Anda di halaman 1dari 79

Tugas I

Nama : Honoratus Hasnaha Zebua (180510032)


Tingkat : I (Satu)
Semester : I (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Yustinus Slamet Antono

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN BATAK TOBA

Sumber : Hasil wawancara dengan Saudara Bahagia Simatupang

1. Bahasa
Orang Batak Toba mempunyai bahasa khas, yang sangat kental
dengan logat daerah-nya. Dengan mendengar logatnya saja kita bisa
mengetahui dari mana asal daerahnya. Seperti orang Samosir telihat jelas
sekali logat bahasanya. Jika hanya didengar sekilas kedengarannya seperti
marah, padahal tidak. Itu hanya karena faktor logatnya saja. Meskipun
logatnya berbeda, orang Batak Toba bisa saling mengerti satu sama lain.
Karena semuanya sama maksud dan artinya. Perbedaan antara yang satu
dengan yang lain hanya pengucapan vokalnya saja yang berbeda.
2. Sistem Pengetahuan(tradisional)
Sistem pengetahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-
perubahan musim yang diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim
hujan dan musim kemarau. Perubahan dua jenis musim tersebut dipelajari
masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.
Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku
Batak juga menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis
tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting
artinya dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti
makan, minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis tumbuhan bambu
misalnya dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air,
ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu
dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk
menumbuk padi.
Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu, serta batu, yang
dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja.
Sedangkan dari kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya
untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu
tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan kulit
kayu tersebut hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan
menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan. Serta akar-
akar kayu banyak digunakan sebagai ramuan obat Tradisional.
3. Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan orang Batak adalah menurut garis keturunan
ayah. Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada
masyarakat Batak, mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam
struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan
kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara
satu marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa
kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan
sebutan dongan-sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama).
Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah
kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan ini
yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas
turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling
dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk
kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan ia harus menikah dengan
laki-laki dari kelompok yang lain.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat
sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya.
Seperti cangkul, bajak, tongkat tunggal, sabit (sabi-sabi). Masyarakat
Batak juga memiliki senjata tradisional, yaitupiso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak),
podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitu kain ulos
yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah adat
batak biasanya didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding
miring, beratap ijuk. Letaknya memanjang kira-kira 10 – 20 meter dari
timur ke barat. Pintunya ada di sisi barat dan timur atau pada salah satu
ujung lantai pada rumah toba ( masuk dari kolong). Pada bagian puncaknya
yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang tanduk kerbau
atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk
setengah lingkaran. Pada sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak
menggunakan lukisan. Kepala orang atau singa. Dindingnya diikat dengan
tali ijuk yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai gambar cicak.
5. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Pada sistem bercocok tanam di ladang, Huta atau Kutalah yang
memegang hak Ulaya tanah. Sedangkan hanya warga Huta yang berhak
untuk memakai wilayah itu. Mereka menggarap tanah itu seperti
menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak dapat menjualnya tanpa persetujuan
dari Huta yang diputuskan dengan musyawarah. Tanah yang dimiliki
individu juga ada. Pada orang Batak Toba misalnya ada tanah panjaenan,
tanah pauseang dan tanah parbagian.
Orang Batak juga mengenal sistem gotong royong kuno dalam hal
bercocok tanam. Dalam bahasa Batak Toba ada yang disebut
“marsiurupan”. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat, bersama-
sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran.
Raron itu merupakan suatu pranata yang ke anggotaannya sangat suka rela
dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya walaupun
minimal selama jumlah pesertanya satu hari.
Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam adalah, cangkul.
Bajak biasanya ditarik oleh kerbau, atau oleh sapi. Orang Batak umumnya
memotong padi dengan sabit (sabi-sabi), atau dengan ani-ani. Selain itu
peternakan juga suatu penghasilan yang penting bagi orang Batak pada
umumnya. Mereka memelihara kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, bebek,
dll.
6. Sistem Religi (Keagamaan)
Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya
diciptakan oleh debata (ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas
langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat
kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan
merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat
tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba). Sebagai penguasa
dunia makhluk halus ia bernama Panena Bolon. Selain daripada
pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur
kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane na
Bolon mengatur setiap penjuru mata angin.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga
konsep, yaitu tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang
itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau
roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Bedanya dengan tondi ialah bahwa
tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga
berbeda-beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih
kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih
kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan
peri kehidupan seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang
kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam
rahim ibunya. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi
hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan
yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.
Seperti halnya dengan sahala,yang dapat berkurang atau bertambah,
tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan
untuk sementara, maka orang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk
seterusnya, orang itu mati. Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti
tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu misalnya apa yang
dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam
hari. Orang batak mengenal begu yang baik dan yang jahat. Sesuai dengan
kebutuhannya, begu di puja dengan sajian (pelean).
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga
percaya kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal
panaluandan kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.
Semua kekuatan itu menurut kitab-kitab ilmu gaib orang Batak Toba
(pustaha), berasal dari si Raja Batak.
7. Kesenian (Art)
Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni
musik, seni tari, seni bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan.
Terdapat beberapa seni masyarakat Batak, antara lain:
a. Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak
mereka dan sekaligus mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia
sudah mempunyai anak.
Kata margondang merupakan bentukan dari kata dasar
gondang (gendang). Margondangmenyatakan kata kerja yakni bergendang
atau memainkan alat musik gendang.Margondang merupakan suatu
kebiasaan masyarakat Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu.
Tujuannya adalah untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena
merupakan kebiasaan yang diwarisi dari leluhur.
b. Seni Tari (Tor-tor)
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang
(gendang). Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat
sakral, bukan semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila
upacara penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya
melaksanakan horja (kerja adat) antara lain: mengawinkan anak,
martuatek (memandikan anak atau memberi nama anak), memasuki rumah
baru, mengadakan pesta saring-saring (upacara menggali kerangka
jenazah).
c. Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam.
Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada sejak lama sekali.
Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan –
tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar
kepercayaan. Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang
kepentingannya erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat.
Kemudian tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi
sebuah bentuk patung.
d. Kerajinan Tangan (Ulos)
Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil
kerajinan seni budaya saja, kain ulos pun mempunyai arti dan makna.
Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun ulos adalah
lambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang
komunikasi dalam masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun ulos
selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam
adat suku Batak.
Tiap-tiap kain tenun ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna
tersendiri, baik bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya.
Misalnya saja ulos ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi
derajatnya. Motif ulos ragidup ini harus terlihat seperti benar-benar lukisan
hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai ulos yang
melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam
kehidupan.
Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang berhubungan
dengan pekerjaan. Ulos ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian
sebagai pembungkus atau penutup jenazah yang akan dikebumikan. Ulos
jenis ini mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.

Eksistensi Atau Keberadaan Orang Batak Toba

Letak eksistensi orang Batak Toba terletak pada sistem organisasi


sosial, yaitu marga. Bagi orang Batak Toba, marga menempati posisi
paling penting. Karena unsur itu adalah penentu status sosial. Orang yang
berasal dari luar suku Batak, jika ingin memiliki status sosial dalam hidup
bermasyarakat, terlebih dahulu dia harus mengadopsi marga batak. Semua
orang yang tidak mempunyai marga batak tidak penah mendapat
pengakuan status sosial dari suku Batak meskipun tinggal di tanah batak.
Tugas II
Nama : Alexius Harefa (180510004)
Dionsius Purba (180510020)
Tiar Roberto S. Purba (180510081)
Redemptus Roeko Naibaho (180510068)
Honoratus Hasnaha Zebua (180510032)
Tingkat : I (Satu)
Semester : I (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Yustinus Slamet Antono

BAB III
PERTUMBUHAN KEBUDAYAAN DAN EVOLUSI PIKIRAN

1. Pengantar
Perkembangan kebudayaan, perkembangan sosial, dan alam bisa
saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan alam bisa mempengaruhi
kehidupan sosial dan budaya dan sebaliknya. Selain itu, konsep “pikiran”
manusia juga mempunyai peranan penting dalam perkembangan
kebudayaan secara tidak langsung. Maka dalam pokok bahasan Bab ini,
diutarakan secara khusus suatu konsep “pikiran” dan perkembangan
evolusinya dalam kehidupan kebudayaan masyarakat. Satu catatan yang
penting ialah bahwa perubahan kebudayaan dan sosial tidak selalu
dipengaruhi oleh sebab-akibat.
2. Konsep “Pikiran”

Dalam sejarah ilmu tentang tingkah laku, konsep “pikiran” telah


memainkan peran ganda. Pertama ialah konsep “pikiran” dengan memakai
kata-kata iblis, yakni konsep “pikiran” yang tak berhasil mencapai suatu
cita-cita yang luar biasa. Misalnya, gambaran, perasaan, refleksi, fantasi,
tilikan, pemahaman, dan seterusnya. Hal ini sering kali disebut sebagai
sebuah cara berpikir yang tidak mampu menghasilkan sesuatu yang
sungguh-sungguh ilmiah. Kedua ialah konsep “pikiran” yang
dipergunakan sebagai sebuah peringatan. Konsep ini ingin menunjukkan
kekurangan-kekurangan dalam pemahaman daripada memperbaikinya.

Kedua konsep “pikiran” ini, nyatanya belum berfungsi sebagai


sebuah konsep ilmiah, namun lebih cocok sebagai alat retoris atau alat
komunikasi. Clark Hull mengingatkan bahwa pemikiran paling cermat
ialah ketika menemukan diri sebagai korban atas bahaya-bahaya, yakni
strategi memandang semua tingkah laku sebagai suatu “pencegahan” hal
ini sangat dikeluhkan oleh Gordon Allport karena melihat hal itu sebagai
ancaman bagi martabat manusia dan tidak memiliki orientasi jangka
panjang. Obsesi pada mesin-mesin misalnya menyebabkan kita
meremehkan tingkah laku manusia yang sentral dengan melebih-lebihkan
ciri-ciri tingkah laku manusia yang periferis.

Agar konsep “pikiran” menjadi sebuah ilmiah, maka dibutuhkan


sebuah metode, yakni mengubahnya menjadi sebuah kata kerja. Pikiran
ialah berpikir, reaksi suatu organisme yang membebaskan kita dari kata-
kata. Hal ini nyatanya tidak hanya didapat di sekolah, sebab pemakaian
kata benda adalah sebagai istilah yang disposisional seperti digunakan
untuk memberi nama orang, nama tempat atau benda. Pikiran bukanlah
sebuah tindakan atau sebuah benda, tetapi cara-cara yang dilakukan dalam
suatu tindakan dan suatu benda.

3. Evolusi Pikiran

Dua pandangan tentang evolusi pikiran manusia telah beredar lebih


dari setengah abad yang lalu. Yang pertama adalah tesis bahwa jenis
proses-proses pikiran manusia yang “primer” secara pertumbuhan
mendahului proses “sekunder” yang terarah, tersusun logis, dan penalaran.
Tesis ini didasarkan pada pengandaian bahwa mudahlah mengidentifikasi
pola-pola kebudayaan dan bentuk-bentuk pemikiran. Pada pandangan
pertama ini keberadaan pikiran manusia adalah prasyarat utama bagi
kemahiran kebudayaan.
Pandangan kedua muncul karena reaksi-reaksi karena kesalahan-
kesalahan pandangan pertama, yaitu tentang evolusi mental. Pandangan
kedua mengatakan bukan hanya keberadaan pikiran manusia yang menjadi
prasyarat hakiki bagi kemahiran kebudayaam, melainkan juga
pertumbuhan kebudayaan. Argumen kedua ini menyiratkan dua akibat
wajar. Pertama, kesatuan psikis manusia telah mendapat pembuktian
empiris yang semakin besar. Akibat kedua, teori “titik kritis” tentang
penampakan kebudayaan yang semakin bertambah lemah. Mengenai teori
titik kritis tentang penampakan kebudayaan, dikatakan bahwa
perkembangan kemampuan untuk memperoleh kebudayaan adalah hal
yang mendadak. Persoalannya adalah dapatkah ditarik garis tegas antara
manusia yang berbudaya dan bukan manusia yang tak berbudaya yang
disiratkan dalam pandangan ini. Apakah tidak lebih tepat dulihat dari
sesuatu yang historis.

Tesis yang menganut evolusi mental dan akumulasi kultural


sebagai dua proses sama sekali terpisah. Sarana untuk menyelesaikan
permasalahan ini terdapat dalam apa yang tampaknya merupakan sebuah
cara teknis yang sederhana yang adalah reorientasi metodologi yang
penting. Apakah orang melihat munculnya kemampuan untuk kebudayaan
sebagai kejadian sesaat ataukah perkembangan yang berjalan lambat dan
terus menerus (evolusi).

Manusia dapat berbicara, dapat menyimbolkan, dapat mempelajari


tapi simpanse dan binatang umumnya tidak dapat. Fakta ini berarti
melenyapkan satu sampai empat puluh juta tahun menjadi sekejap dan
menghilangkan seluruh garis hominid pra sapiens. Yang paling penting,
pertumbuhan pikiran secara evolusioner itu menjadi jelas. Perubahan-
perubahan dalam kesalingterkaitan di antara sel-sel syaraf dan caranya
befungsi bisa memiliki nilai penting yang lebih besar daripada
pertambahan begitu saja dalam kuantitas. Pokoknya adalah bahwa
konstitusi generis bawaan dari manusia modern kini tampak sebagai hasil
kebudayaan dan biologis dalam kenyataan bahwa “lebih tepatlah berpikir
tentang struktur kita sebagai suatu kebudayaan daripada berpikir tentang
manusia-manusia secara anatomis yang perlahan menemukan
kebudayaan.”
Sebelum dipengaruhi oleh keuatan-kekuatan kultural itu, evolusi
dari apa yang akhirnya berkembang menjadi sistem syarat manusia secara
positif dibentuk oleh kekuatan-kekuatan sosial. Akan tetapi, penolakan
terhadap ketergantungan dari proses-proses sosiokultural dan biologis dalam
manusia pra-homo sapiens tidak menyiratkan suatu penolakan terhadapa
ajaran tentang kesatuan psikis. Beberapa perubahan evolusioner tak
disangsikan lagi terjadi sejak munculnya manusia modern. Dengan
kemenangan nyata dari Homo Sapiens dan penghentian aliran-aliran sungai
es (glaciations), ikatan antara perubahan organis dan cultural, jika tidak
terputus sekurangnya diperlemah. Semenjak itu evolusi organis dalam garis
manusia telah diperlambat jalannya, sementara pertumbuhan kebudayaan
berlangsung dengan kecepatan yang sangat tinggi. sejauh kemampuan
mereka untuk belajar, meneruskan dan mengubah kebudayaan diperhatikan,
berbagai kelompok Homo Sapiens harus dianggap sebagai suatu yang sama
cakapnya. Kesatuan psikis tak lagi dapat menjadi tautologi, melainkan masih
merupakan sebuah fakta.

Salah satu dari perkembangan yang lebih baik dari ilmu-ilmu


tingkah laku adalah ilmu psikologi fisiologi yang menjelaskan dari segi-segi
perbandingan tingkah laku manusia dan hewan. Tetapi sekarang tekanannya
terdapat pada tekanan yang konstruktif. Pengaruh baru ini membawa
pengaruh yang baik bagi kumpulan saraf yang terdapat pada otak sehingga
menghasilkan pola tingkah laku yang terstruktur. Perkembangan lebih lanjut
tentang teori syistem saraf pusat membuat kencendrungan yang lebih baik.
Kluckhohn dan Murray megatakan bahwa proses-proses yang membuat
kemapuan secara fisik mungkin, terjadi dari filogenetis tertentu yang dapat
di uji kebenaranya.

Dalam istilah-istilah fungsional seluruh proses system saraf


diverifikasi oleh syaraf endogen dan sentralisasi berikut dan seterusnya.
Pertantangan pendapat tentang system saraf yang mempengaruhi otak belum
di temukan tetapi sebenarnya kemampuan mental binatang menyusui
semata-mata dan pertumbuhananya itu merupakan kepercayaan yang belum
teruji. Perbedaannya terdapat fakta antara pertumbuhan otak dan penampilan
serta tekanan pada fakta bahwa kesejajaran belum bisa di jelaskan.

Pola pikir seseorang sangatlah tergantung pada nilai-nilai kultural


yang ditanamkan oleh suatu kebudayaan tersebut. Kebudayaan
manusiamerupakan suatu bahan yang tidak bersifat tambahan pada pikiran
manusia. Alasan pertama adalah fakta bahwa binatang-binatang yang
berada di bawah manusia belajar untuk bernalar dengan apa yang dilakukan
manusia secara efektif yang kadang-kadang mengejutkan, tanpa belajar
mereka dapat menunjukkan sesuatu yang sangat membuat manusia kagum.
Kedua, penderita afasia adalah orang-orang yang belajar untuk berbicara
dan membatinkan percakapan, dan kemudian kehilangan kemampuan
berbicara, bukanlah orang-orang yang tak pernah belajar berbicara sama
sekali. Ketiga, yang paling penting percakapan dalam arti khusus
pembicaraan yang dibunyikan tidak begitu menjadi satu-satunya, peralatan
umum yang tersedia bagi individu-individu yang di perkenalkan ke dalam
kultur yang telah ada sebelumnya. Singatnya, intelek manusia tergantung
pada atas macam-macam sumber kultural tertentu untuk menghasilkan
(menemukan, menyeleksi) rangsangan-rangsangan lingkungan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan apapun.

4. Penutup
Evolusi pikiran adalah sebuah ungkapan lain yang mendeskripsikan
suatu perkembangan kemampuan, kecakapan, kecenderungan, dan
kecondongan tertentu dalam suatu organisme masyarakat. Sejalan dengan
ini, kebudayaan juga mengalami perubahan dan perkembangan secara
berangsur-angsur dari waktu ke waktu seiring dengan evolusi pikiran yang
terdapat dalam suatu masyarakat.
Penerapan dan pandangan evolusi manusia yang disertai dengan
evolusi pikiran yang telah direvisi ini membawa pada hipotesis
(pengandaian) bahwa sumber-sumber kultural adalah bahan, bukan
tambahan pada pemikiran manusia. Ketika orang bergerak secara
filogenetis atau berevolusi dari binatang yang lebih rendah ke yang lebih
tinggi, tingkah laku dicirikan dengan sesuatu yang makin tidak dapat
diramalkan dengan acuan terhadap rangsangan yang ada, karena kegiatan
syaraf semakin kompleks.
Oleh karena itu, semuanya itu penting tidak hanya bagi
kelangsungan hidupnya melainkan bagi perwujudan eksistensialnya.
Penerapan dan pandangan evolusi manusia yang telah direvisi ini membawa
pada hipotesis bahwa sumber-sumber kultural adalah bahan, bukan
tambahan, pada pemikiran manusia. Pada akhirnya pikiran manusia
terutama adalah sebuah tindakan yang dinyatakan dan diarahkan menurut
bahan-bahan obyektif dari kebudayaan bersama, dan baru setelahnya,
pikiran merupakan suatu soal privat.
Nama Kel. 9 : Alexius Harefa (180510004)
Dionsius Purba (180510020)
Honoratus Hasnaha Zebua (180510032)
Redemptus Roeko Naibaho (180510068)
Tiar Roberto S. Purba (180510081)
Semester : I (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Yustinus Slamet Antono

I. Pendahuluan
Sifat dan perilaku yang yang tampak pada binatang maupun
perilaku yang diperlihatkan oleh manusia tidak muncul begitu saja
tanpa sebab melainkan telah melalui evolusi yang panjang. Pada
umumnya, perilaku-prilaku itu berupa usaha untuk
mempertahankan diri maupun kelompoknya. Faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan tingkah laku pada binatang maupun
manusia, ialah bisa karena pengaruh sistem syaraf dan juga faktor
sosial. Dua faktor ini menimbulkan beberapa agresi dalam diri
binatang dan manusia, misalnya memunculkan agresi defensif,
agresi pertahanan-diri, agresi perlawanan, agresi pemangsangan,
agresi penyelamatan, dsb. Beberapa hal ini Akan dibahas lebih
dalam pada bagian pembahasan di bawah ini.
II. Isi
BAB 1 INSTINGTIFIS
A. Instingtifis Lama
Sejarah instingtifis bermula dari pemikiran filsafat, namun
bila dikategorikan ke dalam pemikiran modern, sejarah ini bermula
dari karya Charles Darwin. Untuk selanjutnya semua penelitian
pasca-Darwin mengenai insting didasarkan pada teori evolusinya.
Karya-karya William James (1890), William McDougall
(1913, 1932), dan para pakar yang lain merupakan bagian dari
daftar panjang yang berisi bahwa masing-masing insting individu
akan memotivasi jenis-jenis perilaku yang serupa. Misalnya adalah
yang dipaparkan oleh William James berkenan dengan insting
peniruan, persaingan, kesukaan bertengkar, berburu, kekhawatiran,
ketamakan, kegemaran mencuri yang abmoral, kesukaan bermain,
membangun, kecemasan, keramahan, kerahasiaan,
kebersihan,kesopanan, cinta, cemburu, sebuah daftar panjang yang
mencampuradukkan antara sifat-sifat yang universal dan ciri-ciri
bawaan tertentu yang terkondisi secara sosial (J.J McDougall, ed.,
1967). Daftar susunan para instingtifis ini sangat kompleks, kaya
akan kontribusi teoritik, dan tingkat teoritis masih relevan. James
sangat menyadari akan adanya unsur pebelajaran, bahkan dalam
kinerja utama suatu insting, sedangkan McDougal tidak menyadari
akan pengaruh bawaaan dari pengalaman-pengalaman dan latar
budaya yang berbeda. Instingtifisme budaya terakhir yang berbeda
itu merupakan jembatan menuju teori Freud. Bagi McDougal inti
suatu insting adalah suatu kecenderungan atau tendensi dan inti
afeksi konasi dari tiap insting ini tampaknya relatif mampu
berfungdi terpisah dari bagian kognisi dan motorik dalam
kecenderungan instinftif total.
Teori instingtifistik modern yang terkenal yakni
“neoinstingtifis” Sigmund Freud dan Konrad Lorenz. Ciri-ciri yang
didapati pada mereka tentang model instingtifistik dalam batasan
mekanistik-hidrolik, Mcdougal menggambarkan bahwa:
1) Energi ditahan oleh “gerbang cairan” dan akan “diluapkan”
pada kondisi tertentu (W.McDougall, 1913).
2) Ia menganalogikan insting dengan suatu ruangan yang di
dalamnya selalu terpancarkan gas (W. McDougall, 1923).
Freud dalam konsep libidonya juga berpihak pada skema
hidrolik:
1) Libido meningkat
2) Tekanan darah meningkat
3) Kekerasan meningkat. Tindakan seksual akan menurunkan
ketegangan dan dan keresahan untuk beberapa saat sampai
ketegangan itu muncul.

Menurut Lorenz (1950), energi kreatif tak ubahnya “gas


yang dipompakan terus menerus ke dalam sebuah tabung” atau seperti
cairan di dalam wadah yang bisa dikuras melalui katup berpegas di
bagian dasarnya.

R.A. Hinde (1960) menegaskan bahwa sekalipun terdapat


beberapa perbedaan, model-model tersebut dan model-model yang lain
“sama-sama mengandung gagasan gagasan tentang substansi yang
mampu membangkitkan perilaku, yang tertahan kembali dalam
wadah, lalu dilepaskan melalui tindakan.

B. Neoinstingtifis: Sigmund Freud dan Konrad Lorenz


1. Konsep Agresi Freud
Kemajuan Freud hingga mengungguli instingtiris
lama, terutama McDougall, adalah upayanya untuk
menyatukan semua “insting” ke dalam dua kategori: insting
seksual dan insting pertahanan diri. Dengan demikian, teori
Freud dapat dianggap sebagai langkah terakhir dalam
perkembangan sejarah teori insting. Penyatuan beragam
insting ini pun (kecuali insting ego) merupakan langkah
pertama dalam memecahkan konsep instingtifistik secara
menyeluruh, sekalipun Freud tidak menyadari akan hal ini.
Di bagian berikutnya saya hanya akan membahas konsep
agresi Freud, mengingat teori libidonya sangat dikenal oleh
kalangan pembaca dan dapat ditemukan dalam karyakarya
yang lain, sedangkan yang terbaik bisa dijumpai dalam
karya Freud yang berjudul Introductory Lecturers on
Psychoanalysis (1915 dan 1933).
Freud relatif kurang menaruh perhatian terhadap
fenomena agresi, karena ia menganggap bahwa seksualitas
(libido) dan pertahanan diri merupakan dua kekuatan yang
mendominasi manusia. Penggambaran seperti ini berubah
secara drastis semenjak dasawarsa 20-an. Dalam “The Ergo
and The Id” dan karyanya sesudah itu, di mendalilkan
dikotomi baru: insting kehidupan (Eros) dan insting
kematian (death instinct). Berdasarkan asal mula kehidupan
dan persamaan-persamaan biologis, mestinya adainsting
lain: insting yang berupaya mengurai unit-unit tadi dan
menempatkan kembali dalam kondisi awal inorganik.
Artinya disamping adanya Eros ada juga insting kematian.
Insting kematian bisa tertuju kepada organisme itu
sendiri dan dengan demikian merupakan dorongan
perusakan diri, atau tertuju ke luar, yang berarti
kecenderungna merusak pihak lain.bila dipadukan dengan
seksualitas, insting kematian tidak lagi meru,pakan
dorongan yang mematikan, misalnya sadisme atau
masokisme yang artinya masalah kejiwaan yang berhubungan
dengan kelainan dalam menikmati hubungan seksual. Dan bisa
juga diartikan sebagai “kesenangan yang berasal dari rasa sakit
fisik atau psikologis yang ditimbulkan pada diri sendiri baik oleh
diri sendiri atau orang lain.”
Freud selalu berpendirian bahwa kekuatan insting
kematian dapat dikurangi dengan asumsi dasarnya bahwa
“manusia berada dalam dorongan untuk merusak baik terhadap
diri sendiri maupun orang lain, dan tidak banyak yang dapt
dialkukan untuk melepaskan diri dari pilihan tragis ini. Dari sisi
ini, agresi bukanlah reaksi terhadap stimuli, merupakan dorongan
yang terus menerus menggelora yang berakar dari kondisi
organisme manusia.
Para pakar psikoanalisis, meski tidak menerima teori
instingg kematian, namun mereka tidak semua menolak
pengdapat baru Freud. Mereka membuat kompromi dengan
mengakui insting destruktif sebagai kutub, lain dari insting
seksual dan dengan begitu mereka dapat menerima minat baru
Freud terhadap agresi tanpa harus tunduk kepada jenis pemikiran
yang sepenuhnya baru itu. Berkaitan dengan ini, bagi Freud
insting kematian bukan hanya diekspresikan oleh manusia, juga
binatang mengekspresikannya baik terhadap diri sendiri maupun
diri yang lain. Oleh sebab itu kita sering mendapatkan kematian
dini bagi binatang yang kurang agresif.
2. Teori Agresi Lorenz
Buku Konrad Lorenz (1966) yang berjudul On Agression
tidak lama setelah diterbitkan, menjadi salah satu buku-buku
psikologi sosial yang paling banyak dibaca. Penyebab
kepopulerannya ialah:
a) Buku On Agresif merupakan buku yang sangat
menarik, sama seperti buku Lorenz sebelumnya
King Solomon’s Ring (1952).
b) Buku ini berbeda dengan buku Freud tentang insting
kematian. Dan karena karya-karya Lorenz memang
ditujukan untuk pemikiran orang-orang di masa kini.
Bagi Lorenz dan juga bagi Freud, keagresifan
manusia merupakan insting yang digerakkan oleh sumber
energy yang selalu mengalir, dan tidak selalu merupakan
akibat reaksi dari ransangan luar luar. Binatang dan manusia
biasaanya mendapat stimuli yng dapat melepaskan energy
dorongan yang terbendung tadi, keduanya tidak perlu
menunggu secara pasif hingga munculnya stimulus yang
cocok. Lorenz menamakan perilaku ini sebagai “perilaku
selera” manusialah yang menciptakan partai politik guna
melepaskan energy yang tertahan, bukannya partai-partai
politik yang menyebabkan timbulnya agresif. Bagi Lorenz,
agresi bukan reaksi terhadap stimuli luar yang sangat kecil.
Jadi yang mnyebabkan berbahaya justru spontanitas insting
itu sendiri.
Model agresi Lorenz seperti model agresi Freud
yang dinamai dengan tekanan yang ditimbulkan oleh air
atau uap di dalam tabung tertutup. Konsep hidrolik agresi
ini sendiri merupakan salah satu pilar penyangga teori
Lorenz, mengacu kepada mekanisme yang memunculkan
agresi. Pilar yang lain yaitu gagasan bahwa adanya agresi
adalah demi kepentingan hidup, yakni untuk mendukung
hidup individu dan atau spesies. Agresi di antara anggota
spesies yang sama berfungsi untuk mempertinggi daya
tahan hidup spesies yang bersangkutan. Lorenz
menggabungkan dua unsur dalam teorinya, pertama bahwa
binatang juga manusia telah dianugerai karunia agresi
sebagai pertahanan hidup individu dan spesies. Kedua ialah
karakter hidrolik dibalik agresi yang tertahan, digunakan
untuk menjelaskan dorongan yang ada dalam diri manusia
untuk membunuh dan bertindak keji, namun hanya sedikit
bukti pendukung yang diketengahkan.
3. Freud dan Lorenz: Persamaan dan Perbedaan Mereka
Kesamaan:
1) Secara umum mereka sama-sama memiliki konsep
hedrolik agresi tetapi penjelasan mereka sangat
berbeda.
2) Mereka sependapat bahwa tidak diwujudkannya
agresi dalam bentuk tindakan tidaklah sehat.

Perbedaan:

1) Mereka beda secara diametis dalam aspek lain.


Dorongan agresi Lorenz terarah pada kehidupan
sedangkan insting kematian Freud tertuju kepada
kematian. Oleh karena itu simpulan yang dicapai
Lorenz, bahwa manusia dikuasai oleh dorongan
bawaan untuk merusak, dalam porakteknya tidak
berbeda dengan simpulan Freud. Namun Freud
berpandangan bahwa dorongan destruktif
berlawanan dengan dorongan eros (insting
kehidupan, seks) yang sama kuatnya. Bagi Lorenz
cinta itu sendiri merupakan produk dari insting itu
agresi.
2) Dalam karya awalnya, Freud mendalilkan bahwa
pengekangan seksualitas dapat menimbulkan
gangguan mental. Dalam insting kematian, Freud
menjelaskan bahwa pengekangan agresi yang
terarah keluar tidaklah sehat.
3) Lorenz menyatakan bahwa manusia beadab masa
kini menderita kekurangan penyaluran dorongan
agresinya.
Keduanya sampai pada gambaran bahwa dalam diri
manusia secara kontinyu tercipta energy agresif-destruktif
yang sangat sulit, jika tidak dikatakan mustahil untuk
dikendalikan. Apa yang kita sebut kejahatan pada diri
binatang merupakan kejahatan pada diri manusia, meski
menurut Lorenz akarnya bukanlah kejahatan.
4. Pembuktian dengan Analogi
Freud adalah peneliti perihal manusia, seorang
pengamat yang tekun dalam mencermati perilaku nyata
manusia dan bermacam pengejawantahan dari alam bawah
sadar manusia. teorinya mengenai insting manusia bisa jadi
tidak benar atau tidak lengkap atau tidak mungkin
didasarkan pada bukti-bukti yang kurang memadai. Akan
tetapi teori itu ia bangun akan pengamatan kontinyu
terhadap yang namanya manusia. Lorenz adalah pemerhati
masalah binatang terutama binatang tingkat rendah dan
sangat kompeten di bidang ini. Akan tetapi pengetahuannya
tentang manusia tidak jauh beda dengan manusia pada
umum-nya
Dia tidak mengamati secara literatur, dia hanya
berasumsi bahwa pengamatannya terhadap manusia dapat
berlaku untuk semua manusia. Secara ilmiah analogi seperti
itu bisa dikatakan tidak membuktikan apa-apa, bersifat
sugestif dan sekedar menyenangkan pencinta binatang.
Lorenz mendasarkan teorinya tentang sifat hidrolik agresi
pada eksperimen-eksperimen binatang terutama ikan dan
burung dalam kondisi terkurung. Lantaran tidak ada bukti
langsung yang ada kaitannya dengan manusia atau primata
nonmanusia, untuk mendukung hipotesis ini, Lorenz
menyodorkan sejumlah argumen untuk membuktikan
sejumlah pernyataannya. Dia menemukan persamaan antara
perilaku manusia dan binatang yang dia selidiki. Dia
menyimpulkan bahwa kedua perilaku itu memiliki
penyebab yang sama.
5. Simpulan-simpulan Mengenai Perang
Pada simpulan analitiknya mengenai agresi
instingtif pada manusia, sependapat dengan Freud yang
menggambarkan bahwa peperangan tidak dapat dihapuskan
karena ini timbul dari suatu insting. Tetapi dalam hal ini,
sangat tidak setuju, maka dia berusaha mencari cara untuk
menghindarkan masyarakat dari pengaruh tragis insting
agresif. Ia juga harus mencari alternatif guna menjadikan
teorinya tentang kedestruktifan bawaan pada diri manusia
dapat diterima. Lorenz mempunyai beberapa gagasan yang
sama dengan Freud, meskipun ada perbedaan yang jelas di
antara keduanya. Freud membuat usulan-usulan yang
dengan skeptisme dan kesederhanaan sedangkan Lorenz
menyatakan, “ Saya tidak keberatan mengakui bahwa….
Saya merasa memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada umat
manusia guna menuntun mereka ke arah yang lebih baik.
Keyakinan saya ini bukanlah suatu kelancangan
sebagaimana tampaknya…”
Usulan Lorenz ini memiliki hal-hal yang penting
untuk diajarkan. Tapi bahayanya, usulannya tak pernah
beranjak dari kata-kata klise, “ajaran sederhana” dalam
menghadapi bahaya “ terpecah-belahnya masyarakat akibat
tidak berfungsinya perilaku sosial”:
a) Ajaran utamanya adalah… “kenali diri Anda.”
Lorenz bermaksud bahwa kita harus memperdalam
wawasan kita mengenai rentetan penyebab yang
mengendalikan perilaku kita, yakni hukum-hukum
evolusi.
b) Studi psikoanalitik mengenai sublimasi.
c) Peningkatan pengenalan diri dan jika
memungkinkan, persahabatan antar anggota
masyarakat, penganut ideologi atau warga negara
yang berlainan.
d) Penyaluran antusiasme militan secara cerdas dan
bertanggung jawab, yakni membantu generasi muda
untuk menemukan penyebab utama antusiame
militan yang layak dibahas dalam dunia modern.
a. Meninjau Program Lorenz
Lorenz secara keliru menggunakan pemikiran
klasik, “kenali diri anda”. Padahal bukan hanya
pemikiran Yunani, melainkan juga pemikiran Freud
tentang semua ilmu dan psikoanalisisnya yang
didasarkan pada pengetahuan diri. Freud mengatakan
pengetahuan diri berarti manusia sadar akan adanya
alam bawah sadar. Pengetahuan diri dalam pengertian
Freud bukanlah sekadar proses intelektual, melainkan
secara serentak merupakan proses afeksi yang
membutuhkan pengetahuan melalui nurani. Mengenali
diri seseorang berarti kita memperdalam wawasan,
inteligen dan afeksi, mengenai bagian-bagian rahasia
dari jiwa seseorang. Sedangkan Lorenz dengan
mengatakan “kenali diri anda” bermaksud untuk
memperdalam teoretik mengenai fakta-fakta evolusi,
dan khususnya tentang sifat instingtif agresi. Menurut
Lorenz pengenalan diri dianalogikan dengan
pengetahuan teoretik tentang teori insting kematian
Freud.
Lorenz tidak memperdalam lebih jauh tentang
ajarannya yang kedua, yakni sublimasi. Untuk ajaran
yang ketiga “peningkatan pengetahuan diri dan jika
memungkinan, persahabatan antar individu yang
menjadi penganut ideologi dan warga negara yang
berbeda-beda.” Namun ini tidak terbukti kebenarannya,
karena sudah banyak individu-individu, kelompok-
kelompok yang berbeda atau negara yang berbeda
sudah lama saling mengenal namun yang terjadi
diantara mereka adalah peperangan dan menebar
kebencian. Maka “kesalingkenalan” dan
“persahabatan” tidak dapat diharapkan untuk meredam
agresi, karena keduanya tak ubahnya pengetahuan semu
mengenai orang lain yang kita lihat dari sisi luar. Ini
sangat berbeda dengan pengetahuan empatik di mana
kita memahami pengalaman-pengalaman orang lain
dengan pengalaman kita. Pengetahuan ini menuntut
agar pengekangan pada diri seseorang dikurangi. Maka
pemahamannya mengenai diri seseorang dapat
menurunkan atau menjauhkan keagresifan. Namun
tergantung pada itngkat kemampuan seseorang dalam
mengatasi rasa cemas, sifat tamak (rakus), narsisme,
dan bukan pada banyaknya informasi yang ia miliki
tentang orang lain.
Beberapa pernyataan Lorenz yang lain mengenai
peperangan dan perdamaian yang perlu ada pada
kutipan ini;
“Dengan menjadi patriot bagi negara saya, saya akan
merasakan rasa permusuhan yang terang-terangan
terhadap negara lain (yang secara empatik saya tidak
memusuhinya). Saya masih tidak dapat sepenuh hati
mengharapkan kehancuran total negara tersebut jika
saya menyadari banyak orang yang tinggal di sana,
seperti diri saya, yang juga pekerja keras di bidang ilmu
alam induktif, atau pemuja Charle Darwin yang secara
antusias menyebarluaskan kebenaran temuan-
temuannya. Selain itu di sana juga terdapat orang-orang
yang secara antusias, seperti saya, mengagumi karya
Michael Angelo, seperti antusiasme saya Goethe, atau
terhadap keindahan batu karang di lautan, atau tehadap
cagar alam marga satwa, atau sejumlah antusiame
minor yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Bagi saya
sangat tidak mungkin untuk membenci setiap musuh
secara terang-terangan, jika saya masih memiliki
persamaan dengan saya dalam hal budaya dan nilai-nila
etika”
Lorenz mengingkari harapan akan kehancuran
seluruh negeri dengan membalutkan kata“sepenuh
hati”, dan dengan menggolongkan rasa benci pada
tingkat yang “terang-terangan”. Lalu bagaimana
dengan sebaliknya? Hal yang menyebabkan dirinya
tidak mengharapkan kehancuran negara lain adalah
adanya penduduk yang memiliki selera dan antusiasme
yang sama dengan dirinya.
Karakter pernyataan-pernyataan tersebut tidak
berubah oleh tuntutan Lorenz akan “pendidikan
humanistik”, yakni pendidikan yang menyodorkan
gagasan-gagasan umum yang optimal yang dapat
dikenali oleh individu. Karena fokus utamanya adalah
kehidupan dan umat manusia, yang pengaruhnya dapat
mencegah peperangan.
b. Pemujaan terhadap Revolusi
Sikap Lorenz tidak bisa dipahami sepenuhnya jika
kita tidak menyadari akan keyakinannya terhadap
Darwanisme. Sikapnya di dalam hal ini bukanlah
sesuatu yang aneh atau perlu dikajikan lebih cermat
sebagai fenomena psikologi sosial dalam budaya
kentemporer, melainkan karena mendesaknya
kebutuhan manusia untuk tidak merasa terasing dan
putus asa di dunia ini. Namun ini sudah dipenuhi oleh
Tuhan yang menciptakan dunia ini bagi semua
makhluk-Nya. Tetapi ketika teori evolusi
menghancurkan gambaran tantang Tuhan sebagai Sang
Maha Pencipta, keyakinan terhdap Tuhan juga kian
rapuh, meski banyak orang memadukan antara
kepercayaan kepada Tuhan dengan sikap menerima
teori evolusi Darwin. Maka mereka mengklaim adanya
tuhan yang baru, terjadinya evolusi, dan memuja
Darwin sebagai nabi mereka. Bagi Lorenz, gagasan
tentang teori evolusi menjadi inti dari sistem orientasi
dan pengabdian. Darwin mengungkapkan tentang asal-
usul manusia, dapat dipahami dengan sudut pandang
evolusi. Sikap semi-religius terhadap Darwinisme ini
tampak jelas pada cara Lorenz menggunakan istilah
“sang pengatur”, yang mana merujuk kepada mutasi
dan seleksi. Lorenz banyak berbicara mengenai
analoginya tentang Tuhan tentang metode dan tujuan
“sang maha pengatur” sebagaimana pemeluk agama
Kristen berbicara tentang tindakan-tindakan Tuhan.
Namun tidak ada yang mengungkapkan sifat pemujaan
yang lebih gamblang dibanding yang terdapat pada
paragraf penyimpul bukunya yang berjudul “On
Agression”:
“Secara singkat dikatakan bahwa cinta dan
persahabatan melingkupi semua kemanusiaan, bahwa;
kita harus mencintai sesame manusia tanpa pandang
bulu. Perintah yang luhur semacam itu bukanlah hal
yang baru. Pikiran kita cukup mapu untuk memahami
pentingnya perintah tersebut, sebagaimana batin kita
mampu menganggumi keluhurannya.”
Darwinisme sosial dan moral yang diajarkan oleh
Lorenz sama juga paganisme nasionalistik-romantik
yang cenderung mengaburkan pemahaman hakiki
mengenai factor-faktor biologis, psikologis, dan sosial
yang memicu sifat agresif pada diri manusia. Di sinilah
letak perbedaan fundamental antara Lorenz dan Freud
di balik persamaan pandangan mereka terhadap agresi.
Freud merupakan reperentasi akhir dari filsafat
pencerahan. Dia sepenuhnya percaya pada pikiran yang
dapat menyelamatkannya dari kebingungan dan
kesesatan.

BAB 5 NEUROFISIOLOGI
A. Pengertian
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem saraf. Ilmu ini berkaitan
erat dengan ilmu psikologi, neurologi, etologi, dan ilmu otak
lainnya. Sedangkan fisiologi merupakan salah satu dari cabang-
cabang biologi yang mempelajari tentang berlangsungnya sistem
kehidupan.
B. Hubungan Psikologi dengan Neurofisiologi
Setiap cabang ilmu mempunyai bahasan sendiri, metode
tersendiri dan arah yang dituju dalam mengupas persoalan yang
ingin dipecahkannya. Maka, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
seorang ahli neurofisiologi mempunyai Cara kerja yang berbeda
dengan seorang ahli psikologi, demikian pula sebaliknya.
Meskipun demikian, keduanya sebenarnya bisa saling menjalin
hubungan erat dan saling membantu. Ini terbukti, misalnya, dalam
kaitannya dengan pokok bahasan agresi defensif.
Namun begitu, dalam banyak kasus, telaah psikologi dan
neurofisiologi mempunyai banyak sudut pandang yang berbeda dan
tidak saling terkait. Maka, keduanya mau tidak mau harus bekerja
dengan caranya masing-masing dan memecahkan persoalannya
masing-masing, hingga suatu hari keduanya mencapai titik temu
dalam melakukan pendekatan terhadap persoalan yang Sama,
dengan metode yang berbeda, untuk kemudian mempertautkan
temuan masing-masing. Hal ini memang tidak masuk akal, kalau
seandainya mereka saling menunggu sampai mereka menemukan
bukti positif dan negatif untuk hipotesis yang Sama. Maka,
wajarlah kalau seorang psikolog mempunyai ketidakyakinan ilmiah
atas temuan-temuannya.
R. B. Livingston, dalam observasinya, melukiskan
mengenai hubungan antar keduanya. Ia mengatakan bahwa titik
temu antar keduanya akan tercapai apabila sejumlah ilmuwan dari
masing-masing cabang ilmu itu mempunyai dasar yang sangat kuat
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Manfaat atas tercapainya
titik temu antara keduanya sulit untuk diprediksi karena masih
butuh pembahasan lebih lanjut lagi. Banyak usaha tradisional untuk
mengidentikkan keduanya tapi semuanya sia-sia. Lantaslah kita
bertanya, siapakah yang kita perangi? Tak lain ialah kebodohan kita
sendiri.
Sumber-sumber yang dibutuhkan untuk penelitian dasar
bidang psikologi dan neurufisiologi masih relatif sedikit.
Persoalan-persoalan yang seharusnya segera diselesaikan justru
masih sulit untuk dipahami.
Banyak orang yang menganggap, bahwa para neurofisiologi
telah menemukan banyak jawaban atas permasalahan perilaku
manusia. Sebaliknya, T. H. Bullock, pakar sistem syaraf
invertebrata, ikan atau belut listrik, dan mamalia laut, dalam
maklahnya yang berjudul Evolution of Neurophysiological
Mechanism, mengatakan bahwa pada dasarnya kita tidak memiliki
asumsi yang baik mengenai mekanisme syaraf pembelajaran atau
substrata fisiologi dalam pola-pola instingtif atau manifestasi
perilaku kompleks yang sesungguhnya. Pendapatnya ini
diteguhkan oleh Birger Kaada, yang mengatakan bahwa
pengetahuan dan konsep kita tentang susunan syaraf pusat untuk
perilaku agresif dibatasi oleh fakta bahwa sebagian besar informasi
diperoleh dari eksperimen binatang. Maka, nyaris tidak ada yang
diketahui tentang hubungan sistem syaraf pusat dengan “perasaan”
atau faktor-faktor “afeksi” dalam perasaan.
Banyak para pakar neurologi terkemuka, seperti, W.
Penfield, H. von Foerster, T. Melnechuck, H. R. Maturana, F. C.
Varela, dan F. G. Worden menaruh rasa pesimisme atas tanggapan
yang mengatakan bahwa penemuan neurofisiologi dapat
memecahkan banyak permasalahan tentang pikiran manusia.
Karena, perilaku tidak dapat dijelaskan dengan hanya mengacu
pada pengaruh sistem syaraf. Data ini didukung oleh pandangan E.
Valenstein (1968), yang menjelaskan bahwa “pusat-pusat”
hipotalamus untuk rasa lapar, haus, seks dan sebagainya, tidaklah
benar. Jika benar, tidaklah murni seperti yang terpikirkan
sebelumnya bahwa kondisi total dari lingkungan fisik dan sosial
pada saat tertentu dapat mengubah makna stimulasi tertentu.
Meski demikian, pandangan dua arah terhadap kemampuan
neurofisiologi untuk menjelaskan perilaku manusia secara
memadai tidak berarti sebagai pengingkaran atas validitas relatif
dari banyak temuan eksperimental. Karena, banyak temuan-temuan
neurofisiologi yang terbukti mampu memberi petunjuk-petunjuk
pentindalam memahami satu jenis agresi, yaitu agresi defensif.
C. Otak sebagai Basis Perilaku Agresif
Menurut Darwin, syaraf pada otak mempengaruhi perilaku.
Hal yang Sama dikatakan oleh MacLean tentang empat mekanisme
otak yang mempengaruhi perilaku, yaitu feeding (mengumpani),
fighting (memerangi), fleeing (menyelamatkan diri), dan fucking
(unjuk kegiatan seks). Di antara empat bagian ini, para ahli secara
khusus memberi perhatian pada bagian fleeing, yaitu penyelamatan
diri.
Agresi dan penyelamatan diri secara khusus dikendalikan
oleh wilayah-wilayah syaraf dalam otak. Hal ini dibuktikan oleh
para ahli bedah melalui stimulasi listrik langsung pada otak. Jika
para ahli menggunakan stimulasi listrik yang bervoltare rendah
terhadap suatu wilayah otak, maka muncul perubahan perilaku pada
objek penelitian tersebut. Awalnya, penelitian ini dilakukan pada
binatang baru kemudian pada manusia. Penelitian ini membuktikan
bahwa syaraf-syaraf pada otak sangat mempengaruhi perilaku
agresi pada makhluk hidup. Dimana kerusakan sedikitpun pada
bagian syaraf tertentu dapat menimbulkan perubahan perilaku yang
ekstrim pada mahluk hidup.
Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Delgado untuk
menghentikan sapi jantan yang sedang dihela, dengan menstimulasi
wilayah syaraf pencegah. Dalam eksperimennya, Delgado
membuktikan bahwa agresi dapat dikendalikan dengan Cara
menanamkan elektroda dalam subtrata syaraf agresi.
Faktor apa saja yang mempengaruhi, menimbulkan, serta
memunculkan perilaku-perilaku destruktif pada makhluk hidup?
Apa yang menimbulkan agresi “bawaan” pada binatang dan
manusia? Pertanyaan ini Akan dibahas pada bagian selanjutnya.
D. Fungsi Defensif Agresi
Telaah para ahli neurofisiologi dan psikologi tentang agresi
manusia dan binatang, memberi kesimpulan bahwa, perilaku agresi
binatang merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati dari
binatang tersebut. Pengaktifan agresi dalam wilayah-wilayah otak
yang memiliki kesamaan terjadi dalam rangka membela
kepentingan hidup individu atau spesies. Karena mempertahankan
hidup merupakan tugas otak, maka ia akan menyediakan reaksi
seketika terhadap bahaya yang mengancam kelangsungan hidup.
Agresi bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman,
melainkan ada bentuk lain, yaitu reaksi penyelamatan diri. Pada
umumnya, reaksi penyelamatan diri sering dilakukan binatang
dalam rangka membela kelangsungan hidupnya. Tetapi reaksi
penyelamatan diri ini bisa berubah menjadi reaksi penyerangan jika
dalam situasi yang sesak atau tak ada lagi jalan lain. Hal ini telah
dibuktikan oleh Hess dalam percobaannya pada seekor kucing
melalui stimulasi listrik pada salah satu sistem syaraf kucing
tersebut.
E. Insting Penyelamatan-diri
Naluri untuk menyelamatkan diri mempunyai peranan yang
Sama dengan naluri untuk melakukan perlawanan. Kedua dorongan
tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.
Tetapi naluri melawan menurut para ahli kurang efesien dibanding
naluri penyelamatan diri. Hal ini dibuktikan lewat pengalaman
nyata, bahwa manusia pada umumnya tidak mempunyai
kecenderungan untuk menjadi pahlawan tanpa motivasi yang kuat
untuk menyelamatkan jiwanya.
Para ahli menarik kesimpulan bahwa selain peran agresi
instingtif dalam diri manusia masih ada peranan tatanan sosial
untuk mempertahankan kehidupan tidak lebih dominan ketimbang
peranan sosial. Manusia harus diancam dengan kematian atau
diteror agar seseorantg mempunyai rasa takjub atas kebijaksanaan
para pemimpinnya dan percaya pada nilai-nilai kehormatan. Dari
analisis historis dapat ditarik kesimpulan bahwa pengekangan
dorongan penyelamatan diri dan pendominasian dorongan untuk
melakukan perlawanan pada umumnya lebih disebabkan oleh oleh
faktor-faktor budaya dibanding faktor biologis.
F. Pemangsaan dan Agresi
Selain agresi penyelamatan-diri dan agresi perlawanan,
masih ada bentuk agresi lain, yaitu agresi pemangsaan. Perilaku
pemangsaan tidak menunjukkan amarah dan tidak Sama dengan
perilaku penyelamatan diri. Perilaku ini ditentukan oleh tujuan
yang jelas, yaitu untuk memperoleh makanan. Bentuk agresi ini
Sama halnya dengan agresi instrumental, yaitu agresi yang
ditujukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Jika tujuan ini
tercapai, maka ketegangan pada diri si pemangsa Akan berangsur
sirna. Perilaku ini hanya dimiliki oleh spesies tertentu yang
mempunyai kelengkapan fisik yang lengkap untuk memangsa,
seperti singa, anjing, kucing, ular, serigala, beruang, dll.
Secara filogenetik, manusia merupakan makhluk non-
pemangsa. Susunan gigi manusia kurang cocok untuk memiliki
kebiasaan memakan daging karena bentuknya tidak jauh berbeda
dengan susunan gigi leluhurnya yang pemakan sayur-sayuran dan
buah-buahan. Sistem pencernaan pada manusia memiliki semua
tanda-tanda vegetarian, bukannya karnivora (J. Napier, 1970).
Menurut I. DeVore: “Semua primata Dunia Lama Pada dasarnya
mengkonsumsi makanan vegetarian.
Manusia selama ribuan tahun telah mengakrabkan diri
dengan binatang-binatang peliharaan, seperti kucing, dan anjing
yang sebenarnya merupakan pemangsa. Akibatnya, manusia
hampir tidak bisa membedakan antara keagresifan pemangsaan dan
keagresifan pertahanan lantaran kedua jenis agresi ini berujung
pada pembunuhan. Hal inilah yang membuat manusia bisa menjadi
serigala bagi sesamanya, tinggal di daerah peternakan biri-biri, dan
akhirnya bisa menjadi pemangsa.

BAB 6 PERILAKU BINATANG


A. Perilaku Binatang
Agresi binatang dibagi atas tiga jenis, yaitu:
a) Agresi Pemangsaan
Jenis agresi ini telah dibahas pada Bab 5. Maka, tadak perlu
diulangi lagi.
b) Agresi Intraspesifik
Agresi intraspesifik (agresi terhadap binatang sesama
spesies). Mengenai jenis agresi ini, para ahli setuju bahwa
binatang jarang mempunyai naluri untuk membinasakan
anggota spesies lain, kecuali sewaktu mempertahankan diri,
yaitu ketika mereka merasa terancam dan tidak ada peluang
untuk menyelamatkan diri.
c) Agresi Interspesifik
Agresi interspesifik (agresi terhadap binatang dari spesies
lain). Jenis agresi ini mempunyai beberapa cici, yakni:
 Agresi pada kebanyakan mamalia. Mamalia pada umumnya
mempunyai agresi yang tidak “berdarah”; tidak bertujuan
pembunuhan, pembinasaan atau penyiksaan, melainkan
hanya sebatas ancaman saja.
 Perilaku destruktif (merusak). Ciri agresi ini bisa ditemukan
pada serangga, burung, ikan, mamalia dan tikus jenis
tertentu.
 Perilaku pengancaman adalah reaksi terhadap sesuatu atas
ancaman yang mengancam kepentingan hayati makluk yang
bersangkutan. Ciri agresi ini bersifat defensif.
 Secara umum, mamalia tidak mempunyai dorongan agresif
spontan yang dikekang untuk dilampiaskan manakala ada
kesempatan.
Manusia adalah satu-satunya mamalia pembunuh berskala
besar dan sadis. Mengapa demikian? Akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya. Menurut para ahli, banyak binatang di muka bumi ini
yang berperang dengan spesies mereka sendiri; tapi tidak sampai
merusak dan mengacaukan apalagi membunuh. Data ini
mengisyaratkan bahwa tidak ada “kedestruktifan” bawaan dari
spesies mamalia yang diwariskan kepada manusia. Maka tidak
mengherankan kalau manusia hidup dalam dunia yang lebih damai,
sebagaimana hidup simpanse dalam ahbitat alami mereka.
B. Agresi dalam Keterkekangan
Pengkajian tentang agresi antarbinatang, dan terutama
antarprimata, perlu dimulai dengan membedakan antara perilaku
mereka ketika hidup dalam habitat asli dan perilaku mereka
didalam kondisi terkekang, terutama di kebun binatang. Primata di
alam bebas memperlihatkan hanya sedikit agresi, sedangkan
primata di kebun binatang dapat memperlihatkan tingkat
kedestruktifan yang berlebihan. Pembedaan ini sangat penting
untuk memahami agresi manusia, karena manusia pada umumnya
tidak pernah hidup di dalam “habitat alami”-nya, kecuali beberapa
suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris
pertama yang hidup 5000 tahun SM.
Dari banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli,
mereka menyimpulkan bahwa insiden tindakan agresif di kebun
binatang adalah sembilan kali lebih sering terjadi terhadap betina
dan tujuh belas setengah kali lebih sering terjadi pada jantan dewasa
jika dibandingkan dengan di alam bebas. Atau kesimpulan lain
ialah kondisi lingkungan sosial berupa penyempitan ruang gerak
berakibat pada semakin agresifnya perilaku di kalangan spesies
mamalia. Semakin sesak kondisi dalam suatu ruang gerak, semakin
pudar hirarki kekerabatan yang ada.
Southwick menyatakan bahwa ada dua unsur dalam
keberjejalan yang harus dipisahkan. Yang pertama ialah
“menyempitnya ruangan, dan yang kedua ialah “rusaknya struktur
sosial”. Kedua faktor ini sama-sama menimbulkan agresi. Dengan
hilangnya keleluasan akibat penyempitan, binatang merasa
terancam lantaran berkurangnya fungsi-fungsi hayatinya dan
selanjutnya ia akan bereaksi agresif. Keseimbangan sosial yang
memadai merupakan syarat yang diperlukan oleh binatang demi
menjamin keberadaanya. Maka, kerusakan struktur sosial akibat
keberjejalan menimbulkan ancaman besar terhadap eksistensi
binatang. Akibatnya, muncul agresi pemertahanan-diri pada
binatang, terutama ketika binatang tidak lagi sempat
menyelamatkan diri.
Masalah yang paling utama dialami oleh satwa-satwa di
kebun binatang bukanlah keberjejalan, melainkan kurangnya
keleluasan. Binatang-binatang yang dikerengkeng di satu sisi
mendapat makanan dan perlindungan yang cukup, tapi di lain sisi
mereka tidak bisa berbuat banyak. Jadi, keterjaminan Akan
makanan dan perlindungan sekali-kali tidak menjadi jaminan akan
hidup bahagia. Selain makanan, binatang (dan manusia)
memerlukan ruang yang bebas untuk memperlihatkan dan
mengembangkan kemampuan fisik dan mentalnya.
C. Agresi dan Keberjejalan Manusia
Suatu pendapat yang dikemukakan oleh P.Leyhausen
tentang pentingnya kondisi keberjejalan pada keagresifan binatang
yang berpengaruh bagi timbulnya agresi pada manusia. P.
Leyhausen menegaskan bahwa tidak ada pengobatan lain untuk
menyembuhkan “pemberontakan”, “kekerasan” dan “neurosis”
(penyakit saraf) kecuali dengan “menjaga keseimbangan jumlah
individu di dalam masyarakat manusia dan segera mencari sarana
efektif untuk mengendalikannya pada tingkatan optimum.
Dua aspek fakta keberjejalan di masa kini yaitu:
1. Rusaknya struktur sosial yang ada (terutama di wilayah-
wilayah industri di dunia)
Yang terjadi dalam masyarakat industri ialah hilangnya tradisi,
nilai-nilai sosial, dan keterikatan sosial dengan sesama. Dalam
masyarakat modern, manusia merasa terisolir dan kesepian,
sekalipun ia memiliki status keberadaan yang jelas. Dia telah
menjadi atom (tidak dapat dibagi) yang menyatu hanya karena
kepentingan sosial dan ekonomi, meski terkadang juga
merupakan kepentingan yang bertentangan. Emile menamkan
fenomena ini sebagai “anomie” dan mendapati bahwa inilah
yang merupakan penyebab utama bunuh diri yang jumlah
kasusnya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
industrialisasi.
2. Tidak proporsionalnya jumlah penduduk dengan basis ekonomi
dan sosial yang menopang kehidupan, terutama di belahan
dunia yang tak terindustrialisasi.

Anomi pada masyarakat industri hanya dapat dihilangkan


jika:
1. Seluruh struktur sosial dan spiritual diubah secara radikal.
2. Individu tidak sekedar mendapatkan pangan dan papan yang
memadai, namun juga memiliki kepentingan yang Sama
dengan kepentingan masyarakatnya.
3. Hubungan dengan sesama dan ungkapan jati-diri seseorang-
bukannya konsumsi materi dan perseteruan terhadap sesama-
menjadi prinsip yang mengatur kehidupan sosial dan individu.
D. Agresi di Alam Bebas
Suatu penelitian membuktikan bahwa keagresifan yang
teramati pada kondisi keterkekangan tidak didapati masalah
binatang yang Sama hidup dalam habitat alami mereka. Apabila
struktur sosial secara umum tidak terganggu, maka tidak Akan
banyak muncul perilaku agresif; karena apa pun perilaku agresif
yang muncul, pada dasarnya hanyalah salah satu gerak tubuh atau
bentuk pengancaman. Dikalangan bangsa Kera, baboon memiliki
reputasi kekerasan tertentu, dikalangan Simpanse insiden agresi
yang muncul ternyata begitu rendah.
Pengamatan terhadap simpanse dari Gombe Stream
Reserve, oleh Jane Goodall, pada dasarnya: “perilaku pengancaman
terlihat pada 4 kesempatan sewaktu jantan yang subordinat
berupaya mengambil makanan di depan jantan yang lebih
dominan… Contoh-contoh penyerangan jarang teramati dan jantan
dewasa tampak berkelahi hanya dalam satu kesempatan”
Sebalinya, terdapat, “sejumlah kegiatan dan gerak tubuh semisal
perilaku saling membersihkan bulu, dan bercanda.
E. Teritorialisme dan Dominasi
Gambaran umum tentang keagresifan binatang kebanyakan
di pengaruhi oleh konsep teritorialisme. Terdapat cukup alasan
untuk menyatakan pendapat yang keliru dari suatu anggapan bahwa
kesan dari Robert Ardrey lewat karyanya yang berjudul Territorial
Imperative beranggapan bahwa, insting yang menguasai manusia
dalam mempertahankan wilayahnya merupakan warisan dari
binatang yang menjadi leluhurnya. Salah satu alasannya yakni,
banyak spesies binatang yang tidak sesuai dengan penggambaran
yang diberikan oleh konsep territorial.
N. Tinbergen membedakan antara teritorialisme spesises
dengan teritorialisme individu: “ketampakan jelas bahwa dari
wilayah atau territorial dipilih terutama berdasarkan sifat-sifat yang
sesuai dengan reaksi bawaan pada binatang. Dari uraian tentang
primata diketahui bahwa betapa seringnya didapati territorial yang
tumpang tindih, bahwa berbagai macam kelompok primata
sangatlah toleran dan fleksibel dalam urusan territorial dan tidak
menjajikan gambaran yang memadai untuk dianalogikan dengan
realita komunitas masyarakat. Asumsi bahwa teritorialisme
merupakan landasan keagresifan manusia adalah keliru karena
masih ada alasan yang lain.
Perlengkapan insting pada binatang memiliki fungsi seperti
peraturan resmi yang berlaku pada manusia. Dengan demikian,
insting tidak lagi terpakai jika sudah ada cara-cara simbolis yang
lainuntuk menandai wilayah dan memberi peringatan “dilarang
melintas”. Dalam banyak spesies, didapati bahwa sebuah kelompok
disusun secara hierarki. Misalnya; jantan yang terkuat mendapat
hak istimewa untuk memperoleh makanan, pasangan, dan layangan
yang melebihi jantan lain pada tatanan yang lebih rendah dalam
hierarki tersebut. Akan tetapi teritorialisme yang mendominasi,
tidak didapati pada semua binatang baik pada vertebrata dan
mamalia.
Dominasi kalangan primate non-manusia menemukan
perbedaan yang sangat besar antara spesies kera sepeti baboon dan
macaque yang diketahui memiliki sistem hierarki yang lebih maju
dan ketat. Menurut penelitian (Schaller) bahwa: terdapat pada
kekuasaan yang sering terjadi disepanjang jejak atau jalan setapak
yang sempit, sewaktu seekor binatang mengklaim hak atas jalan
atau tempat duduk, dan ketika binatang yang kuat mengambil alih
posisi binatang yang lemah. Dalam pengamatan dari simpanse (V.
dan F. Reynold) mengatakan: tidak ada bukti tentang dominasi
ginaris diantara jantan atau betina, dan tidak ada pemimpin tetap
atas suatu kelompok.
Menurut pengamatan diatas, ada juga yang menyanggahnya
(T.E. Rowell), dia berkesimpulan bahwa “bahwa hierarki
tampaknya dipertahankan, terutama dengan pola-pola perilaku
subordinat, oleh binatang dengan peringkat rendah, bukannya
yang berperingkat tinggi”.
W.A. Manson juga memaparkan keberatannya berdasarkan
penelitiannya tentang simpanse, bahwa “dominasi” dan
“subordinasi” hanyalah pengistilahan konvensional atas fakta
bahwa acapkali simpanse berada dalam hubungan si pengancam
(intimidator) dan siterancam (intimidated). Tandasnya lagi, tidak
ada indikasi bahwa kelompok-kelompok simpanse secara
keseluruhan terorganisir secara hirarkis; dan tidak pula terdapat
bukti menyakinkan tentang dorongan otonom untuk mendapatkan
supremasi sosial. Dengan demikian, Dominasi dan Subordinasi
dapat dianggap sebagai dampak-samping alamiah dari hubungan
sosial, sekaligus merupakan salah satu sisi dari hubungan antara
dua individu
Peranan dominasi di kalangan binatang, sepertinya sangat
jelas bahwa binatang yang dominan tetap harus memiliki
kesesuaian dengan peranannya itu, yakni memiliki kekuatan fisik
lebih besar, kebijaksanaan dan kemampuan lebih tinggi atau pun
yang membuatnya diakui sebagai pemimpin. Hal ini bisa diamati
dari seekor kera, yang oleh eksperimen J.M.R. Delgado (1967).
Menyatakan bahwa, jika binatang yang dominankehilangan sifat-
sifat unggulnya, meski untuk sementara, maka peranannya sebagai
penguasa Akan berakhir. Dalam sejarah manusia juga, pada sistem
sosial mengkodisikan manusia untuk melihat pangkat, seragam,
kedudukan atau hal yang formal yang memperlihatkan
kompetensinya pada diri seorang pemimpin dan simbol-simbol ini
yang didukung oleh keseluruhan sistem yang ada.
F. Keagresifan di Kalangan Mamalia Lain
Dikalangan mamalia yang paling agresif, salah satunya
tikus. Intesitas keagresifannya tidak setinggi yang di analisis oleh
Lorenz. Sally carringhar menyoroti perbedaan antara eksperimen
terhadap tikus Wirog, yang dikutip Lorenz untuk mendukung
hipotesisnya. Menurut eksperimen Lorenz, Steiner menempatkan
tikus-tikus wirog warna coklat, yang ditangkap dari beberapa lokasi
lalu dimasukkan keruangan yang menyerupai kondisi kehidupan
yang alami mereka. Awalnya, diantara tikus-tikus itu, sama-sama
takut tidak menampakkan suasana agresif, namun akhirnya saling
menggigit dan jika bertemu mereka berlarian hingga keduanya
berbenturan keras dengan kecepatan tinggi. Berbeda dengan
vertebrata dan invertebrate tingkat rendah yang dinyatakan oleh J.P.
Scott, salah seorang pakar agresi binatang yang terkemuka. Begitu
juga dikalangan ikan dan reptile. Ia menuliskan: faktor-faktor
fisiologi dan emosi yang kedapatan dalam sistem perilaku
agonistic, dengan demikian, sangat berbeda dari faktor-faktor yang
ada pada perilaku seksual dan ingestif (makan). Dan lebih dari situ,
pada kondisi alamiah, perilaku permusuhan dan agresi, dalam arti
perilaku agonistic yang destruktif dan maladaftif sulit ditemukan
dalam komunitas binatang.
G. Apakah manusia memiliki sarana pencegah dorongan membunuh?
Dari serangkaian penjelasan Lorenz yang terpenting ialah
mengenai agresi manusia adalah hipotesisnya bahwa manusia
berbeda dengan binatang pemangsa, tidak memiliki sarana naluriah
untuk mencegah dorongan membunuh sesamanya. Hal ini
dijelaskan bahwa asumsi manusia seperti halnya binatang non-
pemangsa, tidak memiliki senjata fisik seperti cakar, taring, sengat
dan sebagainya. Karenanya tidak memerlukan sarana pencegah
naluriah. Jika manusia memiliki senjata-senjata fisik seperti yang
dicirikan diatas maka tentu Akan sangat berbahaya.
Benarkah manusia memang tidak memiliki sarana naluriah
untuk mencegah dorongan membunuh? Beberapa bukti bahwa
pencegahan semacam itu ada dan perasaan bersalah Akan muncul
setelah tindak pembunuhan. Dari reaksi yang dicermati dalam
kehidupan sehari-hari, dapat dengan midah ditelusuri bahwa unsur-
unsur keakraban dan perasaan memainkan peranan dalam
memunculkan pencegahan pembunuhan. Bahwasannya, banyak
orang yang jelas-jelas memperlihatkan keengganan membunuh
atau memakan daging binatang yang mereka akrabi atau pelihara.
Boleh jadi, memang ada perasaan bersalah, disadari ataupun tidak,
ataupun ada empati khusus.
Dalam masyarakat primitive, umumnya mereka enggan
membunuh anggota kelompoknya dan jika hal itu terjadi maka dia
tidak Akan dianggap sebagai saudara dan acapkali diasingkan
sebagai hukuman terberat. Hal ini tercatat dalam hukum Kain
dalam Bible. Juga seperti yang terjadi pada peradaban tinggi
semisal Yunani, pada perang dunia yang pertama, pada peristiwa
perang Vietnam. Bahkan kata pembunuhan di haluskan menjadi
“pembersihan”. Cara lain untuk menjadikan pihak musuh dianggap
sebagai bukan manusia adalah dengan memutuskan ikatan perasaan
dengan mereka.
Ada bukti klinis yang sangat memadai untuk mendukung
asumsi bahwa agresi destruktif terjadi, seiring dengan hapusnya
perasaan, baik yang akut maupun yang kronis. Kapan saja pihak
lain tidak merasa sebagai manusia, tindak kedekstruktifan dan
kekejaman Akan memiliki kualitas yang berbeda. Contohnya: jika
seorang Budha atau Hindu yang asalkan memiliki rasa empati yang
murni dan mendalam terhadap binatang dan melihat seorang awam
modern yang dengan cueknya membunuhi lalat, ia boleh jadi
menilai tindakan itu sebagai ungkapan perasaan yang bebal dan
amat kejam. Namun jika demikian penilaiannya berarti ia keliru.
Karena yang sesungguhnya adalah bahwa bagi kebanyakan orang
lalat bukanlah makhluk yang berperasaan dan karena itu ia layak
untuk dibunuh.
III. Penutup
Perilaku manusia sejatinya telah melalui proses yang begitu
panjang dan bertahap. Proses ini dinamakan evolusi perilaku.
Evolusi perilaku ini diyakini oleh para ilmuwan diturunkan dari
perilaku binatang secara filogenetik. Maka, tidak mengherankan
kalau perilaku binatang sebagian besar ada pada manusia.
Contohnya saja insting. Insting yang dimiliki oleh manusia dan
binatang merupakan sebuah energy yang memampukan manusia
dan binatang untuk bisa membela kepentingan dan
mempertahankan hidupnya dan keutuhan kelompoknya.
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem syaraf. Kerusakan pada
sistem syaraf baik pada manusia maupun pada binatang Akan
menimbulkan suatu tingkah laku yang tak lazim pada manusia
maupun pada binatang. Kerusakan pada sistem syaraf bukanlah
satu-satunya pemicu utama munculnya agresi atau tingkah laku
yang tak lazim pada binatang atau manusia. Kerusakan tatanan
sosial bahkan mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
perubahan agresi pada binatang maupun manusia.
Agresi merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati. Agresi
ini dapat dipilah-pilah menjadi beberapa bagian, yaitu agresi
penyelamatan-diri, merupakan jenis agresi yang lebih efektif
karena tidak bersifat merusak atau membunuh. Yang kedua ialah
agresi perlawanan, merupakan jenis agresi yang muncul akibat
tertutupnya kemungkinan untuk menyelamatkan diri, maka satu-
satunya Cara untuk mempertahankan kehidupan ialah dengan
melakukan perlawanan. Sedangkan yang ketiga ialah agresi
pemangsaan, merupakan jenis agresi yang didorong oleh tujuan
untuk memperoleh makanan.
Nama Kel. 9 : Alexius Harefa (180510004)
Dionsius Purba (180510020)
Honoratus Hasnaha Zebua (180510032)
Redemptus Roeko Naibaho (180510068)
Tiar Roberto S. Purba (180510081)
Semester : I (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Yustinus Slamet Antono
IV. Pendahuluan
Sifat dan perilaku yang yang tampak pada binatang maupun
perilaku yang diperlihatkan oleh manusia tidak muncul begitu saja
tanpa sebab. Pada umumnya, perilaku-prilaku itu berupa usaha
untuk mempertahankan diri maupun kelompoknya. Faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan tingkah laku pada binatang maupun
manusia, ialah bisa karena pengaruh sistem syaraf dan juga faktor
sosial. Dua faktor ini menimbulkan beberapa agresi dalam diri
binatang dan manusia, misalnya memunculkan agresi defensif,
agresi pertahanan-diri, agresi perlawanan, agresi pemangsangan,
agresi penyelamatan, dsb. Beberapa hal ini Akan dibahas lebih
dalam pada bagian pembahasan di bawah ini.

V. Isi
BAB 1 INSTINGTIFIS
C. Instingtifis Lama
Sejarah instingtifis lama bermula dari pemikiran filsafat,
namun telah disusun oleh Charles Darwin ke dalam pemikiran yang
modern.
D. Neoinstingtifis: Sigmund Freud dan Konrad Lorenz
6. Konsep Agresi Freud
7. Teori Agresi Lorenz
8. Freud dan Lorenz: Persamaan dan Perbedaan Mereka
9. Pembuktian dengan Analogi
10. Simpulan-simpulan Mengenai Perang
Pada simpulan analitiknya mengenai agresi
instingtif pada manusia, sependapat dengan Freud yang
menggambarkan bahwa peperangan tidak dapat dihapuskan
karena ini timbul dari suatu insting. Tetapi dalam hal ini,
sngat tidak setuju, maka dia berusaha mencari cara untuk
menghindarkan masyarakat dari pengaruh tragis insting
agresif. Ia juga harus mencari alternatif guna menjadikan
teorinya tentang kedestruktifan bawaan pada diri manusia
dapat diterima. Lorenz mempunyai beberapa gagasan yang
sama dengan Freud, meskipun ada perbedaan yang jelas di
antara keduanya. Freud membuat usulan-usulan yang
dengan skeptisme dan kesederhanaan sedangkan Lorenz
menyatakan, “ Saya tidak keberatan mengakui bahwa….
Saya rasa saya memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada
umat manusia guna menuntun mereka ke arah yang lebih
baik. Keyakinan saya ini bukanlah suatu kelancangan
sebagaimana tampaknya…”
Usulan Lorenz ini memiliki hal-hal yang penting
untuk diajarkan. Tapi bahayanya, usualannya tak pernah
beranjak dari kata-kata klise, “ajaran sederhana” dalam
menghadapi bahaya “ terpecah-belahnya masyarakat akibat
tidak berfungsinya perilaku sosial”:
e) Ajaran utamanya adalah… “kenali diri Anda.”
Lorenz bermaksud bahwa kita harus memperdalam
wawasan kita mengenai rentetan penyebab yang
mengendalikan perilaku kita, yakni hukum-hukum
evolusi.
f) Studi psikoanalitik mengenai sublimasi.
g) Peningkatan pengenalan diri dan jika
memungkinkan, persahabtan antaranggota
masyarakat, penganut ideologi atau warga negara
yang berlainan.
h) Penyaluran antusiasme militan secara cerdas dan
bertanggung jawab, yakni membantu generasi muda
untuk menemukan penyebab utama antusiame
militan yang layak dibahas dalam dunia modern.
c. Meninjau Program Lorenz
Lorenz secara keliru menggunakan pemikiran
klasik, “kenali diri anda”. Padahal bukan hanya
pemikiran Yunani, melainkan juga pemikiran Freud
tentang semua ilmu dan psikoanalisisnya yang
didasarkan pada pengetahuan diri. Freud mengatakan
pengetahuan diri berarti manusia sadar akan adanya
alam bawah sadar. Pengetahuan diri dalam pengertian
Freud bukanlah sekadar proses intelektual, melainkan
secara serentak merupakan proses afeksi yang
membutuhkan pengetahuan melalui nurani. Mengenali
diri seseorang berarti kita memperdalam wawasan,
inteligen dan afeksi, mengenai bagian-bagian rahasia
dari jiwa seseorang. Sedangkan Lorenz dengan
mengatakan “kanali diri anda” bermaksud untuk
memperdalam teoretik mengenai fakta-fakta evolusi,
dan khususnya tentang sifat instingtif agresi. Menurut
Lorenz pengenalan diri dianalogikan dengan
pengetahuan teoretik tentang teori insting kematian
Freud.
Lorenz tidak memperdalam lebih jauh tentang
ajarannya yang kedua, yakni sublimasi. Untuk ajaran
yang ketiga “peningkatan pengetahuan diri dan jika
memungkinan, persahabatan antarindividu yang
menjadi penganut ideologi dan warga negara yang
berbeda-beda.” Namun ini tidak terbukti kebenarannya,
karena sudah banyak individu-individu, kelompok-
kelompok yang berbeda atau negara yang berbeda
sudah lama saling mengenal namun yang terjadi
diantara mereka adalah peperangan dan menebar
kebencian. Maka “kesalingkenalan” dan
“persahabatan” tidak dapat diharapkan untuk meredam
agresi, karena keduanya tak ubahnya pengetahuan semu
mengenai orang lain yang kita lihat dari sisi luar. Ini
sangat berbeda dengan pengetahuan empatik di mana
kita memahami pengalaman-pengalaman orang lain
dengan pengalaman kita. Pengetahuan ini menuntut
agar pengekangan pada diri seseorang dikurangi. Maka
pemahamannya mengenai diri seseorang dapat
menurunkan atau menjauhkan keagresifan. Namun
tergantung pada itngkat kemampuan seseorang dalam
mengatasi rasa cemas, sifat tamak (rakus), narsisme,
dan bukan pada banyaknya informasi yang ia miliki
tentang orang lain.
Beberapa pernyataan Lorenz yang lain mengenai
peperangan dan perdamaian yang perlu ada pada
kutipan ini;
“Dengan menjadi patriot bagi negara saya, saya akan
merasakan rasa permusuhan yang terang-terangan
terhadap negara lain (yang secara empatik saya tidak
memusuhinya). Saya masih tidak dapat sepenuh hati
mengharapkan kehancuran total negara tersebut jika
saya menyadari banyak orang yang tinggal di sana,
seperti diri saya, yang juga pekerja keras di bidang ilmu
alam induktif, atau pemuja Charle Darwin yang secara
antusias menyebarluaskan kebenaran temuan-
temuannya. Selain itu di sana juga terdapat orang-orang
yang secara antusias, seperti saya, mengagumi karya
Michael Angelo, seperti antusiasme saya Goethe, atau
terhadap keindahan batu karang di lautan, atau tehadap
cagar alam marga satwa, atau sejumlah antusiame
minor yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Bagi saya
sangat tidak mungkin untuk membenci setiap musuh
secara terang-terangan, jika saya masih memilki
persamaan dengan saya dalam hal budaya dan nilai-nila
etika”
Lorenz mengingkari harapan akan kehancuran
seluruh negeri dengan membalutkan kata“sepenuh
hati”, dan dengan menggolongkan rasa benci pada
tingkat yang “terang-terangan”. Lalu bagaimana
dengan sebaliknya? Hal yang menyebabkan dirinya
tidak mengharapkan kehancuran negara lain adalah
adanya penduduk yang memiliki selera dan antusiasme
yang sama dengan dirinya.
Karakter pernyataan-pernyataan tersebut tidak
berubah oleh tuntutan Lorenz akan “pendidikan
humanistik”, yakni pendidikan yang menyodorkan
gagasan-gagasan umum yang optimal yang dapat
dikenali oleh individu. Karena fokus utamanya adalah
kehidupan dan umat manusia, yang pengaruhnya dapat
mencegah peperangan.
d. Pemujaan terhadap Revolusi
Sikap Lorenz tidak bisa dipahami sepenuhnya jika
kita tidak menyadari akan keyakinannya terhadap
Darwanisme. Sikapnya di dalam hal ini bukanlah
sesuatu yang aneh atau perlu dikajikan lebih cermat
sebagai fenomena psikologi sosial dalam budaya
kentemporer, melainkan karena mendesaknya
kebutuhan manusia untuk tidak merasa terasing dan
putus asa di dunia ini. Namun ini sudah dipenuhi oleh
Tuhan yang menciptakan dunia ini bagi semua
makhluk-Nya. Tetapi ketika teori evolusi
menghancurkan gambaran tantang Tuhan sebagai Sang
Maha Pencipta, keyakinan terhdap Tuhan juga kian
rapuh, meski banyak orang memadukan antara
kepercayaan kepada Tuhan dengan sikap menerima
teori evolusi Darwin. Maka mereka mengklaim adanya
tuhan yang baru, terjadinya evolusi, dan memuja
Darwin sebagai nabi mereka. Bagi Lorenz, gagasan
tentang teori evolusi menjadi inti dari sistem orientasi
dan pengabdian. Darwin mengungkapkan tentang asal-
usul manusia,dapat dipahami dengan sudut pandang
evolusi. Sikap semi-religius terhadap Darwinisme ini
tampak jelas pada cara Lorenz menggunakan istilah
“sang pengatur”, yang mana merujuk kepada mutasi
dan seleksi. Lorenz banyak berbicara mengenai
analoginya tentang Tuhan tentang metode dan tujuan
“sang maha pengatur” sebagaimana pemeluk agama
Kristen berbicara tentang tindakan-tindakan Tuhan.
Namun tidak ada yang mengungkapkan sifat pemujaan
yang lebih gamblang dibanding yang terdapat pada
paragraf penyimpul bukunya yang berjudul “On
Agression”:
“Secara singkat dikatakan bahwa cinta dan
persahabatan melingkupi semua kemanusiaan, bahwa;
kita harus mencintai sesame manusia tanpa pandang
bulu. Perintah yang luhur semacam itu bukanlah hal
yang baru. Pikiran kita cukup mapu untuk memahami
pentingnya perintah tersebut, sebagaimana batin kita
mampu menganggumi keluhurannya.”
Darwinisme sosial dan moral yang diajarkan oleh
Lorenz sama juga paganisme nasionalistik-romantik
yang cenderung mengaburkan pemahaman hakiki
mengenai factor-faktor bilogis, psikologis, dan sosial
yang memicu sifat agresif pada diri manusia. Di sinilah
letak perbedaan fundamental antara Lorenz dan Freud
di balik persamaan pandangan mereka terhadap agresi.
Freud merupakan reperentasi akhir dari filsafat
pencerahan. Dia sepenuhnya percaya pada pikiran yang
dapat menyelamatkannya dari kebingungan dan
kesesatan.

BAB 5 NEUROFISIOLOGI
G. Pengertian
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem saraf. Ilmu ini berkaitan
erat dengan ilmu psikologi, neurologi, etologi, dan ilmu otak
lainnya. Sedangkan fisiologi merupakan salah satu dari cabang-
cabang biologi yang mempelajari tentang berlangsungnya sistem
kehidupan.
H. Hubungan Psikologi dengan Neurofisiologi
Setiap cabang ilmu mempunyai bahasan sendiri, metode
tersendiri dan arah yang dituju dalam mengupas persoalan yang
ingin dipecahkannya. Maka, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
seorang ahli neurofisiologi mempunyai Cara kerja yang berbeda
dengan seorang ahli psikologi, demikian pula sebaliknya.
Meskipun demikian, keduanya sebenarnya bisa saling menjalin
hubungan erat dan saling membantu. Ini terbukti, misalnya, dalam
kaitannya dengan pokok bahasan agresi defensif.
Namun begitu, dalam banyak kasus, telaah psikologi dan
neurofisiologi mempunyai banyak sudut pandang yang berbeda dan
tidak saling terkait. Maka, keduanya mau tidak mau harus bekerja
dengan caranya masing-masing dan memecahkan persoalannya
masing-masing, hingga suatu hari keduanya mencapai titik temu
dalam melakukan pendekatan terhadap persoalan yang Sama,
dengan metode yang berbeda, untuk kemudian mempertautkan
temuan masing-masing. Hal ini memang tidak masuk akal, kalau
seandainya mereka saling menunggu sampai mereka menemukan
bukti positif dan negatif untuk hipotesis yang Sama. Maka,
wajarlah kalau seorang psikolog mempunyai ketidakyakinan ilmiah
atas temuan-temuannya.
R. B. Livingston, dalam observasinya, melukiskan
mengenai hubungan antar keduanya. Ia mengatakan bahwa titik
temu antar keduanya akan tercapai apabila sejumlah ilmuwan dari
masing-masing cabang ilmu itu mempunyai dasar yang sangat kuat
dalam disiplin ilmunya masing-masing. Manfaat atas tercapainya
titik temu antara keduanya sulit untuk diprediksi karena masih
butuh pembahasan lebih lanjut lagi. Banyak usaha tradisional untuk
mengidentikkan keduanya tapi semuanya sia-sia. Lantaslah kita
bertanya, siapakah yang kita perangi? Tak lain ialah kebodohan kita
sendiri.
Sumber-sumber yang dibutuhkan untuk penelitian dasar
bidang psikologi dan neurufisiologi masih relatif sedikit.
Persoalan-persoalan yang seharusnya segera diselesaikan justru
masih sulit untuk dipahami.
Banyak orang yang menganggap, bahwa para neurofisiologi
telah menemukan banyak jawaban atas permasalahan perilaku
manusia. Sebaliknya, T. H. Bullock, pakar sistem syaraf
invertebrata, ikan atau belut listrik, dan mamalia laut, dalam
maklahnya yang berjudul Evolution of Neurophysiological
Mechanism, mengatakan bahwa pada dasarnya kita tidak memiliki
asumsi yang baik mengenai mekanisme syaraf pembelajaran atau
substrata fisiologi dalam pola-pola instingtif atau manifestasi
perilaku kompleks yang sesungguhnya. Pendapatnya ini
diteguhkan oleh Birger Kaada, yang mengatakan bahwa
pengetahuan dan konsep kita tentang susunan syaraf pusat untuk
perilaku agresif dibatasi oleh fakta bahwa sebagian besar informasi
diperoleh dari eksperimen binatang. Maka, nyaris tidak ada yang
diketahui tentang hubungan sistem syaraf pusat dengan “perasaan”
atau faktor-faktor “afeksi” dalam perasaan.
Banyak para pakar neurologi terkemuka, seperti, W.
Penfield, H. von Foerster, T. Melnechuck, H. R. Maturana, F. C.
Varela, dan F. G. Worden menaruh rasa pesimisme atas tanggapan
yang mengatakan bahwa penemuan neurofisiologi dapat
memecahkan banyak permasalahan tentang pikiran manusia.
Karena, perilaku tidak dapat dijelaskan dengan hanya mengacu
pada pengaruh sistem syaraf. Data ini didukung oleh pandangan E.
Valenstein (1968), yang menjelaskan bahwa “pusat-pusat”
hipotalamus untuk rasa lapar, haus, seks dan sebagainya, tidaklah
benar. Jika benar, tidaklah murni seperti yang terpikirkan
sebelumnya bahwa kondisi total dari lingkungan fisik dan sosial
pada saat tertentu dapat mengubah makna stimulasi tertentu.
Meski demikian, pandangan dua arah terhadap kemampuan
neurofisiologi untuk menjelaskan perilaku manusia secara
memadai tidak berarti sebagai pengingkaran atas validitas relatif
dari banyak temuan eksperimental. Karena, banyak temuan-temuan
neurofisiologi yang terbukti mampu memberi petunjuk-petunjuk
pentindalam memahami satu jenis agresi, yaitu agresi defensif.
I. Otak sebagai Basis Perilaku Agresif
Menurut Darwin, syaraf pada otak mempengaruhi perilaku.
Hal yang Sama dikatakan oleh MacLean tentang empat mekanisme
otak yang mempengaruhi perilaku, yaitu feeding (mengumpani),
fighting (memerangi), fleeing (menyelamatkan diri), dan fucking
(unjuk kegiatan seks). Di antara empat bagian ini, para ahli secara
khusus memberi perhatian pada bagian fleeing, yaitu penyelamatan
diri.
Agresi dan penyelamatan diri secara khusus dikendalikan
oleh wilayah-wilayah syaraf dalam otak. Hal ini dibuktikan oleh
para ahli bedah melalui stimulasi listrik langsung pada otak. Jika
para ahli menggunakan stimulasi listrik yang bervoltare rendah
terhadap suatu wilayah otak, maka muncul perubahan perilaku pada
objek penelitian tersebut. Awalnya, penelitian ini dilakukan pada
binatang baru kemudian pada manusia. Penelitian ini membuktikan
bahwa syaraf-syaraf pada otak sangat mempengaruhi perilaku
agresi pada makhluk hidup. Dimana kerusakan sedikitpun pada
bagian syaraf tertentu dapat menimbulkan perubahan perilaku yang
ekstrim pada mahluk hidup.
Sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Delgado untuk
menghentikan sapi jantan yang sedang dihela, dengan menstimulasi
wilayah syaraf pencegah. Dalam eksperimennya, Delgado
membuktikan bahwa agresi dapat dikendalikan dengan Cara
menanamkan elektroda dalam subtrata syaraf agresi.
Faktor apa saja yang mempengaruhi, menimbulkan, serta
memunculkan perilaku-perilaku destruktif pada makhluk hidup?
Apa yang menimbulkan agresi “bawaan” pada binatang dan
manusia? Pertanyaan ini Akan dibahas pada bagian selanjutnya.
J. Fungsi Defensif Agresi
Telaah para ahli neurofisiologi dan psikologi tentang agresi
manusia dan binatang, memberi kesimpulan bahwa, perilaku agresi
binatang merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati dari
binatang tersebut. Pengaktifan agresi dalam wilayah-wilayah otak
yang memiliki kesamaan terjadi dalam rangka membela
kepentingan hidup individu atau spesies. Karena mempertahankan
hidup merupakan tugas otak, maka ia akan menyediakan reaksi
seketika terhadap bahaya yang mengancam kelangsungan hidup.
Agresi bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman,
melainkan ada bentuk lain, yaitu reaksi penyelamatan diri. Pada
umumnya, reaksi penyelamatan diri sering dilakukan binatang
dalam rangka membela kelangsungan hidupnya. Tetapi reaksi
penyelamatan diri ini bisa berubah menjadi reaksi penyerangan jika
dalam situasi yang sesak atau tak ada lagi jalan lain. Hal ini telah
dibuktikan oleh Hess dalam percobaannya pada seekor kucing
melalui stimulasi listrik pada salah satu sistem syaraf kucing
tersebut.
K. Insting Penyelamatan-diri
Naluri untuk menyelamatkan diri mempunyai peranan yang
Sama dengan naluri untuk melakukan perlawanan. Kedua dorongan
tersebut sama-sama bertujuan untuk mempertahankan kehidupan.
Tetapi naluri melawan menurut para ahli kurang efesien dibanding
naluri penyelamatan diri. Hal ini dibuktikan lewat pengalaman
nyata, bahwa manusia pada umumnya tidak mempunyai
kecenderungan untuk menjadi pahlawan tanpa motivasi yang kuat
untuk menyelamatkan jiwanya.
Para ahli menarik kesimpulan bahwa selain peran agresi
instingtif dalam diri manusia masih ada peranan tatanan sosial
untuk mempertahankan kehidupan tidak lebih dominan ketimbang
peranan sosial. Manusia harus diancam dengan kematian atau
diteror agar seseorantg mempunyai rasa takjub atas kebijaksanaan
para pemimpinnya dan percaya pada nilai-nilai kehormatan. Dari
analisis historis dapat ditarik kesimpulan bahwa pengekangan
dorongan penyelamatan diri dan pendominasian dorongan untuk
melakukan perlawanan pada umumnya lebih disebabkan oleh oleh
faktor-faktor budaya dibanding faktor biologis.
L. Pemangsaan dan Agresi
Selain agresi penyelamatan-diri dan agresi perlawanan,
masih ada bentuk agresi lain, yaitu agresi pemangsaan. Perilaku
pemangsaan tidak menunjukkan amarah dan tidak Sama dengan
perilaku penyelamatan diri. Perilaku ini ditentukan oleh tujuan
yang jelas, yaitu untuk memperoleh makanan. Bentuk agresi ini
Sama halnya dengan agresi instrumental, yaitu agresi yang
ditujukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Jika tujuan ini
tercapai, maka ketegangan pada diri si pemangsa Akan berangsur
sirna. Perilaku ini hanya dimiliki oleh spesies tertentu yang
mempunyai kelengkapan fisik yang lengkap untuk memangsa,
seperti singa, anjing, kucing, ular, serigala, beruang, dll.
Secara filogenetik, manusia merupakan makhluk non-
pemangsa. Susunan gigi manusia kurang cocok untuk memiliki
kebiasaan memakan daging karena bentuknya tidak jauh berbeda
dengan susunan gigi leluhurnya yang pemakan sayur-sayuran dan
buah-buahan. Sistem pencernaan pada manusia memiliki semua
tanda-tanda vegetarian, bukannya karnivora (J. Napier, 1970).
Menurut I. DeVore: “Semua primata Dunia Lama Pada dasarnya
mengkonsumsi makanan vegetarian.
Manusia selama ribuan tahun telah mengakrabkan diri
dengan binatang-binatang peliharaan, seperti kucing, dan anjing
yang sebenarnya merupakan pemangsa. Akibatnya, manusia
hampir tidak bisa membedakan antara keagresifan pemangsaan dan
keagresifan pertahanan lantaran kedua jenis agresi ini berujung
pada pembunuhan. Hal inilah yang membuat manusia bisa menjadi
serigala bagi sesamanya, tinggal di daerah peternakan biri-biri, dan
akhirnya bisa menjadi pemangsa.

BAB 6 PERILAKU BINATANG


H. Perilaku Binatang
Agresi binatang dibagi atas tiga jenis, yaitu:
d) Agresi Pemangsaan
Jenis agresi ini telah dibahas pada Bab 5. Maka, tadak perlu
diulangi lagi.
e) Agresi Intraspesifik
Agresi intraspesifik (agresi terhadap binatang sesama
spesies). Mengenai jenis agresi ini, para ahli setuju bahwa
binatang jarang mempunyai naluri untuk membinasakan
anggota spesies lain, kecuali sewaktu mempertahankan diri,
yaitu ketika mereka merasa terancam dan tidak ada peluang
untuk menyelamatkan diri.
f) Agresi Interspesifik
Agresi interspesifik (agresi terhadap binatang dari spesies
lain). Jenis agresi ini mempunyai beberapa cici, yakni:
 Agresi pada kebanyakan mamalia. Mamalia pada umumnya
mempunyai agresi yang tidak “berdarah”; tidak bertujuan
pembunuhan, pembinasaan atau penyiksaan, melainkan
hanya sebatas ancaman saja.
 Perilaku destruktif (merusak). Ciri agresi ini bisa ditemukan
pada serangga, burung, ikan, mamalia dan tikus jenis
tertentu.
 Perilaku pengancaman adalah reaksi terhadap sesuatu atas
ancaman yang mengancam kepentingan hayati makluk yang
bersangkutan. Ciri agresi ini bersifat defensif.
 Secara umum, mamalia tidak mempunyai dorongan agresif
spontan yang dikekang untuk dilampiaskan manakala ada
kesempatan.
Manusia adalah satu-satunya mamalia pembunuh berskala
besar dan sadis. Mengapa demikian? Akan dibahas pada bab-bab
selanjutnya. Menurut para ahli, banyak binatang di muka bumi ini
yang berperang dengan spesies mereka sendiri; tapi tidak sampai
merusak dan mengacaukan apalagi membunuh. Data ini
mengisyaratkan bahwa tidak ada “kedestruktifan” bawaan dari
spesies mamalia yang diwariskan kepada manusia. Maka tidak
mengherankan kalau manusia hidup dalam dunia yang lebih damai,
sebagaimana hidup simpanse dalam ahbitat alami mereka.
I. Agresi dalam Keterkekangan
Pengkajian tentang agresi antarbinatang, dan terutama
antarprimata, perlu dimulai dengan membedakan antara perilaku
mereka ketika hidup dalam habitat asli dan perilaku mereka
didalam kondisi terkekang, terutama di kebun binatang. Primata di
alam bebas memperlihatkan hanya sedikit agresi, sedangkan
primata di kebun binatang dapat memperlihatkan tingkat
kedestruktifan yang berlebihan. Pembedaan ini sangat penting
untuk memahami agresi manusia, karena manusia pada umumnya
tidak pernah hidup di dalam “habitat alami”-nya, kecuali beberapa
suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris
pertama yang hidup 5000 tahun SM.
Dari banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli,
mereka menyimpulkan bahwa insiden tindakan agresif di kebun
binatang adalah sembilan kali lebih sering terjadi terhadap betina
dan tujuh belas setengah kali lebih sering terjadi pada jantan dewasa
jika dibandingkan dengan di alam bebas. Atau kesimpulan lain
ialah kondisi lingkungan sosial berupa penyempitan ruang gerak
berakibat pada semakin agresifnya perilaku di kalangan spesies
mamalia. Semakin sesak kondisi dalam suatu ruang gerak, semakin
pudar hirarki kekerabatan yang ada.
Southwick menyatakan bahwa ada dua unsur dalam
keberjejalan yang harus dipisahkan. Yang pertama ialah
“menyempitnya ruangan, dan yang kedua ialah “rusaknya struktur
sosial”. Kedua faktor ini sama-sama menimbulkan agresi. Dengan
hilangnya keleluasan akibat penyempitan, binatang merasa
terancam lantaran berkurangnya fungsi-fungsi hayatinya dan
selanjutnya ia akan bereaksi agresif. Keseimbangan sosial yang
memadai merupakan syarat yang diperlukan oleh binatang demi
menjamin keberadaanya. Maka, kerusakan struktur sosial akibat
keberjejalan menimbulkan ancaman besar terhadap eksistensi
binatang. Akibatnya, muncul agresi pemertahanan-diri pada
binatang, terutama ketika binatang tidak lagi sempat
menyelamatkan diri.
Masalah yang paling utama dialami oleh satwa-satwa di
kebun binatang bukanlah keberjejalan, melainkan kurangnya
keleluasan. Binatang-binatang yang dikerengkeng di satu sisi
mendapat makanan dan perlindungan yang cukup, tapi di lain sisi
mereka tidak bisa berbuat banyak. Jadi, keterjaminan Akan
makanan dan perlindungan sekali-kali tidak menjadi jaminan akan
hidup bahagia. Selain makanan, binatang (dan manusia)
memerlukan ruang yang bebas untuk memperlihatkan dan
mengembangkan kemampuan fisik dan mentalnya.
J. Agresi dan Keberjejalan Manusia
Suatu pendapat yang dikemukakan oleh P.Leyhausen
tentang pentingnya kondisi keberjejalan pada keagresifan binatang
yang berpengaruh bagi timbulnya agresi pada manusia. P.
Leyhausen menegaskan bahwa tidak ada pengobatan lain untuk
menyembuhkan “pemberontakan”, “kekerasan” dan “neurosis”
(penyakit saraf) kecuali dengan “menjaga keseimbangan jumlah
individu di dalam masyarakat manusia dan segera mencari sarana
efektif untuk mengendalikannya pada tingkatan optimum.
Dua aspek fakta keberjejalan di masa kini yaitu:
3. Rusaknya struktur sosial yang ada (terutama di wilayah-
wilayah industri di dunia)
Yang terjadi dalam masyarakat industri ialah hilangnya tradisi,
nilai-nilai sosial, dan keterikatan sosial dengan sesama. Dalam
masyarakat modern, manusia merasa terisolir dan kesepian,
sekalipun ia memiliki status keberadaan yang jelas. Dia telah
menjadi atom (tidak dapat dibagi) yang menyatu hanya karena
kepentingan sosial dan ekonomi, meski terkadang juga
merupakan kepentingan yang bertentangan. Emile menamkan
fenomena ini sebagai “anomie” dan mendapati bahwa inilah
yang merupakan penyebab utama bunuh diri yang jumlah
kasusnya meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
industrialisasi.
4. Tidak proporsionalnya jumlah penduduk dengan basis ekonomi
dan sosial yang menopang kehidupan, terutama di belahan
dunia yang tak terindustrialisasi.
Anomi pada masyarakat industri hanya dapat dihilangkan
jika:
4. Seluruh struktur sosial dan spiritual diubah secara radikal.
5. Individu tidak sekedar mendapatkan pangan dan papan yang
memadai, namun juga memiliki kepentingan yang Sama
dengan kepentingan masyarakatnya.
6. Hubungan dengan sesama dan ungkapan jati-diri seseorang-
bukannya konsumsi materi dan perseteruan terhadap sesama-
menjadi prinsip yang mengatur kehidupan sosial dan individu.
K. Agresi di Alam Bebas
Suatu penelitian membuktikan bahwa keagresifan yang
teramati pada kondisi keterkekangan tidak didapati masalah
binatang yang Sama hidup dalam habitat alami mereka. Apabila
struktur sosial secara umum tidak terganggu, maka tidak Akan
banyak muncul perilaku agresif; karena apa pun perilaku agresif
yang muncul, pada dasarnya hanyalah salah satu gerak tubuh atau
bentuk pengancaman. Dikalangan bangsa Kera, baboon memiliki
reputasi kekerasan tertentu, dikalangan Simpanse insiden agresi
yang muncul ternyata begitu rendah.
Pengamatan terhadap simpanse dari Gombe Stream
Reserve, oleh Jane Goodall, pada dasarnya: “perilaku pengancaman
terlihat pada 4 kesempatan sewaktu jantan yang subordinat
berupaya mengambil makanan di depan jantan yang lebih
dominan… Contoh-contoh penyerangan jarang teramati dan jantan
dewasa tampak berkelahi hanya dalam satu kesempatan”
Sebalinya, terdapat, “sejumlah kegiatan dan gerak tubuh semisal
perilaku saling membersihkan bulu, dan bercanda.
L. Teritorialisme dan Dominasi
Gambaran umum tentang keagresifan binatang kebanyakan
di pengaruhi oleh konsep teritorialisme. Terdapat cukup alasan
untuk menyatakan pendapat yang keliru dari suatu anggapan bahwa
kesan dari Robert Ardrey lewat karyanya yang berjudul Territorial
Imperative beranggapan bahwa, insting yang menguasai manusia
dalam mempertahankan wilayahnya merupakan warisan dari
binatang yang menjadi leluhurnya. Salah satu alasannya yakni,
banyak spesies binatang yang tidak sesuai dengan penggambaran
yang diberikan oleh konsep territorial.
N. Tinbergen membedakan antara teritorialisme spesises
dengan teritorialisme individu: “ketampakan jelas bahwa dari
wilayah atau territorial dipilih terutama berdasarkan sifat-sifat yang
sesuai dengan reaksi bawaan pada binatang. Dari uraian tentang
primata diketahui bahwa betapa seringnya didapati territorial yang
tumpang tindih, bahwa berbagai macam kelompok primata
sangatlah toleran dan fleksibel dalam urusan territorial dan tidak
menjajikan gambaran yang memadai untuk dianalogikan dengan
realita komunitas masyarakat. Asumsi bahwa teritorialisme
merupakan landasan keagresifan manusia adalah keliru karena
masih ada alasan yang lain.
Perlengkapan insting pada binatang memiliki fungsi seperti
peraturan resmi yang berlaku pada manusia. Dengan demikian,
insting tidak lagi terpakai jika sudah ada cara-cara simbolis yang
lainuntuk menandai wilayah dan memberi peringatan “dilarang
melintas”. Dalam banyak spesies, didapati bahwa sebuah kelompok
disusun secara hierarki. Misalnya; jantan yang terkuat mendapat
hak istimewa untuk memperoleh makanan, pasangan, dan layangan
yang melebihi jantan lain pada tatanan yang lebih rendah dalam
hierarki tersebut. Akan tetapi teritorialisme yang mendominasi,
tidak didapati pada semua binatang baik pada vertebrata dan
mamalia.
Dominasi kalangan primate non-manusia menemukan
perbedaan yang sangat besar antara spesies kera sepeti baboon dan
macaque yang diketahui memiliki sistem hierarki yang lebih maju
dan ketat. Menurut penelitian (Schaller) bahwa: terdapat pada
kekuasaan yang sering terjadi disepanjang jejak atau jalan setapak
yang sempit, sewaktu seekor binatang mengklaim hak atas jalan
atau tempat duduk, dan ketika binatang yang kuat mengambil alih
posisi binatang yang lemah. Dalam pengamatan dari simpanse (V.
dan F. Reynold) mengatakan: tidak ada bukti tentang dominasi
ginaris diantara jantan atau betina, dan tidak ada pemimpin tetap
atas suatu kelompok.
Menurut pengamatan diatas, ada juga yang menyanggahnya
(T.E. Rowell), dia berkesimpulan bahwa “bahwa hierarki
tampaknya dipertahankan, terutama dengan pola-pola perilaku
subordinat, oleh binatang dengan peringkat rendah, bukannya
yang berperingkat tinggi”.
W.A. Manson juga memaparkan keberatannya berdasarkan
penelitiannya tentang simpanse, bahwa “dominasi” dan
“subordinasi” hanyalah pengistilahan konvensional atas fakta
bahwa acapkali simpanse berada dalam hubungan si pengancam
(intimidator) dan siterancam (intimidated). Tandasnya lagi, tidak
ada indikasi bahwa kelompok-kelompok simpanse secara
keseluruhan terorganisir secara hirarkis; dan tidak pula terdapat
bukti menyakinkan tentang dorongan otonom untuk mendapatkan
supremasi sosial. Dengan demikian, Dominasi dan Subordinasi
dapat dianggap sebagai dampak-samping alamiah dari hubungan
sosial, sekaligus merupakan salah satu sisi dari hubungan antara
dua individu
Peranan dominasi di kalangan binatang, sepertinya sangat
jelas bahwa binatang yang dominan tetap harus memiliki
kesesuaian dengan peranannya itu, yakni memiliki kekuatan fisik
lebih besar, kebijaksanaan dan kemampuan lebih tinggi atau pun
yang membuatnya diakui sebagai pemimpin. Hal ini bisa diamati
dari seekor kera, yang oleh eksperimen J.M.R. Delgado (1967).
Menyatakan bahwa, jika binatang yang dominankehilangan sifat-
sifat unggulnya, meski untuk sementara, maka peranannya sebagai
penguasa Akan berakhir. Dalam sejarah manusia juga, pada sistem
sosial mengkodisikan manusia untuk melihat pangkat, seragam,
kedudukan atau hal yang formal yang memperlihatkan
kompetensinya pada diri seorang pemimpin dan simbol-simbol ini
yang didukung oleh keseluruhan sistem yang ada.
M. Keagresifan di Kalangan Mamalia Lain
Dikalangan mamalia yang paling agresif, salah satunya
tikus. Intesitas keagresifannya tidak setinggi yang di analisis oleh
Lorenz. Sally carringhar menyoroti perbedaan antara eksperimen
terhadap tikus Wirog, yang dikutip Lorenz untuk mendukung
hipotesisnya. Menurut eksperimen Lorenz, Steiner menempatkan
tikus-tikus wirog warna coklat, yang ditangkap dari beberapa lokasi
lalu dimasukkan keruangan yang menyerupai kondisi kehidupan
yang alami mereka. Awalnya, diantara tikus-tikus itu, sama-sama
takut tidak menampakkan suasana agresif, namun akhirnya saling
menggigit dan jika bertemu mereka berlarian hingga keduanya
berbenturan keras dengan kecepatan tinggi. Berbeda dengan
vertebrata dan invertebrate tingkat rendah yang dinyatakan oleh J.P.
Scott, salah seorang pakar agresi binatang yang terkemuka. Begitu
juga dikalangan ikan dan reptile. Ia menuliskan: faktor-faktor
fisiologi dan emosi yang kedapatan dalam sistem perilaku
agonistic, dengan demikian, sangat berbeda dari faktor-faktor yang
ada pada perilaku seksual dan ingestif (makan). Dan lebih dari situ,
pada kondisi alamiah, perilaku permusuhan dan agresi, dalam arti
perilaku agonistic yang destruktif dan maladaftif sulit ditemukan
dalam komunitas binatang.
N. Apakah manusia memiliki sarana pencegah dorongan membunuh?
Dari serangkaian penjelasan Lorenz yang terpenting ialah
mengenai agresi manusia adalah hipotesisnya bahwa manusia
berbeda dengan binatang pemangsa, tidak memiliki sarana naluriah
untuk mencegah dorongan membunuh sesamanya. Hal ini
dijelaskan bahwa asumsi manusia seperti halnya binatang non-
pemangsa, tidak memiliki senjata fisik seperti cakar, taring, sengat
dan sebagainya. Karenanya tidak memerlukan sarana pencegah
naluriah. Jika manusia memiliki senjata-senjata fisik seperti yang
dicirikan diatas maka tentu Akan sangat berbahaya.
Benarkah manusia memang tidak memiliki sarana naluriah
untuk mencegah dorongan membunuh? Beberapa bukti bahwa
pencegahan semacam itu ada dan perasaan bersalah Akan muncul
setelah tindak pembunuhan. Dari reaksi yang dicermati dalam
kehidupan sehari-hari, dapat dengan midah ditelusuri bahwa unsur-
unsur keakraban dan perasaan memainkan peranan dalam
memunculkan pencegahan pembunuhan. Bahwasannya, banyak
orang yang jelas-jelas memperlihatkan keengganan membunuh
atau memakan daging binatang yang mereka akrabi atau pelihara.
Boleh jadi, memang ada perasaan bersalah, disadari ataupun tidak,
ataupun ada empati khusus.
Dalam masyarakat primitive, umumnya mereka enggan
membunuh anggota kelompoknya dan jika hal itu terjadi maka dia
tidak Akan dianggap sebagai saudara dan acapkali diasingkan
sebagai hukuman terberat. Hal ini tercatat dalam hukum Kain
dalam Bible. Juga seperti yang terjadi pada peradaban tinggi
semisal Yunani, pada perang dunia yang pertama, pada peristiwa
perang Vietnam. Bahkan kata pembunuhan di haluskan menjadi
“pembersihan”. Cara lain untuk menjadikan pihak musuh dianggap
sebagai bukan manusia adalah dengan memutuskan ikatan perasaan
dengan mereka.
Ada bukti klinis yang sangat memadai untuk mendukung
asumsi bahwa agresi destruktif terjadi, seiring dengan hapusnya
perasaan, baik yang akut maupun yang kronis. Kapan saja pihak
lain tidak merasa sebagai manusia, tindak kedekstruktifan dan
kekejaman Akan memiliki kualitas yang berbeda. Contohnya: jika
seorang Budha atau Hindu yang asalkan memiliki rasa empati yang
murni dan mendalam terhadap binatang dan melihat seorang awam
modern yang dengan cueknya membunuhi lalat, ia boleh jadi
menilai tindakan itu sebagai ungkapan perasaan yang bebal dan
amat kejam. Namun jika demikian penilaiannya berarti ia keliru.
Karena yang sesungguhnya adalah bahwa bagi kebanyakan orang
lalat bukanlah makhluk yang berperasaan dan karena itu ia layak
untuk dibunuh.
VI. Penutup
Neurufisiologi adalah bagian atau cabang ilmu fisiologi
yang mempelajari tentang fungsi sistem syaraf. Kerusakan pada
sistem syaraf baik pada manusia maupun pada binatang Akan
menimbulkan suatu tingkah laku yang tak lazim pada manusia
maupun pada binatang. Kerusakan pada sistem syaraf bukanlah
satu-satunya pemicu utama munculnya agresi atau tingkah laku
yang tak lazim pada binatang atau manusia. Kerusakan tatanan
sosial bahkan mempunyai pengaruh yang lebih besar pada
perubahan agresi pada binatang maupun manusia.
Agresi merupakan respon terhadap segala sesuatu yang
mengancam kelangsungan hidup atau kepentingan hayati. Agresi
ini dapat dipilah-pilah menjadi beberapa bagian, yaitu agresi
penyelamatan-diri, merupakan jenis agresi yang lebih efektif
karena tidak bersifat merusak atau membunuh. Yang kedua ialah
agresi perlawanan, merupakan jenis agresi yang muncul akibat
tertutupnya kemungkinan untuk menyelamatkan diri, maka satu-
satunya Cara untuk mempertahankan kehidupan ialah dengan
melakukan perlawanan. Sedangkan yang ketiga ialah agresi
pemangsaan, merupakan jenis agresi yang didorong oleh tujuan
untuk memperoleh makanan.

Anda mungkin juga menyukai