan berdasarkan Babtis merupakan hak serta kewajiban umat
kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawai, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah
sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5)” (SC 14). Terlibat secara sadar artinya terlibat dengan memahami
apa yang sedang dirayakannya, sedangkan terlibat secara aktif menunjuk pada partisipasi dan
mengambil bagian secara aktif dalam setiap perayaan liturgi.
Maka sebagai bagian dari katekese praktis, peserta katekese diajak untuk memahami
perayaan-perayaan liturgi. Mereka memahami bentuk-bentuk dan simbol-simbol liturgi, alat
dan bahan liturgi, pakaian dan warna liturgi serta memahami makna tahun liturgi. Mereka
mampu melaksanakan secara benar dan melibatkan diri secara aktif dalam aneka macam liturgi,
doa-doa dan devosi.
Sebagai bagian dari liturgi, peserta diharapkan juga memahami macam-macam dan
makna devosi-devosi yang berkembang dalam Gereja dan menjalankannya secara benar sesuai
iman dan ajaran Gereja. Walaupun dalam devosi sangat kuat unsur subyektif dan iman
personalnya, devosi tetap dijalankan dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran Gereja. Kerap
kali terjadi praksis devosi yang salah. Orang lebih menempatkan devosi di atas liturgi. Praksis
devosi kadangkala menjadi praksis magis. Praksis devosi kerapkali juga menyimpang dari

80
ajaran iman. Karena situasi yang demikian itulah, katekese praktis menjadi perlu untuk
meluruskan praksis-praksis keagamaan yang kurang tepat.
Beberapa macam devosi yang berkembang sampai saat ini48, diantaranya adalah devosi
kepada sakramen mahakudus, jalan salib, rosario, novena, ziarah dan lain sebagainya. Devosi
kepada sakramen mahakudus diwujudkan dalam bentuk adorasi, visitasi dan penghormatan
kepada sakramen mahakudus. Devosi ini menjadi ungkapan iman kepada Kristus yang hadir
dalam Ekaristi dan dalam Sakramen mahakudus. Jalan salib merupakan tradisi devosi yang
sudah mengumat. Devosi ini membantu umat dalam menghayati dan merenungkan misteri
penderitaan dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus, juga dalam memahami misteri penebusan
Kristus. Dalam masa prapaskah, doa jalan salib dianjurkan.
Rosario juga berkembang pesat dan cukup populer dalam kehidupan umat, kecuali karena
mudah, praktis, juga banyak menenangkan hati dan membawa banyak berkat dalam hidup
mereka. Gereja menganjurkan agar pada bulan Mei dan Oktober, doa rosario ini didoakan
secara rutin baik secara pribadi maupun bersama jemaat lainnya. Doa ini menjadi salah satu
penghormatan Gereja kepada Bunda Maria dan menumbuhkan cinta bakti kepada Tuhan.
Penghormatan dan sikap bakti pada Bunda Maria lainnya diwujudkan dalam Novena dan
Ziarah. Novena merupakan kebaktian sembilan hari yang diisi dengan doa-doa tertentu untuk
suatu ujud permohonan yang penting bagi pemohonnya. Salah satu Novena yang populer adalah
Novena Tiga Salam Maria. Ziarah juga tradisi devosi yang sangat populer. Ada begitu banyak
tempat-tempat ziarah yang dipadati oleh umat untuk berdoa, terutama kepada Bunda Maria.
Banyak umat merasakan berkat Tuhan lewat ziarah itu.
3.1.2. Katekese Historis
Katekese Historis adalah katekese yang dikembangkan untuk memperdalam pengenalan
umat akan sejarah keselamatan dari pihak Allah, yang telah dimulai sejak Perjanjian Lama dan
mencapai kepenuhannya dalam Pribadi Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru. Sumber utama
dalam Katekese Historis ini adalah Kitab Suci. Kitab Suci dipahami bukan sebagai buku semata
tetapi sebagai suatu kesaksian iman Israel (dalam Perjanjian Lama) dan kesaksian Gereja awal
(dalam Perjanjian Baru).
Melalui Katekese Historis, orang diajak untuk memahami Kitab Suci secara benar dan
menggali isi di dalamnya untuk memperdalam pengenalan umat akan sejarah keselamatan

48
E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 152-157.

81
Allah yang terwujud dalam sejarah umat manusia. I. Suharyo dalam buku Pemahaman Dasar
Kitab Suci49, mengajak kita untuk memahami Kitab Suci mulai dari paham dasar mengenai
Wahyu. Kalau wahyu adalah Allah sendiri yang menyapa manusia, maka Kitab Suci juga harus
ditempatkan dalam rangka itu, yaitu relasi Allah dengan manusia. Membaca Kitab Suci bukan
pertama-tama untuk mencari informasi melainkan untuk membina relasi. Kitab Suci menjadi
kabar gembira bagi yang mendalaminya bukan karena dengan membaca Kitab Suci mendapat
informasi banyak tetapi terlebih karena terbangun suatu relasi baru dengan Allah.
Dengan membaca Kitab Suci, orang dibimbing untuk memahami siapa Allah dan juga
siapa manusia di hadapan Allah. Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai yang mengasihi
tanpa batas sebagaimana dirumuskan dalam Konsitutsi Dogmatis tentang Wahyu Allah.
“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan
memaklumkan rahasia kehendak-Nya; berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa
melalui Kristus, sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus dan ikut serta dalam kodrat
ilahi” (DV 2).
Gambaran dan bukti kasih setia Allah itu dapat dilihat dalam pengalaman tokoh-tokoh
suci dalam Kitab Suci. Lewat para tokoh kitab suci, kita bisa melihat di tengah kejatuhan dan
ketidaksetiaan manusia, Allah terus memperhatikan, menuntun dan menyatakan kasih setia-
Nya serta melaksanakan rencana penyelamatan-Nya untuk umat manusia. Kasih Allah tidak
pernah diukur oleh kesetiaan manusia. Sekalipun manusia tidak setia, Allah tetap setia.
Gambaran Allah yang setia itu nampak dalam pribadi Yesus Kristus, terutama saat Ia
memberikan hidupnya sampai sehabis-habisnya: Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-
murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya (bdk. Yoh
13:1). Kisah kasih Allah ini memenuhi seluruh isi Kitab Suci dalam pengalaman banyak orang
di zaman yang berbeda dan dalam macam-macam peristiwa hidup yang terjadi.
Dari Kitab Suci pula, orang bisa semakin mengenal siapa dirinya. Kitab Kejadian
menceritakan dengan luar biasa bahwa manusia merupakan ciptaan Allah yang sangat mulia.
Ia puncak segala ciptaan. Ia diciptakan menurut gambar Allah dan Allah melihat segala yang
dijadikan itu sungguh amat baik (bdk. Kej 1:31). Kemuliaan dan keluhuran manusia itu
direnungkan pula dalam Kitab Mazmur. “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan
dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?

49
I. Suharyo, Pemahaman Dasar Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, hlm 17-18.

82
Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Itulah manusia yang dihekendaki
oleh Sang Pencipta: luhur dan mulia. Kalau dalam kenyataannya manusia ternyata tidak
demikian adanya, bukan karena Sang Pencipta, tetapi karena kesalahan manusia sendiri.
Manusia dalam perjalanan hidupnya jatuh dalam dosa. Mereka rapuh dan lemah. Ia
berdosa. Mestinya akibat dari dosa, manusia mati. Namun nyatanya manusia ditebus oleh Allah
dalam Yesus Kristus. Keselamatan manusia karena rahmat dan kebaikan Allah. Demikianlah
Kitab Suci membantu manusia mengenal dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah yang luhur dan
mulia di satu sisi, tetapi sekaligus lemah dan rapuh di sisi lain. Dalam kerapuhan itu, Allah
menebus dan menyelamatkan. Tanpa campur tangan Allah dalam kehidupannya, manusia jatuh
dalam dosa dan tetap berada dalam dosa. Namun berkat penebusan-Nya, manusia selamat.
Karena itu melalui para nabi dan para utusan Allah lainnya, manusia dipanggil untuk setia dan
percaya kepada Allah.
Demikianlah katekese historis menjadi katekese yang lewat Kitab Suci membantu peserta
katekese untuk masuk dalam sejarah keselamatan Allah yang terjadi dalam sejarah kehidupan
manusia yang berlangsung sampai sekarang berkat iman dan Roh Kudus. Untuk memahami
lebih mendalam sejarah penyelamatan Allah tersebut dan untuk mengembangkan relasi yang
lebih erat, sangat dianjurkan umat bisa secara rutin, teratur dan setia membaca Kitab Suci,
merenungkannya dan membiarkan diri dibimbing oleh Allah. Dianjurkan pula peserta katekese
belajar dari para ahli tafsir Kitab Suci agar pemahamannya semakin luas dan pengetahuannya
bisa dipertanggung jawabkan.

3.1.3. Katekese Sistematik


Katekese Sistematik adalah katekese yang menyajikan kepada umat beriman ajaran-
ajaran dogmatis dan teologis yang tersusun secara sistematik, jelas dan singkat. Sumber
katekese ini terutama adalah Katekismus Gereja Katolik dan didukung ajaran-ajaran Gereja
lainnya.
Kita mempunyai Katekismus Gereja Katolik yang telah disahkan oleh Paus Yohanes
Paulus II pada tanggal 15 Agustus 1997. Katekismus itu menjadi teks acuan untuk pengajaran
tentang iman dan moral kristiani. “Katekismus Gereja Katolik menjadi sarana penuh dan
lengkap untuk mengkomunikasikan ajaran katolik tentang iman dan moral sehingga setiap

83
orang dapat mengetahui apa yang sesungguhnya diimani, dirayakan, dihayati dan didoakan oleh
Gereja dalam kehidupan sehari-hari.” 50
Buku Katekismus Gereja Katolik berisi empat bagian. Bagian satu berjudul Pengakuan
Iman, berisi sitensis dari lex credendi yaitu iman yang diakui oleh Gereja Katolik, yang
diungkapkan dalam Pengakuan Iman para Rasul yang kemudian dikembangkan oleh
Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel. Bagian kedua berjudul perayaan Misteri Kristen, yang
menyajikan unsur-unsur esensial dari lex celebrandi. Pewartaan Injil mendapat jawabannya
yang autentik dalam hidup sakramental. Melalui hal ini, para pengikut Kristus mengalami dan
memberikan kesaksian setiap saat dalam hidup mereka tentang daya penyelamatan misteri
Paskah yang dilaksanakan oleh Kristus untuk penebusan kita.
Bagian ketiga berjudul Hidup dalam Kristus, yang menjelaskan lex vivendi. Ditegaskan
dalam bagian ini, orang-orang yang dibaptis mewujudkan komitmen mereka terhadap iman
yang sudah mereka akui dan mereka rayakan melalui tindakan dan pilihan etis dalam hidup
mereka. Umat kristen dipanggil untuk bertindak sesuai dengan martabat mereka sebagai anak-
anak Bapa. Bagian keempat berjudul Doa Kristen yang menjelaskan lex orandi. Dengan
mengikuti Yesus, model sempurna bagi orang yang berdoa, orang-orang kristiani dipanggil
untuk berkomunikasi dengan Allah dalam doa. Doa yang sangat istimewa bagi umat kristiani
adalah doa Bapa Kami yang diyakini diajarkan langsung oleh Yesus Kristus.
Banyak ajaran-ajaran lain yang bisa digunakan dalam katekese sistematis ini. Ajaran-
ajaran itu diantaranya adalah Dokumen Konsili Vatikan II, ajaran-ajaran para Paus dari waktu
ke waktu. Para Paus telah mengeluarkan ajaran-ajaran resmi mereka untuk menanggapi jaman
atau untuk penyegaran kembali semangat pewartaan dan semangat keberimanan.

3.2. Bentuk Katekese Berdasarkan Usia


James Fowler melalui penelitiannya menegaskan adanya perkembangan iman secara
bertahap. Ada 6 tahap perkembangan iman, yaitu tahap iman intuitif (2-6 tahun), dimana Tuhan
dialami sebagai yang perkasa yang menuntut kepatuhan dan memberikan hukuman, surga yang
imaginatif dan neraka yang mengerikan; iman mitis literal (7-12 tahun) dimana orang mulai
percaya melalui simbol-simbol religius dan mengalami Tuhan yang adil; iman sintetis
konvensional (13-21 tahun), dimana orang mulai membentuk ideologi (sistem kepercayaan)

50
Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2009, bagian pengantar.

84
dan mulai mencari identitas diri dalam hubungannya dengan Tuhan. Namun identitas itu belum
terbentuk secara penuh; iman individual-reflektif (22-30 tahun), dimana orang mulai
memeriksa imannya secara kritis dan merefleksikan imannya secara serius; iman konjungtif (31
tahun ke atas), dimana orang sering mengalami dan memahami adanya paradoks dan kotradiksi
dalam hidup, imannya telah diintegrasikan dalam hidupnya dan terakhir tahap iman universal,
dimana orang telah mencapai kepenuhan hidup rohani, hidupnya menyatu dengan Tuhan
sehingga berani berkorban demi iman.
Dari penelitiannya, terlihat bahwa banyak orang berhenti pada tahap iman sintetis
konvensional, dimana iman baru dirasakan sebagai yang diwariskan oleh orang tua dan diterima
begitu saja, tanpa sebuah refleksi dan internalisasi. Iman belum menjadi sebuah pilihan dan
miliknya sendiri.
Berpijak pada gagasan Thomas Groome dan pendapat James Fowler, Keuskupan Agung
Semarang menggagas sebuah katekese atau Formatio Berjenjang. Jenjang-jenjang usia
didasarkan pada pengalaman pendampingan iman yang selama ini telah terjadi. Ada enam
jenjang formatio iman. Dalam setiap jenjangnya orang mendapat pendampingan dengan materi
dan metode yang sesuai dengan perkembangan usia. Indikator keberhasilannya pun disesuaikan
dengan perkembangan usianya. Harapannya, melalui formatio iman berjenjang ini, terbentuk
suatu pola-pola hidup kristen yang berkembang secara bertahap sampai pada akhirnya umat
beriman mendalam, dewasa dan tangguh.
Secara sederhana dan singkat dapat kita lihat bersama tahapan katekese yang dijalankan
dalam formatio iman berjenjang.

3.2.1. Katekese untuk Usia Dini (0-4 tahun)


a. KARAKTER: bersifat motorik dan sensorik, begitu juga kaya dengan fantasi dan emosi,
masih artifisial dan konkret.
b. FORMATIO: diharapkan adalah anak balita telah menerima baptis bayi, kemudian anak
sudah dikenalkan mengenai Allah Bapa melalui pengalaman relasi anak orang tua, diajak
juga mengenal tanda salib dan doa-doa harian. Anak diajak senantiasa mulai mengenal
lingkungan gerejanya dan mulai ikut perayaan ekaristi.
c. METODOLOGI: membangun suasana pendidikan iman dalam keluarga, begitu juga
dapat melalui aktifitas-aktifitas seperti mewarnai, bernyanyi gerak dan lagu, bercerita dan

85
mendongeng. Keteladanan hidup menjadi hal yang penting.
d. PELAKU: orangtua berperan penting membangun formatio iman karena usia ini
merupakan masa-masa emas. Maka perlunya penyadaran bahwa orangtua adalah guru
pertama, utama dan tak tergantikan untuk pendasaran pengetahuan iman.
e. CAPAIAN: anak mengalami dasar bagi pertumbuhan hidup iman dalam keluarganya

3.2.2. Katekese untuk Anak (5-10 tahun)


a. KARAKTER: Pandangan soal pengetahuan masih bersifat terpisah-pisah, episodis, dan
bersifat inderawi serta kinestetik-motorik. Begitu juga pemahaman anak usia ini masih
bersifat antropormofis (konkret).
b. FORMATIO: Pada usia ini, harapannya anak telah mengikuti Persiapan Penerimaan
Sakramen Inisiasi, menerima komuni pertama dan sakramen tobat yang pertama. Anak
mulai diajak mengenal pokok-pokok iman secara sederhana. Diajak aktif mengikuti
peribadatan dan pertemuan di tingkat keluarga, lingkungan dan paroki, dan menyadari
bahwa ada perbedaan agama, suku dan status sosial di seputar rumahnya, sekolah dan
lingkungan sekitarnya.
c. METODOLOGI: Pengajaran sederhana (Katekese Anak), pendampingan dengan
nyanyian, gerak-lagu, cerita dan aktivitas lainnya untuk mengenal Allah dan mencintai
Gereja.
d. PELAKU: Keluarga menjadi medan hidup beriman dan pendidikan iman. Perhatian
keluarga (orang tua) turut menjadi faktor kunci sukses perkembangan iman anak.
Pendamping iman berperan untuk memberikan dasar-dasar keberimanan di tengah
jemaat.
e. CAPAIAN: Anak memiliki kesadaran diri sebagai orang katolik yang diungkapkan
melalui doa, ibadat, diteguhkan oleh tokoh-tokoh heroik dan dibangun dalam
kebersamaan dengan yang lain.

3.2.3. Katekese untuk Remaja (11-14 tahun)


a. KARAKTER: mereka biasanya menciptakan sintetis atau upaya menghubungkan
berbagai pengetahuan yang telah diterimanya untuk membantu proses terbentuknya
identitas diri mereka. Maka sifat pendampingan pengetahuan iman remaja diharapkan

86
sampai kepada identitas agama mereka. Ia mulai lepas dari orang tua dan memiliki
komunitas teman sebaya.
b. FORMATIO: menerima Sakramen Penguatan yang kemudian diteruskan melalui bina
lanjut. Mereka diharapkan bertekun dalam penerimaan komuni dan sakramen tobat, mulai
terlibat menjadi petugas-petugas dalam ibadat, seperti misdinar, lektor dan paduan suara
baik di lingkungan maupun paroki.
c. METODOLOGI: ada pengajaran, pendampingan, peneguhan iman, yang dikemas dalam
dinamika kelompok yang menarik. Kreativitas pendamping dan kekompakan akan sangat
menentukan keberhasilan pendampingan. Sekolah katolik menjadi medan yang kondusif
bagi pertumbuhan iman, penyadaran hidup menggereja bagi anak-anak remaja.
d. FORMATOR: Orang tua berperan sebagai pendorong, guru sebagai pendamping dan
pendamping iman sangat dibutuhkan. Mereka belum bisa berjalan sendiri, tanpa
pendampingan. Pendamping yang punya hati, kreatif, penuh inovasi akan sangat
menentukan keberhasilan pendampingan.
e. CAPAIAN: Anak dalam usia ini diharapkan sudah mampu mengakui/mengungkapkan
imannya secara pribadi, melibatkan diri dalam tugas-tugas gereja serta mengembangkan
communio dengan teman sebaya.

3.2.4. Katekese untuk Orang Muda (15-35 (belum menikah))


a. KARAKTER: Karakteristik pada usia muda ini dari pandangan pengetahuan agamanya,
mereka biasanya sudah mampu menerima hal-hal yang bersifat konseptualitas (eksplisit
maupun abstraksi), Mereka juga menyukai hal-hal yang populer dan peka terhadap
perkembangan budaya serta teknologi yang mempengaruhinya dan situasi-situasi yang
menantang. Sifatnya dinamis dalam pandangan dan gerakan.
b. FORMATIO: pendampingan orang muda memanfaatkan dunia mereka sebagai medan
pendampingan: musik, hobi, dunia maya. dalam dunia mereka dihadirkan Tuhan dan
ditanamkan nilai-nilai injili. Materi pendampingan dikaitkan dengan situasi mereka:
cinta, pilihan hidup, kepedulian sosial, lapangan kerja.
c. METODOLOGI: pengajaran interaktif (Katekese orang muda). Membangun suasana
pendidikan iman dalam komunitas, misalnya kelompok hobi, kelompok teritorial.
Kemasan dan metodologi menjadi sangat penting. Suasana diciptakan dulu, baru isi

87
pelan-pelan dimasukkan.
d. FORMATOR: Seorang yang mau bersama mereka, memahami mereka dan bersama
mereka mencari arah pengembangan iman. Formator tidak menggurui, tetapi menemani
perjalanan iman. Formator kadang teman mereka sendiri. Imam, orang dewasa perlu
menyapa dan meneguhkan apa yang baik dalam diri mereka, serta berani memberi
kepercayaan
e. CAPAIAN: mampu mempertahankan imannya di tengah pilihan-pilihan hidup, serta
mempertanggungjawabkan imannya ketika berhadapan dengan orang lain. Mereka
diharapkan mulai memikirkan keterlibatan dan perannya di tengah gereja dan masyarakat.

3.2.5. Katekese untuk Orang Dewasa (36-60 tahun)


a. KARAKTER: Dalam pendampingan iman usia dewasa, proses menghayati pengetahuan
iman bersifat kritis terutama pada segala macam simbol dan pengetahuan agama. Telah
memperoleh kemapanan hidup dalam keluarga dan kerja. Mereka telah mampu
mengambil peran-peran strategis dalam hidup Gereja dan Masyarakat.
b. FORMATIO: Harapannya, pada usia dewasa ini, mereka telah menerima inisiasi secara
utuh dan memperdalam pokok-pokok iman Katolik semakin mendalam mewujudkan
dalam hidup keluarga dan dalam perannya di tengah gereja dan masyarakat. Pastoral
keluarga sangatlah penting bagi mereka. Iman mampu memaknai hidup keterlibatan dan
aktivitas mereka. Ajaran Sosial Gereja menjadi penting untuk mengasah kepekaan hati
nurani dan membuka kesadaran tanggung jawab sosial.
c. METODOLOGI: Pendekatan dan metodologi yang dikembangkan adalah pengajaran
andragogi (Katekese orang dewasa), metode katekese yang mengupayakan sintesa iman
dan situasi aktual atau yang dikenal dengan katekese umat. Membangun suasana
pendidikan iman dalam pertemuan-pertemuan katekese umat atau sarasehan umat dengan
berbagi pengalaman iman di lingkungan dan kelompok kategorial. Baik juga, tetap
dikembangkan pertemuan rohani terbimbing (retret-rekoleksi).
d. FORMATOR: Formator adalah orang yang sangat memahami kompleksitas hidup
mereka di tengah keluarga, gereja dan masyarakat. Mereka membutuhkan suatu
peneguhan atas pilihan hidup dan keterlibatan mereka, serta membutuhkan arah dalam
setiap aktivitas. Mereka juga seringkali membutuhkan pendampingan dari permasalahan-

88
permasalahan yang mereka hadapi: keluarga, pekerjaan, ekonomi dll.
e. CAPAIAN: Orang dewasa mampu mengekspresikan imannya dalam pilihan sikap dan
tindakan serta dalam kehidupan rumah tangga dan keterlibatan masyarakat. Iman menjadi
sebuah kesaksian hidup. Mereka telah mampu mengambil tanggung jawab untuk
mengembangkan gereja dan mengambil peran dalam tugas-tugas gereja: Word (sabda),
Worship (ibadat), Walfare (pelayanan) dan Witness (kesaksian).

3.2.6. Katekese untuk lansia (60 tahun ke atas)


a. KARAKTER: Pada usia lanjut, seseorang biasanya akan melihat totalitas keseluruhan
pada hidup mereka. Kadang seseorang akan merasa ditinggalkan dengan perasaan pahit
dan putus asa . Tetapi, ada yang merasa bangga dengan prestasi apa yang telah mereka
perbuat dalam seluruh hidupnya. Biasanya pada usia senja ini, aktivitas mereka semakin
terbatas termasuk dalam hal pengetahuan, mental (emosional) dan hidup sosial.
b. FORMATIO: Pendampingan agar makin mampu mengendapkan pengalaman imannya
sehingga hidupnya dilandasi dengan iman, harapan dan kasih. Doa, devosi, ajaran-ajaran
tentang sakramen orang sakit, hidup kekal menjadi bagian yang penting bagi mereka.
Mereka diajak untuk mampu menjalankan kerasulan doa bagi sesamanya.
c. METODOLOGI: Sharing iman yang mengajak mereka berbagi pengalaman iman, doa
dan devosi dalam kerasulan doa untuk menciptakan perjumpaan dengan orang lain.
d. FORMATOR: Pendampingan lansia diharapkan tidak dipisahkan dengan peran keluarga
mereka. Pendamping yang sabar dan mampu memberi pendampingan yang menyegarkan,
meneguhkan dan menjadi teman bagi masa-masa tua mereka. Pendamping dibutuhkan
kesabaran dan perhatian serta ketulusan.
e. CAPAIAN: Harapannya pada usia lanjut ini, mereka telah mensyukuri hidup dan
imannya atas segala rahmat yang diterimanya baik rahmat sakramental, doa dan
pengalaman manusiawi lainnya. Mereka diharapkan mampu memberikan kesaksian iman
dan kerasulan doa untuk orang lain.

89
f.

3.3. Bentuk Katekese Berdasarkan Konteks Situasi Khusus


3.3.1. Katekese Sekolah
Katekese Sekolah adalah pembinaan iman yang ditujukan kepada peserta didik sebagai
bagian dari proses belajar mengajar. Dalam praksisnya, katekese sekolah ini menunjuk pada
Pendidikan Agama Katolik (PAK). Pendidikan Agama Katolik adalah proses pendidikan yang
dilakukan secara terencana dan berkesinambungan mengembangkan peserta didik untuk
memperteguh imannya kepada Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan ajaran Gereja Katolik,
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam hidup di tengah keluarga,
sekolah, masyarakat di mana mereka tinggal.
Isi dari Pendidikan Agama Katolik meliputi 4 pokok bahasan yaitu Pribadi Manusia,
Yesus Kristus, Gereja dan Masyarakat. Keempat pokok bahasan itu menjadi materi pokok
Pendidikan Agama Katolik diberikan pada peserta didik dari tingkat pendidikan Dasar,
Menengah dan Perguruan Tinggi. Tentu bobot masing-masing materi disesuaikan dengan
tingkatan pendidikan.
Mengenai pendekatannya, pembelajaran Pendidikan Agama bisa memakai berbagai
pendekatan, seperti pendekatan naratif experiensial, pendekatan paradigma pedagogi refleksi
(PPR), pendekatan siklus belajar (learning cycle) dan pendekatan scientific. Pendekatan naratif
experiensial adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan kekuatan cerita sebagai
media penyampai pesan. Dalam cerita tersebut, ada berbagai pesan dan nilai-nilai yang dapat
dipetik bagi pengembangan materi atau isi sebuah pembelajaran. Melalui cerita ini pula,
diharapkan proses pembelajaran mudah menggerakkan peserta didik tanpa harus menyodorkan
norma-norma yang bersifat hipotesis (menggurui). Yang diutamakan adalah menyapa hati
(kinousis). Namun, tidak hanya pesan, melainkan yang penting adalah menggiatkan
kemampuan peserta didik untuk semakin memperdalam nilai-nilai kehidupan melalui cerita.
Pendekatan pembelajaran Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) adalah pendekatan
pembelajaran yang memanfaatkan tiga unsur utama yaitu pengalaman, refleksi, dan aksi. Tiga
unsur itu merupakan satu kesatuan proses yang tak terpisahkan. Pertama adalah pengalaman.
Pengalaman merupakan kegiatan yang memuat penyerapan kognitif dan unsur afektif atas
bahan yang dipelajar dan atas apa yang dihayati, dengan cara menanyakan, membayangkan,

90
dan menaggapinya. Pengalaman ini dapat berupa pengalaman yang dimaksudkan adalah segala
pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung, baik faktual maupun aktual, baik yang
terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, adalah refleksi. Refleksi merupakan kegiatan mendalami atau melihat lebih
mendalam, dengan penuh kesadaran, atas berbagai kegiatan dalam proses pembelajaran.
Orientasi kegiatan adalah untuk menemukan nilai, kesadaran, semangat, dan sikap baru. Tujuan
refleksi adalah membentuk sikap untuk mengubah pola berpikir, pola bersikap, pola bertindak
peserta didik. Ketiga adalah aksi. Aksi merupakan perwujudan dan gerakan atau dorongan
batin yang tumbuh sebagai buah dari proses refleksi, baik berupa aksi batiniah maupun aksi
lahiriah sebagai wujud pertobatan atau pembaruan diri peserta didik.
Pendekatan pembelajaran dengan learning cycle ini adalah pendekatan pembelajaran
yang menggunakan unsur eksplorasi, internalisasi dan aksi. Pertama, PAK membutuhkan daya
eksploratif peserta didik untuk menggali pengalaman kehidupan, situasi dan kontekstualitasnya.
Eksplorasi atas berbagai pengalaman dan situasi kehidupan akan memampukan PAK menjadi
lebih mengena, dinamis dan kreatif. Ada banyak kegiatan eksplorasi yang bisa dikembangkan
dalam PAK, antara lain dengan menggali pengalaman aktual, situasional, dan kontekstual.
Kegiatan eksplorasi pun dapat mempergunakan berbagai tehnik, media dan sarana, dari audio,
permainan (kinestetik), multimedia hingga lingkungan luas untuk belajar. Kedua, dalam PAK
diperlukan proses pendalaman atau internalisasi. Proses ini harus menjadi sinergi antara
pengalaman hidup, situasi sosial baik subyektif maupun obyektif dengan bingkai terang imani.
Dalam PAK, proses pendalamannya dikembangkan dengan kegiatan refleksi, yaitu
mengkomunikasikan segala pengalaman atau kisah hidup yang ditemukan dengan visi kristiani
sehingga terjadi proses interpretasi yang bersifat dialektis antara pengalaman itu dengan nilai-
nilai yang ingin diinternalisasi. Melalui interpretasi yang dialektis ini diharapkan terjadi
peneguhan, pembaruan dan transformasi hidup peserta didik.
Ketiga, arah akhir dari PAK adalah perubahan sikap hidup, dalam siklus belajar disebut
dengan penerapan. Pada PAK, penerapan tentu bukan penerapan hasil konsep yang harus
dipraktekkan secara langsung untuk memecahkan masalah. PAK lebih melihat pada perubahan
sikap dan proses internalisasinya. Maka, dalam PAK yang dihasilkan pertama-tama bukan
sekedar hasil teori yang dipraktekkan melainkan sikap apa yang akan dikembangkan dan
dilaksanakan dalam hidup peserta didik.

91
Untuk mengetahui ketuntasan dalam pembelajaran, diperlukan evaluasi atau penilaian.
Penilaian tersebut bukan sekedar untuk mengetahui kedalaman pengetahuan saja, tetapi juga
perubahan sikap dan perilaku yang muncul dari proses pembelajaran tersebut. Disinilah
pentingnya unsur-unsur pedagogis dalam proses katekese sekolah.

3.3.2. Katekese Untuk Kelompok Khusus


Katekese adalah untuk semua orang. Sebagai anggota umat beriman, mereka berhak
mendapat layanan katekese untuk memperdalam imannya dan untuk memperoleh keselamatan
Allah. Di antara umat beriman itu ada umat yang berada dalam kondisi khusus yaitu mereka
yang cacat mental dan jasmani, tersisihkan, narapidana dan beberapa kelompok khusus lainnya
berdasarkan profesinya. Petunjuk Umum Katekese (no. 189-191) menegaskan bahwa mereka
semua pantas mendapat katekese dengan metode dan pendekatan yang sesuai dengan keadaan
mereka.
Katekese itu menjadi bentuk perhatian dan cinta Gereja kepada mereka dalam keadaan
mereka masing-masing. Misalnya kepada mereka yang cacat mental dan jasmani, Gereja hadir
untuk memberikan katekese yang sesuai dengan kondisi mereka baik isi maupun
pendekatannya. Katekese ini melibatkan pula keluarga sebab keluargalah yang sehari-hari
bersama mereka dan bisa berkomunikasi dengan lebih mudah. Katekese kepada yang tersisih
seperti kelompok-kelompok kaum pinggiran atau narapidana perlu diselenggarakan pula.
Mereka justru orang-orang yang perlu diteguhkan, diperhatikan dan didampingi agar mendapat
peneguhan dan pendampingan perjalanan hidup mereka. Pesan Yesus ini kiranya bisa menjadi
peneguh para pelaku katekese, “Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang yang paling hina
ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40-45).
Ada pula kelompok-kelompok profesional dalam bidang masing-masing yang perlu
mendapat katekese. Sekalipun mereka memiliki berbagai keahlian, katekese tetap perlu untuk
mereka sebab kadang-kadang tidak selalu berbanding lurus antara tingginya pendidikan dengan
kedalaman iman. Justru kadang-kadang dijumpai adanya kenyataan bahwa orang-orang yang
demikian itu ada yang lemah imannya dan terbatas pengetahuan kekatolikannya.
Dalam 10 tahun terakhir ini ada banyak bentuk pendampingan iman kaum profesional
dan kaum terdidik ini, diantaranya adalah Kursus Evangelisasi Pribadi, Sekolah Evangelisasi
Pribadi, Kelompok Wanita Terberkati, Kelompok Pria Sejati, Kelompok Karismatik,

92
Komunitas Tritunggal Mahakudus, Kelompok Pengusaha Katolik dan lain sebagainya. Melalui
komunitas dan kegiatan itu kelompok-kelompok ini katekese bisa dijalankan.

3.3.3. Katekese Dalam Konteks Sosio Religius


Petunjuk Umum Katekese menyebut juga adalah kelompok sosio religius yang mendapat
katekese (no. 193-201). Hal ini sangat relevan untuk umat beriman di Indonesia, yang
masyarakatnya sangat pluralistik baik dari segi budaya, suku, maupun agama. Di masing-
masing perbedaan itu terdapat nilai-nilai luhur dan nilai iman yang mengantar mereka kepada
martabat hidup yang lebih luhur. Seperti disampaikan dalam Pernyataan tentang Hubungan
Gereja dengan Agama-Agama lain bukan Kristiani (Nostra Aetate), Gereja mengakui dan
sangat menghargai setiap nilai yang dihayati dan dihidupi oleh agama-agama dan kepercayaan
lain. Oleh karenanya katekese Gereja juga perlu untuk mengembangkan sikap saling menerima
keberadaannya secara tulus, sikap saling menghargai kekayaan masing-masing dan saling
berjumpa, bekerjasama dan hidup bersama dalam damai. Namun bersamaan dengan itu,
katekese hendaknya juga menguatkan iman umatnya agar tetap teguh dalam perjumpaan
dengan mereka yang berkeyakinan lain. Dengan demikian di satu sisi umat semakin beriman
cerdas dan tangguh, namun di sisi lain mereka juga beriman secara inklusif dan dialogis.
Secara khusus terhadap Gereja-Gereja lain, katekese juga mengajak umat untuk
mengembangkan semangat ekumenis. “Setiap komunitas kristiani digerakkan oleh Roh Kudus
untuk mengenal panggilan ekumenisnya dalam lingkungan-lingkungan dan mengambil bagian
dalam dialog ekumenis dan dalam prakarsa-prakarsa untuk membina kesatuan umat kristiani”
(PUK no 197). Kegiatan-kegiatan doa bersama untuk kesatuan umat, kerjasama untuk menjalin
persaudaraan dan saling berjumpa untuk mengatasi prasangka-prasangka dan ketidaktahuan
masing-masing.
Menjadi bagian penting dari katekese ini adalah mengembangkan dan memajukan
pemahaman misioner di antara umat beriman yang diperlihatkan dengan kesaksian yang jelas
akan imannya disertai dengan sikap hormat dan saling mengerti, dengan dialog dan kerjasama
dalam membela hak asasi pribadi manusia dan rakyat miskin dan bila dimungkinkan juga
dengan pewartaan Injil yang eksplisit (bdk. PUK no 200).

93
3.3.4. Katekese dalam Konteks Sosio Budaya
Petunjuk Umum Katekese no. 202 menegaskan perlunya katekese dalam konteks sosio
budaya. Katekese ini diperlukan mengingat fakta hidup umat beriman tidak bisa dilepaskan dari
konteks sosio budayanya. Keadaan sosio-budaya sangat mempengaruhi kehidupan umat dan
masyarakat dalam cara pandang, cara bersikap dan cara memaknai kehidupannya. Sosio-
budaya menjadi konteks hidup sehari-hari. Di tengah situasi itu, Gereja dipanggil untuk
membawa kekuatan Injil ke jantung budaya dan kebudayaan-kebudayaan melalui evangelisasi
dan katekese. Hal itu telah terjadi sejak zaman patristik, dimana katekese Gereja sebenarnya
sangat inkulturatif, sangat dipengaruhi oleh budaya setempat. Oleh karena itu sangat
dimungkinkan dikembangkannya katekese inkulturatif, katekese yang mengintegrasikan
pewartaan dengan budaya yang ada sehingga saling memajukan satu sama lain.
Dalam Petunjuk Umum Katekese (no. 204) secara eksplisit dirumuskan anjuran agar Injil
sungguh bisa bergema dan masuk dalam akar-akar budaya, tidak hanya sekedar memberi unsur
dekoratif, perlu kesediaan Gereja untuk mendengarkan kebudayaan bangsa, untuk membedakan
gema dari sabda Allah; membedakan apa yang mempunyai nilai Injil autentik, yang terbuka
pada Injil, untuk memurnikan apa yang membawa tanda dosa atau kerapuhan manusiawi;
mempengaruhi manusia-manusia dengan merangsang pertobatan kepada Allah, dialog dan
mematangkan batin dengan sabar.
Secara berkala perlu diadakan evaluasi terkait pelaksanaan katekese dalam konteks sosio-
kultural untuk mengetahui apakah katekese yang terjadi menuju ke inkuturasi yang benar,
memberi inspirasi dan bukan hanya sekedar asimilasi konseptual, apakah katekese telah
menyentuh hati dan mengubah perilaku serta melahirkan suatu kehidupan yang dinamis yang
menghasilkan buah-buah kekudusan yang sejati.

3.4. Bentuk Katekese Berdasarkan Proses


3.4.1. Katekese kerygmatis51
Katekese kerygmatis adalah katekese yang diberikan secara searah sebagai bentuk
penerusan ajaran iman. Katekese ini banyak berkembang pada tahun 1960 an dan dipelopori
oleh Josef Jungmann52. Jungmann berpendapat bahwa tempat katekese berada di tengah-tengah

51
http://e-journal.stp-ipi.ac.id/index.php/sapa/article/view/66/60
52
FX. Heryatno Wulung, Katekese Kontekstual: Katekese yang Manjing Kahanan, dalam Pewartaan di Zaman
Globbal, Yogyakarta: Kanisius, 2012, hlm. 117.

94
hidup Gereja. Tugas utamanya adalah mewartakan kepada umat kabar gembira tentang karya
keselamatan di dalam Yesus Kristus. Tujuannya untuk membantu umat secara personal dan
komunal semakin beriman kepada-Nya dengan mencintai dan mengikuti-Nya.
Tekanan katekese kerygmatis ada pada isi pengajaran atau aspek fides quae (apa yang
diakui). Hal ini dimaksudkan untuk mendapat pengetahuan tentang kebenaran yang
diwahyukan oleh Allah. Harapannya dengan pengetahuan mengenai isi iman yang mendalam,
umat beriman dapat memberi jawaban jika imannya ditanyakan. Mereka juga bisa
mempertanggung jawabkan imannya sendiri.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Lumen Fidei (Cahaya Iman) menekankan pentingnya
pengetahuan iman dalam katekese Gereja. “Manusia membutuhkan pengetahuan,
membutuhkan kebenaran, karena tanpanya dia tidak nyaman dan tidak dapat berkembang.
Iman tanpa kebenaran tidak dapat menyelamatkan, tidak dapat memberikan pijakan kaki yang
pasti. Iman semacam itu hanya akan tinggal sebagai kisah indah, proyeksi dari kerinduan
terdalam kita akan kebahagiaan, sesuatu yang dapat memuaskan kita sejauh kita rela menipu
diri kita sendiri. Atau juga, iman seperti itu akan dipersempit pada sekadar perasaan
menyenangkan yang memberi penghiburan dan kegembiraan, namun tetap menggerogoti
pergulatan penuh liku semangat kita serta perubahan situasi, tak mampu bertahan dalam
perjalanan berat sepanjang kehidupan (LF 24).
Jadi dalam katekese kerygmatis, pengetahuan iman menjadi penting dan perlu
disampaikan melalui katekese. Karenanya karenanya katekese kerygmatis lebih berbentuk
pengajaran satu arah, untuk memberikan kedalaman pengetahuan iman untuk mengetahui
kebenaran yang menyelamatkan.

3.4.2. Katekese Umat


Katekese Umat adalah buah dari evaluasi dan refleksi bersama atas katekese yang telah
lama berjalan yang bersifat kerygmatis. Dirasakan di banyak tempat katekese cenderung
berbentuk pengajaran. Umat seperti kertas putih yang perlu diisi tulisan atau seperti cangkir
kosong yang perlu diisi air. Pada hal faktanya, umat juga memiliki kekayaan iman yang pantas
dibagikan. Itulah sebabnya pada Pertemuan Kateketik antar Keuskupan Se Indonesia (PKKI) I
yang diselenggarakan pada tanggal 29 Juni -5 Juli 1977 di Wisma Syalom Sindanglaya-Jawa
Barat, dibicarakan satu tema yang menarik, yaitu MENCARI ARAH KATEKESE DI

95
INDONESIA untuk melengkapi proses katekese yang telah berkembang sebelumnya dan
sekaligus memberi kontekstualisasi katekese di Indonesia. Dan pada PKKI II yang
diselenggarakan di Klender Jakarta pada tanggal 29 Juni-5 Juli 1980, dihasilkan satu bentuk
katekese yang cukup khas di Indonesia yaitu Katekese Umat.
Munculnya Katekese Umat dilatarbelakangi oleh kegelisahan para pelaku katekese yang
melihat katekese lebih sekedar sebagai pengajaran. Katekese yang berkembang cenderung
satu arah dari pemimpin kepada umat, peranan hierarki bersama petugas pastoral sangat
menonjol dan tak terdengar peranan umat. Peserta PKKI mulai menggagas sebuah katekese
yang konteksetual dengan masyarakat Indonesia. Ciri khas orang Indonesia adalah kental
dengan budaya musyawarah. Mereka senang berkumpul, bertemu dan bermuswarah. Ada
banyak hal dibicarakan, didiskusikan dan diselesaikan melalui pertemuan. Semua bisa
berpendapat, semua bisa mendengarkan sampai akhirnya ada keputusan yang disepakati
bersama-sama. Masing-masing orang dihargai kehadiran dan keberadaannya. Mereka memiliki
kemampuan dasar untuk disumbangkan dalam kebersamaannya. Kondisi-kondisi sosiokultural
itu mempengaruhi pemikiran dan gagasan katekese yang khas bagi Indonesia, yang melibatkan
seluruh umat, yakni katekese oleh umat, dari umat dan untuk umat, yang melibatkan seluruh
umat.

a. Unsur-unsur Katekese Umat


1) Pengertian: Katekese Umat adalah komunikasi iman atau tukar pengalaman iman antar
anggota jemaat. Dipercaya bahwa umat memiliki pengalaman iman yang sangat kaya dan
pengalaman itu sebenarnya bisa menjadi sebuah bahan katekese bagi umat lainnya. Oleh
karena itu dalam katekese umat ini pengalaman-pengalaman iman itu justru menjadi
bahan katekese. Mereka saling berbagi pengalaman iman, yang saling menenguhkan satu
sama lain. Tekanannya adalah penghayatan dan pengalaman iman peserta bukan
pengetahuan meski pengetahuan iman tidak dilupakan.
2) Isi: Isi Katekese Umat adalah kesaksian iman pribadi akan Yesus Kristus. Bagaimana
umat menghayati Kristus dalam hidup sehari-hari. Bagaimana Kristus menuntun,
menguatkan, menunjukkan dan melindungi hidup mereka sepanjang masa. Kisah iman
pribadi inilah yang menjadi isi komunikasi iman. Yesus tampil menjadi pola hidup umat
dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

96
3) Peserta: Yang berkatekese adalah umat yang secara pribadi memilih Kristus dan secara
bebas berkumpul untuk lebih memahami Kristus dan menjadikannya sebagai pola hidup
pribadi dan pola hidup bersama. Umat yang dipikirkan menjadi peserta adalah umat yang
berada di dalam kelompok-kelompok basis. Maka PKKI VII di Sawiran, Jawa Timur
yang diselenggarakan pada tanggal 24-30 Juni 2000 membahas keterkaitannya Katekese
Umat dengan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Disadari bahwa untuk mengembangkan
Katekese Umat, diperlukan komunitas jemaat yang menjalankannya. KBG menjadi
tempat yang strategis melaksanakan Katekese Umat. Hal ini juga ditegaskan dalam
Petunjuk Umum Katekese no. 263 dimana KBG menjadi tanda daya hidup Gereja. KBG
sangat efektif untuk katekese karena iklim persaudaraan antar umat beriman. KBG juga
menjadi persekutuan umat yang sangat terbantu oleh katekese untuk memperdalam
semangat communionya. KBG dibangun dan dikembangkan oleh Katekese Umat
menjadi komunitas yang antar anggotanya saling mengenal secara mendalam termasuk
suka dukanya dan saling solider terhadap sesamanya yang sedang mengalami
keprihatinan.
4) Pemimpin: Pemimpin Katekese Umat bertindak sebagai pengarah, pelancar atau
fasilitator. Ia pelayan yang menciptakan suasana komunikatif, membangkitkan gairah
supaya para peserta berani berbicara secara terbuka. Mengingat pentingnya seorang
pemimpin, pada pertemuan PKKI III yang diselenggarakan tanggal 29 Januari – 5
Februari 1984 di Pacet Jawa Timur dibahas mengenai pentingnya pengembangan
ketrampilan untuk para pembina Katekese Umat. Dua ketrampilan yang dituntut dari
pembina katekese umat adalah ketrampilan berkomunikasi dan berefleksi.
a) Ketrampilan berkomunikasi: mengungkapkan diri, berbicara, mendengarkan;
menciptakan suasana yang memudahkan peserta mengungkapkan diri
b) Ketrampilan berefleksi: menemukan nilai-nilai manusiawi dari pengalaman sehari-
hari; menemukan nilai-nilai kristiani dari Kitab Suci, Ajaran Gereja dan Tradisi
Gereja; memadukan nilai-nilai kristiani dengan nilai manusiawi dalam pengalaman
hidup sehari-hari.
5) Kedudukan peserta: Katekese Umat adalah komunikasi iman dari peserta sebagai
sesama dalam iman yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Mereka
saling berdialog secara terbuka, ditandai dengan sikap saling menghargai dan saling

97
mendengarkan.
6) Tujuan: Supaya dalam terang Injil, peserta semakin meresapi arti pengalaman sehari-
hari dan bertobat kepada Allah. Dengan demikian semakin sempurna beriman, berharap,
mengamalkan cinta kasih dan hidup kristiani dikukuhkan, makin bersatu dalam Kristus,
makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan
Gereja semesta; sehingga sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup di
tengah masyarakat.

b. Proses Katekese Umat


Proses Katekese Umat adalah proses di mana terjadi interaksi antar umat sebagai bagian
penting dari katekese ini. Umat dengan tema yang telah ditentukan, bahan yang telah
dipersiapkan sebelumnya dan sambil difasilitasi oleh seorang pemimpin katekese saling
bertukar pengalaman iman atau penghayatan hidup sesuai dengan tema yang telah ditentukan.
Saat bertukar pengalaman itu mereka saling mendengarkan dan saling menginternalisasikan
untuk hidup mereka masing-masing.
Proses katekese umat mirip dengan proses dalam Shared Christian Praxis (SCP). Dalam
proses itu ada enam tahap, yaitu:
1) Focusing yaitu memilih tema yang akan diolah bersama.
2) Naming yaitu mendeskripsikan persoalan yang mau diolah, bisa dari video, gambar,
tulisan, dll
3) Reflecting yaitu mendalami dan menghubungkan dengan nilai, iman, sikap) agar bisa
kritis terhadap persoalan yang ada.
4) The Christian story and vision yaitu mengisahkan kitab suci yang hendak diolah
5) Integrating yaitu menghubungkan naming, reflecting dengan kitab suci dan tradisi
Gereja.
6) Responding yaitu menanggapi untuk ditindaklanjuti sebagai gerakan personal atau
gerakan bersama.
Tata susunan yang biasa terjadi dalam pelaksanaan katekese umat di tengah umat basis
adalah sebagai berikut:
a) Lagu Pembuka
b) Tanda salib, salam, pengantar dan doa pembuka

98
c) Ilustrasi: Kisah pengalaman aktual
d) Pembacaan dan Pembahasan Kitab Suci / Tradisi kristiani
e) Penyampaian Pesan/peneguhan/nilai-nilai yang ditawarkan sebagai integrasi dari
kisah, sharing iman, kitab suci dan nilai-nilai baru yang ditemukan.
f) Doa Umat
g) Bapa Kami
h) Doa Penutup dan Berkat
i) Lagu penutup

3.4.3. Katekese Umat dengan Analisa Sosial


Katekese Umat tidak tidak hanya berbicara mengenai masalah-masalah iman atau
kehidupan beriman. Dalam katekese itu, dibahas juga masalah-masalah sosial yang menjadi
pergulatan hidup umat beriman. Katekese inilah yang kemudian disebut dengan istilah
Katekese Umat dengan Analisa Sosial. Dari Katekese dengan analisa sosial ini diharapkan umat
basis yang menyelenggarakan katekese umat itu bisa membahas masalah-masalah sosial yang
mereka hadapi dan menjadi keprihatinan bersama. Dalam suasana kateketis, masalah-masalah
itu dibicarakan, disharingkan dalam terang iman dan kitab suci dan bersama-sama mencari
solusi atau mengembangkan gerakan-gerakan bersama untuk mengatasi masalah tersebut.
Mengenai proses katekesenya sama dengan katekese umat, hanya topik dan kisah yang
disampaikan lebih berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang menjadi keprihatinan
bersama.

3.5. Bentuk Katekese Berdasarkan Multimedia


3.5.1. Katekese Audio Visual
Tahun 1975, Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik Evangelii Nuntiandi (EN) yang
membicarakan mengenai evangelisasi atau pewartaan Gereja. Paus Paulus VI mengharapkan
agar pewartaan dilakukan dengan metode-metode yang cocok dengan jaman dan kehidupan
umatnya. “Pentingnya isi evangelisasi yang jelas yang tidak boleh menyebabkan kita lalu
mengabaikan pentingnya cara-cara dan sarana-sarana untuk menyampaikannya. Persoalan
bagaimanakah melakukan evangelisasi tetap selalu relevan, karena metode-metode evangelisasi
bermacam-macam, sesuai dengan situasi waktu yang berbeda-beda, situasi tempat dan budaya,

99
dan karena itu menimbulkan tantangan tertentu terhadap kemampuan kita untuk
menemukannya dan mengadaptasikannya” (EN 40).
Salah satu metode atau bentuk pewartaan yang perlu dikembangkan adalah pewartaan
dengan menggunakan media massa. “Abad kita ditandai dengan media massa atau sarana-
sarana komunikasi sosial, dan pewartaan yang pertama, katekese atau pendalaman iman lebih
lanjut tak dapat dilakukan tanpa menggunakan media-media ini, seperti yang telah kami
tekankan. Bila alat-alat ini digunakan untuk melayani Injil, alat-alat tadi dapat memperluas
wilayah di mana Sabda Allah dapat didengar, hampir tanpa batas. Juga alat-alat tadi dapat
menyebabkan Kabar Baik menjangkau jutaan manusia. Gereja akan merasa bersalah di hadirat
Tuhan jika ia tidak memanfaatkan sarana-sarana yang ampuh ini, yang dari hari ke hari semakin
disempurnakan oleh keterampilan manusia. Melalui alat-alat tadi Gereja mewartakan dari atas
atap-atap rumah pesan yang diserahkan kepada Gereja untuk dijaga. Di dalam alat-alat tadi
Gereja menemukan penjabaran secara modern dan efektif mimbar. Berkat alat-alat ini Gereja
berhasil berbicara kepada banyak orang. Meskipun begitu pemakaian alat-alat komunikasi
sosial untuk evangalisasi menimbulkan suatu tantangan. Melalui alat-alat tadi pesan Injil akan
menjangkau sejumlah besar orang, tapi dengan kemampuan menembus hati nurani setiap
individu, menanamkan dalam hatinya seolah-olah dia sendirilah satu-satunya orang yang
disapa, dengan segala sifat-sifatnya yang paling individu dan pribadi, dan membangkitkan
ketaatan dan keterlibatan pribadi” (EN 45).
Satu tahun setelah Ensiklik Evangelii Nuntiandi ini, setiap tahun diadakan Hari Minggu
Komunikasi Sosial Sedunia, tepatnya pada Minggu Paskah ke-7. Pada hari itu, Paus menulis
sebuah pesan melalui tema-tema tahunan agar pewartaan Gereja selalu memperhatikan media
komunikasi sosial yang berkembang pada zamannya. Pesan-pesan Paus itu menginspirasi
Gereja dimanapun untuk mengembangkan katekese yang menggunakan media komunikasi.
Salah satu katekese yang menggunakan media komunikasi itu adalah katekese audio
visual, suatu katekese yang menggunakan radio, televisi, proyektor, tape, komputer yang pada
tahun 1990-2000 berkembang pesat. Sejak itu berkembang katekese dengan menggunakan
kisah-kisah atau film-film pewartaan yang disampaikan secara auditif maupun secara visual.
Dengan media ini, bentuk pewartaan semakin diperbarui dan diperkaya, tidak hanya secara lisan
tetapi dengan media audio visual melalui aneka macam media sehingga menjadi lebih menarik
dan diharapkan semakin berdampak dalam hidup umat.

100
3.5.2. Katekese Digital
Zaman terus berkembang dan teknologi komunikasi semakin canggih. Sejak penggunaan
internet masuk dan berkembang, komunikasi dalam kehidupan berubah total. Perubahan itu
mempengaruhi aktivitas Gereja, salah satunya adalah aktivitas pewartaan. Sejak tahun 2010 an
mulai bergeser dari era audio visual ke arah era digital. Teknologi digital berkembang pesat dan
telah mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita. Perkembangan generasi pun berubah senada
dengan perubahan dan perkembangan zaman terutama dalam berperilaku dan berkomunikasi.
Secara umum, karakteristik era digital ditandai oleh beberapa hal, diantaranya: pertama,
digital dan konvergen, ada proses komputerisasi yang kemudian membuat orang mudah untuk
memindahkan segala data atau konten ke sebuah media di perlbagai platform yang berbeda-
beda. Orang mudah menyimpan dan mengakses dari jarak jauh ataupun mendistribusikannya
ke segala tempat. Disini terjadi proses konvergensi, dimana sebuah pesan atau informasi dapat
diakses orang menggunakan berbagai media dalam satu genggaman saja.
Kedua, interaktif dan saling terkait. Perkembangan teknologi digital yang konvergen dan
multiplexing menjadikan orang mudah terhubung tanpa batas tempat, didukung oleh sistem
world wide web (www). Melalui sistem itu orang dapat mengakses berbagai informasi atau
pesan yang tidak hanya berupa teks tetapi bisa juga berupa gambar, suara, video dan animasi
dan kemudian informasi dengan cepat tersebar secara luas. Komunikasi tidak lagi statis (searah)
tetapi menjadi dinamis (interaktif-dialogis).
Ketiga, virtual dan global mondial, artinya mendunia dan tanpa batas. Kekuatan era
digital didukung jaringan internet menciptakan jejaring sosial yang luar biasa. Ketika orang
memasuki dunia internet dengan segala macam situs, orang saling terhubung secara luas. Dunia
ada dalam satu genggaman. Orang bisa berkomunikasi dengan orang dari belahan dunia secara
real time (langsung). Tidak ada batas waktu, tempat bahkan diferensiasi kategori. Semua
berpeluang berpartisipasi dan berinteraksi secara langsung dan egaliter.
Dalam dunia yang demikian itulah, katekese digital dikembangkan. Ini bukan hanya
sekedar menjawab kebutuhan zaman tetapi juga untuk menjangkau kaum milenial yang
“hidupnya” ada dalam dunia digital tersebut. Mereka lahir dan hidup dalam era digital. Apapun
yang mereka lakukan berbasis media digital sehingga sampai ada ungkapan: no signal no

101
creative, no power no life. Tentu tidaklah sulit bagi mereka untuk menginternalisasi sesuatu
dalam proses digitalizing, yang meliputi komponen pokok visual, infografis dan videografis.
Di era digital ini karakteristik katekese tidaklah pertama-tama dalam bentuk pengajaran,
tetapi lebih bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita,
dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasanya lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu,
bahasa menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa.
Segalanya seakan diciptakan kembali menjadi sesuatu yang kreatif .53
Dalam Buku Hidup di Era Digital54, katekese digital dibedakan dalam 3 jenis yaitu
katekese tentang era digital, katekese menggunakan media digital dan katekese berbasis digital.
a. Katekese tentang Era Digital
Katekese tentang era digital dimaksudkan untuk memahami dan menyadari perubahan
besar yang terjadi di era digital ini. Orang tidak hanya terpengaruh dalam penggunaannya
sebagai sarana, tetapi media digital juga mempengaruhi cara pikir, cara bertindak dan cara
melihat sesuatu. Masuk dalam era digital tidak hanya dibutuhkan kemampuan menggunakan
media digital, tetapi juga sikap kritis dan etis dalam menggunakannya. Katekese tentang media
digital diselenggarakan untuk membantu orang akan mereka sadar akan pentingnya media
digital tetapi juga sadar akan dampak-dampaknya termasuk dampak negatifnya. Mereka
semakin bijak dan mengedepankan sikap etis dalam menggunakannya, sehingga pemanfaatan
media itu memberi dampak baik bagi kehidupan bersama.

b. Katekese Menggunakan media digital


Katekese menggunakan media digital adalah katekese yang didukung oleh sarana-sarana
digital. Di era digital ini atmosfir teknologi media komunikasi menjadi bagian yang makin tak
terpisahkan dari pengembangan aneka macam metode dan suasana katekese. Katekese
menggunakan media digital menjadi semacam peleburan antara penggunakan media digital
dengan prinsip-prinsip pendidikan iman. Proses katekese dioptimalkan melalui segala
perangkat media komunikasi digital. Pelaku katekese memanfaatkan media digital untuk aneka
macam kepentingan dari kepentingan visualisasi, membantu narasi, peneguh, sumber
pendalaman sampai pada sumber penghiburan. Jadi pada katekese ini, media digital difungsikan

53
Bdk. Y.I. Iswarahadi, SJ, 2003. Beriman dengan Bermedia, Yogyakarta: Kanisius, hlm 30-31.
54
Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 55-78

102
sebagai pendukung pelaksanaan katekese agar lebih menarik, mengena dan berdampak dalam
kehidupan peserta katekese.

c. Katekese Berbasis Era Digital


Katekese berbasis media digital adalah katekese yang sungguh menggunakan cara baru
baik dalam kemasan, penyajian, ineraksi dan penuturannya. Media digital tidak lagi hanya
sebagai sebagai sarana tetapi sungguh-sungguh berbasis. Katekese masuk dalam dunia digital,
berbasis internet. Media digital menjadi ruang katekese, dimana orang dengan segala bentuknya
bisa berkatekese dan orang lain dimanapun bisa menjadi peserta katekese baik secara langsung
maupun tidak langsung. Katekese bisa dilakukan dengan proses seperti e-learning. Umat
beriman bisa mendalami materi secara mandiri atau secara interaktif melalui internet. Mereka
bisa browsing atau searching di segala pengetahuan dari internet atau orang bisa secara
interaktif menjalankan katekese melalui media digital berbasis internet, sehingga terjadi
komunikasi iman. Karena internet menjadi basis katekese, maka katekese yang terbangun
menjadi semacam e-katekese, yang antara pelaku katekese dan pewarta berjumpa, berinteraksi
dan berkomunikasi terjadi secara daring (dalam jaringan). Perkembangan zaman yang didukung
oleh teknologi komunikasi sangat memungkinkan dikembangkannya e-katekese tersebut.

4. Glosarium

Andragogi : adalah proses belajar orang dewasa yang diarahkan sendiri


berdasarkan kebutuhan diri yang muncul dari tuntutan situasi yang
selalu berubah.
Antropomorfis : hal-hal yang berhubungan dengan manusia
Beriman dialogis : percaya kepada Tuhan yang membawa orang mampu untuk terbuka
dan menghargai agama lain
Beriman inklusif : percaya kepada Tuhan yang membuat orang bisa semakin terbuka
kelompok atau agama lain
Dekoratif : katekese yang sekedar menempel unsur-unsur budaya tanpa
pengolahan lebih mendalam

103
Devosi : sikap sembah bakti atau penyerahan diri kepada Tuhan atau Santo-
Santa
Ekumenis : ada unsur kesatuan atau kerjasama dengan gereja kristen
Era digital : zaman dimana alat-alat komunikasi berbasis internet menjadi sarana
pokok dalam berbagai aktivitas
Inkulturatif : katekese yang memasukkan unsur-unsur budaya atau dipengaruhi oleh
budaya
Kinestetik-motorik: permainan yang dilakukan dengan gerak
Lektor : seorang pembaca kitab suci dalam perayan Ekaristi
Lex Celebrandi : hukum perayaan liturgi atau hal-hal yang berhubungan dengan
liturgi atau perayaan iman
Lex Credendi : hukum ilahi atau hal-hal yang terkait dengan sumber iman katolik
Lex Orandi : hukum doa atau hal-hal yang berhubungan dengan doa.
Lex Vivendi : hukum kehidupan atau hal-hal yang berhubungan dengan hidup dan
tindakan umat beriman.
Liturgi : perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus yang
dilaksanakan oleh Kristus bersama Gereja-Nya dalam ikatan Roh
Kudus.
Misdinar : petugas liturgi yang melayani imam saat merayakan Ekaristi
Pedagogis : sifat pengajaran dari seorang guru mengembangkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotirik anak didiknya.

5. Daftar Pustaka
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1994
Cheryl Anne Casey. Online Religion and Finding Faith on the Web: An Examination of
Beliefnet.org, 2001
Dewan Karya Pastoral KAS, Formatio Iman Berjenjang, Yogyakarta: Kanisius, 2014
Iswarahadi, SJ, Y.I., Beriman dengan Bermedia, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Julie Anne Lytle , Moving Online: Faith Formation in a DigitalAge, dalam Lifelong
Faith Journal
Kitab Hukum Kanonik, Bogor: Grafika Mardi Yuwana, 2016

104
Komisi Kateketik KWI, Hidup di Era Digital, Gagasan Dasar dan Modul Katekese,
Yogyakarta: Kanisius, 2014
Komisi Kateketik KWI, Model-Model Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial,
Yogyakarta: Kanisius, 1997
Konferensi Waligereja Indonesia (pentj), Kompendium Katekismus Gereja Katolik,
Yogyakarta: Kanisius, 2009
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara (pentj), Katekismus Gereja Katolik, Ende:
Penerbit Nusa Indah, 2007
Kongregasi Untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Jakarta: Dokpen KWI, 2000
Martasudjita Pr, E., Pengantar Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Putranto, SJ, C., Dihimpun untuk Diutus, Yogyakarta: Kanisius, 2019
Purwa Hadiwardoyo MSF, Al, Ajaran Gereja Katolik tentang Evangelisasi, Yogyakarta:
Kanisius, 2020
Rukiyanto SJ, B.A (ed), Pewartaan di Zaman Global, Yogyakarta: Kanisius, 2012
Suharyo, Pr, I, Pemahaman Dasar Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Telaumbauna ODMCap, Dr. Marinus, Ilmu Kateketik, Jakarta: Penerbit OBOR, 1999
Yosef Lalu, Pr, Katekese Umat, Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 2005

105
Kegiatan Belajar 4

Penerapan Katekese
1.Kompetensi Mahasiswa
1.1. Kompetensi Inti
Mahasiswa mampu menguasai pokok-pokok iman dan Tradisi Kristiani yang menjadi
dasar pelaksanaan tugas sebagai guru pendidikan Agama Katolik yang profesional

1.2 Kompetensi Dasar

Peserta diklat memiliki pemahaman yang utuh tentang penerapan katekese, spiritualitas
katekis, pembinaan pelaku katekese dan bagaimana berkatekese dengan sukacita.

1.3.Indikator Capaian Kompetensi


a. Menjelaskan siapa saja para pelaku katekese
b. Menganalisis spiritualitas katekis
c. Menganalisis pembinaan-pembinaan pelaku katekese
d. Mengembangkan semangat berkatekese dengan sukacita

1.4 Tujuan Pembelajaran


Setelah mempelajari Kegiatan Belajar tentang hakekat katekese, mahasiswa diharapkan
mampu:
a. Menjelaskan siapa saja para pelaku katekese
b. Menjelaskan makna tentang spiritualitas Katekis
c. Menganalisis pembinaan-pembinaan pelaku katekese
d. Mengembangkan semangat berkatekese dengan sukacita

106
2. Peta Konsep

3. Uraian Materi
3.1. Pelaku Katekese
3.1.1. Kita semua adalah pelaku Katekese

Kita semua yang telah menerima sakramen baptis secara resmi menjadi pengikut Yesus.
Konsekuensi sebagai pengikut Yesus adalah mewartakan Yesus Kristus dan ajarann-Nya
kepada semua orang di manapun kita berada. Dalam Injil Markus 16:15-18 dikisahkan bahwa
Yesus memberi amanat kepada para murid-Nya agar mereka pergi ke seluruh dunia untuk
memberitakan Injil kepada segala makhluk, serta menyerukan bahwa siapa yang percaya akan
Yesus dan dibaptis, maka akan diselamatkan, tetapi yang tidak percaya akan dihukum. Itulah
tugas perutusan penginjilan dari Yesus kepada para murid-Nya dan tugas perutusan itu, melalui
Gereja, diwariskan juga kepada kita untuk dilaksanakan.

107
Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae : Anjuran Apostolik kepada para
Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, (16 Oktober
1979) menegaskan bahwa penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai
salah satu tugas yang amat penting, yang disadari oleh tugas perutusan dari Yesus sendiri
kepada para murid-Nya (CT.1) dan katekese yang otentik seluruhnya berpusat pada Kristus
(CT.5).
Paus Paulus VI dalam Imbauan Apostolik tentang Evangelii Nuntiandi (Mewartakan
Injil) menyatakan bahwa evangelisasi adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan
jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan injil.(EN.14). Bagi Gereja,
penginjilan berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat kemanusiaan, dan melalui
pengaruh Injil mengubah umat manusia dari dalam dan membuatnya menjadi manusia
baru.(EN.18). Injil harus diwartakan melalui kesaksian hidup (EN.21). Kabar Baik yang
diwartakan dengan kesaksian hidup cepat atau lambat haruslah diwartakan dengan Sabda
Kehidupan. Dan segi yang penting dari pewartaan Sabda Kehidupan adalah kotbah dan
katekese. (EN. 22).
Kongregasi untuk Imam dalam dokumen Petunjuk Umum Katekese menyatakan bahwa
di dalam keuskupan, katekese merupakan pelayanan yang unik yang dilaksanaksatan bersama-
sama dengan para imam, diakon, biarawan, biarawati, dan kaum awam dalam kesatuan dengan
uskup. Seluruh komunitas kristiani hrus merasa bertanggungjawab bagi pelayanan ini. Bahkan
bila pata imam, diakon, biarawan, biarawati dan kaum awam berkatekese secara umum, mereka
melaksanakannya dengan cara yang berbeda-beda, masing-masing sesuai keadaan khusus
dalam Gereja (pelayan-pelayan tertahbis, kaum hidup bakti, dan umat beriman kristiani.
Melalui mereka semua dan fungsi mereka yang berbeda-beda, pelayanan katekese meneruskan
sabda dengan cara yang sempurna dan memberikan kesaksian tentang realitas Gereja.
Seandainya satu dari unsur-unsur ini tidak ada, maka katekese akan kehilangan sesuatu dari
kekayaan serta artinya yang sesungguhnya. (PUK 219.a).
Di lain pihak, katekese merupakan pelayanan Gereja yang fundamental, tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan Gereja. Katekese bukanlah suatu karya yang diwujudkan dalam
komunitas berdasarkan alasan pribadi atau semata-mata karena praksarsa pribadi. Pelayanan
katekese dilaksanakan atas nama Gereja dengan mengambil bagian dalam perutusan. (PUK
219.b).

108
Pelayanan katekese diantara semua pelayanan dan karya Gereja memiliki karakter sendiri
yang muncul dari peran khudus kegiatan katekese dalam proses evangelisasi. Tugas katekis
sebagai pendidik dalam iman berbeda dari tugas para petugas pastoral lainnya (liturgis, karya
amal kasih dan sosial) bahkan bila itu dilaksanakan dalam kerja sama dengan mereka. (PUK
219.c).
Agar pelayanan katekese dalam keuskupan berbuah hasil, maka pelayanan ini harus
melibatkan petugas lainnya, tidak secara khusus katekis yang mendukung menopang kegiatan
katekese dengan melaksanakan tugas-tugas yang tidak bisa dilepaskan seperti; pembinaan
para katekis, penerbitan bahan-bhan katekese, refleksi, organisasi dan perencanaan. Para
petugas ini bersama para katekis melayani karya katekeseyang sama dari keuskupan, bahkan
bila tidak semuanya memainkan peranan yang sama atau bertindak pada basis yang sama.
(PUK 219.d).

3.1.2. Macam-Macam Pelaku Katekese

Dalam dokumen Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menyatakan bahwa pekerja-


pekerja untuk Evangelisasi dimana Gereja secara keseluruhan bersifat misioner. Seluruh Gereja
dipanggil untuk melakukan evangelisasi, namun di dalam Gereja ada bermacam-macam tugas
evangelisasi yang harus dilaksanakan. Keanekaragaman pelayanan dalam kesatuan perutusan
yang sama merupakan kekayaan dan keindahan dari evangelisasi.
Paus Paulus VI menegakan bahwa kami akan menunjukkan dalam halaman-halaman Injil
desakan yang disampaikan oleh Tuhan kepada para Rasul, tugas untuk mewartakan Sabda. Ia
memilih mereka, melatih mereka selama beberapa tahun dalam kelompok yang akrab,
mengangkat dan mengutus mereka untuk pergi ke luar sebagai saksi-saksi yang berwibawa dan
guru-guru untuk mengajarkan pesan penebusan. Dan pada gilirannya kedua Belas Rasul
mengirim pengganti-pengganti mereka, yang dalam garis kerasulan, melanjutkan tugas untuk
mewartakan Kabar Baik. (EN 66).

a. Paus, Pengganti Petrus


Demikianlah pengganti Petrus, atas kehendak Kristus, dipercaya untuk melakukan
pelayanan yang sangat luhur untuk mengajarkan kebenaran yang diwahyukan. Perjanjian Baru

109
kerap kali memperlihatkan Petrus “yang penuh dengan Roh Kudus” berbicara atas nama semua
orang98. Justru atas alasan inilah maka Santo Leo Agung melukiskan dia (Petrus) sebagai orang
yang layak menduduki jabatan “primat” di antara para rasul.” Inilah juga sebabnya mengapa
suara Gereja memperlihatkan Paus “pada puncak tertinggi –in apice, in specula– jabatan para
rasul.” Konsili Vatikan Kedua ingin menegaskan ini kembali ketika ia menyatakan bahwa
“perintah Kristus untuk mewartakan Injil kepada setiap makhluk (lih. Mrk. 16:15) pertama-
tama dan langsung menyangkut para Uskup bersama Petrus dan di bawah Petrus.”
Kekuasaan yang penuh, tertinggi dan universal yang diberikan Kristus kepada Wakil-Nya
untuk memerintah secara Pastoral Gereja-Nya dengan demikian secara khusus dilaksanakan
oleh Paus dalam kegiatan mewartakan dan menyeluruh di wartakannya Kabar Baik tentang
Penebusan. (EN 67).

b. Para Uskup dan Para Imam


Dalam kesatuan dengan pengganti Petrus, para Uskup, yang merupakan pengganti para
Rasul, melalui kuasa tahbisan mereka menerima kewibawaan untuk mengajarkan kebenaran
yang diwahyukan dalam Gereja. Mereka adalah guru-guru iman.
Bersatu dengan para Uskup dalam pelayanan penginjilan dan bertanggung jawab karena
suatu gelar khusus, ialah mereka yang karena tahbisan imamatnya “bertindak dalam pribadi
Kristus”. Mereka adalah pendidik-pendidik Umat Allah dalam iman dan Pengkhotbah-
pengkhotbah, pada saat yang sama sekaligus juga menjadi pelayan-pelayan Ekaristi dan
sakramen-sakramen lainya.
Kita para Gembala oleh karenanya diajak untuk memperhatikan kewajiban ini, lebih
daripada anggota-anggota lain dalam Gereja. Yang memberikan identitas pada pengabdian kita
selaku imam, yang memberi kesatuan mendalam terhadap seribu satu macam tugas yang
menuntut perhatian kita hari demi hari dan sepanjang hidup kita, dan memberikan suatu ciri
khas pada kegiatan-kegiatan kita, ialah tujuan ini, yang selalu ada dalam segala perbuatan kita:
Untuk mewartakan Injil Allah.
Salah satu tanda identitas kita yang tak boleh terhambat karena keragu-raguan dan tak
boleh dikaburkan karena ada pertentangan, ialah ini: sebagai pastor-pastor, kita telah dipilih
oleh belas kasih Gembala Tertinggi,kendati kita tidak layak, untuk mewartakan Sabda Allah
dengan kewibawaan. Juga kita telah dipilih untuk mengumpulkan Umat Allah yang tercerai-

110
berai, untuk memberi makan Umat dengan tanda-tanda karya Kristus yang adalah Sakramen-
sakramen, untuk memberitahu Umat jalan menuju ke keselamatan.
Kita juga telah dipilih untuk menjaga umat dalam kesatuannya, di mana kita termasuk di
dalamnya, pada berbagai tingkatan, sebagai alat-alat yang aktif dalam hidup, dan tak henti-
hentinya menjaga jemaat tadi, yang berkumpul di seputar Kristus agar supaya setia pada
panggilannya yang terdalam. Bila kita melakukan semua hal tadi, dalam batas-batas
kemanusiaan kita dengan rahmat Allah, maka ini semua merupakan suatu karya evangelisasi,
yang kita laksanakan. Hal ini melibatkan kami sendiri sebagai Gembala Gereja Universal,
Saudara-saudara kami para Uskup sebagai pimpinan Gereja-gereja setempat, para imam dan
para Diakon yang bersatu dengan Uskup mereka dan mereka merupakan pembantu-pembantu
Uskup mereka, berkat suatu persatuan yang bersumber pada sakramen Imamat dan dalam cinta
kasih Gereja. (EN 68).

c. Kaum Rohaniwan-rohaniwati
Adapun kaum religius, mereka menemukan dalam hidup mereka yang telah
dipersembahkan kepada Allah suatu sarana khusus untuk melakukan evangelisasi secara
efektif. Pada tingkat paling mendalam dari hidup mereka, mereka tertangkap dalam dinamisne
hidup Gereja, yang haus akan yang mutlak yang ilahi dan dipanggil ke kesucian. Justru dalam
kesucian inilah mereka memberikan kesaksian. Mereka merupakan perwujudan Gereja dalam
keinginannya untuk memberikan diri sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan yang radikal dari
Sabda Bahagia. Melalui hidup mereka, mereka dapat menjadi tanda kesediaan total pada Allah,
Gereja dan saudara-saudaranya.
Secara demikian mereka secara khusus mempunyai peranan penting yang khusus dalam
konteks kesaksian, yang seperti telah kami katakan, sangat penting dalam evangelisasi. Pada
saat yang sama merupakan suatu tantangan bagi dunia dan Gereja sendiri, kesaksian yang diam
mengenai kemiskinan dan penyangkalan, mengenai kemurnian dan ketulusan, pengorbanan diri
dalam ketaatan. Itu semua dapat merupakan suatu kesaksian yang mengesankan, yang mampu
menyentuh hati, juga orang-orang bukan kristen, yang punya kehendak baik dan peka terhadap
nilai-nilai tertentu.

111
Dalam perspektif ini dapat dilihat peranan dalam evangelisasi yang dimainkan oleh para
rohaniwan dan rohaniwati, yang menguduskan diri bagi doa, keheningan, laku tapa dan
pengorbanan. Kaum religius yang lain, dalam jumlah besar, memberikan diri mereka langsung
untuk pewartaan Kristus. Kegiatan misioner: mereka dengan jelas tergantung pada hierarki dan
harus dikoordinasikan dengan rencana pastoral yang diambil oleh hierarki dan harus
dikoordinasikan dengan rencana pastoral yang diambil oleh hierarki. Siapakah yang tidak
melihat sumbangan besar yang diberikan oleh para religius ini dan terus mereka sumbangkan
untuk evangelisasi? Berkat pengudusannya maka mereka sangat suka dan bebas untuk
meninggalkan segala hal dan pergi untuk mewartakan Injil bahkan sampai ke ujung-ujung
bumi. Mereka penuh usaha dan kerasulan mereka kerap kali ditandai dengan suatu keorisinilan,
sikap jenius yang menimbulkan kekaguman. Mereka murah hati: kerap kali mereka
ditempatkan di pelosok-pelosok tanah misi, dan mengambil risiko yang sangat besar untuk
kesehatan mereka, bahkan hidup mereka sendiri. Sungguh-sungguh Gereja berhutang budi pada
mereka banyak sekali. (EN 69).

d. Kaum Awam
Kaum awam, yang oleh karena panggilan khusus mereka ditempatkan di tengah-tengah
dunia dan diberi tugas-tugas duniawi yang sangat beraneka macam, justru karena alasan-alasan
tadi tentu melaksanakan suatu bentuk evangelisasi yang sangat khusus.
Tugas mereka yang pertama dan utama bukanlah untuk mendirikan dan mengembangkan
jemaat gerejani–tugas ini merupakan peranan khusus dari para pastor–tetapi untuk
menggunakan setiap kemungkinan kristiani dan penginjilan yang tersembunyi tetapi sudah ada
dan aktif dalam urusan-urusan dunia. Bidang mereka di dalam kegiatan evangelisasi ialah dunia
politik yang luas dan kompleks, bidang kemasyarakatan dan ekonomi, tapi juga dalam bidang
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan seni, kehidupan internasional, bidang media massa. Juga
mencakup kenyataan-kenyataan lain yang terbuka bagi evangelisasi, seperti misalnya cinta
kasih manusiawi, keluarga, pendidikan anak-anak dan kaum remaja, kerja profesional,
penderitaan. Semakin banyak kaum awam yang mendapat ilham dari Injil sibuk dalam
kenyataan-kenyataan tadi, yang dengan jelas terlibat di dalamnya, mampu untuk
memajukannya dan sadar bahwa mereka harus melaksanakan sepenuh-penuhnya kekuatan-
kekuatan kristen, yang kerap kali terkubur dan tercekik, maka semakin siaplah kenyataan-

112
kenyataan tadi untuk melayani Kerajaan Allah dan oleh karenanya juga penebusan dalam Yesus
Kristus. Ini semua terjadi tanpa kehilangan atau mengurbankan isi manusiawinya tetapi
menunjukkannya ke suatu dimensi yang transendens yang kerap kali diabaikan. (EN 70).

e. Keluarga
Tak dapat tidak orang harus menekankan kegiatan evangelisasi dari keluarga dalam
kerasulan evangelisasi kaum awam. Pada saat-saat yang berbeda-beda di dalam Sejarah Gereja
dan juga di dalam Konsili Vatikan Kedua, keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai
“Gereja rumah tangga (domestik)”.106 Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga kristiani
hendaknya terdapat macam-macam segi dari seluruh Gereja. Lebih lanjut, keluarga, seperti
halnya Gereja, harus merupakan suatu tempat di mana Injil diteruskan dan dari mana Injil
bercahaya.
Di dalam suatu keluarga yang sadar akan perutusan tadi, semua anggota melakukan
evangelisasi dan menerima evangelisasi. Orangtua tidak hanya mengkomunikasikan Injil
kepada anak-anak mereka, tetapi dari anak-anak mereka orang tua sendiri dapat menerima Injil
yang sama, seperti yang dihayati secara mendalam oleh mereka. (EN 71)

f. Kaum Muda
Keadaan mengundang kami untuk menyebutkan secara khusus kaum muda. Jumlah
mereka yang bertambah dan kehadiran mereka yang semakin berkembang di dalam masyarakat
dan begitu pula persoalan-persoalan yang menimpa mereka semoga membangkitkan dalam diri
setiap orang hasrat untuk dengan semangat dan kecerdikan memberikan cita-cita Injil sebagai
sesuatu yang harus dimengerti dan dihayati. Namun di lain pihak, kaum muda yang terlatih baik
dalam iman dan doa, haruslah makin lama makin menjadi rasul-rasul bagi kaum muda. Gereja
sangat menghargai sumbangan mereka, dan kami sendiri telah kerap kali menyatakan
kepercayaan kami yang penuh pada mereka. (EN 72).

g. Para pelayan yang bermacam-macam

“Kehadiran yang aktif dari kaum awam dalam hal duniawi sangatlah penting. Namun tak
dapatlah diabaikan atau dilupakan dimensi yang lain: Kaum awam dapat juga merasa bahwa

113
diri mereka dipanggil, atau harus dipanggil, untuk bekerja dengan pastor-pastor mereka dalam
melayani jemaat gerejani, demi untuk perkembangan dan hidup Gereja, dengan melaksanakan
bermacam-macam pelayanan, sesuai dengan rahmat dan karisma-karisma yang telah diberikan
oleh Tuhan kepada mereka.
Tak dapat tidak kita akan merasa kebahagiaan batin yang besar bila kita melihat begitu
banyak pastor, kaum religius dan kaum awam, yang terbakar oleh perutusan mereka untuk
melakukan evangelisasi, selalu berusaha mencari jalan-jalan yang lebih sesuai untuk
mewartakan Injil dengan efektif. Kami mendorong keterbukaan yang diperlihatkan oleh Gereja
pada zaman sekarang ini dalam arah ini dan keprihatinannya dalam hal ini. Terutama
keterbukaan terhadap renungan, dan kemudian juga kepada pelayan-pelayan gerejani yang
mampu untuk memperbaharui dan mengokohkan kekuatan Gereja dalam melakukan
penginjilan. Tentu saja bahwa, bersama-sama dengan para pelayanan tertahbis, di mana
sejumlah umat tertentu ditunjuk sebagai pastor-pastor dan menguduskan diri mereka secara
khusus untuk melayani jemaat, maka Gereja mengakui pula peranan para pelayanan-pelayanan
yang tidak ditahbiskan, yang dapat memberikan suatu pelayanan yang khusus kepada Gereja.
Bila kita melihat asal-usul Gereja, maka hal tersebut akan sangat memberikan
penerangan, dan memberikan manfaat yang berasal dari pengalaman awal dalam hal para
pelayan. Merupakan suatu pengalaman yang lebih bermanfaat lagi karena memungkinkan
Gereja memperkokoh diri dan berkembang serta meluas. Namun perhatian terhadap sumber-
sumber tadi harus dilengkapi dengan perhatian pada kebutuhan kebutuhan sekarang ini, baik
dari umat manusia maupun dari Gereja. Menimba dari sumber-sumber yang selalu memberikan
inspirasi tapi tanpa mengorbankan sesuatu pun yang berkaitan dengan nilai-nilai, dan sekaligus
juga mengerti bagaimanakah harus menyesuaikan diri pada tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-
kebutuhan pada zaman sekarang ini. Hal-hal ini merupakan kriteria yang akan memungkinkan
kita mencari dengan bijaksana dan menemukan pelayan-pelayan yang dibutuhkan Gereja dan
yang dengan senang hati akan dilaksanakan oleh banyak anggota Gereja, demi untuk menjamin
vitalitas yang semakin besar dalam jemaat gerejani. Para pelayan tadi akan merupakan suatu
nilai pastoral yang riil sejauh mereka ditetapkan, dengan tetap menghormati secara mutlak
kesatuan dan tunduk pada petunjuk-petunjuk para pastor, yang bertanggung jawab mengenai
kesatuan Gereja dan oleh karenanya juga merupakan para pembangun.

114
Para pelayan ini, meskipun kelihatannya baru tapi erat terhubung dengan pengalaman
hidup dari Gereja selama berabad-abad, seperti misalnya para katekis, para pemimpin doa dan
nyanyian. Demikian pula orang-orang kristen yang membaktikan diri pada pelayanan Sabda
Allah atau membantu saudara-saudara mereka yang kekurangan, para pimpinan jemaat-jemaat
kecil, atau orang-orang lain yang diserahi tugas untuk mengurus gerakan-gerakan kerasulan.
Pelayan-pelayan tadi sangatlah berharga bagi pembangunan Gereja dalam mempengaruhi
sekitarnya dan menjangkau mereka yang jauh dari Gereja. Kita juga harus memberikan
penghargaan khusus kepada semua kaum awam yang bersedia untuk mengorbankan sebagian
waktu mereka, energi mereka, dan kadang-kadang seluruh hidup mereka, untuk pengabdian
bagi karya-karya misi”. (EN 73)
Suatu persiapan serius diperlukan untuk semua pekerjaan evangelisasi. Persiapan
semacam itu semakin lebih perlu lagi untuk mereka yang membaktikan diri mereka bagi
pelayanan Sabda. Dijiwai oleh keyakinan, yang terus menerus diperdalam, akan kebesaran dan
kekayaan Sabda Allah, maka mereka yang mempunyai perutusan menyampaikannya, harus
memberikan perhatian yang sepenuh-penuhnya pada martabat, ketepatan dan kesesuaian
bahasa yang mereka pakai. Setiap orang tahu bahwa seni bicara zaman sekarang ini sangatlah
penting. Bagaimanakah para pengkhotbah dan para katekis dapat mengabaikan hal ini? (EN 73)

3.2. Spiritualitas Katekis /Guru Agama Katolik

3.2.1. Makna Spiritualitas


Berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti semangat, spirit, jiwa, atma, sukma,
roh. Sedangkan kata spiritual berarti kejiwaan, rohani batin, mental dan moral (KBBI).
Spiritualitas (spirituality) adalah praktik dan permenungan sistematis atas hidup kristiani yang
ditandai oleh doa. Di dalamnya pembimbing rohani dengan terang Roh Kudus membantu untuk
menjernihkan arah ke mana pribadi-pribadi atau komunitas melangkah (bdk. 1 Tes 5:19-22; 1
Yoh 4:1). Aliran atau gaya spiritualitas seringkali mengikuti karisma-karisma tarekat seperti
Benediktin, Karmelit, Dominikan, Fransiskan, Ignasian (Yesuit), Berthinian dan sebagainya.
Sebagai ilmu atau bidang studi, spiritualitas mencakup unsur-unsur teologis, liturgis, Kitab
Suci, sejarah, psikologis dan sosial (lihat O’Collins Gerald, SJ & Farrugia G Edward,
SJ, Kamus Teologi, Kanisius, 1996).

115
Spiritualitas dapat dirumuskan sebagai hidup berdasarkan Roh Kudus secara metodis
mengembangkan iman, harapan dan cinta kasih atau sebagai usaha mengintegrasikan segala
segi kehidupan ke dalam cara hidup yang secara sadar bertumpu pada iman akan Yesus Kristus
atau sebagai pengalaman iman Kristiani dalam situasi kongkrit masing-masing orang.
Spiritualitas atau kehidupan rohani mencakup seluruh kehendak orang beriman dan tampak
sebagai buah Roh Kudus dalam doa, kegembiraan, pengorbanan dan pelayanan sesama
manusia (lihat A. Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja Katolik di Indonesia, CLC, 1989).
Mengikuti Kristus adalah cita-cita dan praktik hidup yang ditemukan dalam tradisi
kristiani yang paling tua (bdk. 1 Tes 1:6). Dalam surat-surat Rasul Paulus, mengikuti Kristus
juga dikaitkan dengan mengikuti rasul sendiri (bdk. 1 Kor 4:16; 11:1; 2 Tes 3:7). Bagi St. Paulus
mengikuti Kristus berarti pembebasan dari dosa dan penyangkalan diri yang membuat orang
beriman hidup sesuai dengan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus (bdk. Rm 6:1-11), berarti
juga kesediaan untuk dibentuk oleh Roh Kudus (bdk. Rm 8:4, 11) dan memberikan pelayanan
kasih kepada orang lain (bdk.1 Kor 13; Gal 5:13). Injil-injil secara khusus berbicara tentang
mengikuti Yesus secara pribadi sebagai kesediaan untuk melayani sesama yang membutuhkan
(bdk Luk 10: 29- 37)) dan mengikuti Anak Manusia melalui kesengsaraan menuju kemuliaan
(bdk Mrk 8:31-38).

3.2.2. Berpedoman pada Spiritualitas Yesus Kristus


Yesus Kristus, Tuhan dan Guru telah memperkenalkan diri-Nya sebagai Gembala yang
baik (bdk. Yoh 10:11-14), bukan hanya bagi orang Israel, melainkan juga bagi segenap umat
manusia (bdk. Yoh 10:6). Sebagai Guru, Ia berkeliling ke semua kota dan desa dan mengajar
dalam rumah-rumah ibadah seraya memberitakan Injil, Kabar Gembira tentang Kerajaan Allah
(bdk. Mat 9:35). Sebagai Gembala yang baik, Ia mengenal domba-domba-Nya dan memanggil
mereka masing-masing dengan namanya (bdk. Yoh 10:3). Ia menuntun mereka ke padang
rumput yang hijau dan sumber-sumber air yang tenang (bdk. Mzm 22-23). Ia
menyediakan perjamuan bagi mereka dan memberi santapan dengan hidup-Nya sendiri supaya
mereka memiliki hidup, bahkan hidup yang berkelimpahan (bdk. Yoh 10;10).
Tugas mengajar dan menggembalakan ini selanjutnya dipercayakan Yesus kepada para
murid-Nya. Ia bersabda kepada mereka: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka dalam nama Bapak, Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan

116
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 18:19). Dan kepada mereka Ia
berpesan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-19).
Tugas perutusan yang sama dipercayakan Yesus Kristus kepada semua umat beriman
yang telah menjadi murid-murid-Nya berkat Permandian dan Penguatan. Oleh karena itu,
semua umat beriman dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam tugas mengajar,
menggembalakan, dan menguduskan. Oleh sebab itu, bersama seluruh umat Allah sedunia, para
katekis secara khusus menerima kehidupan dan inspirasi dari pribadi Yesus Kristus Sang Guru
dan Gembala yang baik dan terpanggil untuk membawa kepenuhan hidup dan pembebasan
kepada mereka yang diserahkan di bawah bimbingannya, agar terwujud kehidupan beriman
yang dewasa dan terlibat dalam membangun Gereja serta masyarakat (lihat Spiritualitas dan
Tugas Para Pewarta dalam buku “ Menggalakan Karya Katekese di Indonesia”, Kanisius,
1997)

3.2.3. Kehidupan Beriman Seorang Guru Agama/ Katekis


Selama kita berkembang secara rohani, kita sadar bahwa kehidupan kita merupakan
medan perang antara kekuatan-kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan jahat sepanjang
masa. Sering kita bertanya bagaimana kita dapat membedakan dan memilih jalan-jalan yang
mengikuti kekuasaan baik melawan yang jahat? Bagaimana melangsungkan kehidupan kita
sesuai rencana Allah?
Sebagai seorang katekis yang hidup dalam masyarakat, kita mempunyai tugas
mewartakan rencana penyelamatan Tuhan. Kita harus mampu membedakan kekuatan-kekuatan
baik dengan kekuatan-kekuatan jahat. Supaya dapat membedakan roh-roh baik dan roh-roh
jahat, kita harus: mendalami, mengembangkan terus menerus kehidupan rohani melalui latihan-
latihan rohani dan emosional kita dan tidak kunjung berhenti didukung dan dikembangkan oleh
komunitas institusional yang paling dasar. Untuk itu perlu kita perhatikan hal-hal berikut ini:

a. Pengembangan Hidup Rohani


Dalam diri kita selalu ada dorongan ke arah yang baik dan yang jahat. Di satu pihak
terdapat kekuatan-kekuatan bawaan yang mendorong kita menuju kepuasan diri dan akhirnya
sampai ke egoisme, di pihak lain, kekuatan-kekuatan baik menarik kita ke sikap pengabdian
demi orang lain, keakraban, kebenaran, dan kesatuan. Apakah ada jaminan bahwa orang mau

117
mengikuti yang baik? Bagi orang Kristen, rahmat memungkinkan gerak menuju sikap demi
orang lain, gerak yang disebut pengembaraan rahmat, yang hasilnya adalah harapan dan cinta.
Leonardo Boff menulis, “rahmat merujuk kepada pengalaman Kristiani yang paling
mendasar dan paling asli. Rahmat adalah pengalaman akan Allah yang begitu mencintai
manusia hingga memberikan diri-Nya. Rahmat, pengalaman insan pula, yang sanggup dicintai
Allah dengan menyingkapkan diri kepada kasih dan hubungan sebagai putra”. (Brian P.
Hall, Hall P. Brian, Panggilan Akan Pelayanan; Citra Pemimpin Jemaat, Kanisius, 1996).
Jadi, rahmat merupakan pengalaman manusia akan Allah yang paling mendasar. Ini
berarti kita percaya akan Tuhan yang sungguh-sungguh pribadi. Allah yang menciptakan alam
semesta; matahari, bulan, bintang-bintang, galaksi-galaksi, planet bumi ini, yang men-ciptakan
seluruh kehidupan biologis, telah menjalin hubungan langsung dengan nenek moyang kita. Ia
menciptakan sejarah bagi kita lewat Abraham, Musa, Daud, dan para nabi. Dengan mereka
dimulailah hubungan perjanjian. Jawaban terhadap pengalaman akan Allah ini disebut Iman.
Pengalaman akan Allah yang paling pribadi bagi seorang Kristen terjadi dalam pribadi Yesus
dari Nasaret. Yesuslah pengalaman rahmat, anugerah yang paling agung, dan penjelmaan
segala nilai serta prioritas yang menurut kehendak Tuhan kita hidupkan dalam perjanjian
dengan-Nya.
Hubungan kita dengan Kristus telah memberikan kepada kita kepastian diselamatkan.
Seperti Yesus mengindahkan yang miskin dan yang dibuang, menyembuhkan yang sakit dan
membantu yang tertindas oleh ketidakadilan dipermukaan bumi ini, demikian pula kita
dipanggil dan disemangati oleh nilai-nilai yang sama. Bila kita menerima semua ini, kepada
kita dijanjikan dukungan pengampunan bila kita tersesat dan hidup baru tidak hanya bagi kita
sendiri, tetapi juga bagi mereka yang dekat dengan kita. Hidup baru ini adalah pengalaman
kebangkitan sesudah meninggal, memberikan makna kepada kehidupan kita, kreativitas, dan
cinta kasih setiap kali kita berkorban demi orang lain. Iman yang benar
merupakan syarat mendasar demi pertumbuhan rohani. Inilah jawaban pribadi terhadap
pengalaman kita akan Allah.
b. Membaca Kitab Suci; Berdialog dengan Tuhan
Nilai-nilai dan prioritas hidup kita adalah nilai-nilai yang menyemangati hidup kita.
Mulailah menjalin hubungan dengan nilai-nilai itu dengan doa harian dan perenungan dengan
membaca Kitab Suci dan juga membaca riwayat hidup orang-orang kudus yang hidupnya

118
menghayati nilai-nilai injili berkat hubungan mereka dengan Tuhan, seperti Ibu
Teresa, dan orang-orang suci lainnya.
Bila kita mendalami Kitab Suci dan memperhatikan cara-cara umat zaman dahulu
mengalami Allah, kita sadar akan adanya sikap iman, suatu teologi mengenai apa artinya iman
kita. Perjalanan rohani kita sangat ditentukan oleh bagaimana kita mendalami dan mencerna
Kitab Suci. Mustahil kita disemangati oleh nilai-nilai injili jikalau kita tidak mendalami Injil.

c. Meditasi
Meditasi (meditare – Lat. = merenung) adalah doa batin dengan merenungkan Kitab Suci
atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan merenungkan Kitab Suci atau tema-tema rohani
yang lain, untuk mencapai kesatuan dengan Allah dan memperoleh pemahaman atas kehendak
ilahi. Meditasi biasa dilakukan sesudah pembacaan kitab suci, situasi santai dan lepas bebas,
hening dan diam, menunggu sampai Allah berbicara. Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula,
latihan meditasi langkah demi langkah akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi
yang lebih tinggi.
Kontemplasi adalah salah satu bentuk doa hening. Dalam doa ini akal budi dan imajinasi
kurang aktif. Orang yang berdoa memandang Allah dan rahasia-rahasia ilahi dalam kasih. Kalau
kontemplasi dialami lewat latihan-latihan yang tekun, disebut kontemplasi “yang diperoleh”.
Kalau kontemplasi ini dialami sebagai pemberian khusus dari Allah, di sebut “yang
dianugerahkan”.

d. Mengenal Diri Sendiri


Ada seruan, “Kenalilah Dirimu Sendiri”. Brian P. Haal dalam buku, “Leadership
Through Values” menyebutnya sebagai Integrasi Pengetahuan. Seorang Katekis/Rasul
Awam/Guru Agama harus memiliki pengetahuan dasar agama (kitab suci, teologi, liturgi,
pastoral, moral) yang terus menerus dikembangkan sebagai konsekwensi dari profesinya.
Kita harus memahami secara mendalam sumber-sumber iman Kristen Katolik. Kita harus
menjadi seorang pendidik iman yang cakap dan beriman. Kita harus bekerja/berusaha keras
mengembangkan bakat-bakat kita. Selain cakap dalam profesi dan beriman, kita juga harus
mengembangkan keterampilan lain sebagai pelengkap agar tidak tertinggal dalam
perkembangan. Sebagai seorang Katekis kita sebaiknya memiliki:

119
3.3. Pembinaan Pelaku Katekese

3.3.1. Pembinaan Pelaku Katekese di Gereja Indonesia.

Pembinaan pelaku katekese umat menjadi sangat penting dalam karya katekese, baik di
lingkup umat basis, atau lingkungan rohani maupun di lingkup sekolah atau dimana saja
kegiatan katekese itu dilaksanakan. Berkaitan dengan pembinaan pelaku katese ini, kita dapat
merujuk pada hasil Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia ke tiga (PKKI III)
tahun 1984 di Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.

a. Pembina Katekese Umat


Pembina Katekese Umat ialah seorang yang mampu dan rela untuk menjalankan katekese
umat (KU) dalam kelompok umat (komunitas basis, lingkungan, kring, dll). Pembina
Katekese umat ini sangat dibutuhkan untuk melancarkan proses pelaksanaan katekese
umat. Dalam bersaksi tentang iman akan Yesus Kristus, yang diharapkan dari seorang
pembina katekese umat antara lain:
1) Pribadi beriman Katolik yang sadar akan panggilan Roh untuk melayani sesama umat
dalam kelompok umat dalam kelompok umat dasar.
2) Pribadi yang rela dan mampu mengumpulkan, menyatukan dan membimbing kelompok
umat dasar untuk melaksanakan katekese umat sebagai suatu proses komunikasi iman
yang semakin berkembang.
3) Pribadi yang menghargai setipa peserta kelompok katekese umat dengan segala latar
belakang dan situasinya.
4) Pribadi yang berperan sebagai pengarah dan pemudah untuk menciptakan suasana yang
komunikatif di dalam kelompok umat dasar yang dilayani.

b. Pembinaan Pembina Katekese Umat


Pembinaan Pembina Katekese Umat menurut PKKI III terdapat beberapa
kemampuan/ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang pembina katekese umat. Dalam
proses pembinaan, pembina katekese umat itu sendiri harus merupakan suatu proses
katekese umat. Pelaksanaan pembinaan pembina katekese umat ini harus sesuai dengan
garis-garis kebijakan Konferensi Waligereja dan Gereja atau keuskupan setempat .

120
Adapun kemampuan/ketrampilan pembina katekese umat ialah:
1) Kemampuan/ketrampilan berkomunikasi iman
Komunikasi yang seharusnya terjadi dalam katekese umat adalah komunikasi antara
orang-orang dengan pengalaman tertentu pada situasi tertentu yang dilatarbelakangi
kebudayaan tertentu.Komunikasi yang terjadi itu hendaknya menjadi komunikasi iman.
Dalam katekese umat, komunikasi iman ini menuju/berpusat pada kehadiran Kristus
yang dialami dan dihayati oleh orang-orang Kristiani sekarnag ini di mana-mana,
yang telah dimulai sejak zaman para rasul.

Secara praktis kemampuan/ketrampilan berkomunikasi yang perlu ditekankan antara


lain:
a. Kemampuan/ketrampilan mengumpulkan, menyatukan dan mengarahkan kelompok
sampai kepada suatu tindakan nyata.
b. Kemampuan/ketrampilan mengungkapkan diri, berbicara dan mendengarkan.
c. Kemampuan/ketrampilan menciptakan suasana yang memudahkan peserta untuk
mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman orang lain.

2) Kemampuan/ketrampilan berefleksi
Katekese umat merupakan komunikasi iman.Komunikasi iman bukanlah hanya
sekedar informasi, melainkan suatu kesaksian iman.Itu berarti bahwa pembina katekese
umat adalah seorang yang menyadari dan yang memberi kesaksian tentang pengalaman
imannya.
Demi kesaksian iman tersebut pembina katekese umat dilatih berefleksi atas
pengalaman imannya.
Secara praksis pembina katekese umat dilatih untuk:
a. Mampu/trampil menemukan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-
hari.
b. Mampu/trampil menemukan nilai-nilai Kristiani dalam Kitab Suci, Ajaran Gereja
dan Tradisi Kristiani lainnya.
c. Mampu/trampil menggumuli nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan konkrit.

121
c. Bentuk-Bentuk Pembinaan Pembina Katekese Umat
Hal-hal yang dipikirkan dan ditemukan pada pokoknya berdasarkan kebutuhan-
kebutuhan konkrit seorang pembina katekese umat dalam situasinya. Oleh karena itu suatu
bentuk yang bersifat menyeluruh sulit untuk dirumuskan. Namun dalam setiap bentuk yang
ditampilkan dalam PKKI III, ditemukan suatu proses kateketis yang merupakan kerangka
dasar dari suatu bentuk pembinaan pembina katekese umat.

Proses kateketis itu mempunyai unsur-unsur pokok sebagai berikut:


1) Pengalaman/praktek hidup: Katekese Umat sebagai komunikasi iman merupakan proses
kesaksian yang berpangkal pada apa yang sungguh dialami. Maka prosesi ini sebaiknya
bertolak dari pengalaman konkrit para peserta katekese umat.
2) Komunikasi pengalaman iman: Pengalaman konkrit tersebut dikomunikasikan di antara
para peserta katekese umat. Dalam komunikasi ini diungkapkan keprihatinan maupun
kegembiraan hidup yang pada waktu itu sedang dialami.
3) Komunikasi dengan tradisi Kristiani: Iman kita didasari oleh pribadi Kristus sendiri dan
iman para rasul akan Dia sebagai Penyelamat. Maka komunikasi iman tidak bisa
terlepas dari kesaksian para rasul tersebut, yang pertama-tama terungkap dalam Kitab
Suci dan yang dihayati oleh Gereja sepanjang masa sampai saat ini. Maka dari itu
komunikasi iman juga menyangkut ajaran Gereja yang secara resmi diteruskan oleh
Hirarki. Tradisi Kristiani harus juga dimengerti secara luas menyangkut tradisi
spiritualitas, liturgi, dan segala praktek hidup Gereja yang menampakkan Kristus.
4) Arah keterlibatan baru: Kelompok murid-murid Kristus adalah kelompok yang
dipanggil dan diutus. Maka KU sebagai komunikasi iman harus menolong para peserta
KU untuk mengalami panggilan mereka itu dan menjalankan pengutusan mereka. Untuk
itu komunikasi iman terarah kepada pembaharuan hidup dan keterlibatan kelompok
umat dalam pengembangan masyarakat. Hal ini perlu diungkapkan dalam bentuk
perencanaan yang konkrit. Kalau perencanaan itu dijalankan, maka pengalaman dan

122
praktek baru dialami lagi oleh kelompok. Dan dari sini dimulai lagi proses kateketis
yang baru.

d. Faktor-Faktor Penunjang Pembinaan Pembina Katekese Umat


Faktor-faktor penunjang pembinaan pembina katekese umat yang ada antara lain:
1) Adanya dorongan dan dukungan moril dan finansial dari umat secara keseluruhan.
2) Mulai terasa kebutuhan umat untuk mengembangkan kehidupan berimannya.
3) Adanya tenaga-tenaga pelaksana pembinaan pembina katekese umat dan pembina
katekese umat itu sendiri.
4) Adanya sumbangan yang sungguh terasa dari lembaga-lembaga Pendidikan Kateketik
dan Pastoral.
5) Tersedianya sarana-sarana penunjang yang meliputi: dana, gedung, peralatan, buku-
buku, alat peraga, dll.

e. Faktor-Faktor Penghambat Pembinaan Pembina Katekese Umat


Ada beberapa faktor penghambat Pembinaan Pembina Katekese Umat yang perlu
dipertimbangkan, antara lain:
1) Di beberapa tempat, baik di tingkat Keuskupan maupun di tingkat yang lebih rendah,
dirasa kurang adanya kebijaksanaan dan kerjasama antara pemimpin-pemimpin umat,
dalam memberikan pedoman, bimbingan dan evaluasi untuk kegiatan katekese pada
umumnya.
2) Mentalitas dikebanyakan tempat, masih bersifat feodal, sukuis dan hirarki-sentris.
3) Tenaga-tenaga pembina katekese umat sendiri masih dirasa kurang jumlahnya. Dari
jumlah ini, ada yang belum menghayati visi Gereja yang baru, dan masih kurang
memahami katekese umat.
4) Di beberapa tempat, letak pemukiman umat yang sulit terjangkau cukup menghalangi
kelancaran pembinaan pembina katekese umat.
5) Dana dan sarana-sarana penunjang lainnya yang dirasa masih kurang, turut
mempengaruhi kelancaran pembinaan pembina katekese umat.

f. Harapan Peserta PKKI III dengan Pembinaan Pembina Katekese Umat ialah:

123
1) Meningkatkan baik jumlah maupun mutu Pembina Katekese Umat. Usaha pembinaan
pembina katekese umat ini baik awal maupun lanjutan sangat dibutuhkan entah di
tingkat Keuskupan, paroki atau yang lebih dasar demi keberhasilan katekese umat.
2) Adanya barisan pembina katekese umat yang dibina secara terus-menerus serta dibantu
oleh faktor-faktor penunjang yang tersedia, memungkinkan katekese umat lebih mudah
terlaksana.
Dengan demikian, kita Umat Katolik semakin meresapi arti pengalaman hidup sehari-hari
dalam terang Injil, bertobat kepada Allah dan makin menyadari kehadiran-Nya dalam
kenyataan hidup sehari-hari, semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih
dan makin dikukuhkan hidup kristiani kita.
Dalam persatuan dengan Kristus, kita semakin mewujudkan hidup menggereja di tempat
masing-masing serta mengokohkan Gereja semesta, dan sanggup memberi kesaksian tentang
Kristus dalam usaha mengembangkan masyarakat.

3.3.2. Pembinaan Pelaku Katekese menurut Dokumen Ajaran Gereja

Paus Paulus VI dalam himbauan apostoliknya tentang Evangelii Nuntiandi menegaskan


bahwa suatu persiapan serius diperlukan untuk semua pekerjaan evangelisasi. Persiapan
semacam itu semakin lebih perlu lagi untuk mereka yang membaktikan diri mereka bagi
pelayanan Sabda. Dijiwai oleh keyakinan, yang terus menerus diperdalam, akan kebesaran dan
kekayaan Sabda Allah, maka mereka yang mempunyai perutusan menyampaikannya, harus
memberikan perhatian yang sepenuh-penuhnya pada martabat, ketepatan dan kesesuaian
bahasa yang mereka pakai. Setiap orang tahu bahwa seni bicara zaman sekarang ini sangatlah
penting. Bagaimanakah para pengkhotbah dan para katekis dapat mengabaikan hal ini? (EN 73)
Kongregasi untuk Imam dalam dokumen Petunjuk Umum Katekese (PUK) menjelaskan
beberapa hal tentang pembinaan bagi pelayanan katekese.

a. Perhatian Pastoral Katekis dalam Gereja Partikular


Untuk menjamin karya pelayanan katekese di dalam sebuah Gereja lokal, perlulah
memiliki perhatian pastoral yang memadai dari para katekis. Untuk itu perlu diperhatikan
beberapa hal berikut ini.

124
- memberi semangat panggilan-panggilan bagi katekese dalam paroki-paroki dan
komunitas-komunitas Kristiani. Karena dewasa ini, kebutuhan akan katekese itu begitu
bervariasi, perlulah memajukan jenis-jenis katekis yang berbeda-beda. "Ada
kebutuhan akan katekis yang mendapat pendidikan khusus". Sehubungan dengan ini,
haruslah ditetapkan kriteria seleksi.
- menyediakan sejumlah katekis purna waktu agar mereka dapat membaktikan waktunya
secara intensif dan lebih mantap bagi katekese, 2 selain itu juga membina katekis parub
waktu yang kelihatan semakin banyak jumlahnya dalam perjalanan atas peristiwa-
peristiwa biasa.
- mengatur pembagian katekis yang lebih berimbang, di antara pelbagai kelompok yang
membutuhkan katekese. Kesadaran akan kebutuhan katekese bagi orang dewasa dan
katekis bagi kaum muda, misalnya, dapat membantu membentuk suatu keseimbangan
yang lebih besar berhubungan dengan jumlah katekis yang berkarya bersama dengan
anak-anak dan kaum remaja;
- membantu perkembangan dan memberi semangat kegiatan katekese dengan tanggung
jawab pada tingkat keuskupan, di kevikepan/ dekanat dan paroki-paroki secara
memadai mengatur pembinaan para katekis, baik dalam hubungan dengan latihan dasar
maupun dalam bina lanjut.
- memperhatikan kebutuhan pribadi dan rohani para katekis serta kelompok katekis.
Kegiatan ini pada dasarnya merupakan tanggung jawab para imam dari komunitas-
komunitas yang bersangkutan.
- mengkoordinasi para katekis dengan para pekerja pastoral lain dalam komunitas
Kristiani, agar seluruh karya evangelisasi akan konsisten. (PUK 233)

b. Pentingnya pembinaan para katekis

Semua tugas ini lahir dari keyakinan bahwa mutu setiap kegiatan pastoral akan
menghadapi risiko bila kegiatan ini tidak bersandar pada personel yang sungguh-sungguh
kompeten dan terlatih. Sarana-sarana yang dişediakan bagi katekese tidak bisa efektif kalau
tidak digunakan dengan baik oleh para katekis yang terlatih. Maka, pembinaan katekis yang
memadai tidak bisa diabaikan lewat perhatian-perhatian sepetti pembaruan teks-teks dan
penataan kembali katekese. Oleh karena itu, program-program pastoral keuskupan harus

125
memberikan prioritas mutlak pada pembinaan para katekis. Bcrsama dengan ini, suatu unsur
yang pada dasarnya menentukan adalah pembinaan kateketik para imam, baik pada tingkat
pendidikan seminari maupun pada tingkat pendidikan lanjut. Para Uskup bertugas menjamin
bahwa mereka sungguh-sungguh memberikan perhatian bagi pembinaan demikian. (PUK 234).

c. Sifat Dan Tujuan Pembinaan Para Katekis


Pembinaan berusaha membuat para katekis sanggup meneruskan Injil kepada mereka
yang rindu menyerahkan diri kepada Yesus Kristus. Tujuan pembinaan ialah membuat para
katekis mampu berkomunikasi: "Pusat dan puncak pembinaan kateketik terletak pada
keterampilan dan kemampuan mengkomunikasikan pesan Injil.
Tujuan katekese kristosentris, yang menekankan kesatuan orang yang bertobat dengan
Yesus Kristus, meresapi segala aspek pembinaan para katekis.6 Tujuannya adalah tidak lain
membimbing katekis untuk tahu bagaİmana menjiwai perjalanan kateketik dengan tahap-tahap
penting: pewartaan Yesus Kristus; memperkenalkan hidup-Nya dengan menempatkannya
dalam konteks sejarah keselamatan; penjelasan tentang misteri Putera Allah yang menjadi
Manusia bagi kita; dan akhir-nya untuk membancu katekumen, atau mereka yang menerima
katekese untuk menyamakan diri dengan Yesus Kristus melalui sakramen inisiasi. Dengan
katekese lanjut, katekis hanya berusaha memperdalam elemen-elemen basis ini, Perspektif
kristologis İni menyentuh secara langsung identitas katekis dan persiapannya. (PUK 235)
Karena kenyataan bahwa pernbinaan berusaha membuat katekis sanggup meneruskan
Injil atas nama Gereja, semua pembinaan memiliki sifat eklesial. Pembinaan katekis tak lain
adalah bantuan bagi mcreka untuk mengidentifikasikan kesadaran yang hidup dan aktual yang
dimiliki Gereja tentang Injil, agar memampukan mereka menyampaikannya atas namanya.
Dalam ungkapan konkret, katekis dalam pembinaannya satu dengan aspirasi Gereja, yang bagi
seorang mempelai, "memelihara iman Mcmpelai murni dan tak terjamah"9 dan yang sebagai
“Ibu dan guru" ingin mcnyampaikan Injil dengan menyesuaikannya pada semua kebudayaan,
zaman, dan situasi. Sifat yang benar-benar eklesial untuk meneruskan Injil ini meresapi seluruh
pembentukan katekis dan memberi karakter yang benar pada pembinaan itu sendiri. (PUK 236)

126
d. Kriteria inspiratif bagi pembinaan para katekis
Suatu pemahaman yang memadai tentang pembinaan katekis harus selalu memperhatikan
beberapa kriteria yang memberi inspirasi dan membentuk pelbagai penekanan yang relevan bagi
pembinaan para katekis:
- Pertama, adalah suatu masalah membina katekis untuk kepentingan evangelisasi dalam
konteks historis sekarang, dengan nilai-nilainya, tantangan-tantangan, dan kekecewaan-
kekecewaannya. Untuk melaksanakan tugas ini, penting bagi katekis, memiliki iman yang
mendalam, suatu jati diri Kristiani dan eklesial yang jelas; serta suatu kepekaan sosial yang
besar. Semua program pembinaan harus menampung hal-hal ini.
- Dalam pembinaan, harus pula diperhatikan konsep katekese, yang dianjurkan Gereja
dewasa ini, suatu soal membina katekis agar mampu meneruskan bukan hanya ajaran
melainkan juga pembinaan Kristiani seutuhnya, dengan mengembangkan "tugas inisiasi,
pendidikan, dan pengajaran”. Katekis harus sanggup menjadi guru, pendidik dan saksi-
saksi iman serentak dan bersama-sama.
- Moment kateketik yang dihayati Gereja sekarang meminta katekis yang bisa
"mengintegrasi", yang sanggup mengatasi kecenderungan sepihak yang berbeda” dan yang
sanggup memberikan katekese yang lengkap dan utuh. Mereka harus tahu menghubungkan
dimensi kebenaran dengan arti iman, ortodoksi dan ortopraksis arti sosial dan arti eklesial.
Pembinaan harus memperkaya faktorfaktor ini kalau tidak akan timbul ketegangan di antara
mereka.
- Pembinaan katekis awam tak boleh melupakan karakter kaum awam dalam Gereja, dan
tidak bisa hanya dipandang sebagai suatu sintesis misi yang diterima oleh para imam dan
biarawan-biarawati, melainkan bahwa "pelatihan kerasulan mereka memperoleh karakter
khusus justru karena karakter duniawi dari keberadaan mereka sebagai awam dan dari pola
khusus spiritualitas mereka".
- Akhirnya,pedagogi yang digunakan dalam pembinaan ini sangatlah penting. Sebagai suatu
kriteria umum, perlulah menggarisbawahi kebutuhan akan koherensi antara pedagogi
umum pembinaan katekis dan pedagogi khusus bagi proses kateketik. Akan sangat sulitlah
bagi katekis dalam kegiatannya untuk mengarang sendiri suatu gaya dan kepekaan yang
tidak pernah diperkenalkan kepadanya selama masa pembinaannya sendiri. (PUK 237).

127
e. Dimensi-dimensi pembinaan: ada, tahu, dan tahu-bertindak
Pembinaan katekis terdiri atas dimensi-dimensi yang berbeda-beda. Dimensi terdalam
menunjuk pada ada katekis itu sendiri, pada dimensi manusiawi dan Kristianinya. Di atas
segalanya, pembinaan harus menolong dia menjadi matang sebagai pribadi, sebagai orang
beriman, dan sebagai rasul. Inilah yang harus diketahui oleh katekis agar dia mampu memenuhi
tanggung jawabnya dengan baik. Dimensi ini diresapi oleh komitmen ganda yang dimilikinya
baik pada pesan maupun kepada manusia. Hal itu menuntut dari katekis pengetahuan yang
cukup tentang pesan yang diteruskannya dan tentang mereka yang menerima pesan, konteks
sosial di tempat mereka hidup. Maka, inilah dimensi savoir-faire, tahu-berbuat, tahu
menyampaikan pesan, sehingga menjadi tindakan komunikasi. Pembinaan menjadikannya
seorang "pendidik manusia serta kehidupan” (PUK 238)

f. Kematangan manusiawi, Kristiani, dan apostolis seorang katekis


Pada dasar kematangan awal manusiawi, pelaksanaan katekese pertimbangan dan
evaluasi, meluaskan katekis bertumbuh dalam pandangan yang kritis namun seimbang, dalam
keutuhan, dalam kemampuannya untuk menyampaikan, untuk mengemban dialog, untuk
memiliki semangat membangun, untuk terlibat dalam karya kelompok. Dia akan bertumbuh
dalam hormat dan kasih akan katekumen dan mereka yang menerima katekese. "Apakah kasih
ini? Kasih ini lebih dari kasih seorang guru atau seorang ayah, atau lebih lagi kasih seorang
ibu. Kasih ini adalah kerinduan Tuhan agar setiap pewarta Injil, setiap pembangun Gereja harus
memiliki kasih ini". Pembinaan juga mengandaikan bahwa katekis dibina dan disuburkan oleh
pelaksanaan katekese, membuat dia bertumbuh sebagai orang beriman. Di atas segalanya,
pembinaan menguatkan spiritualitas katekis, sehingga kegiatannya muncul dalam kebenaran
dari kesaksian hidupnya sendiri. Setiap tema yang diselubungi oleh pembinaan, pada tempat
pertama, harus membuat subur iman katekis. Benar bahwa katekis memberi katekese kepada
orang lain dengan pertama-tama berkatekese untuk dirinya sendiri.
Pembinaan juga terus-menerus menyuburkan kesadaran apostolik katekis, yakni bahwa
dia adalah seorang pewarta Injil. Karena alasan inilah, dia harus sadar dan menghayati usaha-
usaha evangelisasi konkret yang diselenggarakan dalam keuskupannya sendiri, dan dalam
parokinya, supaya selaras dengan kesadaran bahwa Gereja partikular memiliki tugas
perutusannya sendiri. Cara terbaik untuk menyuburkan kesadaran apostolik ini ialah dengan

128
mengidentifikasi diri dengan pribadi Yesus Kristus, Guru dan Pembina para murid dengan
berusaha mencapai semangat yang ada pada Yesus bagi Kerajaan-Nya. Mulai dengan
pelaksanaan karya katekese, panggilan merasul seorang katekis terus-menerus disuburkan
lewat pembinaan lanjut dan akan menjadi matang tahap demi tahap. (PUK 239).

g. Pembinaan biblis-teologis katekis


Di samping menjadi seorang saksi, katekis juga harus menjadi seorang guru yang
mengajar iman. Suatu pembinaan biblis-teologis harus menyanggupkan katekis memiliki
kesadaran utuh tentang pesan Kristiani, yang dibangun sekitar misteri iman, Yesus
Kristus.Konteks pembinaan doktrinal ini harus ditarik dari pelbagai bidang yang membentuk
setiap program kateketik: tiga bidang besar dalam sejarah Keselamatan: Perjanjian Lama,
Hidup Yesus Kristus, dan sejarah Gereja; inti agung dari pesan Kristiani: Syahadat, Liturgis
hidup moral, dan doa. Dalam setiap tahap instruksi teologis, isi doktrinal pembinaan katekis
adalah apa yang harus diteruskan oleh katekis, Untuk bagian itu, Kitab Suci harus menjadi jiwa
pembinaan ini." Katekismus Gereja Katolik tetap menjadi titik referensi doktrinal yang
mendasar bersama dengan katekismus yang sesuai dengan Gereja Partikular. (PUK 240)

h. Pembinaan biblis-teologis harus berisi hal-hal ini:

1) Pertama, pembinaan ini harus merupakan suatu rangkuman dan sesuai dengan pesan
untuk disampaikan. Pelbagai unsur iman Kristiani harus disajikan dalam cara yang ditata
dengan baik dan selaras satu dengan yang lain melalui visi yang utuh yang menghormati
"hierarki kebenaran".
2) Sintesis iman ini harus sedemikian rupa agar membantu katekis mematangkan imannya
sendiri dan memungkinkannya memberikan penjelasan bagi pengharapan masa kini pada
saat misi ini: "Situasi dewasa ini menunjuk pada kebutuhan mendesak yang semakin
terus bertumbuh bagi pembinaan doktrinal kaum awam, bukan hanya agar mengerti lebih
baik apa yang menjadi sifat dinamisme iman, melainkan juga memungkinkannya untuk
"memberikan alasan bagi pengharapan mereka" dalam melihat dunia dan masalah-
masalahnya yang semakin kompleks dan gawat".

129
3) Pembinaan ini haruslah merupakan pembinaan teologis yang dekat pada pengalaman
manusiawi dan mampu mengaitkan pelbagai aspek pesan Kristiani dengan kehidupan
konkret manusia "baik untuk memberi inspirasi maupun untuk menilainya dalam cahaya
Injil". Sambil tetap teologis, dalam cara tertentu, pembinaan ini mengambil gaya
kateketik.
4) Pembinaan itu harus sedemikian rupa sehingga katekis "mampu tidak hanya
mengkomunikasikan Injil secara tepat, melainkan juga sanggup membuat mereka yang
diajar dapat menerimanya secara aktifdan dengan menilai apa yang sesuai dengan iman
dalam perjalanan rohani mereka. (PUK 241)

i. Ilmu pengetahuan manusiawi dan pembinaan katekis


Katekis juga memperoleh pengetahuan tentang manusia dan kenyataan di mana dia
hidup dan melalui ilmu pengetahuan manusiawi yang sudah sangat berkembang pada
laman kita ini sendiri, "Dalam pemcliharaan pastoral, hendaknya cukup dipakai. bukan
saja prinsip-prinsip teologis, melainkan juga penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
dunia, khususnya dalam bidang psikologi dan sosiologİ; dalam cara ini kaum beriman
akan dibawa kepada kcmatangan yang lebih besar untuk menghayati iman”
Katekis harus mcmpunyai kontak, sekurang-kurangnya dengan bebcrapa elemen
fundamental psikologi: dinamika psikologis yang memotivasi manusia; struktur
kcpribadian; kebutuhan-kebutuhan terdalam dan aspirasİ haci manusİa; psikologi
progresif dan tahap-tahap dalam lingkaran hidup manusia; psikologi agama dan
pengalaman-pengalaman yang membuka manusia bagi misteri hal-hal yang sakral.
Pengetahuan sosial memberikan kesadaran akan konteks sosio budaya di tempat
manusia hidup dan secara kuat dipengaruhi. Oleh karena itu, perlulah bahwa dalam
pembinaan katekis "analisis situasi religius serta sosiologis, budaya, dan ekonomis
sehingga fakta kehidupan kolektif ini dapat amat berpcngaruh pada keberhasilan
evangelisasi". Menambah ilmu-ilmu pcngctahuan ini, yang secara eksplisit dianjutkan
oleh Konsili Vatikan II, İlmu pengetahuan manusiawi lainnya, dengan satu atau lain cara
dipakai dalam pembinaan katekis, khususnya ilmu-ilmu pendidikan dan komunikasi.
Pelbagai kriteria yang bisa memberi inspirasi bagi pemakaian ilmu pengetahuan manusia
dalam pembinaan katekis. (PUK 242)

130
Kriteria-kriteria itu adalah:
- Hormat akan otonomi ilmu pengetahuan: "Gereja meneguhkan otonomi sah kebudayaan
dan khususnya ilmu pengetahuan".
- Menilai secara evangelis pelbagai kecenderungan/aliran atau sekolah psikologi,
sosiologi dan pedagogi: nilai-nilai dan keterbatasan mereka.
- Studi ilmu-ilmu pengetahuan manusiawi dalam pembinaan katekis bukanlah tujuannya
itu sendiri. Memperoleh kesadaran akan situasi manusia yang eksistensial, psikologis,
kultural, dan sosial dijalankan dalam cahaya iman, dan manusia harus dididik dalam
terang ini.
- Dalam membina katekis, teologi dan ilmu pengetahuan manusia hendaknya saling
memperkaya. Oleh karena itu, haruslah dihindari situasi di mana bahan-bahan ini
diubah menjadi semata-mata norma pedagogi iman terlepas dari kriteria teologis
yang berasal dari pedagogi ilahi. Sementara Hal-hal ini merupakan disiplin yang
perlu dan fundamental, mereka melayani evangelisasi yang lebih dari suatu kegiatan
manusiawi. (PUK 243)

j. Pembinaan pedagogis
Bersama dengan dimensi-dimensi ada dan pengetahuan, pembinaan katekis harus juga
memupuk teknik. Katekis adalah seorang pendidik yang memperlancar kematangan iman,
Yang dengan bantuan Roh Kudus diperoleh para katekumen dan mereka yang menerima
katekese. Dalam bidang pembinaan ini, realitas pertama yang patut diperhitungkan ialah yang
berkaitan dengan pedagogi iman yang orisinil. Katekis dipersiapkan atau dibina supaya
mempermudah suatu pertumbuhan dalam pengalaman iman yang tidak ditanamkannya sendiri,
karena Tuhanlah yang menaburkannya dalam hati manusia. Tanggung jawab katekis hanyalah
memupuksuburkan karunia ini dengan memberinya makan dan menolongnya untuk
bertumbuh.Pembinaan berusaha mematangkan kemampuan mendidik dalam diri katekis yang
mencakup: suatu kesanggupan untuk memperhatikan orang, kernampuan untuk menafsirkan
atau menanggapi tugas-tugas mendidik atau prakarsa dalam mengatur kegiatan belajar, dan
kesanggupan untuk membimbing kelompok manusia kepada kernatangan. Sebagaimana
dengan kesenian Yang Iain, faktor Yang paling penting ialah bahwa katekis harus memperoleh

131
gayanya sendiri membagi-bagikan katekese dengan menyesuaikan prinsip-prinsip urnum
pedagogi kateketik dengan kepribadiannya sendiri. (PUK 244)
Secara lebih konkret: pernbinaan harus membuat katekis dan secara khusus katekis
purna waktu untuk tahu mengatur dalam kelompok katekis, kegiatan mendidik melalui
perhatian yang seksama tentang lingkungan, dengan menyusun sebuah rencana kateketik
yang realistis dan setelah menyusunnya tahu menilainya secara kritis. Dia harus mampu
memberi semangat kepada kelompok dengan menerapkan secara bijaksana teknik dinamika
kelompok yang disajikan oleh psikologi. mendidik ini dan "tahu-bagaimana" ini, bersama
dengan pengetahuan, sikap, dan teknik yang dicakupnya, "dapat diperoleh dengan lebih baik
apabila ini diajarkan pada saat karya kerasulan dilaksanakan (misalnya, selama pertemuan-
pertemuan saat pelajaran-pelajaran katekese sedang disiapkan dan diuji). Tujuan atau
idealnya ialah agar katekis melaksanakan apa yang telah mereka Pelajari sendiri dan
menjadi kreatif dalam pembinaan dan tidak hanya menerapkan peraturan-peraturan
Lahiriah. Pembinaan ini harus berkaitan erat dengan praksis: orang mulai dengan praksis
supaya dapat sampai pada praksis.(PUK 245)

k. Pembinaan katekis dalam komunitas Kristiani


Di antara cara-cara membina katekis, cara dari komunitas Kristiani mereka sendiri
penting. Justru dalam komunitas inilah katekis menguji panggilannya sendiri dan terus
mcnerus menyuburkan kesadaran kerasulannya. Pribadi imam sangat penting dalam
meniamin kematangan progresif sebagai umat beriman dan saksi-saksi.
Sebuah komunitas Kristiani dapat mengembangkan pelbagai hentuk kegiatan formatif
bagi para katekis mereka sendiri:
- Membina panggilan gerejawi dari para katekis dengan menghidupkan dalam diri
mereka kesadaran bahwa mereka diutus oleh Gereja.
- Menjamin bahwa katekis memiliki iman yang dewasa, melalui sarana-sarana biasa
yang dipakai oleh komunitas Kristiani untuk mendidik petugas-petugas pastoralnya
sendiri dan anggota kaum awam memiliki komitmen. Apabila iman katekis belum
matang, dianjurkan agar mereka mengambil bagian dalam program katekumenat yang
diselenggarakan bagi kaum muda dan orang dewasa, yang bisa diatur oleh komunitas
mereka sendiri, atau pada suatu program yang diatur khusus bagi mereka.

132
- Persiapan langsung katekese, yang dibuat dalam satu kelompok katekis merupakan
suatu sarana pembinaan yang istimewa, khususnya bila disertai dengan suatu evaluasi
tentang segala yang dialami dalam pertemuan-perternuan katekese.
- Dalam komunitas tersebut, kegiatan-kegiatan formatif lain bisa juga dilaksanakan:
kursus-kursus tentang kesadaran katekese, misalnya, pada awal tahun pastoral,
retret, dan hidup dalam komunitas pada saat-saat penting liturgis tahun itu; disertasi
mengenai tema yang lebih mendesak dan perlu; pembinaan doktrinal sistematik,
misalnya, mempelaiari Katekismus Gereja Katolik ini merupakan kegiatan.kegiatan
pembinaan lanjut, yang bersama dengan karya pribadi katekis, akan tampak sangat
bermanfaat. (PUK 246).
Pembinaan Pelaku Katekese menurut Ajaran Gereja selain yang diuraikan di atas,
juga dijelaskan bahwa Sekolah-sekolah bagi katekis dan pusat-pusat Pendidikan tinggi bagi
para ahli dalam katekese. Sangat penting menyediakan para katekis profesional. Tujuan dari
sekolah-sekolah demikian ialah untuk memberikan pembinaan kateketik sistematik dan
komprehensif tentang hal-hal penting dan mendasar dalam periode waktu tertentu. Yang
secara khusus mcmajukan dimensi-dimensi kateketik pembinaan: pesan Kristiani,
pengetahuan tentang manusia dan situasi sosio-budaya, pedagogi iman.

3.3.3. Pesan Paus Fransiskus Kepada Para Katekis: Jadilah Kreatif

Pada tanggal 12 Juli 2017 Paus Fransiskus mengirimkan pesan kepada para peserta
Simposium Katekese Internasional yang berlangsung di Universitas Kepausan Argentina di
Buenos Aires dengan tema “diberkatilah orang-orang yang beriman”.
Dalam pesan ke simposium tersebut, Bapa Suci menunjuk bahwa “Menjadi seorang
katekis adalah panggilan untuk pelayanan Gereja, yang diterima sebagai pemberian Tuhan dan
pada gilirannya harus ditransmisikan.”
Paus mengatakan bahwa katekis berjalan bersama Kristus, oleh karena itu seorang
Katekis bukanlah seorang yang memulai dari gagasan dan seleranya sendiri. Dia mencari Tuhan
dan pencarian itu membuat hatinya mereka berkobar-kobar. Paus Fransiskus juga mencatat
dalam pesannya bahwa peran katekis itu kreatif karena ia mencari cara dan makna yang berbeda
untuk mewartakan kabar baik tentang Kristus. Paus menegaskan bahwa “pencarian untuk

133
membuat Yesus dikenal sebagai keindahan tertinggi ini, menghantar kita untuk menemukan
tanda dan bentuk baru transmisi iman.”
Cara atau sarana boleh berbeda, tetapi yang penting adalah mengingat gaya Yesus, yang
menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekelilingnya supaya membawa mereka pada cinta
Tuhan. Paus mengingatkan bahwa, kita perlu mengetahui bagaimana “mengubah” dan
menyesuaikan diri, untuk menyampaikan pesan Tuhan meskipun pesan itu sendiri selalu sama.
Paus Fransiskus mendorong para katekis untuk mengambil bagian dalam simposium tersebut
untuk menjadi utusan yang bersukacita, penjaga kebaikan dan keindahan yang bersinar dalam
hidup beriman para murid misionaris. “
https://komkat-kwi.org/2017/07/13/pesan-paus-fransiskus-untuk-katekis-jadilah-pewarta-yang-kreatif/

3.4. Berkatekese dengan Sukacita

Paus Fransiskus dalam berbagai kesempatan selalu menyerukan tentang semangat


sukacita dalam menjalankan tugas pewartaan atau katekese.

3.4.1 Tantangan Berkatekese Zaman ini

Dunia modern saat ini dipenuhi dengan konsumerisme yang lahir dari hati yang puas diri
dan tamak, pengejaran akan kesenangan duniawi dan individualisme, tak ada lagi tempat bagi
miskin papa. Suara Allah tak lagi didengar, sukacita kasih-Nya tak lagi dirasakan, dan
keinginan berbuat baik pun menghilang. Banyak yang menjadi korban dan mengalami
perlakuan tidak adil, martabat manusia direndahkan. Orang harus berjuang untuk hidup, dan
seringkali hidup dengan sedikit martabat manusia. Pada zaman ini terjadi perkembangan dan
kemajuan dalam kesenjangan antara kaya dan miskin, penolakan terhadap etika dan Allah,
konsumsi berlebihan, perubahan budaya yang lebih memprioritaskan hal yang lahiriah,
langsung, terlihat cepat, dangkal dan sementara, muncul berhala baru; uang. Perkembangan dan
kemajuan kuantitatif, kualitatif, dan kumulatif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan faktor yang mempengaruhi dan merubah dinamika dan mobilisasi manusia pada
zaman ini
Berkaitan dengan apa yang terjadi di dunia saat ini, sebagai umat beriman kita diajak untuk
membarui perjumpaan pribadi dengan Kristus, bahwa Kristus juga hadir dalam pribadi-pribadi
mereka yang tertindas, lemah dan membutuhkan perhatian kita. Kristus telah mengajarkan

134
bahwa tak seorang pun dapat menelanjangi martabat yang dianugerahkan kepada kita oleh kasih
yang tanpa batas dan tak habis-habisnya. Dengan kelembutan yang tidak pernah
mengecewakan, namun selalu mampu memulihkan sukacita yang memampukan kita untuk
mengangkat kepala dan memulai baru, kita diundang untuk menghadirkan Tuhan ditengah umat
dengan perayaan yang berlangsung dengan sukacita keselamatan. Sukacita keselamatan yang
memberikan kemenangan dan membarui kita dalam kasih-Nya. Sukacita yang kita alami dalam
kehidupan sehari-hari dalam berbagai hal kecil dalam hidup sebagai tanggapan atas undangan
kasih Allah Bapa kita yang bersumber dari sumber kemuliaan salib Kristus. Salib Kristus
mengajak kita untuk bersukacita.
Injil menawarkan pada kita kesempatan untuk menghayati hidup pada taraf yang lebih
tinggi tanpa mengurangi intensitasnya, karena hidup bertumbuh dengan dibagikan,
mengesampingkan rasa aman dan menjadi bersemangat dengan perutusan mengomunikasikan
hidup pada sesama. Gereja meminta umat Kristiani menerima tugas pewartaan yang bersumber
dari pemenuhan pribadi yang autentik, bahwa hidup tercapai dan menjadi matang sejauh
ditawarkan sebagai pemberian kepada sesama. Umat Kristiani diundang untuk menjadi
pewarta Injil yang dipenuhi dengan sukacita yang menggembirakan dan menghibur untuk
mewartakan kabar baik, bahkan bila dengan deraian air mata. Dengan demikian, semoga dunia
zaman kita yang sedang mencari, kadangkala dengan kecemasan, dengan harapan mampu
menerima kabar baik bukan dari pewarta yang murung, putus asa, tidak sabar atau kuatir,
namun dari pelayan Injil yang hidupnya semarak dengan semangat, yang telah menerima lebih
dulu sukacita Kristus. Pembaruan pewartaan dapat memberikan kepada kaum beriman, juga
mereka yang enggan dan tidak menjalankan iman mereka, sukacita baru dalam iman dan
keberhasilan dalam karya pewartaan; Allah yang telah menyatakan kasih-Nya yang amat besar
dalam Kristus yang disalib dan bangkit, Allah terus-menerus membarui umat beriman-Nya.
Sukacita yang mendorong pewartaan Injil pada zaman ini adalah sukacita perutusan,
seperti yang di alami oleh para murid (bdk.Luk. 10: 17). Sukacita yang membuat tujuh puluh
murid untuk mewartakan sukacita Injil kepada semua orang yang ditemuinya. Kekuatan ini juga
menginspirasi Gereja pada zaman ini untuk “bergerak keluar,” yang terlibat dan mendukung,
yang berbuah dan bersukacita. Gereja harus menjadi sebuah komunitas yang mewartakan Injil,
mengetahui bahwa Tuhan telah mengambil prakarsa, Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita
(bdk. 1 Yoh. 4:19). Sebuah komunitas yang mewartakan Injil terlibat dengan kata dan perbuatan

135
dalam hidup orang sehari-hari; menjembatani jarak, mau menyentuh kemanusiaan Kristus yang
menderita dalam diri sesama. Para pewarta Injil memiliki “bau domba” dan domba pun mau
mendengar suara mereka. Maka, komunitas yang mewartakan Injil siap “menemani”
kemanusiaan dalam setiap prosesnya, betapa pun sulit dan lamanya, yang terbiasa dengan
penantian yang memerlukan kesabaran dan daya tahan kerasulan.
Dorongan perutusan memampukan Gereja untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan Gereja:
cara-cara melakukan segala sesuatu, waktu dan agenda, bahasa dan struktur, sehingga
kebiasaan-kebiasaan ini dapat disalurkan dengan tepat untuk evangelisasi dunia masa kini yang
membawa kepada pertobatan pastoral daripada untuk pertahanan diri. Melalui paroki-paroki
Gereja akan terus menjadi Gereja yang hidup di tengah rumah para putra-putrinya, hal ini
mengandaikan bahwa paroki sungguh berhubungan dengan rumah dan kehidupan umatnya, dan
tidak menjadi struktur yang tak berguna di luar kontak dengan umat atau sekelompok orang
pilihan yang hanya memperhatikan diri sendiri. Komunitas-komunitas basis dan komunitas-
komunitas kecil, gerakan-gerakan, serta berbagai bentuk perkumpulan merupakan sumber yang
memperkaya bagi Gereja, yang dibangkitkan oleh Roh untuk mewartakan Injil ke seluruh
wilayah dan sektor.
Sebagai anak-anak zaman ini kita juga dipengaruhi oleh budaya globalisasi yang
menawarkan kita nilai-nilai dan kemungkinan-kemungkina baru yang dapat membatasi,
mengkondisikan dan akhirnya membahayakan kita. Kita sedang menyaksikan dalam diri
banyak pekerja pastoral, termasuk para biarawan dan biarawati, perhatian berlebihan akan
kebebasan pribadi dan hidup santai, yang menjadikan mereka melihat karya mereka sebagai
suatu tambahan belaka pada hidup mereka dan seolah-olah karya itu bukanlah bagian dari
identitas mereka. Pekerja pastoral dengan demikian dapat jatuh kepada relativisme pribadi
bahkan yang paling berbahaya adalah relativisme doktrinal. Pada saat ini yang paling
dibutuhkan adalah dinamisme misioner dalam evangelisasi yang akan membawa garam dan
terang ke dunia. Gereja adalah pelaku evangelisasi, Gereja mewartakan karya kerahiman Allah,
yaitu keselamatan yang ditawarkan Allah untuk setiap orang dalam keragaman bahasa dan
budaya. Gereja membawa masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam
komunitasnya sendiri, dengan demikian Gereja mengambil nilai-nilai positif dan bentuk-bentuk
yang dapat memperkaya cara Injil diberitakan, dimengerti dan dihayati.

136
Dalam pewartaan, langkah pertama adalah dialog pribadi dengan mensharingkan
kegembiraan, harapan dan keprihatinan akan orang-orang yang dikasihi. Setelah itu langkah
selanjutnya adalah mewartakan sabda Allah dengan pesan yang mendasar: kasih pribadi Allah
yang menjadi manusia, yang menyerahkan Diri-Nya bagi kita, yang hidup dan menawarkan
kepada kita keselamatan dan persahabatan-Nya. Pesan ini disampaikan melalui homili dalam
suasana keibuan dan gerejawi, kata-kata yang mengobarkan hati. Kepercayaan pada Roh Kudus
yang bekerja selama homili merupakan kepercayaan yang membuat pewarta aktif dan kreatif.
Mempribadikan sabda dalam diri, bacaan rohani dan menjadi telinga bagi umat merupakan
bekal penting bagi seorang pewarta. Setiap orang Kristiani dan komunitas dipanggil sebagai
sarana Allah untuk membebaskan dan memajukan kaum miskin, dan untuk memampukan
mereka menjadi bagian masyarakat sepenuhnya, memelihara martabat setiap pribadi manusia
dan usaha kesejahteraan umum yang harus membentuk semua kebijakan ekonomi, berdialog
dengan agama lain. Dengan demikian, pewarta Injil yang penuh semangat Roh adalah mereka
yang berdoa dan bekerja dengan komitmen sosial dan misioner yang kuat, spiritualitas yang
mengubah hati yang beralaskan kasih Yesus yang telah diterimanya, pengalaman keselamatan
yang mendorong kita untuk selalu lebih mencintai-Nya.

3.4.2. Menjadi Pewarta Injil, Kabar Sukacita


Kehadiran Yesus adalah kabar sukacita bagi manusia. Sebagai pengikut Kristus kita
mengamini hal itu. Namun, kita yang oleh karena baptisan diutus juga untuk mewartakan Injil
juga sering merasa kurang happy dalam melaksanakan tugas kita sebagai katekis atau pewarta
dengan berbagai alasan atau latarbekangnya.
Berkaitan dengan pewarta Injil ini, Paus Fransiskus menuliskan surat anjuran pastoral
berjudul Evangelii Gaudium, (Sukacita Injil). Surat tertanggal 26 November 2013 ini bertujuan
untuk membuka tahapan baru pewartaan Injil yang ditandai dengan sukacita (/EG no.1). Surat
anjuran ini mengambil konteks konsumerisme yang membuat umat Katolik tersesat dalam
kegembiraan yang keliru. Konsumerisme membuat orang mencari nikmat artifisial. Akibatnya,
umat Katolik mencari kepuasan diri sendiri, tamak, tumpul hati nuraninya, dan kurang peduli
pada sesama (EG no. 2). Untuk menanggapi situasi itu, Paus Fransiskus mengajak umat Katolik
untuk mengalami perjumpaan personal dengan Kristus. Perjumpaan personal dengan Kristus
akan membawa orang untuk senantiasa melakukan pertobatan, terutama dari cinta diri (EG no.

137
8). Ketika bisa mengendalikan cinta diri, orang bisa melakukan kasih kepada sesama dengan
tulus. Tindakan kasih pada sesama itu menjadi daya tarik dari orang-orang yang dibaptis.
Paus Fransiskus menegaskan bahwa kehidupan bertumbuh dan menjadi matang jika
dipersembahkan dengan memberikan kehidupan kita kepada sesama. Itulah kegembiraan kita
sebagai para pengikut Kristus. Konsekuensinya, seorang pewarta Kabar Sukacita tidak pernah
boleh terlihat seperti orang yang pulang dari pemakaman (EG no.10). Pewarta Injil perlu
gembira karena sukacita bersifat menular. Sukacita adalah kebaikan. Kebaikan itu selalu
cenderung menyebar (EG no.9).
Evangelii Gaudium mengajak para pewarta untuk menemukan kegembiraan dalam
hidupnya karena yang ia wartakan adalah kabar gembira. Sungguh aneh jika mewartakan kabar
gembira dengan raut muka sedih. Jika demikian, kegembiraan atas penebusan Tuhan Yesus
belumlah menyentuh hati pewarta tersebut. Maka pewarta Injil perlu gembira. Namun kita
malah sering mengalami kesedihan oleh karena beberapa hal berikut ini:
1) Spiritulitas individualistis
Gaya hidup yang memikirkan dirinya sendiri akan membuat pewarta lupa akan Tuhan
dan akan sesama. Ia akan mengesampingkan perannya bagi orang lain. Ia akan
memanfaatkan pelayanan untuk keuntungannya sendiri. Ia ingin berkuasa dan dihargai
dalam pelayanan (EG no. 96). Ia mampu mengatur hal-hal praktis untuk meningkatkan
harga diri dan realisasi diri (EG no. 95). Ketika ia tidak menemukan penghargaan di
karya pelayanannya, ia menjadi sedih dan kecewa.
2) Krisis identitas
Ketika pewarta Injil tidak yakin dengan kemampuannya, ia juga mengalami kesedihan
dalam pelayanan. Ia merasa iri dengan pelayan lain yang tampak lebih baik dari padanya.
Ketidakpercayaan ini menjadi sumber keengganan untuk melayani. Komitmen melayani
mereka menjadi lemah. Mereka mencekik sukacita perutusan dengan semacam obsesi
ingin menjadi seperti orang lain dan ingin memiliki seperti yang dimiliki orang lain.
Akibatnya, karya pewartaan dilakukan secara terpaksa dan hanya mau mengorbankan
sedikit energi, waktu secara terbatas untuk pewartaan (EG no.79).
3) Kemalasan
Pewartaan akan menambah kesibukan seseorang. Adakalanya pewarta takut menerima
tanggung jawab baru karena tidak ingin waktu luangnya tersita untuk hal lain (EG no.

138
81). Ada pula yang menjadi pewarta dengan motivasi yang tidak lurus sehingga ketika
harapan pribadinya tidak terpenuhi, ia kehilangan semangat untuk melayani (EG no. 82).
Pewarta bisa terjebak pula pada keengganan untuk melepaskan kepahitan hidup sehingga
bukan kegembiraan yang terpancar tetapi kesedihan (EG no. 83).

Lalu bagaimana kita dapat menjadi pewarta Injil yang gembira? Evangelii Gaudium
menawarkan cara berpikir yang bisa membantu kita untuk gembira dalam pewartaan Injil.
1) Allah sumber sukacita
Asal sukacita itu dari Allah sendiri, perjumpaan dengan pribadi Yesus, bukan karena
terpenuhinya ribuan syarat (EG no.7). Perjumpaan pribadi itu membuatnya memancarkan
keceriaan karena telah lebih dahulu menerima sukacita Kristus (EG no. 10). Kabar
sukacita itu adalah bahwa Allah yang mewahyukan kasih-Nya yang sangat besar dalam
Kristus yang disalibkan dan bangkit mulia (EG no.11). Dengan perkataan lain, pewarta
sudah merasa tenang karena sadar Tuhan telah menebus dosanya dan tetap menyertainya.

2) Pemberian diri membawa sukacita


Paus Fransiskus menegaskan bahwa dengan memberikan diri bagi pelayanan pada
sesama, kita menjadi pribadi yang lebih gembira dan matang (EG no.10). Kita tidak terlilit
oleh egoisme yang membuat kita resah dan takut.

3) Pewartaan Injil adalah karya Allah


Pewartaan Injil memang menuntut kemurahan hati yang besar dari pihak kita, tetapi akan
salah jika melihatnya sebagai usaha pribadi yang heroik, sebab misi itu pertama-tama dan
terutama adalah karya Allah sendiri. Yesus adalah pewarta Kabar Sukacita yang pertama
dan terbesar (EG no. 12). Kita hanyalah sarana-Nya. Jika kita merasa gagal atau memiliki
kekurangan di sana-sini, biarlah Tuhan yang akan menyempurnakannya.
4) Pasrahkan pada karya Tuhan
Saat sebutir benih ditaburkan dan disemaikan di satu tempat, tidak diperlukan penjelasan
tentang bagaimana proses bertumbuhnya (Mark. 4:27). Juga tidak diperlukan tanda-tanda
lainnya. Benih itu akan tumbuh dengan sendirinya. Begitu juga dengan orang-orang yang

139
kepadanya kita wartakan Injil. Roh Kudus akan bekerja dalam hati mereka sebagaimana
Roh Kudus juga senantiasa menuntun Yesus untuk pergi ke kota-kota lain (Mark. 1: 38).

Sukacita merupakan rahmat Tuhan sendiri. Kita sebagai pewarta Injil perlu bergembira
karena perutusan kita. Sukacita Injil yang memenuhi kembali komunitas para murid adalah
sukacita perutusan. Ketujuh puluh murid merasakannya saat kembali dari perutusan (Luk.
10:17). Sukacita ini adalah tanda bahwa Injil telah dimaklumkan dan menghasilkan buah.
Dorongan untuk pergi keluar dan memberi, untuk keluar dari diri sendiri, untuk gigih maju terus
menaburkan benih-benih yang baik (EG no.21). Dengan menjalankan perutusan, kita
memberikan hidup untuk Tuhan dan sesama. Hidup menjadi berkembang ketika
dipersembahkan bagi sesama (EG no. 10).

3.4.3. Menjadi Pewarta Suka cita Injil di Indonesia


Surat pastoral Paus Fransiskus tentang Evangelii Gaudium seperti yang telah dijelaskan
di atas, ditanggapi para uskup Indonesia yang terhimpun dalam wadah Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI). Suka Cita Injil atau Evangelii Gaudium diangkat sebagai tema dalam sidang
tahunan KWI, 2014. Hasil sidang tahunan ini kemudian diimplementasikan ke seluruh Gereja
Katolik Indonesia atau di setiap keuskupan tentng bagaimana kita menjadi pewarta suka Injil
di Indonesia.
Isi pokok dari pesan sidang tahunan KWI itu adalah ajakan mewartakan sukacita Injil
kepada Indonesia dewasa ini. Agar Injil dapat kita wartakan secara tepat, kita perlu mengenal
kenyataan Indonesia dewasa ini yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan-perubahan
semakin cepat, yang mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Di tengah-tengah segala
perubahan yang kita saksikan, kita temukan ada yang tetap sama, tidak berubah, yaitu Yesus
Kristus). Di dalam perjumpaan dengan Yesus, Sang Putra, dan dalam perjumpaan kita sebagai
saudara, kita mengalami Allah, Bapa yang maharahim, suatu pengalaman rohani yang menjadi
daya kekuatan bagi kita untuk mewartakan sukacita Injil kepada semua bangsa.
Allah Bapa mengangkat kita menjadi saluran kasih untuk menjumpai sesama kita
terutama yang jatuh menjadi korban-korban terluka di pinggiran jalan salib kehidupan manusia.
Mereka adalah kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan yang terlupakan, yang menjadi korban
tatanan sistim politik, ekonomi, budaya, dan komunikasi yang tidak adil. Setiap orang beriman

140
kristiani diutus untuk mewartakan sukacita Injil dengan hadir di dalam dunia, dan mengubahnya
dari dalam laksana ragi dengan nilai-nilai Injil.
Dalam menjalankan perutusannya untuk mencari dan menjumpai orang lain dan dunia
sekitarnya Gereja berupaya menampilkan wajah Allah yang maharahim dan berbe-laskasih,
peka terhadap bimbingan Roh Kudus untuk selalu menyadari misteri ilahi di tengah segala
kenyatan dan peristiwa yang terjadi. Roh Kudus menjadi daya kekuatan bagi kita untuk
memantapkan iman, meneguhkan harapan akan masa depan yang lebih baik, dan memancarkan
kasih yang mempererat tali persaudaraan antar semua orang, di mana Allah menjadi segala bagi
semua.

7. Glosarium
Catechesi Tradendae : Katekese Masa Kini. Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II
kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang katekese
masa kini, diterbitkan pada tgl 16 Oktober 1979
Evangelii Gaudium: Sukacita Injil. Seruan Apostolik Bapa Suci Paus Fransiskus tentang
Pewartaan Injil kepada Dunia Dewasa ini. Diterbitkan tgl 24 November
2013
Evangelii Nuntiandi : Mewartakan Injil. Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI tentang
Karya Pewartaan Injil dalam Jaman modern, diterbitkan tgl 8
Desember 1975.
General Directory for Catechesis : Pedoman/Petunjuk Umum Katekese (PUK) diterbitkan oleh
Kongregasi untuk para Klerus. (teks tahun 1971 dan 1997)

8. Daftar Pustaka

Hall P. Brian, Panggilan Akan Pelayanan; Citra Pemimpin Jemaat, Kanisius, Yogyakarta,
1996
Hardawiryana R, SJ, (Penterjemah) Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen KWI & Obor,
Jakarta, 1989
Hardon A. John, SJ, Pocket Catholic Catechism, Bantam Doubleday Dell Publishing Group
Inc, New York, 1988

141
Heuken, A, SJ, Ensiklopedi Gereja, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1991
Kieser Bernhard, SJ, Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan, Kanisius, Yogyakarta, 1987
Komisi Kateketik KWI, PKKI VII: Menggalakkan Karya Katekese di Indonesia, Kanisius,
Yogyakarta, 1997
Kotan Boli Daniel, (Editor), Katekese Umat dari Masa ke Masa, Kanisius, Yogyakarta, 2020
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen KWI, Obor, Jakarta, 1993
Lembaga Alkitab Indonesia (Penterjemah), Alkitab, LAI, Jakarta, 1993
Kongregasi untuk Imam, Petunjuk Umum Katekese, Komkat KWI dan Dokpen KWI,
Jakarta,2000
Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern), Dokpen
KWI, Jakarta, 1990.
Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae, (Penyelenggaraan Katekese, Anjuran Apostolik
Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini), Dokpen KWI, Jakarta, 1992
Paus Fransiskus Evangelii Gaudium, (Seruan Apostolik Paus Fransiskus, tentang Sukacita Injil) ),
Dokpen KWI, Jakarta, 2016

142

Anda mungkin juga menyukai