Oleh :
Dede Tri Pirmandi, S.Ked
FAB 117 035
Pembimbing :
dr. Tagor Sibarani
dr. Sutopo, Sp. RM
1
BAB I
PENDAHULUAN
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai jaringan otak/ parenkim otak oleh berbagai
macam mikroorganisme, misalnya viral, bakteri, fungi, protozoa dan metazoa. Peradangan
pada parenkim otak dan biasanya diasosiasikan dengan penyakit meningitis. Agen penyakit
gejala dan manifestasi yang berbeda, contohnya virus rabies menyebabkan gejala infeksi dan
manifestasi pada sistem saraf pusat yang berat sedangkan gejala sedikit kurang pada infeksi
Luasnya daerah parenkim otak yang terkena infeksi dan Manfestasi yang muncul pada
penyakit Ensefalitis tidak hanya tergantung pada patogen penyebab infeksi, tetapi juga kondisi
pertahanan tubuh si host dan faktor lingkungan juga berperan penting. Beberapa agen infeksi
yang penting dan banyak menyebabkan ensefalitis adalah virus herpes simpleks 1 (HSV-1),
virus varicella zoster (VZV), enterovirus, virus Epstein-Barr (EBV), Tickborne (TBE), human
herpesvirus 6 (HHV-6), virus rabies, West Nile Virus (WNV), dan virus HIV (Human
immunodeficiency virus).1
Onset Ensefalitis terjadi secara akut, dan progresif, sehingga penderita ensefalitis, yang
pada awalnya sehat, tiba-tiba menjadi tidak sadar. Ditambah lagi, bahkan praktisi yang
berpengalaman sekalipun sering tidak yakin mengenai penyebab, terapi yang sesuai, maupun
Angka kematian untuk Ensefalitis sendiri masih tinggi, berkisar antara 35-50%.
Penderita yang hidup 20-40% mengalami komplikasi atau gejala sisa yang melibatkan sistem
saraf pusat yang dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatrik, epilepsi, penglihatan atau
pendengaran. Pengobatan yang dilakukan selama ini bersifat nonspesifik dan empiris yang
2
bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang
terserang.3 Insidensi ensefalitis masih belum dapat ditentukan secara pasti karena tidak
diberlakukannya standar pelaporan yang ketat. Di Amerika, beberapa ribu kasus ensefalitis
dilaporkan ke CDC tiap tahunnya. Pertahun ditemukan kasus 7.3/ 100.000dan pertahun lebih
dari 200.000 hari perawatan di RS, ada 1.400 kematian. Insidens tertinggi terjadi pada anak-
anak dibawah usia 1 thn. Menurut statistik dari 214 ensefalitis 54% (115 orang) dari
penderitanya ialah anak-anak. Virus paling sering ditemukan ialah virus herpes simpleks 31%
mental, iritabel, emosi tidak stabil, halusinasi bahkan epilepsi. Komplikasi yang terjadi tidak
dapat diketahui dengan pasti kapan akan bermanifestasi. Berdasarkan standar kompetensi
dokter Indonesia (SKDI) untuuk kasus ensefalitis adalah 3a yaitu mampu mendiagnosis dan
rujukan.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Survey Primer
An. AG, 10 tahun, LK.
I. Vital Sign :
- Nadi : 120 kali/menit, irregular
- Tekanan Darah : 110/70 mmHg
- Pernafasan : 24 x/menit
- Suhu : 40,1 °C
II. Airways : Bebas, tidak terdapat sumbatan.
III. Breathing : Spontan, 24 x/menit, pola torakoabdominal, pergerakan dada simetris
kanan-kiri, tidak tampak ketertinggalan gerak.
IV. Circulation : Denyut nadi 120 x/menit, regular, kuat angkat, isi cukup CRT <2’’
V. Disability : GCS 8 (Eye 2, Verbal 2, Motorik 4), pupil isokor 3mm-3mm.
VI. Exposure : Tampak lemas dan gelisah
Evaluasi Masalah
Berdasarkan survey primer sistem triase, kasus ini merupakan kasus yang termasuk
dalam Emergency sign karena berdasarkan circulation, disability, dan exposure pasien datang.
Pasien diberi label Merah.
Tatalaksana Awal
Tatalaksana awal pada pasien ini adalah ditempatkan diruangan emergensi, pemberian
oksigen nasal kanul 2 liter/menit posisi head up 15o, dilakukan pemasangan akses infus
intravena.
Survey Sekunder
I. Identitas
Nama : An. AG
RM : 30.29.05
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tumbang Malahoi
Tanggal Masuk RS : 24/09/18 pukul 03.43 WIB
4
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis (ayah pasien) pada tanggal 24/09/18 di
ruang IGD RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
a. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
b. Keluhan Tambahan : Demam
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan rujukan
dari RSUD Pulang Pisau dengan keluhan penurunan kesadaran secara tiba-tiba ±1
hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS),os sulit diajak komunikasi sejak 1 hari yg
lalu. Kelemahan anggota gerak disangkal, demam (+) sejak ±2 hari yang lalu, hilang
timbul, menggigil (-), keringat dingin (-) dan demam semakin tinggi ±1 hari SMRS,
mual (-), muntah (-), pusing kepala(-), sebelumnya pasien pernah mengatakan sakit
kepalanya ±3hari SMRS, kejang disangkal, mimisan (-), gusi berdarah (-), nyeri perut
(-), nyeri tenggorokan (-), nyeri berkemih (-), nyeri telingga (-), sesak nafas
sebelumnya (-), batuk (-), BAB hitam (-), riwayat sering konstipasi (+) BAB tidak
ada 2 hari ini, BAK (+) seperti biasa berwarna kuning keruh, nafsu makan berkurang
(+), intake (+) kurang.
9
Foto thorax :
- Posisi Posterior-Anterior.
- Trakea berada ditengah
- Inspirasi cukup: >5 costae.
- Sudut costofrenicus: kanan kiri tajam
dan diafragma normal
- Corakan bronkovaskular normal
- CTR: 45%
-
CT Scan
10
V. Diagnosis Banding
- Ensefalitis
VI. Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis : penurunan kesadararan
Diagnosa Etiologi : susp Ensefalitis
VII. Penatalaksanaan
• O2 mask 2 liter/menit
• Elevasi kepala dan badan 15o
• IVFD D5 ½ Ns 18 tetes/menit
• Advis Sp.A:
• Inf ceftriaxone 2 x 1 gr
• Inj dexametasone 2 amp
• Inf Paracetamol 3 x 250 mg
• Raber bedah saraf
Monitoring: Keadaan umum, Kesadaran GCS, vital sign (TD,DN, RR, dan t), kejang
dan observasi defisit neurologis dan observasi efek samping obat yang diberikan.
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia
11
BAB III
PEMBAHASAN
Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang laki-laki berusia 10 tahun. Pada pasien ini,
diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien ini mengalami penurunan kesadaran yang mungkin banyak disebabkan
beberapa factor penyebab seperti ensefalitis.
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran secara tiba-tiba ±1 hari SMRS,
sebelumnya pasien apabila diajak bicara tidak nyambung sejak ±1 hari yang lalu, keluarga
pasien mengaku tidak ada kelemahan anggota gerak, pasien ada demam sejak ±3 hari yang lalu,
hilang timbul, tidak ada menggigil ataupun keringat dingin dan demam semakin tinggi ±2 hari
SMRS, sebelumnya pasien pernah mengatakan sakit kepalanya ±3 hari SMRS, kejang
disangkal, da nada riwayat sering konstipasi, BAB tidak ada 2 hari ini, BAK seperti biasa
berwarna kuning keruh, intake makan/minum kurang.
Pemeriksaan fisik : kesadaran Sopor dengan GCS E2M2V4 dan tanda vital: Frekuensi
Nadi : 120x/menit, iregular, kuat angkat, isi cukup, tekanan Darah:110/70 mmHg, Frekuensi
nafas : 24 x/menit, dan suhu: 40,1°C (aksila). Hasil pemeriksaan generalis dalam batas normal,
dan status neurologis rangsangan selaput otak tidak ditemukan kelianan dan pemeriksaan saraf
kranial sulit dievaluasi serta kekuatan motorik sulit untuk dinilai. Hasil pemeriksaan
laboratorium adanya peningkatan gula darah sewaktu dan kreatinin pasien. EKG dan thoraks
dalam batas normal dan hasil CT scan adanya multiple infark. Pemeriksaan urine lengkap ada
ditemukan protein dan gluka serta ada bakteri didalam urine pasien.
Ensefalitis adalah penyakit disfungsi akut sistem saraf pusat, ditandai dengan terjadinya
infeksi dan inflamasi parenkim otak yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik maupun
histopatologik. Adapun disfungsi sistem saraf pusat tersebut menyebabkan terjadinya kejang
berulang, defisit neurologis fokal, dan penurunan kesadaran.2
Salah satu tantangan dalam mendiskusikan ensefalitis adalah membuat definisi praktis
mengenai Ensefalitis. Seseorang dikatakan mengidap ensefalitis, jika pada pemeriksaan
patologi ditemukan sel inflamasi mengilfiltrat sel-sel yang ada di otak, dan bukti tersebut hanya
bisa didapatkan dari pemeriksaan biopsi atau otopsi. Dalam praktiknya, jaringan otak jarang
bisa didapatkan sebelum kematian pasien, sehingga diagnosis ensefalitis hanya bisa didapatkan
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologik serta laboratorium.2
12
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteri,
parasit, jamur, spirokaeta dan virus. Ensefalitis dapat mengakibatkan salah satu dari dua
kondisi yang dapat mempengaruhi otak:
1. Ensefalitis primer terjadi bila virus atau agen menular lainnya secara langsung menginfeksi
otak. Infeksi dapat terkonsentrasi pada satu area atau meluas ke daerah lain. Ensefalitis
primer mungkin merupakan reaktivasi virus yang sudah tidak aktif (laten) setelah sakit
sebelumnya.
2. Sekunder (pasca-infeksi) ensefalitis adalah reaksi sistem kekebalan tubuh rusak dalam
menanggapi infeksi di tempat lain dalam tubuh. Ini mungkin terjadi ketika protein yang
seharusnya melawan infeksi penyakit tertentu malah keliru menyerang molekul di otak.
Ensefalitis sekunder sering terjadi dua sampai tiga minggu setelah infeksi awal. Jarang,
ensefalitis sekunder terjadi sebagai komplikasi dari vaksinasi terhadap infeksi virus.
Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal
serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 3 hari terakhir terhadap penyakit melalui
kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain.
Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya
anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan. Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak. Scara praktis diagnostik dibuat
berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.5
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis :
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum dengan
tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,
muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Pada pemeriksaan mungkin terdapat
edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luasnya abses.2,7
Pada pasien ini sumber infeksi fokal yang belum, namun untuk trias ensefalitis tidak
terpenuhi pada pasien yaitu demam dan kesadaran menurun. Dan tidak ada kejang pada pasien
ini.
Ensefalitis memiliki penyebab yang banyak sehingga sulit untuk mengeneralisasikan
tanda dan gejalanya. Manifestasi pertamanya adalah demam dan sakit kepala, diikuti dengan
perubahan status mental dan berkembangnya gejala neurologi fokal. Manifestasi yang terjadi
13
bisa memberi kesan bahwa encephalitis yang terjadi fokal atau difus. Contohnya, kebanyakan
aboviral enchepalitis melibatkan otak secara difus dengan demam yang lebih awal, muntah dan
koma. Sedangkan sebaliknya pada encephalitis HSV dimulai dengan hemiparesis, kejang atau
defek saraf kranial. Demam dan sakit kepala bisa ditemukan beberapa jam sampai beberapa
hari setelah itu.8 Tanda dan gejala pada encephalitis pada anak dan dewasa itu sama. Pada bayi
bisa terjadi susah diberi makan,rewel,muntah,pembengkakan fontanel dan kaku tubuh. Gejala
pada bayi merupakan suatu emergensi medis.9
Tanda dan gejala di atas bisa terjadi dua sampai tiga minggu dan bisa terdapar satu atau
beberapa gejala berikut:9
Demam
Kelelahan
Sakit tenggorokan
Kaku leher dan punggung
Sakit kepala
Muntah
Light-phobia
Pada kasus-kasus yang lebih berat mungkin terdapat tanda dan gejala sebagai
berikut:9
Kejang
Kelemahan otot
Paralisis
Hilang ingatan
Apatis
Riwayat anamnesis lengkap diperlukan, karena umumnya pasien sering datang dengan
penurunan kesadaran, disorientasi, delirium atau bahkan koma. Selain demam akut seperti pada
meningitis, pasien dengan ensefalitis umumnya mengalami konfusi/kebingungan, kelainan
perilaku, tingkat kesadaran yang berubah, terdapat tanda dan gejala kelainan neurologis
lainnya. Perubahan tingkat kesadaran dapat terjadi, mulai dari kelesuan yang ringan sampai
koma dalam. Pasien dengan ensefalitis mungkin memiliki halusinasi, agitasi, perubahan
kepribadian, gangguan perilaku, dan kadang-kadang terjadi keadaan psikotik.10
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan leukosit : normal atau leukositosis (10.000 –
35.000/mm), neutrofil 50 – 90 %. Pada pemeriksaan kimia darah ditemukan amilase serum
14
sering meningkat pada parotitis, fungsi hati abnormal dijumpai pada hepatitis virus dan
mononucleosis infeksiosa, dan pemeriksaan anti bodi-antigen spesifik untuk HSV, CMV,
dan HIV. Elektrolit; dalam batas normal, SIADH terjadi pada 25% pasien dengan
ensefalitis St Louis.19
2. Pemeriksaan Neurologi
Pada pemeriksaan neurologi didapatkan hiper-refleksia, ataksia, gangguan kognitif dan
defisit fokal, termasuk hemiparese dan afasia. Encephalitis pada anak dini (young infant)
sering menunjukkan gejala yang tidak khas misalnya tidak aktif, sulit makan, iritable, rewel
dan menangis dengan nada tinggi.19
3. Lumbal Punksi
Apabila tidak ada kontraindikasi, ditemukan cairan serebrospinal jernih dan tekanannya
dapat normal atau dapat meningkat dan pada fase dini dapat dijumpai peningkatan sel PMN
serta glukosa dan klorida normal.20
Pada encephalitis virus menunjukkan peningkatan protein, glukosa normal, pleiositosis
limfositer. Pada 5 – 15 % kasus HSV-1 encephalitis stadium awal tidak menunjukkan
pleiositosis.19
4. Elektroensefalografi (EEG)
EEG dilakukan apabila ada manifestasi kejang. Pada anak usia diatas 5 bulan yang
menderita HSV-1 encephalitis, sebanyak 80% menunjukkan perlambatan fokal atau
perlepasan gelombang epileptogenik berulang di lobus temporal. Perlambatan irama dasar
difus atau pelepasan gelombang epileptogenik multifokal sering ditemukan pada anak
dengan encephalitis virus dan nonvirus.19
5. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR pada cairan serebrospinal biasanya positif lebih awal dibandingkan titer
antibodi. Pemeriksaan PCR mempunyai spesifisitas 100% dan sensitivitas 75-98% dalam
25-45 jam pertama. Pemeriksaan PCR lebih cepat dapat dilakukan dan resikonya lebih
kecil.19
6. Radiologi
CT-scan merupakan salah satu modalitas pilihan pada kasus ensefalitis. Pada keadaan awal,
dapat tidak ditemukan kelainan intrakranial. Namun, pada proses lanjut dapat ditemukan
lesi yang hipodens dan terjadi penyangatan/enhancement post pemberian kontras disertai
edema yang hebat disekitarnya (perifokal edema) sehingga menimbulkan efek massa
intracranial. Dapat pula ditemukan perdarahan intrakranial. Lokasi tersering adalah pada
lobus frontalis dan temporalis baik unilateral maupun bilateral.21
15
MRI jauh lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan parenkim otak, bahkan sejak onset
24-48 jam pertama. Pada fase akut setelah pemberian kontras media selektif peningkatan
hipokampus dapat diamati, menunjukkan afinitas virus pada hipokampal, parahipokampal
dan korteks insular. Dalam hal perluasan infeksi, MRI dapat menunjukkan lesi di pusat
korteks atau korteks temporal anterior, insula dan inti grey matter pada hemisfer serebral.
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian
makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam basa darah.
Berdasarkan dari tabel diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa penderita ini memenuhi
kriteria seperti yang ada pada tabel diatas yaitu awal terjadinya yang sangat tiba-tiba, disertai
nyeri kepala, tidak ada peringatan untuk serangan. Satu-satunya cara yang akurat untuk dapat
mendiagnosa stroke hemorragik dan non hemorragik adalah dengan bantuan pemeriksaan
penunjang CT Scan6. Pada kasus ini hasil CT scan menunjukan adanya multiple infark kedua
hemisfer.
17
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan: Skor> 1 : SH, -1 > SS > 1 : perlu pemeriksaan penunjang (CT-Scan) dan
SS < 1 SNH. Pada pasien (2.5 x 2) + (2 x 0) + ( 2 x 1) + (0.1 x tekanan 90) – (3 x 1) –
12 = 1
Sehingga pada pasien ini Siriraj score nya adalah 1 yang harus dilakukan pemeriksaan CT
Scan.
Ketika pasien datang ke IGD maka Penatalaksanaannya meliputi: evaluasi cepat dan
diagnosis, terapi umum (suportif), stabilisai jalan napas dan pernapasan, stabilisasi
hemodinamik/sirkulasi, pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian peninggian TIK,
penanganan transformasi hemoragik, pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, dan
melakukan pemeriksaan penunjang. Pengelolaan 5B pada pasien stroke yang telah dilakukan
sebagai berikut :
1. Pernapasan (breath); jalan napas harus bebas, berikan oksigen kalau perlu. Pada kasus ini
pasien sebenarnya tidak diberikan oksigen karena pernafasan pasien masih baik.
2. Darah (blood); tekanan darah dipertahankan agak tinggi agar perfusi oksigen dan glukosa
ke otak tetap optimal untuk menjaga metabolisme otak. Sehingga tekanan darah tidak perlu
diturunkan.
3. Otak (brain); berikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi edema otak, bila ada
kejang segera berikan diazepam atau dilantin intra vena secara perlahan. Pada pasien ini
tidak ada kejang. Kemudian pemberian manitol harus diberikan pada pasien ini. Pada
pemberian manitol yang harus diperhatikan adalah tekanan darah saat itu kadar ureum dan
kreatinin. Kadar kreatinin masih dalam batas normal sehingga dapat diberikan pada pasien.
4. Saluran kemih (bladder); pelihara keseimbangan cairan dan pasang kateter urine bila ada
inkontinensia urin. Pada pasien ini tidak terpasang cateter urine namun sebenarnya pasien
perlu menggunakan kateter urine sehingga dapat menghindarnya terjatuh karena
kelemahan anggota gerak kiri.
5. Gastrointestinal (bowel); berikan nutrisi yang adekuat, bila perlu berikan NGT.
Terapi medikamentosa pada penderita ini yaitu pemberian kombinasi dua antibiotik
yaitu Levosir 500mg (Levofloxacin) dan Meropenem 1g untuk mengurangi perkembangan
bakterima di Susunan Saraf pusat atau parenkim otak. Biasanya antibiotik ini diberikan secara
empiris. Kemudian diberikan neuroprotektor yaitu mecobalamin dan sohobion kemudian
citicolin berfungsi sebagai metabolik aktivator (metabolik agent) jaringan otak yang iskemik
(infark serebral). Lansoprazole untuk mengurangi stress ulcer dengan pemberian obat yang
lainnya seperti citicoline serta pemberian Paracetamol infus sebagai antipiretik pada pasien ini
18
dan Infus Mannitol mengurangi edema otak serta pemberian regulasi insulin untuk gula darah
pasien yang tinggi sesuai protap dokter spesialis penyakit dalam.
Komplikasi kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan merupakan
gambaran penyakit secara keseluruhan karena gejala sisa kadang-kadang baru timbul setelah
pasien pulang. Gejala sisa yang sering muncul berupa gangguan daya ingat (69%), perubahan
kepribadian dan tingkah laku (45%), epilepsi (25%). Beberapa kelainan yang mungkin dapat
dijumpai antara lain retardasi mental, iritabel, emosi tidak stabil, sulit tidur, halusinasi,
enuresis, perubahan perilaku, dan juga dapat ditemukan gangguan motorik dan epilepsi.15
Gangguan neurokognitif yang bisa terjadi setelah ensefalitis,terutama akibat
virus,berupa perubahan pada fungsi memori,persepsi dan eksekusi. Perubahan ini terlihat jelas
pada anak yang terkena ensefalitis saat usia sekolah, sehingga ketika sudah sembuh dan
kembali ke sekolah mengalami kesulitan. Pada keadaan ini diperlukan pemeriksaan
intelegensia, fungsi kognitif,memori dan bicara,sehingga dapat diketahui gangguan yang
timbul sekaligus mengidentifikasi terapi yang diperlukan.16
Komplikasi yang sering mengikuti ensefalitis yaitu epilepsi, terutama pada anak
dengan riwayat kejang yang berulang, status epileptikus, terjadinya penurunan kesadaran yang
berat. Jika anak kembali kejang setelah sembuh, maka dapat diberikan antikonvulsif
Kebanyakan sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf sentral,
walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, umur anak,
keterlibatan parenkim otak dan susunan saraf spinal, adanya edema otak, adanya gangguan
vaskularisasi dan perfusi pada otak, adanya keterlibatan sistem organ lain, komplikasi yang
timbul serta respon terhadap pengobatan.5
Agen penyebab infeksi juga mempengaruhi prognosis, pada sebuah penelitian di
Taiwan didapatkan 60% anak dengan ensefalitis HSV memiliki sekuele neurologi. Sedangkan
pada anak dengan ensefalitis yang disebabkan enterovirus,sekitar 71,8 % tidak memiliki defisit
neurologi ketika dievaluasi 2 tahun setelah sembuh dari ensefalitis.
Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim memiliki
prognosis yang lebih jelek, dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik,
psikiatrik, epileptik, penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan
walaupun beberapa kepustakaan mengemukakan bahwa penderita bayi yang menderita
ensefalitis virus mempunyai hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada anak dengan usia
lebih tua, data baru membuktikan bahwa observasi ini tidak benar. Walaupun sekitar 10% anak
19
sebelum usia 2 tahun dengan infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang,
tekanan intrakranial naik, atau koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik.5
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat
buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitas menjadi 28%. Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan
yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien yang
mengalami koma memiliki angka mortalitas yang tinggi atau sembuh dengan gejala sisa yang
berat.
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang anak laki laki 10 tahun yang masuk ke
IGD rumah sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dari pasien ini didiagnosis dengan penurunan
kesadaran etcausa ensefalitis. Penanganan gawat darurat pada pasien ini adalah evaluasi cepat
20
dan diagnosis, terapi umum (suportif) dan terapi khusus tergantung penyebabnya. Prognosis
bervariasi bergantung pada tingkat keparahan infark dan lokasi serta luasnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso, D., Hidayati, S. N., Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam: Ismael, S.,
Soetomenggolo, T. Neurologi anak. Jakarta: IDAI. 2000
2. Lazoff, M., et al, Encephalitis. Medscape Refference. 2016. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/791896
3. Behrman,R., Kliegman, R., Arvin, A., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Nelson (Nelson
Textbook of Pediatrics) . 15th Edition. EGC.2007 ; p880-881
21
4. Roos L.Karen, Tyler L. Kenneth. Meningitis,Encephalitis, Brain Abses,and Empyema.
In: Kasper, Brounwald, Fauci, Hauser,Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principal of
Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc Graw Hill Companies; 2005. p.2480-83)
5. Basuki A, dkk. Encephalitis PadaAnak. In:KegawatdaruratanNeurologi.
Bandung:Bagian/UPF IlmuPenyakitSarafFakultasKedokteran UNPAD; 2009. p. 172-
173)
6. Bonetti M.G, Ciritella P, Valle G,et all. Nuclear Medicine in Neurologi Emergency. In:
Scarabino T, Salvolini U, Jinkins R. Emergrncy Neuroadiology. Berlin: Springer; 2006.
p.389-91
7. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2011. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia: Jakarta, 2011.
8. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC,
Jakarta. 2006
9. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB 4.
Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill:
New York.2005
10. Dewanto G, Suwono WJ. Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis : Diagnosis &
tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC. 2009.
22