Anda di halaman 1dari 5

GAMBARAN UMUM PULAU SUMBA

Pengantar

Pulau Sumba adalah salah satu destinasi wisata yang terkenal dengan keindahan pantai.
Berbagai deretan cerita keindahan tentang Sumba, memang tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi
dibalik semua keindahan yang disugukan oleh Sumba, pulau ini juga menyimpan banyak sejarah yang
perlu dipahami sebelum sampai pada perkembangan bahkan kemajuan. Berbagai macam cerita
rakyat, fakta sejarah dan bukti peradaban menjadi jaminan penting untuk mendalami sejarah pulau
Sumba.

Pada pembelajaran kali ini, kita semua diajak untuk mengenal pulau Sumba. Mengenal dan
memahami kebiasaan menjadi bahan penting yang perlu dipahami sebelum masuk pada sejarah
Gereja Katolik masuk di tanah marapu. Peradaban yang melahirkan kebudayaan adalah bahan penting
dalam mengelolah pemahaman atau latar belakang yang melahirkan sejarah panjang tentang tanah
marapu. Oleh karena itu, marilah kita memahami dulu dari mana sebutan Sumba ini muncul.
Pembelajaran kali ini kita berpusat pada penamaan dari tanah Sumba kemudian melihat dan
memahami kebiasaan yang terjadi di Sumba pada masa lalu.

Nama Sumba

Nama Sumba bukan asing lagi bagi kita masyarakatnya. Meski demikian akan muncul
pertanyaan dari mana nama Sumba ini muncul? Pertanyaan mendasar ini akan terjawab dari berbagai
cerita yang dikumpulkan untuk menjadi pegangan dalam pembelajaran kali ini.

Berdasarkan cerita nenek moyang, nama Sumba berasal dari dua leluhur yang turun pertama di
tanjung sasar. Kedua leluhur tersebut bernama Hawu Meha dan Humba Meha. Sebagai orang pertama
yang meinginjakan kaki di Sumba. Setelah membuat sebuah perkampungan di tempat tersebut,
keturunan dari Hawu dan Humba pun menyebar untuk mencari tempat untuk bercocok tanam dan
hidup. Dalam perpisahan tersebut istri dari Hawu meninggal dunia. Sebagai bentuk pengenangan
terhadap sang istri maka pulau yang mereka tempati disebut dengan Humba.

Cerita tersebut menunjukan bahwa peradaban masyarakat sumba telah lahir begitu lama
sebelum adanya para penjajah yang datang untuk memberikan nama kepada pulau jajahan. Cerita
nama sumba juga dapat didengarkan dalam penuturan upacara adat Wulla Poddu. Upacara tersebut
mengisahkan secara keseluruhan tentang orang-orang yang akan menjadi leluhur masyarakat Sumba
yang berlayar dan sampai di Sumba.

Majapahit

Pada era kerajaan Majapahit sebutan tentang Humba yang dikenal dalam mitos berubah melalui
catatan sejarah yang dibuat pada abad ke-14. Catatan yang berjudul Negarakartagama yang ditulis
oleh Empu Prapanca menunjukan kisah kerajaan Majapahit yang dikepalai oleh Hayam Wuruk yang
memerintahkan panglima perangnya untuk menguasai nusantara. Perwira yang terkenal bernama
Gajah Mada menyusuri dan menaklukan nusantara dengan mengatasnamai Majapahit.

Berkat kehebatannya untuk menaklukan wilayah di Nusantra, Gajah Mada mendapat tempat
yang cukup diperhitungkan dalam kerajaan. Sebagai catatan, salah satu wilayah jajahan yang ditulis
oleh Empu Prapanca adalah Sumba. Kata Humba yang mulanya dipakai untuk sebutan tanah marapu
berubah menjadi Sumba. Menjadi jelas bahwa peradaban demi peradaban seakan memberikan
jaminan perubahan yang berjalan terus menerus dalam kerang sejarah.
Peradaban ini berlanjut sampai masa penjajahan bangsa Portugis yang datang untuk berdagang.
Dikatakan bahwa pengaruh dari bangsa portugis tidak terlalu kuat di pualu Sumba. Walaupun
demikian adanya, dalam peta yang dibuat oleh Jacopo Gastaldi pulau sumba diberi nama Subao. Ada
juga sebutan untuk sumba dengan kata Cendam yang kurang lebih memberikan gambaran terhadap
hasil bumi yang khas Sumba adalah pohon cendana.

Armada Belanda

Pada abad ke-17 armada belanda masuk dalam sejarah pulau Sumba. Berbagai nama yang
diberikan kepada sumba merupakan tanda bahwa ada sesuatu yang menjadi kekhasan dari pulau ini.
ada yang menebutnya sebagai pulau cendana, ada juga yang menyebutnya dengan pulau Sandlewood
atau kuda yang pendek namun kekar. Dalam perjalanan sejarah, Sumba pun menjadi salah satu
wilayah jajahan bagi para pedagang Belanda atau VOC.

Menjadi hal yang penting, bahwa beberapa raja di pulau sumba juga pernah memberikan surat
kepada pemerintahan belanda yang menetap di pulau Timor untuk membantu peperangan antara
kerajaan. Permintaan tersebut ditolak karena sikap dari orang-orang Sumba yang malas, suka
bertengkar dan tidak menepati janji pajak membuat para penjajah enggan untuk memberikan
bantuan. Masa-masa awal peradaban Sumba memang tidak dapat dipungkiri terjadi banyak
peperangan antara kerajaan untuk saling mengusai.

Kebiasaan masyarakat Sumba

Setelah merlihat perubahan nama dari penjajahan kerajaan sampai Negara asing yang hadir di
sejarah pulau Sumba kurang lebih sebenarnya kita diajak untuk semakin jauh memahami tentang
Sumba. Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita juga memahami tentang kebiasaan masyarakat
Sumba pada awal-munya. Kebiasaan masyarakat Sumba pada umumnya terbentuk karena struktur
tanah. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai pastinya hebat dalam hal menyelam dan
menangkap ikan, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pegunungan pastinya pandai untuk
bercocok tanam. Pekerjaan pada masa lalu sesungguhnya membentuk karakter dari masyarakat.

Meski perbedaan itu menjadi wajar, karakter orang-orang Sumba juga terkenal dengan keras.
Watak yang keras dan sukar untuk mengalah menjadi karakter utama. Terbukti dari pada masa
penjajahan Belanda, masyarakat Sumba dikatakan sebagai masyarakat Prematur yang belum layak
untuk dikunjungi. Beberapa bukti mengatakan bahwa orang Sumba merupakan masyarakat yang
malas. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa banyak orang yang tidak memanfaatkan tanah untuk
mengelolah dan bertani. Hal ini didasarkan sistem kekerajaan yang mana pekerjaan akan dimulai
berdasarkan perintah raja.

Dibalik deretan cerita yang kurang enak tersebut, ada beberapa orang utusan pemerintahan
Belanda mengatakan bahwa orang-orang sumba merupakan suku yang damai. Dibalik sikap malas
tau, saling bertengkar dan keras ternyata masih ada hal positif yang dijadikan bukti sejarah terhadap
sifat orang-orang Sumba. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa penilaian terhadap sebuah kebudayaan
tidak cukup dilihat dari permukaan saja. Melainkan bagaimana tahapan mengenal dan memahami
menjadi penting untuk dipakai sebagai cara untuk penilaian.
MASUKNYA AGAMA KATOLIK DI PULAU SUMBA

Pengantar

Sumba merupakan salah satu pulau yang memiliki satu kepercayaan yakni Marapu. Sebagai
masyarakat yang tersebar diberbagai macam pelosok Sumba, ajaran marapu juga memiliki bentuk
dan caranya yang masing-masing. Ambil contoh dari gaya bahasa yang khas dari setiap suku dapat
melahirkan kebiasaan ritual yang berbeda bentuknya. Ada pun berbeda, tujuan dan pemaknaannya
dapat dikatakan seragam dan satu tujuan.

Kepercayaan asli masyarakat Sumba dapat menjadi gambaran bahwa sebelum masuk ajaran
agama Katolik, masyarakat Sumba sudah mengenal agama asli sebagai bentuk atau sarana untuk
melakukan relasi dengan wujud tertinggi di dunia ini. tetapi pada pembahasan kita kali ini, marilah
kita menitik beratkan pembahasan kita kepada masuknya agama ke pulau Sumba. Agama yang
dimaksudkan adalah agama Kristen Katolik.

Pengaruh Belanda Terhadap Sumba

Pengaruh penjajahan terhadap berkembangnya ajaran Kristen tidak dapat dipisahkan begitu
saja. Faktanya bahwa ajaran agama Kriten yang pertama dibawa oleh pendeta Dr. J. J. Van Alpen telah
merubah pandangan masyarakat Sumba tetang suatu agama atau ajaran baru. Perjuangan pendeta
Van Alpen bukanlah hal yang mudah. Ia harus mencari tempat dimana para raja menerimanya sebagai
pewarta injili. Penolakan demi penolakan ia rasakan sampai pada akhirnya Van Alpen sampai pada
kerajaan Laura yang menjadi tempat penyebaran injil pertama di Sumba.

Sebelum cerita ini dimulai, sebenarnya penyebaran agama Katolik sudah direncanakan di
Sumba. Mgr. Adamus Carolus Claessen yang tiba di Indonesia pada tanggal 13 Februari 1848 mencoba
memberikan surat kepada Pater G. Metz S. J untuk menjadikan sumba sebagai tanah misi. Namun
rencana ini tidak bisa dilanjutkan karena kondisi kesehatan dari P. Metz yang terngaggu. Oleh karena
itu diberikan kepercayaan kepada P. Kraayvanger untuk melihat kenyataan di Pulau Sumba. Meski
sudah mendapat orang untuk melihat pulau Sumba, tetapi rencana ini selalu tertunda. Sampai
akhirnya pengajaran agama Kristen beraliran Zending sudah dikenal di Sumba berkat usaha pendeta
Van Alpen.

Misionaris pertama

Pada tahun 1885 pertemuan yang berahmat pun terjadi. Pertemuan antara Mgr. Claessens dan
Tuan Samuel Roos yang merupakan residen Kupang. Dalam pertemuan, Mgr. Claessens meminta
untuk salah satu imam datang ke sumba untuk membuka misi Katolik di Sumba. Tanggapan yang baik
dilakukan oleh pemerintah membuat Mgr. Claessens bebrbahagia. Pengutusan kepada P. Kraayvanger
pun terjadi. Namun sayang saat pengutusan itu dilakukan, Pater merasa bahwa ia tidak sanggup untuk
datang di Sumba karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu ia memberikan usul
untuk P. Herman Leemker yang merupakan imam muda untuk menangani perjalanan misi ke Sumba.

Kesepakatan terjadi antara Mgr. Claessens dan P. Kraayvanger untuk mengutus P. Leemker
sebagai pembuka jalan misi di Sumba. Perjalanan dari atapupu menuju sumba yang saat itu begitu
susah pun ditempuh oleh P. Herman. Ia pun tiba dan menginjakan kaki di pulau Sumba pada tanggal 4
Agustus 1885 di Waingapu. Setelah menduduki tanah Sumba P. Herman memberikan beberapa
laporan terhadap situasi Sumba:

1. Masyarakat sumba sangat kuat berpegang teguh pada agama asli (Marapu).
2. Masyarakat Sumba juga sudah dikenalkan dengan agama Islam. Mereka tidak begitu suka
dengan ajaran baru. Bahkan seorang yang masuk agama Islam mereka tolak dalam relasi
dengan masyarakat sekitar.
3. Masyarakat Sumba juga sudah dikenalkan dengan agama Kristen Protestan. Namun
agama tersebut belum mampu membabtis orang-orang Sumba. Mereka hanya mampu
mengajak orang-orang Sabu di daerah Melolo untuk masuk ajaran Protestan. Mereka juga
sempat mengunjungi kerajaan Laura namun mereka kembali karena beberapa keadaan
yang kurang mndukung.
4. Pendidikan di Sumba mulanya oleh ajaran Kristen hendak dimajukan melalui pendidikan.
Namun beberapa raja menolak karena pendidikan dapat membuat masyarakatnya tidak
taat kepada kuasa raja.

Berdasarkan laporan tersebut, P. Herman menawarkan akan wilayah Luara sebagai sasaran
misi Gereja Katolik. Tawaran ini berdasarkan alasan karena raja Laura Umbu Kondi mengharapkan
kerajaannya dapat menganut ajaran agama yang baik. Setelah perjalanan P. Herman yang begitu
meguras tenaga dan pikiran, ia pun memutuskan untuk pergi dari Sumba.

Misi pertama di Sumba

Berbagai macam kejadian yang terjadi di pulau Sumba setelah kepulangan P. Herman adalah
gerakan Protestan semakin gencar dilakukan. Pengajaran yang dilakukan oleh Pendeta Van Alpent
dibantu oleh pendeta Dr. C. de Bruyn memberikan semanat yang baru dalam penyebaran agama
tersebut. Misi Gereja Katolik juga sudah dikatakan akan dibuka menjadi sumber perbedatan bahkan
pertikaian agama yang akan terjadi di Sumba. Tetapi pada akhirnya perjalanan injili menyurut dan
beralih ke Sumba bagian Timur karena disana memberikan jaminan suatu pengajaran.

Pada tanggal 28 Mei 1883 Pater Bernard Schweitz dan Bruder Willem Busch ditunjuk sebagai
pembuka misi di tanah Sumba. Perjalanan mereka berdua ke Sumba ditemani dengan tujuh orang
pemuda dari Flores yang akan membantu pembukaan misi tersebut. setelah sampai di Sumba pada
tanggal 12 April 1889 mereka langsung meneruskan perjalanan ke Laura dari Waingapu. Tetapi
mereka masih menetap di Mamboro selama delapan hari sampai pada hari raya Paskah mereka
menginjakan kaki pertema di Katewel dan merayakan Paskah di sana.

Para misionaris awal disambut dengan gembira oleh Raja Kondi yang sudah menunggu
kedatangan mereka. Raja yang ramah dan berpendidikan memberikan mereka peluang untuk
menyebarkan agama di Kerajaan Laura. Laporan yang dibuat oleh P. Schweitz terus dilakukan dengan
mengatakan masyarakat di laura adalah masyarakat yang ramah dan rajin bekerja.

Keadaan ini berlanjut sampai raja Umbu Kondi memberikan tempat kepada para misionaris
untuk menjadi tempat misi. P. Schweitz pun mulai memberikan pengajaran iman dan mulai
membabtis orang, sedangkan Br. Busch bersama ke tujuh orang Flores mulai membangun rumah
pastoran untuk ditinggali.

Kisah para misionaris di Sumba

Perjalanan misi awal memang tidak semudah yang dibayangkan. P. Schweitz harus bersama
para penerjemah bahasa agar mampu untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Ia harus
berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memahami bahasa daerah setempat agar mempermudah
pelayanan. Sebagai karya awal misi yang diberikan di Laura, fokus mereka adalah memberikan
pengatahuan iman kepada masyrakat, membangun rumah pastoran dan membabtis orang untuk
menjadi Katolik. Kendala dalam misi mulai muncul saat persediaan makanan dan kebutuhan pokok
semakin menipis.

Mereka memiliki dua harapan untuk keluar dari keadaan susah ini. Pertama, mereka harus
menunggu kapal dari kupang yang mengangkut barang dan mengantar ke laura atau kedua mereka
haru mengadakan perjalanan ke waingapu untuk membelanjakan bahan-bahan mereka. Pilihan yang
menyusahkan membuat mereka berusaha bertahan dengan situasi yang ada.

Meski keadaan begitu menyusahkan P. Schweitz tetap berusaha agar merawat misi di pulau
sumba tetap berjalan. ia yang dibantu oleh Bruder J. Zinken memberikan dorongan kuat untuk karya
misi di Laura. Semenjak kedatangan Br. Zinken, pengerjaan semakin berjalan baik. P. Schweitz mulai
fokus pada pengembangan iman, Br. Busch membangun gereja dan Br. Zinker menanam sayuran dan
berternak untuk dijadikan bahan kebutunan makanan mereka sehari-hari.

Kesimpulan

Dalam kisah sejarah ini menjadi jelas bahwa misi yang dibuka pertama di kerajaan Laura
bukan hal yang mudah. Para misionaris dengan kemajuan Negara mereka harus melepaskan kekayaan
untuk melihat pulau Sumba yang bisa dikatakan saat itu hidup yang seadanya. Tetapi dibalik kerja
keras dan tetap berusaha untuk mengembangkan Misi, dapat kita pelajari bahwa iman yang kita
percaya memerlukan usaha untuk dikembangkan. Bila kita tetap percaya tanpa perbuatan maka akan
muctahl misi awal di sumba akan berkembang. Maka semoga dengan mempelajari sejarah awal Gereja
Katolik masuk di Sumba, kita dapat semakin mengenal dan memahami asal kita, dan menjadikan
semangat para misionaris yang “pantang untuk menyerah” sebagai semangat kita orang Katolik masa
modern di Sumba.

Anda mungkin juga menyukai