Anda di halaman 1dari 11

Yesus Sang Radikal

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hamba Tuhan yang dikenal masyarakat adalah orang yang dipilih oleh Tuhan secara khusus untuk
mengajar, menggembalakan, dan menyampaikan kebenaran Firman Tuhan. Hamba Tuhan dikenal sebagai
pendeta, pengajar bidang kerohanian, bahkan mahasiswa yang belajar di sekolah Teologi. Dalam pengertian
yang lebih dalam, hamba adalah seorang babu yang harus mengerjakan apa yang tuannya mau. Begitu juga
dengan pengertian hamba Tuhan. Hamba Tuhan harus mampu melakukan apa yang menyenangkan hati tuan-
Nya yaitu Tuhan. Bukan hal yang mudah untuk menjadi seorang hamba Tuhan karena tanggung jawab besar
dalam membina sebuah jemaat untuk terus bertumbuh dalam kerohaniannya. Bahkan seorang hamba Tuhan
khususnya harus dipersiapkan secara matang dalam pengajaran/ doktrin yang benar sehingga tidak membawa
jemaat kepada ajaran yang salah dan hal itu dipermudah dengan banyak berdiri sekolah-sekolah Alkitab, STT
untuk mempersiapkan hamba Tuhan baik dalam karakter dan juga dalam pengetahuan.

Tetapi, tidak semua hamba Tuhan menyadari tugasnya yang berat dalam membina kerohanian jemaat.
Ada banyak pendeta zaman sekarang ini yang menjadikan gereja sebagai pusat bisnis, ada hamba Tuhan yang
mengajarkan jemaatnya hanya mengenai berkat, dan banyak hamba Tuhan yang terlihat dalam gereja sangat
rohani sekali sedangkan sikap dan karakternya sangat berlawanan baik di rumah maupun di lingkungan
bermasyarakat sehingga tidak menjadi teladan dalam perbuatan sehari-hari. Seorang hamba Tuhan menjadi
batu sandungan bagi sekitarnya di saat Firman itu tidak teraplikasikan dalam hidup sehari-hari. Hal ini sangat
disayangkan karena ada banyak hamba-hamba Tuhan tidak mengerti sepenuhnya tugas dan panggilannya
sebagai seorang hamba.

Sama halnya dengan orang-orang yang hidup pada zaman Yesus. Dimana kehidupan para ahli Taurat
sangat terlihat suci, tetapi mereka belum melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati Allah. Hal inilah yang
menimbulkan pertikaian antara Yesus dengan ahli Taurat, dimana mereka belum mampu mengaplikasikan
Firman yang sudah mereka pelajari untuk menjadi berkat bagi sesama mereka.

B. Tujuan Penulisan Makalah


Makalah ini ditulis bertujuan untuk menambah wawasan bagi orang yang membacanya. Tujuannya
adalah pembaca mampu mengetahui bahwa Yesus datang bukan hanya memberitakan kebenaran Firman
Tuhan tetapi memberikan teladan yang benar dalam pengajaran-Nya. Yesus menjungkirbalikkan pemahaman
ahli-ahli Taurat yang menimbulkan pertikaian antara Yesus dan ahli Taurat. Melalui makalah ini, pembaca
mendapatkan pemahaman mengenai ajaran yang benar yang diberikan Yesus dan teladan yang dierikan-Nya
sehingga pembaca mampu mengaplikasikan Firman dalam hidupnya dan menjadi berkat bagi sesama.
Pembaca menyadari bahwa yang Tuhan kehendaki bukan hanya mengetahui secara teori saja, tetapi melalui
tindakan menyatakan kasih terhadap Tuhan.
BAB II

PERTIKAIAN

Dalam Mat. 26:3-4, menunjukkan sikap para pemuka agama pada zaman itu begitu benci kepada
seorang pengkhotbah yang tenar, yang memanggil orang-orang untuk menjalin hubungan yang lebih dekat
dengan Allah serta menunjukkan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri kepada sesamanya. Mereka lebih
baik membebaskan seorang pembunuh terpidana daripada mengizinkan Yesus tetap menyampaikan Kabar
Baiknya. Orang seringkali berfikir bahwa pihak yang menentang dan akhirnya membunuh Yesus adalah Kaum
Farisi. Sebenarnya hal ini kurang tepat. Kelompok yang menentukan di Sanhedrin, yakni badan yang pada
akhirnya membunuh Yesus adalah kaum Saduki. Kaum Saduki merupakan suatu golongan minoritas ningrat
yang duniawi, dengan kaum Farisi. Kedua kelompok Yahudi itu merasa terancam oleh Yesus dalam hal yang
berbeda-beda. Jadi, walaupun biasanya mereka tidak saling menyukai, mereka bekerja sama dalam
menghadapi ancaman seperti ini.1[1]

Kelompok Farisi adalah orang Yahudi yang mempertahankan Taurat Musa, dan mereka memegang
kuat pengajaran tradisi Musa. Sesungguhnya dari kacamata positif, mereka mempersiapkan jalan bagi
pengajaran Kristiani, karena pengajaran mereka yang berdasarkan Tuhan yang satu (monotheism), pengajaran
para nabi dan kepercayaan mereka akan kebangkitan orang mati. Namun di samping tendensi kerohanian yang
kuat, kaum Farisi juga kemudian berkembang menjadi arogan dan menekankan formalitas yang berlebihan
yang mensyaratkan detail-detail seremonial sampai mengabaikan ketentuan hukum moral yang lebih penting,
yaitu yang berlandaskan kasih dan keadilan. Inilah yang dikecam oleh Yesus (Mat 23: 23-28), dan karena
kecaman ini, mereka ingin menangkap Yesus. Di mata mereka, Yesus melanggar hukum Taurat, dengan
“melakukan pekerjaan” yaitu menyembuhkan pada hari Sabat, dengan berteman dengan pemungut cukai dan
wanita berdosa, namun terlebih-lebih lagi, dengan mengaku sebagai Putera Allah. Mereka tidak bisa mengerti
bahwa Yesus mengatakan bahwa Ia berasal dari Allah Bapa (Yoh 8:42), dan bahwa sebelum Abraham ada,
Dia telah ada (Yoh 8:58). Walaupun mereka menantikan Mesias, namun gambaran dan harapan mereka
tentang mesias adalah yang mesias yang menjadi pemimpin/ raja, sehingga mereka tidak bisa menerima Yesus
yang tampil tidak sebagai raja, namun sebagai seorang yang miskin, tukang kayu dari Nazareth. Pandangan
ini tetap ada dalam diri orang Farisi/ Yahudi setelah kebangkitan Yesus: banyak dari mereka sulit percaya
bahwa Mesias yang dijanjikan Allah datang ke dunia sebagai hamba yang wafat di salib. Ini merupakan batu
sandungan bagi mereka. Rasul Paulus mengatakan:

“Di manakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini?
Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah,
tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh
kebodohan pemberitaan Injil.Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari
hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan
dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang
Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh
dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.”
(1 Kor 1:20-25).2[2]
Sikap yang ditunjukkan kedua kelompok ini adalah ketidaksukaan mereka terhadap Yesus yang
memberi pengajaran yang berbeda dengan mereka. Mereka iri hati dan merasa terhina dengan hal-hal yang
dilakukan Yesus. Dalam hal ini, mereka takut tersaingi dengan Yesus yang sudah mulai dikenal banyak orang
sehingga mereka merasa terganggu dengan kehadiran Yesus dalam perbuatan dan pengajaran Yesus. Akibat
perbuatan mereka, Yesus semakin dikenal oleh dunia.

A. Yesus, Rabi dari Galilea


Para imam maupun kebanyakan kaum Farisi khususnya ahli Taurat yang menjadi anggota Sanhedrin
adalah orang-orang Yudea. Yesus tidak memiliki pendidikan formal seorang ahli Taurat, yang pada kemudian
hari memperbolehkan sseorang untuk menyandang gelar rabi. Yesus sering disebut rabi karena pada saat itu
peraturan belum begitu kaku. Sama seperti kebiasaan para rabi, Ia mengumpulkan sekelompok murid,
memberi waktu untuk mengajar mereka, dan sekurang-kurangnya pada tahap awal pelayanan-Nya Ia diundang
berkhotbah dalam kebaktian sinagoge.
Rabi merupakan kata Ibrani yang berarti guru atau guruku. Guru merupakan seorang yang ditiru dan
digugu (dapat dipercaya). Dalam berbagai kehidupan masyarakat, guru merupakan sosok teladan dalam
masyarakat karena setiap aspek kehidupannya diperhatikan oleh orang yang ada di sekitarnya. Guru dipercaya
memberikan pengetahuan yang benar dan bertingkah laku sesuai azas moral. Sama halnya dengan Yesus.
Yesus merupakan seorang guru yang dapat dijadikan teladan baik dalam pengajaran-Nya bahkan setiap
tingkah laku-Nya. Dalam hal ini tidak ada pertikaian yang terjadi.
Tuhan Yesus Kristus selama di hidup didunia selalu ditentang oleh orang Farisi dan ahli Taurat, sebab
bukan saja karena mereka iri tetapi juga karena Yesus tidak mengikuti perintah dan ketentuan hukum Taurat
Musa, termasuk hari Sabat. Coba simak Yohanes 5:18, "Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi
untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa
Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah."

B. Tradisi-tradisi Hukum
Yesus mendasarkan semua pengajaran-Nya atas kitab suci Yahudi. Ia mengutip-Nya dan menegaskan
wibawa-Nya dengan nada kuat (Mat. 5:17-18; Luk. 16:17; Yoh. 10:35). Dan Dia melakukan apa yang
disampaikan-Nya. Sikap hormat Yesus pada Perjanjian Lama sangat kontras dengan sikap-Nya yang acuh
terhadap peraturan yang berbelit-belit yang ditambahkan diatas hukum Taurat, oleh tradisi Yahudi. Pada waktu
itu seorang rabi selalu membenarkan tafsirannya dengan mengutip seorang rabi sebelumnya yang lebih baik
dari mereka, namun Yesus tidak begitu. Pengajaran Yesus juga berbeda dengan rabi yang ada pada saat itu:
1. Yesus biasa bergaul dengan orang-orang yang tidak akan pernah didekati seorang rabi yang punya nama baik.
Seperti Zakheus, pemungut cukai yang dikucilkan orang-orang Yahudi karena orang Yahudi menganggap
bahwa pemungut cukai mengkhianati bangsanya sendiri dengan kerja sama dengan negara yang menjajah
mereka. Yesus tidak takut jika reputasinya jatuh, tidak seperti rabi-rabi yang lain yang menganggap bahwa
mereka adalah orang-orang yang hina dan berdosa (Luk. 19:1-10).
Orang-orang miskin mencakup tawanan, orang tertindas, orang lumpuh orang buta, orang kusta, dan
orang cacat. Mereka tidak dipandang dan diabaikan oleh orang Yahudi lainnya. Perempuan dalam pandangan
Yahudi dipandang sebagai kaum yang rendah martabatnya. Karena itu perempuan dipandang sebagai barang
yang dapat dimiliki atau dibuang. Namun Yesus memiliki persahabatan yang sangat dekat dengan perempuan
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka. Para pemungut cukai adalah kelompok masyarakat yang
sangat dibenci oleh orang-orang Yahudi. Selain mereka bekerja bagi penjajah Romawi dalam memungut pajak
yang sangat berat dari masyarakat, mereka juga dianggap sebagai pemeras dan penindas masyarakat serta
orang berdosa. Karena anggapan demikian maka mereka disisihkan dari pergaulan masyarakat Yahudi. Namun
Yesus menjalin persahabatan yang akrab dengan mereka. Sungut-sungutan orang Farisi dan ahli Taurat
terhadap Yesus adalah karena Ia bersahabat dan duduk makan bersama dengan para pemungut cukai. Mereka
menganggap bahwa mereka tidak akan mewarisi kerajaan Allah. berdasarkan pemaparan ini, Yesus datang
untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang dan berdosa.3[3]
2. Sekelompok orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dari Yerusalem menuduh Yesus dan murid-murid-Nya bahwa
mereka mengabaikan “adat istiadat nenek moyang kita”, yaitu tentang cara penyucian yang benar sebelum
makan (Mrk. 7:1-23). Adat-istiadat orang Yahudi sebelum makan ialah membasuh tangan sebelum makan,
dan membersihkan diri pada saat pulang dari pasar. Yesus menegur mereka. Lalu Yesus menjelaskan
masalahnya bahwa mereka menolak perintah Allah supaya dapat mempertahankan ajaran sendiri, dan Yesus
juga menjelaskan bahwa bukan apa yang masuk ke dalam diri seseorang (makanan) yang membuat najis,
melainkan yang keluar darinya (pikiran-pikiran salah, yang menjadi sumber kata-kata dan perbuatan-
perbuatan yang salah). Markus menarik kesimpulan bahwa Yesus menghapus semua petunjuk Perjanjian
Lama mengenai makanan yang tidak halal (Mrk. 7:19). Yesus tidak peduli dengan upacara tetek bengek seperti
itu, dan dengan terus terang mengecam banyak tradisi para ahli Taurat sebagai peraturan-peraturan manusia
saja, yang mereka susun sebagai alasan menghindari tuntutan Allah yang jauh lebih berat dalam kitab suci.
Agama bukanlah terdiri hanya dari regulasi-regulasi eksternal dan bagaimana umat mematuhi segala
regulasi yang ada. Kalau demikian halnya, maka penghayatan ajaran agama menuju kekudusan menjadi sangat
mudah. Jauh lebih mudahlah untuk menahan diri tidak memakan dan/atau meminum makanan/minuman
tertentu dan mencuci tangan dengan cara-cara tertentu daripada tindakan nyata mengasihi orang-orang yang
tidak mengasihi orang lain, bahkan membenci sesama, juga orang-orang yang “tak pantas” untuk dikasihi
menurut pandangan masyarakat pada umumnya, dan/atau menolong orang-orang yang memerlukan bantuan
dengan pengorbanan (katakanlah “biaya”) berupa waktu, uang, kenyamanan serta kesenangan pribadi. Apabila
kehidupan beragama hanya terdiri dari praktek-praktek guna mematuhi peraturan-peraturan eksternal, maka
kenyataan tersebut dapat menyesatkan (misleading). Banyak orang menghayati/menjalani kehidupan yang
nyaris tanpa cela dilihat dari hal-hal eksternal, namun orang-orang itu menyimpan hal-hal yang paling buruk
dan jahat dalam hati dan pikiran mereka. Yesus mengajar bahwa apa yang dilakukan seseorang secara
eksternal tidaklah dapat menghapuskan segala yang kotor dan jahat dalam hati dan pikirannya. Yesus
mengajarkan: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).
Yang penting di mata Allah bukanlah “bagaimana” seseorang bertindak, melainkan “mengapa”
seseorang melakukan tindakan tertentu; bukan pula apa “yang sesungguhnya” seseorang lakukan, melainkan
apa “yang menurut hati seseorang ingin lakukan”. Menurut Thomas Aquinas: “Manusia melihat tindakan,
namun Allah melihat niat/intensi.”4[4]

C. Hari Sabat
Hari Sabat itu ditetapkan Allah untuk manusia bukan untuk Allah. Pertama kali hari Sabat diberitakan
adalah pada saat bangsa Israel keluar dari tanah Mesir setelah melewati laut Teberau, setelah mereka
bersungut-sungut walaupun telah melihat kebesaran Tuhan di tanah Mesir dan di laut Teberau (Keluaran
15:22-27), bahkan mereka terus bersungut-sunggut (Keluaran 16:1-3). Setelah itu barulah keluar hukum
tentang hari Sabat (Keluaran 16:4-34). Salah satu dari perintah Tuhan yang ditulis dalam loh batu oleh jari
Tuhan (Keluaran 31:18) yang diberikan lewat Musa adalah perintah untuk memelihara hari Sabat (Keluaran
20:8-11). Sejak saat itu hari Sabat dirayakan oleh umat Israel sampai hari ini. Mereka menjalankan hukum
tersebut seperti sebuah liturgi yang sakral, sama seperti pada masa dimana hukum tersebut diturunkan. Dalam
Keluaran 16:4, disana dikatakan, "...supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau
tidak." Karena bangsa Israel sering bersungut-sungut setelah keluar dari Mesir dan mereka tidak pernah ingat
kepada Allahnya maka ditetapkannya satu hari penuh untuk Tuhan yaitu hari Sabat. Hari dimana seluruhnya
untuk Tuhan, agar umat Israel selalu mengingat penebusan Tuhannya dan mengenal perintah dan hukum-
hukumNya (Ulangan 5:15, Yehezkiel 20:12,20). 5[5]
Pertikaian pertama terjadi sebagai akibat perbuatan murid-murid-Nya yang memetik dan memecahkan
bulir-bulir gandum dalam tangan mereka untuk mengeluarkan biji gandumnya dan memakannya pada hari
sabat. Perbuatan tersebut dianggap melakukan perbuatan terlarang pada hari Sabat. Yesus membela mereka
dengan dua alasan, yaitu Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat, dan hari Sabat
sebagai berkat, bukan beban. Yesus dengan tenang menegaskan wibawa-Nya untuk menyampaikan tafsiran
baru untuk hukum Sabat. Sama seperti Daud yang mengutamakan kebutuhan manusia diatas tetek bengek
upacara agama, bahkan Yesus menyatakan wibawa-Nya yang serupa: “Anak Manusia berkuasa, bahkan atas
hari Sabat” (Mrk. 2:23-28).
Menguduskan hari ketujuh merupakan perdebatan yang subur oleh para ahli Taurat. Misyna, yang
disusun sampai akhir abad kedua Masehi terdiri dari tradisi-tradisi ahli Taurat sejak jauh sebelum zaman
Yesus. Menurut ketentuan, ada 39 golongan pekerjaan yang dilarang. Namun itu permulaan saja, dan
pembagian serta perkecualian lebih lanjut masih banyak sekali. Anggota badan yang patah tidak boleh dirawat,
kuku jari tidak boleh dipotong dan lain sebagainya. Petikan ini hanya memberikan sedikit gambaran tentang
keruwetan argumentasi tentang hari Sabat. Seperti diakui oleh Misyna sendiri, “peraturan mengenai Sabat
adalah bagaikan gunung yang bergantung pada sehelai rambut, sebab ayat kitab suci tentang itu sedikit,
sementara peraturannya jauh lebih banyak!” Pertikaian Yesus dengan para ahli Taurat adalah mengenai
pendekatan yang tepat dalam menentukan bagaimana hari Sabat harus dikuduskan.
Tindakan yang dilakukan murid-murid bukanlah tindakan yang berbahaya kecuali si pemilik merasa
dirampok. Yesus memberikan contoh tentang Daud yang diijinkan oleh para imam yang bertugas untuk
mendapatkan roti kudus ( 1 Sam. 21: 1-6). Intinya Yesus menunjukkan bahwak kebutuhan manusia
mempunyai prioritas lebih tinggi daripada upacara agama. Dalam Kej. 2:2-3, Allah dinyatakan beristirahat
pada hari ketujuh setelah menyelesaikan pekerjaan penciptaan-Nya selama enam hari berturut-turut, maka Ia
memberkati hari ketujuh dan menguduskan-Nya. Dalam Ul. 5:12-15 sangatlah jelas bahwa hari sabat ditujukan
untuk kebutuhan orang Israel yang telah melakukan kerja keras. Maka hari sabat dibentuk untuk kebutuhan
manusia.6[6]
Tercatat ada lima pertikaian selanjutnya tentang peraturan Sabat, semuanya berkaitan dengan
kebiasaan Yesus menyembuhkan penyakit bila Ia berjumpa dengannya, biarpun hal itu terjadi pada hari Sabat
(Luk. 6:6-11; Mat. 12:9-14; Mrk. 3:1-6). Ia melanjutkan dengan menunjuk bahwa standar mereka tidak
konsisten, contohnya dalam penyelamatan hewan. Nats Talmud menyimpulkan bahwa mencegah penderitaan
hewan merupakan suatu asas alkitabiah jadi perlu diambil tindakan walaupun berarti menyampingkan
peraturan-peraturan para rabi. Rupanya Yesus mengacu pada argumen seperti itu yang beredar pada zaman-
Nya, mereka dapat menyampaikan peraturan bagi hewan, tetapi bukan bagi manusiawi. Mereka lebih
memperhatikan dan menganggap domba-domba lebih berharga. Mereka merasa dihina karena ajaran-nya yang
mereka anggap salah, ada unsur membalas dendam dalam rencana untuk membungkamkan-Nya.
3. Pertikaian antara Yesus dan ahli Taurat mengenai penafsiran hukum berakar dalam penolakan-Nya untuk
tunduk pada wibawa lain kecuali Perjanjian Lama itu sendiri. Yesus menegaskan bahwa larangan Perjanjian
Lama tentang pembunuhan dan perzinahan janganlah semata-mata diartikan secara harafiah, melainkan jiwa
yang mendasarinya harus diperhatikan. Pada dasarnya kebencian tidak berbeda dengan pembunuhan dan nafsu
berahi tidak berbeda dari perzinahan.

D. Yesus Sang Radikal


Kebenaran dan keterandalan mulai menjadi kabur karena suatu susunan peraturan yang ruwet
mengenai sumpah-sumpah yang kurang atau lebih mengikat. Pernyataan Musa harus secara seimbang
dimaksudkan sebagai pedoman bagi hakim-hakim untuk menentukan hukum-hukum yang wajar. Pendekatan
radikal terhadap Perjanjian Lama itulah yang menjadi biang keladi pertikaian Yesus dengan para ahli Taurat,
yang berpegang teguh pada ajaran tradisional mereka. Yesus tidak radikal dalam arti deskruktif, melainkan
dalam artikata itu yang sebenarnya, menuju ke akar persoalan, mencari jiwa dan maksud Kitab Suci yang
sebenarnya, dan tidak mau puas dengan suatu legalisme yang harfiah saja. Yesus bukanlah seorang penurut
yang kaku atau sebaliknya tidak mau tunduk kepada hukum: mengenai perceraian Ia merasa para ahli Taurat
terlalu longgar, sedangkan mengenai sabat dan penyucian keagamaan terlalu kaku. Satu-satunya perhatian
Yesus adalah menafsirkan Perjanjian Lama dengan sebenar-benarnya sebagai pedoman untuk mengenal
kehendak Allah bukan untuk menguatkan suatu sistem peraturan buatan manusia. Dan hal itu Dia lakukan
dalam kaitan dengan kebutuhan dan keprihatinan manusia yang sesungguhnya.
Kekhasan pendekatan Yesus yang radikal ini terletak pada jawaban-Nya terhadap suatu pertanyaan
yang ikhlas: Perintah mana yang lebih penting dari semua perintah? Yesus menjawab dengan mengutip dua
nats, perintah agar mengasihi Allah dengan segenap hati, dan mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mrk.
12:28-34). Bagi Yesus, kasih adalah yang pertama, dan kalau hal itu berarti membengkokkan atau
menyampingkan peraturan-peraturan yang disusun turun temurun oleh para ahli Taurat, maka itulah harus
dilakukan.

E. Orang-orang Munafik
Orang-orang munafik adalah kata yang paling disenangi-Nya untuk menyebut ahli Taurat. Secara
harfiah dalam bahasa Yunani artinya “pelakon” dan Yesus menuduh para ahli Taurat dan kaum Farisi bermain
sandiwara seakan-akan mereka saleh,walaupun sebenarnya tidak demikian. Mereka berdoa di persimpangan
jalan, menggembor-gemborkan bila memberi sedekah, dan bermuka muram supaya semua orang tahu kalau
mereka berpuasa. Peraturan orang munafik dikenakan kepada orang-orang biasa sehingga menjadi beban
berat, sedangkan mereka hidup terpisah oleh karena sok suci. Hidup mereka menjadi batu sandungan bagi
orang lain karena hanya di sisi luar saja mereka terlihat suci.
Yesus mengecam orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat sebagai orang-orang munafik padahal mereka
semua adalah pemimpin-pemimpin agama yang hebat dalam pengetahuan Taurat, tetapi mereka tetap
mendapatkan cercaan dari Yesus Kristus sebagai orang-orang munafik. Ada beberapa hal ciri-ciri orang
munafik sebagai berikut:
a) Ringan tangan (Mat.23:4) artinya mereka tidak mau mengambil bagian dalam hal-hal yang sulit, selalu
melemparkan dan menaruh beban atau masalah terhadap yang lain serta egoistis terhadap diri sendiri tanpa
memperhitungkan orang lain.
b) Cari muka (Mat.23:5-8) artinya segala sesuatu aktivitas, kegiatan, pelayan dan pekerjaan berlangsung
dilaksanakan tujuannya hanya maksud supaya dilihat orang. Mereka selalu pamer rohani, menunjukkan
kebolehannya, kegagahannya, kekayaannya, kepintarannya, suka mencari-cari kedudukan (gila-gilaan
mengenai tahta, jabatan), suka duduk ditempat-tempat terhormat dan terdepan dalam sebuah pelayanan (di
rumah ibadat) hingga mencuri apa yang menjadi hak dan kepunyaan Tuhan. Mereka lupa diri dan tidak tau
diri dihadapan Tuhan Yesus, mereka tidak memahami posisi mereka dihadapan Yesus Kristus (ayat 9-10).
c) Mereka ingin menjadi pribadi (pemimpin) yang terbesar di depan banyak orang serta mereka memiliki
kesombongan di dalam hati (ayat 10-12). Artinya mereka ingin menggantikan posisi Yesus Kristus sebagai
pemimpin terbesar di depan banyak orang serta orang-orang farisi dan ahli-ahli Taurat ingin mempermalukan
Yesus dan ingin menjatuhkan Yesus dalam hal kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi, tanpa melihat
keterbatasannya. Hal itu pun tidak terwujud karena Yesus memahami mereka semuanya.
d) Suka menghalang-halangi datang kepada Tuhan (Mat.23:13). Artinya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat
pada waktu itu menutup pintu-pintu kerajaan sorga di depan orang banyak. Dengan kata lain, mereka tidak
memberitakan dan membagikan kebenaran (Firman Tuhan atau Taurat) yang mereka pelajari. Justru mereka
menyalagunakan dan mempertopengkan Firman Tuhan (Taurat) yang mereka pelajari, dan terima. Mereka
tidak melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab secara benar dihadapan Allah.
e) Tidak ada kepedulian terhadap sesama atau satu sama lain (Mat. 23:14). Artinya orang-orang Farisi dan ahli-
ahli Taurat menelan harta orang-orang yang kurang mampu atau yang tidak mampu sama sekali. Mereka tidak
memperhatikan dan tidak menolong orang-orang yang kurang mampu (tidak berdaya). Mereka justru
memperkaya diri mereka masing-masing tanpa memperdulikan orang-orang lemah seperti janda-janda di
dalam Alkitab. Mereka juga memakai hal-hal yang rohani untuk menghancurkan orang-orang lemah dengan
cara mengelabui banyak orang dengan perkara-perkara rohani. Hati-hati!
f) Memiliki motivasi yang salah dalam pelayanan (Mat.23:15). Artinya mereka membawa jiwa, menobatkan
jiwa atau mencari jiwa dengan motivasi yang salah (tidak benar). Mereka memiliki maksud yang lain untuk
menobatkan jiwa. Mereka jadikan orang-orang yang baru bertobat ini sebagai alat mereka untuk menghasut
orang-orang. Mereka tidak mendidik (melayani ) Allah sesuai dengan kehendak-Nya.
g) Mengadakan sumpah (Mat.23 :16-22). Artinya manusia tidak mempunyai hak untuk bersumpah demi apapun.
Sumpah sangat dilarang dengan keras, sebab sumpah sifatnya adalah terikat baik di bumi maupun di sorga.
Melanggar sumpah maka akibatnya malapetaka yang sangat besar.
h) Tidak fokus kepada hal-hal yang terpenting (Mat.23:23-24). Artinya orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat taat mengenai perpuluhan serta selalu mengingatkan kepada umat-Nya mengenai perpuluhan akan
tetapi, mereka lupa dan mengabaikan akan hal yang terpenting di dalam Hukum Taurat yakni “keadilan,
kesetiaan, dan belas kasihan”.
i) Bersih di luar (indah di luar) tetapi tidak bersih (busuk) di dalam (Mat.23: 25-26). Mereka diluar kelihatan
suci, putih seperti salju, lembut seperti embun dan tulus seperti merpati ternyata mereka merampas apa yang
menjadi haknya Tuhan dan sesamanya serta rakus dalam banyak bidang.
j) Putih di luar tetapi di dalam hitam penuh dengan kotoran-kotoran dan tulang-tulang yang busuk. Tampaknya
benar di mata orang tetapi di dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan (Mat.23:27-28)
k) Perkataan dengan sikap hatinya tidak sesuai dengan fakta (banyak kebohongan, sandiwara belaka dan tipu
muslihat) (Mat.23:29-26).7[7]
Mereka hanyalah melihat kekurangan orang lain tanpa melihat kesalahan diri sendiri. Karena
kemunafikanlah yang menjadikan mereka tidak dapat memberi teladan bagi setiap orang.

F. Menganggu Keseimbangan
Suatu kelompok minoritas dalam Yudaisme abad ertama Masehi. Dalam kepercayaan dan perbuatan,
mereka adalah tradisionalis. Di mata mereka penting untuk setia pada ketentuan keanggotaan kebangsaan
Yahudi melalui keteguhan memelihara Taurat tertulis dan setia mengambil bagian dalam peribadahan di Bait
Allah, tetapi mereka beranggapan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan ketundukannya kepada kekuasaan
penjajahan Romawi. Mereka menentang pemberontakan bersenjata dan segala persiapan untuk itu.8[8]
Sebabnya kaum Saduki ikut dalam pertikaian adalah kepedulian mereka adalah memelihara status quo
(keseimbangan yang ada). Kesalahan Yesus tersebar menurut pandangan mereka adalah Ia mengganggu
keseimbangan (Mrk. 12:1-12). Yesus juga mengungkapkan bahwa orang Yahudi sendiri akan ditolak dari
kerajaan yang mereka anggap sebagai hak istimewa mereka. Mereka tidak mau mendengar seruan Yesus untuk
bertobat, dan mereka harus memikul akibatnya (Mat. 11:2-24).
Yesus memusatkan berita yang suram ini dalam nubuat-Nya tentang penghancuran Yerusalem, kota
suci orang Yahudi, dan pusat keberadaan nasional mereka. 40 tahun kemudian semuanya terjadi, pasukan
Roma dibawah pimpinan Titus menghancurkan kota itu sedemikian rupa sehingga yang tersisa sekarang ini
dari Bait Allah yang dibangun Herodes adalah landasannya. Jatuhnya Yerusalem merupakan hukuman yang
telah lama ditunda, dan tidak lain dari karya Allah sendiri (Luk. 21:22) dan dengan demikian nubuat kitab suci
tergenapi. Kemudian Yesus menawarkan kepada mereka suatu kesempatan terakhir supaya bertobat, untuk
mengumpulkan orang-orang yang ingin dilindungi-Nya tetapi mereka menolak. Jadi sekarang akhirnya
hukuman harus dijatuhkan, sebab mereka tidak memperhatikan ketika Allah datng untuk menyelamatkan
mereka (Luk 13:34-35).
Pada waktu pengadilan, pertama-tama, Ia dituduh menghujat berdasakan pernyataan-Nya bahwa Ia
Mesias dan Anak Allah; kemudian dituduh menghasut sebab Ia menyatakan diri-Nya adalah raja. Alasan yang
sebenarnya yang mempersatukan para penguasa Yahudi melawan Yesus adalah ancaman-Nya terhadap sistem
agama serta harga diri kaum Farisi, dan terhadap kepemimpinan politik serta rasa aman kaum Saduki. Ia
berbahaya sebab itu Ia dibinasakan.
Namun mereka terlambat. Kurang dari setengah abad kemudian pemuka-pemuka Saduki lenyap.
Yudaisme corak Farisi hidup terus. Namun disampingnya timbul gerakan yang jauh lebih berkuasa, dan bebas
untuk bergerak keluar dari batas-batas bangsa Yahudi, suatu gerakan yang telah membawa orang-orang dari
berbagai bangsa mengenal Allah secara pribadi, melalui rabi dari Galilea itu.
Orang Yahudi menganggap bahwa mereka adalah orang-orang pilihan Allah sehingga mereka
menganggap bahwa mereka adalah orang-orang benar. Akibatnya mereka menjadi orang-orang yang sombong
dalam rohani, seperti orang-orang Farisi. Di depan khalayak ramai, mereka menunjukkan diri sebagai orang-
orang yang sangat rohaniwan. Mereka tidak menjadi teladan dalam perbuatan mereka sehingga menjadi batu
sandungan bagi masyarakat.

BAB III
PENUTUP

Aplikasi
Kemunafikan dapat menjadi batu sandungan terhadap orang lain, khususnya bagi kita yang sudah
mengenal Firman Tuhan. Yesus menjelaskan bahwa bukan teori yang penting, tetapi dari sikap dan perbuatan
kita yang menjadikan hidup kita berkenan atau tidak di hadapan Allah. Dalam Bab ini, kita belajar bahwa
seorang hamba Tuhan harus hidup berkenan kepada Tuhan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak
munafik dalam setiap pemberitaannya mengenai kebenaran Firman Tuhan. Seorang hamba Tuhan harus
mampu mengaplikasikan pengajarannya dalam setiap kehidupan sehari-hari sehingga terbukti bahwa ia dapat
dijadikan teladan bagi jemaat dan sekitarnya. Sama hal nya dengan orang yang sudah percaya kepada Yesus,
harus mampu memberikan teladan bagi sekitarnya sehingga orang dapat melihat kemuliaan Kristus ada dalam
hidupnya. untuk menjadi seorang yang berintegritas itu tidak gampang, banyak hal yang dikorbankan. Bahkan
di tengah dunia ini, hamba Tuhan harus mampu tetap berpegang teguh kepada Firman Tuhan meskipun ada
banyak orang di sekelilingnya yang menentangnya
Buku ini adalah buku terjemahan dengan judul asli Jesus the Radical: A Portrait of the Man They Crucified.
Sebagai buku yang biografis tentang Yesus, dosen bidang Perjanjian Baru ini mencoba menggali Yesus
sebagai sosok yang berbeda dari yang kebanyakan orang pahami pada masa kini. Sebagian pandangan ini
melihat Yesus sebagai sosok yang lemah lembut, sahabat anak-anak dan tidak mau marah. Sosok yang
memang benar, tapi tidak lengkap. Sementara, sebagian lagi memandang Yesus sebagai tokoh revolusioner
yang akan membebaskan orang-orang tertindas dari penderitaan mereka. Cara pandang yang bervariasi ini
memang tidak menjawab secara sempurna tentang siapakah Yesus ini. Karena itu, sang penulis tidak
mencoba menjawab kesiapaan Yesus, hal ini diserahkannya kepada para pembaca. Dia sendiri menyadari
bahwa upaya penulisan buku ini tidak terlepas dari pendekatan sepihak, yaitu dari segi keradikalan Yesus.
Bahkan pembedah sendiri pun tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas penafsiran atas pemaparan
pandangan France ini.

Laporan-laporan yang terdapat dalam Alkitab tentang Yesus diangkat penulis tidak terlepas dari bagaimana
kesan orang-orang lain tentang diri-Nya. France tidak menyebutkan apa arti radikal itu, tapi kita akan
mendapatkan kesan bahwa keradikalan Yesus yang dimaksudnya berarti bahwa Dia berbeda sama sekali dari
apa yang orang pikirkan, dalam segala hal: ajaran maupun praksisnya. Wajar bila kita menemukan banyak
penjelasan historis yang diberikan penulis untuk menunjukkan perbedaan antara diri Yesus dan konteksnya.
Dan menurut France hal ini berfokus pada pendekatan Yesus yang radikal terhadap Perjanjian Lama (hlm.
94).

Dalam 12 bab isi bukunya, France menjabarkan keradikalan Yesus ini, yaitu:

1. Nazaret, memaparkan keradikalan Yesus sebagai sosok yang tumbuh di kota kecil Nazaret yang
kemudian menolak-Nya, namun menjadi sosok yang diperhitungkan, yang membangkitkan reaksi-
reaksi yang sangat keras atas diri-Nya, baik penerimaan atau pun penolakan.
2. Pengharapan, menyajikan konteks pengharapan Mesianis Yahudi terutama atas kondisi ketersiksaan
dalam penjajahan Romawi dan Mesianis yang diharapkan adalah sosok liberator politis. Bab ini
adalah sebuah pengantar historis yang baik untuk bab-bab berikutnya.
3. Persiapan, menjelaskan masa-masa prapelayanan-Nya yang telah menunjukkan perbedaan itu.
Kelahiran-Nya di palungan Betlehem dari seorang perawan, tahun-tahun tersembunyi-Nya untuk
belajar, pembaptisan-Nya sebagai identifikasi dan solidaritas-Nya atas orang berdosa, ketegasan-Nya
menolak godaan Iblis, dan awal misi-Nya.
4. Para murid, yaitu uraian tentang ajakan Yesus yang tidak terbantahkan bahkan disambut luar biasa,
pemilihan para murid dari segala golongan: revolusioner, pemungut cukai yang dianggap orang
berdosa, non-Galilea, kaya, miskin, dll. Pola-pola pemuridan-Nya pun menuntut komitmen total dan
cara-Nya mempersiapkan mereka luar biasa.
5. Mujizat, menguraikan bagaimana mujizat-Nya, kadang Dia menolak untuk menyembuhkan,
melarang untuk menyebarkan, tetapi sekaligus menunjukkan kuasa-Nya dan fokus-Nya bukan pada
diri-Nya dan penyembuhan itu, tetapi pada pekerjaan Allah.
6. Masyarakat, menjelaskan perhatian-Nya pada orang-orang terkucilkan, yang dianggap ‘orang
berdosa’, orang nonYahudi, kecaman bagi orang kaya, dll.
7. Pertikaian, memperlihatkan bahwa Dia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap hukum Taurat,
mengecam kelompok-kelompok Yahudi sebagai ‘hupocrites’. Dia dianggap mengganggu wibawa
dan keseimbangan yang ada. Tidak segan untuk mengkritik dan selalu menguasai pembicaraan
dengan kecemerlangan-Nya.
8. Kerajaan Allah, adalah fokus pemberitaan dan pekerjaan-Nya. Dia menolak untuk dinobatkan
sebagai Raja, meskipun berujung dengan penghakiman sebagai ‘Yesus Raja Orang Yahudi’.
Kerajaan Allah diberitakan dan dijalankan lewat ajaran dan pekerjaan-Nya yang tidak selaras dengan
pemikiran Mesianis Yahudi. Pekerjaan-Nya adalah kehadiran Kerajaan Allah, secara rohani bukan
secara politis.
9. Konfrontasi, menjelaskan kedatangan-Nya ke Yerusalem dan penangkapan-Nya. Masuk-Nya ke
Yerusalem disambut dengan pujian dan mempertunjukkan sebuah drama ‘kemarahan’ di Bait Allah
akibat ketidakbenaran, mengorek kebusukan para pemimpin Yahudi dan imam. Tapi di sisi lain, Dia
menunjukkan kerendahan hati bagi para murid-Nya, tapi tidak segan membentak Petrus yang
menegor visi-Nya. Dia tetap fokus pada misi akhir-Nya untuk mati sehingga membiarkan diri-Nya
ditangkap secara sukarela.
10. Penghukuman. Dalam pemeriksaan selama 5 kali, Yesus sama sekali tidak ditemukan kesalahan-
Nya, kecuali fitnah-fitnah yang dilontarkan yang salah dimengerti oleh Pilatus sebagai buah
sentiment para pemimpin Yahudi. Tapi Dia lebih banyak diam, jujur tapi tidak diterima. Penyaliban
sebagai penghukuman terkejam masa itu pun diterima-Nya sebagai keputusan-Nya sendiri.
11. Pembenaran, menjelaskan perihal kebangkitan-Nya yang memang tidak dapat dimengerti secara
logis. Dia bangkit sebagai manusia, tapi kini sebagai manusia yang tidak terbatas oleh ruang dan
waktu. Kadang Dia tidak dikenal, tiba-tiba bisa hadir dalam ruangan tertutup, Dia bisa makan, tapi
juga bisa hilang tiba-tiba. Dan semua Injil menceritakan ini tanpa terkecuali.
12. Pilihan, menjabarkan bahwa demonstrasi kehidupan Yesus memperhadapkan manusia pada dua
pilihan yaitu mencap-Nya sebagai penipu atau sebagai yang berkuasa. Memilih untuk mengikut Dia
atau membenci Dia. Sangat ketat, sehingga hal netral tanpa pilihan pun menjadi pilihan membenci
Dia. Pengambilan keputusan tak dapat dihindari.

Dari pemaparan ini, kita diperhadapkan juga pada pilihan sama seperti pada orang-orang zaman Yesus,
seperti para pemimpin Yahudi atau seperti para murid yang mengasihi Yesus. Keradikalan Yesus ini
menunjukkan pentingnya hidup sebagai seorang yang radikal. Radikal bukan berarti pemberontak dan
pembangkang, sebab keradikalan Yesus harus dilihat dalam kerangka pengejawantahan cinta-Nya pada
Allah dan kerajaan-Nya. Dia begitu mencintai Allah, sehingga mencintai Taurat dengan sepenuh-Nya
melalui pemaknaan yang sama sekali baru. Dia sama sekali tidak bukan pembangkang, tetapi adalah penurut
yang setia pada Bapa-Nya dan pekerjaan-Nya yang radikal adalah upaya menghadirkan Kerajaan Allah,
bukan konfrontasi yang tidak jelas dan kebablasan.

Anda mungkin juga menyukai