Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Preceptor
Dr. Fidha Rahmayani, Sp.S

Disusun oleh:
Adlia Ulfa Syafira, S.Ked
Amri Yusuf, S.Ked
M. Nikhola Risol, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAF


RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Pertama penulis ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Epilepsi” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Saraf RSUD Abdul Moeloek.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Fidha Rahmayani, Sp.S yang
telah meluangkan waktunya untuk penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat bukan hanya untuk penulis, tetapi juga bagi siapa pun yang
membacanya.

Bandar Lampung, Juli 2018

Penulis

2
STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. L
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Alamat : Kaliasin, Kec. Tanjung Bintang, Lampung Selatan
Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan :-
Tanggal Pemeriksaan : 01 Juli 2018

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Kejang


Keluhan Tambahan : Mual dan muntah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Keluhan ini timbul
mendadak saat pasien sedang istirahat, kejang berlangsung selama +/- 1 jam, kejang
seluruh tubuh kaku, dan mata pasien mendelik ke atas. Selama kejang pasien tidak
sadarkan diri, keluarga pasien langsung membawa pasien ke IGD RSAM untuk
mendapatkan penanganan. Selama perjalanan dari rumah sampai ke IGD pasien tetap
kejang dan tanpa ada episode berhenti.
Saat sadar pasien mengeluh mual dan muntah, muntah sebanyak 1 kali, demam
disangkal, nyeri kepala serta pusing berputar disangkal. Ibu pasien mengatakan kalau
anaknya sebelumnya hanya masuk angin saja.

Riwayat Penyakit Dahulu

3
Kejang disertai demam saat usia 2 tahun (+), Hipertensi (-), riwayat trauma
(-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama seperti pasien, hipertensi (+)
yaitu ibu pasien

Riwayat Pengobatan
Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat. Ibu pasien mengatakan tidak
mengonsumsi obat apapun saat kejang diusia 2 tahun

Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dengan usia kehamilan
cukup bulan, dengan proses persalinan normal, ditolong oleh bidan, selama
kehamilan tidak ada masalah.

2.1 PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : E4M6V5
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x / menit
Suhu : 36,5 oC
Pernafasan : 18x / menit

b. Status Generalis
 Kepala
Rambut : hitam, ikal, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor (+/+)
Telinga: simetris, serumen minimal, tanda peradangan (-/-)
Hidung : secret (-)
Mulut : sianosis (-), lidah atrofi (-), deviasi (-)

4
 Leher
Pembesaran KGB : tidak ada
Pembesaran kel. Tiroid : tidak ada
JVP : tidak meningkat

 Thoraks
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-)
Paru-paru : Inspeksi : Gerak dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+) Ronki (-/-) Wheezing (-/-)

 Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani

 Ekstrimitas
Superior : edema (-) sianosis (-) akral hangat,turgor kulit baik
Inferior : edema (-) sianosis (-) akral hangat, turgor kulit baik

c. Pemeriksaan Neurologis
Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Laseque : -/-
Kernig : -/-
Brudzinsky I : -/-
Brudzinsky II : -/-

5
Nervus Kranialis
N.I (n. olfaktorius)
 Daya penciuman : Normosmia

N.II (n. Optikus)


 Visus : 6/6 | 6/6
 Lapang pandang : Baik
 Funduskopi : Tidak dilakukan

N.III, IV, VI (n. oculomotorius, n. trochlearis, n. abdusen)


 Kelopak mata : Ptosis (-/-), endoftalmus (-/-), eksoftalmus (-/-)
 Pupil : Bulat (+/+), Isokor, ukuran Ø 3 mm/ Ø 3 mm, posisi
ditengah, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tak langsung (+/+)
 Gerakan bola mata :
Medial, lateral : Normal
Superior, inferior : Normal
Obliqus superior : Normal
Obliqus inferior : Normal

N.V (n. Trigeminus)


 Sensibilitas : ramus oftamikus, maksilaris, mandibularis normal.
 Motorik : m. masseter : normal
m. Temporalis : normal
m. pterygoideus : normal
 Reflex : kornea (+/+)
N.VII (n. Fasialis)
 Senyum : simetris
 Mengerutkan dahi : simetris
 Mengangkat alis : simetris
 Menutup mata kuat : simetris
 Mengembungkan pipi : simetris
 Pengecapan 2/3 anterior lidah : normal

N.VIII (n. Akustikus)


 Vestibularis : Romberg : Tidak dilakukan
Stepping test : Tidak dilakukan
Manuver Hallpike : Tidak dilakukan
Nistagmus : Tidak dilakukan
Past pointing : Tidak dilakukan
 Kohklearis : Tes Gesekan Jari :+
Tes Rinne : Tidak dilakukan
Tes Weber : Tidak dilakukan

6
Tes Swabach : Tidak dilakukan

N.IX, X (n. glossopharingeus dan n. vagus)


 Arkus faring : Simetris
 Uvula : Ditengah
 Pengecapaan 1/3 posterior : Tidak dilakukan
 Reflek muntah : Tidak dilakukan
 Bersuara : Normal, disartria (-), disfonia (-)
 Menelan : Normal

N. XI (n. accesorius)
 M. sternocleidomastoideus : Normal
 M. trapezius : Normal

N. XII (n. hipoglossus)


 Atropi :-
 Fasikulasi :-
 Deviasi :-

Motorik
Superior
Gerakan : aktif/aktif
Kekuatan otot : 5/5
Tonus : normal/normal
Klonus : (-)
Atropi : (-)
Inferior
Gerakan : aktif/aktif
Kekuatan otot : 5/5
Tonus : normal/normal
Klonus : (-/-)
Atropi : (-/-)

Refleks fisiologis
Biceps : (+/+)
Triceps : (+/+)
Patella : (+/+)
Achilles : (+/+)

Reflex patologis
Babinsky : (-/-)
Chaddock : (-/-)

7
Gordon : (-/-)
Gonda : (-/-)
Schaefner : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Hoffman trommer : (-/-)

Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
Rasa raba : normal
Rasa nyeri : normal
Rasa suhu : tidak dilakukan pemeriksaan
Proprioseptif / rasa dalam
Rasa sikap : normal
Rasa gerak : normal
Rasa getar : normal
Rasa nyeri dalam : normal

Susunan Saraf Otonom


Miksi : normal
Defekasi : normal

Fungsi Luhur
Berbahasa : Normal, afasia (-)
Orientasi waktu : Normal
Orientasi orang : Normal
Orientasi tempat : Normal

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi (30/06/2018)
- Hemoglobin: 12,5 g/dL
- Leukosit: 20.700
- Eritrosit: 4,5x106
- Trombosit: 317.000
- MCV : 79 FL
- MCH : 28 pg
- MCHC : 35 g/dL
- Hematokrit: 35 %
- LED: 40 mm/jam

Kimia Darah (30/06/2018)

8
- GDS : 91 mg/dL
- Ureum : 15mg/dL
- Creatinin : 0,54 mg/dL
- SGOT : 17
- SGPT : 16
- Natrium : 143 mmol/L
- Kalium : 3,5 mmol/L
- Kalsium : 8,6 mg/dL
- Chlorida : 99 mmol/L

CT-Scan kepala: Tidak dilakukan

2.2 RESUME
Nn. L 18 tahun datang dengan keluhan kejang sejak 1 jam SMRS. Keluhan timbul
mendadak saat pasien sedang istirahat, kejang berlangsung selama +- 1 jam, kejang
seluruh tubuh kaku, dan mata pasien mendelik ke atas. Selama kejang pasien tidak
sadarkan diri, pasien juga mengeluh mual dan muntah, demam disangkal, nyeri
kepala serta pusing berputar disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 72 x/menit reguler, RR 18 x/menit, suhu 36,5oC. Pada status generalis
dalam batas normal. Hasil pemeriksaan Nervus Kranialis dalam batas normal. Refleks
patologis Babinski (-/-), Chadock (-/-), Schaefer (-/-) dan Gonda (-/-) H. Trommer
(-/-). Rangsang meningeal Kaku kuduk (-), Burdzinsky sign I (-), Burdzinsky sign II
(-), Kernigs sign (-), Laseque sign (-).

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Konvulsi tipe umum tonik-klonik
Diagnosis topis : Cerebri
Diagnosis etiologis : Epilepsi Idiopatik

2.5 TATALAKSANA
Non Medikamentosa
a. Tirah baring
b. Pantau tanda-tanda vital

Medikamentosa
1. IVFD Ringer Laktat xx gtt/menit

9
2. Ranitidin 1amp/ 12jam
3. Phenitoin tab 100 mg 3x1
4. Ceftriaxone 1 amp/12jam

Pemeriksaan Anjuran
- Darah lengkap
- CT scan
- EEG

2.6 PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB II
ANALISIS KASUS

A. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis didapatkan kejang 1 kali seluruh tubuh dengan mata
mendelik ke atas selama +/-1 jam setelah kejang didapatkan penurunan kesadaran.

10
Berdasarkan teori Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan
kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Tipe kejang yang dirasakan pasien berupa kejang seluruh tubuh, tonik-klonik dengan
kepala mendongak ke atas dan mengalami penurunan kesadaran setelah selesai
kejang. Berdasarkan bangkitan pada pasien dikategorikan bangkitan epilepsi umum
tonik-klonik.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik tanda vital didapatkan kesan normal. Dari pemeriksaan
motorik didapatkan kekuatan otot normal pada ekstremitas superior dan inferior.
Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya defisit neurologis. Pada
pemeriksaan reflek fisiologis dan patologis tidak ditemukan adanya kelainan.

C. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan kesan leukositosis. Pemeriksaan CT-


scan dan EEG belum dilakukan. EEG merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang pada penegakkan diagnosis epilepsi. Diharapkan terdapat kesan
gelombang abnormal (+) berupa gelombang epileptogenik dan gelombang
perlambatan (+) pada penderita epilepsi

D. Penatalaksanaan

11
Nonfarmakologis
- Tirah baring
- Evaluasi tanda-tanda vital

Farmakologis
1. RL 20 tetes/menit untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien dan stabilisasi
hemodinamik.
2. Phenitoin  sebagai anti kejang monoterapi pada pasien epilepsi tipe bangkitan
tonik-klonik.
3. Ceftriaxon sebagai antibiotik pada pasien karena didapatkan kesan leukositosis
pada pemeriksaan darah.
4. Ranitidin untuk mengatasi keluhan pada gastrointestinal

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya
diagnosis ini mengharuskan dicarinya penyebab, walaupun dua pertiga
kasus idiopatik, jadi penyebabnya tak dapat ditentukan. Sebagian besar
memiliki kecenderungan untuk terus-menerus mengalami episode
perubahan gerakan, fenomena sensoris, dan perilaku ganjil, biasanya
disertai dengan perubahan kesadaran. Adanya episode tunggal tanpa
pemicu tidak cukup untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Pasien dengan
kecenderungan epilepsi cenderung mengalami serangan stereotipik
(Rubenstein, dkk, 2007).

12
Definisi konseptual:
 Epilepsi:
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal
1 kali bangkitan epileptic.
 Bangkitan epileptik:
Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang
abnormal dan berlebihan di otak.
Definisi operasional/definisi praktis
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
4. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
5. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
6. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan
somatomotor (PERDOSSI, 2011)

2. Klasifikasi
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi
a) Bangkitan parsial/fokal
 Bangkitan parsial sederhana
o Dengan gejala motorik
o Dengan gejala somatosensorik
o Dengan gejala otonom
o Dengan gejala psikis
 Bangkitan parsial kompleks
o Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
o Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
o Parsial sederhana yang menjadi umum
o Parsial kompleks menjadi umum
o Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

13
b) Bangkitan umum
 Lena (absence)
o Tipikal lena
o Atipikal lena
 Mioklonik
 Klonik
 Tonik
 Tonik-klonik
 Atonik/astatik
c) Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi


1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal spikesI)
 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)
b. Simtomatis
 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi
fungsi kortikal tinggi, membaca)
 Epilepsi lobus temporal
 Epilepsi lobus frontal
 Epilepsi lobus parietal
 Epilepsi oksipital
c. Kriptogenik

2. Epilepsi umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
 Kejang neonates familial benigna
 Kejang neonates benigna
 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
 Epilepsi lena pada anak
 Epilepsi lena pada remaja
 Epilepsi mioklonik pada remaja
 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

14
b. Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
 Sindrom Lennox-Gastaut
 Epilepsi mioklonik astatik
 Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatis
 Etiologi nonspesifik
o Ensefalopati mioklonik dini
o Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression
o Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
 Sindrom spesifik
 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
 Bangkitan neonatal
 Epilepsi mioklonik berat pada bayi
 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
 Kejang demam
 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)
(PERDOSSI, 2011)

3. Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.


Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

15
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
metabolic, kelainan neurodegeneratif. (PERDOSSI, 2011)

4. Diagnosis
A. Anamnesis
Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu
1. Langkah pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus, diagnosis
epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh dari
anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun alloanamnesis.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
 Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring /
tidur / berkemih.
 Gejala awitan (aura gerakan / sensasi awal / speech arrest).
 Apa yang tampak selama bangkitan : gerakan tonik atau klonik,
vokalisasi otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat,
deviasi mata.
 Keadaan setelah kejang, bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah.
 Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal.
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan atau terdapat perubahan
pola bangkitan
b. Ada tidaknya penyakit lain yang disertai serangan, maupun riwayat
penyakit neurologis dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin jadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara
bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi.
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologi lain, penyakit psokiatrik
atau iskemik.
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi
atau anak.
h. Riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam.
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain.

16
2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE.
3. Langkah ketiga, menentukan etiologi epilepsi

B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik umum
Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan
pada kulit, kanker dan devisit neurologik fokal atau difus.

2. Pemeriksaan neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari
interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkittan terakhir.
 Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca iktal terutama tanda vokal seperti todds paresis,
transient aphasic syimptoms, yang tidak jarang jadi petunjuk lokalisasi.
 Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem
syaraf permanent dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakanial.

C. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan
pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan
EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu menentukan jenis
bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu
menentukan prognosis dan menentukan perlu atau tidaknya pengobatan
dengan AED.
b. Pemeriksaan CT scan dan MRI
Meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat terdiagnisi
secara non infasif, misalnya nesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,

17
malformasi kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini menambah pilihan
terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, akusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan ini
dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian diulang bila
timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali.
2. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontorl baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi, atau bila
timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat
melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat fisiologi pada tubuh
pasien (PERDOSSI, 2011),

D. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip terapi
farmakologi pada pasien epilepsi antara lain :
1. OAE diberikan apabila :
a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b. Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari
c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun
d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
obat.
2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol
bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

18
5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam terapi


epilepsi:
1. Pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan faktor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan, ini berarti pasien mengalami
lebih dari 2 kali kejang yang sama.
3. Obat yang digunakan disesuaikan dengan jenis kejang
4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermudah pemantauan dan menghindari interaksi obat.
5. Dosis obat disesuaikan secara individual.
6. Evaluasi hasilnya
7. Pengobatan dihentikan setelah kejang hilang selama minimal 2-3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya (Mansjoer,
dkk, 2000).

19
TIPE OAE LINI OAE LINI KE OAE LINI
BANGKITAN PERTAMA DUA/ KETIGA/
TAMBAHAN TAMBAHAN

LENA Valproat Etosuksimid Levetiracetam


Lamotrigin Zonisamid
Valproat

MIOKLONIK Valproat Topamax Lamotrtgin


Levetiracetam Klobazam
Zonizamid Klonazepam
Fenobarbital

TONIK KLONIK Karbamazepin Lamotrigin Topamax


Fenitoin Oxcarbazepin Levetiractam
Fenobarbital Zonisamid
Pirimidon

ATONIK Valproat Lamotrigin Felbamat


Topamax
PARSIAL Karbamazepin Valproat Tiagabin
Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
Fenobarbital Zonizamid Felbamat
Oxkarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin Lamotrigin
Topamax
Gabapentin
TIDAK Valproat Topamax
TERKLASIFIKASI Levetiractam
Zonizamid

Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain :


1. Secara klinis : bebas bangkitan selama 2 tahun
2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan)
3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan
kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol
bangkitan (PERDOSSI, 2011).

20
DAFTAR PUSTAKA

George D. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit saraf. EGC.
Jakarta
Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf
Indonesia bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
2005. Hal 59-83.
International League Against Epilepsy (ILAE) and International Bureau for Epilepsy
(IBE). 2005. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. 2011. Pedoman dan tatalaksana
epilepsi.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai