Anda di halaman 1dari 7

MENGENAL RUMAH ADAT MANDAR

Rumah adat suku Mandar atau biasa disebut Rumah Boyang adalah salah satu arsitektur
peninggalan masyarakat Sulawesi Barat.
Rumah adat Mandar berbentuk rumah panggung yang dibangun menggunakan bahan kayu, dilengkapi
dengan pasak tiang-tiang kayu besar dengan tinggi 2 meter yang jadi penopang lantai dan atap rumah.
Selain itu, rumah ini juga memiliki konsep tiga susunan. Bagian pertama dinamakan tapang, yaitu susunan
paling atas yang meliputi atap dan loteng rumah.
Bagian keduanya disebut roang hayang, atau ruangan yang difungsikan untuk melakukan aktivitas
keseharian bagi pemiliknya. Sedang terakhir, yang letaknya paling bawah rumah disebut naong boyang.
Setiap bagian rumah adat mandar juga terdiri dari tiga petak, atau biasa disebut sebagai tallu lotang.

Photo: vazame.com
Petak pertama yang berada paling depan disebut samboyang, petak kedua berada di tengah disebut
tangnga boyang, dan petak ketiga berada di belakang disebut bui lotang.
Pada zaman dahulu kala, Rumah Boyang difungsikan sebagai tempat tinggal suku Mandar. Namun, rumah
untuk masyarakat Mandar ini pun tidak semuanya sama, melainkan dibagi ke dalam dua jenis bangunan.
Pertama, rumah adat Mandar bernama Boyang Adaq, yang khusus diperuntukan sebagai hunian para
keturunan bangsawan atau kerajaan.
Sedang kedua, rumah adat Mandar bernama Boyang Beasa, yang diperuntukan bagi masyarakat biasa.
Perbedaan mencolok dari kedua jenis rumah ini terletak pada ornamen yang terdapat pada bagian rumah.
Boyang Adaq memiliki tumbaq layar (penutup bubung) yang tersusun tiga hingga tujuk tumpuk.
Sedang Boyang Adaq, memiliki tumbaq layar lebih sederhana karena hanya memiliki satu tumpuk atap.
Selain itu, Boyang Adaq juga dapat dibangun dengan tiga hingga sebelas anak tangga, sedang Boyang
Beasa hanya memiliki satu susun anak tangga saja.
Menariknya, sampai saat ini, beberapa keturunan bangsawan suku Mandar masih menggunakan Boyang
Adaq sebagai huniannya, lho.
Fungsi tiap ruang dalam rumah adat Mandar
Dalam bahasa suku Mandar, ruangan di dalam rumah disebut sebagai Lotang, dan rumah adat Mandar
memiliki 3 buah lotang utama yang fungsinya tentu berbeda satu dengan yang lainnya.
Lotang pertama disebut Samboyang, pada rumah adar Mandar, samboyang sendiri berarti ruang tamu
yang letaknya berada di bagian depan rumah.
Jika sedang berlangsung acara adat, samboyang berfungsi sebagai areal berkumpulnya kaum pria.
areal berkumpul keluarga, serta ruang bagi keluarga untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Photo: gpswisataindonesia.wordpress.com
Sedang ketiga, bui boyang yang letaknya berada di belakang bagian rumah. Biasanya, areal bui boyang
diisi oleh beberapa kamar, yang disebut sebagai Songi.
Songi merupakan kamar tidur bagi para anggota keluarga yang dibangun dengan ukuran berbeda-beda.
Selain lontang utama, ada juga yang namanya lontang tambahan. Lontang tambahan ini terdiri dari empat
ruangan lain yang disebut Tapang, Paceko, Lego-lego, dan Naong Boyang.
Keempat lontang tambahan pada rumah adat Mandar tentu memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Contohnya tapang, fungsinya sebagai gudang atau tempat menyimpan barang yang letaknya berada di
loteng. Zaman dahulu, tapang digunakan sebagai tempat bersembunyi bagi calon pengantin wanita.
Hal ini dimaksudkan agar calon pengantin tersebut menjaga kesuciannya sebelum menikah, mirip seperti
prosesi pingitan dalam adat Jawa.
Lain halnya dengan Paceko, atau dalam bahasa Indonesia berarti dapur. Letaknya menyilang dengan
bangunan utama namun memiliki lebar yang sama.
Setelah itu ada juga lego-lego, bagian depan rumah yang difungsikan sebagai areal bersantai bagi pemilik
rumah, yang sekarang disebut sebagai teras.
Sedang terakhir, seperti yang juga telah disebutkan sebelumnya, naong boyang berada di bagian bawah
bangunan atau kolong rumah. Memiliki alas berupa tanah, yang biasa digunakan sebagai kendang ternak
ataupun tempat menenun bagi para wanita suku Mandar.
Keunikan rumah adat Mandar Jika melihat dari penjabaran di atas, sebenarnya sudah cukup terbayang ya,
bagaimana keunikan dari

rumah adat Mandar.


Namun hal tersebut belum seberapa lho, masih ada lagi beberapa keunikan lain yang membedakan rumah
adat Mandar dengan rumah-rumah adat lain di Indonesia, salah satunya dari bentuk atapnya.
Bentuk atap rumah adat Mandar cukup unik, yaitu berbentuk seperti pelana yang memanjang dari depan
hingga ke belakang, sampai menutupi rumah.
Selain itu, terdapat hiasan ornamen di bagian dinding, tangga, plafon, atap, serta bagian lain pada rumah.
Photo: gpswisataindonesia.wordpress.com
Ornamen memang menjadi ciri khas bagi rumah adat Mandar. Bahkan, bagi masyarakat suku Mandar,
ornamen pada rumah dapat menunjukkan identitas sosial dan makana budaya dalam masyarakatnya.
Pada bagian atap, biasanya memiliki penutup yang diukir dengan motif bunga melati, sedang di bagian
ujung atap terdapat ukiran burung atau ayam jantan.
Memang, corak ornamen yang terdapat pada rumah adat Mandar biasanya terinspirasi dari alam,
manusia, flora, fauna, agama hingga kepercayaan.
Namun, tidak semua bentuk hewan dan tumbuhan dapat dijadikan ukiran pada ornamen rumah adat
Mandar, sebab bertentangan dengan aturan adat.

Suku Mamasa,

adalah suatu komunitas masyarakat asli yang berada di kabupaten Mamasa di provinsi Sulawesi
Barat. Masyarakat suku Mamasa tersebar di seluruh kecamatan di kabupaten Mamasa. Selain itu
populasi suku Mamasa juga terdapat di kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Suku Mamasa merupakan
bagian dari sub-suku Toraja. Secara adat-istiadat dan budaya, berkerabat dengan suku Toraja. Selain itu
bahasa Mamasa juga mirip dengan bahasa Toraja. Oleh karena itiu suku Mamasa ini sering juga disebut
sebagai suku Toraja Mamasa. Tapi walaupun orang Mamasa mengaku berdarah Toraja, tapi mereka
cenderung lebih suka menyebut diri mereka sebagai suku To Mamasa. Selain itu masyarakat suku
Mamasa tidak memiliki upacara adat sebanyak sebagaimana upacara adat di Toraja. Orang Mamasa
sebagian masih ada yang mempraktekkan tradisi dari agama tradisional leluhur mereka, yang
disebut "Ada' Mappurondo" atau "Aluk Tomatua". Tradisi agama tradisional ini tetap terpelihara dan
terus terwariskan ke generasi berikutnya. Tradisi dari Ada 'Mappurondo ini dilaksanakan terutama
setelah panen padi berakhir, sebagai ucapan syukur atas hasil panen mereka. Ada satu tradisi dari
agama tradisionl suku Mamasa, yang unik dan mungkin tidak ada di daerah lain, aitu tradisi penguburan
orang yang telah mati, tapi dengan membuat sang jenazah berjalan dengan sendirinya menuju kuburan
yang telah disiapkan. Mereka percaya bahwa semua mayat dari sebuah keluarga atau kerabat akan
berada di tempat yang sama dalam kehidupan sesudahnya,

Suku Mamasa memiliki rumah adat yang berfungsi sebagai rumah tinggal di masa lalu maupun
sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Rumah adat suku Mamasa ini sangat unik, yang menurut
mereka menyerupai bentuk kapal, seperti kapal-kapal para nenekmoyang mereka ketika berangkat dari
negri asal, menyeberangi laut dan berhenti di daerah ini melalui hulu sungai. Rumah adat suku Mamasa
mirip dengan rumah adat suku Toraja. Kemiripan ini dikarenakan memang asal-usul suku Mamasa dan
suku Toraja adalah berasal dari satu rumpun.

Asal-usul suku Mamasa menurut sebuah cerita rakyat yang terpelihara di kalangan suku Mamasa,
menceritakan bahwa "Nene' Torije'ne" (nenek moyang nenek) datang dari laut dan "Nenek
Pongkapadang" (nenek moyang kakek) datang dari sebelah timur pegunungan pulau ini. Mereka
bertemu satu sama lain kemudian pindah ke Buntu Bulo, di desa Tabulahan dekat kabupaten Mamuju.
Menurut para peneliti, suku Mamasa ini dahulunya adalah berasal dari orang-orang Toraja Sa'dan yang
bermigrasi ke wilayah ini. Tumbuh dan berkembang menjadi suatu komunitas yang sekarang lebih
umum dikenal sebagai suku Mamasa. Suku Mamasa, secara mayoritas adalah pemeluk agama Kristen.
Perkembangan agama Kristen diterima oleh masyarakat suku Mamasa sekitar awal tahun 1900, oleh
misionaris dari Belanda. Suku Mamasa berbicara dalam bahasa Mamasa. Bahasa Mamasa ini
dikelompokkan ke dalam sub-dialek dari bahasa Toraja, karena banyak terdapat kesamaan bahasa
antara bahasa Mamasa dan bahasa Toraja. Bahasa Mamasa diucapkan di daerah sepanjang sungai
Mamasa kabupaten Polewali Mamasa provinsi Sulawesi Barat. Bahasa Mamasa memiliki beberapa
dialek, yaitu:

 dialek Mamasa Utara

 dialek Mamasa Tengah

 dialek Pattae’ (Mamasa Selatan, Patta’ Binuang, Binuang, Tae’, Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)

Suku Mamasa memiliki Rumah Adat, yang disebut sebagai "Banua" yang berarti "rumah", terdiri dari 5
jenis rumah dan digunakan berdasarkan tingkatan sosial, yaitu:

1. Banua Layuk, “layuk” berarti "tinggi", maka “Banua Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang
berukuran besar dan tinggi. Pemilik rumah ini merupakan pemimpin dalam masyarakat atau
bangsawan. Banua Layuk berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua dan Tawalian. Semua
berada di wilayah kecamatan Mamasa

2. Banua Sura, “sura” berarti “ukir”, jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya
tidak seperti banua layuk. Penghuni rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan
bangsawan

3. Banua Bolong, “bolong” berarti “hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani
dalam masyarakat.

4. Banua Rapa, rumah ini memiliki warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh
masyarakat biasa.

5. Banua Longkarrin, rumah bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas dengan
kayu (longkarrin), dihuni oleh masyarakat biasa

Rumah adat Mamasa merupakan simbol eksistensi suku Mamasa saat ini, yang semakin lama semakin
hilang oleh arus perubahan zaman. Rumah adat Mamasa mirip dengan rumah adat Toraja,
perbedaannya yaitu rumah adat Mamasa memiliki atap kayu yang berat dengan bentuk yang tidak
terlalu melengkung, sementara rumah adat Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf "U".
Daftar pustaka
https://aminama.com/rumah-adat-sulawesi-barat/
https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&ved=&url=https%3A%2F%2F
www.goodnewsfromindonesia.id%2F2015%2F07%2F29%2Fsuku-mamasa-kerabat-
toraja&psig=AOvVaw0D7vTgosu2XE-BlUO1H3XJ&ust=1569812911720823

Anda mungkin juga menyukai