LATAR BELAKANG
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS
Nama : An. J
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bangko
Pekerjaan :-
2.1 ANAMNESA
Keluhan Utama :
± 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit os tertimpa kayu saat
bermain. Setelah kejadian os sadar dan os dibawa ke rumah sakit Bangko karena
terdapat perdarahan di kepala os. Saat di rumah sakit os mengeluh mual (+) dan
muntah (+) sebanyak 1 kali.
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat alergi, sesak, batuk lama, kelainan pembuluh darah.
Tidak ada riwayat alergi, sesak, batuk lama, kelainan pembuluh darah, darah
tinggi, kencing manis, dan sakit jantung pada keluarga.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis E4V5M6
Kesan sakit : Kesan sakit sedang
Tanda vital : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,7oC
STATUS GENERALIS
3
Telinga : serumen (+), tidak ada kelainan
bentuk pada telinga, darah (-)
Mulut : simetris, sianosis (-), tidak kering, lidah
tidak kotor, tonsil T1/T1, tidak hiperemis, uvula di tengah
3. Leher : tidak ada deformitas, kelenjar getah bening tidak teraba
membesar, kaku kuduk (-),tidak terdapat deviasi trakea
4. Thorax :
Paru : Suara nafas vesikuler, Rh -/-, Wh -/-.
Jantung : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
5. Abdomen : Supel, Datar, BU (+) normal
6. Ekstremitas : Akral hangat (+) pada kedua lengan dan tungkai.
Tidak ada oedema
STATUS NEUROLOGIS
Nervi Cranial
N II (Optikus)
Ketajaman penglihatan (hitung jari) : normal
Pengenalan warna : normal
Lapang pandang (konfrontasi) : tidak dilakukan
Funduskopi : tidak dilakukan
4
N III, N IV, N VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+), medial (+/+), atas
lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral (+/+), bawah medial (+/+)
Ptosis : negatif
Strabismus : tidak dilakukan
Nistagmus : tidak dilakukan
Exoptalmus : negatif
N. V (Trigeminus)
a. Sensorik
N-V1 (ophtalmicus) : +
N-V2 (maksilaris) : +
N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b. Motorik
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut
c. Refleks kornea : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
N. VII (Fasialis)
5
Tes weber : tidak dilakukan
N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
a. Refleks menelan : +
b. Refleks batuk : +
c. Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
d. Refleks muntah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
e. Posisi uvula : Normal; Deviasi ( - )
f. Posisi arkus faring : Simetris
N. XI
N. XII
MOTORIK
Kekuatan : +5
tonus : normotonus
trofi : eutrofi
REFLEKS FISOLOGIS
Refleks tendon
o Refleks biceps : +/+
o Refleks triseps : +/+
o Refleks patella : +/+
6
o Refleks achilles : +/+
REFLEKS PATOLOGIS
V PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin
WBC : 10,4 H 103/mm3
RBC : 5.10 106/mm3
HGB : 12.2 g/dl
HCT : 37.7 %
PLT : 186 103/mm3
PCT : 127 %
2. GDS : 120 mg/dl
3. Kimia darah
Bilirubin total : 0,5 mg/dl
Bilirubin direk : 0,2 mg/dl
Bilirubin indirek : 0,3 mg/dl
Protein total : 6,6 g/dl
Albumin : 3,4 g/dl
Globulin : 3,2 g/dl
Ureum : 15,8 mg/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
7
Hasil Pemeriksaan CT-scan
8 Desember 2014
Diagnosis banding
- Subdural hematom
- Perdarahan subarachnoid
-
Diagnosis kerja
Penatalaksanaan:
8
1) O2 Nasal Canul 4L/menit
2) IVFD RL 30 gtt/i
3) Kateter terpasang
4) Manitol 12,5 gr atau 125 cc (0,25-1g/KgBB/6jam)
5) Citicoline 250 mg (100-500 mg, 1-2x/hari)
6) Asam traneksamat 500mg IV (15-25 mg/KgBB, 2-4x/hari)
7) Ranitidine 50mg IV (1mg/kgBB)
8) Ceftriaxon 1x2gr IV
Prognosis
9
BAB III
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Kepala
11
berlokasi di fossa temporal. Perdarahan yang hebat dari cedera arteri ini dapat
menyebabkan perburukan yang sangat cepat bahkan kematian3,8.
Perdarahan epidural dapat juga terjadi karena robekan sinus-sinus
duramater dan fraktur tulang, yang berkembang lebih perlahan-lahan dan
penekanan yang lebih ringan terhadap otak dibawahnya. Akan tetapi, sebagian
besar perdarahan epidural merupakan kondisi gawat darurat yang mengancam
nyawa, dan sebab itu itu harus dievaluasi segera oleh ahli bedah saraf3,8,9.
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis
dan tembus pandang disebut arachnoid. Karena duramater tidak melekat ke
arachnoid, maka ada satu rongga diantaranya yaitu rongga subdural yang
kedalamnya dapat berkumpul perdarahan. Pada cedera otak, vena-vena bridging
yang berjalan dari permukaan otak ke sinus-sinus duramater dapat saja mengalami
robekan, yang menyebabkan terjadinya perdarahan subdural3.
Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal mengisi rongga antara arachnoid yang kedap air dengan
piamater (rongga subarachnoid) yang menjadi bantalan otak dan medulla spinalis.
Perdarahan ke rongga yang penuh cairan serebrospinal ini (subarachnoid) sering
terlihat pada kontusi jaringan otak ataupun pada cedera pembuluh darah besar di
daerah dasar otak3,9.
12
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri,
yaitu lipatan duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di
garis tengah. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara pada semua manusia
yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih 85% orang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motoric dan pada sisi yang
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan
kanan dan sebagian orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab dalam
kemampuan menerima rangsang dan integrasi bicara. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam penglihatan3.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan medulla
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi system aktivasi reticular
yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik
berada di medulla oblongata yang berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis.
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan deficit neurologis
yang berat. Serebelum terutama bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, membentuk hubungan dengan
medulla spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri6.
13
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis6.
14
Monroe menuju ventrikel III, lalu ke akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV di
fossa posterior. Selanjutnya LCS keluar dari system ventrikel dan masuk dalam
rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis
dan akan mengalami reabsorbsi kedalam sirkulasi vena melalui granulasio
arachnoid menuju sinus sagitalis superior3,8.
Adanya darah dalam LCS dapat mengganggu penyerapan LCS,
menyebabkan tekanan tinggi intracranial dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus
komunikan pasca trauma). Pembengkakan atau edema dan lesi massa (misalnya
perdarahan) dapat menyebabkan pergeseran ventrikel yang biasanya simetris yang
dengan mudah terlihat pada hasil CT scan otak6.
2.1.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain)
menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medulla
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial3.
15
Gambar 2.8. Tentorium
2.1.7 Fisiologi
16
Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi
tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak.
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakanial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan
istirahat kira-kira 10 mmHg. TIK lebih tinggi dari 20 mmHg, terutama bila
menetap dan sulit diatasi menyebabkan kesudahan yang sangat buruk3,8.
B. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi
penting untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa tekanan
intracranial harus selalu konstan, karena rongga cranium pada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak elastik dan tidak mungkin mekar. Darah
didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan dan dipindahkan dari rongga tengkorak,
sehingga TIK tetap normal. Sehingga segera setelah cedera otak, suatu massa
seperti perdarahan dapat bertambah dengan TIK masih tetap normal. Namun
17
sewaktu batas pemindahan /pengeluaran CSS dan darah intravascular tadi
terlewati maka TIK secara sangat cepat akan meningkat3,9.
Doktrin Monro-Kellie yaitu “Volume intrakranial adalah tetap,
Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-
komponennya yaitu volume jaringan otak (Vbr), volume cairan serebrospinal (Vcsf)
dan volume darah (Vbl).”
Vic = V br+ V csf + V bl
18
Gambar 2.12. Doktrin Monro-Kellie
19
Arterial Blood Pressure) dan memperbaiki oksigenasi serta mengusahakan
normokapnia3.
Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial harus
segera dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg sangat
membantu untuk memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi dapat
memperburuk keadaan paru-paru) 3.
Sekali mekanisme kompensasi terlewati dan terdapat peningkatan
eksponensial TIK, maka perfusi otak akan terganggu, terutama pada pasien yang
mengalami hipotensi. Akhirnya akan berkontribusi pada terjadinya cedera
sekunder yang dapat terjadi pada jaringan otak yang masih bertahan pada
beberapa hari pertama setelah cedera otak berat. Proses patofisiologi tersebut
ditandai oleh proses inflamasi progresif, permeabilitas pembuluh darah,
danpembengkakan jaringan otak, dan kemudian peningkatan TIK yang menetap
dan mengakibatkan kematian3.
20
2.3. Epidemiologi
Cedera adalah salah satu masalah kesehatan yang paling serius.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan.
Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat
trauma1.
Distribusi cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif
antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat setiap tahun hampir 2
juta penduduk mengalami cedera kepala. Menurut penelitian Evans (1996),
distribusi kasus cedera kepala pada laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan
perempuan dan separuh pasien berusia 15-34 tahun4.
Berdasarkan penelitian Suparnadi (2002) di Jakarta, menunjukkan
bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu
golongan umur yang paling aktif dan produktif. Dalam penelitian ini didominasi
laki-laki (74%) dan pekerjaan korban sebagian besar adalah buruh (25%), 11%
adalah pelajar dan mahasiswa2.
Berdasarkan penelitian Wijanarka dan Dwiphrahasto (2005) di IGD
RS Panti nugroho Yogyakarta, dari 74 penderita terdapat 76% cedera kepala
ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 9% cedera kepala berat rata-rata umur
29,60 tahun. Dalam penelitian ini didominasi laki-laki (58%) dan
pelajar/mahasiswa (77%)2.
Menurut penelitian Amandus (2005) di RSUP Adam Malik Medan,
terdapat 370 penderita cedera kepala rawat inap pada tahun 2002-2004 dengan
proporsi tertinggi pada kelompok umur 17-24 tahun (37,5%) dan didominasi oleh
laki-laki (68,2%)2.
Menurut penelitian Riyadina dan Subik (2005) di Instalasi Gawat
Darurat RSUP. Fatmawati Jakarta kecelakaan banyak terjadi pada siang hari,
namun kecelakaan pada malam hari mempunyai proporsi yang lebih tinggi
keparahan cederanya (59%) dibandingkan kecelakaan pada siang hari. Waktu
malam hari suasananya lebih gelap dan sudah mulai sepi. Kondisi tersebut
menyebabkan pengendara mengemudikan kenderaannya dengan kecepatan tinggi
21
(>60 km/jam), kurang waspada, dan kurang hati-hati. Risiko terjadinya kematian
dan cidera meningkat seiring dengan kenaikan kecepatan mengemudi2.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Woro Riyadina
(2005) di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di 5 rumah sakit di wilayah DKI Jakarta
didapatkan jumlah kasus sebanyak 425 orang . Korban yang mengalami cedera
parah 41,9% dan meninggal 7,04%. Cedera utama adalah cedera kepala 53,4%
dengan comosio cerebri 10,59%. Jenis luka meliputi lecet 86,8%, luka terbuka
58,35% dan patah tulang 31.29%2.
b. Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan
oleh suatu benda, misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan)
secara mendadak.
22
Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya karena menabrak
tengkorak peristiwa ini juga terjadi sangat cepat dalam waktu singkat.
Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan serupa seperti pada
mekanisme akselerasi.
2. Rotasi.
Batang otak (brain stem) berupa sebuah “batang” yang terletak di
bagian tengah jaringan otak dan berjalan vertikal ke arah foramen magnum,
sehingga otak seolah-olah terletak pada sebuah sumbu (axis).
Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak, misalnya pada
bagian depan (frontal) atau pada bagian belakang (oksipital), maka otak akan
terputar pada “sumbu”nya.
Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian bawah
jaringan otak dan kerusakan pada batang otak. Kerusakan pada batang otak
dapat merupakan peristiwa yang mematikan. Mekanisme rotasi dapat terjadi
pada seorang petinju yang mendapat pukulan “jab” yang sangat keras.
23
Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala1.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari
muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup)6.
2. Secondary damage
24
Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses
yang terjadi pada saat trauma kepala dan baru menunjukkan gejala beberapa saat
kemudian (biasanya beberapa jam kemudian)9.
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan yang terjadi didalam tulang
tengkorak. Cerebral edema ialah bertambahnya volume cairan didalam jaringan
otak. Ischemic brain damage adalah kerusakan jaringan otak karena keadaan
hipotensi yang berlangsung lama pada saat terjadi trauma kepala4,10.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi3,6.
25
Gambar 2.14 Patofisiologi cedera kepala
26
Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala
27
flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 33,7,8,9.
Tabel 2.2 Glasgow Coma Scale
1. Fraktur cranium
28
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis/linier atau bintang/stellata dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya3,5.
Gambaran fraktur dibedakan atas :
a. Linier
Merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Pada radiologi akan terlihat gambaran radiolusen.
Fraktur linier yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal;
pada os temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila
fraktur memutuskan areteri meningia media maka akan terjadi perdarahan
hebat yang akan terkumpul di ruang diantara duramater dan tulang
tengkorak, disebut perdarahan epidural. Fraktur linier lain yang berbahaya
adalah fraktur yang melintas diatas sinus venosus, misalnya sinus sagitalis
superior digaris tengah tengkorak, sinus confluens dan sinus rectus
dibagian posterior tulang tengkorak. Fraktur ditempat ini mungkin akan
merobek sinus venosus tersebut10.
b. Diastase
Fraktur yang terjadi pada sutura, sehingga terjadi pemisahan sutura cranial
atau pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi
pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan
dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural7.
29
Gambar 2.16 fraktur diastase
c. Depressed
Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pada
satu atau lebih tepi fraktur terletak dibawah level anatomic normal dari
tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh7.
Jenis fraktur ini terjadi jika energy benturan relative besar terhadap area
benturan yang relative kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu,
pipa besi, dll. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area ‘ double
density’ (lebih radio opaque) karena adanya bagian-bagian tulang yang
tumpang tindih10.
30
b) Basis cranii (dasar tengkorak)
yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar
tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian yaitu :
(1) fossa Anterior
(2) fosa Media
(3) fosa Posterior
31
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya
fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat
sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada
populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.
Fraktur pada masing-masing fosa akan memberikan manifestasi yang
berbeda.
A. Fraktur fossa anterior
1. Fraktur atap orbita.
Fraktur akan merobek duramater dan arachnoid sehingga liquor cerebro
spinalis (LCS) bersama darah melalui celah fraktur masuk kerongga orbita
sehingga dari luar disekitar mata tampak kebiru-biruan. Bila satu mata disebut
Monocle Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma/ Raccoon’s Eyes11.
32
Diatas Sella tursica terdapat kelenjar hypopise yang terdiri dari 2 bagian yaitu
pars anterior dan pars posterior (neuro hypopise). Pada fraktur Sella tursica
yang biasanya terganggu adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan
sekresi ADH (Anti Diuretik Hormon) yang menyebabkan diabetes insipidus7.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, kontusi dan hematoma intraserebral.
33
Gambar 2.20. Lesi Fokal
A. Lesi Fokal
a. Perdarahan epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater . Sering terletak di area temporal
atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya a.meningea media akibat
retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari
pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus
terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa posterior3,9.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis
biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg
lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
34
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik
dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf7.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogen, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying
lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila
meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan
penunjang seperti foto roentgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong
didiagnosis hematom epidural bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil
yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematom.5
35
kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan3.
b. Perdarahan subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan
sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktur tengkorak
mungkin ada atau tidak3.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosis lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis
agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis9.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural8.
36
Gambar 2.22 Subdural hematoma akut dengan kompresi ventrikel
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya
tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi
pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang
semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan
akhirnya menjadi hipodens3,6.
37
Gambar 2.23. Subdural Hematome
A B
Gambar 2.24. (A) Kontusio bilateral dengan perdarahan;
(B) intraparenkimal hematome
38
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia (pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali).
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia
retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera)3.
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam waktu
kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio serebri klasik pulih kembali
tanpa cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi (pada
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu). Defisit
neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejaa lainnya (gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat) 4.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita
sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer. Membedakan
antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan10.
39
Gambar 2.25. CT Scan cedera difus
40
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis, informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital system
organ, dan pemeriksaan neurologis yang lebih dalam mencakup pemeriksaan
fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex
fisiologis dan patologis. Pada bagian thoraks perlu diperiksa fungsi pernapasan
dan kardiovaskuler. Pada daerah abdomen perlu diperhatikan adanya
kemungkinan cedera organ dalam3.
41
maka jika ada indikasi jelas untuk pemeriksaan CT-scan dianjurkan untuk tidak
perlu lagi melakukan rontgen kepala.
b. CT scan
Pemeriksaan CT-Scan harus segera dilakukan secepat mungkin,
segera setelah hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT-scan ulang harus
diulang bila terjadi perburukan status klinis pasien dan secara rutin l2-24jam
setelah trauma bila dijumpai gambaran kontusio otak atau hematoma pada CT-
Scan awalnya. Hasil pemeriksaan CT-scan yang berrnakna antara lain
pembengkakan kulit kepala atau perdarahan subgaleal ditempat benturan. Retak
atau garis fraktur tampak lebih jelas pada CT-Scan “bone window”. Penemuan
terpenting dalam CT-Scan Kepala adalah adanya perdarahn intracranial, kontusio
dan pergeseran garis tengah.
2.Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang berguna pada kasus cedera
kepala adalah :
a. Hb, berguna sebagai salah satu tanda adanya perdarahan hebat.
b. Leukosit, berguna sebagai salah satu indicator berat ringannya cedera
kepala yang terjadi.
c. Golongan darah, sebagai persiapan untuk tranfusi bila diperlukan.
d. Gula darah sewaktu, untuk memonitor pasien agar tidak terjadi
hiper/hipoglikemia.
e. Fungsi ginjal
f. Analisa gas darah, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran
g. Elektrolit, gangguan elektrolit merupakan salah satu penyebab terjadinya
penurunan kesadaran.
42
2.7. Penatalaksanaan Cedera Kepala
43
liner/depresi, (2) posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila
terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur
tulang wajah, (6) benda asing. Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur
tengkorak pada 3% penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%.
Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur
dasar tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya
gejala klinis seperti ekimosis periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau
Battle's sign merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita
harus dirawat dengan observasi khusus3.
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau
rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik
seperti Kepala acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada
keadaan yang sangat nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada
setiap luka terbuka Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu
dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik
dalam urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan
medikolegal. Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa
kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat
yang perlu bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita selama
sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera dibawa
kembali ke rumah sakit. Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk
observasi penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya
tidak dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan
evaluasi secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang
bila tidak terdapat gejala perburukan3.
Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka penderita harus
dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat penatalaksanaan selama
beberapa hari sesuai dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah
saraf tidak ada di rumah sakit semula maka, penderita harus segera dirujuk ke
rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf. Pemeriksaan CT scan ulang
44
perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau segera dilakukan bila keadaan
memburuk3.
45
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera
dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis
dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala
sedang (dalam penelitian terhadap 341 penderita dengan GCS 9-12, ternyata 40%
kasus menunjukan gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8%
diantaranya memerlukan tindakan pembrdahan).
Penderita harus dirawat untuk observasi ketat dan pemeriksaan
neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam walaupun gambaran CT scan-nya
normal. Bila status neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan maka
penderita dapat dipulangkan beberapa hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh
dalam koma, maka prinsip penatalaksanaanya menjadi sama dengan
penatalaksanaan penderita dengan cedera kepala berat3.
46
2.7.3 Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat (GCS: 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah-perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah
distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi
mengidentifikasikan penderita-penderita yang mempunyai resiko besar menderita
morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan "Tunggu dulu" pada penderita-
penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang
cepat sangatlah penting3.
47
memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita
cedera kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate3.
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas
normal. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak
yang, harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi3.
B. Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini akan
menurunkan TIK. Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang
pada akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02 turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) 3.
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 35 mm Hg atau sedikit di atas.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan
jika diperlukan pada keadaan perburukan neurologis akut sementara pengobatan
lainnya baru mau dimulai3.
C. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS
dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu
pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi3.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan
profilaktik tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi
dalam penelitian uji buta ganda ternyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi
insidens terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu3.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk
dewasa dosis awalnya adalah 1g yang diberikan secara intravena dengan
kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan
48
biasanya 100 mg/8jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum.
Pada pasien dengan kejang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang
yang terus menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30
sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak3.
D. Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya
dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai adalah 1 gram / kg
BB diberikan secara bolus intra vena. Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan
pada penderita hipotensi karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang
jelas penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula reaksi cahaya
pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa
hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan
secara cepat (sampai 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi3.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi
bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi
pemberian manitol untuk penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit
neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis tidaklah jelas3.
E. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila terdapat
hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan darah (tidak boleh
diberikan pada fase akut resusitasi) 3.
2.7.6 Pembedahan
Manajemen operatif kadang diperlukan pada luka kulit kepala, lesi
massa intracranial, dan cedera tajam pada otak3.
49
A. Luka Kulit Kepala
Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak3.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh
besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan
adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak atau
benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan
duramater3.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi.
Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.
Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar operasi3.
50
2.8 PROGNOSIS
Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli
bedah saraf. terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya
pemulihan yang baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan
yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala3.
51
BAB IV
ANALISA KASUS
52
BAB V
KESIMPULAN
53
DAFTAR PUSTAKA
2.Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-
hematoma.html.
8. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
54
11. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259
13. Paul, Juhl’s, The Brain And Spinal Cord, Essentials of Roentgen
Interpretation, fourth edition, Harper & Row, Cambridge, 1981, 402-404
55
56