Anda di halaman 1dari 57

BAB I

LATAR BELAKANG

Di negara-negara maju, cedera kepala merupakan sebab utama


kerusakan otak pada kaum muda, di negara berkembang seperti Indonesia, dengan
meningkatnya pembangunan yang diikuti oleh meningkatnya mobilitas
masyarakat yang salah satu seginya diwarnai dengan meningkatnya lalu lintas
kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas semakin sering
terjadi dan korban cedera kepala semakin banyak1,2.
Setiap tahun diperkirakan 80.000-90.000 orang di Amerika Serikat
mengalami kecacatan untuk jangka waktu yang lama akibat cedera otak3,4. Di
Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 %termasuk cedera sedangdan 10% sedang, dan 10 % termasuk
cedera kepala berat2.
Distribusi cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2
juta penduduk mengalami cedera kepala. Menurut penelitian Evans (1996),
distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan
perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun3,4.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat paling ringan, tulang tengkorak, duramater,
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri; baik berupa luka yang tertutup,
maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-
patofisiologi terperinci dari masing-masing proses diatas, yang dihadapkan
dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan
morbiditas dan mortalitasnya5,6.

Pada kehidupan sehari-hari, cedera kepala merupakan tantangan


umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya. Keberlangsungan proses
patofisiologi yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnostic
medis mutakhir cenderung bukanlah suatu hal yang sederhana6.
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera
kepala adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen
yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak
merupakan langkah paling penting untuk menghindari terjadinya cedera otak
sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien3.
Meningkatnya kejadian cedera kepala, diikuti dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas sebagai akibat cedera kepala, membutuhkan
pengetahuan dan pemahaman yang baik serta terlatih untuk pengelolaan pasien
dengan cedera kepala. Oleh karena itu, penulis menyusun referat yang membahas
mengenai “cedera kepala”.

Epidural hematom sebagai keadaan neurologistyang bersifat emergency dan


biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.(15)

Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma


epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi
kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika
Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki
masalah berjalan dan sering jatuh.(2,9). 60 % penderita hematoma epidural adalah
berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di
atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5
tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 4:1. (9)

1
BAB II

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS

Nama : An. J
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bangko
Pekerjaan :-

2.1 ANAMNESA

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis (ayah Os), Tanggal 8


Desember 2014

Keluhan Utama :

Os datang dengan keluhan perdarahan di kepala.

Riwayat Penyakit Sekarang

± 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit os tertimpa kayu saat
bermain. Setelah kejadian os sadar dan os dibawa ke rumah sakit Bangko karena
terdapat perdarahan di kepala os. Saat di rumah sakit os mengeluh mual (+) dan
muntah (+) sebanyak 1 kali.

± 1 hari yang lalu os di rujuk ke RSUD Raden Mattaher Jambi dengan


keluhan robekan dan perdarahan di kepala. Os juga mengeluh mual (+), muntah
sebanyak 4 kali tidak bercampur darah, pusing (+), keluar darah dari telinga (-),
demam (-), batuk (-), pilek (+), keluar darah dari hidung (-)BAK dan BAB biasa.

2
Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada riwayat alergi, sesak, batuk lama, kelainan pembuluh darah.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat alergi, sesak, batuk lama, kelainan pembuluh darah, darah
tinggi, kencing manis, dan sakit jantung pada keluarga.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis E4V5M6
Kesan sakit : Kesan sakit sedang
Tanda vital : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,7oC

STATUS GENERALIS

1. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak


sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
2. Kepala : deformitas (-), hematom Os mastoid (+)
 Rambut : (+) , distribusi merata, tidak mudah
dicabut
 Mata : CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil isokor, Racoon
eye (+/-)

 Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi


septum (-), sekret (-/-)

3
 Telinga : serumen (+), tidak ada kelainan
bentuk pada telinga, darah (-)
 Mulut : simetris, sianosis (-), tidak kering, lidah
tidak kotor, tonsil T1/T1, tidak hiperemis, uvula di tengah
3. Leher : tidak ada deformitas, kelenjar getah bening tidak teraba
membesar, kaku kuduk (-),tidak terdapat deviasi trakea
4. Thorax :
 Paru : Suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-.
 Jantung : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen : Supel, Datar, BU (+) normal
6. Ekstremitas : Akral hangat (+) pada kedua lengan dan tungkai.
Tidak ada oedema

STATUS NEUROLOGIS

 Kesadaran : Compos mentis


 GCS : E4 M6 V5=15
 pupil
o isokor/anisokor : isokor
o posisi : sentral
o diameter : 3 mm

Nervi Cranial

N I (Olfaktorius) Daya penghidu : baik

N II (Optikus)
 Ketajaman penglihatan (hitung jari) : normal
 Pengenalan warna : normal
 Lapang pandang (konfrontasi) : tidak dilakukan
 Funduskopi : tidak dilakukan

4
N III, N IV, N VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+), medial (+/+), atas
lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral (+/+), bawah medial (+/+)
 Ptosis : negatif
 Strabismus : tidak dilakukan
 Nistagmus : tidak dilakukan
 Exoptalmus : negatif

N. V (Trigeminus)

a. Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : +
 N-V2 (maksilaris) : +
 N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b. Motorik
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut
c. Refleks kornea : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
N. VII (Fasialis)

a. Sensorik (indra pengecap) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan


b. Motorik
 Angkat alis : + / +, terlihat simetris kanan dan kiri
 Menutup mata : +/+
 Menggembungkan pipi : kanan (baik), kiri (baik)
 Menyeringai` : kiri (lemah minimal), kanan(baik)
 Gerakan involunter : -/-
N. VIII

 Mendengarkan detik arloji : tidak dilakukan


 Tes schwabach : tidak dilakukan
 Tes rinne : tidak dilakukan

5
 Tes weber : tidak dilakukan
N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
a. Refleks menelan : +
b. Refleks batuk : +
c. Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
d. Refleks muntah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
e. Posisi uvula : Normal; Deviasi ( - )
f. Posisi arkus faring : Simetris
N. XI

 Memalingkan kepala : dapat dilakukan


 Mengangkat bahu : tidak dilakukan

N. XII

 Menjulurkan lidah : tidak dilakukan


 Atrofi lidah artikulari : tidak dilakukan
 Tremor lidah : tidak dilakukan
 Fasikulasi : tidak dilakukan

MOTORIK

 Kekuatan : +5
 tonus : normotonus
 trofi : eutrofi

REFLEKS FISOLOGIS

 Refleks tendon
o Refleks biceps : +/+
o Refleks triseps : +/+
o Refleks patella : +/+

6
o Refleks achilles : +/+

REFLEKS PATOLOGIS

 Hoffman trommer : -/-


 Babinski : -/-
 Chaddock : -/-
 Openheim : -/-
 Gordon : -/-

V PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 6 Desember 2014

1. Darah Rutin
WBC : 10,4 H 103/mm3
RBC : 5.10 106/mm3
HGB : 12.2 g/dl
HCT : 37.7 %
PLT : 186 103/mm3
PCT : 127 %
2. GDS : 120 mg/dl
3. Kimia darah
Bilirubin total : 0,5 mg/dl
Bilirubin direk : 0,2 mg/dl
Bilirubin indirek : 0,3 mg/dl
Protein total : 6,6 g/dl
Albumin : 3,4 g/dl
Globulin : 3,2 g/dl
Ureum : 15,8 mg/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl

7
Hasil Pemeriksaan CT-scan

8 Desember 2014

Hasil Pemeriksaan CT-scan

- Sulci dan gyri baik, system ventrikel dan cysterna baik


- Tak tampak midline shift/ efek massa
- Tampak lesi hiperdens pada frontoparietal kanan bentuk biconvek
- Tulang kepala tampak fraktur impresi frontal kanan.
Kesan:

 Perdarahan epidural frontoparietal kanan


 Fraktur impresifrontal kanan

Diagnosis banding

- Subdural hematom
- Perdarahan subarachnoid
-
Diagnosis kerja

a. Cedera Kepala Ringan


Dasar diagnosis: GCS E4 M6 V5

b. Epidural Hematom frontoparietal sinistra

Penatalaksanaan:

8
1) O2 Nasal Canul 4L/menit
2) IVFD RL 30 gtt/i
3) Kateter terpasang
4) Manitol 12,5 gr atau 125 cc (0,25-1g/KgBB/6jam)
5) Citicoline 250 mg (100-500 mg, 1-2x/hari)
6) Asam traneksamat 500mg IV (15-25 mg/KgBB, 2-4x/hari)
7) Ranitidine 50mg IV (1mg/kgBB)
8) Ceftriaxon 1x2gr IV

Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

9
BAB III

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kepala


2.1.1 Anatomi Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapis jaringan yang disingkat sebagai
SCALP yaitu3,7:
1. Skin atau kulit,
2. Connective Tisuue atau jaringan penyambung,
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika,
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
5. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari


perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah hematoma subgaleal.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi luka kulit
kepala dapat menyebabkan kehilangan darah cukup banyak, terutama pada bayi
dan anak-anak3.

10
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Kepala

2.1.2 Anatomi Tulang Tengkorak


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Khusus diregio temporal, kalvaria tipis dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga basis cranii dibagi atas 3 fosa, yaitu: fosa
anterior, fosa media dan fosa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang
otak dan otak kecil (serebelum) 3,8,9.

Gambar 2.2. Anatomi Tulang Tengkorak

2.1.3 Anatomi Meningen (Selaput Otak)


Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu: duramater, arachnoid dan piamater. Duramater merupakan selaput
yang kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam cranium. Pada beberapa tempat tertentu, duramater membelah menjadi 2
lapis membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena otak. Sinus
sagitalis superior yang terletak digaris tengah mengalirkan darah vena ke sinus
transversus kanan dan kiri lalu ke sinus sigmoideus yang umumnya sebelah kanan
lebih besar. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat3.
Arteri-arteri meningenia terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari cranium (ruang epidural). Patah tulang kepala diatasnya dapat
menyebabkan laserasi arteri-arteri itu dan menyebabkan perdarahan epidural, yang

11
berlokasi di fossa temporal. Perdarahan yang hebat dari cedera arteri ini dapat
menyebabkan perburukan yang sangat cepat bahkan kematian3,8.
Perdarahan epidural dapat juga terjadi karena robekan sinus-sinus
duramater dan fraktur tulang, yang berkembang lebih perlahan-lahan dan
penekanan yang lebih ringan terhadap otak dibawahnya. Akan tetapi, sebagian
besar perdarahan epidural merupakan kondisi gawat darurat yang mengancam
nyawa, dan sebab itu itu harus dievaluasi segera oleh ahli bedah saraf3,8,9.
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis
dan tembus pandang disebut arachnoid. Karena duramater tidak melekat ke
arachnoid, maka ada satu rongga diantaranya yaitu rongga subdural yang
kedalamnya dapat berkumpul perdarahan. Pada cedera otak, vena-vena bridging
yang berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus duramater dapat saja mengalami
robekan, yang menyebabkan terjadinya perdarahan subdural3.
Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal mengisi rongga antara arachnoid yang kedap air dengan
piamater (rongga subarachnoid) yang menjadi bantalan otak dan medulla spinalis.
Perdarahan ke rongga yang penuh cairan serebrospinal ini (subarachnoid) sering
terlihat pada kontusi jaringan otak ataupun pada cedera pembuluh darah besar di
daerah dasar otak3,9.

Gambar 2.3 Anatomi Meningen


2.1.4 Anatomi Otak

12
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri,
yaitu lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di
garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara pada semua manusia
yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih 85% orang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan
kanan dan sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam
kemampuan menerima rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam penglihatan3.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik
berada di medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan deficit neurologis
yang berat. Serebelum terutama bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan
medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri6.

Gambar 2.4. Anatomi Otak


Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

13
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis6.

Gambar 2.5. Circulus Willisi

Gambar 2.6 Vaskularisasi Vena


2.1.5 Sistem Ventrikel
Ventrikel-ventrikel adalah suatu system berupa rongga yang berisi
Liquor Cerebrospinal (LCS). Berlokasi dibagian atap ventrikel lateralis kanan dan
kiri dan ventrikel III terdapat pleksus khoroideus yang menghasilkan LCS dengan
kecepatan kira-kira 20 ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel lateral ke foramen

14
Monroe menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV di
fossa posterior. Selanjutnya LCS keluar dari system ventrikel dan masuk dalam
rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis
dan akan mengalami reabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid menuju sinus sagitalis superior3,8.
Adanya darah dalam LCS dapat mengganggu penyerapan LCS,
menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus
komunikan pasca trauma). Pembengkakan atau edema dan lesi massa (misalnya
perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang
dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak6.

Gambar 2.7. Aliran Cairan Serebrospinal

2.1.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain)
menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial3.

15
Gambar 2.8. Tentorium

Nervus okulomotorius berjalan sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini


dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal, yang umumnya diakibatkan
oleh adanya massa supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik
yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berjalan dipermukaan nervus
okulomotorius. Tekanan terhadap serabut superfisial ini saat terjadinya herniasi
menyebabkan pupil dilatasi sebagai akibat tidak adanya hambatan terhadap
aktivitas serabut simpatis, sering disebut sebagai ‘blown pupil’3.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporal yang disebut Unkus. Herniasi Unkus juga
menyebabkan penekanan traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan di
midbrain otak tengah. Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis
tengah menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan
pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral
(hemiparese kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiparese
kontralateral dikenal sebagai sebagai sindrom klasik herniasi unkus. Kadang-
kadang, lesi massa yang terjadi akan menekan dan mendorong sisi kontralateral
midbrain pada tentorium serebeli sehingga mengakibatkan hemiparese dan dilatasi
pupil pada sisi yang sama dengan hematoma intrakranialnya (sindroma lekukan
Kernohan)3.

2.1.7 Fisiologi

16
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi
tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.

A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan
istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila
menetap dan sulit diatasi menyebabkan kesudahan yang sangat buruk3,8.

Gambar 2.9. Etiologi Peningkatan TIK Gambar 2.10. Skema Peningkatan


TIK

B. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi
penting untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan
intracranial harus selalu konstan, karena rongga cranium pada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak elastik dan tidak mungkin mekar. Darah
didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga tengkorak,
sehingga TIK tetap normal. Sehingga segera setelah cedera otak, suatu massa
seperti perdarahan dapat bertambah dengan TIK masih tetap normal. Namun

17
sewaktu batas pemindahan /pengeluaran CSS dan darah intravascular tadi
terlewati maka TIK secara sangat cepat akan meningkat3,9.
Doktrin Monro-Kellie yaitu “Volume intrakranial adalah tetap,
Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-
komponennya yaitu volume jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf)
dan volume darah (Vbl).”
Vic = V br+ V csf + V bl

Gambar 2.11. Kurva Volume-Tekanan isi Intrakranial

18
Gambar 2.12. Doktrin Monro-Kellie

C. Aliran Darah ke Otak (ADO, Cerebral Blood Flow)


ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per
100 gr jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar bergantung pada
usianya. Pada usia 1 tahun, ADO hampir seperti orang dewasa, tetapi pada usia 5
tahun ADO bisa mencapai 90 ml/100gr/menit, dan secara bertahap akan turun
sampai seperti ADO dewasa saat mencapai pertengahan atau akhir masa remaja3,7.
Cedera otak berat yang dapat menyebabkan koma dapat
mengakibatkan penurunan ADO dalam beberapa jam pertama sejak trauma. ADO
biasanya akan meningkat setelah 2-3 hari, tetapi pada pasien yang tetap koma,
ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah trauma.
Semakin banyak bukti yang menyatakan bahwa ADO tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga sering
mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh3.
Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk
berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP=
Cerebral perfusion pressure), yang secara klinis didefinisikan sebagai tekanan
darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg
diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi
tekanan) 3.
Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan
infark sehubungan dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri.
Keadaan iskemi awal tersebut akan dengan mudah diperberat oleh adanya
hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi agresif yang kita
lakukan3,10.
Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran
darah dan perfusi otak dengan cara menurunkan TIK, memelihara kecukupan
volume intrakranial, mempertahankan tekanan darah arteri rata-rata (MAP= Mean

19
Arterial Blood Pressure) dan memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan
normokapnia3.
Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus
segera dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat
membantu untuk memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat
memperburuk keadaan paru-paru) 3.
Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan
eksponensial TIK, maka perfusi otak akan terganggu, terutama pada pasien yang
mengalami hipotensi. Akhirnya akan berkontribusi pada terjadinya cedera
sekunder yang dapat terjadi pada jaringan otak yang masih bertahan pada
beberapa hari pertama setelah cedera otak berat. Proses patofisiologi tersebut
ditandai oleh proses inflamasi progresif, permeabilitas pembuluh darah,
danpembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan TIK yang menetap
dan mengakibatkan kematian3.

2.2. Definisi Cedera Kepala


Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala atau struktur
kepala yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak seperti gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, dan psikososial yang dapat bersifat temporer
atau permanent11.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik. Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek
sekunder dari trauma yang terjadi8,9.

20
2.3. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan.
Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat
trauma1.
Distribusi cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2
juta penduduk mengalami cedera kepala. Menurut penelitian Evans (1996),
distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan
perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun4.
Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta, menunjukkan
bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu
golongan umur yang paling aktif dan produktif. Dalam penelitian ini didominasi
laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%), 11%
adalah pelajar dan mahasiswa2.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD
RS Panti nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala
ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur
29,60 tahun. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan
pelajar/mahasiswa (77%)2.
Menurut penelitian Amandus (2005) di RSUP Adam Malik Medan,
terdapat 370 penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan
proporsi tertinggi pada kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh
laki-laki (68,2%)2.
Menurut penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat
Darurat RSUP. Fatmawati Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari,
namun kecelakaan pada malam hari mempunyai proporsi yang lebih tinggi
keparahan cederanya (59%) dibandingkan kecelakaan pada siang hari. Waktu
malam hari suasananya lebih gelap dan sudah mulai sepi. Kondisi tersebut
menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi

21
(>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya kematian
dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi2.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina
(2005) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta
didapatkan jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cedera
parah 41,9% dan meninggal 7,04%. Cedera utama adalah cedera kepala 53,4%
dengan comosio cerebri 10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka
58,35% dan patah tulang 31.29%2.

2.4. Patofisiologi Cedera Kepala


Secara sederhana tulang tengkorak dan jaringan otak didalamnya
dapat digambarkan sebagai sebuah “kotak” tertutup yang berisi agar-agar.
Ada beberapa mekanisme yang timbul bila terjadi trauma kepala6 :
1. Translasi.
a. Akselerasi.
Bila kepala yang bergerak kesatu arah tiba-tiba mendapat gaya yang
kuat searah dengan gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat, jaringan otak
masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak kearah yang sama,
peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang singkat.
Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar
tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak.
Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan luka/ robekan/ laserasi pada
bagian bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak.

b. Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan
oleh suatu benda, misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan)
secara mendadak.

22
Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya karena menabrak
tengkorak peristiwa ini juga terjadi sangat cepat dalam waktu singkat.
Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa seperti pada
mekanisme akselerasi.

2. Rotasi.
Batang otak (brain stem) berupa sebuah “batang” yang terletak di
bagian tengah jaringan otak dan berjalan vertikal ke arah foramen magnum,
sehingga otak seolah-olah terletak pada sebuah sumbu (axis).
Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak, misalnya pada
bagian depan (frontal) atau pada bagian belakang (oksipital), maka otak akan
terputar pada “sumbu”nya.
Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian bawah
jaringan otak dan kerusakan pada batang otak. Kerusakan pada batang otak
dapat merupakan peristiwa yang mematikan. Mekanisme rotasi dapat terjadi
pada seorang petinju yang mendapat pukulan “jab” yang sangat keras.

Didalam kejadian yang sebenarnya, misalnya trauma kepala karena


kecelakaan lalu lintas, ketiga mekanisme tersebut diatas terjadi secara bersamaan.
Ada 2 tahapan kerusakan didalam terjadinya kerusakan jaringan otak (brain
damage) setelah trauma kepala :
1. Primary damage
Yaitu kerusakan yang terjadi pada saat kejadian trauma kepala, dapat
berbentuk laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, laserasi dan contusio
(luka dan memar) dari jaringan otak dan diffuse axonal injury (DAI)8.
DAI disebabkan banyaknya serabut-serabut saraf pada jaringan otak
yang terputus pada waktu terjadinya trauma. Tetapi masih ada beberapa peneliti
yang mengatakan DAI terjadi karena edema jaringan otak. Hypoxia atau karena
kerusakan batang otak. DAI ditandai dengan adanya koma yang lama yang terjadi
segera setelah trauma kepala yang berat3.

23
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala1.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup)6.

Gambar 2.13. mekanisme cedera kepala

2. Secondary damage

24
Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses
yang terjadi pada saat trauma kepala dan baru menunjukkan gejala beberapa saat
kemudian (biasanya beberapa jam kemudian)9.
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang terjadi didalam tulang
tengkorak. Cerebral edema ialah bertambahnya volume cairan didalam jaringan
otak. Ischemic brain damage adalah kerusakan jaringan otak karena keadaan
hipotensi yang berlangsung lama pada saat terjadi trauma kepala4,10.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi3,6.

25
Gambar 2.14 Patofisiologi cedera kepala

2.5. Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang dijelaskan
pada pada table di bawah ini:

26
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala

Klasifikasi Cedera Kepala


Mekanisme
 Tumpul  Kecepatan tinggi (kecelakaan lalu
lintas)
 Tajam/Tembus Kecepatan rendah (jatuh,dipukuli)
 Luka tembak
Cedera tajam/tembus lainnya
Berat-ringannya cedera
 Ringan  GCS 13-15
 Sedang  GCS 9-12
 Berat  GCS 3-8
Morfologi
Fraktur tulang
 Kalvaria  Garis vs bintang
Depresi/ non depresi
Terbuka/tertutup
 Dasar tengkorak  Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa parese N.VII
Lesi Intrakranial
 Fokal  Perdarahan Epidural
Perdarahan Subdural
Perdarahan Intraserebral
 Difus  Konkusi
Konkusio Multipel
Hipoksik/Iskemia

2.5.1 Mekanisme Cedera Kepala


Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput duramater menentukan cedera apakah cedera tembus atau
tumpul3.
2.5.2 Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara
klinis beratnya cedera kepala3,9. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstremitasnya

27
flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 33,7,8,9.
Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale

Glasgow Coma Scale nilai ai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera kepala dengan nilai


GCS < 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala berat, nilai GCS 9-12
dianggap sebagai cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 13-15
dianggap sebagai cedera kepala ringan. Hal penting dalam penilaian GCS adalah
menggunakan nilai respons motorik pada sisi yang terbaik, namun dicatat respons
pada kedua sisinya2.
2.5.3 Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesi intrakranial.

1. Fraktur cranium

28
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis/linier atau bintang/stellata dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya3,5.
Gambaran fraktur dibedakan atas :
a. Linier
Merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Pada radiologi akan terlihat gambaran radiolusen.
Fraktur linier yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal;
pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila
fraktur memutuskan areteri meningia media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara duramater dan tulang
tengkorak, disebut perdarahan epidural. Fraktur linier lain yang berbahaya
adalah fraktur yang melintas diatas sinus venosus, misalnya sinus sagitalis
superior digaris tengah tengkorak, sinus confluens dan sinus rectus
dibagian posterior tulang tengkorak. Fraktur ditempat ini mungkin akan
merobek sinus venosus tersebut10.

Gambar 2.15 Fraktur linier os temporal

b. Diastase
Fraktur yang terjadi pada sutura, sehingga terjadi pemisahan sutura cranial
atau pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi
pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan
dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural7.

29
Gambar 2.16 fraktur diastase

c. Depressed
Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pada
satu atau lebih tepi fraktur terletak dibawah level anatomic normal dari
tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh7.
Jenis fraktur ini terjadi jika energy benturan relative besar terhadap area
benturan yang relative kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu,
pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area ‘ double
density’ (lebih radio opaque) karena adanya bagian-bagian tulang yang
tumpang tindih10.

Gambar 2.17 Fraktur depresi


d. Fraktur berbentuk bintang (Stellate Fracture).
Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis-garisnya menyebar.

 Berdasarkan lokasi anatomis, fraktur cranium dibedakan atas :


a)      Konveksitas (kubah tengkorak)
yaitu fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os.Frontalis, os. Temporalis, os. Parietalis,
dan os. Occipitalis.

30
b)      Basis cranii (dasar tengkorak)
yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar
tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu :
(1)   fossa Anterior
(2)   fosa Media
(3)   fosa Posterior

Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan


petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan parese nervus VII dan
VIII yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma. Umumnya
prognosis pemulihan parese nervus fasialis lebih baik beberapa waktu kemudian,
sementara prognosis pemulihan nervus vestibulocochlearis sangat buruk3,9.

Gambar 2. 18. Tanda-Tanda Fraktur Basis Cranii

Gambar 2. 19. Fraktur Basis Cranii

31
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya
fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
Fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang
berbeda.
A. Fraktur fossa anterior
1. Fraktur atap orbita.
Fraktur akan merobek duramater dan arachnoid sehingga liquor cerebro
spinalis (LCS) bersama darah melalui celah fraktur masuk kerongga orbita
sehingga dari luar disekitar mata tampak kebiru-biruan. Bila satu mata disebut
Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma/ Raccoon’s Eyes11.

2. Fraktur melintas lamina cribosa.


Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut saraf penciuman (nervus
olfactorius) sehingga dapat terjadi gangguan penciuman mulai dari
berkurangnya penciuman (hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia).
Fraktur juga dapat merobek duramater dan arachnoid sehingga LCS bercampur
darah akan keluar dari rongga hidung (rhinnorhoea)9,10.

B. Fraktur Fossa Media


1. Fraktur os petrosum.
Puncak (apex) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk ke
dalam rongga telingga tengah dan memecahkan membrana timpani; dari
telinga keluar LCS bercampur darah (otorrhoea)7.

2. Fraktur Sella tursica.

32
Diatas Sella tursica terdapat kelenjar hypopise yang terdiri dari 2 bagian yaitu
pars anterior dan pars posterior (neuro hypopise). Pada fraktur Sella tursica
yang biasanya terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan
sekresi ADH (Anti Diuretik Hormon) yang menyebabkan diabetes insipidus7.

3. Sinus cavernosus syndrome.


Syndrome ini adalah akibat fraktur basis cranii di fossa media yang
memecahkan arteri carotis interna yang berada didalam sinus cavernosus
sehingga terjadi hubungan langsung arteri – vena. Mata tampak akan
membengkak dan menonjol, terasa sakit, conjungtiva berwarna merah. Bila
membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan terdengar
suara seperti air mengalir yang disebut Bruit7,9.

C. Fraktur Fossa Posterior


1. Fraktur melintas os petrosum.
Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrosum sampai
mastoid menyebabkan LCS bercampur darah melalui celah fraktur berada
diatas mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru-biruan dibelakang
telinga yang disebut Battle’s Sign8.

2. Fraktur melintas foramen magnum.


Di foramen magnum terdapat medula oblongata, sehingga getaran fraktur akan
merusak medulla oblongata sehingga penderita mati seketika7,9.

2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, kontusi dan hematoma intraserebral.

33
Gambar 2.20. Lesi Fokal

Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan


CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk. Berdasarkan pada
dalamnya dan lamanya koma, maka cedera difus dikelompokkan menurut
Kontusio Ringan, Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal Difus (CAD)3.

A. Lesi Fokal
a. Perdarahan epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater . Sering terletak di area temporal
atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya a.meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari
pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus
terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior3,9.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg
lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan

34
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf7.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogen, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying
lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan
penunjang seperti foto roentgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong
didiagnosis hematom epidural bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil
yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematom.5

Gambar 2.21 Epidural Hematome

Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,


penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara trepanasi untuk mengevakuasi
hematom dan menghentikan perdarahan.5 Prognosisnya sangat baik karena

35
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan3.

b. Perdarahan subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak
mungkin ada atau tidak3.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosis lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis9.

1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural8.

36
Gambar 2.22 Subdural hematoma akut dengan kompresi ventrikel

2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya
tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi
pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan
akhirnya menjadi hipodens3,6.

37
Gambar 2.23. Subdural Hematome

c. Kontusio dan perdarahan intraserebral


Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak
berat). hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri
sangat sering terjadi di lobus frontal dan lobus termporal, walaupun dapat terjadi
juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas
perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak
jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami
evolusi membentuk perdarahan intra serebral ata kontusio yang luas sehingga
menyebabkan lesi desak ruang yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini
timbul kira-kira pada 20% dari seluruh pasien yang sudah ada kontusionya saat
CT scan awal. Oleh karena itu, pasien dengan kontusio serebri harus diperiksa CT
Scan ulang 12-24 jam berikutnya setelah CT-Scan pertama untuk mengevaluasi
perubahan kontusio yang mungkin terjadi3.

A B
Gambar 2.24. (A) Kontusio bilateral dengan perdarahan;
(B) intraparenkimal hematome

B. Cedera Otak Difus


Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi (bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala).
Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu
namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat3.

38
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia (pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali).
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera)3.
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio serebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi (pada
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu). Defisit
neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejaa lainnya (gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat) 4.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita
sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer. Membedakan
antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan10.

39
Gambar 2.25. CT Scan cedera difus

Tabel 2.3 Perbedaan pada Lesi Intrakranial

2.6. Penegakan Diagnosa

40
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital system
organ, dan pemeriksaan neurologis yang lebih dalam mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex
fisiologis dan patologis. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan
dan kardiovaskuler. Pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya
kemungkinan cedera organ dalam3.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah:


1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Rontgen
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala, yang sering dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur tulang
tengkorak. Sejak ditemukannya cr-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti
fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-scan dan dapat dideteksi dengan
foto polos maka cr-scan dianggap lebih menguntungkan dari pada foto Rontgen
kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia maka foto polos
x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP
(anteroposterior), lateral, Towne's view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Bila diperlukan,
dapat pula dilakukan foto lateral dari kedua sisi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik atau pneumosefal.
Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik. Dengan keunggulannya terhadap rontgen polos kepala

41
maka jika ada indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan untuk tidak
perlu lagi melakukan rontgen kepala.

b. CT scan
Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin,
segera setelah hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus
diulang bila terjadi perburukan status klinis pasien dan secara rutin l2-24jam
setelah trauma bila dijumpai gambaran kontusio otak atau hematoma pada CT-
Scan awalnya. Hasil pemeriksaan CT-scan yang berrnakna antara lain
pembengkakan kulit kepala atau perdarahan subgaleal ditempat benturan. Retak
atau garis fraktur tampak lebih jelas pada CT-Scan “bone window”. Penemuan
terpenting dalam CT-Scan Kepala adalah adanya perdarahn intracranial, kontusio
dan pergeseran garis tengah.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama
untuk kecurigaan adanya cedera ligamnetum, jaringan lunak dan vaskuler.

2.Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera
kepala adalah :
a. Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
b. Leukosit, berguna sebagai salah satu indicator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
c. Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
d. Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi
hiper/hipoglikemia.
e. Fungsi ginjal
f. Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
g. Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab terjadinya
penurunan kesadaran.

42
2.7. Penatalaksanaan Cedera Kepala

Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)


Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala
akan termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar
namun dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan
cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat
namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah
pengaruh obat-obatan3.
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna,
walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3%
mengalami perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi neurologis
yang berat, yang seharusnya dapat dicegah dengan penemuan perubahan
kesadaran yang lebih awal3.
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna,
amnesia atau sakit kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat
dilakukan segera dan kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh
maka penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit. Dalam suatu
penelitian terhadap 658 penderita dengan cedera kepala ringan yang mengalami
kehilangan kesadaran sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18% terdapat
abnormalitas pada pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT
scan yang abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu
GCS 13 diklasifikasi sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542
penderita dengan CT scan Kepala normal pada saat masuk rumah sakit
menunjukan perburukan neurologis ataupun memerlukan tindakan operatif.
Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus dengan CT scan awal
yang normal timbul lesi masa beberapa jam kemudian3.
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada
cedera kepala tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto
ronsen dilakukan maka dokter harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur

43
liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila
terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur
tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur
tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%.
Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur
dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya
gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau
Battle's sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita
harus dirawat dengan observasi khusus3.
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau
rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik
seperti Kepala acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada
keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada
setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu
dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik
dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan
medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat
yang perlu bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama
sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa
kembali ke rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk
observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya
tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan
evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang
bila tidak terdapat gejala perburukan3.
Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus
dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama
beberapa hari sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah
saraf tidak ada di rumah sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke
rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan ulang

44
perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan bila keadaan
memburuk3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala ringan

2.7.2 Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)


Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera
kepala sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah
sederhana, namun biasanya mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat
disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari
penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma.
Karena itu, penderita-penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai
'penderita cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi.
Namun demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya3.

45
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala
sedang (dalam penelitian terhadap 341 penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40%
kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8%
diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan).
Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan
neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya
normal. Bila status neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan maka
penderita dapat dipulangkan beberapa hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh
dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi sama dengan
penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala sedang

46
2.7.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah-perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah
distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi
mengidentifikasikan penderita-penderita yang mempunyai resiko besar menderita
morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-
penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang
cepat sangatlah penting3.

Algoritme Penatalaksanaan cedera kepala Berat

2.7.5. Terapi Medikamentosa


Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya
adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya bila sel saraf dalam
keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai mengalami
kematian3.
A. Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar
tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai konsep
terapi bagi cedera kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan yang
membahayakan bagi penderita3. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak

47
memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita
cedera kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate3.
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas
normal. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak
yang, harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi3.

B. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan
menurunkan TIK. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang
pada akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02 turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan
jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan
lainnya baru mau dimulai3.

C. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS
dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu
pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi3.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan
profilaktik tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi
dalam penelitian uji buta ganda ternyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi
insidens terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu3.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk
dewasa dosis awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan
kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan

48
biasanya 100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum.
Pada pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang
yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30
sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak3.

D. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg
BB diberikan secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan
pada penderita hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang
jelas penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa
hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan
secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi3.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi
bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi
pemberian manitol untuk penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit
neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis tidaklah jelas3.

E. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh
diberikan pada fase akut resusitasi) 3.

2.7.6 Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi
massa intracranial, dan cedera tajam pada otak3.

49
A. Luka Kulit Kepala
Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak3.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh
besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan
adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak atau
benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan
duramater3.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi.
Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.
Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar operasi3.

B. Fraktur depresi Tengkorak


Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif
adalah bila tebalnya depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya.
Pemeriksaan CT Scan dapat menggambarkan secara jelas beratnya depresi tulang
dan yang lebih penting menentukan ada tidaknya perdarahan intra kranial atau
adanya suatu kontusio3.

C. Lesi-lesi Masa Intrakranial


Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf.
Prosedur pembedahan ini khususnya untuk pasien dengan status neurologi yang
memburuk dengan cepat dan tidak membaik dengan terapi non-bedah3.
Tabel 2. Ringkasan Penatalaksanaan cedera kepala

50
2.8 PROGNOSIS
Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli
bedah saraf. terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan
yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala3.

51
BAB IV
ANALISA KASUS

52
BAB V
KESIMPULAN

1. Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
2. Distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering
dibandingkan perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun.
3. Dua tahapan kerusakan didalam terjadinya kerusakan jaringan otak (brain
damage) setelah trauma kepala berupa primary damage dan secondary
damage.
4. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanisme, berat ringannya cedera, dan
morfologinya.
5. Penegakan diagnosa cedera kepala berdarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
6. Penatalaksanaan cedera kepala meliputi penatalaksanaan awal,
penatalaksanaan berdasarkan berat ringannya cedera, terapi medikamentosa
dan terapi pembedahan. Jika diperlukan.
7. Prognosis Cedera kepala pada anak-anak lebih baik dibandingkan usia lanjut.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,


Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

2.Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-
hematoma.html.

3. Anonym,Epidural hematoma, www.nyp.org

4. Anonym, Intracranial Hemorrhage, www.ispub.com

5. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L.


Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22

6. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,


Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 – 178

7. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit


FKUI, Jakarta, 2006, 359-366

8. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819

9. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314

54
11. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

12. Price D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

13. Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen
Interpretation, fourth edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404

14. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,


http://iwansain.wordpress.com/2007

15. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates


In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80

16. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging,


fifth edition, Churchill Living Stone, London,1993, 1423

55
56

Anda mungkin juga menyukai