Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Vertigo Perifer susp. Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV)

Dibuat oleh:
dr. Felda Andreane

Pembimbing :
dr. Desty, Sp.S

Program Internship
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Soetrasno
Periode November 2020-2021
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 51 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Alamat : Pengkol 3/3 kaliori
Tanggal Masuk RS : 20 Juni 2020

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pusing berputar yang memberat sejak pagi SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Soetrasno Rembang dengan
keluhan pusing berputar semakin memberat sejak tadi pagi. Keluhan
dirasakan pertama kali sekitar 2 minggu yang lalu. Pusing berputar
muncul secara tiba-tiba terutama saat pasien bangun dari tempat tidur.
Menurut pasien, keluhan dirasakan hilang timbul, setiap serangan
berdurasi kurang lebih 10 sampai 15 detik dan kemudian hilang dengan
sendirinya, menurut pasien yang berputar adalah ruangan sekitar pasien.
Keluhan dirasakan lebih parah dengan perubahan posisi terutama saat
bangun dari tidur, tidur menyamping, dan saat membungkuk pada waktu
shalat. Berkurang saat memejamkan mata dan istirahat. Pasien tidak
mengalami nyeri kepala ataupun pingsan.
Menurut pasien, keluhan yang dirasakan tidak mengganggu
aktivitas. Akan tetapi, keluhan tersebut dirasakan bertambah parah sejak
pagi SMRS, dimana pasien merasakan mual dan muntah. Pasien muntah
sebanyak 5 kali, sekitar ½ gelas aqua setiap kali muntah dan berisi
makanan. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa berdengung pada telinga

2
kiri pasien. Pasien tidak dapat mengingat dengan pasti kapan keluhan ini
muncul. Keluhan telinga berdengung dirasakan hilang timbul dan
muncul secara tiba-tiba. Pasien tidak mengetahui faktor yang membuat
telinga berdengung. Menurut pasien, keluhan telinga berdengung
tersebut juga tidak muncul beberapa waktu belakangan. Pasien juga tidak
memiliki gangguan pendengaran dan masih dapat mendengar dengan
baik. Selain itu, pasien juga tidak memiliki gangguan penglihatan seperti
penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. Nafsu makan
pasien menurun, tidak batuk ataupun pilek. Pasien tidak memiliki
riwayat trauma kepala sebelum keluhan muncul.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat penyakit
Pasien memiliki riwayat maag sejak SMA. Pasien tidak memiliki
riwayat hipertensi dan kencing manis. Pasien juga belum pernah
mengalami penyakit telinga ataupun keluhan serupa sebelumnya.
2. Riwayat perawatan
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
3. Riwayat pembedahan
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
4. Riwayat pengobatan
Pasien tidak pernah minum obat rutin apapun dirumah.
5. Riwayat alergi
Menurut pasien, pasien tidak memiliki riwayat alergi.

D. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
serupa, darah tinggi ataupun kencing manis.

E. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, konsumsi alkohol ataupun
NAPZA lainnya.

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal Pemeriksaan : 20 Juni 2020
Tempat Pemeriksaan : Bangsal melati 1
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Tinggi Badan : 167 cm
Berat Badan : 64 kg
Status Gizi : Baik
Tanda Vital
- Suhu Tubuh : 36,7oC (per axilla)
- Tekanan Darah : 130/80
- Nadi : 84 x/menit, regular
- Laju Nafas : 20 x/menit, reguler
B. Status Internus
- Kepala/leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Reflek cahaya +/+
: Konjungtiva anemis -/-
: Sklera ikterik -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah
- Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorax
 Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris
: Gerak napas tertinggal (-)
Palpasi : Focal fremitus simetris, sama kuat
: Ekspansi normal
Perkusi : Bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-

4
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop
- Abdomen
 Inspeksi : Cembung, bekas luka (-)
 Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (+)
: Hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Punggung : Nyeri punggung bawah (-)
- Ekstremitas : Akral hangat
: Deformitas (-), edema (-)
: CRT <2 detik
C. Status Neurologis
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4 M6 V5
 Nervus kranialis
- N. I : Normal
- N. II : Visus 1/60
: Lapang pandang tidak dilakukan
- N.III, IV, VI : Ptosis -/-
: Pupil 3mm/3mm, bulat, isokor
: Reflex cahaya langsung +/+
: Reflex cahaya tidak langsung +/+
: Gerak bola mata bebas ke segala arah
- N. V : motorik : m. maseter normal
: Gerakan membuka mulut normal
: Gerakan rahang normal
: sensorik : V1 sensibilitas normal
: V2 sensibilitas normal
: V3 sensibilitas normal

5
: Refleks kornea normal
- N. VII : Sikap mulut saat istirahat normal, deviasi (-)
: Mengangkat alis simetris
: Mengerutkan dahi simetris
: Menyeringai simetris
: Kembung pipi simetris
: Pengecapan 2/3 anterior tidak dilakukan
- N. VIII
n. koklearis : Gesekan jari normal
: Tes rinne tidak dilakukan
: Tes webber tidak dilakukan
: Tes swabach tidak dilakukan
n. vestibularis : Nistagmus -/-
- N. IX, X : Arkus faring simetris
: Uvula ditengah
: Disfonia (-)
: Disfagia (-)
- N. XI : Angkat bahu normal
: Memalingkan kepala normal
- N. XII : Deviasi lidah (-)
: Atrofi (-)
: Kekuatan lidah normal
 Motorik
- Trofi eutrofi eutrofi
eutrofi eutrofi

normotonus normotonus
- Tonus
normotonus normotonus

- Kekuatan 5555 5555


5555 5555

- Refleks fisiologis : Bisep +/+


: Patella +/+

6
: Trisep +/+
: Achiles +/+
- Reflex patologis : Babinski -/-
: Chaddock -/-
: Gordon -/-
: Oppenheim -/-
: Schaffer -/-
: Hoffman Trommer -/-
 Sensorik
- Ekstremitas atas : Raba +/+
: Nyeri +/+
: Suhu +/+
: Propioseptif +
- Ekstremitas bawah : Raba +/+
: Nyeri +/+
: Suhu +/+
: Propioseptif +
 Saraf otonom
- Miksi : Normal
- Defekasi : Normal
- Sekresi keringat : Normal
 Koordinasi dan Keseimbangan
- Tes tunjuk hidung : Normal
- Tes tumit-lutut : Normal
- Disdiadokokinesis : Normal
 Fungsi Luhur : Normal
 Tanda rangsang meningeal
- Kaku kuduk : (-)
- Lassegue : (-)
- Kernig : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (20 Juni 2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 12,5 13,2 -17,3 g/dl


Hematokrit 36,9 40-52 %
Leukosit 6,86 6-12 ribu/mm3
Trombosit 237 150-400 ribu/mm3
Eritrosit 4,32 4,4 – 5,9 juta/mm3
MPV 9,2 7,1-11,1 mikro m3
RDW 12,6 11,5-14,5%
MCV 85,4 80-100 mikro m3
MCH 28,9 22-34 pg
MCHC 33,9 32-36 g/dl
Netrofil segmen 81,1 50-70
Limfosit 13,3 25-40
Monosit 4,5 2-8
Eosinofil 0,7 1-3
Basofil 0,4 0-1
Glukosa sewaktu 181 70-115
Natrium 139,2 135-147
Kalium 3,92 3,5-5,5
Chlorida 106,7 98-108

8
V. RESUME
Tn. L, 51 tahun, datang dengan keluhan pusing berputar memberat sejak
tadi pagi. Keluhan dirasakan pertama kali sekitar 2 minggu yang lalu. Pusing
berputar muncul secara tiba-tiba terutama saat pasien bangun dari tempat tidur.
Keluhan dirasakan hilang timbul, setiap serangan berdurasi kurang lebih 10 sampai
15 detik dan kemudian hilang dengan sendirinya, menurut pasien yang berputar
adalah ruangan sekitar pasien. Keluhan dirasakan lebih parah dengan perubahan
posisi terutama saat bangun dari tidur, tidur menyamping, dan saat membungkuk
pada waktu shalat. Berkurang saat memejamkan mata dan istirahat. Keluhan
memberat sejak pagi, disertai dengan mual dan muntah 5x berisi makanan.
Terdapat keluhan telinga kiri berdengung yang dirasakan hilang timbul dan secara
tiba-tiba. Nyeri kepala (-), diplopia (-), blurred vision (-). Gangguan pendengaran
lain (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : E4M6V5
- N. VIII : Nistagmus -/-
- Sensorik : propiosepsi nomal
- Koordinasi : tes tunjuk hidung normal
: tes tumit-lutut normal
: disdiadokokinesis normal

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Vertigo Perifer suspect BPPV
Diagnosis topis : Sistem Vestibular
Diagnosis etiologis : Idiopatik

VII. DIAGNOSIS KERJA


1. Vertigo perifer susp. BPPV
Keluhan pusing berputar yang muncul secara tiba-tiba, dipengaruhi oleh
posisi, terdapat mual muntah yang cukup hebat, terdapat tinitus, pasien
masih dapat jalan dan beraktivitas. Lingkungan berputar. Serangan 10-15
detik, saat bangun tidur. Gejala sentral (-).

9
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Penyakit meniere
Pusing berputar (+), tinitus (+), tuli (+). Keluhan pusing berputar
menghilang setelah beberapa menit atau jam. Akan tetapi, diagnosis
penyakit meniere belum dapat disingkirkan karena belum dilakukan tes
pendengaran lebih lanjut seperti audiometri.
2. Neuronitis Vestibular
Pusing berputar (+), mual muntah (+), demam (+), leukositosis. Akan
tetapi, pusing berputar muncul lebih dahulu daripada demam. Dan
infeksi yang mendahului biasanya ISPA. Telinga berdengung (+).
Keluhan pusing berputar dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Fungsi pendengaran tidak terganggu. Mungkin
dijumpai nistagmus.

IX. TATALAKSANA
a. Nonmedikamentosa
 Edukasi pasien untuk perubahan posisi secara perlahan-lahan.
 Memberitahu pasien tentang latihan Brandt-Daroff untuk latihan di
rumah agar pasien terbiasa dengan beberapa posisi sehingga tidak
muncul keluhan pusing berputar saat berpindah posisi.

10
b. Medikamentosa
-IVFD RL 20 tpm
-Inj. Ondansentron 4mg/8jam
-Betahistin mesilat 3x1 po
-Dimenhidrinat 3x1 po
-Diazepam 2x2,5mg po
-Vitamin B1B6B12 3x1 po

FOLLOW UP
21/6/202 Pusing KU : lemah Vertigo -IVFD RL 20 tpm
0 berputar Kesadaran: compos perifer dd -Inj. Ondansentron
berkurang, mentis BPPV 4mg/8jam
mual+, HR: 98x/menit -Betahistin mesilat 3x1 po
muntah- RR: 20x/menit -Dimenhidrinat 3x1 po
S: 36.8oC -Diazepam 2x2,5mg po
TD: 130/80 mmHg -Vitamin B1B6B12 3x1 po
SpO2: 99%
22/6/202 Pusing KU : cukup Vertigo -IVFD RL 20 tpm
0 berputar Kesadaran: compos perifer dd -Inj. Ondansentron
berkurang, mentis BPPV 4mg/8jam
mual+, HR: 90x/menit -Betahistin mesilat 3x1 po
muntah- RR: 20x/menit -Dimenhidrinat 3x1 po
S: 36.5oC -Diazepam 2x2,5mg po
TD: 120/90 mmHg -Vitamin B1B6B12 3x1 po
SpO2: 99%
23/6/202 Pusing KU : cukup Vertigo -IVFD RL 20 tpm
0 berputar Kesadaran: compos perifer dd -Inj. Ondansentron
sangat mentis BPPV 4mg/8jam  stop
berkurang, HR: 88x/menit -Betahistin mesilat 3x1 po
mual-, RR: 20x/menit -Dimenhidrinat 3x1 po
muntah- S: 36.5oC -Diazepam 2x2,5mg po
TD: 120/80 mmHg -Vitamin B1B6B12 3x1 po
SpO2: 99%
24/6/202 Pusing KU : cukup Vertigo BLPL.
0 berputar-, Kesadaran: compos perifer dd Obat pulang:
mual-, mentis BPPV -Betahistin mesilat 3x1 po
muntah- HR: 88x/menit -Dimenhidrinat 3x1 po
RR: 20x/menit -Ondansentron 3x1 po k/p
S: 36.7oC -Vitamin B1B6B12 3x1 po
TD: 130/90 mmHg
SpO2: 99%

11
X. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN


Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (labirin),
terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara
umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat
keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran. Labirin
membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk
labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat perilimfa, sedang
endolimfa terdapat di dalam labirin membran. Berat jenis cairan endolimfa lebih
tinggi daripada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin
membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada dalam labirin tulang. Setiap
labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss), yaitu kss horizontal (lateral), kss
anterior (superior) dan kss posterior (inferior). Selain 3 kanalis ini terdapat pula
utrikulus dan sakulus.5,6,7

Gambar 1. Anatomi labirin


(Dikutip dari kepustakaan 8)

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di


sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ
visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan
diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu.5

13
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang merupakan
pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin tulang. Pada
tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya terdapat sel-sel
reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis semisirkularis
dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang berhubungan dengan utrikulus,
disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang terdiri dari sel-sel
reseptor keseimbangan dan seluruhnya tertutup oleh suatu substansi gelatin yang
disebut kupula.5,6,7

Gambar 2. Gambaran skematis dari epitel vestibular menggambarkan 2 tipe


sel dan hubungan nervus pada sel tersebut. Terlihat pula kupula dari kanalis
semisirkularis dan sel rambut.
(Dikutip dari kepustakaan 9)

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan


cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk.
Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion
kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi

14
dan akan merangsang pelepasan neurotransmiter eksitator yang selanjutnya akan
meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak.
Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi.5,7
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi
mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis
semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan sudut.
Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang
sedang berlangsung.5
Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga
kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala
yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah. Pada jantung berupa
bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.5

II. DEFINISI
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yang artinya memutar, merujuk
pada sensasi berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa
pusing (dizziness) sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya
disebabkan oleh gangguan pada sistem keseimbangan. 1 Keseimbangan adalah
kemampuan untuk mempertahankan orientasi tubuh dengan lingkungan sekitarnya.
Keseimbangan pada manusia diatur oleh input yang bersifat kontinu dari sistem
vestibular, propioseptif dan visual. Impuls dari ketiga sistem ini akan mengalami
proses integrasi dan modulasi di batang otak, serebelum dan serebral.16
Vertigo bukanlah suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit
yang letak lesi dan penyebabnya berbeda – beda. Oleh karena itu pada setiap
penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan
terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak lesi, dan penyebabnya.15
Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer
yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba
pada perubahan posisi kepala. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer karena
kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis. BPPV
pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik nistagmus

15
dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi ini terjadi
akibat gangguan otolit.2,3

III. EPIDEMIOLOGI
Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) disebut sebagai gangguan
vestibular yang umum dikenal dalam suatu kelompok pasien, onset umur rata-
ratanya adalah 54 tahun, dengan range 11 sampai 84 tahun. Froehling et al.
mengestimasikan bahwa insidennya sebanyak 107 kasus per 100.000 populasi per
tahun. Sebuah penelitian di Jepang pada pasien dengan BPPV saja jika mereka
memiliki nistagmus pada tes Dix-Hallpike ditemukan insidensnya sebanyak 10,7
kasus per 100000 per tahun. Pada pengalaman sebelumnya, didapatkan adanya
hubungan antara BPPV dengan vestibular neuritis pada 10% pasien dan trauma
kepala pada 20% pasien. Sama halnya, Baloh et al. melaporkan bahwa 15% kasus-
kasus BPPV diikuti oleh neurolabirintitis dan 18% oleh trauma kepala. Namun,
pada kebanyakan pasien BPPV, tidak temukan adanya hubungan tersebut.4

IV. ETIOLOGI
BPPV merupakan penyakit degeneratif yang idiopatik yang sering
ditemukan, kebanyakan diderita pada usia dewasa muda dan usia lanjut. Penyebab
utama BPPV pada orang di bawah umur 50 tahun adalah cedera kepala. Pada orang
yang lebih tua, penyebab utamanya adalah degenerasi sistem vestibuler pada
telinga tengah. BPPV meningkat dengan semakin meningkatnya usia.2,10
Penyebab lain yang jarang ditemukan adalah labirintitis virus, neuronitis
vestibularis, pasca stapedektomi, fistula perlimfa, dan penyakit meniere. BPPV
merupakan penyakit pada semua usia dewasa. Pada anak belum pernah
dilaporkan.2,10

V. PATOFISIOLOGI
Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :
• Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk
menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi
kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula
utriculus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia

16
menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi
akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda
berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk
tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang
ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala
penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike).
KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara
utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo).
Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.3,11

• Teori Canalithiasis
Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith
bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel
ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika
kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas sarnpai ± 900 di
sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir
menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini
menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan
kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus
yang bergerak ke arah berlawanan.
Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam
ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya
gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing.
Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan
keterlambatan "delay" (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu
untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar
dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah
yag dapat menerangkan konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.3,11

VI. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya vertigo dibagi menjadi 2 yaitu vertigo perifer dan
vertigo sentral. Vertigo sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau

17
pada serebelum, sedangkan pada vertigo perifer berhubungan dengan manifestasi
patologis di telinga.17
Vertigo perifer berdasarkan lamanya serangan dibagi menjadi episode
vertigo yang berlangsung beberapa detik, episode vertigo yang berlangsung
beberapa menit atau jam dan serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu. Episode vertigo yang berlangsung beberapa detik paling
sering disebabkan oleh vertigo posisional benigna (BPPV). Dapat dicetuskan oleh
perubahan posisi kepala. Paling sering penyebabnya idiopatik (tidak diketahui),
namun dapat juga diakibatkan oleh trauma di kepala, pembedahan telinga atau oleh
neuronitis vestibular.17
Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam dapat dijumpai
pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang. Penyakit meniere mempunyai
trias gejala khas, yaitu ketajaman pendengaran menurun (tuli), vertigo, dan tinitus.
Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu dapat
disebabkan oleh neuronitis vestibular, ini merupakan kelainan yang paling sering
dan ditandai dengan gejala berupa vertigo, nausea, muntah, timbul mendadak.
Gejala ini dapat berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Fungsi pendengaran dapat mungkin tidak terganggu. Pada pemeriksaan fisik
mungkin dijumpai nistagmus.

18
19
VII. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan bentuk vertigonya (apakah melayang, goyang,
berputar tujuh keliling, rasa seperti naik perahu, dan sebagainya), keadaan yang
memprovokasi timbulnya vertigo (perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan
dan ketegangan), profil waktu (apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang
timbul, paroksismal, kronik, progresif, atau membaik).15
Tanyakan apakah ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai atau
ditemukan lesi pada alat vestibuler atau n. vestibularis, penggunaan obat-obatan
seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui
ototoksik atau vestibulotoksik, dan adanya penyakit sistemik seperti anemia,
penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma
akustik.15
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20
detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat
tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang,
dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual sampai muntah.10

B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan pada vertigo antara lain:17
a. Uji Romberg, penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan mula-mula
dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian
selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan
posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu).
Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup, badan penderita akan
bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka
badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebral badan
penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait, penderita berjalan dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada
ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler,
perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebeler penderita akan
cenderung jatuh.
c. Uji Unterberger, penderita berdiri dengan kedua lengan lurus horizontal ke
depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama

20
satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau
berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram yaitu
kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi
dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
d. Uji Tunjuk Barany (past-ponting test), penderita diinstruksikan mengangkat
lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan,
kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini
dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan
vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.
e. Uji Babinsky Weil, penderita berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah
ke belakang selama setengah menit dengan mata tertutup berulang kali. Jika ada
gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk
bintang.

Pemeriksaan khusus oto-neurologi dilakukan untuk menentukan apakah letak


lesinya di sentral atau perifer.17
- Fungsi Vestibuler :
a) Uji Dix Hallpike, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat dari
posisi duduk di atas tempat tidur sehingga kepalanya menggantung 45° di
bawah garis horizontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45° ke kanan lalu
ke kiri. Lakukan uji ini ke kanan dan kiri. Perhatikan apakah terdapat
nistagmus pada penderita. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan
nistagmus. Uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Ini
merupakan pemeriksaan fisik standar untuk BPPV.
Vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam
waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang
beberapa kali (fatigue) menunjukan bahwa yang terjadi pada penderita ialah
vertigo perifer. Sedangkan jika tidak ada periode laten, nistagmus dan
vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap
seperti semula (non-fatigue) menunjukan bahwa yang terjadi pada penderita
ialah vertigo sentral.

21
b) Tes Kalori, penderita berbaring dengan kepala fleksi 30°, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30°C) dan air hangat (44°C) masing-masing
selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul
dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus
tersebut (normal 90-150 detik). Tes ini dapat menentukan adanya kanal
paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Kanal paresis
adalah abnormalitas yang ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang
air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah
abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing
telinga. Kanal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n.VIII,
sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.
c) Elektronistagmogram, pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit
dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus sehingga
nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.

22
- Tes Fungsi Pendengaran:
a) Tes Garpu Tala, tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan
tuli perseptif, dengan menggunakan tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada
tuli konduktif, tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke yang tuli dan
schwabach memendek.
b) Audiometri, ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Ludness
Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, dan Tone Decay.

- Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus,


okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran dan fungsi menelan. Juga
fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas), fungsi sensorik (hipestesi, parestesi)
dan serebelar (tremor, gangguan cara berjalan).

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
1) Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi.
2) Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
3) Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG),
Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP).
4) Pencitraan CTscan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).

VIII. DIAGNOSIS BANDING


 Neuronitis Vestibular
Neuronitis vestibular penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat dengan
mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan. Gejala-gejala ini
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu.10 Fungsi pendengaran
tidak terganggu pada kasus ini dan pada pemeriksaan fisik mungkin dijumpai
nistagmus.15

 Labirintitis

23
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme
telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda.
Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut
disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah atau
meningens tidak banyak bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan
gangguan pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh
produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh organisme
hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke
dalam struktur-struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan
fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat timbul dari
berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau
perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin.12

 Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran,
tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita dewasa.
Patofisiologinya adalah pembengkakan endolimfe akibat penyerapan endolimfe
dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat. Manifestasi klinisnya adalah
vertigo disertai muntah yang berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan
berangsur membaik. Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang
menetap, dan rasa penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat
disertai gejala vegetative. Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuansinya
bertambah.13

IX. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana non farmakologi,
farmakologi, dan operasi. Tatalaksana non farmakologi dapat dilakukan dengan
pemberian terapi dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning
Maneuver (PRM) / epley manuver yang secara efektif menghilangkan vertigo pada
BPPV. Efek samping yang dapat terjadi dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus. Hal ini terjadi karena adanya debris otolitith yang
tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat berpindah

24
dari ampula ke kanal bifurcasio. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk
mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.17
 Ada lima manuver yang dapat dilakukan, antara lain:18
a. Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45° lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu
kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi
lateral dekubitus dan dipertahan 30- 60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara
perlahan.

b. Manuver Semont, manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis


kanan posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu
kepala dimiringkan 45° ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang
berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.

25
c. Manuver Lempert, manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe
kanal lateral. Pasien berguling 360° yang dimulai dari posisi supinasi lalu
pasien menolehkan kepala 90° ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90° dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.

d. Forced Prolonged Position, manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal
lateral. Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral
dekubitus pada sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.
e. BrandtDaroff exercise, manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di
rumah dan dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada
pasien yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini

26
juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.

 Tatalaksana medikamentosa vertigo:


 Ca-entry blocker (mengurangi aktivitas eksitatori SSP dengan menekan
pelepasan glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja
langsung dengan depressor labirin). Bisa untuk vertigo sentral dan perifer.
Contoh: Flunarisin 3x5-10 mg/hr.
 Antikolinergik (mengurangi eksitabilitas neuron dengan menghambat jaras
eksitatorik kolinergik ke n. vestibularis yang bersifat kolinergik
mengurnangi respons n. vestibularis terhadap rangsang). Efek samping:
mulut kering, dilatasi pupil, sedasi, gangguan akomodasi, menghambat
kompensasi. Tidak dianjurkan pemakaian kronis. Contoh: sulfas atropine
0,4mg/im, skopolamin 0,6mg iv diulang tiap 3 jam
 Antihistamin (efek antikolinergik dan merangsang inhibitory
monoaminergik dengan akibat inhibisi n.vestibularis). Antihistamine juga
mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi
mual dan muntah karena motion sickness. Contoh: Demenhidrinat 4x 50
mg/hr., diphenhidramin 1,5mg/im-oral dapat diulang tiap 2 jam.
 Monoaminergik (merangsang jaras inhibitori monoaminergik pada n.
vestibularis, sehingga berakibat mengurangi eksitabilitas neuron). Contoh:
amfetamin, efedrin.

27
 Histaminik (inhibisi neuron polisinaptik pada n.vestibularis lateralis).
Betahistine mesilat 3x80 mg.
 Antidopaminergik (bekerja pada chemoreseptor trigger zone dan pusat
muntah di medulla oblongata). Contoh: Chlorpromazine 3 x 25 mg/hr,
haloperidol
 Benzoadiazepine (menurunkan resting activity neuron pada n.vestibularis
dengan menekan reticular fascilitatory system). Contoh: Diazepam 3x2-5
mg/hr.
 Antiepileptik (bekerja dengan meningkatkan ambang, khususnya pada
vertigo akibat epilepsy lobus temporalis). Contoh: Carbamazepine 3x200
mg/hr, Fenitoin 3x100 mg.

 Tindakan operatif pada vertigo


Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat.
Pasien ini gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat
kelainan patologi intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV
disebabkan oleh respon stimulasi kanalis semisirkuler posterior, nervus ampullaris,
nervus vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler.2 Terdapat dua
pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu singular
neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior
semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi
mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.17

X. PROGNOSIS
Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure) / epley
manuver biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun
beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar
10-25%.2
BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis vertigo dibuat atas dasar keluhan pasien merupakan keluhan


pusing berputar. Pasien tidak merasakan adanya nyeri kepala ataupun pingsan.

28
Vertigo yang dirasakan pasien merupakan vertigo perifer karena keluhan muncul
secara tiba-tiba, dipengaruhi oleh posisi, terdapat mual muntah yang cukup hebat,
terdapat tinitus, pasien masih dapat jalan dan beraktivitas, pasien merasakan
lingkungan sekitar pasien yang berputar. Tidak ditemukan adanya gejala-gejala
sentral seperti gangguan penglihatan, penglihatan ganda, ataupun kesulitan
berbicara. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluhan vertigo pasien adalah vertigo
perifer.
Kecenderungan terhadap BPPV didapatkan karena sifat dari vertigo pasien
yang dipengaruhi posisi, yaitu saat bangun dari tempat tidur dan menghilang
sendiri setelah 10-15 detik. Pasien juga memiliki keluhan tinitus. Menurut pasien
keluhan ini tidak muncul lagi. Penyakit Meniere juga dapat dicurigai, yaitu triase
dari vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran. Pasien tidak memiliki gangguan
pendengaran namun, diagnosis penyakit meniere belum dapat disingkirkan karena
belum dilakukan pemeriksaan terhadap pendengaran pasien secara lebih lanjut.
Selain itu, gangguan pendengaran pada penyakit meniere biasanya bersifat
progresif sehingga tidak terlalu terlihat pada fase-fase awal dan biasanya mengenai
gelombang suara dengan frekuensi lebih rendah. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosis penyakit meniere.
Mual muntah yang dirasakan pasien dapat disebabkan oleh gangguan
motion sickness karena pusing berputar yang dirasakan pasien. Akan tetapi, hal ini
dapat juga menimbulkan kecurigaan terhadap neuronitis vestibularis, yaitu keluhan
vertigo yang disertai dengan mual muntah yang biasanya didahului oleh suatu
infeksi virus pada sistem pernapasan atas. Infeksi pada neuritis vestibuler biasanya
merupakan infeksi saluran napas atas. Pada pasien tidak terdapat gejala batuk atau
pilek. Pasien juga memiliki gejala telinga berdengung, sedangkan neuronitis
vestibular tidak terdapat gangguan pendengaran. Pasien juga masih dapat berjalan
dengan baik, pada neuronitis vestibuler pasien cenderung tidak dapat berjalan
dengan baik.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa IVFD RL 20 tpm, inj.
Ondansentron 4mg/8jam, Betahistin mesilat 3x1 po, Dimenhidrinat 3x1 po,
diazepam 2x2,5mg po, vitamin B1B6B12 3x1 po.
Betahistine merupakan golongan antihistaminik yang dapat menginhibisi
neuron polisinaptik pada n.vestibularis lateralis sehingga digunakan sebagai obat
anti-vertigo, dosis yang biasa digunakan adalah 3 x 6-12 mg per hari.

29
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
mual dan muntah. Mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang
bernama serotonin. Serotonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada di
usus kecil dan otak, dan membuat kita merasa mual. Ondansetron akan
menghambat serotonin bereaksi pada receptor 5HT3 sehingga membuat kita tidak
mual dan berhenti muntah.
Dipenhidramin merupakan Antihistamin dan memiliki efek antikolinergik
dan merangsang inhibitory monoaminergik dengan akibat inhibisi n.vestibularis.
Antihistamine juga mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga dapat
mengurangi mual dan muntah karena motion sickness.
Pemberian diazepam karena golongan Benzoadiazepine dapat menurunkan
resting activity neuron pada n.vestibularis dengan menekan reticular fascilitatory
system.

DAFTAR PUSTAKA

1. Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59

30
2. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E,
Iskandar N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9
3. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009
[cited 2009 May 20th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview
4. Furman JM, Cass SP. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. NEJM
[online] 2009 [cited 2009 May 30th]. Available from :
http://content.nejm.org/cgi/reprint/341/21/1590.pdf
5. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam :
Arsyad E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101
6. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H,
Santoso R, Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta :
EGC. 1997. h 39-45
7. Sherwood L. Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan. Dalam: Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189
8. Balasubramanian. BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo). [online]
2009 [cited 2009 May 30th]. Available from :
http://www.drtbalu.com/BPPV.html
9. Anonym. The Membranous Labyrinth Of The Vestibular. [online] 2009
[cited 2009 May 30th]. Available from : http://cache-
media.britannica.com/eb-media/86/4086-004-EA855487.gif
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setowulan W. Pusing .
Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI. 2001.
Hal 51-53
11. Anonym. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). [cited 2009 May
20th]. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Benign_paroxysmal_positional_vertigo. 2009
12. Anonym. Labirinitis. [cited 2011 December 16th]. Available from :
http://dokterspesialis.info/2011/12/16/labirinitis.html. 2011

31
13. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Penyakit Meniere. Dalam : Arsyad
E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 102-3
14. Anonym. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (Benign Positional
Vertigo)/BPPV. [cited 2009 December 20th]. Available from:
http://medicastore.com/penyakit/3327/Benign_Paroxymal_Positional. 2009
15. Setiawati M, Susianti. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. MAJORITY
Volume 5 Nomor 4. FK Universitas Lampung. 2016
16. Aninditha T. Buku Ajar Neurologi. 2017
17. Victorya RM, Wibawa FS, Susianti, Juanita P. Vertigo Perifer pada Wanita
Usia 52 Tahun dengan Hipertensi Tidak Terkontrol. J Medula Unila
Volume 6 Nomor 1 Desember. FK Universitas Lampung-THT RSAM.
2016
18. Purnamasari PP. Diagnosis Dan Tata Laksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (Bppv). FK Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar. 2015

32

Anda mungkin juga menyukai