Paradigma Katolik Roma mengalami sebuah krisis pada akhir Abad pertengahan,
pada waktu kekuatan-kekuatan perubahan mengantarkan sebuah zaman baru (bnd. Oberman
1983: 119-126, 1986:1-17). Orang yang menjadi katalis dalam memperkenalkan paradigma
Pada abad ke-16, Luther menemukan penekanan utama teologi Paulus dalam Roma 1:
16; di situ “Injil”digambarkan sebagai “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang
yang percaya”, dan bahkan lebih khusus lagi dalam ayat berikutnya yang berbunyi (dalam
versi King James), “Karena di situlah (yaitu, di dalam Injil), kebenaran Allah dinyatakan dari
iman kepada iman, seperti tertulis, Orang benar akan hidup oleh iman”. “Penemuan kembali”
teks ini dan maknanya hanya terjadi secara bertahap pada diri Luther. Studi teologinya dan
bahwa ia harus memuaskan Allah yang murka dengan cara mematikan diri dan melakukan
bahwa kebenaran Allah tidak berarti penghukuman dan murka Allah yang benar, tetapi
pemberiaanya berupa kasih karunia dan kemurahan yang dapat diterima seseorang di dalam
penafsiran ulangnya atas Roma 1:16 dyb., tetap menjadi dasar dan sokoguru atau fokus dari
seluruh hidup dan teologinya (:175). Ia tidak dapat lagi berhenti merasa takjub terhadap
1
kenyataan bahwa Allah telah menerimanya, manusia yang malang dan celaka, dengan penuh
rahmat dan dengan cuma-cuma. Reformasi tidak memutuskan diri dari paradigma Katolik
Abad Pertengahan dalam segala seginya. Beberapa unsur Protestantisme pada kenyataannya
adalah kelanjutan, meskipun dalam suatu bentuk baru, dari apa yang menjadi ciri model
Katolik juga.
tentang misi, penting kita menyoroti bidang-bidang yang berbeda dengan paradigma Katolik.
Ada lima ciri yang ditemukan dalam semua perwujudan Protestan abad ke-16 yang
diidentifikasikan untuk menolong kita melihat kontur-kontur “teologi Protestan tentang misi”,
yaitu :
1. Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa bagi Reformasi Protestan pasal pembenaran
oleh iman adalah titik tolak teologis. Pasal ini mengungkapkan keyakinan dasar
Reformasi: ada jarak yang luar biasa antara Allah dan ciptaan-Nya, namun Allah
dalam kedaulatan dan oleh kasih Karunia-Nya (sola gratia) mengambil inisiatif untuk
pembenaran sudah menjadi salah satu dimana semua doktrin lainnya tergantung (bnd.
Beinert 1983:208). Titik tolak Reformasi bukanlah apa yang dapat dan harus
dilakukan orang untuk mendapatkan keselamatan mereka, melainkan apa yang telah
2. Pandangan bahwa manusia erat terkait dengan sentralitas kebenaran harus dilihat dari
perspektif kejatuhan ke dalam dosa, sebagai ciptaan yang tersesat, tidak mampu
dengan pandangan Aquinas tentang kebaikan dan realibilitas nalar manusia; nalar
disadarkan akan kondisi mereka yang sesat agar mereka dibawa pada pertobatan dan
2
dilepaskan dari beban dosa mereka yang berat. Sementara Katolisisme cenderung
dosa (tunggal) dan keberdosaan umat manusia yang hakiki (bnd. Grundel 1983 : 120).
boleh lagi dianggap sebagai Allah di dalam diri-Nya (Gott an sich); Ia adalah Allah
bagi saya, bagi kita, Allah yang demi Kristus, telah membenarkan kita oleh kasih
karunia (bnd. Beinert 1983:207 dyb,; Pfurtner 1984 : 174 dyb.). Reformasi
pertanyaan pribadi sang individu. Penekanannya tidak pernah lagi lenyap; dalam
ribuan cara yang berbeda orang-orang percaya akan menekankan pengalaman pribadi
dan subyektif dalam kelahiran baru oleh Roh Kudus, maupun tanggng jawab individu
1960:123). Orang percaya berada dalam hubungan langsung dengan Allah suatu
Gereja. Ini berarti, bahwa firman lebih tinggi kedudukannya daripada citra, telinga
daripada mata.
Gustav Warneck, bapak misiologi sebagai sebuah disiplin teologi adalah salah satu
sarjana Protestan pertama yang mengembangkan pandangan “kita tidak hanya tidak
menemukan kegiatan misi pada diri para Reformator, tetapi bahkan juga gagasan tentang
pandangan teologis yang dasariah menghalangi mereka untuk memberikan arah misioner
3
Namun, belakangan ini beberapa ahli telah mengajukan pendapat bahwa penilaian
yang seperti diungkapkan Warneck sama dengan mengajukan para Reformator di hadapan
meja gerakan misi modern dan menyatakan mereka bersalah karena tidak berpegang pada
definisi tentang misi yang bahkan pada zaman mereka belum ada. Menurut para ahli, dengan
mengatakan bahwa para reformator tidak mempunyai visi misioner, berarti keliru memahami
tekanan utama teologi dan pelayanan mereka. Luther, khususnya harus dianggap sebagai
“pemikir misi yang kreatif dan orisinal” dan kita harus membiarkan diri kita membaca
Alkitab “melalui mata Martin Luther, sang misiolog” (Scherer 1987:65; 66). Malah, terhadap
usaha misi gereja ia memberikan pedoman-pedoman dan prinsip-prinsip yang jelas dan
Titik tolak teologi para Reformator bukanlah apakah yang harus atau dapat dilakukan
orang demi keselamatan dunia, melainkan apa yang sudah dilakukan Allah di dalam Kristus.
sehingga firman itu dapat “berlari” dan “meningkat” sampai hari terakhir menyingsing.
Gereja diciptakan oleh verbum externum (firman Allah dari luar manusia) dan fiman ini telah
dipercayakan kepada gereja. Orang bahkan dapat mengatakan bahwa Injil ini sendirilah yang
“memisikan” dan dalam proses ini memanggil umat manusia (Holsten 1953:11). Jadi secara
keseluruhan tekanannya adalah pada misi yang tidak tergantung pada usaha-usaha manusia.
Tidak seorang pengkhotbah pun tidak seorang misionaris pun, yang boleh berani mengklaim,
apa yang pada kenyataannya adalah pekerjaan Allah sendiri, sebagai semangatnya sendiri
Namun, hal ini tidak berarti bahwa sikap menjadi pasif dan diam-diam saja. Bagi
Luther, iman adalah sesuatu yang hidup, gelisah yang tidak dapat tinggal diam. Kita tidak
diselamatkan oleh perbuatan, katanya, namun ditambahkannya, “tetapi kalau tidak ada
pekerjaan, tentu ada sesuatu yang salah dengan iman tersebut” (dikutip dalam Gensichen
4
1960:123). Di tempat lain ia menulis bahwa bila seorang Kristen mendapati dirinya berada di
suatu tempat di mana tidak da orang Kristen lain, “ia mempunyai kewajiban untuk
memberitakan dan mengajarkan Injil kepada orang-orang non-Kristen karena itulah tugasnya
sebagai saudara meskipun, misalnya, tak seorang pun menyuruhnya melakukan hal tersebut”
Teolog-teolog Lutheran lainnya dari masa Reformasi tidak begitu jelas pendapatnya
tentang sifat misioner teologi. Calvin, sebaliknya lebih eksplisit, khususnya karena teologinya
percaya dibandingkan dengan teologi Luther (bnd. Oberman 1986: 235-239). Juga patut
dicatat bahwa mereka sepenuhnya memisahkan diri dengan gagasan apapun untuk
menggunkan kekerasan untuk mengkristenkan orang. Pedang kaisar, kata Luther, tidak ada
hubungannya dengan iman dan tidak ada satu pasukan pun yang boleh menyerang orang lain
dengan panji-panji Kristus; malah, bila paus benar-benar merupakan wail Kristus di muka
bumi, ia akan memberitakan Injl kepada orang-orang Turki dan bukan menghasut para
penguasa sekular untuk melakukan serangan kekerasan terhadap mereka (bnd. Warneck
mengidentifikasikan apa yang pada dasarnya merupakan tekanan misioner dari teologi para
Reformator, sedikit sekali yang terjadi dalam jangkauan misioner pada dua abad pertama
setelah Reformasi. Jelas, ada halangan-halangan praktis dalam hal ini. Pertama-tama, kaum
Protestan melihat tugas utama mereka adalah memperbarui gereja pada zaman mereka. Hal
ini menghabiskan semua energi mereka. Kedua, kaum Protestan tidak mempunyai kontak
bangsa Katolik, sudah mempunyai kekaisaran kolonial yang luas pada waktu itu. Ketiga,
5
dengan meninggalkan monastisisme, para Reformator telah kehilangan sebuah agen misi
yang sangat penting. Kelima, orang-orang Protestan itu sendiri tercabik-cabik oleh pertikaian
intern dan kehabisan tenaganya dalam semangat yang sia-sia dan dalam perbedaan pendapat
Ada perbedaan yang paling penting antara gerakan Reformator dan Anabaptis bila
dilihat dari perspektif pandangan mereka tentang misi, yaitu terletak dalam sikap mereka
yang bertentangan dengan penguasa sipil. Kaum Anabaptis menekankan pemisahan yang
mutlak antara gereja dan negara dan nonpartisipasi dalam semua kegiatan pemerintahan.
Sudah tentu ini berarti bahwa gereja dan negara tidak dapat bekerja sama dalam keadaan apa
pun juga. Para Reformator, pada pihak lain, tidak dapat membayangkan jangkauan misi ke
negara-negara di mana tidak ada pemerintahan yang Protestan (Lutheran, Hervormd dll).
Karena itu, penting bahwa dua usaha misi yang dilakukan dalam kerja sama dengan para
penguasa sipil.
Salah satu alasan mengapa kaum Anabaptis berpegang pada “mandat” Amanat
Agung” dan para Reformator tidak, dapat ditemukan dalam penafsiran mereka yang
tidak mnyangkal bahwa Gereja Katolik masih memperlihatkan ciri-ciri dari Gereja yang
sejati; hal ini menjadi jelas, misalnya, dalam kenyataan bahwa mereka menerima keabsahan
baptisan oleh imam-imam Katolik. Keprihatinan mereka adalah pembaharuan gereja, bukan
setiap perwujudan lain dari kekristenan sampai saat itu; seluruh dunia, termasuk para
pemimpin dan penguasa gereja Katolik dan Protestan, melulu terdiri dari orang-orang kafir
(Schaufele 1966:97).
6
Ortodoksi Dan Misi Lutheran
Pada saat Saravia menulis risalatnya tentang panggilan misioner gereja, pengaruh kuat
membarui gereja memberikan jalan pada usaha untuk menjaganya tetap murni secara doktrin.
Kudus dan akhirnya mengatur masalah-masalah keagamaan di berbagai wilayah Eropa sesuai
dengan prinsip cuius regio eius religio. Sejak itu Katolisisme menjadi agama yang mapan di
Sebuah faktor penting dalam hal ini adalah perkembangan pemahaman Protestan
tentang gereja dalam dekade-dekade segera sesudah Reformasi (bnd. Neill 1968:71-77; Piet
1970: 21-29). Ketika Reformasi menghancurkan kesatuan kuno gereja Barat, setiap
potongan-potongan yang lainnya. Definisi paling terkenal tentang gereja pada abad ke-16
adalah apa yang ditemukan dalam Pengakuan Iman Augsburg (Lutheran) di tahun 1530. Ayat
VII-nya melukiskan gereja sesuai dengan dua tanda yang membedakannya, yakni “sebagai
persekutuan orang-orang kudus di mana Injil diajarkan secara murni dan sakramen
dilayankan dengan benar”. Hal ini memaksa Gereja Roma, dalam Konsili Trente (1545-
1563), untuk menjawabnya dengan deskripsinya sendiri tentang apa gereja yang sejati itu,
yang “ terdiri dari keesaannya”, dan yang mempunyai satu penguasa yang tidak kelihatan,
yaitu Kristus, tetapi juga seorang pangeran dari semua Rasul” , yang “menduduki Tahta
Roma”.
Reformasi telah tiba pada bentuk akhirnya dengan pembentukan gereja-gereja negara
dan sistem-sistem doktrin yang resmi serta perilaku Kristen yang dianngap baku. Namun,
gereja yang memiliki doktrin yang murni adalah gereja yang tidak memiliki misi dan
7
teologinya lebih bersifat skolastik daripada kerasulan (bnd. Niebuhr1959:166; Braaten
1977:13). Teolog pertama dari masa ortodoksi Lutheran yang bergumul dengan masalah misi
adalah Philip Nicolai (1556-1608) (bnd. Hess 1962:passim). Ia sebagai seorang figur transisi,
yang kemudian. Pandangan-pandangannya tentang misi – yang dalam bentuknya yang lebih
ekstrem, kemudian menjadi ciri khas ortodoksi – dikembangkan khususnya dalam bukunya
Agung” telah digenapi oleh para rasul dan tidak lagi mengikat gereja. Namun, berbeda
dengan ortodoksi di kemudian hari, ia tidak percaya bahwa oleh karena itu panggilan
karya misi orang-orang Katolik dan yang lain-lainnya mengenai “Amanat Agung” dan
pembedaannya antara tugas para rasul dan tugas para missionaris di kemudian hari, mereka
hanya mempertahankan unsur yang menyatakan bahwa generasi Kristen masa kini tidak
punya urusan untuk terlibat dalam misi kepada orang-orang kafir karena para rasul telah
menyelesaikan tugasnya.
untuk keselamatan terletak pada Allah semata-mata. Keyakinan ini terletak pada akar
pengajaran Luther tentang pmbenaran oleh iman, dengan kasih karunia, dan tentang doktrin
Calvin mengenai predetinasi. Namun, Luther dan Calvin tidak menafsirkan penekanan
inisiatif Allah dalam cara yang kaku. Ortodoksi cenderung meletakkan semua penekanannya
menilai usaha misi seberang lautan Katolik Roma dengan cara yang lembut. Meski demikian,
setiap jejak optimisme dengan segera dibuang dari ortodoksi. Pesimisme dan kepasifan
8
mempunyai penyebab yang jauh lebih mendalam: gambaran yang gelap tentang sejarah
dalam ortodoksi Lutheran. Nicolai mengharapkan parousia berlangsung sekitar tahun 1670.
Dalam kasusnya kegawatan akhir dunia yang akan segera datang ini masih berfungsi sebagai
motivasi misi. Dalam perkembangan abad ke-17, keadaannya pun berubah. Situasi di dalam
sehingga fokusnya bukan lagi pada keyakinan bahwa Kristus dan pemerintahan-Nya akan
menang, melainkan pada pertanyaan yang menakutkan apakah Kristus, bila Ia datang
3. Ortodoksi Luther tidak dapat membebaskan dirinya dari pandangan bahwa misi
misi kepada orang-orang kafir tak seorang pun dapat dibebaskan di hadapan Allah dengan
alasan ketidaktahuan karena Allah telah menyatakan diri-Nya kepada segala bangsa melalui
Dalam Pietisme, iman ortodoksi yang formal benar, dingin dan berhubungan
dengan otak, tersingkir oleh kesatuan yang hangat dan sungguh-sungguh bersama Kristus.
mendapatkan makna baru. Jelas ada suatu sikap yang sempit dalam Pietisme, khususnya
sejauh menyangkut kecenderungan untuk menetapkan dengan ketat tentang cara bagaimana
individu dapat menjadi orang percaya yang sejati. Zinzendorf khususnya, menentang gagasan
9
Misi baginya, bukanlah suatu kegiatan gereja, melainkan kegiatan Kristus sendiri,
melalui Roh-Nya. Namun, dalam hal ini Kristus mempergunakan orang-orang yang
mempunyai iman dan keberanian yang luar biasa, yang mempunyai daya keberanian dan
daya tahan yang tinggi. Dengan demikian, Pietisme memperkenalkan prinsip “kerelaan”
(voluntarisme) dalam misi (bnd. Warneck 1906 : 55 dyb, 59 dyb). Bukan Gerejaa (ecclesia)
yang dihidupkan kembali di dalam gereja ecclesiola in ecclesia. Dari sini tinggal selangkah
lagi sebelum misi menjadi hobi dari kelompok-kelompok minat khusus, sebuah praktik yang
bertentangan dengan gagasan tentang imamat am orang percaya (bnd. Scherer 1987 : 73).
Kaum Pietis pertama tidak hanya tertarik pada jiwa-jiwa manusia. Pada tahun 1701
Francke menetapkan tujuan gerakan pembaruan sebagai “ perbaikan konkret dalam segala
segi kehidupan di Jerman, Eropa , di seluruh dunia” (dikutip dalam, Genshichen 1975a : 156).
Ziegenbalk menyatakan bahwa Dienst des Leibes (“pelayanan jasmani”) saling bergantung
dan bahwa pelayanan jiwa tidak dapat bertahan tanpa sisi “luarnya” (:163; bnd. Norgaard
1988:122). Demikian pula hal ini tidak tinggal dalam tingkat pembicaraan. Di Jerman,
Francke dan kaum Pietis lainnya terlibat secara luas dalam “misi dalam negeri”, melayani
orang-orang miskin dan papa di Halle dan sekitarnya mendirikan sebuah sekolah untuk
orang-orang miskin, rumah yatim, rumah sakit, rumah janda dan lembaga-lembaga lainnya.
Pada dekade ketiga abad ke-18, iklim teologis Pietisme perlahan-lahan mulai
berubah. Pietisme tidak mampu menahan dirinya dalam menghadapi roh zamannya.
Situasinya lebih lanjut dicampuri oleh kenyataan bahwa Pietisme tidak berhasil menembus ke
dalam hati gereja-gereja Jerman dan serangan dari pihak Ortodoks Lutheran yang menghina
gagasan misi Protestan. Pertama, misi tidak dapat lagi semata-mata dianggap sebagai tugas
pemerintah-pemerintah kolonial. Kedua, misi diubah dari suatu keprihatinan para penguasa
10
dan hierarki gereja menjadi suatu usaha yang dengannya orang-orang Kristen biasa tidak
hanya dapat mengidentifikasikan diri, tetapi di mana mereka dapat secara aktif ikut serta.
Ketiga, Pietisme mengantarkan zaman oikumenisme dalam misi yang berarti bahwa ia
bertujuan menciptakan suatu persekutuan Kristen yang melampaui batas – batas negara dan
konfesi. Keempat, selama satu abad penuh, abad ke – 18, Pietisme menyebabkan Jerman
menjadi negara misioner terkemuka Protestantisme. Hal ini disebabkan terutama oleh
kepemimpinan yang diberikan oleh orang-orang seperti Francke dan Zinzendorf. Akhirnya,
Pietisme menunjukkan dengan cara yang luar biasa apa artinya dedikasi penuh.
tetapi juga ke dalam Calvinisme. Faktor-faktor yang menentukan bersifat teologis serta
sosial-politik. Sehubungan dengan yang belakangan, Belanda dan Inggris, yang keduanya
dengan banyak koloni di seberang lautan. Namun, semuanya itu tidaklah cukup untuk
membangkitkan minat dalam misi. Karena itu, sebuah faktor teologis yang penting harus pula
Amerika.
karya Roh di dalam jiwa manusia, yang memperbaharui kehidupan batin, dan kegiatan Roh
dalam memperbarui “wajah bumi”. Bagi Calvin, Kristus yang ditinggikan ke sebelah kanan
Allah terutama adalah Kristus yang aktif. Dalam pengertian tertentu Calvin menganut
Kristus) dalam hal ini, sambil memandang gereja sebagai perantara antara Kristus yang
11
ditinggikan dengan tatanan sekular. Titik berangkat teologis seperti itu mau tidak mau
membangkitkan gagasan tentang misi sebagai “perluasan pemerintahan Kristus”, baik oleh
pembaruan rohani dalam batin individu maupun dengan memperbarui wajah bumi dengan
adalah protestan pertama yang pernah mengembangkan “teologi misi” yang komprehensif.
Voetius menganggap dasar misi pada hakikatnya teologis mengalir dari Allah sendiri. Karena
itu dengan tepat ia dapat diangap sebagai salah satu eksponen pertama dari apa yang dimasa
kita dikenal sebagai mission Dei. Yang sama pentingnya adalah kenyataan bahwa ia
mendefinisikan misi dalam pengertian- pengertian yang pada abad-abad berikutnya menjadi
kabur. Ia memandang misi, antara lain, bertujuan untuk mempersatukan gereja-gereja yang
berada di tepi keruntuhan atau yang telah tersebar melalui penganiayaan; sebagai pembaruan
gereja-gereja telah mundur secara teologis sebagai penyatuan kembali gereja-gereja yang
terpisah satu dari yang lain, sebagai usaha mendukung gereja-gereja yang tertindas dan yang
menjadi miskin, dan sebagai usaha menuju pembebasan gereja-gereja yang mengalami
Voetius menganggap paus, para uskup, ordo-ordo dan kongresi serta penguasa
sekuler, sebagai agen-agen yang tidak cocok untuk misi. Hanya gerejalah yang dapat menjadi
pengemban misi yang sah karena hanya gereja yang dapat menanam gereja-gereja. Dari sini
muncul bagi Voetius bahwa gereja-gereja yang baru ditanam sama sekali tidaklah tunduk
kepada gereja yang menanam gereja yang “lebih tua” dan “lebih muda” berdiri dalam
Seperti halnya gereja yang “lebih muda” tidak tunduk kepada yang “lebih tua” ia
pun tisak bisa tunduk kepada pemerintah. Voetius menolak hak perlindungan katolik roma di
12
masa itu, yang memberikan kekuasan kepada raja-raja Portugal dan spanyol atas gereja yang
“lebih muda” di koloni-koloni mereka. Ia pun melepaskan diri seperti kasus pietis seabad
sesudahnya, dari paksaan apapun dalam masalah-masalah keagamaan para penganut agama
Pemahaman kaum puritan tentang misi pada hakikatnya tidak berbeda dengan
pemahaman Voetius dan jelas ada semacam saling mempengaruhi di antara mereka. Sinode
Dordrecht yang terkenal (1618-1619 ) dimana Voetius memainkan peranan yang menonjol,
misalnya dihadiri pula oleh utusan-utusan dari gereja-gereja Inggris dan Skotlandia. Namun
perintis misi yang tidak diragukan lagi adalah Jhon Elliot, seorang puritan (1604-1690), yang
menghabiskan praktis seluruh pelayanannya, dari tahun 1690-an sampai matinya, di antara
permulaan kebangunan besar. Para teolog yang menolong mengembangkan gagasan misi
pada zaman ini adalah selain Elliot, Richard Sibbes, Richard Baxter dan Ctton Mather,
sementara Johanthan Edward adalah seorang tokoh transisi (ban. Rooy 1965). Khususnya
berdasarkan studi studi yang sangat baik oleh Niebuhr ([1937] 1959), Van Den Berg (1956),
Rooy (1965), De Jong (1970) dan Chaney (1976), kini saya akan berusaha mengietifikasikan
1. Sebuah ciri dasariah dari Calvinisme adalah doktrin predestinasi. Doktrin ini telah
sering kali keliru dipahami dalam pengertian yang sangat kaku: bila Allah telah
menetapkan orang pada keselamatan (dan yang lainnya dalam penghukuman, seperti
13
menyelamatkan siapa yang ia ingin selamatkan, sesukanya sendiri. Jadi, keyakinan
2. Bagi orang puritan tujuan akhir misi, seperti halnya bagi Voetius, tetaplah kemulian
Allah, disebut sebagai akar tunjang misi gereja. Hal ini jelas menjadi motif yang kuat
bagi keterlibatan misi pada dua abad pertama misi protestan. Seperti predestinasi, ini
adalah ajaran dasar calvinisme. Keseluruhan hidup orang Kristen berdiri dalam tanda
yang memuliakan nama Allah dan mengakui kedaulatan-Nya atas segala sesuatu.
Kedautan Allah tidak berarti meniadakan kasih karunia Allah, meskipun yang
pertama dan bukan yang kedua diutamakan pada abad ke-17. Hanya pada abad ke -18
terjadi pergeseran dari tekanan yang sangat kuat pada kedaulatan Allah pada perhatian
3. Akan tetapi, kemulian atau kedaulatan Allah tidak boleh dipahami terasing dari kasih
karunia dan belas kasih-Nya yang tidak terselami. Kaum puritan” dikendali oleh kasih
Yesus. Kasih Yesus dipahami dalam cara berganda: kasih-Nya seperti yang dialami
oleh orang percaya, dan kasih-Nya untuk umat manusia yang belum tertembus.
Berbicara tentang kasih kristus bagi orang-orang berdosa yang diampuni yang dengan
4. Usaha misi calvinis, baik misi yang mewakili “ Reformasi kedua” Belanda ataupun
kolonialis. Dalam bab berikutnya hubungan yang erat antara kolonialisme dan misi
akan ditelaah lebih jauh. Disini hanya mengacu pada gagasan colonial seperti
terwujud dalam abad ke-17 dan awal abad ke-18 serta hubungannya dengan misi-misi
protestan.
14
Dalam hal calvinisme, dimensi yang lain ditambahkan, yakni teokrasi. Kemana pun
suatu sistem sosial politik dimana Allah sendiri akan menjadi penguasa yang sesungguhnya.
Negara mengemban panggilan ilahi untuk berfungsi sebagai sebuah agen pelengkap.
Keselarasan yang sempurna antara gereja dan Negara dibayangkan. Ketika Oliver Cromwell
dan yang lain-lainnya bermimpi untuk memperbaharui Inggris menjadi teokrasi; suatu
integrasi antara agama dan politik dimaksudkan untuk mencerminkan kehendak Allah bagi
Calvinis awal memahami hubungan antara misi dan eskatologi. Perbedaan yang tajam
berikutnya (khususnya akhir abad ke-19 maupun abad ke-20) belum ada.
Eskatologi, lebih daripada bidang-bidang lain dalam iman Kristen telah selamanya
berkembang bebas. Namun ada suatu derajat kesepakaan yang mencengangkan disini karena
semuanya sama-sama menganut visi teokratis pandangan mereka tentang hubungan antara
misi dan eskatologi pada hakikatnya, mencangkup empat unsur: antisipasi kejatuhan Roma
lalu masuknya secara besar-besaran orang-orang Yahudi dan non Yahudi kedalam gereja
sejati; evolusi suatu zaman dengan iman sejati dan berkat materi di antara segala bangsa; dan
keyakinan yang kuat bahwa Inggris secara ilahi diberikan mandat untuk memimpin sejarah
pada tujuan yang telah ditetapkan dalam hal-hal ini. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran
seperti itu, seolah-olah memenuhi udara abad ke 17 dan sesudahnya. Pada saat yang sama
15
6. Peningkatan budaya sebagai tujuan misi masih belum berkembang dalam “Reformasi
kedua” dan periode puritan. Orang-orang Kristen barat percaya bahwa budaya mereka
lebih unggul dibandingkan dengan budaya bangsa-bangsa non barat, tetapi mereka
abad ke-18, sungguh mengejutkan bahwa hal itu praktis tidak memainkan peranan
ketidakhadiran motif ini adalah bahwa keabsahan pengutusan itu sendiri tidak
16