Anda di halaman 1dari 55

Maria

Honoratus Zebua
“Hendaknya Kamu Kaya Dalam Pelayanan Kasih”

II Kor 8,7

Hantaran Umum

Konsep dan Cakupan

Sedari awal kehidupan Gereja, permenungan tentang Maria terpusat pada


keberadaan-Nya sebagai Bunda Yesus-Bunda Allah, Santa Perawan, Dia yang
Dikandung tanpa Noda, Dia yang Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi, Bunda
Gereja serta kedudukan dan fungsinya dalam takhta keselamatan Kristus bagi dunia”.
Walaupun demikian, inti permenungan Gereja tentangnya, sesungguhnya hanya dikaji
dari dua titik, yaitu:

Pertama, kedudukan dan fungsi Maria dalam tata keselamatan Puteranya,


Yesus Kristus.

Ditegaskan bahwa:

o Kedudukan dan fungsi Maria dalam tata keselamatan tidak sama dengan
kedudukan dan fungsi Yesus Kristus dan juga tidak bisa disamakan dengan
kedudukan dan peranan umat beriman.
o Gereja hanya beriman akan kedudukan dan fungsi Yesus sebagai “Pengantara
Tunggal dan Universal” antara Alah.
o Di dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium 66, para Bapa
Konsili Vatikan II menegaskan kedudukan Maria dengan pernyataan ini:
“Berkat rahmat Allah Maria telah diangkat di bawah Putera-Nya, di atas
semua Malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir
pada misteri-misteri Kristus”.
o Gereja mengakui peran Maria dalam misteri Yesus Kristus, yaitu sebagai Bunda
Yesus Kristus, Allah (Lumen Gentium 52).

Kedua, di dalam misteri Gereja

o Maria menjadi pola atau teladan unggul-istimewa Gereja dalam persekutuan


mesra dengan Kristus, terutama dalam iman, cinta kasih dan harapan.
o Maria adalah Bunda umat manusia dan Bunda kaum beriman yang bersekutu
dalam Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja.
o Peran keibuan Maria bagi seluruh manusia tidak menyurutkan kepengantaraan
tunggal Yesus Kristus, tetapi justru menyingkapkan kekuatan dan
meneguhkannya (Lumen Gentium 60) sebab perannya bagi manusia terkandung
di dalam jasa Yesus, Puteranya.
o Peranan ini memperlihatkan bahwa kedudukan Maria sangat istimewa serta
mengungguli peran Malaikat dan umat beriman.

1
1. Maria dalam Ajaran Resmi Gereja
1) Inti iman Gereja menegaskan bahwa Allah Trinitas merupakan landasan/prinsip
intrinsik dan definitif dari Wahyu Allah dalam sejarah keselamatan.
a. Inti iman ini bisa diteropong dari kondisi manusiawi dan totalitas
kemanusiaan sebagai makhluk ciptaan yang senantiasa bergerak di
sepanjang sejarah iman menuju kepenuhannya (sebagai manusia dan dunia)
di dalam Allah.
b. Muara pergerakan manusia adalah bersekutu dengan Allah dalam kekuatan
rahmat.
c. Di dalam pergerakan inilah manusia membutuhkan teladan iman Maria,
Bunda Yesus.
2) Sejak abad I hingga abad XVII, ajaran dan posisi Maria dalam Ajaran Gereja
dijelaskan dari dua sisi: Lumen Gentium, Bab VIII, No. 52-69:
3)
a. Mariologi-Kristotipikal:
o Keberadaan Maria dihubungkan secara langsung-erat dengan karya
penyelamatan Kristus;
o Maria menyokong karya keselamatan Allah bagi manusia dalam diri
Kristus Yesus.
o Kesulitan fundamental yang dihadapi penganut metode pendekatan
ini adalah: Bagimana menjelaskan perbedaan kedudukan dan fungsi
“ke-Pengantara-an Tunggal - Tidak Terbagi” antara Allah dan
manusia dalam diri Yesus Kristus dan peranan Maria di dalam misteri
hidup Yesus serta partisipanya dalam meneguhkan relasi interen di
antara mereka.

b. Mariologi-Eklesiotipikal:
o Mempertimbangkan Maria sebagai anggota utama dan terunggul
serta memiliki peranan penting dalam Tubuh Gereja Kristus.
o Maria adalah buah terunggul dari karya penyelamatan Allah: Dia
serentak diselamatkan Allah dalam diri Puteranya, Yesus Kristus dan
model beriman bagi seluruh Gereja.

2. Prinsip-Prinsip Fundamental dalam Marialogi

Keberadaan Maria dan perannya dalam misteri Kristus dan Gereja diulas
dalam spiritualitas, ulah kesalehan, puisi dan seni Kristiani. Ada dua unsur yang
mengemuka:

1) Unsur Obyektif
a. Prinsip yang paling hakiki dari unsur ini bersentuhan dengan “Keibuan Ilahi dari
Perawan Maria”.
b. Bersumber dari unsur keibuan dan keperawanan, maka ditetapkan dogma
Maria Bunda Allah dan Maria Perawan
c. Prinsip-prinsip obyektif yang terkandung dalam diri Maria dan ditetapkan
dalam dogma Mariani ini ditemukan di dalam perwujudan Sejarah Keselamatan
Puteranya sendiri.

2
2) Unsur Subyektif
a. Prinsip yang paling hakiki dari unsur ini adalah iman Maria, terutama dalam
derap hidup dan perjalanan personalnya dalam mengikuti Yesus Kristus dan
posisi internalnya dalam komunitas keselamatan, yaitu Gereja dan martabatnya
dalam iman Gereja universal (sensus fidelium).
b. Bersumber dari unsur iman, maka ditetapkan Dogma “Maria Dikandung tanpa
Noda” dan “Maria Diangkat ke Surga”.
c. Prinsip-prinsip subyektif ini berakar pada pewahyuan obyektif dalam Kitab Suci
yang serentak menjadi otoritas tertinggi dan norma obyektif bagi iman: di
dalamnya digemakan Wahyu Allah sebagai pengkomunikasian personal diri
Allah dalam lingkup iman dan sejarah perkembangan iman Gereja serta
kesadaran untuk mengasimilasikan ke dalam akar budaya manusia.

“Maria dalam Kesaksian Biblis”

1. Maria: Bunda Putera Allah yang Menjelma menjadi Manusia (St. Paulus)
1) Paulus mendedikasikan permenungan tentangnya (hanya satu kali saja) di dalam
suratnya kepada jemaat di Galatia 4: 4-5. Paulus menjelaskan bahwa, “... setelah
genap waktunya, [...] Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang
perempuan ... ”.
2) Paulus tidak menyebut nama perempuan itu “Maria”.
3) Ada dua alasan fundamental baginya untuk tidak menyebutkan nama Maria
sebagai Ibu Yesus:

a. Bagi Paulus, keberadaan Yesus, Putera Allah sebelum berinkarnasi serta


kehidupan duniawi yang dijalani-Nya sebelum pra-Paskah merupakan kunci
untuk memahami inti teologi tentang Wahyu Allah dalam sejarah manusia.

a) Dengan memusatkan permenungannya pada pra-eksistensi Putera Allah


dan puncak Wahyu Allah pada diri-Nya dalam peristiwa inkarnasi, Paulus
menegaskan bahwa di dalam bingkai sejarah keselamatan, “Putera Allah
yang sebelumnya (pra-eksistensi) ada bersama Allah dan sehakekat
dengan-Nya adalah sungguh-sungguh Allah”.
b) Walaupun demikian, dalam peristiwa inkarnasi, Putera Allah yang
sebelumnya ada bersama Allah itu harus “takluk kepada hukum Taurat”.
Keyakinan iman ini dituangkan dalam suratnya kepada jemaat di Roma
dan Filipi: Putera Allah “yang menurut daging, diperanakkan dari
keturunan Daud” (Rom 1:3) itu “sama dengan Allah” (Fil 2:6); “Dia diutus
Allah dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa
karena dosa” (bdk. Rom. 8:3). Dia diutus ke dunia; menjadi manusia, sama
seperti manusia dan menjadi Mediator Keselamatan.

b. Paulus tidak menyebutkan bahwa:

3
a) Yesus dikandung dan dilahirkan dari Maria berkat daya Roh Kudus;
b) Paulus juga tidak menjelaskan apakah Maria mengandung dan
melahirkan sebagai seorang perawan atau bertentangan dengannya.
c) Paulus justru menyingkapkan kodrat manusiawi Yesus dengan
menjelaskan akar pra-eksistensi-Nya sebagai Putera Allah, tanpa
mempersoalkan akar kemanusiaan-Nya, terutama momen kelahiran-
Nya.
d) Baginya, “seluruh detak peristiwa kehidupan Putera Allah terjadi di
dalam Allah dan tindakan-Nya demi keselamatan manusia”.

4) Kendati tidak menyebutkan nama Maria, di dalam suratnya kepada jemaat di


Galatia, namun:
a. Paulus menghubungkan pra-eksistensi Putera Allah dengan sejarah
keselamatan dunia serta menghubungkan Anak Allah dan ibu-Nya.
b. Keyakinan akan pra-eksistensi Putera Allah, kesehakekatan-Nya dengan Allah
serta kelahiran-Nya dalam peristiwa inkarnasi menuntun Paulus kepada
sebuah pengakuan iman bahwa “perempuan” yang dimaksud dalam suratnya
kepada jemaat di Galatia ini adalah Bunda Allah.
c. Pernyataan dan pengakuan iman ini kelak dijadikan dogma dan inti ajaran
iman Gereja tentang Maria.

2. Putera Allah adalah Putera Maria (St. Markus)


1) Markus mengawali Injilnya dengan memaklumkan inti iman akan Yesus Kristus:

a. Dia adalah “Putera Allah” (Markus 1:1).


b. Sosok Putera Allah yang dimaksudkan dalam Injilnya ini adalah Yesus dari
Nazaret.
c. Dia adalah “Mesias dan Putera yang Terberkati” (bdk. Markus 14:61).

2) Markus juga menyebut Yesus sebagai Nabi.


a. Namun, baginya, Yesus bukanlah nabi biasa;
b. Dia adalah Bentara Kerajaan Eskatologi Allah (Markus 1:5).
c. Melalui cara hidup dan tindakan Ilahi-Nya yang berdaya penyelamatan,
d. Dia menyingkapkan kodrat-Nya sebagai Mediator Kerajaan Allah (Markus
1:27) dan “Putera Allah” (Markus 13:32).

3) Dalam totalitas kemanusiaan (Orang Nazaret) dan keilahian-Nya (Putera Allah dan
Mediator antara Allah dan manusia):
a. Yesus menatap kematian-Nya di salib sebagai puncak ketaatan-Nya kepada
Allah serta pewahyuan definitif tentang kesehahekatan kodrat-Nya dengan
Allah, Bapa-Nya (sapaan yang khas dan ekslusif Yesus: “Bapa-Ku” [Markus
14:36]).
b. Dengan demikitan tampak bahwa Yesus bukanlah sosok ilahi mitologis sebab
“Dia sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia”.

4
4) Dalam hubungan-Nya dengan Allah, Markus menyembutkan Yesus sebagai:

a. “Anak Allah”.
b. Namun, “Dia yang adalah Anak Allah” adalah juga “Anak Maria” (Markus 3:
31-35 dan 6:3.)
c. Penegasan Markus bahwa Yesus serentak Anak Allah dan Anak Maria
menunjukan bahwa:
a) Kemanusiaan (historisitas) Yesus merupakan garansi untuk membuktikan
kesamaan-Nya dengan manusia-ciptaan yang hidup dalam sejarah dunia.
b) Karena alasan fundamental inilah maka dia menegaskan inti keyakinan
imannya bahwa “Maria adalah Ibu Yesus (bdk. Markus 3,31).

5) Dua fakta biblis yang harus disimak untuk memahami makna teologis yang
terkandung dalam penegasan-penegasan Markus ini adalah:

a. Jarak antara Yesus dan keluarga serta misi-Nya untuk memenuhi kehendak
Allah, Bapa-Nya:

a) Markus menjelaskan bahwa tatkala Yesus mengawali penampilan dan


karya-Nya di hadapan publik, keluarga-Nya berjuang agar Dia dibawa
kembali ke rumah-Nya karena mereka berpikir bahwa “Dia tidak waras
lagi” (Markus 3:31-31), terutama ketika Dia menyembuhkan seorang lumpuh
(Markus 2,12).

b) Makna teologis yang digariskan Markus adalah:

o Menegaskan bahwa misi Yesus bukanlah misi religius dan ikatan


natural keluarga tidak mutlak dihubungkan dengan bingkai tradisi
religius Yudaisme, melainkan melampaui praksis historis dan
kehidupan manusiawi.
o Relasi baru yang dibangun Yesus di dalam dan dengan
Pengantaraan-Nya adalah menjadikan semua manusia sebagai
“saudara, saudari dan ibu-Nya” (Markus 3:35).
o Relasi ini hanya bisa terpupuk apabila pribadi-pribadi manusia
memenuhi satu tuntutan fundamental yang diajarkan-Nya, yaitu:
“Melakukan kehendak Allah”, memahami dan mengaktualisasikan
daya dan misi Ilahi di dalam-Nya sebab Dia adalah Mediator
Kerajaan Eskatologi Allah.

b. Cakupan pemahaman tentang “saudara-saudara Yesus”.

Berkenaan dengan ungkapan “saudara-saudara Yesus” tertemukan penafsiran


yang berbeda antara kaum Protestan dan Katolik.

a) Bagi kaum protestan, “saudara-saudara Yesus” adalah “saudara


sekandung”.

5
b) Bagi Gereja Katolik, ungkapan “saudara-saudara Yesus” bukanlah
“saudara sekandung”. Adapun alasannya:

o Teks Markus, tidak pernah menyebutkan keberadaan Yusuf. Menurut


tradisi, Yusuf meninggal dunia sebelum peristiwa sengara, wafat dan
kematian Putera-Nya di Salib.
o Di kaki salib, Yesus menyerahkan ibu-Nya, bukan kepada salah
seorang saudara-Nya, melainkan kepada Yohanes.
o Teks Markus tidak pernah menyebut dan mengidentikkan “saudara-
saudara Yesus” dengan “anak-anak Maria”.
o Jika Yesus memiliki saudara, maka sangat mustahil bagi Maria dan
Yusuf pergi ke Yerusalem bersama Yesus dengan meninggalkan
anak-anak mereka yang masih kecil.
o Disimpulkan bahwa “saudara-saudara Yesus” merupakan kebiasaan
yang berkembang di kalangan jemaat Kristen Perdana untuk
menghormati sanak saudara Yesus yang berperan penting dalam
kehidupan mereka.
o Ini berarti bahwa saudara-saudara Yesus adalah saudara sepupu,
bukan saudara sekandung.

3. Yesus Dikandung di dalam Rahim Perawan Maria berkat Karya Roh Kudus (St.
Matius dan St. Lukas)

3.1. Apakah Matius 1-2 dan Lukas 1-2 merupakan Kisah Historis?

1) Harus ditegaskan bahwa Matius 1-2 dan Lukas 1-2 bukanlah laporan historis,
melainkan sebuah pewartaan iman tentang Yesus (bukan tentang Maria).
a. Diakui bahwa di dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 dikisahkan tentang Ibu Yesus,
namun inti kisah itu selalu ditempatkan dalam konteks pewartaan tentang Yesus:
b. “Matius 1-2 dan Lukas 1-2 tidak bermaksud melaporkan hal-ikhwal Yesus,
orang Nazaret, melainkan mewartakan Yesus Kristus sebagaimana diimani
jemaat Kristen tatkala Injil disusun oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam
kehidupan Yesus, orang Nazaret itu”.

2) Walaupun demikian, kisah-kisah Injil ini bukanlah mitologi:


a. Perjanjian Lama dan Tradisi Yahudi menjadi dasar/landasan untuk menjelaskan
kisah-kisah ini;
b. Kisah-kisah itu berakar dalam lingkup Kristen Yahudi yang sama sekali tertutup
terhadap mitologi kafir;
c. Di zaman Perjanjian Baru, kaum kafir yang terdidik pun agak skeptis terhadap
mitologi tradisional sehingga tidak dipergunakan sebagai media pengungkapan
iman.
d. Adalah sangat aneh apabila tradisi Kristen, terutama penginjil, kaum terdidik,
memanfaatkan mitologi tradisional yang sama sekali tidak berperan itu sebagai
media untuk mengungkapkan inti iman Kristen yang baru.

6
3) Kisah-kisah tentang Maria, Ibu Yesus dalam Matius 1-2 dan Lukas 1-2 memiliki ciri
yang unik.
a. Di dalam dan melalui kisah-kisah ini, tertuang visi penulis dan jemaat Kristen
tentang Ibu Yesus yang ditempatkan dalam konteks pemberitaan tentang Yesus
Kristus (menjelang Abad Pertama) dalam sejarah dan takhta penyelamatan.
b. Keberadaan Ibu Yesus hanya relevan sejauh ditempatkan dalam konteks iman
akan Yesus Kristus.
c. Perbedaan:
a) Di dalam kisah Lukas, Maria, Ibu Yesus menjadi pelaku utama, di samping
Puteranya, Yesus Kristus.
b) Di dalam kisah Matius, peran Maria disingkirkan. Peran utama yang
ditonjolkan adalah Yesus dan Yosef untuk menegaskan bahwa Yesus, Sang
Mesias adalah keturunan Daud.

3.2. Titik Berangkat

1) Berbeda dengan Paulus dan Yohanes, permenungan Matius dan Lukas tidak merujuk
pada:
a. Pra-eksistensi Putera bersama Bapa sebelum inkarnasi (Yohanes 1,1.14.18),
b. Misi-Nya dalam daging (Roma 8:3) dan
c. Kelahiran-Nya sebagai seorang manusia dari seorang perempuan (Galatia 4:8).
2) Matius dan Lukas justru berangkat dari relasi filial kemanusiaan Yesus dengan
Allah, Bapa-Nya.

a. Dengan pendasaran ini, Matius dan Lukas memperlihatkan bahwa “kodrat Yesus
sebagai Putera Allah” merupakan landasan fundamental untuk menjelaskan
“kelahiran kemanusiaan Yesus” sebagai puncak Wahyu Allah dan inti cinta-Nya
demi keselamatan dunia.
b. Keyakinan iman Matius dan Lukas akan kesehakekatan kodrat Allah dan
manusia dalam diri Yesus memotivasi mereka untuk menyusun kembali tradisi
injili yang berakar pada budaya Yudaisme Palestina berkenaan dengan
peristiwa “Yesus yang dikandung dan dilahirkan dari Perawan Maria berkat
karya Roh Kudus”, “tanpa kerjasama dengan laki-laki” serta ‘kisah awal
kehidupan Yesus di hadapan publik”.

3) Perbedaan:
a. Di dalam Injil Matius (1-2):
a) Yosef, tunangan Maria merupakan sosok kunci untuk memahami peristiwa
hidup Yesus:
b) Yesus, Putera Allah adalah sosok manusia yang melampaui kodrat semua
makhluk ciptaan dan melampaui pengenalan alamiah manusia.
c) Putera Allah yang dinantikan Maria bukanlah buah hubungan natural antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan (Matius 1:18.25), sebab
keberadaan-Nya di dalam rahim Maria merupakan buah karya Roh Kudus
Allah (Matius 1:8.20).

7
d) Roh Kudus, kodrat (esensi) Allah sendiri tidak bekerja berdasarkan alasan-
pertimbangan natural- empiris-nyata seperti yang dilakukan oleh seorang
laki-laki. Karena itu, secara ekslusif, titik berangkat permenungan Matius dan
Lukas adalah lukisan-struktur teogami ini: “Memperanakan Allah-Manusia
yang berkodrat Pengantara Allah-Manusia”.
e) Di dalam Matius, masa pra-historis Yesus Kristus (kristologi) diperkenalkan
dari perspektif Yosef.
b. Lukas juga menyingkapkan makna kristologi dan marialogi yang luas dan
mendalam tentang peristiwa perkandungan Yesus di dalam rahim Perawan
Maria berkat kekuatan Roh Kudus.
a) Dengan keyakinan imannya, Lukas menegaskan bahwa Yesus dilahirkan
tanpa hubungan seksual dengan seorang laki-laki.
b) Baginya, relasi filial kemanusiaan Yesus dengan Allah merupakan landasan
konstitutif – dengan pengantaraan ada dan aksi, “dynamis” dan “pneuma” –
untuk menyingkapkan kesehaketan antara Yesus dengan Allah dan Dia
adalah Allah.
c) Di dalam dan karena kodrat ke-Allah-an-Nya, Maria menjadi tujuan
“langsung” dan “utama” pemakluman Kabar Gembira Allah yang
disampaikan Malaikat Gabriel dan di dalam dirinya Firman Allah akan
terlaksana. Penegasan Malaikat atas bentuk dan fakta dikandungnya Yesus
tanpa hubungan dengan laki-laki diungkapkan dalam skema pemakluman
Kabar Gembira yang identik dengan skema pewahyuan Allah dalam
Perjanjilan Lama (Lukas 1,26-38).
d) Berhadapan dengan janji supranatural Allah dan pesan-Nya bahwa Maria
akan mengandung dan melahirkan seorang Putera yang kelak dinamakan
“Putera Allah yang Mahatinggi”, Maria justru bertanya, “Bagaimakah hal itu
mungkin terjadi sebab aku belum bersuami? Terhadap pertanyaan Maria ini,
Malaikat menjawab, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang
Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan
itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35).
e) Ungkapan “akan menaungi engkau” sama sekali tidak mengindikasikan
adanya karakter seksual, tetapi di balik “awan” akan ditemukan kemuliaan
yang menakjubkan, yaitu kehadiran Penyelamat dan tujuan fundamental
pewahyuan diri Allah: Allah akan menyingkapkan kemuliaan-Nya di balik
selubung awan (bdk. Keluaran 13:22; 19: 6; 24:16; Lukas 9:34; Kisah Para
Rasul 1:9).

4. Maria, Saksi Kemuliaan Allah (St. Yohanes)


1) Yohanes memperkenalkan bahwa:
a. Semua tindakan historik Yesus merupakan puncak pewahyuan tentang
Kemuliaan Allah dan kesatuan-Nya dengan Allah, Bapa-Nya sebelum adanya
dunia.
b. Dengan penyingkapan wahyu kemuliaan Allah ini, Yesus menghimpun dan
menuntun para murid-Nya untuk percaya (Yohanes 2:11).

8
c. Dalam iman dan cinta, para murid ambil bagian dalam persekutuan dengan
Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam Cinta Allah yang merupakan esensi Allah
sendiri (Yohanes 17:24).
2) Di dalam Injilnya, Yohanes hanya dua kali berbicara tentang Maria, yaitu diawal
pewahyuan kemuliaan Yesus dalam pesta perkawinan di Kana dan penyingkapan
kemuliaan Yesus di kayu salib.

a. Dalam dua momen ini, Yohanes menghubungkan Maria dengan pewahyuan


kemuliaan Allah.
b. Maria sungguh-sungguh mengenal siapakah Yesus, Puteranya dan dia adalah
murid pertama yang percaya dan beriman akan Allah dalam diri Yesus Putera-
Nya: “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yohanes 2:5).
3) Berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di kaki salib:
a. Berita yang disampaikan Yohanes bukanlah berita historis, terutama berkenaan
dengan rasa cemas yang menguncang Yesus terhadap Maria, ibunya dan para
murid-Nya.
b. Pada momen ini, unsur terpenting yang dipaparkan Yohanes adalah kedalaman
makna simbolik yang terkandung di dalam penegasan Yesus: makna kehidupan
Kristen hanya bisa dipahami apabila seluruh peritiwa hidup-Nya terjadi dan
diungkapkan secara transparan. Perkataan Yesus kepada Maria: Ibu, inilah
anakmu” dan kepada murid-murid-Nya “Inilah ibumu” serta penegasan: “dan
sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahya” (Yohanes 19:26)
diterjemahkan dengan muatan spiritual mengenai relasi ibu-anak antara Yesus
dan Maria serta hubungan antara Maria dengan Gereja. Maria adalah bagian
dari komunitas mudah sebagai figur iman yang pertama dan paling utama dan
murid Yesus tersempurna, sebab seluruh kehidupannya terarah total kepada
Yesus, Puncak Penyingkapan kemuliaan Allah.

Maria memberikan kesaksian imannya sebagai ibu Yesus, eksistensi historis


Yesus dalam kemanusiaan-Nya serta memberikan kesaksian tentang kemuliaan dan
keilahian-Nya dan dalam kepenuhannya semua manusia menerima rahmat demi
rahmat (bdk. Yohanes 1:16).

9
BAB II

“Dogma Mariani”

1. Maria, Bunda Allah (Theotokos)


1.1. Maria, Ibu Yesus

1) Maria adalah Ibu Yesus.


a. Fakta iman ini berakar pada penegasan Paulus kepada jemaat di Galatia 4:4:
“Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari
seorang perempuan”.
b. Dengan pernyataan ini, Paulus mengungkapkan keyakinan kristologisnya bahwa
sama seperti manusia, Yesus serentak dilahirkan dari seorang perempuan dan
ditempatkan dalam rangkaian sejarah hidup manusia.

2) Persoalannya, “Mengapa Paulus menyebut Ibu Yesus dengan kata “perempuan?”

a. Walaupun Paulus tidak memikirkan ibu historik Yesus, namun karena ibu itulah,
Yesus menjadi manusia.
b. Antara Yesus dan “perempuan” itu terjalin relasi yang unik.
c. Tiada seorang perempuan pun yang menjadi Ibu Yesus (menurut Paulus), kecuali
seorang perempuan yang bernama Maria. Berkat relasi yang unik itu, Yesus,
Anak Allah menjadi manusia.
d. Dengan demikian, perempuan yang menjadi Ibu Yesus serentak memiliki
kedudukan dan peranan yang unik dalam sejarah dan karya penyelamatan
Allah sebab Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan
untuk menebus manusia yang takluk kepada hukum supaya diterima menjadi
anak-anak Allah.
e. Apabila secara biologik dan personal, Maria adalah Ibu Yesus, maka iman
Kristiani meyakini bahwa dia adalah Ibu Mesias (Matius 1:16.22-23) yang
menggenapi harapan Perjanjian Lama.
f. Dia adalah Ibu Anak Allah yang Mahatinggi (Lukas 1:32.35; Ibu Umat Tuhan
(Lukas 1:43); Ibu Juru Selamat (bdk. Matius 1:21.23; Lukas 2:11 dan Ibu
Cahaya sekalian Bangsa (Lukas 2:32).

1.2. Maria, Bunda Allah

Menurut Nestorius:
a. Gelar Theotokos diberikan kepada Maria sangat berlebihan, sebab baginya,
kekekalan Putera Allah berasal dari Allah, bukan karena dan melalui Maria.
b. Dia juga menilai bahwa gelar anthropotokos juga tidak sepadan jika dikenakan
pada Maria sebab Maria tidak tidak hanya melahirkan seorang manusia biasa,
tetapi seorang manusia yang berhubungan dengan Logos.
c. Karena itu Nestorius menggelari Maria dengan sebutan Cristothokos.

10
a) Gelar ini dinilainya sangat tepat diberikan kepada Maria sebab inkarnasi
bukanlah proses pemanusiaan Allah atau pentransformasian keilahian Allah
di dalam diri seorang manusia.
b) Dia juga menolak adanya pemamahan tentang pengilahian kodrat
manusiawi Yesus.
c) Baginya, kesatuan dua kodrat, ilahi dan manusiawi terungkap dalam
hubungan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak membingungkan.
d) Kesatuan itu hidup dan terungkap dalam kehendak-Nya yang satu dan
sama dengan kehendak Allah serta ketaatan-Nya untuk melaksanakan
kehendak Allah.
e) Namun, ketaatan Yesus terhadap kehendak Allah berakar pada kesatuan-
Nya dengan Allah dan Roh-Nya sebelum berinkarnasi.

1.3. Theotokos: Bunda Allah

1) Dalam perkembangan tradisi, Kristologi Perjanjian Baru dipadatkan dalam


penegasan iman bahwa:
a. Yesus Kristus, Anak Allah adalah Sabda Kekal yang sehakekat dengan Allah,
Bapa-Nya (Konsili Nicea 325).
b. Allah: Anak sungguh-sungguh Allah karena sehakekat dengan Bapa.
c. Allah: Anak menjadi daging; Dia sungguh-sungguh manusia.
d. Dia sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh Manusia (Konsili Efesus 431;
Kalcedonia 451).

2) Hal menarik yang patut disimak adalah fakta historis yang terjadi sebelum Konsili
Efesus.

a. Pada Abad III dan IV, beberapa teolog menggunakan istilah communicatio
idiomatum (Pertukaran Sifat).
b. Sesungguhnya, istilah ini sudah dipergunakan dalam Gereja Kuno oleh
Tertullianus pada Abad II (Tertullianus tidak pernah menggunakan istilah Dei-
Para atau Mater Dei).
a) Baginya, pribadi Yesus yang satu itu serentak berkodrat Ilahi dan Insani dan
berkat kekuatan Roh Kudus dilahirkan dari Perawan Maria.
b) Dengan istilah communicatio idiomatum itu, Gereja menyebut Ibu Yesus
sebagai Bunda Allah.
c) Penggunaan istilah ini memperlihatkan inti iman Gereja akan ke-Tuhan-nan
Yesus.
d) Wawasan kristologi ini serentak berdampak pada mariologi:
o Karena Yesus sungguh-sungguh Allah, maka Ibu Yesus menjadi Bunda
Allah.
o Oleh keyakinan iman ini, maka sejak abad IV (dalam Doa Sub tuum
Praesidium), Maria digelari Theo-tokos, Dei-genitrix (yang melahirkan
Allah) atau Dei-para; Mater Dei (Bunda Allah)
c. Diakui bahwa gelar Maria sebagai Bunda Allah (Dei-para; Mater Dei, Bunda
Allah) kerap menyesatkan: Seolah-olah Allah mempunyai ibu dan sosok Maria
diidentikan dengan dewa-dewi kafir.
11
d. Istilah Theo-tokos; Dei-genitrix (yang melahirkan Allah) dinilai lebih tepat
dikenakan pada Maria.
a) Dengan gelar Theo-tokos, Dei-genitrix dinyatakan bahwa Maria melahirkan
seorang anak – yang menurut Dogma Nicea – sungguh-sungguh Allah karena
sehakekat dengan Bapa.
b) Gelar tersebut tidak mengindikasikan bahwa Allah mempunyai ibu
sebagaimana layaknya bagi manusia sejati.

3) Gelar Theo-tokos, Dei-Genitrix (Bunda Allah) didogmakan dalam Konsili Efesus 431.

a. Dogma ini ditetapkan untuk meluruskan pemikiran Nestorius, Batrik


Konstantinopolis dan pengikut-pengikutnya.
b. Mereka menolak gelar tersebut karena dinilai berbauh mitologis (kafir). Mereka
mempertahankan bahwa di dalam diri Yesus ada dua subyek, yaitu Firman
Allah/Allah-Anak dan manusia Yesus Kristus.
c. Maria adalah ibu “ke-manusia-an” Yesus Kristus sehingga dia disebut ‘Antropho-
tokos (yang melahirkan manusia) atau Khristo-tokos (yang melahirkan Kristus).
d. Penegasan kristologi ini serentak berimplikasi pada penegasan mariologi:
a) Maria tidak melahirkan manusia biasa.
b) “kodrat Sabda dan keilaihan-Nya (Yesus Kristus) tidak berasal dari
Perawan Suci, melainkan karena tubuh suci dan akal diambil Maria; dengan
dan di dalam tubuh Maria, Sabda Allah dipersatukan berdasarkan
kemandiriannya, sehingga Sabda itu dikatakan lahir menurut daging” (DS
251).
c) Sejak Konsili Efesus, gelar Theo-tokos, Dei-Genitrix, Bunda Allah menjadi
gelar tradisional dan dipergunakan dalam Gereja. Namun gelar ini hanya
bisa dimengerti dan dibenarkan apabila ditempatkan dalam konteks dogma
kristologik. Terlepas dari konteks dogma ini, gelar Maria sebagai Bunda
Allah akan kehilangan maknanya.
d) Gelar Maria sebagai Bunda Allah dimaksudkan untuk menjamin bahwa
Yesus Kristus sehakekat dengan Allah dan manusia.

2. Maria, Bunda-Perawan
2.1. Maria Mengandung dari Roh Kudus (Conceptio Virginalis)

1) Kaum Kristiani Perjanjian Baru berkeyakinan bahwa:

a. Kehadiran Yesus di bumi fana ini sangat berbeda dengan manusia biasa.
b. Walaupun Dia dilahirkan dari rahim Ibu-Nya seperti manusia lainnya, namun
Dia tidak diperanakkan dari seorang ayah, tetapi dikandung dari Roh Kudus,
Daya Cipta Allah sendiri (Matius 1:8):
c. Dengan daya Roh Ilahi-Nya, yaitu Daya Penciptaan-Nya (bdk. Kejadian 1:1),
Allah membiarkan proses alamiah terjadi dalam pembentukan Putera-Nya,
Yesus Kristus di dalam rahim Ibu-Nya, tanpa campur tangan seorang laki-laki.

2) Untuk memahami makna perkandungan Yesus di dalam rahim Maria berkat


kekuatan Roh Kudus (conceptii virginalis), maka:
12
a. Titik tradisi yang harus diteropong bukanlah Maria, melainkan Yesus.
b. Itu berarti, perkandungan Yesus di dalam rahim Maria berkat kekuatan Roh
Kudus bukanlah persoalan Mariologi, melainkan persoalan Kristologi, kendati
inti keyakinan ini secara tidak langsung mengatakan sesuatu tentang Maria:
Maria serentak Perawan dan Ibu; Dia adalah Ibu-Perawan.
c. Sebagai Perawan, Maria mengandung Yesus, Putera Allah.

2.2. Maria: Ibu-Perawan (Virginitas ante Partum)

Tradisi mengenai keperawanan Maria tatkala mengandung Yesus (virginitas


ante partum) berakar pada Kitab Suci Perjanjian Baru sendiri:

a. “Ketika ibu Yesus bertunangan dengan Yusuf ia kedapatan mengandung dari


Roh Kudus, sebelum mereka berkumpul” (Matius 1,18).
b. Yusuf “tidak mengenal dia (istilah Ibrani: bersetubuh) hingga ia melahirkan
anak”.

2.2.1. Keperawanan Maria – Makna Simbolik?

2.1.1.2. Model Pendekatan Baru

1) Menanggapi aneka keraguan yang muncul berkenaan dengan keperawanan


Maria, model pendekatan baru (sesungguhnya tidak terlalu baru sebab sudah
dikenal dan dipergunakan Justinus pada abad II) mengakui bahwa “keperawanan”
(cara Yesus dikandung di dalam rahim Maria) bermakna simbolik.

a. Keperawanan Maria hendak mengatakan sesuatu tentang Yesus Kristus yang


diimani kaum Kristiani sebagai Juru Selamat dunia:

a) Yesus Kristus bukanlah hasil kerja-usaha manusia, melainkan semata-mata


karunia Allah.
b) Di dalam diri-Nya, pelbagai unsur yang bukan berasal dari dunia-sejarah
masuk ke dalam dunia dan sejarah umat manusia.
c) Logika pikir ini dilukiskan secara indah dalam Silsilah Hidup Yesus (Matius
1:1-17).

o Rangkaian keturunan Abraham dan Daud terputus dengan kehadiran


Yesus.
o Di satu pihak, berkat Maria, Ibu-Nya, Yesus masuk ke dalam
rangkaian silsilah tersebut;

13
o Namun dilain pihak, Yesus bukanlah hasil rangkaian itu karena tidak
diperanakan dari Yusuf bin Yakub.
o Kisah perkandungan Yesus dilukiskan dengan indah: Dia dikandung
dari Roh Kudus.

b. Akan tetapi, bisa diterima juga bahwa kedudukan dan peranan Yesus tidak
akan berkurang apabila Dia dikandung secara wajar-alamiah.

a) Keperawanan Maria bukanlah prasyarat atau dasar agar Yesus, Anak Allah
– Jurus Selamat bisa menjelma menjadi manusia dan tidak tercemar.
b) Penekanan pada keperawanan sama sekali tidak mengindikasikan bahwa
seksualitas dan perkawinan sebagai sesuatu yang tercemar, tidak suci dan
menjadi sumber dosa (asal) sehingga Yesus yang Mahakudus tidak boleh
terinfeksi oleh kebusukan dosa.
c) Tendensi gnostik-asketik ini pasti tidak melatarbelakangi “keperawanan
Maria” dalam kisah Injil.
d) Apabila dalam perkembangan tradisi selanjutnya ada pendapat yang
tegas mengatakan bahwa Yesus yang tanpa dosa tidak bisa dikandung
melalui seksualitas alamiah supaya tidak tercemar, maka pendapat itu sama
sekali tidak memahami Kitab Suci dan alam pikirannya.

2) Bisakah perkandungan Yesus dalam rahim Maria yang perawan direduksikan


menjadi simbol semata tanpa realitas fisik-biologik?

3) Perkembangan tradisi Kristen hingga abad XIX dengan kuat dan mantap
mempertahankan dimensi simbolik ini, bahkan dinilai sebagai ajaran yang tidak
bisa diganggu-gugat; tidak bisa ditinggalkan, kendati tidak bisa didefinisikan
secara formal sebagai sebuah dogma.

a. Menganggapi kekukuhan sikap Tradisi Kristen ini, kaum Reformasi justru


bertanya, “Mengapa Tradisi Kristen dengan sikap mantap mempertahankan
ajaran ini (hingga abad XIX) walaupun seutuhnya sadar bahwa segi fisik-
biologik bukanlah dimensi terdalam dari ajaran ini?
b. Diakui bahwa sebelum zaman rasionalisme (abad XVIII), simbol tidak akan
pernah menjadi sebuah simbol yang tidak bermakna, hampa dan kosong.
c. Simbol tidak hanya memiliki realitas rasional, melainkan juga realitas fisik-nyata
dalam menyimbolkan realitas yang transenden.
d. Apabila keperawanan dilihat sebagai simbol dari ciri transendental Yesus dan
realitas fisik simbol itu dihilangkan, maka ciri transendental itu pun kehilangan
realitasnya dan menjadi mitologi belaka.

14
e. Dalam perspetif teologis sendiri, jika dikatakan bahwa Yesus dikandung secara
ajaib dalam rahim Maria, maka Dia tidak seutuhnya manusia seperti yang
tegaskan dalam Tradisi dan Dogma Kristiani.
f. Dalam konteks ini tampak bahwa keperawanan fisik-biologik bertentangan
dengan inkarnasi.
g. Menurut Tradisi dan Dogma, kendati Yesus sungguh-sungguh manusia, Dia
bukanlah manusia biasa.
h. Jika demikian, patut dipertanyakan, “Apakah teologi berhak untuk mendikte
Allah, bagaimana seharusnya Dia bisa dan harus menjadi manusia?
i. Apakah benar jika Tradisi dan Dogma mempertahankan bahwa apabila sejak
awal Yesus itu Allah, maka sangat wajar kalau sejak awal juga ciri-ciri itu
memiliki dimensi kosmik, fisik, biologik?
j. Dimensi ini sangat ambivalen dalam diri Yesus sebab hanya menjadi dimensi
kosmik-fisik Kerajaan Allah yang terpenuhi dalam diri Yesus.
k. Sebagai tanda, keperawanan fisik Maria hanya dipahami dalam konteks iman
kepada Yesus.

4) Apabila keperawanan Maria memiliki dimensi fisik-biologik dan berkaitan langsung


dengan Yesus sehingga bermakna Kristologik, secara tidak langsung keperawanan
itu pasti mengungkapkan sesuatu tentang Maria:

a. Bagi Maria, keperawanan itu berarti dia secara ekslusif merelakan diri bagi
Allah dan menjadi ibu bagi seorang anak hanya karena kehendak Allah, entah
bagaimana kehendak itu dipahami Maria.
b. Oleh karena itu, keperawanan tidak hanya berdimensi fisik-biologik, kecuali
konsekuensinya semata.
c. Untuk memahami arti keperawanan Maria, maka akan diulas muatan teologis
dari keperawanan itu sendiri.

2.2.2. Makna Teologis: Persoalan Maria dan Penyelesaian dari Pihak Allah

Berkenaan dengan inti pengakuan iman Gereja tentang kodrat Maria sebagai
Ibu dan Perawan, maka patut direnungkan bahwa Allah memanggil Maria untuk
berpartisipasi dalam rencana keselamatan: menjadi Ibu Tuhan. Namun, rencana itu
berbenturan dengan situasi Maria yang berstatus perawan. Bagaimanakah
memperdamaikan keibuan dengan keperawanan serta bagaimanakah Maria
melaksanakan tugas panggilannya?

1) Maria mengalami kegembiraan dan tawaran kegembiraan dalam panggilannya.

15
a. Rencana Allah atas dirinya, yaitu menjadi Ibu Penyelamat dunia memungkinkan
bagi Allah sendiri untuk turun dan menjelma di dalam dirinya.
b. Ini merupakan sebuah privilese, panggilan istimewa yang tidak terbandingkan.
“Engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki...”
merupakan berita tentang datangnya kehidupan baru; sebuah pengalaman
tentang hidup yang pasti membawa kegembiraan.
c. Menjadi seorang ibu merupakan sesuatu yang membahagiakan. Dari sisi iman,
panggilan Maria menjanjikan kebahagiaan.
d. Pengalaman Maria sangat unik. Allah sendiri yang menawarkan kegembiraan
itu melalui Malaikat-Nya.
e. Tugas dan panggilannya memiliki kemungkinan untuk kebahagiaan dan
kepuasan.

2) Pada saat yang sama, panggilan Maria menjadi ibu membawa persoalan tanpa
jalan keluar.

a. Persoalan itu terasa sangat membebankan, memalukan, bahkan membawa


kesepian atas dirinya.
b. Suasana batin dicetuskan Maria dalam satu pernyataan, “Bagaimana hal itu
mungkin terjadi sebab aku belum bersuami? (Lukas 1:34)
c. Di sinilah letak kekuatan batin Maria: tidak pasrah menerima saja dengan diam,
melainkan berani mempertanyakan rencana Allah tentang panggilannya.
d. Maria berani menggugat Allah.
e. Persoalannya: pada tingkat ini Maria berpikir secara manusiawi. Dia sadar
bahwa hidupnya sebagai seorang perawan diserahkan secara utuh kepada
Allah, namun serentak dengan itu juga dia harus menjadi ibu, tuntutan Allah
sendiri.
f. Saat itu Maria berpikir, atau tetap perawan menurut cita-cita biblis, atau
menjadi menjadi Ibu menurut cara manusia dengan mengenal seorang laki-laki
yang memberikan kesuburan?
g. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Maria bahwa keperawanan Kristen berarti
menjadi ibu, melahirkan Tuhan bagi sesama yang lain; dan bahwa
keperawanan Kristen dimungkinkan karena Roh Allah.

3) Kita menyaksikan satu jalan penyelesaian dari pihak Allah.

a. Jalan penyelesaikan dari pihak Allah: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa
Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau.
b. Anak itu Anak Allah” (Lukas 1:35).

16
c. Apabila kita memperhatikan jalan penyelasaian ini, ternyata bukan sebuah
penyelesaian biasa yang dapat diterima dengan jelas sebab yang dijelaskan
hanyalah peranan Allah dan tidak pernah dijelaskan bagaimana peranan
Maria: Allah yang memanggil, Dia sendirilah yang menyediakan kegembiraan
itu.

4) Penyelesaian dari pihak Allah sudah terjadi dan dari pihak Allah, jalan
penyelesaian itu sangat teologis.

a. Terhadap jalan penyelasaian Allah ini, Maria dituntut untuk meneriman dengan
sikap iman, bukan karena semuanya sudah terungkap jelas.
b. Maria menyatakan fiatnya, bukan karena jelas, tetapi karena diterima dalam
iman.
c. Apalagi fiat Maria bukan seperti yang dipikirkan manusia: kepasrahan,
penyerahan dan semuanya selesai (Jadilah padaku menurut perkataanmu itu,
Lukas 1:38).
d. Arti fiat Maria ini terlalu lemah.
e. Sesunggunya, dengan fiatnya itu, Maria serentak menyatakan harapan
(optatif), keinginan, mudah-mudahan rencana Allah sungguh-sungguh terlaksana.
f. Apabila fiat Maria hanya mengungkapkan kesediaan dan kepasrahan seorang
Maria, maka penyelesaian Allah belum mencapai titik yang definitif.

5) Dalam situasi ini, justru ditemukan satu momen lain dari pengalaman Maria, yaitu
pengalaman tentang persahabatan sebagai satu-satunya jalan keluar untuk
mengatasi kesulitan dalam menjalani panggilan.
a. Maria menemukan panggilan sebagai sesuatu yang membebankan dan
kemudian Allah memberikan jalan keluar.
b. Secara manusiawi, Maria masih mencari jalan lain yang cukup manusiawi.
c. Maria membutuhkan peneguhan manusiawi di samping rahmat Allah.
d. Dia ingin menyalurkan dan membuka isi hati tentang panggilan itu kepada
sebayanya; kepada orang lain yang mengalami panggilan yang sama.
e. Di sinilah peranan dan arti perjalanan Maria untuk bertemu dengan Elisabet,
orang yang senasib dengannya dalam kesepian manusiawi.

2.3. Maria: Perawan yang Melahirkan (Virginitas in Partum)


1) Kitab Suci (Matius dan Lukas 1-2) memberikan kesaksian mengenai inti iman
Kristiani bahwa:
a. Yesus dikandung dari Roh Kudus dalam rahim Maria sebagai perawan.

17
b. Pada Abad II muncul dan berkembang keyakinan iman bahwa Yesus dilahirkan
oleh Maria sebagai perawan: Yesus serentak dikandung dan dilahirkan secara
ajaib.
c. Dijelaskan bahwa “Selaput darah Maria tidak rusak akibat kelahiran Yesus”.
d. Walaupun demikian, ajaran Tradisi ini diterima dan dipahami dalam konteks ini:
keperawanan Maria in partum berarti sikap hati Maria yang sepenuhnya
mengandung dan melahirkan Yesus tidak pernah dibatalkan.
e. Sejak abad IV (Ephifanes), Maria digelari “Tetap Perawan”: perawan sebelum,
waktu dan sesudah melahirkan (DS 44, 46, 291, 299, 422, 533, 571, 1880).
f. Di dalam Lumen Gentium 49, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa “kelahiran
Yesus tidak merusak, tetapi menguduskan keperawanan Maria”.
g. Dalam konteks ini, keperawanan di saat melahirkan dimengerti sebagai
kebulatan hati dan totalitas diri Maria merelakan dirinya untuk melahirkan Yesus
dan menjadi ibunya.

2.4. Maria Tetap Perawan (Virginitas post Partum)


1) Keyakinan iman Gereja mengenai keperawanan tetap Maria (virginitas post
partum) mulai diperdebatkan tatkala pelbagai pihak berusaha menafsir
pernyataan Perjanjian Baru tentang “saudara-saudari Yesus” (Jakobus, Joses,
Yudas dan Simon; Cat: Perjanjian Baru tidak menyebutkan nama saudari: Maria
dan Salome atau Hana dan Salome; Maria, Hana, Salome).
2) Jika mereka bukan anak Maria, bagaimanakah hubungan mereka dengan Yesus?
a. Dalam pertengahan Abad II (Pra-Injil Jakobus dan Kitab Apokrip), berkembang
dua pendapat:
a) Saudara-saudari Yesus diartikan dengan saudara-saudari seayah: Mereka
adalah anak Yusuf dari perkawinan pertama, sebelum menikah dengan
Maria;
b) Saudara-saudari Yesus diartikan juga dengan keponakan Yesus, anak-anak
saudari ipar ibu Yesus, istri Kleopas (Yohanes 19:25) dan anak-anak
seorang Maria (dan suaminya) yang disebutkan dalam Markus 15:40.47
yang berkerabat dengan Yesus.

b. Perjanjian Baru tidak pernah menyebutkan “saudara-saudari Yesus” dengan


“anak-anak Maria”.
a) Maria selalu berada bersama saudara-saudara Yesus, tetapi tidak pernah
bersama dengan anak-anaknya.
b) Di dalam Markus 3:21; 3:31 dilukiskan dengan jelas mengenai ketegangan
antara Yesus dengan ibu dan saudara-saudara Yesus.
c) Ibu Yesus lebih berada di pihak saudara-saudara Yesus, bukan di pihak
Yesus.

18
d) Jika demikian, “Mengapa mereka tidak disebut “anak-anak Maria, anak-
anak ibu Yesus?
o Dalam bahasa Ibrani, saudara-saudari (‘ah,’aha) berarti sanak
saudara yang lain (keponakan).
o Dalam bahasa Yunani, saudara-saudari (adelphos, adelphe) berarti
saudara sekandung; saudara seayah-seibu.
o Kata adelphos, adelphe bisa dipergunakan dalam arti luas, terutama
untuk meningkatkan kedudukan orang dengan mengembangkan relasi
kekeluargaannya dengan tokoh penting dalam masyarakat (raja,
kaisar).
o Jika demikian, maka dinyatakan mungkin kaum kristiani menyebutkan
saudara-saudara Yesus sebagai saudara-saudara-Nya untuk
menghormati mereka sebab mereka memainkan peranan vital pada
perkembangan awal Gereja.
o Dugaan ini tidak bisa dibuktikan dengan teks Perjanjian Baru
sehingga tetap ambivalen dan dwiarti.

e) Diakui bahwa Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan Tradisi iman


tentang “keperawanan tetap Maria” yang sudah dipertahankan sejak Abad
II. Inti persoalan yang kerap diperdebatkan adalah: kenyataan ini tidak
akan pernah muncul selama saudara-saudara Yesus masih hidup. Kaum
kristiani sungguh-sungguh mengerti bahwa sebutan “saudara-saudara Yesus”
hanyalah gelar kehormatan yang diperuntukkan bagi saudara-saudari
Yesus.
f) Ketika generasi pertama hilang, gelar “saudara-saudari” justru menimbulkan
kerancuhan sebab selalu ditempatkan dalam konteks pemahaman Yunani.
o Penulis yang hidup di Abad II, Hegesippus (dikutip oleh Eusebius
dalam Sejarah Gerejanya) menyebutkan bahwa:
 Simeon (Simon, Markus 6:3), Uskup Yerusalem yang kedua
adalah saudara Tuhan.
 Dia adalah keponakan Tuhan yang kedua.
 Dia menggantikan Uskup Pertama Yerusalem, yaitu Yakobus,
saudara Tuhan.
o Menurut Hegesippus, Yakobus, saudara Tuhan adalah keponakan
Yesus, anak paman-Nya (dari sisi Yusuf).
o Keterangan Hegesippus ini juga diperdebatkan para ahli sehingga
tidak bisa dijadikan bukit utama bahwa saudara-saudara Yesus
bukanlah anak-anak Maria.

19
g) Landasan Perjanjian Baru terakhir yang dijadikan bukti mengenai Tradisi
keperawanan tetap Maria adalah Yohanes 19:27.
o Di dalam ayat ini dikisahkan bahwa Yesus mempercayakan ibu-Nya
kepada “murid yang dikasihi-Nya”.
o Tindakan Yesus ini tidak akan mungkin terjadi apabila Maria, Ibu-
Nya memiliki anak yang lain.
o Ada juga yang menafsir bahwa sangat mustahil bagi Maria dan
Yusuf untuk berziarah ke Yerusalem bersama Yesus apabila di rumah
masih ada anak kecil (Lukas 2:41-51).
o Persoalannya, Lukas tidak mamaparkan data historik sehingga sulit
untuk membuktikan ada atau tidaknya anak Maria selain Yesus.

h) Ada landasan teologis (bukan historik) yang lebih mendukung kaum kristiani
untuk mempertahanlan keperawanan tetap Ibu Yesus, Maria:
o Sedari awal, Maria merelakan diri sepenuhnya untuk menjadi Hamba
Tuhan dan Ibu Yesus (keperawanan spiritual).
o Oleh karena itu, sangatlah wajar, pantas dan masuk akal apabila
Maria tidak lagi merelakan diri untuk seseorang yang lain.
o Apabila Maria masih memiliki anak yang lain, dia juga wajib
merelakan diri bagi anak-anak itu. Memiliki anak yang lain juga
tidak bertentangan dengan kesucian Maria.
o Walaupun demikian, diakui bahwa memiliki anak yang lain tidak
sesuai dengan keperawanan spiritual yang sudah dijalaninya sejak
awal.
o Penyerahan total kepada Allah dan Yesus terasa sangat sulit apabila
disertai tuntutan untuk menyerahkan diri demi anak-anak yang lain.
o Dengan demikian, tampak bahwa keperawanan tetap Maria dilihat
sebagai konsekuensi dari keperawanan awal dan keperawanan itu
pun memiliki dimensi fisik-biologik.

3. Maria Dikandung tanpa Noda (1854)


3.1. Maria Bebas dari Dosa Asal
1) Konsili Trente menegaskan bahwa “berkat karunia istimewa yang dianugerahkan
kepadanya, maka seumur hidupnya, Maria bebas dari segala dosa” (DS 1573).
a. Inti ajaran ini ditegaskan kembali oleh Paus Pius IX: “Secara dasariah, Ibu Yesus
amat suci, amat kudus seumur hidupnya”.
b. Penegasan Konsili Trente merupakan buah permenungan kaum Kristiani atas
realitas Maria dalam Kitab Suci, terutama mengenai relasi unik antara Maria
dengan Yesus, Puteranya dan Juru Selamat Manusia:

20
a. Maria adalah Ibu yang amat suci sebab relasi personalnya dengan Allah
tidak terganggu sedikit pun;
b. Dia tidak berdosa;
c. Dia tidak melakukan apapun yang tidak berkenan di hadapan Allah.
d. Dia selalu dan dengan sebulat hati menerima tawaran kasih-tawaran diri
Allah.
2) Pendapat para Bapa Gereja ini diluruskan oleh para Bapa Gereja yang lain, yaitu
Ambrosius (397) dan Agustinus (430).
a. Mereka menegaskan bahwa Ibu Yesus seutuhnya bebas dari dosa pribadi.
b. Penegasan ini menjadi keyakinan umum yang berkembang dan dipegang teguh,
baik di kawasan Barat maupun di kawasan Timur.
c. Dasar pertimbangan kedua tokoh ini adalah sebagai berikut:
a) Dalam wujud sekecil apa pun, dosa sama sekali tidak cocok dengan
dengan Bunda Allah.
b) Dosa dan akibatnya merupakan halangan bagi siapa pun saja untuk
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan kasih-Nya.
c) Kisah Perjanjian Baru memberikan kesaksian bahwa Maria menyerahkan
dan memberikan diri seutuhnya untuk menjadi Ibu Yesus, Anak Allah.
d) Maria tidak menyerahkan dan memberikan diri hanya dalam momen
seketika, tetapi hingga akhir hidupnya.
e) Tradisi iman ini dipertahankan hingga Zaman Reformasi.
f) Luther pun berkeyakinan bahwa sejak disucikan di dalam rahim ibunya,
Maria bebas dari dosa asal.
d. Keyakinan iman ini justru ditolak oleh para pemikir dan kaum beriman di
kalangan Reformasi.
a) Mereka yakin bekeyakinan bahwa gambaran Maria dalam kisah Perjanjian
Baru sangat bertentangan dengan keyakinan Tradisi tersebut.
b) Oleh karena itu, mereka mengembangkan kembali inti ajaran iman para
Bapa Gereja yang hidup di Abad III-IV.
c) Ada pun inti keyakinan mereka:
o Maria adalah manusia yang suci dan model kesucian Kristen.
o Maria juga seorang manusia berdosa yang senantiasa membutuhkan
pertobatan.
o Keistimewaan Yesus Kristus, Puteranya tidak semestinya dikenakan
kepada Maria.
o Sama seperti manusia lain, Maria serentak suci dan tidak suci (simul
iustus et peccator)

21
e. Menurut inti ajaran iman yang otentik, Maria tidak pernah berbuat dosa.
a) Kisah Perjanjian Baru pun memberikan kesaksian bahwa sama seperti
Yesus, Puteranya, Maria tidak memiliki dosa pribadi.
b) Walaupun demikian, antara Yesus dan Maria memiliki perbedaan
mendasar:
o Akar ketidakberdosaan Yesus ditemukan dalam diri Yesus sendiri:
 Yesus tidak hanya dinyatakan tidak berdosa, tetapi justru
tidak bisa berdosa tanpa meniadakan diri-Nya.
 Apabila Yesus berdosa, maka Dia melawan kodrat diri-
Nya sendiri.
o Akar ketidakberdosaan Maria tidak ditemukan di dalam dirinya
sendiri, tetapi di dalam relasi Allah dengan diri-Nya di dalam
diri Putera-Nya, Yesus.
 Secara manusiawi, dari dirinya sendiri, Maria bisa
berdosa.
 Apabila tidak dicegah oleh karunia Allah yang istimewa,
Maria tetaplah pendosa.
 Maria terlindung dari dosa pribadi semata-mata oleh
kasih karunia Allah.
f. Terhadap pernyataan ini ditemukan dua sikap yang berbeda:
1) Kaum Reformasi dan Pujangga Gereja merasa cemas apabila Maria yang
tidak berdosa dikecualikan dari penebusan umum.
2) Teologi Katolik menegaskan bahwa:

o Ketidakberdosaan Maria berakar pada kasih karunia Allah dan karya


penebusan Yesus Kristus sendiri.
o Hanya Maria yang ditebus dengan cara yang istimewa.
o Berkat kasih karunia Allah, Maria dicegah atau dibebaskan dari kuasa
dosa.
o Maria justru ditebus secara dasariah dari semua manusia.
o Bagi Maria, penebusan itu tidak mencakup pemulihan atau penyilihan
dari dosa seperti manusia lain.

g. Apabila keyakinan iman Katolik ini dipertahankan, maka konsep umum tentang
“penebusan” atau “ditebus sebelumnya” akan kehilangan maknanya yang
autentik:
1. “Seseorang dipindahkan dari keadaan yang buruk ke dalam keadaan
yang lain”.

22
2. Sejalan dengan konsep ini, maka “Maria menjadi “prae-redempta” (ditebus
sebelumnya); sedangkan manusia lainnya adalah “redempti”.
3. Kaum Reformasi menolak Tradisi iman Katolik ini. Bagi mereka, Tradisi iman
Katolik justru bertentangan dengan Perjanjian Baru sendiri.

3.2. Dogma: Maria Bebas dari Dosa Asal


3.2.1. Dogma
1) Dogma tentang Maria yang bebas dari dosa pribadi dan dosa asal ditetapkan
Gereja di bawah otoritas Paus Pius IX pada tahun 1854. Adapun isi dogma ini:

“Sejak saat pertama dikandungnya perawan Maria yang amat


bahagia terlindung/terpelihara (praeservatam) bebas dari segala noda
(labes) kesalahan asal (originalis culpae) berkat kasih karunia yang
seluruhnya istimewa dari pihak Allah yang Mahakuas, berdasarkan (intuitu)
jasa (merita) Kristus Yesus, Juru Selamat Umat Manusia, yang sebelumnya
sudah dilihat (Allah)”.

Penegasan dogmatis tentang Maria yang bebas dari dosa pribadi dan dosa
asal ini memiliki muatan teologis seperti ini:

a. Sama seperti manusia lainnya, Maria - pada dirinya dan menurut tatanan umum
- juga terkena “dosa asal” sebab dia juga termasuk dalam kawanan umat
manusia, keturunan Adam.
b. Keberadaan Maria sangat berbeda dengan Yesus Kristus, Puteranya:

a) Yesus Kristus tidak terlibat-tidak tercemar oleh dosa asal


b) Yesus Kristus hanya tercemar oleh “akibat dari dosa asal” yang tidak
bercirikan dosa.

c. Perbedaan antara Maria dan Yesus disimpulkan dalam istilah:


a. “Keharusan” (debitum) dosa asal (sebagai manusia, Maria “harus”/pasti
memiliki dosa asal)
b. “Keharusan terkena dosa asal” (debitum contrahendi peccatum)

d. Makna yang terkandung di dalam pernyataan teologis ini adalah:


a. Dari sisi Maria: kenyataan bahwa Maria tidak terkena dosa asal tidak
mungkin dijelaskan dan dipahami.

23
b. Dalam diri Maria tiada dasar fundamental apa pun yang membebaskannya
dari kenyataan umum yang dialami manusia.
c. Dalam diri Maria sendiri ditemukan akarnya untuk mengalami kenyataan
umum manusia, yaitu keberadaannya sebagai manusia dalam tatanan yang
nyata.
d. Namun, Maria tidak tercemar oleh akibat dosa asal. Sebab fundamental
bagi Maria sehingga tidak tercemar oleh dosa asal adalah:
a) Panggilan dan pilihan Allah sendiri; serta
b) Kasih karunia Allah berkat “jasa” (karya penebusan) Yesus Kristus, Anak
Maria sendiri.
e. Fakta iman ini mengandaikan bahwa karya penebusan itu sudah efektif
sebelum direalisir dalam kenyataan historis (sebelum Yesus Kristus menjelma
menjadi manusia).

Dogma hanya menegaskan bahwa:

a. Maria “sebelumnya” terlindung/terpelihara (praeservata).


b. Seperti manusia umumnya, Maria membutuhkan Kristus dan karya-Nya supaya
bebas dari dosa asal (dan dosa pribadi) serta memperoleh keselamatan berkat
kesediaan dan kerelaannya untuk menerima dan menyerap kasih tawaran kasih
Allah.
c. Sama seperti manusia lainnya, totalitas diri dan kehidupan Maria tergantung
sepenuhnya kepada Allah dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus.
d. Maria memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah dan manusia, namun dia
membutuhkan Putera-Nya Yesus Kristus.
e. Maria tidak ditempatkan di pihak Allah atau Yesus Kristus; dia tetap berada di
pihak manusia.

2) Dogma juga menegaskan bahwa:


a. Kasus Maria sangat unik dan tunggal.
b. Maria memiliki keistimewaan tunggal (singulari gratia et privilegio).
c. Allah mengecualikannya dari kenyataan umum yang harus dialami dan dijalani
oleh manusia.
d. Keunikan hubungan antara Maria dengan Puteranya, Yesus Kristus, Anak
Tunggal Allah yang dikandung berkat kekuatan Roh Kudus dijelaskan oleh Paus
dalam bullanya (DS 2801): Karena kedudukan unik dan peran tunggalnya
dalam tata keselamatan obyektif, maka kepada Maria juga diberikan
penyertaan unik dan tunggal dalam tata keselamatan/penebusan subyektif.

24
Dogma ini dinilai sebagai “meta-dogma” sebab:

1) Dogma ini menjadi menjadi dasar bagi dogma-dogma yang lain;


2) Inti ajaran yang ditetapkan di dalamnya bertujuan untuk mempertahankan dan
mengamankan dogma iman yang lain, tanpa menambahkan apa pun yang lain
dalam dogma tersebut;
3) Inti ajaran yang ditegaskan dan dipertahankan dalam dogma tentang dosa asal
ini adalah:
a. Kodrat Yesus sebagai Penyelamat Tunggal (Allah dalam diri Yesus Kristus)
dan
b. Keberadaan manusia yang membutuhkan Yesus Kristus dan daya
penyelamatan yang mengalir dari diri dan kehidupan-Nya.

4) Dogma ini juga menegaskan bahwa:


a. Relasi antara manusia dengan Allah terganggu apabila terpisah dari Yesus,
Sang Penyelamat Tunggal umat manusia.
b. Karya penebusan Yesus bersifat universal sebab mencakup dan
diperuntukkan bagi semua bangsa manusia.

3.2.2. Penjernihan Dogma


Kunci untuk mengerti inti ajaran iman tentang Maria Dikandung Tanpa Noda
dan gagasan teologis yang terkandung di dalamnya:

3.2.2.1. Latar-belakang dan logika berpikir perumusan inti dogma ini

1) Tatkala dogma menegaskan bahwa “Maria terpelihara (praeservata) dari dosa


asal”, maka dalam konteks ini, dosa dipertimbangkan sebagai sebuah “benda”
yang bisa ditolak dan bisa dicegah oleh manusia.
2) Logika berpikir Dogma ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman Agustinus tentang
“dosa asal”.
a. Menurut Agustinus, dosa asal diturunkan orang tua kepada anak-anak mereka
melalui persetubuhan yang digelorakan oleh hawa nafsu (concupicentia) dan
diracuni oleh gairah yang jahat.
b. Konsekuensinya, hasilnya pun menjadi jahat: setiap anak yang dilahirkan, dari
dirinya sendiri, buruk dan jahat.
3) Akan tetapi, model pendekatan ini tidak dijadikan dogma dalam Gereja, kendati
inti Dogma tentang Maria yang Dikandung Tanpa noda masih mendasarkan diri
pada logika berpikir ini.

25
3.2.2.2. Pemahaman fundamental tentang “dosal asal” itu sendiri.
3.2.2.2.1. Dosa Asal: Ketiadaan Rahmat Pengudus dalam Diri Manusia
1) Berbeda dengan Agustinus, Teologi Tradisional Scolastik memiliki muatan
pemahaman yang berbeda tentang “dosa asal”.
a. Bagi Teologi Tradisional Scolastik, hakikat “dosa asal” ditemukan dalam lingkup
sifatnya yang “negatif”.
b. Dosa asal diartikan sebagai “situasi manusia yang tidak memiliki rahmat
pengudus” (gratia sanctificans).
c. Padahal seturut maksud Allah, rahmat itu seharusnya ada dan dimiliki oleh
setiap manusia”.
a) Ketiadaan rahmat pengudus dan akibat-akibatnya merupakan konsekuensi
dari penolakan manusia terhadap rahmat Allah itu sendiri.
b) Manusia pertama adalah wakil dari semua bangsa manusia.
c) Ketiadaan rahmat pengudus (dosa asal) akibat penolakan manusia pertama
menyebabkan:
o Seluruh kodrat dan persona setiap manusia terinfeksi “dosa asal”
sebelum bisa bertindak secara pribadi.
o Secara dasariah dan pribadiah, manusia tidak bisa mencintai
Allah dengan kasih yang sepadan, yaitu kasih Ilahi sebagaimana
diinginkan Allah sendiri sedari awal.

2) Mengacu pada pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa:


a. “Dosa asal” yang lazimnya dimengerti oleh manusia tidak sesuai dengan
muatan fundamentalnya sebagai “keadaan atau kondisi manusiawi yang tidak
disebabkan oleh tindakan pribadi seorang manusia”.
b. Apabila “dosa asal” dimengerti sebagai “murka Allah” terhadap manusia, maka
lingkup pemahaman tentang murka Allah juga harus dijelaskan:
a) Murka Allah adalah kasih Allah yang tidak ditanggapi oleh manusia
sebagaimana mestinya.
b) Apabila dihubungkan dengan dosa asal (ketidakmampuan manusia untuk
mengasihi Allah sebagaimana mestinya), maka murka Allah berada di luar
tanggungan manusia.
c) Murka Allah karena dosa asal berbeda muatannya dengan murka Allah
karena dosa pribadi seorang manusia:
o Dosa pribadi dihukum dengan murka Allah.
o Dosa asal tidak dihukum oleh Allah.

26
3.2.2.2.2. Dosa Asal: Solidaritas-Kesetiakawanan di antara Manusia
1. Solidaritas Negatif (Kodrat Manusia)
1) Pemahaman tentang “dosa asal” akan mudah dimengerti muatan fundamentalnya
apabila dihubungkan dengan solidaritas dan kesetiakawanan yang terjalin di
antara semua manusia sedari awal hingga akhir kehidupan.
a. Solidaritas dan kesetiakawanan di antara manusia merupakan kebajikan
hakiki yang harus dipupuk tatkala berhadapan dengan keburukan dosa.
b. Namun kebajikan ini tidak hanya terbatas pada tatanan laihiriah, tetapi
mencakup dan menentukan “adanya” seorang manusia.
c. Solidaritas dan kesetiakawanan dalam keburukan dosa merupakan
realitas eksistensial manusia.
d. Realitas ini serentak menentukan kodrat diri manusia serta
pengaktualisasian dirinya, baik di dalam tindakan, segala sesuatu yang
keluar dari diri seseorang maupun di dalam caranya untuk merampung
semua jejak pengalamannya.
e. Solidaritas dan kesetiakawanan serentak berdimensi biologik dan
ditemukan di dalam relasi personal dengan sesama manusia.
f. Solidaritas dan kesetiakawanan di antara manusia terpupuk tatkala
kejahatan mengganggu relasi di antara manusia dengan manusia
(antropologik) dan di antara manusia dengan Allah (teologik).
g. Dengan demikian tampak bahwa solidaritas dan kesetiakawanan
manusia dalam kejahatan memiliki ciri “dosa” teologal. Konsekuensi logis
yang muncul adalah: “kodrat” tidak bisa dipisahkan dari “rahmat”.
2) Secara manusiawi, solidaritas dan kesetiakawanan negatif di antara manusia
sungguh-sungguh mengganggu “takhta rahmat”, terutama:
a. Relasi khusus yang terjalin di Allah dengan manusia.
b. Keunikan relasi itu nyata dalam tindakan Allah yang menawarkan diri-
Nya, mempersatukan diri-Nya dengan manusia serta mengilahikan
manusia.

3) Menurut model pendekatan ini, dosa asal diartikan sebagai:


a. Solidaritas dan kesetiakawanan negatif di antara manusia.
b. Solidaritas dan kesetiakwanan itu dimiliki setiap manusia sebelum
menentukan pendirian dan melepaskan diri dari pendirian pribadi.
c. Solidaritas dan kesetiakawanan eksistensial ini justru menghalangi setiap
pribadi manusia, baik dalam lingkup biologis maupun personal dalam
menaggapi tawaran diri Allah.
d. Tawaran diri Allah dan gelora cinta-Nya terhadap manusia justru
ditolak.
27
e. Akibatnya, di dalam diri manusia keadaan itu tidak bisa dihilangkan.

2. Solidaritas Positif (Allah)


1) Keyakinan iman Kristiani tidak hanya mengakui dan mengalami solidaritas
negatif di antara manusia yang menjadi penghalang utama dalam menerima
tawaran diri Allah, tetapi juga solidaritas dan kesetiakawanan positif di antara
manusia berdasarkan solidaritas Yesus Kristus sendiri.
a. Di dalam kemanusiaan Yesus dari Nazaret, Allah terlibat di dalam
solidaritas negatif di antara manusia.
b. Di dalam diri Yesus Kristus (Allah dan manusia), solidaritas dan
kesetiakawanan itu tidak menjadi sesuatu yang eksistensial sehingga
menentukan keberadaan internal Yesus.
a. Karena Yesus sungguh-sungguh manusia, maka di antara Yesus dan seluruh
umat manusia terbangun relasi yang terlepas dari dan mendahului
pendirian pribadi masing-masing.
2) Secara lahiriah, Yesus terinfeksi akibat solidaritas negatif manusia.
a. Wujud solidaris dan kesetiakawanan Yesus itu berpuncak dalam kematian
yang dijalani-Nya dengan cinta dan korban di salib.
b. Kematian-Nya merupakan konsekuensi dari kesetiaan-Nya kepada Allah
serta wujud solidaritas negatif-Nya dengan manusia.
c. Namun dengan kekuatan Ilahi-Nya, Allah membangkitkan Yesus, Putera-
Nya dari antara orang mati dan membebaskan-Nya dari solidaritas
negatif-Nya dengan manusia.
3) Dengan demikian, solidaritas negatif Yesus dengan manusia menjadi solidaritas
positif antara manusia dengan Yesus.
a. Dalam diri Yesus, Allah menjalin relasi dengan manusia kendati manusia
bergelimangan dosa.
b. Sama seperti solidaritas negatif di antara manusia menjadi sesuatu yang
eksistensial bagi setiap pribadi manusia (dosa asal), demikian juga
solidaritas positif antara manusia dengan Yesus Kristus menjadi sesuatu
yang eksistensial bagi setiap manusia, serta menentukan diri manusia dalam
mewujudkan hakekat kemanusiaannya.
c. Paulus (Roma 5:12-17; I Kor 15:20-22) memparalelkan Adam (yang
berdosa) dengan Kristus (yang benar). Kedua tokoh ini mengungkapkan
solidaritas negatif (Adam) dan solidaritas positif (Kristus, Adam kedua).
d. Dalam diri manusia serentak ditemukan dua wujud eksistensial solidaritas
sebelum teraktualisasi dalam tindakan pribadi.
e. Kedua wujud eksistensial solidaritas ini sangat menentukan kodrat manusiawi
seorang manusia.
f. Realitas ini sangat berbeda dengan Yesus Kristus.

28
a) Dia serentak Allah dan manusia (nyata dalam realitas historik-
biologik; cara Dia dikandung dan dilahirkan) sehingga di dalam diri-
Nya, solidaritas negatif bukanlah sesuatu yang eksistensial (dosa
asal).
b) Dia menjadi senasib dengan manusia, kecuali dalam hal dosa (Ibrani
4:15; II Kor 5:21).
c) Yesus adalah pencipta eksistensial positif: melalui sengsara, wafat
dan kebangkitan-Nya, Yesus mewujudkan solidaritas dan
kesetiakawanan dengan semua manusia.
3. Maria
1) Sebagai manusia, Maria solider dengan semua manusia dalam keburukan dan
kemalangan.
a. Dalam diri Maria, solidaritas dan kesetiakawanan negatif bukankah sesuatu
yang eksistensial (seperti Yesus) sehingga menentukan relasinya dengan
Allah.
b. Walaupun demikian, Maria tetap terlibat dalam kenyataan eksistensial
manusia (penderitaan, kematian, dll), sama seperti Yesus terlibat di dalam
totalitas kehidupan manusia.
2) Relasi antara Maria dengan dunia-manusia tetap terganggu.
a. Namun, gangguan itu bukan bersumber dalam diri Maria dan tidak
menyentuh relasinya dengan Allah.
b. Seturut hakikatnya, Maria tidak tercemar dosa asal karena relasi uniknya
dengan Anaknya, Yesus Kristus.
c. Berkat relasi unik dengan Anaknya ini, maka dalam diri Maria,
solidaritasnya menjadi sesuatu yang eksistensial dan menentukan sisi
internalnya sebagai manusia dan Bunda Allah.
3) Dalam lingkup teologis, Maria berada dalam “keadaan berahmat”.
a. Itu berarti tawaran kasih Allah kepadanya tidak terbentur oleh halangan
prasubyektif seperti yang dimiliki semua manusia.
b. Sedari awal keberadaannya, kasih karunia Allah merangkulnya hingga ke
akar eksistensi manusiawinya yang paling dalam.
4) Sesungguhnya, Allah menawarkan diri-Nya kepada semua manusia dan
kebesaran kasih-Nya merangkul semuanya.
a. Akan tetapi, tawaran diri dan kebesaran kasih Allah terhalang oleh realitas
“eksistensial” negatif yang ada dalam diri manusia, yiatu dosa asal.
b. Namun berkat jasa Yesus Kristus, tawaran kasih Allah itu diteruskan kepada
dan dimiliki oleh manusia.
5) Berbeda dari realitas umum manusia, Maria dianugerahi keistimewaan. Karena
relasi unik dengan Yesus, Putera-Nya, maka sebelum kehidupannya berawal di

29
rahim ibunya, tawaran kasih Allah sudah menyentuh kehidupannya dan sudah
mempersatukan dirinya dengan Allah.

4. Inti Dogma
Inilah inti teologis yang terkandung dalam dogma tentang Maria yang
Dikandung Tanpa Noda:

1) Maria dikecualitas dari realitas umum yang dialami oleh manusia


2) Dosa asal yang mencemarkan kodrat manusia tidak menyentuh diri dan
kehidupan Maria.
3) Sedari awal, keberadaan Maria ditentukan oleh relasi, solidaritas dan
kesetiakawanan dengan Yesus, Sang Penyelamat untuk mewujudkan solidaritas
dan kesetiakawanan Allah (dalam diri Yesus, Putera-Nya) dengan manusia.
4) Sedari awal, keistimewaan relasi antara Maria dengan Allah dan Puteranya
Yesus Kristus dinyatakan dalam inti panggilan dan perutusannya untuk
menyingkapkan dan menyalurkan kasih Allah kepada manusia.
5) Setelah menentukan pendirian pribadinya atas tawaran kasih Allah, secara
subyektif, Maria mengamini dan menyetujui “eksistensial” pra-pribadinya.
6) Inilah landasan fundamental dari dogma tentang Maria Dikandung Tanpa Noda:
a. Maria tidak hanya bebas dari dosa asal, tetapi juga dari dosa pribadi
dan menyerahkan diri seutuhnya kepada tawaran kasih Allah.
b. Keadaan pra-pribadi Maria secara perlahan terpenuhi dalam diri Maria:
Maria berkembang dalam kekudusan dan kesucian berkat iman dan
ketaatannya kepada tawaran kasih Allah.

3.3. Maria Bebas dari Concupiscentia


1. Konsili Trente (1546) menetapkan bahwa:
1) Kekudusan Maria tidak terhalang atau tidak tercemar oleh “akibat dari dosa
asal” (concupiscentia).
2) Concupiscentia bukanlah dosa, melainkan sumber dosa pribadi (fomes peccati).

2. Penjelasan
1) Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebagai manusia, Maria tidak bebas
dari semua akibat yang muncul dari dosa asal sebab solidaritasnya dengan
umat manusia:
a. Solidaritas dan kesetiakawanan Maria dengan umat manusia terungkap
dalam keterlibatannya di dalam kenyataan yang dialami manusia akibat
dosa.

30
b. Maria terkena, terinfeksi oleh akibat fisik dan psikis keberdosaan manusia.
2) Tradisi Gereja
Tradisi Iman Gereja menegaskan bahwa , Maria, Ibu Tuhan bebas dari akibat
“moral” dosa yang menjadi penghalang fundamental untuk mewujudkan relasi
antara Allah dan manusia.
3) Hubungannya dengan Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda
a. Inti ajaran iman tentang Maria yang bebas dari akibat dosa asal
(concupiscentia) sangat erat kaitannya dengan Dogma tentang Maria yang
Dikandung tanpa Noda.
b. Pada prinsipnya, inti ajaran tentang concupiscentia dilihat sebagai “akibat
dari dosa asal (dan dosa pribadi).
c. Konsekuensinya, para Pujangga Gereja dan para Teolog Abad
Pertengahan yang mempertahankan bahwa Maria tidak bebas dari dosa
asal juga menolak inti ajaran iman bahwa Maria bebas dari concupiscentia.
d. Namun, para Pujangga Gereja dan Teolog yang menerima inti ajaran iman
ini memaparkan alasan fundamental bahwa:
a) Ibu Yesus sudah disucikan sejak berada di dalam rahim ibunya
b) Dalam diri Maria, “ada concupiscentia”, tetapi “terikat”.
c) Oleh karena itu, inti ajaran (bukan dogma) tentang Maria yang bebas
dari “akibat dosa asal” (concupiscentia) dinilai sebagai ajaran teologi
dan Gerejani umum yang masih tergolong baru.
d) Inti ajaran ini bukanlah jabaran dari Warta Perjanjian Baru tentang Ibu
Yesus.
4) Maria, Hawa Baru
a. Untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan inti ajaran ini, para
Pujangga Gereja berusaha menghubungkan dan mempertentangkan Maria
dengan Hawa (sebelum jatuh ke dalam dosa).
b. Bagi mereka, concupiscentia baru muncul setelah manusia berdosa.
c. Inti ajaran ini baru bisa dijabarkan secara tegas dan pasti apabila
beranjak dari kekudusan Maria (kekudusan Maria direfleksikan dan
diuraikan).

3. Arti Concupiscentia
1) Di dalam DS 1511, istilah concupiscentia (akibat dan sumber dosa) diartikan
sebagai:
a. “Ketidakmampuan manusia untuk menguasai dan mengendalikan totalitas
kemanusiaan dan kecenderungan manusianya, dalam segala bidang dan semua
segi”.

31
b. “Ketidakmampuan manusia untuk mengintegrasikan totalitas kemanusiaannya
dalam hubungannya dengan Allah” (perspektif teologis).
c. Dalam mengaktualisasikan diri dan kebebasan fundamentalnya, manusia selalu
berbenturan dengan resistensi yang ada di dalam dirinya sendiri (bdk. Roma
7:14-23).
d. Dalam lingkup ini, concupiscentia dihubungkan dengan kecenderungan yang
wajar-alami dalam diri manusia untuk memusatkan segala-galanya pada dirinya
sendiri dan cenderung egosentrik.
e. Dalam lingkup teologi, kecenderungan manusiawi yang menjadikan dirinya
sebagai pusat ini disebut dosa.
2) Maria
a. Apabila dikatakan bahwa Maria bebas dari concupiscentia, maka muatan
teologis yang terkandung di dalamnya adalah: “Dalam mengaktualisasikan diri
dan kebebasannya di hadapan Allah, Maria tidak terhalang oleh apa pun saja
yang ada di dalam dirinya sendiri”, kendati seperti manusia biasa lainnya,
Maria juga terbentuk oleh halangan yang bersifat lahiriah.
b. Oleh karena itu, keberadaan Maria yang tidak tercemar oleh akibat dosa asal
(concupiscentia) tidak berarti bahwa:
a) Di dalam diri Maria tidak ada gejolak emosi, psikis, dan lain-lainnya.
b) Seperti manusia biasa lainnya, Maria bukanlah sosok manusia yang hidup
dalam ketenteraman hati, mirip dengan apatheia yang dicita-citakan Filsafat
Stoa.
c) Maria juga tidak bebas dari godaan manusiawi (seperti Yesus, bdk. Ibr
2:18;4:15).
d) Pada hakekatnya, godaan tidak memiliki kualifikasi moral.
o Bagi Yesus dan Maria godaan itu berasal dari luar, bukan dari
dalam diri mereka.
o Yesus dan Maria tidak tunduk pada setiap bentuk godaan.
o Di dalam Lukas 2:34-35, Maria diperhadapkan pada dua pilihan
yang secara obyektif, atau yang baik, atau yang buruk.
o Kedua godaan ini memiliki daya tarik dan daya pikat yang unik,
sebab di dalam yang buruk juga terkandung yang baik dan menarik
bagi manusia.

e) Maria bukanlah “Manusia Firdaus”.


o Dia terlibat dalam realitas hidup manusiawi yang mejemuk.
o Kendati dia kudus sedari awal keberadaannya sebagai manusia,
namun kekudusannya senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan diri dan kepribadiannya di sepanjang hidupnya.

32
o Setiap saat dia menghayati dan menghidupi kekudusannya dengan
sikap batin yang bebas, kendati resistensi dan hambatan dari luar
dirinya senantiasa menggerogotinya. Kesetiaannya kepada Allah dan
dirinya sendiri tidak selamanya berjalan mulus.
o Lukisan ini tidak ditemukan dalam Perjanjian Baru. Warta Suci
Perjanjian Baru tidak pernah melukiskan bagaimana iman dan
kekudusan Maria ditantang dan diuji dalam realitas manusiawi dan
kemanusiaannya sendiri.

4. Maria Diangkat ke Surga


4.1. Dogma

1. Kejayaan dan keistimewaan Maria, baik berkenaan dengan keberadaannya


sebagai Bunda Allah maupun berkenaan dengan keperawanan dan
ketidaktercemarannya dari dosa asal dan dosa pribadi disimpulkan dalam Dogma
Marialogik Gereja yang terakhir, yaitu “Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan
Surgawi dengan Jiwa dan Raganya”.

2. Kejayaan dan keistimewaan Ibu Yesus ini terletak pada:

1) Kedudukan dan peranannya yang unggul dalam tata keselamatan.


2) Kedudukan dan peranannya ini tidak berhenti ketika eksistensi manusiawinya
berakhir di alam fana ini (Lumen Gentium, 62), sama seperti kedudukan dan
peranan Yesus dalam tata keselamatan tidak terhenti setelah kenaikan-Nya ke
surga:Karya keselamatan Yesus tetap efektif melalui cara beradanya yang
baru, yaitu eksistensi surgawi yang berawal sejak kebangkitan-Nya dari alam
maut.

3. Dogma tentang Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi ditetapkan di bawah


otoritas Paus Pius XII (1950). Adapun rumusan dogma tersebut:
1) Maria, Bunda Allah
2) Perawan tetap yang tidak bernoda
3) Diangkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan jiwa dan raga
4) Setelah dia menyelesaikan jalan hidupnya di bumi (DS 1903).

4. Menyimak inti penegasan dogmatis, satu pernyataan yang harus didalami adalah:
1) “Setelah dia menyelesaikan jalan hidupnya di bumi”.
2) Penegasan dogmatis ini mengundang satu pertanyaan fundamental: “Apakah
Maria mengalami kematian seperti manusia lain, atau tidak?

33
5. Diakui bahwa penegasan dogmatis ini memancing perdebatan sengit di kalangan
teolog dan umat beriman:

1) Pertama, sejak zaman Ephifanius (Abad IV), beberapa teolog Katolik dan
Tradisi yang berkembang:

a. Berkutat dalam “keraguan”, apakah Maria mengalami kematian fisik seperti


manusia lain atau tidak.
b. Keraguan ini berlanjut hingga abad V-VI dan dirayakan dalam liturgi resmi
Gereja “Dormitio Mariae” (tertidurnya-matinya Maria).
c. Pada abad VII, perayaan ini diganti dengan “Pesta Assumptio”
(pengangkatan).

2) Kedua, beberapa teolog berpendapat bahwa:

a. “Karena Maria tidak terinfeksi dosa asal, maka dia tidak mengalami
kematian”.
b. Kematian merupakan hukuman atas dosa.
c. Oleh karena itu, adalah tidak adil kalau Maria mengalami kematian seperti
manusia lainnya.

3) Jika demikian, patut dipertanyakan: “Apakah Maria melebihi Yesus, sebab


Yesus mengalami kematian fisik seperti manusia biasa lainnya?

a. Kematian Yesus merupakan konsekuensi dari cinta dan korban-Nya karena


dosa dan demi keselamatan manusia yang berdosa.
b. Namun, apa yang terjadi dalam diri Yesus tidak bisa dikenakan pada
Maria.
c. Kematian bukanlah sesuatu yang adil bagi Maria sebab dia adalah
corredemptris (rekan Penebus) umat manusia.

4) Argumen-argumen ini justru mengundang perdebatan yang berkepanjangan.


a. Di satu pihak, kematian diimani sebagai hukuman atas dosa (asal);
b. Di pihak lain, kematian merupakan gejala fisik-biologik yang menyatu dan
menyentuh “kodrat” semua ciptaan.

34
c. Apabila Kejadian 2:17; 3;19; Kebijaksanaan 2:24; Roma 5:12-18
menghubungkan kematian dengan dosa, maka konsep kematian yang
dimaksud adalah:
a) Kematian fisik-teologis: secara definitif, manusia terpisah dari Allah;
terputusnya hubungan antara manusia dengan Allah, Penyelamat.
b) Sebagai gejala fisik-biologis, kematian diterima sebagai keharusan
(wajar-alami) yang dialami oleh semua manusia sebagai makhluk jasmani-
rohani.
c) Namun, karena Maria bebas dari dosa, maka dia bebas dari kematian
fisik-teologik, namun tidak luput dari kematian fisik-biologik seperti
manusia umumnya.

5) Dogma Resmi Gereja menegaskan bahwa:


a. Maria bebas dari dosa asal.
b. Walaupun demikian, seperti Kristus, dia pun terinfeksi oleh kenyataan umum
yang dialami manusia akibat dosa.
c. Namun, di dalam diri Maria, dosa bukanlah sesuatu yang eksistensial
sehingga status dan kemanusiaanya sebagai keturunan Adam tidak akan
pernah berubah.
d. Fakta ini menunjukan bahwa sebagai manusia Maria mengalami kematian
(akibat akibat dosa manusia), namun cara kematiannya sulit dimangerti oleh
manusia.
e. Dogma resmi Gereja membiarkan persoalan kematian Maria terbuka.
f. Namun dogma tidak pernah menegaskan bahwa “Maria dibangkitkan dari
antara orang mati”, tetapi “diangkat” (assumpta).
g. Untuk menghindari istilah “surga”, Gereja justru menggunakan ungkapan
“kemuliaan surgawi” (gloria caelestis).
h. Dengan ungkapan ini, bahasa mitologik dikurangi, walaupun istilah
“diangkat” berbauh mitologi.
i. Motif “pengangkatan” tersebar luas.

a) Tradisi ini ditemukan juga dalam kisah mengenai Henok (Kejadian 5:24)
dan Elia (II Raja-raja 2:11).
b) Kisah para Rasul mengenakan motif ini pada Yesus Kristus.
c) Dalam Tradisi Yahudi, motif yang sama dikenakan pada Musa dan
tokoh-tokoh besar lainnya.

6) Apabila diterima bahwa Maria mengalami kematian, maka patut diterima juga
bahwa:

35
a. Maria pun dibangkitkan.
b. Namun, konsep kebangkitan yang dikenakan pada Maria bukanlah konsep
“dihidupkan kembali” sehingga Maria bisa melanjutkan eksistensi
manusiawinya di dunia ini di dalam kemuliaan surgawi.
c. Kebangkitan Maria tidak bisa disejajarkan dengan kebangkitan Yesus.
Adapun perbedaannya:

a) Kebangkitan Yesus berdaya penyelamatan bagi semua manusia.


b) Kebangkitan Maria tidak memiliki dimensi soteriologis, tetapi hanya
berdimensi Mariologis.
c) Kebangkitan Maria tidak berciri dan berdimensi historis: tidak bisa
diamati; tidak bisa diselidiki dan dibuktikan dengan ilmu sejarah serta
luput dari penyelidikan ilmu sejarah.
d) Kebangkitan/pengangkatan Maria ke dalam kemuliaan surgawi hanya
bisa diterima dengan sikap iman.
e) Kebangkitan Yesus juga tidak bisa diselidiki dengan ilmu sejarah.
f) Kebangkitan Yesus hanya bisa diterima dengan sikap iman.
g) Berbeda dengan Maria, kebangkitan Yesus serentak berdimensi historis
(terjadi dalam sejarah dan memiliki akibat bagi dan dalam sejarah, bisa
diamati dan diselidiki, terutama melalui keberadaan kaum Kristiani, inti
iman dan tradisi iman ) dan meta-historik.
h) Kebangkitan/pengangkatan Maria tidak memiliki akibat langsung bagi
sejarah dunia karena tidak memiliki daya penyelamatan bagi dunia.
d. Inti ajaran ini hanya menegaskan perihal kedudukan dan peranan pribadi
Maria dalam tata penyelamatan Yesus Kristus.

b. Di dalam rumusan dogmatis ditegaskan bahwa:


1) “Maria diangkat dengan jiwa dan raga”.
2) Ungkapan “jiwa dan raga” (corpus et anima) memiliki latar belakang
antropologi tertentu: manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa dan raga (bdk.
DS 3002).

a. Menurut tradisi filsafat-teologi Kristen, jiwa berdiri sendiri (jiwa adalah


forma bagi tubuh, anima forma corporis, DS 902).
b. Jiwa bukanlah substantia completa.
c. Ada juga keyakinan bahwa jiwa tidak bisa mati (immortalis).

36
d. Walaupun demikian, antropologi-filsafat bukanlah dogma, kendati
gagasannya dipergunakan untuk merumuskan isi dogma.
e. Ungkapan “jiwa dan raga” juga berarti: totalitas manusia sebagaimana
adanya atau manusia dengan seluruh eksistensinya.

3) Dogma tidak tegas mengatakan bahwa “Hanya Maria yang diangkat ke dalam
kemuliaan surgawi”.
4) Dogma tidak menegaskan bahwa inilah keistimewaan Maria (seperti
keistimewaanya: bebas dari dosa asal, singulare privilegium).

c. Debat Teolog:

1) Beberapa teolog berpendapat bahwa:


a. Sesungguhnya, pada saat kematian, semua manusia (yang selamat) dengan
jiwa dan raganya masuk ke dalam kemuliaan surgawi (dibangkitkan).
b. Bagi mereka, “kebangkitan badan” bagi setiap pribadi manusia tidaklah
terjadi di hari kiamat, tetapi pada “saat kematian” itu sendiri.
2) Pendapat ini merupakan sebuah spekulasi teologi murni sebab siapa pun tidak
tahu apa yang terjadi di saat dan sesudah kematian.

a. Gagasan teologis ini tidak bisa dihubungkan dengan dengan Matius 27:
51b-53 (kisah tentang orang benar yang bangkit pada saat Yesus wafat).
b. Kisah ini hanya mengungkapkan dimensi eskatologis dari kematian dan
kebangkitan Yesus.

d. Untuk memahami secara pasti muatan dogma ini, maka beberapa landasan
teologis patut dipaparkan:

1) Penyelesaian manusia seiring dengan pergerakan dan perkembangan pola-


sejarah berpikir sehingga harus dipertimbangkan secara matang.
2) Dogma tentang Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi dimaksudkan untuk
mengatakan sesuatu tentang Maria dan hanya diperuntukkan bagi Maria, bukan
untuk semua manusia.
3) Walalupun demikian, dogma tidak menengaskan bahwa pengangkatan ke
dalam kemuliaan surgawi merupakan kekhasan Maria.
4) Dogma ini berkaitan erat dengan Dogma tentang Maria yang Dikandung tanpa
Noda (Dosa Asal).

37
5) Landasan fundamental yang dipertimbangkan dalam penegasan dogmatik ini
adalah: keibuan personal-biologik Maria dalam hubungannya dengan Yesus.
6) Inilah keistimewaan yang dimiliki Maria, Ibu Yesus.

e. Dogma tentang Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Sugawi ditetapkan pada


tahun 1950. Diakui bahwa banyak pihak yang menolak inti dogma ini:

1) Gereja Timur menolak dogma ini. Alasan penolakan bukan karena inti
ajarannya, melainkan karena penyalahgunaan kuasa oleh sebagian umat
Kristen (Gereja Katolik Roma), terutama oleh Paus, Uskup Roma.
2) Kaum Reformasi juga menolak inti ajaran ini karena tidak berlandaskan pada
Kitab Suci serta memperlihatkan “kediktatoran otoritas Roma”. Akibatnya,
kedudukan tunggal Yesus dikurangi dan dinilai tidak relevan.
3) Sejumlah teolog Katolik menolak penegasan dogmatis sebab dinilai inti
ajarannya tidak meyakinkan. Penyalahgunaan otoritas Roma justru mempersulit
hubungan dengan umat Kristen yang berada di luar Gereja Katolik Roma.

4.2. Perkembangan Tradisi


1. Dogma tentang Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi ini ditetapkan oleh
Paus Pius XII setelah menerima imput dari para Uskup dan kaum beriman Katolik:

1) “Mereka percaya bahwa Maria sungguh-sungguh diangkat ke dalam


kemuliaan surgawi”.
2) Kepercayaan ini diyakini dan diterima sebagai inti iman Kristen.

2. Penolakan Teolog
1) Setelah mempertimbangkan ikhwal penetapan dogma ini, para teolog
mengajukan keberatan, namun dinilai tidak meyakinkan.
2) Untuk itu, para teolog berusaha menjejaki Tradisi sebelumnya dan mereka
menegaskan bahwa lebih-kurang seribu tahun pertama dalam sejarah umat
Kristen tidak ditemukan ajaran iman ini.
3) Keyakinan iman akan Maria yang Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi baru
muncul 500 tahun kemudian melalui beberapa tulisan legendarik/apokrip.
4) Namun, keyakinan ini belum diterima umum di kalangan kaum kristiani sendiri.

38
3. Dalam perjalanan waktu keyakinan ini berkembang.

1) Menanggapi fakta ini, para teolog diajak untuk bermenung dan mencari
landasan teologis dari keyakinan umat ini.
2) Sejak Abad VIII, keyakinan ini berkembang luas.
3) Dasar pemicunya adalah perayaan liturgi “Maria Diangkat ke Surga” yang
dirayakan di Yerusalem sekitar tahun 600.
4) Dari kawasan Timur keyakinan iman ini merambat ke wilayah Barat.
5) Di Abad Pertengahan (sejak Abad VIII) inti keyakinan ini semakin menguat dan
berkembang luas.
6) Di kalangan teolog, keyakinan iman ini justru menjadi ajang perdebatan.

a. Bagi mereka, keyakinan iman ini masuk dalam kategori “pie creditur”: “Boleh
saja dipercaya, seperti penampakan Maria di Lourdes”.
b. Pada Abad XVII-XVIII keyakinan ini diterima sebagai iman yang pasti dalam
Tradisi Katolik.
c. Dalam Konsili Vatikan I (1870), 195 Bapa Konsili menganjurkan agar
keyakinan iman ini ditetapkan sebagai dogma resmi Gereja.
d. Namun, konsili tidak bisa memperdalam pokok ini karena dihentikan secara
mendadak akibat pecahnya perang antara Jerman dan Perancis.

4. Kesimpulan

1) Setelah mempertimbangkan aneka proses penetapan dogma iman ini dapat


ditegaskan bahwa landasan dogmatik penegasan keyakinan iman ini tidak
ditemukan di dalam Kitab Suci.
2) Kesimpulan ini justru memotivasi Paus Pius XII untuk menggali dan menemukan
gambaran umum tentang Maria di dalam nas-nas Kitab Suci sendiri, terutama
Kejadian 3:15; Lukas 1:38).
3) Di dalam kedua nas tersebut ditemukan kisah iman yang sangat menarik:
a. “Umat manusia mampu mengalahkan ular, dosa dan akibat-akibatnya;
b. Maria diakui sebagai wanita pilihan Allah dalam sejarah dan tata
keselamatan.

4) Namun, data biblis ini sama sekali tidak mengimplikasikan pengangkatan Maria
ke dalam kemuliaan surgawi.
5) Walaupun demikian, Tradisi tetap merincikan dan mengimani bahwa Maria
adalah wanita beriman yang suci.

39
6) Bagi Paus Pius XII landasan dogmatik (teologik) dogma ini adalah:

a. “Keibuan dan Kesucian Maria, terutama Dogma tentang Maria Dikandung


tanpa Noda Asal”.
b. Maria seutuhnya ditebus oleh Yesus Kristus karena kesatuannya dengan
Yesus, Puteranya dan dengan kemenangan-Nya dalam kemuliaan-Nya.
c. Inti iman yang paling fundamental dalam Dogma tentang Maria yang
Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi adalah kekudusannya yang total
dan menyeluruh di hadapan Allah dan manusia.
d. Argumen teologis yang mendasari dogma ini tidak bisa dibuktikan secara
tuntas dengan logika manusia sebab:
a) Landasan dogma ini adalah keyakinan iman Umat Allah kepada Maria
dan keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
b) Dogma ini tidak bisa dijabarkan berdasarkan ungkapan-ungkapan
tentang Maria, tetapi berakar pada realitas kehidupan iman Maria
yang dipersaksikan dalam Kitab Suci dan Tradisi Sejati Gereja.
c) Landasan penegasan dogma ini adalah iman Umat Allah (Gereja
Semesta) dalam keutuhannya.
1) Dalam ajaran Gereja Katolik Roma, inti iman Umat Allah dalam
persekutuan dengan Gereja Semesta “tidak bisa sesat”.
2) Gereja Timur dan kaum reformasi mengajukan keberatan fundamental:
“Apakah bisa dibenarkan apabila Gereja Katolik Roma mengelaim diri
sebagai “umat Kristen yang menyeluruh?

4.3. Penjernihan Dogma

1. Dalam perspektif teologis, dogma tentang “Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan


Surgawi dengan Jiwa dan Raganya” perlu diperdalam supaya bisa
dipertanggungjawabkan dan dimengerti dengan nalar manusia.

1) Dimensi fundamental yang patut diperdalam adalah ungkapan “jiwa dan


raga”.
2) Dalam lingkup teologis, “jiwa dan raga” mencakup:

a. Totalitas diri Maria dalam keutuhan “eksistensi duniawinya” beralih ke


dalam eksistensi baru, yaitu “eksistensi surgawi”.
b. Dengan peristiwa pengangkatan ini, Maria bersekutu dengan Kristus,
menyatu dengan Allah.

40
c. Konsekuensinya: tawaran diri-kasih Allah yang menyentuh totalitas dirinya,
yaitu keseluruhan eksistensi manusiawinya di dunia ini menyatuh-utuh dengan
Allah dan Putera-Nya.
d. Di dalam totalitas eksistensi duniawi Maria tidak ditemukan halangan negatif
yang menghubungkan dirinya dengan Allah:
a) Maria tidak memiliki dosa pribadi
b) Maria tidak memiliki dosa asal
c) Karena itu, totalitas eksistensi manusiawinya diserap dan diintegrasikan
ke dalam relasi uniknya dengan Allah.

e. Dogma menengaskan bahwa:


a) Eksistensi baru dalam wujud yang total, utuh dan penuh hanya terwujud
dalam realitas hidup Maria;
b) Dalam diri manusia umumnya, eksistensi baru itu belum diintegrasikan
secara total, utuh dan penuh, sejauh eksistensi itu belum dikuduskan,
diserap oleh Roh Ilahi, kendati semua manusia dipanggil untuk menjadi
peserta dalam eksistensi baru Yesus Kristus yang bangkit dari dunia
orang mati (bdk. Roma 6:5; Kolose 2;12; Filipi 3:11).

3) Keyakinan Kristiani:
a. Dalam keyakinan Kristiani, di dalam diri manusia selalu ada sisi negatif
(dosa).
b. Unsur inilah yang menghambat pergerakan manusia untuk mengintegrasikan
diri mansiawinya dengan Allah, Sang Penyelamat.
c. Konsekuensinya:

a) Seluruh eksistensi manusia “belum” bisa beralih ke dalam eksistensi yang


definitif sebab masih ada “sisa” negatif yang menghalangi manusia untuk
mewujudkan eksistensinya secara utuh dan sempurna.
b) Dengan kata lain, di dalam eksistensi manusiawi yang terdiri dari unsur
rohani-jasmani masih ada unsur yang tidak bisa diikutsertakan atau masih
ada unsur yang menghambat manusia menuju persekutuan dengan Allah.
c) Unsur penghambat ini menyebabkan tawaran diri Allah (kasih-Nya) tidak
meresap ke dalam totalitas kepribadian manusia sehingga manusia tidak
bisa berali ke dalam eksistensinya yang baru, yaitu kesatuannya dengan
eksistensi Kristus yang bangkit.

41
d. Seturut keyakinan Kristiani ditegaskan bahwa:
a) Di dalam eksistensi yang baru, kepribadian manusia tidak mengalami
perubahan, perkembangan, kemajuan ataupun kemunduran.
b) Kepribadian yang belum diintegrasikan tidak bisa diintegrasikan lagi.
c) Sisi negatif yang tetap ada dan melekat dalam perjalanan hidup
manusia, adalah: dosa karena dan demi solidaritasnya dengan sesama
manusia.
d) “Sisa dosa” (dosa pribadi dan dosa asal) baru akan lenyap di saat
perjalanan sejarah umat manusia berakhir.
e) Pada momen ini, eksistensi kemanusiaan yang lama dibebaskan dan
beralih ke dalam esksistensi baru, yaitu eksistensi surgawi.

e. Dengan kata lain:

a) Setelah sejarah kehidupan dunia dan manusia berakhir:


o Totalitas diri manusia akan dibebaskan dari dosa pribadi dan
kolektif
o Seluruh eksistensi positifnya diserap oleh dan ke dalam kasih Allah
tanpa halangan.
b) Inilah makna otentik dari “kebangkitan badan”.
c) Namun, kenyataan kebangkitan badan ini tidak akan dialami sebelum
sejarah manusia berakhir dan eksistensi negatif manusia masih melekat
dalam diri manusia.

f. Berkenaan dengan Maria, dogma menegaskan bahwa:


a) Di dalam diri Maria tidak ada eksistensi negatif (dosa) sehingga totalitas
dirinya diserap ke dalam persekutuan definitif dengan Allah (kekudusan
Maria);
b) Maria beralih ke dalam eksistensi yang definitif, eksistensi surgawi,
eksistensi yang mulia.
c) Maria tidak menjalani proses “pengadilan terakhir” karena tidak ada
unsur hakiki dalam dirinya yang harus dihakimi.
d) Apabila diterima bahwa Maria mengalami kematian fisik-biologik dan
dibangkitkan oleh Allah, maka perlu diingat bahwa:

o “Kebangkitan badan” bukanlah “perkara mayat” yang harus


diapakan atau dibagaimanakan.

42
o “Kebangkitan badan” merupakan “perkara eksistensi jasmani
manusia yang ikut serta dalam keadaan baru dan definitif”.
o Totalitas diri dan kehidupan Maria ikut serta dalam eksistensi
Yesus, Puteranya di dunia ini.
o Oleh karena itu, dia pun ikut serta dalam kejayaan Yesus Kristus.
o Akan tetapi, janji Allah untuk ikut-serta dalam kejayaan Kristus ini
juga diperuntukan bagi semua manusia yang percaya kepada-
Nya.
o Mereka akan duduk di atas dua belas takhta untuk menghakimi ke
dua belas suku Israel (Matius 19:28), bahkan “menghakimi dunia
dan Malaikat” (I Kor 6:2-3) dan akan memerintah bersama Kristus
(II Timoteus 2:12).
o Karena Maria adalah pribadi beriman yang unggul, maka
dengan cara yang unggul dan istimewa, dia diikutsertakan dalam
kejayaan Kristus.
o Inilah inti iman yang terkandung dalam gelarnya sebagai “Ratu
Surgawi”, “Ratu para Malaikat”, Ratu para Perawan”, “Ratu para
Martir”, “Ratu para Kudus” (Lumen Gentium 59; A.A. 4; Ad Gentes
42). Gelar-gelar tersebut mengungkapkan bahwa sebagai Ibu
(suri), Raja (Kristus) yang unggul, Maria ikut serta dalam kejayaan
Kristus. Maria unggul melebihi para kudus (bdk. Pius XII Ad Caeli
Reginam, DS 3913-3917).
o Namun, gelar-gelat tersebut tidak mengungkapkan kuasa atau
otonomi khusus-unik yang dimiliki Maria. Dia adalah Ratu, teman
Raja (Kristus), permaisuri yang dekat dan akrab dengan Raja.

g. Bagi kaum Kristiani, Dogma tentang Maria Diangkat ke dalam Kemuliaan


Surgawi menyingkapkan:

a) Keberadaan Maria sebagai seorang manusia yang “seutuhnya ditebus”.


b) Totalitas kemanusiaan Maria merupakan perwujudan penuh, total, utuh
dari karya penebusan Kristus sendiri.
c) Keunggulan dan keistimewaan individual Maria juga berlaku untuk
semua kaum beriman: semua pribadi beriman akan diubah eksistensi
manusiawinya sehingga menjadi serupa dengan gambaran-Nya (Kristus)
dalam kemuliaan yang besar (II Kor 3:18) sehingga tubuh manusiawi
yang hina diubah menjadi serupa dengan tubuh Kristus yang mulia (Filipi
3:21)

h. Dalam Dogma Mariologik ini juga diungkapkan keyakinan fundamental


kaum Kristiani bahwa:

43
a) Eksistensi manusia tidak terkurung di dalam dunia fana, tetapi
melampauinya.
b) Eksistensi duniawi seorang manusia tidak akan pernah hilang-lenyap
tanpa bekas dan diganti dengan eksistensi yang serba baru dan serba
berbeda-lain.
c) Diakui bahwa ada “ciptaan baru”, namun ciptaan baru itu bukanlah
creatio ex nihilo: ada eksistensi sementara dan eksistensi yang
melampauinya sehingga segala sesuatu yang positif dalam eksistensi
manusiawi dialihkan-diangkat-ditingkatkan ke dalam eksistensi yang
baru.

i. Dogma tentang Maria yang Diangkat ke dalam Kemuliaan Surgawi


merupakan “meta-dogma” sebab merangkum semua dogma Mariani. Di
dalam dogma ini ditetapkan beberapa inti iman Gereja berkenaan dengan:

a) Keibuan Maria berdasarkan relasi unik dengan Yesus Kristus, Sang Juru
Selamat;
b) Keperawanan tetap yang mengungkapkan ekslusivitas kasih dan
ketaatan Maria kepada Allah, Penyelamat.
c) Kekudusan Maria; keterbukaan, kerelaan dan totalitas dirinya dalam
menyerap tawaran diri Allah;
d) Kebebasannya dari segala gangguan dan kerusakan dalam relasinya
dengan Allah merupakan buah karya penebusan Yesus Kristus yang
wafat dan bangkit; menjadi senasib dengan manusia (wafat) supaya
manusia menjadi senasib dengan Dia (bangkit).

44
BAB III

“Maria dalam Tata Keselamatan”

1. Maria dalam Peristiwa Hidup Yesus


Mariologi selalu memaralelkan Maria, Ibu Yesus dengan Puteranya, Yesus
Kristus. Tendensi ini diungkapkan secara tegas dalam Konstitusi Dogmatik Lumen
Gentium no. 57-59. Muatan hakiki yang terkandung dalam tendensi ini dimaksudkan
untuk “mengungkapkan keterlibatan Maria dalam seluruh peristiwa hidup Yesus,
Puteranya”. Oleh karena itu, Konsili Vatikan II menggelari Maria sebagai “Rekan”
(socia) dan “Pekerja Sama” (cooperata) Sang Juru Selamat.
Konsili menjelaskan bahwa puncak dan pengentalan peristiwa hidup Yesus dan
karya penyelamatan-Nya adalah derita, wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut
demi keselamatan manusia. Terpaut dengan puncak dan pengentalan hidup Yesus ini,
maka tidaklah mengherankan apabila Mariologi berusaha menyingkapkan
keterlibatan Maria dalam seluruh ikhwal kehidupan Yesus, Puteranya: Sebagaimana
Yesus menderita, wafat, bangkit dan masuk ke dalam kemuliaan-Nya (Lukas 24:26),
Maria pun turut menderita dan turut dimuliakan (bdk. Roma 24:26).
Jika demikian, patut dipertanyakan, “Sejauh manakah keterlibatan Maria
bermakna bagi manusia? Manakah peranan Maria dalam karya penyelamatan?
1) Keterlibatan Maria dalam kehidupan Yesus berawal dari peristiwa penjelamaan
Yesus di dalam rahimnya menjadi manusia.
a. Dia adalah Ibu fisik-biologik serta spiritual dan persoanal bagi Yesus,
Puteranya.
b. Dia merekakan diri sepenuhnya untuk menjadi Ibu Yesus.
c. Namun, keibuan Maria diperuntukan bagi semua manusia sebab Yesus,
Puteranya adalah Juru Selamat dunia.
d. Adanya Sang Juru Selamat dan karya keselamatan bagi manusia
tergantung pada keberadaannya sebagai Ibu Yesus, kendati sebagai Sang
Juru Selamat, Yesus, Puteranya tidak tergantung kepadanya.
e. Argumen iman yang ditegaskan Konsili Vatikan II berakar pada pernyataan
Irenius (Abad II): Maria adalah sebab (causa) penyelamatan (salutis) [Lumen
Gentium 56].
2) Gaya bicara konsili ini dimaksudkan untuk mengedepankan relasi Ibu-Anak antara
Maria dan Yesus, Puteranya.
a. Dengan penuh kebebasan dan kerelaaan, Maria menjadi Ibu Sang Juru
Selamat.
b. Di satu pihak, sebagai Anak, Yesus tergantung kepada Maria, ibu-Nya
sebagaimana anak-anak umumnya tergantung kepada ibunya.
c. Namun, di lain pihak, Maria dan Yesus Puteranya tergantung kepada Allah,
Pencipta dan Juru Selamat.

45
3) Kendati dengan penuh kerelaan Maria menerima tugas mulia yang diembankan
kepadanya, namun agen utama yang bertindak di dalam dirinya adalah Allah
sendiri:
a. Allah memberdayakannya dengan kekuatan Ilahi-Nya untuk mengemban
tugas luhur sebagai Ibu Sang Juru Selamat.
b. Kerelaan, kesediaan, kesanggupan dan keselamatan Maria tergantung
seutuhnya pada pilihan Allah dan daya Ilahi-Nya demi Sang Juru Selamat
dunia.
Maria terlibat sepenuhnya dalam derap perjalanan hidup Puteranya (Matius 1-
2; Lukas 1-2). Perbedaannya, di dalam Matius, Maria kurang berperan sebab yang
ditonjolkan Matius adalah peran Yusuf, suaminya (Matius 1:20.24.25; 2:13-14.20.22-
23); hanya di dalam di dalam bab 2:11 peran Maria disingkapkan. Para Majus
melihat “Anak itu bersama Maria Ibu-Nya”.
Di dalam Lukas 1-2, peran Maria ditonjolkan. Dia mempertemukan Anak yang
berada di dalam kandungannya dengan Yohanes Pembaptis dalam rahim Elisabeth,
ibunya (Lukas 1:39-45). Maria berperan aktif tatkala melahirkan Yesus, Puteranya.
Simeon memberkati Maria dan Yusuf (Lukas 2:34) sembari menubuatkan bagaiamana
Ibu-Nya terlibat aktif dalam kehidupan dan karya Putera-Nya untuk menjatuhkan dan
membangkitkan banyak orang di Israel (Lukas 2:48). Maria menyimpan semua rahasia
hidup Puteranya di dalam hatinya dan merenungkannya (Lukas 2:19-52). Akan tetapi,
Lukas juga melukiskan bahwa Yesus juga menolak keterlibatan Maria (dan Yusuf)
dalam tindakan-Nya sebagai unsur penentu (Lukas 2:49).
Dalam Injil Sinoptik, keterlibatan Maria dalam kehidupan Yesus tidak
ditampilkan. Dalam Markus 3:21.31-35, Yesus justru menolak campur tangan
keluarga-Nya, termasuk Ibu-Nya sendiri. Kendati Matius 12:46-50 dan terutama
Lukas 8:19-21 memerlukan penegasan Markus, namun Matius dan Lukas pun tidak
memperlihatkan peran aktif Maria dalam kehidupan Yesus. Maria, Ibu Yakobus dan
Yoses yang dikisahkan dalam Markus salib. Maria hanya menjadi penonton pasif.
Dalam Injil Yohanes, sosok Ibu Yesus ditampilkan dua kali, yaitu di awal karya
Yesus di hadapan umum (Pesta Perkawinan di Kana, Yohanes 2:1-10.12) dan di akhir
karya Yesus, di kaki salib-Nya (Yohanes 19:25-27). Akan tetapi, Yohanes tidak
pernah menyebutkan nama Maria, Ibu Yesus. Yohanes hanya menyebutkan nama
perempuan yang lain, seperti Maria Magdalena (Yohanes 19:25), Maria, Istri Cleopas
(Yohanes 19:25), Maria, saudari Marta (Yohanes 11:1). Untuk memperlihatkan
hubungan dengan Ibu-Nya, Yesus hanya menyapanya dengan “wanita”. Sapaan ini
bukanlah sapaan yang kasar, tetapi juga bukan sapaan yang mesra (Yohanes 2:4;
19:26). Jika demikian adanya, maka patut dipertanyakan, “Adakah maksud dan
muatan khusus yang terkandung di dalam sapaan tersebut?
Dengan menggunakan metode kritik-historis, dalam Injil Yohanes 2:1-10.12, Ibu
Yesus yang dikisahkan dalam Perkawinan di Kana dan kisah derita Yesus di kaki
salib-Nya adalah “simbol”; demikian juga dengan “murid yang dikasihi Yesus”. Bagi
Yohanes, mukjizat yang terjadi di Kana merupakan “tanda” pertama yang dilakukan
Yesus. Murid-murid-Nya mulai percaya kepada-Nya. Namun Yohanes tidak
mengatakan bahwa Ibu Yesus termasuk orang yang percaya karena adanya tanda

46
itu. Di dalam Yohanes 2:12 dikisahkan bahwa Ibu Yesus bersama “saudara-saudara-
Nya” termasuk orang-orang yang tidak percaya (Yohanes 7:5), sedangkan murid-
murid-Nya adalah orang-orang yang percaya.
Yohanes 2:1-10 bukanlah peristiwa historik. Kisah ini berciri simbolik dan unsur
hakiki yang ditekankan adalah pernyataan Yesus: “Saat-Ku belum tiba”, yaitu saat
kematiaan dan pemuliaan-Nya. Seluruh detak peristiwa yang dibentangkan
menyingkapkan “tanda”, yaitu saat penyataan “kemuliaan”, “daya penyelamatan”
yang terpancar dari salib suci-Nya.
Jika demikian, patut dipertanyakan: “Manakah dimensi fundamental yang
dilambangkan dari Ibu Yesus dalam kisah Yohanes 2:1-10 ini?1
1. Dalam kisah ini, Ibu Yesus melambangkan Umat Israel: Israel sejati, Israel yang
terbuka terhadap Yesus dan rela menerima segala sesuatu yang diwartakan dan
dinyatakan Yesus.
2. Keterbukaan Israel baru memiliki konsekuensi: mereka rela meninggalkan yang
lama.
3. Ibu Yesus menjadi tanda peralihan dari tata penyelamatan lama ke tata
penyelamatan baru.
4. Ibu Yesus termasuk dalam kawanan Israel, tetapi dia menjadi kediaman yang layak
bagi kelahiran Putera Allah dan membuka diri terhadap hal yang baru dari Yesus,
Puteranya, Putera Tungga Allah.
5. Ibu Yesus memegang peranan kunci karena iman dan keterbukaannya terhadap
tawaran kasih Allah.
6. Dia adalah lambang umat Israel lama yang membuka diri terhadap tawaran kasih
Allah untuk menjadi Ibu Putera Allah.
Akan tetapi, para penafsir lain justru menghubungkan kisah Perkawinan di
Kana dengan Perjamuan Tuhan yang terpancar dari Salib Tuhan. Apa pun model

1
1). Dalam kisah ini, Ibu Yesus ditampilkan di antara semua orang yang hadir dalam Pesta Pernikahan
tersebut; 2) Yesus dan para Murid-Nya (simbol jemaat Kristen) belum hadir dalam pesta tersebut; 3) Pernikahan
adalah simbol hubungan (perjanjian) antara Allah dengan Israel; 4) Pengantin laki-laki ditampilkan dalam kisah
ini, tetapi tidak memiliki peran apa pun, selain sebagai sasaran teguran; 5) Pengantin laki-laki adalah simbol
Allah; 6) Anggur adalah simbol biasa untuk keselamatan (nanti); 6) Ibu Yesus ditampilkan sebagai umat Israel;
7) Ibu Yesus meminta kepada Yesus untuk menyediakan anggur tambahan;8) Permintaan Ibu Yesus ditolak:
Mana urusan antara engkau dan Aku, hai wanita? Saat-Ku belum tiba; 9) Pernyataan Yesus merupakan sebuah
penolakan. Pernyataan ini tidak boleh dibaca dengan retorika ini: “Mengapa, hai wanita, engkau menyusahkan
Aku? Bukankah saat-Ku sudah tiba? 10) Apabila pernyataan Yesus dibaca dalam retorika ini, maka Yesus tidak
menolak permintaan ibu-Nya. Dia hanya berkata: “Tidak perlu meminta apa-apa!11) Yesus menolak permintaan
Ibu-Nya. Kalaupun Yesus mengubah air menjadi anggur, itu tidak berarti bahwa Yesus mencabut kembali
penolakan-Nya; 12) Ibu Yesus meminta anggur pelengkap yang sejenis. Namun Yesus menyediakan anggur
yang lain; 13) Ibu Yesus meminta kepada para pelayan untuk menuruti semua perintah Yesus; 14) Dengan
demikian tampak bahwa Ibu Yesus mencabut permintaan awalnya. Artinya, Ibu Yesus bersedia menerima apa
saja yang akan dilakukan Yesus. Dia membuka diri terhadap hal yang baru, apa pun wujudnya; 15) Yesus
mengubah air pembasuhan menjadi anggur: anggur terbaik; 16) Air pembasuhan itu melambangkan Hukum
Musa; melambangkan seluruh tata penyelamatan lama; 17) Hukum dan tata penyelamatan lama tidak dibuang,
tetapi diangkat menjadi sesuatu yang lebih baik, yaitu menjadi anggur, simbol keselamatan yang berpuncak
dalam diri-Nya sendiri; 18) “Saat” Yesus yang diantisipasikan oleh tanda pertama menyingkapkan kemuliaan-
Nya; 19) Disimpulkan bahwa peristiwa di Kana sudah menyingkapkan kemuliaan Yesus; menyingkapkan daya
penyelamatan-Nya yang terpancar dari salib-Nya.

47
penafsirannya, peranan Ibu Yesus tetap sama. Dia menuntun umat manusia (Israel)
untuk menerima rahmat dalam diri Yesus Kristus. Anggur perjamuan Tuhan
menggantikan air pembasuhan lama bagi siapa saja yang percaya kepada Yesus.
Anggur perjamuan Yesus (Salib) berdaya efektif untuk membersihkan manusia dari
kekotoran dosa yang mematikan (bdk. I Yohanes 1:7).
Dalam Yohanes 19:25-27, sosok Ibu Yesus ditampilkan bersama sejumlah
wanita dan Murid yang dikasihi Yesus sendiri. Dikisahkan bahwa “di dekat salib Yesus
berdiri Ibu Yesus, saudari ibu-Nya....dan murid yang dikasihi Yesus”.
o Murid yang dikasihi Yesus melambangkan jemaat Kristen
o Ibu Yesus melambangkan umat Israel sejati.
Dalam Yohanes 2:1-10:
o Ibu Yesus menerima Yesus, Puteranya apa adanya;
o Dia menuntun umat Israel kepada Yesus dan tata keselamatan baru dalam diri
Yesus sendiri.
Dalam Yohanes 19:25-27:
o “Murid yang dikasihi Yesus” menerima Ibu Yesus, yaitu Israel sejati, Israel yang
percaya kepada Yesus.
o Kematian Yesus mempersatukan dua golongan yang berbeda, yaitu
Israel/Yahudi dan jemaat non Yahudi: kedua golongan ini akhirnya saling
menerima dan menyatu dalam kasih Kristus.
Walapun Yohanes 2:1-10 dan Yohanes 19:25-27 tidak memaparkan informasi
historis mengenai Maria, namun penginjil dengan jelas menyingkapkan kedudukan dan
peranannya.
o Maria, Ibu Yesus menjadi simbol real, personifikasi Israel sejati.
o Dia menjadi titik perjumpaan-kesinambungan antara Umat Allah dan tata
keselamatan lama dengan Umat Allah dan tata keselamatan baru dalam diri
Yesus.
o Kedudukan dan peranannya ini nyata dalam silsilah Yesus (Matius 1:1-6): Dia
berperan sebagai titik perjumpaan-kesinambungan antara sejarah
keselamatan lama dan sejarah keselamatan baru dalam diri Yesus, Puteranya.
Yohanes 2:1-10 dan Yohanes 19:25-27 juga dipergunakan untuk
merekonstruksikan psikologi Maria. Nas ini tidak melukiskan bagaimana Maria
(personal-konkret) terlibat dalam karya keselamatan Yesus. Gambaran Maria (dan
Yohanes) di bawah salib Yesus sebagai mater dolorosa dengan jenazah Yesus, anak-
Nya di pangkuannya secara devosional sungguh mengharukan. Akan tetapi, lukisan
kisah ini sungguh-sungguh sebuah “devosi” dan buah angan-angan hati umat Kristen,
bukan tafsiran Injil: Injil tidak menyajikan informasi historik.

48
2. Kedudukan dan Peranan Maria dalam Karya Keselamatan
Para teolog-mariolog menjadikan kisah Yohanes 19:25-29 sebagai ajang
perdebatan mengenai peranan Maria dalam “karya penebusan obyektif”.
Perdebatan ini semakin hangat menjelang Konsili Vatikan II. Inti perdebatannya
berpusat pada dua gelar yang diberikan kepada Maria, yaitu:
1. Coredemptrix (rekan-penebus)
2. Mediatrix omnium gratiarum (pengantara segala rahmat).
a) Gelar Maria sebagai “pengantara segala rahmat” dihubungkan dengan
peranan aktualnya dalam “penebusan subyektif”.
b) Gelar Maria sebagai Rekan-Penebus dihubungkan dengan peranannya dalam
“penebusan obyektif” atau dalam “karya penyelamatan” (historik).
Konsili Vatikan II justru menolak kalau gelar itu dikenakan kepada Maria.
a) Bagi Konsili, gelar tersebut akan menyesatkan umat beriman serta menyakiti
saudara-saudara dari kalangan Reformasi.
b) Mereka sangat alergi dengan sebutan “Rekan-Penebus” karena dinilai sebagai
serangan atau saingan dengan peran Tunggal Yesus sebagai Penebus-
Penyelamat.
Untuk mencegah aneka hal yang tidak diinginkan, maka Konsili menegaskan
bahwa:
a) Peranan Maria dalam iman Katolik sama sekali tidak mengurangi atau
merongrong peranan Tunggal Yesus dalam karya penyelamatan manusia.
b) Gelar “Rekan-Penebus” bisa ditafsir dan diartikan dalam perspektif yang
positif-baik tanpa menimbulkan kesulitan teologis.
Diakui, sejak Abad X, Maria disebut redemptrix (penebus), salvatrix
(penyelamat) dan reparatrix (pemulih). Akan tetapi gelar-gelar ini hanya bisa
diartikan dalam lingkup ini:

1) Dengan menjadi Ibu Penebus, Juru Selamat, Pemulih, yaitu Yesus Kristus, secara
tidak langsung, Maria menjadi “penebus, juru selamat, pemulih” (keselamatan).
2) Maria bukanlah sarana biologik dan pasif belaka. Maria menjadi Ibu Yesus
secara personal dan aktif.
Dengan muatan makna yang sama, Maria disebut Ibu bagi semua orang yang
ditebus dan Ibu bagi semua bangsa manusia. Seraya menggaribawahi gagasan para
Pujangga Gereja, Konsili Vatikan II (Lumen Gentium 53,54,56,62) menggelari Maria
sebagai “Ibu kaum beriman” dan “Ibu semua manusia” (dalam tata keselamatan).
Dari puncak salib-Nya, Yesus menyerahkan Ibu-Nya kepada “murid yang
dikasihi-Nya”. (lambang kaum beriman) dan murid itu pun dipercayakan kepada Ibu
Yesus. Sesunggunya, Yohanes 19:26-27 tidak mengatakan apa pun mengenai
“keibuan rohani” Maria. Para pujangga Gereja dan teolog yang hidup sebelum Abad
X tidak menafsir nas Yohanes tersebut dengan cara demikian, kecuali Origenes (254)

49
dan Ambrosius (397). Di Abad Pertengahan, tafsiran tersebut menjadi lazim di
kalangan teolog.
Yohanes 19: 25-27 bukanlah landasan fundamental untuk menjelaskan perihal
“keibuan rohani Maria”.
1. Dengan melahirkan Yesus Kristus, yaitu “Dia Sang Sumber Kehidupan atau
Kehidupan itu sendiri”, secara tidak langsung Maria “melahirkan” semua orang
yang mendapat-memiliki kehidupan Ilahi dari Kristus sendiri.
2. Dalam tata keselamatan, siapa pun saja yang dianugerahi dan terbuka terhadap
kehidupan Ilahi itu adalah “saudara-saudara” Yesus, Anak Maria dan secara tidak
langsung mereka adalah “anak-anak Maria”.
3. Agustinus menegaskan: Dengan menjadi Ibu Kepala Tubuh Mistik, Maria menjadi
Tubuh Mistik itu sendiri. Siapa pun saja yang mengantungkan seluruh diri dan
kehidupannya kepada Kristus, secara tidak langsung bergantung kepada Ibu, Sang
Juru Selamat, sebagaimana Sang Anak bergantung kepada Ibu-Nya dalam
“adanya”, bukan dalam “karya-Nya”.
4. Dengan demikian tampak bahwa relasi biologik-personal antara Maria dengan
Yesus, Sang Penebus sangat berbeda dengan relasi keibuan Maria dengan semua
manusia.
5. Secara harafiah, biologik-personal, Maria, Ibu Yesus adalah Ibu bagi semua
bangsa manusia, baik dalam lingkup metaforik, spiritual-personal dan tidak
langsung.
6. Relasi antara Maria dengan semua bangsa manusia terjalin melalui Yesus, Sang
Penebus-Penyelamat Tunggal bagi manusia. Dengan menjadi Ibu Yesus dan
mencintai-Nya, secara implisit, Maria merelakan diri untuk mencintai semua bangsa
manusia yang menjadi sasaran kasih dak karya Yesus.
Inilah implikasi kasih sejati kepada Allah, yaitu kasih yang yang merangkul
semua dan siapa saja yang dikasihi dan dicintai Allah. Berkat kasih kepada Allah
dalam diri Yesus Kristus, Anaknya, Maria mengasihi semua bangsa manusia yang
dikasihi Allah dalan diri Putera-Nya dengan kasih yang menyelamatkan dan menebus.
Inilah fakta obyektif yang berlaku umum, bukan hanya untuk Maria.
Jika demikian keibuan rohani Maria, maka tidaklah sulit untuk menerima dan
mengakui inti ajaran iman Gereja bahwa:
1) Ibu Yesus, secara pribadi, terlibat di dalam karya penebusan Yesus Kristus,
Puteranya. Secara tidak langsung, Maria turut menebus semua bangsa manusia
(termasuk dirinya sendiri).
2) Tanpa mendasarkan diri pada Yohanes 19:25-27, tanpa keraguan, iman Gereja
menegaskan bahwa Maria turut menderita bersama Yesus, Putera-Nya dan
melalui derita, cinta dan korban-Nya, Dia menebus umat manusia.
3) Penderitaan Maria juga membawa keuntungan bagi manusia.

50
Penegasan iman ini didasarkan pada Perjanjian Baru sendiri. Di dalam suratnya
kepada jemaat di Roma, Paulus menegaskan bahwa orang beriman yang
menderita bersama Kristus dengan sendirinya terlibat di dalam penderitaan
Kristus sendiri.
Di dalam penderitaan rasulinya, Paulus sendiri merasa dirinya disalibkan
bersama Kristus (Glatia 2:19) dan bersatu dalam penderitaan-Nya (Filipi 3:10).
Di dalam I Petrus 4;13ditegaskan bahwa kaum beriman yang menderita di
dalam dan bersama Kristus akan membawa keuntungan bagi orang lain.
Di dalam Kolose 1:24, Paulus kembali menegaskan: “Aku bersukacita bahwa
aku boleh menderita bagi kamu dan menggenapkan dalam dagingku apa
yang kurang pada penderitaan Kristus untuk tubuh-Nya, yaitu jemaah”. Kendati
sulit dimengerti, namun inti iman yang diungkapkan sangat jelas: penyertaan
kaum beriman dalam penderitaan Kristus justru membawa keuntungan bagi
orang lain sebab penderitaan tersebut merupakan penyertaan dalam
penderitaan Kristus sendiri.
Dalam persekutuan dengan para Kudus, penderitaan salah seorang dari
kawanan Umat Allah (orang beriman) membawa keuntungan bagi orang lain.
Persekutuan umat beriman sesungguhnya berakar pada persekutuan pribadi-
pribadi beriman dengan Yesus sendiri. Dalam persekutuan itu terungkap
solidaritas di antara sesama beriman berdasarkan solidaritas dengan Kristus
sendiri.
Konsekuensinya, di dalam penderitaan, setiap pribadi beriman menerima
tawaran diri Allah (daya penyelamatan) dengan iman dan kasih, sama seperti
twaran diri Allah itu diterima oleh Kristus dalam penderitaan, ketaatan dan
kasih-Nya kepada Allah.
Dengan sikap iman ini, penderitaan yang dialami oleh sesama manusia yang
beriman akan berpengaruh dan membawa keuntungan bagi sesama yang lain.
Di dalam dan melalui diri seseorang yang menderita, tawaran diri Allah (daya
penyelamatan, rahmat) merasuki umat manusia.
Berdasarkan semangat solidaritas dan kesetiakawanan dalam tata
keselamatan, segala sesuatu yang terjadi dalam diri seorang beriman “kena”
dan menyentuk keberadaan semua kaum beriman.
Oleh karena itu, setiap pribadi beriman dituntut untuk bertindak demi sesama
yang lain yang menderita (turut menderita dengan sesama yang menderita).
Solidaritas kaum beriman yang “turut menderita dengan orang yang menderita
“mengandaikan penderitaan Kristus sendiri dan ambil bagian di dalam
penderitaan-Nya”. Penderitaan Kristus menjadi sumber dan prasyarat bagi
kaum beriman untuk “turut menderita” dan menguntungkan bagi sesama yang
menderita.
Di dalam solidaritas iman “turut menderita dengan orang yang menderita”,
kaum beriman “turut” menerima tawaran kasih Allah dalam diri Yesus yang
menderita demi keselamatan manusia.

51
Kaum beriman harus senantiasa sadara bahwa apabila mereka “turut
menderita dengan sesama yang menderita”, sesungguhnya Kristus sendirilah
yang bertindak di dalam diri mereka.
4) Apabila kaum beriman rela dan turut menderita dengan sesama yang menderita,
maka semua kaum beriman menjadi “rekan-penebus” (coredemptor).
5) Oleh karena itu, tidak ada kesulitan apa pun untuk meneriman Ibu Yesus sebagai
manusia unggul yang menjadi rekan penebus. Justru karena imannya yang unggul
dan karena relasi biologik-personal dengan Puteranya, penebus umat manusia.
6) Dalam persatuannya dengan penderitaan Kristus, penderitaan Maria secara
unggul menguntungkan sesama manusia. Namun, penderitaan Maria tetap berada
salam ketergentungan mutlaknya parya penebusan Yesus Kristus, Putera-Nya.
7) Konsili Vatikan II menegaskan: “... Ia turut menderita bersama Anaknya yang
wafat di salib. Dengan demikian atas cara yang sangat istimewa ia bekerja sama
(cooperata est) dalam karya Juru Selamat untuk memugar (restaurare) kehidupan
adikodrati jiwa-jiwa dengan ketaatan, iman dan cinta kasih yang berapi-api.
Oleh sebab itu ia menjadi bunda kita dalam tata rahmat” (Lumen Gentium 61).

Keistimewaan Maria sebagai rekan-penebus tidak hanya tampak dalam


keunggulannya, tetapi juga dalam ketunggalannya. Peranan Maria tidak tergantikan:
1. Dia merelakan diri menjadi Ibu Yesus hingga akhirnya (turut menderita) menerima
tawaran diri Allah (kehadiran Puteranya di dalam rahim dan kehidupannya)
secara personal.
2. Dengan demikian, secara personal dia terlibat dalam karya penyelamatan umat
manusia.
3. Berkat kesediaannya menjadi Ibu Yesus, karya penyelamatan Allah masuk ke
dalam sejarah manusia.
Setiap manusia yang menerima tawaran kasih Allah secara personal (melalui
iman akan Yesus Kristus) menyatukan diri dengan penerimaan Maria sebab secara
fundamental, pribadi yang beriman menerima penyelamatan yang sama, seperti yang
diterima Maria. Sikap dan tindakan Maria dilanjutkan oleh orang-orang yang terbuka
menerima tawaran kasih Allah yang memilih Maria dan memberdayakan sesama untuk
menerima tawaran yang sama. Siapa pun di antara manusia bergantung kepada
Yesus yang kehadiran dan keberadaan-Nya di dalam sejarah bergantung kepada
Maria yang merelakan dirinya menjadi Ibu Sang Juru Selamat. Dengan demikian,
semua kaum beriman terlibat dan bertindak seperti Maria, Ibu Yesus , yaitu menjadi
penyalur rahmat bagi sesama.
Maria memiliki kedudukan istimewa, unggul dan tunggal dalam tata
keselamatan karena keterlibatan personalnya dalam karena penebusan Kristus.
Peranan istimewa, unggul dan tunggal Maria diperuntukkan bagi semua bangsa
manusia. Atas dasar inilah, Maria menjadi “rekan-penebus”: Maria secara khas-
tunggal menerima karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Putera-Nya demi

52
sesama manusia. Sebagai penerima aktif, Maria berada bersama siapa pun saja
yang ditebus oleh Puteranya, Yesus Kristus.

3. Apakah Maria Turut Menebus?


Para Mariolog tidak puas dengan argumen teologis mengenai peranan Maria
sebagai “rekan-penebus”. Untuk itu, mereka mencari landasan fundamental untuk
menyingkapkan peranan langsung dan ekslusif Maria dalam karya penebusan itu
sendiri. Kendati keberadaan Maria, kedudukan dan perannya tergantung seutuhnya
pada Yesus, para mariolog berusaha membuktikan bahwa dengan caranya yang
khas, Maria turut menebus umat manusia “sedemikian rupa”, tanpa tergantung (secara
langsung) kepada karya penebusan Yesus.
Ada beberapa mariolog yang memikirkan duduk persoalannya sebagai
berikut:
1) Dengan menjadi Ibu Yesus dan secara personal melibatkan dirinya secara penuh
dalam karya penyelamatan Puteranya, Maria tidak hanya bertindak untuk umat
manusia, tetapi juga “atas nama” dan “pengganti umat manusia”.
2) Dengan mendasarkan gagasan mereka pada gagasan St. Thomas Aquinas,
mereka menegaskan bahwa ketika menerima kabar gembira dari Malaikat Tuhan,
Maria menerima tawaran Allah atas nama umat manusia.
3) Gagasan Thomas ini ditegaskan kembali Paus Leo XIII (DS 3274): Maria
“mempribadikan” umat manusia (DS 1940 a). Dengan merelakan dirinya menjadi
Ibu Yesus, Sang Juru Selamat, Maria mewakili umat manusia: Dia menjadi
pengganti dan kepala umat manusia dalam menerima tawaran diri Allah (Anak-
Nya).
4) Dengan cara demikian, “Maria turut serta dalam karya penebusan”. Oleh Allah
dan demi Yesus Kristus, Maria dipilih untuk mengemban tugas luhur dan mulia ini:
di dalam peranannya sebagai Ibu Yesus, Sang Juru Selamat terkandung fungsi
dan kedudukannya sebagai “rekan-penebus”.
5) Menurut pendekatan ini, tata penebusan dirumuskan sebagai berikut:

Yesus Kristus menebus (melindungi ) Ibu-Nya dari dan terhadap dosa.


Sebagai wakil umat manusia, Maria menerima tawaran kasih Allah dalam diri
Anak-Nya.
Bersama Ibu-Nya, Yesus menebus umat manusia.
Maria menjadi “partner” Yesus, Putera-Nya (corredemptrix): Bersama Yesus,
Puteranya, Maria menjadi dan merupakan satu prinsip penebusan.

Persoalannya, “Bagaimanakah pendekatan ini bisa didamaikan dengan


peranan Yesus sebagai Pengantara, Penyelamat Tunggal dan Universal umat
manusia? Bukankah hanya Kristus, satu-satunya Pengantara, Kepala, Wakil, Pengganti
umat manusia untuk menerima tawaran kasih Allah?
53
Semua manusia hanya mampu menerima tawaran kasih Allah dalam diri Yesus
Kristus apabila diberdayakan oleh rahmat Allah sendiri. Dia adalah tawaran diri
(persona Allah) dan karya penebusan Allah terjadi hanya jika manusia terbuka
menerima tawaran kasih Allah dalam diri-Nya. Namun, karena di dalam Kristus Yesus
tidak ada “diri manusiawi”, maka harus ada “diri manusiawi” lain yang menerima
tawaran diri Allah itu. Satu-satunya diri yang sungguh-saungguh manusiawi yang bisa
mewakili seluruh umat manusia adalah diri (persona) Ibu Yesus sendiri.
Argumen teologis ini tidak bisa diterima sebab menyangkal inti dogma yang
menegaskan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh
manusia. Hanya jika argumen teologis ini menegaskan bahwa ada seorang manusia
(Maria) yang menjadi teman-sekerja (partner Allah), yang dalam karya penebusan
(bagi manusia) setingkat dengan Allah (Yesus Kristus) menjadi Penebus bagi umat
manusia, argumen ini bisa diterima. Konsekuensinya, Kepengantaraan Tunggal Yesus
Kristus terbagi menjadi dua subyek (pelaku) yang sederajat.
Karena argumen teologis ini, maka tidak mengherankan apabila kaum
Reformasi dengan sikap tegas dan mutlak menolaknya. Mereka menilai bahwa
argumen teologi ini muncul karena menguatnya devosi kepada Bunda Maria
(melampaui batas yang wajar) dan pendukung devosi ini kurang waras. Kaum
beriman seolah-olah meragukan dan tidak membutuhkan Yesus sebagai Penyelamat
Tunggal dan Universal bagi manusia. Bagi mereka, Maria sudah cukup. Persoalannya,
Maria masih membutuhkan Yesus sebagai penebus baginya. Inti teologi ini sungguh
menyesatkan serta mendiskreditkan gelar tradisional Maria sebagai “redemptrix”;
“reparatrix” dan “salvatrix” (penebus, pemulih, penyelamat) yang diberikan kepada
Ibu Yesus.
Ada juga sejumlah mariolog yang secara unik-khas berusaha menonjolkan
peranan tunggal Maria dalam karya penebusan. Bagi mereka, Ibu Yesus secara unik-
khas menebus umat manusia. Alur pemikiran mereka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Berkat pilihan Allah dan karya Yesus, Maria turut “mempersembahkan korban”
Yesus Kristus.
2) Dalam derita dan kematian-Nya, Yesus menyerahkan diri secara total kepada
Bapa-Nya demi keselamatan manusia.
3) Dengan cara yang unik, Maria (tidak ada orang lain yang bisa berbuat demikian)
turut menyerahkan Yesus.
4) Sebagai seorang Ibu, Maria memiliki hak atas diri Anaknya.
5) Namun dengan penuh kerelaan, Maria melepaskan haknya itu demi keselamatan
manusia.
6) Oleh karena korban Kristus tidak terhingga nilainya, demikian juga dengan
korban Maria yang rela menyerahkan Yesus, Anaknya.
7) Dengan demikian, disimpulkan bahwa Maria turut menyilih dosa umat manusia.
Seperti Yesus, dia memperoleh segala rahmat.

54
8) Apa yang diperoleh Yesus menjadi hak-Nya, demikian juga Maria turut
memperolehnya secara layak.

“BUNDA MARIA, DOAKANLAH


KAMI ORANG YANG BERDOSA INI”

55

Anda mungkin juga menyukai