Anda di halaman 1dari 14

Contoh Kerangka Khotbah Katolik :

- Tema Khotbah
- Nats Alkitab
- Tujuan Khotbah
- Isi Khotbah
- Aplikasi Khotbah
- Penutup / Kesimpulan

Ada tiga bab kerangka khotbah yaitu :

1. Konsep
Konsep yaitu bagaimana cara mendapatkan tema inti untuk materi khotbah , yang
merupakan seni untuk mengetahui bagaimana mendapatkan isu dari Tuhan. Ini
bekerjasama bagaimana wangsit dan tema yang utama untuk sebuah khotbah.

2. Komposisi
Dalam mendapatkan wangsit gagasan atas suatu kebenaran , kita harus memulai
melaksanakan analisa untuk menemukan kebenaran tersebut. Disitulah catatan kita
berperan penting! Selagi kita merenungkan. Tuliskan setiap pikiran yang muncul dalam
catatan kita.

3. Konstruksi
Setelah kita menganalisa materi subyek (pokok pembahasan) dan mendaftar setiap aspek
kebenaran yang dapat kita temukan , setelah itu kita dapat mensortirnya , dan mulai
menyusun pikiran-pikiran itu di dalam suatu urutan yang benar , bila yang kurang relevan
dapat kita buang , kalau ada yang kurang tajam dapat dipertajam dan yang kurang tegas
dapat lebih dipertegas lagi. Menyusun materi tersebut ke dalam suatu urutan yang
sempurna akan sangat membantu kita pada jemaat. Dengan membagikan buah pikiran yang
dikembangkan secara berurutan , orang lain dapat tertolong mengerti dan mengerti jalannya
pembicaraan anda.

Jika shabat inggin membaca secara terang dan lengkap silahkan kunjungi
website WWW.KHOTBAH.CO alasannya yaitu disana berbagai artikel yang menjelaskan
bagaimana cara membuat khotbah yang baik dan benar , jenis jenis Khotbah dan situs
tersebut sudah di lengkapi dengan aplikasi android , Semoga bermanfaat , sekian dan
terimakasih Yang Mahakuasa Yesus Memberkati.

LANGKAH-LANGKAH MENYAJIKAN KHOTBAH YANG


ENAK DAN MENGENYANGKAN
Khotbah seumpama makanan sehat yang nutrisinya mampu memenuhi
kebutuhan sehingga iman jemaat dapat bertumbuh dengan baik. Halim menyatakan,
kerohanian jemaat hanya bisa di pupuk berdasarkan Firman Tuhan yang benar.
Dalam hal ini, jemaat yang kurang dalam kerohaniannya, haruslah dididik secara
mendalam apa arti dan peran Firman Tuhan dalam pertumbuhan imannya.
Firman Tuhan bisa diperoleh dari berbagai macam cara, yaitu: khotbah, PA
(Pendalaman Alkitab), penginjilan, dan lain sebagainya. Salah satu faktor yang
sangat berpengaruh dalam pertumbuhan iman jemaat adalah khotbah. Khotbah
memegang peranan penting di dalam gereja. Jikalau khotbah memegang peranan
penting dalam gereja, maka pengkhotbah harus belajar dan latihan berkhotbah.
Pemahaman akan ilmu berkhotbah dapat diperoleh dari perkuliahan teologi dan
seminar-seminar khusus tentang ilmu berkhotbah.
Adapun langkah-langkah menyajikan khotbah yang enak dan
mengenyangkan adalah sebagai berikut:

A. Pendahuluan Khotbah
Menurut James Braga pendahuluan adalah proses dimana pengkhotbah
berusaha mempersiapkan pikiran dan mendapat perhatian para pendengar terhadap
berita yang hendak diwartakan. Pendahuluan biasanya berbentuk ringkasan dari
pokok bahasan yang akan kita bawakan. Beritahukan pada pendengar secara
singkat tentang bagian-bagian mana yang akan kita sampaikan secara mendalam.
Kita juga dapat menjelaskan bagaimana kita akan mengembangkan pokok khotbah
itu. Hal ini dapat merangsang keinginan mereka untuk mendengar pesan-pesan
selanjutnya. Jadi fungsi pendahuluan adalah untuk menuntun pendengar menuju
khotbah itu.
1.     Menarik Perhatian Pendengar
Untuk kalimat awal pendahuluan khotbah harus disusun sedemikian rupa
sehingga menarik perhatian. Untuk menarik perhatian pendengar, salah satu dari
hal-hal berikut ini dapat dipakai dalam pendahuluan: sebuah lukisan yang luar biasa,
sebuah kata kiasan yang hidup, sebuah pertanyaan yang mengejutkan, statistik, dan
kenyataan-kenyataan. Robinson mengatakan bahwa pendahuluan yang efektif
menimbulkan keperluan dalam diri pendengar sehingga pendengar yang mula-mula
enggan memperhatikan, menjadi mau memperhatikan bukan saja karena mereka
harus mendengar, melainkan juga karena mereka ingin mendengar.
Pendahuluan yang baik itu singkat, sedapat mungkin tidak lebih setengah dari
keseluruhan khotbah. Menurut Hamilton pendahuluan hendaknya tidak melebihi
10% sampai 15% keseluruhan waktu penyajian khotbah. Kadang-kadang memang
harus ada pendahuluan yang harus lebih pendek atau lebih panjang dari ketentuan
itu. Ukuran itu hanya sebagai patokan. Pendahuluan yang terlalu panjang
melemahkan semangat pendegar karena dengan pendahuluan yang panjang,
pendengar akan menduga bahwa khotbah itu pun akan panjang.
2.      Membangun Hubungan yang Harmonis dengan Pendengar
Harus ada hubungan yang harmonis antara pengkhotbah dengan pendengar.
Andreas B. Subagyo mengatakan pendahuluan yang mendatangkan permusuhan
atau kemarahan pendengar atas pengkhotbah akan menggagalkan tujuan khotbah.
Pendahuluan hendaknya mewujudkan empati di antara pengkhotbah dengan
pendengar. Pengkhotbah harus ingat bahwa ia berbicara kepada sahabat-
sahabatnya sehingga jika khotbah berisi teguran sekalipun, teguran itu hendaknya
tidak disampaikan dalam pendahuluan. Pengkhotbah harus menghindari kata-kata
teguran, kata-kata yang pedas, dan kata-kata yang menyatakan sikap bahwa
pengkhotbah merasa dirinya paling suci.
Pendahuluan yang baik adalah pantas, yaitu berupa hal-hal yang patut bagi
pengkhotbah. Pada umumnya, permintaan maaf akan tampang, kesehatan,
persiapan, pokok khotbah, dan lain-lain tidak pantas dipakai dalam pendahuluan.
Menurut Robinson khotbah yang mengharapkan simpati dan belas kasihan demikian
tidak akan dapat meyakinkan pendengar. Sambutan yang berlebihan pada
umumnya juga tidak patut dipakai dalam pendahuluan karena dapat menjadi
kebiasaan yang membosankan, disamping tidak berhubungan dengan bagian utama
khotbah. Demikian pula hal-hal yang tidak memajukan hormat pendengar kepada
firman Allah dan khotbah.
3.      Meyakinkan Pendengar
Pendahuluan harus meyakinkan dan memikat perhatian pendengar,
bagaimana pentingnya topik yang hendak dibawakan. Pengkhotbah tidak boleh
membuka pendahuluan dengan perkataan minta maaf. Pengkhotbah tidak boleh
mengatakan "sayang sekali saya tidak mempunyai cukup waktu untuk
mempersiapkan khotbah saya, dan saya kuatir bahwa khotbah saya bukanlah
khotbah yang baik!".
Jika demikian keadaannya, pendengar dengan cepat akan merasa malang
dan menyayangkan kehadirannya. Oleh karena itu mereka tidak perlu diberitahu dan
permintaan maaf semacam itu hanya akan mengurangi rasa percaya diri mengenai
kemampuan anda sendiri, dan hal itu jelas akan mengurangi kepercayaan
pendengar terhadap anda. Pendahuluan khotbah yang baik adalah dengan
kepastian. Pengkhotbah hendaknya memulai khotbah tanpa ragu-ragu dan tidak
bertele-tele. Persiapan pendahuluan yang cermat akan membantu pengkhotbah
memulai khotbah itu dengan pasti dan berani.

B. Isi Khotbah
Isi khotbah tidak lain dari Alkitab yang telah ditafsir oleh pengkhotbah, dan
siap untuk diberitakan kepada jemaat. Berkhotbah adalah menyampaikan firman
Allah yang telah digumuli pengkhotbah. Perlu dihindari bahaya yang biasa disebut
“spring board sermon”, yaitu khotbah papan loncatan: lepas dari teks lalu
mengembangkan pikirannya sendiri. Boleh jadi dia pandai, namun tidak
menyampaikan firman Tuhan. Isi khotbah dapat dipoles dengan memberikan
ilustrasi-ilustrasi, baik yang berupa gambar maupun cerita. Dengan demikian akan
semakin membantu jemaat untuk memahami isi dari khotbah tersebut.
1.      Menafsir Teks Alkitab
Tidak mudah menguasai penafsiran Alkitbab. Walaupun sulit, pengkhotbah
tetap harus menguasai prinsip dan metode penafsiran. Sebab tidak mungkin
seorang menjadi pengkhotbah yang benar-benar memberitakan ajaran Alkitab tanpa
terlebih dahulu menjadi penafsir yang baik. Penafsiran adalah unsur penting dalam
khotbah. Karena mempunyai penafsiran yang tepat, pengkhotbah baru dapat
menyampaikan isi khotbah dengan tepat. Penafsiran yang mendalam lebih mungkin
menghasilkan khotbah yang mengungkapkan kekayaan Firman Allah.
Membaca suatu bagian Alkitab sebelum khotbah disampaikan tidak menjamin
apa-apa, sebaliknya tidak membaca sebagian Alkitab sebelum khotbah diberikan
juga tidak berarti khotbah itu tidak alkitabiah. Yang penting adalah isi Alkitab sudah
dijelaskan dalam khotbah, atau ada penyampaian pesan yang berasal dari Alkitab.
Hal ini ditegaskan oleh John Knox ketika ia berkata” Mungkin saja seseorang
mengkhotbahkan sebuah khotbah yang tidak alkitabiah berdasarkan suatu bagian
dari Alkitab, juga mungkin seseorang mengkhotbahkan suatu khotbah yang
alkitabiah namun sama sekali tidak berdasarkan suatu bagian Alkitab.”
Tidak ada orang yang menyangkal bahwa teologi itu penting. Teologi
menolong pengkhotbah mencocokkan kembali hasil tafsirannya. Tetapi ini juga
dapat mempengaruhi pengkhotbah sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat
membaca makna sesungguhnya dari suatu bagian Alkitab. Itu sebabnya Robinson
berpendapat bahwa pengkhotbah seharusnya datang kepada Alkitab seperti
seorang anak yang lugu. Ia datang bukan untuk berdebat atau untuk membuat
naskah khotbah. Ia datang untuk membaca agar mengerti, ia berusaha mengerti
agar ia dapat mengalami apa yang dimengertinya. Namun ia juga harus datang
sebagai seorang yang dewasa, karena Alkitab memang bukan sebuah kitab yang
mudah dimengerti.
2.      Penggambaran Maksud Khotbah (Ilustrasi Khotbah)
Para ahli homiletik menggambarkan peranan ilustrasi seperti peranan jendela
bagi sebuah rumah. Melalui jendela tersebut seseorang bisa melihat isi rumah.
Begitu juga dengan ilustrasi. Melalui ilustrasi pengkotbah bisa memberikan
penerangan terhadap apa yang ia sampaikan. Penggunaan ilustrasi sendiri
sebenarnya bukanlah penemuan yang baru. Allah berkali-kali menyatakan diri-Nya
melalui berbagai ilustrasi, misalnya tipologi, simbol, metafora, dan lain-lain. Yesus
juga menggunakan berbagai perumpamaan, metafora dan analogi untuk
memperjelas berita-Nya. Tradisi ini terus dipegang oleh bapa-bapa gereja sampai
pengkotbah modern. Ilustrasi memiliki peranan yang cukup besar bagi keberhasilan
sebuah kotbah.
Berikut ini adalah beberapa fungsi utama penggunaan ilustrasi dalam kotbah:
a. Ilustrasi berfungsi untuk memperjelas khotbah. John Killinger mengatakan
bahwa pendengar tidak selalu bisa mengikuti pemikiran-pemikiran pengkhotbah
seperti membaca sebuah surat akabar atau novel. Tidak semua jemaat memiliki
tingkat kemampuan pemahaman yang sama. Dengan menggunakan ilustrasi,
pengkotbah bisa mengajarkan sesuatu dengan cara yang sederhana. Pendeknya,
kesederhanaan dalam ilustrasi mampu mencakup seluruh segmen jemaat.
b. Ilustrasi berfungsi untuk memberikan ‘istirahat’ pada pikiran jemaat. Tidak
semua jemaat bisa berpikir keras dalam jangka waktu yang lama. Sebagian dari
mereka juga tidak terbiasa dengan pola penalaran yang rumit. Kesederhanaan
dalam ilustrasi berguna untuk “mengistirahatkan” pikiran sejenak, sehingga jemaat
bisa berkonsentrasi lagi pada bagian lain yang membutuhkan konsentrasi tinggi,
misalnya penyelidikan teks yang cukup rumit.
c. Ilustrasi berfungsi untuk membuat kebenaran menjadi menarik dan berkesan.
D.W. Lee mengatakan jika ilustrasi tidak menarik, ilustrasi itu tidak berharga. Betapa
pun variatifnya segmen jemaat, mereka tetap memiliki kecenderungan yang sama,
yaitu sama-sama menyukai cerita (non fiksi dan fiksi), tokoh terkenal dan data.
Dengan menggunakan ilustrasi, pengkotbah mampu menarik perhatian jemaat.
Cerita non fiksi, baik pengalaman pribadi pengkotbah maupun tokoh terkenal,
seringkali mampu mendaratkan kebenaran dengan cara yang berkesan.
d. Ilustrasi berfungsi untuk membuat kotbah lebih lama diingat. Tidak dapat
disangkal, mayoritas jemaat mengalami kesulitan dalam mengingat penyelidikan
teks yang rumit. Mereka biasanya hanya mengingat ide besar, bagian utama dan
ilustrasi yang menjelaskan dua hal tersebut. Kita mengingat kisah-kisah dan
pernyataan-pernyataan yang bersifat ilustratif sehingga khotabah akan lebih mudah
diingat daripada khotbah yang hanya sekedar rumusan.
e. Ilustrasi berfungsi untuk mengulang kebenaran yang sama dengan cara yang
berbeda. Berita yang agak rumit biasanya membutuhkan pengulangan. Pengkotbah
bisa menjelaskan ulang hal yang sama dengan cara yang sama, tetapi hal ini
seringkali menyebabkan kejenuhan bagi sebagian jemaat, terutama mereka yang
memiliki tingkat pemahaman yang cukup baik. Penggunaan ilustrasi memampukan
pengkotbah untuk menjelaskan ulang inti suatu berita tetapi dengan cara yang
berbeda.
f.     Signifikansi ilustrasi seperti dijelaskan di atas menuntut pengkotbah untuk berhati-
hati dalam menggunakannya.

Untuk menghindari kesalahan yang mungkin terjadi, pengkotbah perlu


memperhatikan beberapa pedoman berikut ini:
a. Poin analogi harus tunggal dan jelas. Sebuah cerita bisa diinterpretasikan dan
dipahami dalam banyak cara. Apa yang jelas bagi penyampai ilustrasi belum tentu
jelas bagi yang mendengarkan. Pengkotbah perlu memilih ilustrasi yang memiliki inti
tunggal dan jelas. Dalam beberapa kasus pengkotbah perlu menjelaskan pelajaran
yang ingin dipetik dari ilustrasi tersebut, sehingga jemaat tidak perlu menduga-duga
apa inti ilustrasi tersebut. Dengan kata lain, ilustrasi harus mudah dipahami.
b. Penyampaian tidak perlu terlalu detil. Kesalahan umum yang sering ditemui
dalam penyampaian ilustrasi adalah pengkotbah terlalu detil dalam bercerita.
Pengkotbah seharusnya mampu memilih bagian mana yang langsung berkaitan
(relevan) dengan inti ilustrasi yang ingin disampaikan. Detil yang tidak mendukung
inti harus diabaikan. Penyampaian detil yang tidak relevan justru akan membuat
jemaat kesulitan menangkap poin analogi yang ingin disampaikan. Selain itu, hal
tersebut akan menyita waktu kotbah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk
bagian lain yang lebih penting.
c. Relevan dengan situasi pendengar. Terkait dengan poin sebelumnya,
pengkotbah juga perlu menyeleksi ilustrasi yang dipakai supaya benar-benar relevan
dengan pendengar. Detil-detil yang tidak relevan sebaiknya diabaikan. Contoh: pada
saat berkotbah kepada jemaat di pedesaan, pengkotbah tidak perlu menyampaikan
bahwa suatu cerita terjadi di negara tertentu, apalagi jika penjelasan tersebut tidak
mendukung poin analogi (inti) ilustrasi.
d. Tidak boleh terlalu banyak digunakan. Tidak setiap poin khotbah memerlukan
ilustrasi. Bagian-bagian yang sudah jelas tidak perlu ditambah dengan ilustrasi,
kecuali ilustrasi dari kisah nyata yang berfungsi untuk mendaratkan berita.
e. Harus jujur dan terbuka terhadap historisitas cerita. Pengkotbah sebisa
mungkin menginformasikan apakah yang dia sampaikan adalah sebuah kisah fiksi
atau non-fiksi. Dalam kasus ilustrasi dari kisah non-fiksi, pengkotbah tidak
diperbolehkan membumbui cerita yang ada. Bahkan untuk bagian yang agak bias,
pengkotbah perlu menginformasikan kebiasan yang ada.
f. Ilustrasi tidak bisa dijadikan dasar kotbah. Jika ilustrasi terlalu panjang,
khotbahnya akan berpusat pada ilustrasi. Ilustrasi hanyalah untuk menggambarkan
kebenaran firman Tuhan sehingga pendegar mudah mengerti tujuan khotbah
tersebut.
g. Ilustrasi bukanlah argumentasi. Sebuah ilustrasi tidak membuktikan apakah
pernyataan yang dijelaskan tersebut benar atau tidak. Pengalaman pribadi
seseorang, betapa pun itu benar dan berkesan, tidak bisa dipakai untuk
membuktikan suatu berita. Kebenaran suatu berita terletak pada kesetiaan berita
tersebut terhadap penyataan Allah di Alkitab.

C. Aplikasi Khotbah
Banyak hal yang dapat dipakai pengkhotbah untuk membuat aplikasi khotbah, yaitu:
1.  Menegaskan hubungan pikiran-pikiran dalam khotbah dengan pendengar
2.  Menunjukkan keperluan pendengar menanggapi pikiran-pikiran itu termasuk
menjelaskan hasil tanggapan pendengar.
3.  Menunjukkan cara pendengar bisa menanggapi pikiran-pikiran itu, termasuk tempat
dan bidangnya jika tanggapan itu berupa tindakan atau pelayanan, undangan untuk
menyatakan keputusan di muka umum.
Penerapan dengan cara-cara di atas hendaknya dibuat dengan mematuhi
ketentuan-ketentuan yang akan membantu keberhasilan khotbah tersebut:
1.   Hendaknya dipastikan sasaran penerapan, yaitu kepada siapa penerapan itu
dikenakan.
2.   Hendaknya digunakan kata ganti “Saudara” atau “Anda”, dan jika tepat dan perlu
melibatkan pelayan firman hendaknya dipakai kata ganti “kita”. Jika penerapan ada
kemungkinan menyinggung perasaan, hendaknya digunakan dengan kata ganti
yang tidak langsung, seperti orang, laki-laki, wanita, seorang kristen, anggota gereja,
manusia, dan sebagainya.
3.   Pengkhotbah harus berwatak yang dihargai pendengar, berpengetahuan yang luas
tentang pendengar, berkepribadian dan menaruh perhatian terhadap pendengar,
bersedia menyatakan perasaan yang hangat terhadap pendegar.
4.   Menggunakan penjelasan dan pembuktian sebaik-baiknya sebagai dasar penerapan
serta menyusun penerapan itu dengan jelas, menarik dan kuat.
5.   Secara benar memakai perasaan, keinginan, dan aspirasi pendengar, seperti
keinginan akan persetujuan, kebahagiaan, pengakuan, keberhasilan,
kesinambungan hidup, dan melayani orang lain. Keinginan untuk menghindari
masalah, hukuman, penolakan, dan kegagalan.
6.   serta bersandar pada bantuan ilahi melalui Roh kudus.

D. Kesimpulan Khotbah
Kesimpulan merupakan bagian dari Penutupan khotbah. Kesimpulan adalah
intisari dari keseluruhan isi khotbah, yang dibuat dalam sebuah kalimat maupun
paragraf. Diadalam kesimpulan lah akan tampak klimaks dari sebuah khotbah.
Dalam kesimpulan jugalah tampak apa yang menjadi tujuan khotbah. Kesimpulan
erat hubungannya dengan isi dan arah pekabaran khotbah yang akan memberikan
dorongan kepada pendengar serta menggerakkan mereka dalam sikap hidupnya.
Ringkasan atau kesimpulan khotbah dapat juga dilakukan dalam doa. Doa sesudah
khotbah dapat menjadi sarana yang baik untuk membuat ringkasan atau
kesimpulan.
1.  Jelas dan Cocok dengan Isi Khotbah
Ada kesimpulan yang tidak berkaitan dengan alur khotbah yang
dikembangkan dari awal sampai akhir. Tetapi pengkhotbah harus menyampaikan
dengan singkat dan jelas karena ini adalah kesimpulan yang harus diingat baik-baik
pada bagian yang terakhir. Menurut Andreas B. Subagyo kesimpulan itu hendaknya
cocok atau sesuai dengan bagian utama pelayanan firman, bukan merupakan
sebuah pikiran yang baru. Kesimpulan yang berupa ‘tambahan catatan’ adalah salah
satu kesalahan yang perlu dihindari oleh pengkhotbah. Oleh karena isi khotbah telah
terangkum dalam intisari yang dinyatakan dalam judul, maka semestinya
kesimpulannya juga sesuai dengan kedua unsur itu. Memperkenalkan pokok pikiran
baru yang tidak dibahas dalam bagian utama berarti membelokkan perhatian
pendengar dari intisari dan pokok-pokok pikiran yang tercakup dalam bagian utama
khotbah.
2.   Positif
Kesimpulan hendaknya positif, yaitu berupa ajakan dan dorongan bukan
berupa ancaman dan peringatan. Itu sebabnya pengkhotbah perlu mengenal apa
yang dikehendaki Allah untuk dilakukan pendengar. Tidak ada hal yang tidak baik
selain kesimpulan yang membawa pernyataan negatif. Kesimpulan harus
mempunyai pengharapan positif dan dinyatakan sebagai pengharapan yang optimis.
Untuk membuat khotbah yang dramatis, di dalam pengembangan pendahuluan atau
garis besar, faktor negatif dapat masuk ke dalamnya. Tetapi hanya kesimpulan saja
yang harus positif dan dapat menyatakan pengharapan yang optimis.
3.   Memberi Tantangan dalam Membawa Perubahan Hidup
John Killinger mengatakan kesimpulan sebuah khotbah adalah saat terakhir yang
dimiliki pengkhotbah dengan jemaat, kesempatan terakhir untuk membawa ke
rumah suatu kebenaran abadi untuk mengangkat sejumlah gagasan luhur untuk
melibatkan kehendak mereka dalam melaksanakan suatu tugas suci. Sebuah akhir
haruslah sungguh-sungguh menyimpulkan khotbah, harus menariknya ke sebuah
penutup yang tepat sehingga orang mengetahui secara psikologis dan estetis ia
telah berakhir. Banyak khotbah meninggalkan kesan seperti “delta Missisipi” seperti
kata Henry Slooane Coffin, mereka tercerai berai daripada masuk menjadi sebuah
tujuan yang jelas.

Daftar Pustaka
Billy Graham, Berkat-berkat dari Mimbar Kristen (Semarang: Seminari Theologia
Baptis Indonesia, 1969)
Donald Hamilton, Homiletical Handbook (Nashville: Broadman Press, 1992)
Donald Macleod, Here is My Method: The Art of Sermon Construction (Westwood:
Fleming H. Revell Co., 1952)
E.P.Gintings, Khotbah dan Pengkhotbahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Earl V. Comfort. Is the Pulpit a Factor in Church Growth (Bibliotheca sacra, 1983)
Haddon W. Robinson, Biblical Preaching: The Development and Delivery of
Expository Messages
Haddon W. Robinson, Making a Diffrence in Preaching (Grand Rapids, Michigan:
Baker Book House, 2001)
James Braga, Cara Mempersiapkan Khotbah (Malang: Penerbit Gandum Mas,
2003)
Jay E. Adams, Preaching With Purpose (Malang: Penerbit Gandum Mas,2004)
John Killinger, Dasar-dasar Khotbah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Makmur Halim. Gereja Di Tengah-Tengah Perubahan Dunia (Malang: Gandum Mas,
2001)
Michael Dudit, Handbook of Contemporary Preaching (Nashville, Tennessee:
Broadman Press, 1992)
Menyiapkan homilist yang baik dari sejak seminari

Pengantar
Tema aktual yang sering dibicarakan di komisi seminari dan juga komisi liturgi
adalah homili. Bagi komisi seminari menyiapkan para calon imam agar kelak
menjadi imam yang memiliki ketrampilan dalam mewartakan sabda Tuhan
adalah tugas utama. Terlebih ketika imam bertugas sebagai seorang pemimpin
liturgi. Sebagai pemimpin liturgi seorang imam dituntut bukan hanya tahu
tentang sikap liturgis, cara membawakan upacara liturgi dengan baik tetapi
terlebih juga cara memaklumkan Sabda Tuhan. Bagian ini sering kurang
disiapkan secara baik sejak seminari menengah dan tinggi. Mungkinkah dibuat
kerjasama lintas komisi, dalam hal ini komisi seminari dan komisi liturgi
berkolaborasi-bersinergi menyiapkan calon imam sebagai pengkotbah sejak dini
di seminari menengah. Bagaimana bentuknya?
Kesadaran tugas utama mewartakan Sabda
Tuhan
Apa tugas khas dari imam, yang tidak dimiliki oleh umat lain? Kanon 757
menyatakan: “Tugas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah
memaklumkan Injil Allah; terutama para Pastor Paroki dan mereka yang diserahi
tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang
dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup
dan Presbyteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda”.
Teks ini mau menyatakan bahwa tugas pokok dan bersifat khas bagi seorang
imam adalah memaklumkan-mewartakan Injil Allah. Tugas mewartakan Sabda
Allah itu merupakan pelaksanaan pewartaan sabda dan secara konkrit melalui
kegiatan homili saat perayaan ekaristi. “Diantara bentuk-bentuk kotbah,
homililah yang paling unggul yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri” (bdk.
kan. 767). Jadi homili adalah bagian integral dari  perayaan ekaristi  (bdk. SC,
35,52; PUMR, 29). Maka kegiatan homili atau kotbah dalam perayaan ekaristi
tidak bisa lepas dari tugas pokok seorang imam yakni mengajar umat. Melalui
liturgi khususnya Perayaan Ekaristi – kaum beriman dimampukan untuk
mengungkapkan dalam kehidupan mereka serta memperlihatkan kepada orang-
orang lain misteri Yesus Kristus dan hakekat asli dari Gereja yang sejati (bdk. SC,
2).

Homili: bercerita dan bersaksi tentang pribadi


Yesus
Homili adalah sebuah pewartaan yang mengisahkan atau bercerita tentang
kisah Yesus dalam perayaan Ekaristi. Untuk dapat bercerita tentang Yesus kita
perlu memiliki pengalaman pribadi berjumpa dengan Yesus, mengalami pribadi
Yesus. Cerita tentang Yesus akan efektif, kalau cerita itu keluar dari pengalaman
hidup pribadi kita; sebab orang lebih percaya kepada kesaksian hidup daripada
sekedar berkata-kata (bdk. 1Yoh 1:1-4; EN, 41; EA, 42). Dengan bercerita tentang
Yesus, kita mengungkapkan identitas diri kita sebagai umat kristiani (umat
Katolik); dan kita tidak boleh menyembunyikan diri kita sebagai murid-murid-
Nya. Dengan berada bersama dengan orang-orang sebangsa, yang dirundung
kemiskinan dan hidup dalam pluralitas agama dan kebudayaan, kita menjadi
sungguh-sungguh katolik dan sungguh-sungguh warga Indonesia. Dengan
“berbuat” bagi mereka yang dirundung kemiskinan, dan hidup dalam pluralitas
budaya dan agama, kita semakin menjadi Kristiani. Maka dalam homili yang
tidak lepas dari kenyataan hidup konkrit umat, perlulah diperhatikan konteksnya
(pendengarnya).
Kontekstualiasi Homili
Dimensi kontekstualisasi homili dalam perayaan ekaristi sangatlah penting.
Umat merasakan kekuatan dari Sabda Tuhan, jika Sabda yang menjadi warta
homili menyentuh kehidupan konkrit; jika Sabda Tuhan mengubah perilaku
hidup manusia sehingga kehidupan nyata menjadi sejahtera dan damai. Itulah
panggilan dasar Gereja yakni menjadi terang bagi bangsa-bangsa (bdk. Lumen
Gentium, 1). Gereja menerima perutusan untuk mewartakan Kerajaan Kristus
dan Kerajaan Allah dan mendirikannya di tengah bangsa-bangsa (bdk. Lumen
Gentium, 5). Sementara Gereja membantu dunia atau menerima banyak dari
dunia, yang menjadi tujuan satu-satunya adalah datangnya Kerajaan Allah serta
terwujudnya keselamatan bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes, 45).
Kontekstualisasi homili juga melihat kehidupan masyarakat yang ditandai
dengan pluralitas agama dan budaya, serta mayoritas penduduknya hidup
dalam kemiskinan. Karena itu hidup menggereja dilakukan lewat dialog antar
umat beragama, berinkulturasi dan pembebasan manusia yang seutuhnya dan
menyeluruh aspek bidang kehidupan (bdk. FABC I, 1974; V, 1990). Homili
hendaknya menjadi suara kenabian ketika masyarakat menawari praksis “yang
kuat yang menang, yang bermodal besar (kaum kapitalis) menguasai yang tidak
bermodal kaum miskin)”. Kita sebagai Gereja perlu memperlihatkan baik melalui
perkataan maupun perbuatan bahwa “yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir
harus didahulukan.” (bdk. Nota Pastoral: Keadaban Publik, KWI 2004, art. 18.1).
Ketika masyarakat digiring untuk menyembah uang, Gereja perlu bersaksi
dengan mewartakan Allah yang solider, penuh kasih dan kerahiman. Melalui
homili sebagai bentuk komunikasi iman dalam perayaan, kita dapat mengajak
umat beriman untuk melihat kehidupan dalam terang Sabda Tuhan, dan
melakukan pertobatan.

Bagaimana menyiapkan Homili


Menyiapkan homili tidaklah mudah, perlu ketekunan dan keseriusan. Bagi
seorang pewarta Sabda Tuhan, diperlukan satu minggu untuk menyiapkan
Homili jika hal itu dilakukan oleh Pastor Paroki yang setiap minggu harus
memberi homili pada perayaan ekaristi bersama umat. Calon imam belajar
memberikan homili di dalam misa kelompok di rumah bina. Komisi liturgi
memberikan panduan sederhana bagaimana berhomili yang baik? Di bawah ini
cara menyiapkan homili yang mungkin berguna bagi para pewarta sabda Tuhan.
Persiapan menyampaikan homili terbagi dalam 2 tahap: persiapan jarak jauh
dan jarak dekat.
Persiapan jarak jauh: meliputi tiga tahap (1) renungan pribadi: melakukan
permenungan atas bacaan Sabda Tuhan dengan tertulis yang menjadi inspirasi
homili, (2) hidup kerohanian pribadi yang mendalam, yang dimaksudkan adalah
sebagai pewarta sabda Tuhan hendaknya memiliki hidup rohani yang matang,
memiliki kebiasaan berdoa dan membaca sabda Tuhan dalam Kitab Suci, (3)
kepribadian dari si homilist (pembawa homili): sangatlah menentukan. Di sini
dibutuhkan integritas kepribadian dari si pewarta sabda Tuhan. Apa yang saya
katakan, juga saya lakukan, berhomili berarti juga mengandung tuntutan untuk
melakukannya.
Persiapan jarak dekat: (a) membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, (b)
menentukan satu tema berdasarkan hasil permenungan, (c) mendengarkan
konteks penerima (audiens), (d) membaca sumber tambahan (dapat diambil dari
ajaran Gereja, nota pastoral, (e) kesesuaian dengan ajaran Kitab Suci dan Gereja,
(f) menyusun draft homili, (g) membawakan homili: menentukan metode,
sarana, berdoa sebelum kotbah dan mendengarkan gerakan Roh apa yang
hendak homilist katakan kepada umat.

Suatu kerjasama lintas komisi


Mungkinkah terjalin kerjasama lintas komini seminari dan liturgi dalam
menyiapkan calon imam agar menjadi homilist yang unggul? Kerjasama terjalin
jika sejak seminari menengah diberikan pelajaran pengajaran tentang liturgi
sebagai komunikasi sabda (komunikaturgi). Liturgi adalah perwujudan iman
dalam upacara tapi sekaligus sebuah komunikasi iman. Sejak seminari
menengah diajarkan tentang menulis renungan singkat dan dibawakan kepada
teman-teman sendiri. Komisi Liturgi keuskupan dan para dosen liturgi sudah
saatnya memberikan pengajaran tentang homili sejak di seminari menengah.
Bagi seminari tinggi agar para frater diajarkan bagaimana: menggali kekayaan
sabda Tuhan dengan pelbagai metode tafsir kitab suci yang praktis untuk umat,
bagaimana berkomunikasi yang benar dalam ruang publik (public
speaking dan public appearance), bagaimana menata integritas kepribadian
homilist agar kata menjadi tindakan konkrit? Bagaimana komisi seminari dan
komisi liturgi membuat buku-buku panduan tema dan gagasan homili mingguan
dengan bahasa sederhana untuk calon imam seminari menengah dan tinggi?

Anda mungkin juga menyukai