1. Bahasa
Orang Batak Toba mempunyai bahasa khas, yang sangat kental
dengan logat daerah-nya. Dengan mendengar logatnya saja kita bisa
mengetahui dari mana asal daerahnya. Seperti orang Samosir telihat jelas
sekali logat bahasanya. Jika hanya didengar sekilas kedengarannya seperti
marah, padahal tidak. Itu hanya karena faktor logatnya saja. Meskipun
logatnya berbeda, orang Batak Toba bisa saling mengerti satu sama lain.
Karena semuanya sama maksud dan artinya. Perbedaan antara yang satu
dengan yang lain hanya pengucapan vokalnya saja yang berbeda.
2. Sistem Pengetahuan(tradisional)
Sistem pengetahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-
perubahan musim yang diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim
hujan dan musim kemarau. Perubahan dua jenis musim tersebut dipelajari
masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.
Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku
Batak juga menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis
tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting
artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti
makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis tumbuhan bambu
misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air,
ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu
dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk
menumbuk padi.
Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu, serta batu, yang
dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja.
Sedangkan dari kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya
untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu
tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan kulit
kayu tersebut hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan
menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan. Serta akar-
akar kayu banyak digunakan sebagai ramuan obat Tradisional.
3. Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan orang Batak adalah menurut garis keturunan
ayah. Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada
masyarakat Batak, mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam
struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan
kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara
satu marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa
kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan
sebutan dongan-sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama).
Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah
kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan ini
yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas
turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling
dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk
kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan ia harus menikah dengan
laki-laki dari kelompok yang lain.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat
sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya.
Seperti cangkul, bajak, tongkat tunggal, sabit (sabi-sabi). Masyarakat
Batak juga memiliki senjata tradisional, yaitupiso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak),
podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos
yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah adat
batak biasanya didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding
miring, beratap ijuk. Letaknya memanjang kira-kira 10 – 20 meter dari
timur ke barat. Pintunya ada di sisi barat dan timur atau pada salah satu
ujung lantai pada rumah toba ( masuk dari kolong). Pada bagian puncaknya
yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang tanduk kerbau
atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk
setengah lingkaran. Pada sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak
menggunakan lukisan. Kepala orang atau singa. Dindingnya diikat dengan
tali ijuk yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai gambar cicak.
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pada sistem bercocok tanam di ladang, Huta atau Kutalah yang
memegang hak Ulaya tanah. Sedangkan hanya warga Huta yang berhak
untuk memakai wilayah itu. Mereka menggarap tanah itu seperti
menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak dapat menjualnya tanpa persetujuan
dari Huta yang diputuskan dengan musyawarah. Tanah yang dimiliki
individu juga ada. Pada orang Batak Toba misalnya ada tanah panjaenan,
tanah pauseang dan tanah parbagian.
Orang Batak juga mengenal sistem gotong royong kuno dalam hal
bercocok tanam. Dalam bahasa Batak Toba ada yang disebut
“marsiurupan”. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat, bersama-
sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
Raron itu merupakan suatu pranata yang ke anggotaannya sangat suka rela
dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya walaupun
minimal selama jumlah pesertanya satu hari.
Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam adalah, cangkul.
Bajak biasanya ditarik oleh kerbau, atau oleh sapi. Orang Batak umumnya
memotong padi dengan sabit (sabi-sabi), atau dengan ani-ani. Selain itu
peternakan juga suatu penghasilan yang penting bagi orang Batak pada
umumnya. Mereka memelihara kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, bebek,
dll.
6. Sistem Religi (Keagamaan)
Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya
diciptakan oleh debata (ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas
langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat
kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan
merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat
tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba). Sebagai penguasa
dunia makhluk halus ia bernama Panena Bolon. Selain daripada
pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur
kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane na
Bolon mengatur setiap penjuru mata angin.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga
konsep, yaitu tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang
itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau
roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Bedanya dengan tondi ialah bahwa
tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga
berbeda-beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih
kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih
kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan
peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang
kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam
rahim ibunya. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi
hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan
yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.
Seperti halnya dengan sahala,yang dapat berkurang atau bertambah,
tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan
untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk
seterusnya, orang itu mati. Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti
tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu misalnya apa yang
dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam
hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat. Sesuai dengan
kebutuhannya, begu di puja dengan sajian (pelean).
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga
percaya kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal
panaluandan kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.
Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang Batak Toba
(pustaha), berasal dari si Raja Batak.
7. Kesenian (Art)
Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni
musik, seni tari, seni bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan.
Terdapat beberapa seni masyarakat Batak, antara lain:
a. Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak
mereka dan sekaligus mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia
sudah mempunyai anak.
Kata margondang merupakan bentukan dari kata dasar
gondang (gendang). Margondangmenyatakan kata kerja yakni bergendang
atau memainkan alat musik gendang.Margondang merupakan suatu
kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu.
Tujuannya adalah untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena
merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
b. Seni Tari (Tor-tor)
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang
(gendang). Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat
sakral, bukan semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila
upacara penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya
melaksanakan horja (kerja adat) antara lain: mengawinkan anak,
martuatek (memandikan anak atau memberi nama anak), memasuki rumah
baru, mengadakan pesta saring-saring (upacara menggali kerangka
jenazah).
c. Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam.
Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada sejak lama sekali.
Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan –
tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar
kepercayaan. Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang
kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat.
Kemudian tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi
sebuah bentuk patung.
d. Kerajinan Tangan (Ulos)
Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil
kerajinan seni budaya saja, kain ulos pun mempunyai arti dan makna.
Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun ulos adalah
lambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang
komunikasi dalam masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun ulos
selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam
adat suku Batak.
Tiap-tiap kain tenun ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna
tersendiri, baik bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya.
Misalnya saja ulos ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi
derajatnya. Motif ulos ragidup ini harus terlihat seperti benar-benar lukisan
hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai ulos yang
melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam
kehidupan.
Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang berhubungan
dengan pekerjaan. Ulos ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian
sebagai pembungkus atau penutup jenazah yang akan dikebumikan. Ulos
jenis ini mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.
BAB III
PERTUMBUHAN KEBUDAYAAN DAN EVOLUSI PIKIRAN
1. Pengantar
Perkembangan kebudayaan, perkembangan sosial, dan alam bisa
saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan alam bisa mempengaruhi
kehidupan sosial dan budaya dan sebaliknya. Selain itu, konsep “pikiran”
manusia juga mempunyai peranan penting dalam perkembangan
kebudayaan secara tidak langsung. Maka dalam pokok bahasan Bab ini,
diutarakan secara khusus suatu konsep “pikiran” dan perkembangan
evolusinya dalam kehidupan kebudayaan masyarakat. Satu catatan yang
penting ialah bahwa perubahan kebudayaan dan sosial tidak selalu
dipengaruhi oleh sebab-akibat.
2. Konsep “Pikiran”
3. Evolusi Pikiran
4. Penutup
Evolusi pikiran adalah sebuah ungkapan lain yang mendeskripsikan
suatu perkembangan kemampuan, kecakapan, kecenderungan, dan
kecondongan tertentu dalam suatu organisme masyarakat. Sejalan dengan
ini, kebudayaan juga mengalami perubahan dan perkembangan secara
berangsur-angsur dari waktu ke waktu seiring dengan evolusi pikiran yang
terdapat dalam suatu masyarakat.
Penerapan dan pandangan evolusi manusia yang disertai dengan
evolusi pikiran yang telah direvisi ini membawa pada hipotesis
(pengandaian) bahwa sumber-sumber kultural adalah bahan, bukan
tambahan pada pemikiran manusia. Ketika orang bergerak secara
filogenetis atau berevolusi dari binatang yang lebih rendah ke yang lebih
tinggi, tingkah laku dicirikan dengan sesuatu yang makin tidak dapat
diramalkan dengan acuan terhadap rangsangan yang ada, karena kegiatan
syaraf semakin kompleks.
Oleh karena itu, semuanya itu penting tidak hanya bagi
kelangsungan hidupnya melainkan bagi perwujudan eksistensialnya.
Penerapan dan pandangan evolusi manusia yang telah direvisi ini membawa
pada hipotesis bahwa sumber-sumber kultural adalah bahan, bukan
tambahan, pada pemikiran manusia. Pada akhirnya pikiran manusia
terutama adalah sebuah tindakan yang dinyatakan dan diarahkan menurut
bahan-bahan obyektif dari kebudayaan bersama, dan baru setelahnya,
pikiran merupakan suatu soal privat.
Nama Kel. 9 : Alexius Harefa (180510004)
Dionsius Purba (180510020)
Honoratus Hasnaha Zebua (180510032)
Redemptus Roeko Naibaho (180510068)
Tiar Roberto S. Purba (180510081)
Semester : I (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Yustinus Slamet Antono
I. Pendahuluan
Sifat dan perilaku yang yang tampak pada binatang maupun
perilaku yang diperlihatkan oleh manusia tidak muncul begitu saja
tanpa sebab melainkan telah melalui evolusi yang panjang. Pada
umumnya, perilaku-prilaku itu berupa usaha untuk
mempertahankan diri maupun kelompoknya. Faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan tingkah laku pada binatang maupun
manusia, ialah bisa karena pengaruh sistem syaraf dan juga faktor
sosial. Dua faktor ini menimbulkan beberapa agresi dalam diri
binatang dan manusia, misalnya memunculkan agresi defensif,
agresi pertahanan-diri, agresi perlawanan, agresi pemangsangan,
agresi penyelamatan, dsb. Beberapa hal ini Akan dibahas lebih
dalam pada bagian pembahasan di bawah ini.
II. Isi
BAB 1 INSTINGTIFIS
A. Instingtifis Lama
Sejarah instingtifis bermula dari pemikiran filsafat, namun
bila dikategorikan ke dalam pemikiran modern, sejarah ini bermula
dari karya Charles Darwin. Untuk selanjutnya semua penelitian
pasca-Darwin mengenai insting didasarkan pada teori evolusinya.
Karya-karya William James (1890), William McDougall
(1913, 1932), dan para pakar yang lain merupakan bagian dari
daftar panjang yang berisi bahwa masing-masing insting individu
akan memotivasi jenis-jenis perilaku yang serupa. Misalnya adalah
yang dipaparkan oleh William James berkenan dengan insting
peniruan, persaingan, kesukaan bertengkar, berburu, kekhawatiran,
ketamakan, kegemaran mencuri yang abmoral, kesukaan bermain,
membangun, kecemasan, keramahan, kerahasiaan,
kebersihan,kesopanan, cinta, cemburu, sebuah daftar panjang yang
mencampuradukkan antara sifat-sifat yang universal dan ciri-ciri
bawaan tertentu yang terkondisi secara sosial (J.J McDougall, ed.,
1967). Daftar susunan para instingtifis ini sangat kompleks, kaya
akan kontribusi teoritik, dan tingkat teoritis masih relevan. James
sangat menyadari akan adanya unsur pebelajaran, bahkan dalam
kinerja utama suatu insting, sedangkan McDougal tidak menyadari
akan pengaruh bawaaan dari pengalaman-pengalaman dan latar
budaya yang berbeda. Instingtifisme budaya terakhir yang berbeda
itu merupakan jembatan menuju teori Freud. Bagi McDougal inti
suatu insting adalah suatu kecenderungan atau tendensi dan inti
afeksi konasi dari tiap insting ini tampaknya relatif mampu
berfungdi terpisah dari bagian kognisi dan motorik dalam
kecenderungan instinftif total.
Teori instingtifistik modern yang terkenal yakni
“neoinstingtifis” Sigmund Freud dan Konrad Lorenz. Ciri-ciri yang
didapati pada mereka tentang model instingtifistik dalam batasan
mekanistik-hidrolik, Mcdougal menggambarkan bahwa:
1) Energi ditahan oleh “gerbang cairan” dan akan “diluapkan”
pada kondisi tertentu (W.McDougall, 1913).
2) Ia menganalogikan insting dengan suatu ruangan yang di
dalamnya selalu terpancarkan gas (W. McDougall, 1923).
Freud dalam konsep libidonya juga berpihak pada skema
hidrolik:
1) Libido meningkat
2) Tekanan darah meningkat
3) Kekerasan meningkat. Tindakan seksual akan menurunkan
ketegangan dan dan keresahan untuk beberapa saat sampai
ketegangan itu muncul.
Perbedaan:
BAB 5 NEUROFISIOLOGI
A. Pengertian
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem saraf. Ilmu ini berkaitan
erat dengan ilmu psikologi, neurologi, etologi, dan ilmu otak
lainnya. Sedangkan fisiologi merupakan salah satu dari cabang-
cabang biologi yang mempelajari tentang berlangsungnya sistem
kehidupan.
B. Hubungan Psikologi dengan Neurofisiologi
Setiap cabang ilmu mempunyai bahasan sendiri, metode
tersendiri dan arah yang dituju dalam mengupas persoalan yang
ingin dipecahkannya. Maka, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
seorang ahli neurofisiologi mempunyai Cara kerja yang berbeda
dengan seorang ahli psikologi, demikian pula sebaliknya.
Meskipun demikian, keduanya sebenarnya bisa saling menjalin
hubungan erat dan saling membantu. Ini terbukti, misalnya, dalam
kaitannya dengan pokok bahasan agresi defensif.
Namun begitu, dalam banyak kasus, telaah psikologi dan
neurofisiologi mempunyai banyak sudut pandang yang berbeda dan
tidak saling terkait. Maka, keduanya mau tidak mau harus bekerja
dengan caranya masing-masing dan memecahkan persoalannya
masing-masing, hingga suatu hari keduanya mencapai titik temu
dalam melakukan pendekatan terhadap persoalan yang Sama,
dengan metode yang berbeda, untuk kemudian mempertautkan
temuan masing-masing. Hal ini memang tidak masuk akal, kalau
seandainya mereka saling menunggu sampai mereka menemukan
bukti positif dan negatif untuk hipotesis yang Sama. Maka,
wajarlah kalau seorang psikolog mempunyai ketidakyakinan ilmiah
atas temuan-temuannya.
R. B. Livingston, dalam observasinya, melukiskan
mengenai hubungan antar keduanya. Ia mengatakan bahwa titik
temu antar keduanya akan tercapai apabila sejumlah ilmuwan dari
masing-masing cabang ilmu itu mempunyai dasar yang sangat kuat
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Manfaat atas tercapainya
titik temu antara keduanya sulit untuk diprediksi karena masih
butuh pembahasan lebih lanjut lagi. Banyak usaha tradisional untuk
mengidentikkan keduanya tapi semuanya sia-sia. Lantaslah kita
bertanya, siapakah yang kita perangi? Tak lain ialah kebodohan kita
sendiri.
Sumber-sumber yang dibutuhkan untuk penelitian dasar
bidang psikologi dan neurufisiologi masih relatif sedikit.
Persoalan-persoalan yang seharusnya segera diselesaikan justru
masih sulit untuk dipahami.
Banyak orang yang menganggap, bahwa para neurofisiologi
telah menemukan banyak jawaban atas permasalahan perilaku
manusia. Sebaliknya, T. H. Bullock, pakar sistem syaraf
invertebrata, ikan atau belut listrik, dan mamalia laut, dalam
maklahnya yang berjudul Evolution of Neurophysiological
Mechanism, mengatakan bahwa pada dasarnya kita tidak memiliki
asumsi yang baik mengenai mekanisme syaraf pembelajaran atau
substrata fisiologi dalam pola-pola instingtif atau manifestasi
perilaku kompleks yang sesungguhnya. Pendapatnya ini
diteguhkan oleh Birger Kaada, yang mengatakan bahwa
pengetahuan dan konsep kita tentang susunan syaraf pusat untuk
perilaku agresif dibatasi oleh fakta bahwa sebagian besar informasi
diperoleh dari eksperimen binatang. Maka, nyaris tidak ada yang
diketahui tentang hubungan sistem syaraf pusat dengan “perasaan”
atau faktor-faktor “afeksi” dalam perasaan.
Banyak para pakar neurologi terkemuka, seperti, W.
Penfield, H. von Foerster, T. Melnechuck, H. R. Maturana, F. C.
Varela, dan F. G. Worden menaruh rasa pesimisme atas tanggapan
yang mengatakan bahwa penemuan neurofisiologi dapat
memecahkan banyak permasalahan tentang pikiran manusia.
Karena, perilaku tidak dapat dijelaskan dengan hanya mengacu
pada pengaruh sistem syaraf. Data ini didukung oleh pandangan E.
Valenstein (1968), yang menjelaskan bahwa “pusat-pusat”
hipotalamus untuk rasa lapar, haus, seks dan sebagainya, tidaklah
benar. Jika benar, tidaklah murni seperti yang terpikirkan
sebelumnya bahwa kondisi total dari lingkungan fisik dan sosial
pada saat tertentu dapat mengubah makna stimulasi tertentu.
Meski demikian, pandangan dua arah terhadap kemampuan
neurofisiologi untuk menjelaskan perilaku manusia secara
memadai tidak berarti sebagai pengingkaran atas validitas relatif
dari banyak temuan eksperimental. Karena, banyak temuan-temuan
neurofisiologi yang terbukti mampu memberi petunjuk-petunjuk
pentindalam memahami satu jenis agresi, yaitu agresi defensif.
C. Otak sebagai Basis Perilaku Agresif
Menurut Darwin, syaraf pada otak mempengaruhi perilaku.
Hal yang Sama dikatakan oleh MacLean tentang empat mekanisme
otak yang mempengaruhi perilaku, yaitu feeding (mengumpani),
fighting (memerangi), fleeing (menyelamatkan diri), dan fucking
(unjuk kegiatan seks). Di antara empat bagian ini, para ahli secara
khusus memberi perhatian pada bagian fleeing, yaitu penyelamatan
diri.
Agresi dan penyelamatan diri secara khusus dikendalikan
oleh wilayah-wilayah syaraf dalam otak. Hal ini dibuktikan oleh
para ahli bedah melalui stimulasi listrik langsung pada otak. Jika
para ahli menggunakan stimulasi listrik yang bervoltare rendah
terhadap suatu wilayah otak, maka muncul perubahan perilaku pada
objek penelitian tersebut. Awalnya, penelitian ini dilakukan pada
binatang baru kemudian pada manusia. Penelitian ini membuktikan
bahwa syaraf-syaraf pada otak sangat mempengaruhi perilaku
agresi pada makhluk hidup. Dimana kerusakan sedikitpun pada
bagian syaraf tertentu dapat menimbulkan perubahan perilaku yang
ekstrim pada mahluk hidup.
Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Delgado untuk
menghentikan sapi jantan yang sedang dihela, dengan menstimulasi
wilayah syaraf pencegah. Dalam eksperimennya, Delgado
membuktikan bahwa agresi dapat dikendalikan dengan Cara
menanamkan elektroda dalam subtrata syaraf agresi.
Faktor apa saja yang mempengaruhi, menimbulkan, serta
memunculkan perilaku-perilaku destruktif pada makhluk hidup?
Apa yang menimbulkan agresi “bawaan” pada binatang dan
manusia? Pertanyaan ini Akan dibahas pada bagian selanjutnya.
D. Fungsi Defensif Agresi
Telaah para ahli neurofisiologi dan psikologi tentang agresi
manusia dan binatang, memberi kesimpulan bahwa, perilaku agresi
binatang merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati dari
binatang tersebut. Pengaktifan agresi dalam wilayah-wilayah otak
yang memiliki kesamaan terjadi dalam rangka membela
kepentingan hidup individu atau spesies. Karena mempertahankan
hidup merupakan tugas otak, maka ia akan menyediakan reaksi
seketika terhadap bahaya yang mengancam kelangsungan hidup.
Agresi bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman,
melainkan ada bentuk lain, yaitu reaksi penyelamatan diri. Pada
umumnya, reaksi penyelamatan diri sering dilakukan binatang
dalam rangka membela kelangsungan hidupnya. Tetapi reaksi
penyelamatan diri ini bisa berubah menjadi reaksi penyerangan jika
dalam situasi yang sesak atau tak ada lagi jalan lain. Hal ini telah
dibuktikan oleh Hess dalam percobaannya pada seekor kucing
melalui stimulasi listrik pada salah satu sistem syaraf kucing
tersebut.
E. Insting Penyelamatan-diri
Naluri untuk menyelamatkan diri mempunyai peranan yang
Sama dengan naluri untuk melakukan perlawanan. Kedua dorongan
tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.
Tetapi naluri melawan menurut para ahli kurang efesien dibanding
naluri penyelamatan diri. Hal ini dibuktikan lewat pengalaman
nyata, bahwa manusia pada umumnya tidak mempunyai
kecenderungan untuk menjadi pahlawan tanpa motivasi yang kuat
untuk menyelamatkan jiwanya.
Para ahli menarik kesimpulan bahwa selain peran agresi
instingtif dalam diri manusia masih ada peranan tatanan sosial
untuk mempertahankan kehidupan tidak lebih dominan ketimbang
peranan sosial. Manusia harus diancam dengan kematian atau
diteror agar seseorantg mempunyai rasa takjub atas kebijaksanaan
para pemimpinnya dan percaya pada nilai-nilai kehormatan. Dari
analisis historis dapat ditarik kesimpulan bahwa pengekangan
dorongan penyelamatan diri dan pendominasian dorongan untuk
melakukan perlawanan pada umumnya lebih disebabkan oleh oleh
faktor-faktor budaya dibanding faktor biologis.
F. Pemangsaan dan Agresi
Selain agresi penyelamatan-diri dan agresi perlawanan,
masih ada bentuk agresi lain, yaitu agresi pemangsaan. Perilaku
pemangsaan tidak menunjukkan amarah dan tidak Sama dengan
perilaku penyelamatan diri. Perilaku ini ditentukan oleh tujuan
yang jelas, yaitu untuk memperoleh makanan. Bentuk agresi ini
Sama halnya dengan agresi instrumental, yaitu agresi yang
ditujukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Jika tujuan ini
tercapai, maka ketegangan pada diri si pemangsa Akan berangsur
sirna. Perilaku ini hanya dimiliki oleh spesies tertentu yang
mempunyai kelengkapan fisik yang lengkap untuk memangsa,
seperti singa, anjing, kucing, ular, serigala, beruang, dll.
Secara filogenetik, manusia merupakan makhluk non-
pemangsa. Susunan gigi manusia kurang cocok untuk memiliki
kebiasaan memakan daging karena bentuknya tidak jauh berbeda
dengan susunan gigi leluhurnya yang pemakan sayur-sayuran dan
buah-buahan. Sistem pencernaan pada manusia memiliki semua
tanda-tanda vegetarian, bukannya karnivora (J. Napier, 1970).
Menurut I. DeVore: “Semua primata Dunia Lama Pada dasarnya
mengkonsumsi makanan vegetarian.
Manusia selama ribuan tahun telah mengakrabkan diri
dengan binatang-binatang peliharaan, seperti kucing, dan anjing
yang sebenarnya merupakan pemangsa. Akibatnya, manusia
hampir tidak bisa membedakan antara keagresifan pemangsaan dan
keagresifan pertahanan lantaran kedua jenis agresi ini berujung
pada pembunuhan. Hal inilah yang membuat manusia bisa menjadi
serigala bagi sesamanya, tinggal di daerah peternakan biri-biri, dan
akhirnya bisa menjadi pemangsa.
V. Isi
BAB 1 INSTINGTIFIS
C. Instingtifis Lama
Sejarah instingtifis lama bermula dari pemikiran filsafat,
namun telah disusun oleh Charles Darwin ke dalam pemikiran yang
modern.
D. Neoinstingtifis: Sigmund Freud dan Konrad Lorenz
6. Konsep Agresi Freud
7. Teori Agresi Lorenz
8. Freud dan Lorenz: Persamaan dan Perbedaan Mereka
9. Pembuktian dengan Analogi
10. Simpulan-simpulan Mengenai Perang
Pada simpulan analitiknya mengenai agresi
instingtif pada manusia, sependapat dengan Freud yang
menggambarkan bahwa peperangan tidak dapat dihapuskan
karena ini timbul dari suatu insting. Tetapi dalam hal ini,
sngat tidak setuju, maka dia berusaha mencari cara untuk
menghindarkan masyarakat dari pengaruh tragis insting
agresif. Ia juga harus mencari alternatif guna menjadikan
teorinya tentang kedestruktifan bawaan pada diri manusia
dapat diterima. Lorenz mempunyai beberapa gagasan yang
sama dengan Freud, meskipun ada perbedaan yang jelas di
antara keduanya. Freud membuat usulan-usulan yang
dengan skeptisme dan kesederhanaan sedangkan Lorenz
menyatakan, “ Saya tidak keberatan mengakui bahwa….
Saya rasa saya memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada
umat manusia guna menuntun mereka ke arah yang lebih
baik. Keyakinan saya ini bukanlah suatu kelancangan
sebagaimana tampaknya…”
Usulan Lorenz ini memiliki hal-hal yang penting
untuk diajarkan. Tapi bahayanya, usualannya tak pernah
beranjak dari kata-kata klise, “ajaran sederhana” dalam
menghadapi bahaya “ terpecah-belahnya masyarakat akibat
tidak berfungsinya perilaku sosial”:
e) Ajaran utamanya adalah… “kenali diri Anda.”
Lorenz bermaksud bahwa kita harus memperdalam
wawasan kita mengenai rentetan penyebab yang
mengendalikan perilaku kita, yakni hukum-hukum
evolusi.
f) Studi psikoanalitik mengenai sublimasi.
g) Peningkatan pengenalan diri dan jika
memungkinkan, persahabtan antaranggota
masyarakat, penganut ideologi atau warga negara
yang berlainan.
h) Penyaluran antusiasme militan secara cerdas dan
bertanggung jawab, yakni membantu generasi muda
untuk menemukan penyebab utama antusiame
militan yang layak dibahas dalam dunia modern.
c. Meninjau Program Lorenz
Lorenz secara keliru menggunakan pemikiran
klasik, “kenali diri anda”. Padahal bukan hanya
pemikiran Yunani, melainkan juga pemikiran Freud
tentang semua ilmu dan psikoanalisisnya yang
didasarkan pada pengetahuan diri. Freud mengatakan
pengetahuan diri berarti manusia sadar akan adanya
alam bawah sadar. Pengetahuan diri dalam pengertian
Freud bukanlah sekadar proses intelektual, melainkan
secara serentak merupakan proses afeksi yang
membutuhkan pengetahuan melalui nurani. Mengenali
diri seseorang berarti kita memperdalam wawasan,
inteligen dan afeksi, mengenai bagian-bagian rahasia
dari jiwa seseorang. Sedangkan Lorenz dengan
mengatakan “kanali diri anda” bermaksud untuk
memperdalam teoretik mengenai fakta-fakta evolusi,
dan khususnya tentang sifat instingtif agresi. Menurut
Lorenz pengenalan diri dianalogikan dengan
pengetahuan teoretik tentang teori insting kematian
Freud.
Lorenz tidak memperdalam lebih jauh tentang
ajarannya yang kedua, yakni sublimasi. Untuk ajaran
yang ketiga “peningkatan pengetahuan diri dan jika
memungkinan, persahabatan antarindividu yang
menjadi penganut ideologi dan warga negara yang
berbeda-beda.” Namun ini tidak terbukti kebenarannya,
karena sudah banyak individu-individu, kelompok-
kelompok yang berbeda atau negara yang berbeda
sudah lama saling mengenal namun yang terjadi
diantara mereka adalah peperangan dan menebar
kebencian. Maka “kesalingkenalan” dan
“persahabatan” tidak dapat diharapkan untuk meredam
agresi, karena keduanya tak ubahnya pengetahuan semu
mengenai orang lain yang kita lihat dari sisi luar. Ini
sangat berbeda dengan pengetahuan empatik di mana
kita memahami pengalaman-pengalaman orang lain
dengan pengalaman kita. Pengetahuan ini menuntut
agar pengekangan pada diri seseorang dikurangi. Maka
pemahamannya mengenai diri seseorang dapat
menurunkan atau menjauhkan keagresifan. Namun
tergantung pada itngkat kemampuan seseorang dalam
mengatasi rasa cemas, sifat tamak (rakus), narsisme,
dan bukan pada banyaknya informasi yang ia miliki
tentang orang lain.
Beberapa pernyataan Lorenz yang lain mengenai
peperangan dan perdamaian yang perlu ada pada
kutipan ini;
“Dengan menjadi patriot bagi negara saya, saya akan
merasakan rasa permusuhan yang terang-terangan
terhadap negara lain (yang secara empatik saya tidak
memusuhinya). Saya masih tidak dapat sepenuh hati
mengharapkan kehancuran total negara tersebut jika
saya menyadari banyak orang yang tinggal di sana,
seperti diri saya, yang juga pekerja keras di bidang ilmu
alam induktif, atau pemuja Charle Darwin yang secara
antusias menyebarluaskan kebenaran temuan-
temuannya. Selain itu di sana juga terdapat orang-orang
yang secara antusias, seperti saya, mengagumi karya
Michael Angelo, seperti antusiasme saya Goethe, atau
terhadap keindahan batu karang di lautan, atau tehadap
cagar alam marga satwa, atau sejumlah antusiame
minor yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Bagi saya
sangat tidak mungkin untuk membenci setiap musuh
secara terang-terangan, jika saya masih memilki
persamaan dengan saya dalam hal budaya dan nilai-nila
etika”
Lorenz mengingkari harapan akan kehancuran
seluruh negeri dengan membalutkan kata“sepenuh
hati”, dan dengan menggolongkan rasa benci pada
tingkat yang “terang-terangan”. Lalu bagaimana
dengan sebaliknya? Hal yang menyebabkan dirinya
tidak mengharapkan kehancuran negara lain adalah
adanya penduduk yang memiliki selera dan antusiasme
yang sama dengan dirinya.
Karakter pernyataan-pernyataan tersebut tidak
berubah oleh tuntutan Lorenz akan “pendidikan
humanistik”, yakni pendidikan yang menyodorkan
gagasan-gagasan umum yang optimal yang dapat
dikenali oleh individu. Karena fokus utamanya adalah
kehidupan dan umat manusia, yang pengaruhnya dapat
mencegah peperangan.
d. Pemujaan terhadap Revolusi
Sikap Lorenz tidak bisa dipahami sepenuhnya jika
kita tidak menyadari akan keyakinannya terhadap
Darwanisme. Sikapnya di dalam hal ini bukanlah
sesuatu yang aneh atau perlu dikajikan lebih cermat
sebagai fenomena psikologi sosial dalam budaya
kentemporer, melainkan karena mendesaknya
kebutuhan manusia untuk tidak merasa terasing dan
putus asa di dunia ini. Namun ini sudah dipenuhi oleh
Tuhan yang menciptakan dunia ini bagi semua
makhluk-Nya. Tetapi ketika teori evolusi
menghancurkan gambaran tantang Tuhan sebagai Sang
Maha Pencipta, keyakinan terhdap Tuhan juga kian
rapuh, meski banyak orang memadukan antara
kepercayaan kepada Tuhan dengan sikap menerima
teori evolusi Darwin. Maka mereka mengklaim adanya
tuhan yang baru, terjadinya evolusi, dan memuja
Darwin sebagai nabi mereka. Bagi Lorenz, gagasan
tentang teori evolusi menjadi inti dari sistem orientasi
dan pengabdian. Darwin mengungkapkan tentang asal-
usul manusia,dapat dipahami dengan sudut pandang
evolusi. Sikap semi-religius terhadap Darwinisme ini
tampak jelas pada cara Lorenz menggunakan istilah
“sang pengatur”, yang mana merujuk kepada mutasi
dan seleksi. Lorenz banyak berbicara mengenai
analoginya tentang Tuhan tentang metode dan tujuan
“sang maha pengatur” sebagaimana pemeluk agama
Kristen berbicara tentang tindakan-tindakan Tuhan.
Namun tidak ada yang mengungkapkan sifat pemujaan
yang lebih gamblang dibanding yang terdapat pada
paragraf penyimpul bukunya yang berjudul “On
Agression”:
“Secara singkat dikatakan bahwa cinta dan
persahabatan melingkupi semua kemanusiaan, bahwa;
kita harus mencintai sesame manusia tanpa pandang
bulu. Perintah yang luhur semacam itu bukanlah hal
yang baru. Pikiran kita cukup mapu untuk memahami
pentingnya perintah tersebut, sebagaimana batin kita
mampu menganggumi keluhurannya.”
Darwinisme sosial dan moral yang diajarkan oleh
Lorenz sama juga paganisme nasionalistik-romantik
yang cenderung mengaburkan pemahaman hakiki
mengenai factor-faktor bilogis, psikologis, dan sosial
yang memicu sifat agresif pada diri manusia. Di sinilah
letak perbedaan fundamental antara Lorenz dan Freud
di balik persamaan pandangan mereka terhadap agresi.
Freud merupakan reperentasi akhir dari filsafat
pencerahan. Dia sepenuhnya percaya pada pikiran yang
dapat menyelamatkannya dari kebingungan dan
kesesatan.
BAB 5 NEUROFISIOLOGI
G. Pengertian
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem saraf. Ilmu ini berkaitan
erat dengan ilmu psikologi, neurologi, etologi, dan ilmu otak
lainnya. Sedangkan fisiologi merupakan salah satu dari cabang-
cabang biologi yang mempelajari tentang berlangsungnya sistem
kehidupan.
H. Hubungan Psikologi dengan Neurofisiologi
Setiap cabang ilmu mempunyai bahasan sendiri, metode
tersendiri dan arah yang dituju dalam mengupas persoalan yang
ingin dipecahkannya. Maka, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
seorang ahli neurofisiologi mempunyai Cara kerja yang berbeda
dengan seorang ahli psikologi, demikian pula sebaliknya.
Meskipun demikian, keduanya sebenarnya bisa saling menjalin
hubungan erat dan saling membantu. Ini terbukti, misalnya, dalam
kaitannya dengan pokok bahasan agresi defensif.
Namun begitu, dalam banyak kasus, telaah psikologi dan
neurofisiologi mempunyai banyak sudut pandang yang berbeda dan
tidak saling terkait. Maka, keduanya mau tidak mau harus bekerja
dengan caranya masing-masing dan memecahkan persoalannya
masing-masing, hingga suatu hari keduanya mencapai titik temu
dalam melakukan pendekatan terhadap persoalan yang Sama,
dengan metode yang berbeda, untuk kemudian mempertautkan
temuan masing-masing. Hal ini memang tidak masuk akal, kalau
seandainya mereka saling menunggu sampai mereka menemukan
bukti positif dan negatif untuk hipotesis yang Sama. Maka,
wajarlah kalau seorang psikolog mempunyai ketidakyakinan ilmiah
atas temuan-temuannya.
R. B. Livingston, dalam observasinya, melukiskan
mengenai hubungan antar keduanya. Ia mengatakan bahwa titik
temu antar keduanya akan tercapai apabila sejumlah ilmuwan dari
masing-masing cabang ilmu itu mempunyai dasar yang sangat kuat
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Manfaat atas tercapainya
titik temu antara keduanya sulit untuk diprediksi karena masih
butuh pembahasan lebih lanjut lagi. Banyak usaha tradisional untuk
mengidentikkan keduanya tapi semuanya sia-sia. Lantaslah kita
bertanya, siapakah yang kita perangi? Tak lain ialah kebodohan kita
sendiri.
Sumber-sumber yang dibutuhkan untuk penelitian dasar
bidang psikologi dan neurufisiologi masih relatif sedikit.
Persoalan-persoalan yang seharusnya segera diselesaikan justru
masih sulit untuk dipahami.
Banyak orang yang menganggap, bahwa para neurofisiologi
telah menemukan banyak jawaban atas permasalahan perilaku
manusia. Sebaliknya, T. H. Bullock, pakar sistem syaraf
invertebrata, ikan atau belut listrik, dan mamalia laut, dalam
maklahnya yang berjudul Evolution of Neurophysiological
Mechanism, mengatakan bahwa pada dasarnya kita tidak memiliki
asumsi yang baik mengenai mekanisme syaraf pembelajaran atau
substrata fisiologi dalam pola-pola instingtif atau manifestasi
perilaku kompleks yang sesungguhnya. Pendapatnya ini
diteguhkan oleh Birger Kaada, yang mengatakan bahwa
pengetahuan dan konsep kita tentang susunan syaraf pusat untuk
perilaku agresif dibatasi oleh fakta bahwa sebagian besar informasi
diperoleh dari eksperimen binatang. Maka, nyaris tidak ada yang
diketahui tentang hubungan sistem syaraf pusat dengan “perasaan”
atau faktor-faktor “afeksi” dalam perasaan.
Banyak para pakar neurologi terkemuka, seperti, W.
Penfield, H. von Foerster, T. Melnechuck, H. R. Maturana, F. C.
Varela, dan F. G. Worden menaruh rasa pesimisme atas tanggapan
yang mengatakan bahwa penemuan neurofisiologi dapat
memecahkan banyak permasalahan tentang pikiran manusia.
Karena, perilaku tidak dapat dijelaskan dengan hanya mengacu
pada pengaruh sistem syaraf. Data ini didukung oleh pandangan E.
Valenstein (1968), yang menjelaskan bahwa “pusat-pusat”
hipotalamus untuk rasa lapar, haus, seks dan sebagainya, tidaklah
benar. Jika benar, tidaklah murni seperti yang terpikirkan
sebelumnya bahwa kondisi total dari lingkungan fisik dan sosial
pada saat tertentu dapat mengubah makna stimulasi tertentu.
Meski demikian, pandangan dua arah terhadap kemampuan
neurofisiologi untuk menjelaskan perilaku manusia secara
memadai tidak berarti sebagai pengingkaran atas validitas relatif
dari banyak temuan eksperimental. Karena, banyak temuan-temuan
neurofisiologi yang terbukti mampu memberi petunjuk-petunjuk
pentindalam memahami satu jenis agresi, yaitu agresi defensif.
I. Otak sebagai Basis Perilaku Agresif
Menurut Darwin, syaraf pada otak mempengaruhi perilaku.
Hal yang Sama dikatakan oleh MacLean tentang empat mekanisme
otak yang mempengaruhi perilaku, yaitu feeding (mengumpani),
fighting (memerangi), fleeing (menyelamatkan diri), dan fucking
(unjuk kegiatan seks). Di antara empat bagian ini, para ahli secara
khusus memberi perhatian pada bagian fleeing, yaitu penyelamatan
diri.
Agresi dan penyelamatan diri secara khusus dikendalikan
oleh wilayah-wilayah syaraf dalam otak. Hal ini dibuktikan oleh
para ahli bedah melalui stimulasi listrik langsung pada otak. Jika
para ahli menggunakan stimulasi listrik yang bervoltare rendah
terhadap suatu wilayah otak, maka muncul perubahan perilaku pada
objek penelitian tersebut. Awalnya, penelitian ini dilakukan pada
binatang baru kemudian pada manusia. Penelitian ini membuktikan
bahwa syaraf-syaraf pada otak sangat mempengaruhi perilaku
agresi pada makhluk hidup. Dimana kerusakan sedikitpun pada
bagian syaraf tertentu dapat menimbulkan perubahan perilaku yang
ekstrim pada mahluk hidup.
Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Delgado untuk
menghentikan sapi jantan yang sedang dihela, dengan menstimulasi
wilayah syaraf pencegah. Dalam eksperimennya, Delgado
membuktikan bahwa agresi dapat dikendalikan dengan Cara
menanamkan elektroda dalam subtrata syaraf agresi.
Faktor apa saja yang mempengaruhi, menimbulkan, serta
memunculkan perilaku-perilaku destruktif pada makhluk hidup?
Apa yang menimbulkan agresi “bawaan” pada binatang dan
manusia? Pertanyaan ini Akan dibahas pada bagian selanjutnya.
J. Fungsi Defensif Agresi
Telaah para ahli neurofisiologi dan psikologi tentang agresi
manusia dan binatang, memberi kesimpulan bahwa, perilaku agresi
binatang merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati dari
binatang tersebut. Pengaktifan agresi dalam wilayah-wilayah otak
yang memiliki kesamaan terjadi dalam rangka membela
kepentingan hidup individu atau spesies. Karena mempertahankan
hidup merupakan tugas otak, maka ia akan menyediakan reaksi
seketika terhadap bahaya yang mengancam kelangsungan hidup.
Agresi bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman,
melainkan ada bentuk lain, yaitu reaksi penyelamatan diri. Pada
umumnya, reaksi penyelamatan diri sering dilakukan binatang
dalam rangka membela kelangsungan hidupnya. Tetapi reaksi
penyelamatan diri ini bisa berubah menjadi reaksi penyerangan jika
dalam situasi yang sesak atau tak ada lagi jalan lain. Hal ini telah
dibuktikan oleh Hess dalam percobaannya pada seekor kucing
melalui stimulasi listrik pada salah satu sistem syaraf kucing
tersebut.
K. Insting Penyelamatan-diri
Naluri untuk menyelamatkan diri mempunyai peranan yang
Sama dengan naluri untuk melakukan perlawanan. Kedua dorongan
tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.
Tetapi naluri melawan menurut para ahli kurang efesien dibanding
naluri penyelamatan diri. Hal ini dibuktikan lewat pengalaman
nyata, bahwa manusia pada umumnya tidak mempunyai
kecenderungan untuk menjadi pahlawan tanpa motivasi yang kuat
untuk menyelamatkan jiwanya.
Para ahli menarik kesimpulan bahwa selain peran agresi
instingtif dalam diri manusia masih ada peranan tatanan sosial
untuk mempertahankan kehidupan tidak lebih dominan ketimbang
peranan sosial. Manusia harus diancam dengan kematian atau
diteror agar seseorantg mempunyai rasa takjub atas kebijaksanaan
para pemimpinnya dan percaya pada nilai-nilai kehormatan. Dari
analisis historis dapat ditarik kesimpulan bahwa pengekangan
dorongan penyelamatan diri dan pendominasian dorongan untuk
melakukan perlawanan pada umumnya lebih disebabkan oleh oleh
faktor-faktor budaya dibanding faktor biologis.
L. Pemangsaan dan Agresi
Selain agresi penyelamatan-diri dan agresi perlawanan,
masih ada bentuk agresi lain, yaitu agresi pemangsaan. Perilaku
pemangsaan tidak menunjukkan amarah dan tidak Sama dengan
perilaku penyelamatan diri. Perilaku ini ditentukan oleh tujuan
yang jelas, yaitu untuk memperoleh makanan. Bentuk agresi ini
Sama halnya dengan agresi instrumental, yaitu agresi yang
ditujukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Jika tujuan ini
tercapai, maka ketegangan pada diri si pemangsa Akan berangsur
sirna. Perilaku ini hanya dimiliki oleh spesies tertentu yang
mempunyai kelengkapan fisik yang lengkap untuk memangsa,
seperti singa, anjing, kucing, ular, serigala, beruang, dll.
Secara filogenetik, manusia merupakan makhluk non-
pemangsa. Susunan gigi manusia kurang cocok untuk memiliki
kebiasaan memakan daging karena bentuknya tidak jauh berbeda
dengan susunan gigi leluhurnya yang pemakan sayur-sayuran dan
buah-buahan. Sistem pencernaan pada manusia memiliki semua
tanda-tanda vegetarian, bukannya karnivora (J. Napier, 1970).
Menurut I. DeVore: “Semua primata Dunia Lama Pada dasarnya
mengkonsumsi makanan vegetarian.
Manusia selama ribuan tahun telah mengakrabkan diri
dengan binatang-binatang peliharaan, seperti kucing, dan anjing
yang sebenarnya merupakan pemangsa. Akibatnya, manusia
hampir tidak bisa membedakan antara keagresifan pemangsaan dan
keagresifan pertahanan lantaran kedua jenis agresi ini berujung
pada pembunuhan. Hal inilah yang membuat manusia bisa menjadi
serigala bagi sesamanya, tinggal di daerah peternakan biri-biri, dan
akhirnya bisa menjadi pemangsa.