Anda di halaman 1dari 14

MAKNA SIMBOLIK RITUS MARTUTUAEK BATAK TOBA

Suatu Ritual Peralihan dari yang Profan ke Unsur-unsur Sakral

*Honoratus Zebua (180510032), & **Paulus Phan Van Nhuong (180510095)

Abstrak

Manusia adalah makhluk simbolik. Simbol mempunyai arti penting dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan manusia, simbol menjadi cara yang efektif untuk menghayati tindakannya.
Dengan simbol, manusia mampu bergerak ke tingkat penghayatan yang lebih transendental.
Demikian halnya bagi orang Batak Toba. Simbol bagi orang Batak Toba digunakan untuk
mengkomunikasikan konsep yang mendasar tentang kehidupan, yaitu harmoni. Salah satu
simbol yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, ialah
ritus martutuaek. Ritus martutuaek memiliki makna simbolik yang berkaitan dengan konsep
penciptaan masyarakat Batak Toba. Makna simbolik ritus martutuaek mengungkapkan relasi
manusia dengan alam, manusia dan Mulajadi Na Bolon (pencipta sekaligus penguasa alam
semesta), penciptaan dunia baru, pengusiran roh-roh jahat, penyucian, dan harapan. Simbol-
simbol ini sekarang makin lama semakin kurang dimaknai dan kurang menarik lagi bagi
masyarakat Batak Toba. Ada apa dengan ini? Mengapa?

Keyword: Ritus, ritus martutuaek, makna simbolik martutuaek, penciptaan dunia baru,
bersatu dengan Mulajadi Na Bolon.

Sumber dari Youtobe: https://www.youtube.com/watch?v=ZTnGBhjTiEE

Video singkat berdasarkan alamat web di atas ialah salah satu peristiwa ritus
martutuaek yang dipraktekkan oleh aliran kepercayaan parmalim di Tanah Batak Toba. Ritus
ini dilakukan dalam suasana sakral yang penuh dengan ritual-ritual. Ritus martutuaek
biasanya dilakukan berdasarkan kalender/penanggalan tradisional Batak Toba. Tujuan utama
dari ritus martutuaek ialah untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si bayi yang
baru lahir telah dipemandikan dan diberi nama, serta untuk memulihkan relasi manusia
dengan Mulajadi Na Bolon yang sempat retak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan
utama dari ritus ini ialah untuk memisahkan unsur-unsur profan dengan unsur-unsur sakral.

1
Pendahuluan

Manusia adalah makhluk dinamis. Manusia sebagai makhluk dinamis akan mengalami
perubahan dari satu fase yang lebih rendah ke fase yang lebih tinggi. Untuk melewati fase-
fase itu perlu diadakan berbagai ritual-ritual yang disebut ritus peralihan. Salah satu ritus
peralihan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ialah ritus martutuaek. Ritus martutuaek
sering juga disebut sebagai upacara memandikan dan pemberian nama kepada seorang anak
yang berumur 7-21 hari. Pemimpin ritus ini ialah seorang datu (dukun). Ritus ini
mengandung unsur-unsur simbolik. Unsur simbolik dalam pelaksanaan ritus martutuaek
mengandung makna riligiositas dan sekaligus spiritual. Kelompok masyarakat Batak Toba
yang mempraktekkan ritus ini ialah masyarakat yang beraliran parmalim (suatu sekte agama
tradisional Batak Toba). Ritus ini masih dilakukan sampai sekarang. Akan tetapi ritus
martutuaek tidak terlalu populer lagi karena munculnya pergeseran sistem kepercayaan orang
Batak Toba yang bersifat magis ke sistem kepercayaan agama-agama modern (khususnya
Islam, Kristen). Alasan kedua, ialah penghayatan generasi muda Batak Toba semakin menipis
terhadap nilai-nilai budayanya. Mengapa? Ada apa dengan martutuaek? Apa yang
sebenarnya ada dibalik unsur-unsur simbolik ritus martutuaek? Apa makna terdalam yang
terkandung dalam tindakan simbolik ritus martutuaek menurut paham orang Batak Toba? Hal
ini merupakan suatu hal yang menarik untuk digali lebih dalam agar fenomena martutuaek
dapat relevan dengan kehidupan masyarakat Batak Toba dari waktu ke waktu.

Ritus

Ritus merupakan aktivitas simbolis yang paling tua, kompleks dan menetap, yang
dilaksanakan oleh suatu anggota masyarakat untuk beralih dari waktu profan ke waktu yang
lebih sakral.1 Peralihan itu terjadi ketika suatu masyarakat medramatisasikan kembali
tindakan para leluhurnya yang mengandung makna simbolik demi memulihkan tata alam dan
menjalin harmoni dengan yang ilahi. Pada saat pelaksanaan ritus subjek ritus mengatasi
kondisi manusiawinya; subjek ritus keluar dari waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu
awal-mula yang sakral. Dengan demikian subjek ritus dihantar ke dalam tempat kudus yang
menjadi pusat dunia.2

Pada hakikatnya ritus merupakan gambaran atau prototipe yang suci. Itulah sebabnya
pada saat melaksanakan suatu ritus subjek ritus kembali mengulangi dan mengingat tindakan

1
P. S. Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade..., hlm. 43.
2
Mircea Eliade, Myth and Reality (London: George Allen and Unwin LTD, 1964), hlm. 41.

2
para leluhurnya dan peristiwa-peristiwa yang primordial. Peristiwa-peristiwa tersebut
dipelihara dan disalurkan menjadi dasar masyarakat untuk meperbarui fungsi-fungsi hidup
anggota kelompok suatu bangsa jika terjadi disharmoni.3 Jadi, pelaksanaan suatu ritus untuk
menjalin relasi yang harmonis antara subjek ritus dengan Pencipta dan untuk menjamin
perubahan status individu dalam masyarakat dan mengantar individu kepada situasi
keberadaan atau status yang baru.

Pada umumnya ritus mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: pertama, untuk mengontrol
perilaku komunitas dalam situasi-situasi krisis; kedua, untuk menjamin peralihan subjek ritus
dari situasi krisis ke aktivitas sosial yang normal. Pada tahap ini juga ritus bertujuan untuk
menjamin penerimaan secara resmi subjek dari suatu status sosial yang rendah ke status
sosial yang lebih tinggi. Tujuan yang ketiga ialah untuk menjalin kembali keseimbangan atas
perubahan yang tidak diinginkan oleh subjek ritus. Perubahan itu pada umumnya bersifat
koreksi untuk memulihkan keseimbangan alam atau kualitas baru dalam sistem masyarakat. 4
Jadi semua ritus diarahkan pada masalah transformasi status baik manusia maupun alam.

Dalam kehidupan berkomunitas manusia akan mengalami perubahan status dari status
yang sederhana ke status yang lebih tinggi. Pada masa transisi ini biasanya terjadi gangguan
yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Salah-satu cara untuk mengatasi bahaya ini
adalah melaksanakan suatu ritus. Suatu ritus berfungsi: pertama, untuk mengambil hati para
leluhur yang diungkapkan lewat doa-doa yang agung dan pemberian sesaji. Kedua, sebagai
mekanisme rekonsiliasi sosial dan reintegrasi setelah suatu masa tidak harmonis akibat
kecemasan-kecemasan pribadi dalam hidup bersama.5 Demikianlah makna, tujuan dan fungsi
ritus.

Ritus Martutuaek

Ritus martutuaek adalah salah satu ritus inisiasi orang Batak Toba. Ritus martutuaek
merupakan ritus penting bagi bayi yang telah berusia 7-21 hari. Bayi tersebut di bawa ke
mata air atau pancuran untuk dipermandikan, kemudian sekembalinya dari pancuran si bayi

3
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 174.
4
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., hlm. 180.
5
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., hlm. 182.

3
diberi nama. Itulah sebabnya ritus ini sering dinamakan upacara mampe goar (pemberian
nama).6

Ritus martutuaek mempunyai makna untuk mengembalikan bayi yang baru lahir
menjalani ritus kepada status yang penuh kebahagiaan. Status kebahagiaan itu dilukiskan
dengan adanya hubungan intim dengan Mulajadi Na Bolon dengan manusia. Pengembalian
anak pada status bahagia ini terjadi di saat datu mereciki tubuh bayi dengan air. Air bagi
orang Batak Toba mempunyai khasiat yang berkaitan erat dengan hidup manusia. Dengan
demikian ritus martutuaek dapat dihayati sebagai penyucian bayi, penghapusan unsur lama
yang ada pada si bayi dan menghantarnya pada status arkhais.7

Seluruh pelaksanaan ritus martutuaek dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap
persiapan, tahap prosesi yang diakhiri dengan pemandian bayi, dan tahap pemilihan atau
pemilihan nama.8

Tahap persiapan, dimulai pada sore sebelum pesta. Pada saat persiapan ini diadakan
kegiatan membuat kue tumbukan dari beras yaitu itak dan pengumpulan rudang (kembang
haruman) yang akan dipersembahkan di samping seekor manuk na bottar (ayam berwarna
putih). Tahap persipan ini bertujuan untuk meramal nasib si bayi di masa yang akan datang.

Kemudian pada waktu senja, seorang dari pihak parboru diutus untuk membersihkan
jalan mulai dari halaman rumah sampai ke pancuran (tempat pelaksaan ritus). Ia menyiangi
jalan dari rumput atau lindungan pohon sekaligus menggali lobang-lobang kecil dengan
mengunakan sejenis giringan. Lobang-lobang kecil berfungsi sebagai tempat peletakan sesaji
kepada Boras Pati Ni Tano (penguasa dunia bawah). Ia sekaligus meletakkan sebagian dari
itak (kue persembahan orang Batak Toba) di persimpangan jalan, lembah dan tikungan jalan
yang dianggap berpenghuni sampai menuju pancuran. Kue persembahan itu diletakkan di atas
bulung ni latteung9, yang sekaligus berfungsi sebagai penutup lobang dengan maksud untuk
menghalau roh jahat.10

6
Bungaran Antonius Simanjuntak, Upacara Kelahiran pada Masyarakat Batak Toba (Jakarta: Balai
Pustaka, 1985), hlm. 61.
7
Anicetus Bongsu Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak…, , hlm. 30-31.
8
Anicetus Bongsu Sinaga, Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak (Medan: Bina
Media, 2004), hlm. 318.
9
Bulung ni latteung sejenis daun yang lembut tetapi berbulu dan gatal. Bulung ni Latteung merupakan
tempat persembahan yang berfungsi untuk menangkal kekuatan roh jahat.
10
Anicetus Bongsu Sinaga, Dendang Bakti…, (Medan: Bina Media, 2004), hlm. 319.

4
Tahap kedua, prosesi ke pancuran. Tahap ini dilaksanakan pagi hari ketika matahari
terbit kira-kira pukul 06.00. Ibu bayi menimang bayinya. Dalam pelaksanaan ritus ini ibu
bayi biasanya harus menimang bayinya, mengapa? Karena tubuh bayi belum begitu kuat
sehingga belum bisa digendong. Kemudian datu sebagai pemimpin prosesi berjalan di barisan
paling depan sambil mengebaskan pedangnya ke kanan-kiri seraya mengucapkan mantra
untuk mengusir roh-roh halus yang mungkin mengganggu pelaksanaan ritus. Di belakang
datu menyusul seorang petugas pembawa api yang ditaruh di atas sebuah ngarngar.
Selanjutnya menyusul ayah bayi dan rombongan keluarga atau undangan lainnya dengan
sikap penuh hormat dan khidmat.11

Ketika rombongan tiba di pancuran, sebuah piramide pasir didirikan dan terusan kecil
(kanal) digali di sekeliling piramide sehingga menyerupai pulau kecil. Puncak piramide pasir
diratakan dibawa pengawasan datu. Kira-kira tiga meter dari piramide itu dinyalakan api
yang akan digunakan untuk membakar dupa. Piramide didupai oleh datu, kemudian ia
meletakkan napuran (sirih) beserta itak sebagai persembahan.12

Dupa dipadamkan, ulos ragi idup dibentangkan di atas piramide. Bayi dibaringkan di
atasnya dengan telentang. Kemudian datu mencedok air dan dituangkan kepada bayi seraya
mengucapkan tonggo (doa atau mantra) berikut ini:

Hai anakku, hari ini engkau telah kubawa ke sumber air ini, sejak saat inilah engkau
kupermandikan di sumber air ini. Semoga engkau selalu dalam keadaan sehat walafiat.
Sekarang aku-akan- menjauhkan jiwa dan ragamu dari segala ganguan roh jahat. Inilah
tandamu yakni itak gurgur. Semoga engkau suci seperti itak ini. Dan semoga orang tuamu
selalu mendapat rejeki untuk mendidikmu.”13

Biasanya setelah datu mencedokkan air pada tubuh si bayi, si bayi menagis. Tangisan
bayi dipandang oleh para undangan bukan sebagai pertanda bahaya melainkan wajah mereka
berseri-seri seraya menyerukan: Sai lam tu toropna ma soara ni anak manang boru on
tujoloan ni ari on (semoga makin banyak suara putra atau putri ini di masa yang akan
datang). Lalu, sang ibu mengambil bayinya dan membendungnya dengan ulos ragi idup.
Kendati ulos itu basah dan dingin tetapi sang ibu tidak menggunakan kain lain selain ulos

11
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba (Pematangsiantar:
ST. Teologi Katolik, 1979), hlm. 2-3.
12
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 5.
13
Raja Guru Kander Manurung, Pustaha Turasi-Turasi Na Jempek Par-Debata-on ni Ugamo
Parmalim (Medan: [tanpa penerbit], hlm. 185.

5
yang penuh makna itu. Kemudian hadirin pulang ke rumah pesta secara informil dan pesta di
teruskan di rumah.

Tahap ketiga ialah pemilihan nama bayi. Sebelum pemilihan nama bayi sang datu
mengambil air lalu mempersiapkan aek pangurason (air penyucian). Kemudian seluruh
rumah direciki: ruang tidur, tungku, dan alat-alat dapur, pintu, kandang peliharaan dan sekitar
rumah. Lalu dilanjutkan dengan upacara makan bersama sebagai tanda kebahagiaan keluarga
bayi. Selanjutnya, diadakan upacara mandok hata sidenggandenggan (bicara secara adat
Batak)14 Diskusi ini diakhiri dengan mappe goar (pemilihan nama bayi) dan pembagian itak
gurgur kepada semua hadirin sebagai tanda bahwa bayi yang baru lahir itu telah diberi nama.
Dengan demikian, rangkaian acara selesai.

Makna Simbolik Martutuaek

Pada awal mula segala seni adalah religius.15 Religiositas pada hakikatnya berbeda
dengan agama yang sifatnya lebih formal. Religiositas lebih melihat aspek yang di dalam
lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi
orang lain, karena mencakup totalitas kedalaman personal manusia. Religiositas lebih
bergerak dalam paguyuban yang sifatnya lebih intim. Lebih dalam lagi, riligiositas tidak
bekerja dalam tuntunan atau di bawah bayang-bayang ratio manusia tetapi dalam
penghayatan dan pengalaman. Dalam nuansa religiositas, yang menjadi dambaan setiap
manusia adalah ingin hidup dalam kekudusan.

Salah satu fungsi seni adalah sebagai sarana ritual keagamaan. Tujuannya untuk
mendekatkan yang bersifat ilahi dengan manusia, pemujanya. Hal tersebut lantas dilakukan
dengan membuat penggambaran atau patung dari dewa-dewi tersebut atau dengan
membangun tempat-tempat untuk melakukan ritual-ritual keagamaan.16

Umumnya setiap pribadi dalam masyarakat Batak Toba merasa ungkapan kedalaman
hati mereka tida pernah terungkap secara penuh dalam bahasa verbal. Ungkapan kedalaman
hati mereka baru terungkap secara penuh lewat simbol-simbol dalam setiap kegiatan mereka
secara khusus lewat aktivitas yang sifatnya sakral. Simbol tersebut berfungsi untuk
mengkomunikasikan konsep yang mendasar tentang kehidupan, yaitu harmoni. Konsep itu
berkaitan dengan pemakanaan relasi orang Batak Toba terhadap alam semesta dan keyakinan

14
Bungaran Antonius Simanjuntak, Upacara Kelahiran pada Masyarakat Batak Toba…, hlm. 61.
15
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 11
16
Lingga Agung, Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika (Yogyakarta: Kanisius, 2017), hlm. 17.

6
akan hal-hal yang Ilahi. Salah satu ritual yang mempunyai simbol-simbol yang sangat
bermakna bagi kehidupan orang Batak Toba ialah simbol-simbol dalam ritus Martutuaek.
Ritus martutuaek menjadi media komunikatif orang Batak Toba dalam usaha
mengkonkritkan pola pemikirannya.

Adapun langkah-langkah pelaksanaan ritus martutuaek dan makna simboliknya, ialah


sebagai berikut:

1. Pembebasan dari Kuasa Jahat (Begu)


Para leluhur orang Batak Toba sangat meyakini adanya kekuatan gaib di alam semesta
ini. Roh-roh itu menurut mereka mempunyai kualitas individu yang berbeda-beda; ada yang
baik dan ada yang jahat. Roh yang baik dapat membawa berkah, dan yang jahat
menyebabkan malapetaka bagi manusia. Roh-roh itu menurut mereka terdiri dari roh orang
yang telah meninggal, roh-roh alam, dan roh-roh yang sifatnya semata-mata menyusahkan
orang (begu na jahat).
Orang Batak Toba meyakini bahwa begu dan banua toru adalah asal dari segala roh
jahat dipimpin oleh Naga Padoha. Biasanya peristiwa kematian, musibah dan penyakit
senantiasa dikaitkan dengan banua toru sebagai asal dari segala begu na jahat (roh jahat).
Kuasa jahat itu senantiasa menggangu dan mengancam hidup manusia. Keadaan seperti itu
hanya dapat diatasi dengan ritus pengusiran begu yang di dalam fase inisiasi dapat diamati
pada pelaksanaan martutuaek. Dalam ritus ini tindakan pengusiran begu na jahat disimbolkan
dengan:
Pertama, peletakan itak di jalan menuju ke pancuran. Biasanya, jalan menuju pancuran
dikitari banyak pepohonan yang diyakini oleh orang Batak Toba berpenghuni begu yang
dapat mengganggu jalannya ritus. Agar ritus dan bayi tidak terganggu perlu dibuat suatu
penghalang ataupun pengusiran begu yang disimbolkan dengan peletakan itak di sepanjang
jalan, di setiap persimpangan, dan di setiap pohon yang diyakini berpenghuni ketika
berprosesi ke pancuran.17 Makna simbolik dari peletakan itak adalah sebagai penangkal roh-
roh jahat yang bersembunyi di sepanjang jalan menuju pancuran. Begu-begu itu dapat
mengganggu jalannya ritus dan menularkan berbagai jenis penyakit bahkan penyakit yang
mematikan bayi tersebut. Jadi, dengan peletakan itak, bayi tersebut terlindung dari ancaman
bahaya maut.

17
Anicetus Bongsu Sinaga, Dendang Bakti…, (Medan: Bina Media, 2004), hlm. 132.

7
Peletakan itak di persimpangan jalan menuju pancuran hendak menunjukkan salah satu
cara orang Batak Toba untuk menipu penguasa banua toru bersama antek-anteknya. Orang
Batak Toba menipunya dengan memberi sesajen. Sesajen itu dibuat untuk mengalihkan
perhatian penguasa banua toru di mana mereka akan sibuk menyantap sesajen yang terhidang
sehingga tidak mengganggu jalannya ritus.
Kedua, Pengebasan Podang oleh Datu. Tindakan pengibasan podang (pedang)
dilakukan oleh datu. Tindakan ini hendak mengungkapkan perjuangan Mulajadi Na Bolon
bersama Si Boru Deang Parujar dalam melawan Naga Padoha. Dengan pengibasan podang
itu, diyakini bahwa begu yang berada di sepanjang jalan akan tertikam sehingga tidak lagi
mengganggu pelaksanaan ritus.
Menurut Anicetus Bongsu Sinaga, makna tindakan pengibasan podang dapat digali
juga dari mantra yang diucapkan oleh datu pada saat memulai prosesi. Mantra tersebut
berbunyi: “agar kami memiliki pisau pengawas di muka, pisau pengawas di belakang,
pengawas jambalang toba, guna-gunaan nan tujuh”.18 Artinya, subjek ritus pada saat
melaksanakan ritus mendapat perlindungan dari Mulajadi Na Bolon demi melawan begu na
jahat yang dapat mengganggu jalannya ritus tersebut.

2. Penciptaan Dunia Baru


Orang Batak Toba melihat bahwa dunia yang sekarang adalah dunia yang telah didiami
oleh makhluk-makhluk yang berdaging dan berdarah yang berada di bawah hukum natural.
Oleh karena itu, dunia perlu diperbarui kembali. Salah satu cara untuk memperbaruinya ialah
dengan melakukan ritus-ritus sakral, salah satunya ialah melalui ritus martutuaek.19
Penciptaan dunia baru dalam ritus martutuaek dapat disimbolkan dengan tindakan-tindakan
berikut:
Pertama, pembentukan piramide. Piramide merupakan salah satu unsur paling esensial
dari ritus martutuaek, Piramide ini terbentuk dari pasir yang dibentuk oleh subjek ritus
menyerupai bentuk piramida. Tumpukan pasir (piramide) ini disebut horsik na niarsihan tano
na ni hatian (pasir yang dikeringkan, tanah atau bumi yang tercinta). Dalam simbol piramide
ini ada dua makna yang hendak diungkapkan, yakni pasir dan tanah tercinta.
Pasir. Berdasarkan mitos yang dikenal oleh orang Batak Toba, pasir adalah materi
utama yang digunakan oleh Si Boru Daeng Parujar untuk membentuk banua tonga. Dari
mitos itu, pasir itu dulunya basah kemudian lama-kelamaan bertambah kering sampai

18
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 24.
19
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 27-28.

8
membentuk suatu daratan yang dapat dihuni oleh makhluk hidup. Itulah sebabnya daratan
tersebut disebut pasir yang dikeringkan.
Tanah tercinta. Sebutan tanah tercinta sebenarnya berawal dari sebuah mitos tentang
penciptaan. Dikisahkan: setelah Si Boru Deang Parujar bersusah payah untuk membentuk
banua tonga, suatu ketika raja padoha meruntuhkannya. Akan tetapi ia tetap berusaha untuk
membentuknya dengan meminta pertolongan dari Mulajadi Na Bolon. Mulajadi Na Bolon
membantunya dengan syarat setelah selesai pembentukan banua tonga ia akan kembali ke
banua ginjang. Ketika banua tonga selesai diciptakan Si Boru Deang Parujar menolak
permohonan Mulajadi Na Bolon dengan berkata “saya lebih suka tinggal di sini daripada
kemabali ke banua ginjang”. Dengan demikian Si Boru Deang Parujar telah manombang
(beremigrasi) dari banua ginjang ke banua tonga dan berkenan untuk tinggal di banua tonga.
Inilah bukti kecintaannya.20
Dari uraian di atas tampak tindakan penciptaan bumi baru, yang didramatisasikan
dengan membentuk onggokan pasir. Maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan piramide
pasir merupakan representasi penciptaan dunia baru. Makna simbolik pembentukan piramide
ialah sebagai dramatisasi penciptaan banua tonga. Banua tonga kembali diciptakan dalam
keadaan kudus, suci. Bayi yang menjalani ritus dihantar pada keadaan dunia yang masih
kudus dan asali sebagaimana waktu diciptakan oleh Mulajadi Na Bolon. Serta, bayi
dihindarkan dari dunia profan yang penuh dengan kuasa-kuasa destruktif.21
Kedua, penggalian kanal. Penggalian kanal adalah simbol dari lautan arkhais yang tak
terbatas. Tindakan ini juga untuk mengingatkan subjek ritus bahwa dunia ini dulu diciptakan
oleh Mulajadi Na Bolon dari lautan yang luas lewat bantuan Si Boru Deang Parujar.
Dalam pelaksanaan ritus martutuaek penggalian kanal ini bermakna simbolik sebagai
penciptaan sumber air yang baru. Air merupakan unsur yang paling penting bagi kehidupan
manusia.
Ketiga, penyalaan api. Api dapat mengacu pada sedemikian banyak manfaat, dan
kepada sedemikian banyak bahaya. Api juga memainkan peranan penting dalam mitologi,
legenda, puisi dan dalam sejarah. Api berfungsi sebagai simbol penghancur.22
Pemahaman seperti diuraikan di atas juga dipegang erat oleh orang Batak Toba
khususnya pada saat pelaksanaan ritus martutuaek. Ketika melaksanakan ritus martutuaek
subjek ritus menyalakan api. Pada pelaksanaan ritus ini, api berfungsi sebagai simbol

20
Anicetus Bongsu Sinaga, Dendang Bakti…, (Medan: Bina Media, 2004), hlm. 123.
21
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 30.
22
F. W. Dillistone, The Power of Symbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 67-68.

9
penghancur kekuatan jahat yang diresivir atas kekalahan raja padoha. Di sisi lain api juga
berfungsi sebagi simbol kemahakuasaan Mulajadi Na Bolon.23

3. Usaha Manusia untuk bersatu dengan Mulajadi Na Bolon


Upaya manusia untuk mencapai suatu harmoni dengan kosmos merupakan bagian dari
keinginan manusia untuk menjalin harmoni dengan Pencipta alam semesta. Perjalanan hidup
manusia diarahkan pada pencarian asal-usul hidupnya, menyadari kehadiran Pencipta dalam
kehidupannya sehari-hari, dan akhirnya bersatu dengan-Nya secara intim. Perjalanan hidup
manusia sampai pada kesatuan atau harmoni dengan Pencipta secara simbolik dapat juga
dicermati dalam tindakan pelaksanaan suatu ritus. Dalam pelaksanaan ritus martutuaek usaha
manusia untuk bersatu dengan Mulajadi Na Bolon disimbolkan dengan martonggo24 yang
disampaikan oleh pemimpin ritus dan peletakan pelean (pemberian) di atas piramide.

4. Harmoni manusia dengan alam


Manusia sejatinya tidak dapat mencapai kesatuan dengan Sang Pencipta jika tanpa
memperhatikan hal-hal natural yang ada di luar dirinya. Totalitas di luar diri manusia
memang diarahkan pada Sang Pencipta sebagai tujuan akhir hidupnya. Hal ini berarti totalitas
manusia tidak begitu saja terpisah dari segala sesuatu di luar dirinya. Manusia tetap harus
menyadari dirinya sebagai bagian dari alam, bahkan manusia menjadi pusat alam semesta
karena martabat yang diperolehnya.
Fransiskus Assisi adalah salah satu orang kudus dalam Gereja Katolik. Karena
kecintaannya pada alam semesta, Paus Yohanes Paulus II menobatkannya menjadi pelindung
ekologi pada tanggal 29 November 1975.25 Fransiskus melihat alam semesta sebagai wajah
Sang Mahaluhur, Mahabaik, Mahakuasa, Mahamurah dan Mahaindah.
Paham di atas sesuai dengan pemikiran orang Batak Toba yang totalistik-sistematis,
kesatuan itu terefleksi dalam bentuk harmoni dengan alam semesta. Kosmos pada hakekatnya
bukanlah tumpukkan benda yang tidak teratur, melainkan kenyataan yang penuh keindahan
dan kekayaan. Dari pihak manusia sebagai pusat alam semesta dituntut untuk menjaga
kosmos yang harmonis semaksimal mungkin dan itu merupakan putusan serta pilihan aktual

23
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 30.
24
Tonggo: doa-doa yang disampaikan pada saat pelaksanaan suatu ritus atau upacara Batak Toba ya-
ng disertai dengan penyelenggaraan upacara kurban. [Lih. M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, Kamus Bahasa
Batak Toba (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 177.]
25
Santo Fransiskus, Pelindung Ekologi Pencinta Damai: http://www.parokimbk.or.id/warta-
minggu/serba-serbi/02-10-2011-santo-fransiskus-asisi-pelindung-ekologi-pencinta-damai/, [diakses, 02
Oktober 2011]

10
sebagai manusia yang memiliki kehendak bebas. Alasan untuk menjaga harmoni dengan
dengan kosmos karena kosmos mempunyai kekuatan. Kekuatan itu merupakan manifestasi
dari Mulajadi Na Bolon menurut orang Batak Toba.26
Dalam konteks ini, orang Batak Toba menjaga harmoni alam dan antar sesama
dilaksanakan lewat suatu ritus, salah satunya ialah melalui ritus martutuaek. Harmoni
manusia dengan alam pada pelaksanaan ritus martutuaek disimbolkan dengan penciptaan
dunia baru. Makna dari tindakan ini dikaitkan dengan mitologi Si Boru Deang Parujar.

5. Penyucian
Orang Batak Toba yakin bahwa kembali kepada keadaan semula yang penuh
kebahagiaan dan kesuburan dapt juga diperoleh melalui kontak dengan air. Rahasia kekuatan
air dalam budaya Batak Toba menduduki peranan penting. Ritus penggunaan air dalam
bentuk penyucian termasuk hakikat pokok dalam ritus mereka. Hal ini berkaitan dengan
pemahaman orang Batak Toba tentang dunia yang berciri magis-religius. Oleh karena itu,
manusia, hewan, dan lingkungan memerlukan penyucian secara berulang dan sejauh
memungkinkan dibersihkan dari kenajisan yang melumuri dirinya. Tindakan penyucian juga
dapat dicermati dalam berbagai ritus inisiasi orang Batak Toba, salah satunya ialah
pelaksanaan ritus martutuaek.27
Dalam pelaksanaan ritus ini tindakan penyucian disimbolkan dengan manguras28
(membersihkan) dan penuangan air ke tubuh si bayi. Berikut merupakan uraian singkat
perihal simbol-simbol penyucian yang terdapat dalam ritus martutuaek:
Pertama, manguras. Menurut Anicetus Bonsu Sinaga, pengalaman manusia religius
yang paling elementer mengenai air adalah kekuatannya yang ditangkap secara eksistensial,
yakni gaya misterius air yang dapat menyegarkan dan mempertahankan hidup.29 Daya ajaib
air itu dalam ritus orang Batak Toba digunakan untuk menyucikan benda disebut manguras.
Selain itu tujuan manguras adalah untuk menguduskan seseorang atau sebuah objek sebagai
persembahan bagi Sang Pencipta.
Tindakan manguras dalam ritus martutuaek dilakukan dua kali, yaitu pertama, sewaktu
di pancuran, tindakan ini bermaksud untuk menguduskan tempat pelaksanaan ritus. Tempat

26
Dj. Raja Marpodang Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Batak Toba (Medan: Armada, 1996), hlm. 208.
27
J.C. Vergowen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Judul asli: The Social Organization and
Customary Law of Toba-Batak of Northen Sumatra. Diterjemahkan oleh: Redaksi P.A. Jakarta: Pustaka Azey,
1994), hlm. 113-114.
28
Manguras: mebersihkan atau menyucikan. Biasanya menggunakan air bersih.
29
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 11.

11
ritus harus dikuduskan untuk membedakan daerah yang profan dan yang sakral juga untuk
mengusir berbagai kekuatan jahat yang berada di sekitar mata air. Di daerah yang sakral
itulah diyakini Mulajadi Na Bolon hadir. Mulajdi Na Bolon di tempat sakral itu akan
memberikan kepada si bayi berkat berupa kemakmuran, kesehatan, dan berbagai kebutuhan
lainnya.30 Kedua, sewaktu di rumah suhut (tuan rumah). Tindakan manguras di rumah suhut
lebih bermakna ekologis. Tujuannya untuk menyucikan tempat tinggal si bayi serta benda-
benda yang akan dipakai oleh bayi dalam kehidupan hariannya kelak. Benda itu perlu diuras
karena menurut orang Btak Toba telah usang. Dalam konsep orang Batak Toba segala benda
yang telah dipergunakan dapat dirasuki oleh begu. Maka perlu disucikan.
Kedua, mereciki bayi dengan air. Ritus air dalam berbagai bentuk penyucian termasuk
hakikat pokok dalam ritus Batak Toba secara khusus dalam pelaksanaan ritus martutuaek.
Dalam pelaksanaan ritus ini bayi direciki dengan air sebagai simbol penyucian. Makna dari
tindakan ini dapat digali dari daya yang dimiliki air, yakni daya yang bersifat sakral.

6. Pengharapan
Pengharapan mengarahkan manusia untuk selalu berseru dan memohon pertolongan
dan menatap ke depan untuk berbuat kemajuan, melihat sekeliling untuk berbela rasa, dan
saling membantu sesama. Harapan sesungguhnya ada dalam diri manusia sebagai pemberian
Cuma-Cuma dari Pencipta. Pengharapan selalu mendorong manusia untuk terus melakukan
suatu perjuangan. Salah satu inti ajaran Yesus ialah tentang harapan (bdk. 1 Kor. 13:13). Hal
ini mau mengatakan bahwa harapan itu begitu besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Tindakan manusia secara simbolik mengandung simbol pengharapan, yang nampak
pada saat meletakkan bayi di atas ulos ragi idup dan mampe goar (mengenakan nama bayi).
Pelatakan Bayi di atas ulos ragi idup menyimbolkan harapan akan usia yang panjang bagi si
bayi yang menjalani ritus, pemulihan pada status awal yang tanpa dosa serta menyimbolkan
kedekatan si bayi dengan Mulajadi Na Bolon. Sedangkan mampe goar menyimbolkan
harapan-harapan orang tua si bayi. Harapan-harapan itu secara implisit terkandung dalam
nama yang diberikan kepada si bayi. Orang-orang pada umumnya selalu berharap bayi yang
menyandan nama itu akan bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandangkan
kepadanya.

30
Anicetus Bongsu Sinaga, Martutuaek: Sebagai Permandian Orang Batak Toba…, hlm. 38.

12
Kesimpulan

Dalam kehidupan orang Batak Toba, mereka tidak dapat secara langsung
mengungkapkan isi hatinya secara verbal. Oleh karena itu diperlukan suatu sarana yaitu
simbol. Salah satu simbol itu pada fase inisiasi ialah pelaksanaan ritus martutuaek. Ritus
martutuaek diyakini oleh orang Batak Toba sebagai wahana untuk mengembalikan bayi dan
alam pada keadaan yang sempurna, penuh rasa bahagia, dan juga menjadi sarana untuk
melukiskan relasi mereka dengan Mulajadi Na Bolon, yang mereka imani sebagai penguasa
alam semesta. Dengan kata lain pelakasanaan ritus martutuaek menjadi suatu saat yang
penting bagi orang Batak Toba untuk mengungkapkan dan mengalami kesatuannya dengan
Mulajadi Na Bolon. Mulajadi Na Bolon dialami dan ditemui dalam sikap yang mesra dengan
memulihkan hubungan persahabatan dan kemesraan hidup yang dahulu retak.

Dalam pelaksanaan ritus martutuaek subjek ritus kembali mendramatisasikan


penciptaan dunia, dengan terlebih dahulu mengusir daya-daya kekuatan jahat yang dapat
menghambat pelaksanaan ritus melalui penyucian. Tujuan seluruh proses pelaksanaan ritus
itu ialah untuk memisahkan unsur-unsur profan dengan unsur-unsur sakral.

Di akhir pelaksanaan ritus ini diadakan upacara pemilihan nama kepada si bayi. Nama
baru yang disandangkan kepada si bayi mengandung makna pengharapan baik dari si bayi
maupun dari pihak orang tua atau anggota keluarga lainnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Lingga., Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika. Yogyakarta: Kanisius, 2017.

Dillistone, F. W., Daya Kekuatan Simbol. (Judul asli: The Power of Symbols).
Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Dhavamony, Mariasusai., Fenomenologi Agama. (Judul asli: Phenomenology of Religion).


Diterjemahkan oleh Sudiarja, dkk. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Eliade, Mircea., The Sacred and Profane The Nature of Religion. (Judul asli Das Heilige und
das Profane).
Diterjemahkan oleh Williard R. New York: Harvest Book Harcourt Brace & World,
1959.

Gultom, Rj. Marpodang., Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Batak Toba. Medan: Armada, 1996.
Harry, Susanto, P. S., Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Mangunwijaya, Y. B., Sastra dan Religiositas. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Manurung, Raja Guru Kander., Pustaha Turasi-Turasi Na Jempek Par-Debata-on ni Ugamo


Parmalim. Medan: [tanpa penerbit].

Santo Fransiskus, Pelindung Ekologi Pencinta Damai: http://www.parokimbk.or.id/warta-


minggu/serba-serbi/02-10-2011-santo-fransiskus-asisi-pelindung-ekologi-pencinta-
damai/, [diakses, 02 Oktober 2011].

Sinaga, Anicetus Bongsu., Martutuaek sebagai Permandian Orang Batak. Pematangsiantar:


ST. Tologi Katolik, 1979.
____ Dendang Bakti: Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak. Medan: Bina Media, 2004.

Simanjuntak, Bungaran Anthonius., “Upacara Kelahiran pada Masyarakat Batak Toba”.


Dalam Koenjaraningrat., Ritus Pelralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Verguowen, J. C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. (Judul asli: The Social
Organization and Customary Law of Toba-Batak of Northen Sumatra.
Diterjemahkan oleh Redaksi P.A. Jakarta: Pustaka Azey, 1994.

14

Anda mungkin juga menyukai