Anda di halaman 1dari 45

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.

Laporan kasus yang berjudul Epilepsi ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU Provinsi NTB.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.

1. dr. Wayan Subagiartha, SpS, selaku pembimbing


2. dr. Ester Sampe, SpS, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP NTB
3. dr. Ilsa Hunaifi, SpS, selaku supervisor
4. dr. Herpan Syafii Harahap, M.Biomed, SpS selaku Koordinator Pendidikan bagian
Neurology
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
kepada penulis
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan laporan kasus ini.

Semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai
dokter. Terima kasih.

Mataram, April 2017

Penulis

BAB I

1
PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua
umur yang dapat meningkatkan mortalitas. Kata epilepsi berasal dari kata yunani
epilambanein yang berarti serangan dan menunjukkan bahwa sesuatu dari luar
badan seseorang menimpanya sehingga ia jatuh. Epilepsi tidak dianggap sabagai suatu
penyakit namun sebabnya diduga sesuatu di luar badan si penderita, biasanya dianggap
sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib yang menimpa seseorang.1
Salah satu definisi epilesi yang dapat dipakai dalam klinik ialah bahwa epilepsi
merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, namun dengan
gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala yang disebabkan oleh lepas-muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dan paroksismal.1
Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi didunia. Populasi epilepsi
aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4 hingga 10/1000 penduduk/tahun, di negara berkembang
diperkirakan 6 hingga 10/1000 penduduk.2

Pada umumnya masyarakan hanya mengenal kejang sebagai perwujudan


epilepsi, tetapi, epilepsi tidak hanya berupa kejang. Gejala tertentu yang sebenarnya
merupakan manifestasi epilepsi sering dianggap sebagai saradan (gerakan tertentu pada
bagian tubuh, leher, atau wajah yang dianggap bukan sebagai suatu kelainan) yang
lumrah terjadi pada orang tertentu, dengan demikian tidak memperoleh perhatian
istimewa dari penderita maupun anggota keluarga terdekat. Sehingga diperlukan
pengetahuan tentang jenis-jenis serangan epilepsi dan cara penanganannya.1

1. 2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini antara lain:


2
1. Apakah definisi operasional epilepsi?
2. Bagaimana epidemiologi epilepsi?
3. Apakah etiologi epilepsi?
4. Bagaimana klasifikasi epilepsi?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya epilepsi?
6. Bagaimana penegakan diagnosis epilepsi?
7. Apa saja diagnosis banding epilepsi?
8. Bagaimana managemen penatalaksanaan epilepsi?
9. Apakah yang dimaksud status epileptikus?

1. 3 Tujuan penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini penting bagi dokter muda sebagai calon dokter umum
agar mampu mengenali, memahami, dan mendiagnosa suatu penyakit dengan tepat dimulai dari
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala. Sehingga dapat menentukan,
tatalaksana awal, prognosis, informasi, dan edukasi yang tepat kepada pasien.

1. 4 Manfaat penulisan

Penulisan tinjauan pustaka ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi dalam
mempelajari kasus epilepsi yang berlandaskan teori guna memahami bagaimana cara
mengenali, mengobati, dan mencegah epilepsi, termasuk tindakan awal dan pengobatan lebih
lanjut, sehingga dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang
menderita epilepsi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/ gejala berikut :
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi struktural dan epileptiform dischargers).
Sudah ditegakkan diagnosis dan sindrom epilepsi
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.3
2.2 Epidemiologi
Kelompok studi perhimpinan Dokter Spesialis Saraf Indonesia ( Pokdi
Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada
tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan
1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 16,5 tahun, sedangkan
rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien
berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum,
sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.4
2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut :5
1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalitis difus.
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi strukturan pada
otak, misalnya : cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.

2.4 Klasifikasi

4
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, untuk tipe
bangkitan epilepsi :6
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1. Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somatosensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2. Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
2.1. Lena (absence)
2.1.1. Tipikal lena
2.1.2. Atipikal lena
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik/astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1989, untuk


epilepsi dan sindrom epilepsi :7
1. Fokal/partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsi)
1.2. Simtomatis
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak
(Kojenokows Syndrome).
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal

5
1.2.6. Epilepsi oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonates familial benigna
2.1.2. Kejang neunates benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivitas yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau simpomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lennox-Gastaut
2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatis
2.3.1. Etiologi nonspesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2.3.2. Sindrom spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tida termasuk klasifikasi di atas
4. Sindrom khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali
isolated
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadiaan metabolik akut,
atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsa, hiperglikemi nonketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi refrektorik).

2.5 Patofisiologi

6
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di
dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.8
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca,
Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.1
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate, aspartat, dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi
dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.1
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan

7
dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.1
Menurut Selzer dan Dichter (1992) yang dikutip oleh Raharjo (2007) bahwa
terdapat lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi
konduksi Ca2+ secara perlahan
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak
neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan
tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam),
bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian
dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.9

8
2.6 Diagnosis

Diagnosis epilepsi diegakkan terutama dari anamnesis, yang didukukng dengan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah dalam menegakkan
diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut :5

1. Langkah pertama : pastikan adanya bangkitan epileptik


2. Langkah kedua : tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

3. Langkah ketiga : tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis adalah


sebagai berikut :

1. Anamnesis : auto dan allo anamnesis dari orang tua atau saksi mata
menegnai hal-hal terkait dibawah ini :10

a. Gejala dan tanda sebelum, salama, dan pascabangkitan :

o Sebelum bangkitan/ gejala prodormal

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya


bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-
lain.

o Selama bangkitan/ iktal :

o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal


bangkitan?

o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,


gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, aumatisasi, gerakan
pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat,
dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta
menirukan gerakan bangkitan merekam video saat bangkitan).

9
o Apakah terdapat lebih dari satu bangkitan?

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?

o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat


tidur, saat terjaga, bermain video game, berkembang, dan lain-
lain.

Pasca bangkitan/ post-iktal

Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todds


paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,


alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang


antara bangkitan, kesadarn antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

i. Jenis obat antiepilepsi

ii. Dosis OAE

iii. Jadwal minum OAE

iv. Kepatuhan minum OAE

v. Kadar OAE dalam plasma

vi. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik


maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tmbuh kembang

h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam


10
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dan lain-
lain.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis10

Pemeriksaan fisik umum. Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkait dengan
epilepsi, misalnya :

- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi

- Kelainan congenital

- Kecanduan alkohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan Neurologis11

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yng dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat
menjadi petunjuk lokalisasi, seperti :

- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal

- Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG)

11
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan untuk :

o Membantu menunjang diagnosis

o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom


epilepsi

o Membantu menentukan prognosis

o Membantu penentuan perlu/tidaknya pemebrian OAE.


Pemeriksaan pencitraan Otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi


tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non invasif
berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma, ganglioma, malformasi, kavernosus, DNET
(dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous sclerosiss.

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography


(PET), Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam
meberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan
metabolik dan perubahanaliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan.

Indikasi pemeriksaan neuroimeging (CT scan kepala atau MRI


kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked
pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimeging
pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi struktural
penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditunjukkan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat Dilain
pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari

12
segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau
sensitivitas maka MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.12


Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,


trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,
kreatinin dan albumin.


Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE


Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE


Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.13

o Pemeriksaan kadar OAE


Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitor kepatuhan pasien.13


Pemeriksaan penunjang lainnya, dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:12
o Punksi lumbal
o EKG

2.7 Diagnosis Banding


Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti
pingsan (Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini sering
membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Tabel 3.1
menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptik dengan berbagai kondisi yang
menyerupainya.13

13
2.8 Terapi14
2.8.1. Tujuan terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Terapi pada
epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

2.8.2. Prinsip Terapi Farmakologi

OAE diberikan bila

o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan


pengobatan.

o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek


samping yang timbul dari OAE.

o Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari (misalnya:


alkohol, kurang tidur, stress, dan lain-lain).

14
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 2).

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 3).

Kadar obat dalam plasma ditentukan bila :


Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif

Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,


penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)

Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan

Setelah penggantian dosis/regimen OAE

Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila
respon yang didapat buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respon dengan OAE kedua,
tetapi respon tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama sudah
maksimal.

OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama

Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila


kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:

Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.

Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis
herpes.

15
Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak.

Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua).

Riwayat bangkitan simtomatis .

Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME


(Juvenile Myoclonic Epilepsi).

Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran stroke,


infeksi SSP.

Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 4.4), demikian pula halnya dengan
profil farmakologis tiap OAE (Table 4.5) dan interaksi farmnakokinetik antar-
OAE (Tabel 4.6)

Strategi untuk mencegah efek samping :

Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang.

Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada
sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

2.8.3. Jenis Obat Antiepilepsi Dan Mekanisme Kerjanya

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek
samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.

Tabel 4.1 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan.

16
Level of confidence: A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai
monoterapi; C: mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagai
monoterapi.

Tabel 4.2 OAE Bedasarkan Sindroma Epilepsi

17
Tabel 4.3 Dosis OAT untuk orang dewasa

Tabel 4.4 Efek Samping OAE

18
Tabel 4.5 Profil Farmakologi OAE

19
Data farmakologik OAE yang biasa digunakan di klinik (Harsono, 2011):
Nama Obat Jenis Dosis Kadar Waktu Efek samping
Serangan (mg/kg/ dalam paruh (jam)
hari) serum
(ug/ml)
Fenobarbital P & KU 2-4 15 40 96 Mengantuk, hiperaktivitas,
bingung, perubahan perasaan hati
Fenitoin P & KU 3-8 10 30 24 Ataksia, ruam kulit, perubahan
kosmetika, hiperplasia gingiva,
osteomalasia
Karbamazepin P & KU 15-25 8 12 12 Ataksia, gangguan gastrointestinal,
pandangan kabur, gangguan fungsi
hepar, perubahan darah
Valproat semua 15-60 50- 100 14 Gangguan GI, hepatitis, diskrasia
darah, ataksia, alopesia, mengantuk
Klonazepam A&M 0,03-0,3 0,01-0,05 30 Mengantuk, gangguan GI,
diskrasia darah, ruam kulit,
pengeluaran air liur
Primidon P & KU 10-20 5 15 12 Mengantuk, hiperaktivitas,
perubahan perasaan hati
Ketarangan: P = parsial KU= kejang umum A= absence M= mioklonik

20
Terapi NonFarmakologis
Diet ketogenik

Intervensi Psikologi : Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback .

2.8.4. Penghentian Obat


Pada dewasa penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah
3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien.
Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah
OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal

Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.

Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan

Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut :

21
Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi

Epilepsi simtomatis

Gambaran EEG yang abnormal

Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE

Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-
95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.

Penggunaan lebih dari satu OAE.

Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih kecil
pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima
tahun).

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali. Rujukan ke spesialis epilepsi
perlu ditimbangkan bila :
Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama

Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi

Berencana untuk hamil

Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

22
PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA14
1. Definisi
Preeklampsia dan eklampsia merupakan bagian dari hipertensi dalam kehamilan.
Terminologi hipertensi dalam kehamilan mempunyai jangkauan lebih luas. The
National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) mengklasifikasikan
hipertensi dalam kehamilan sebagai berikut:
a. Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang timbul sebelum usia kehamilan 20
minggu atau hipertensi yang pertama kali terdiagnosis setelah usia kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap hingga setelah 12 minggu postpartum (setelah
melahirkan).
b. Preeklampsia yaitu sindrom spesifik kehamilan yang timbul setelah usia
kehamilan 20 minggu, dikarakterisir dengan hipertensi disertai proteinuria.
Sindrom ini dapat terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu pada penyakit
trofoblas seperti mola hidatidosa (hamil anggur) atau hydrops (akumulasi cairan
dalam kompartemen janin).
c. Eklampsia yaitu preeklampsia disertai dengan kejang tanpa disebabkan kondisi
neurologis lain yang jelas.
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia yaitu hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
e. Hipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) yaitu hipertensi
yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan tekanan darah
kembali normal setelah 12 minggu postpartum
2. Diagnosis
Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklampsia adalah terjadinya hipertensi
dan proteinuria, edema sudah tidak lagi digunakan sebagai kriteria diagnostik karena
edema juga banyak terjadi pada wanita dengan kehamilan normal. Faktor risiko
timbulnya hipertensi dalam kehamilan jika didapatkan edema generalisata atau
kenaikan berat badan lebih dari 0,57 kg/minggu perlu dipertimbangkan . Kriteria
diagnostik preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat pada Tabel I.

23
a. Hipertensi
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan ditegakkan jika tekanan darah sistolik lebih
dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau sama
dengan 90 mmHg. Pengukuran tekanan darah dilakukan dua kali selang 4 jam
setelah penderita beristirahat. Peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau
diastolik 15 mmHg sebagai kriteria diagnostik meskipun nilai absolut masih di
bawah 140/90 mmHg pernah digunakan, namun kriteria ini tidak dianjurkan lagi.
Bukti-bukti memperlihatkan bahwa wanita dalam kelompok ini kecil
kemungkinannya mengalami gangguan pada janin mereka, meskipun demikian
wanita yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau diastolik
15 mmHg perlu diawasi secara ketat.
b. Proteinuria
Proteinuria merupakan adanya protein 300 mg dari jumlah urin 24 jam (diukur
dengan metode Esbach) atau kadar protein dalam urin 30 mg/dl (1+ pada dipstik)
dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kemih.
Kesetaraan pengukuran proteinuria dengan dipstik yaitu 1+ dengan kadar 0,3 0,45

24
g/l, 2+ dengan kadar 0,45 1 g/l, 3+ dengan kadar 1 3 g/l, dan 4+ dengan kadar >
3 g/l.
c. Kejang
Kejang pada eklampsia selalu didahului dengan preeklampsia. Kejang-kejang
dimulai dengan kejang tonik yang berlangsung 15 30 detik. Kejang tonik ini
segera disusul dengan kejang klonik. Diafragma terfiksir (tidak dapat digerakkan)
pada waktu kejang sehingga pernafasan tertahan. Kejang klonik berlangsung kurang
lebih 1 menit, setelah itu. berangsur-angsur kejang melemah dan akhirnya penderita
diam tidak bergerak. Kejang yang terjadi pada eklampsia harus dipertimbangkan
adanya kemungkinan kejang akibat penyakit lain. Diagnosis banding eklampsia
menjadi sangat penting, misalnya perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, meningitis,
dan epilepsi iatrogenik (disebabkan tindakan medis). Kejang pada eklampsia
ditandai dengan kejang tonik dan klonik, selain itu disertai dengan peningkatan
tekanan darah yang cepat, peningkatan suhu badan, inkontinensia (ketidakmampuan
mengontrol pengeluaran urin), dan kadang-kadang penderita mengalami muntah.
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang merupakan manifestasi klinis dari preeklampsia dan
eklampsia:
a. Sistem syaraf pusat: nyeri kepala, gangguan penglihatan, kesadaran menurun, dan
dapat terjadi koma disertai kejang (eklampsia) jika pusat motorik terganggu.
b. Sistem kardiovaskular: hipertensi dengan derajat bervariasi, resistensi vaskular
yang tinggi, dan gagal jantung.
c. Sistem respirasi: peningkatan risiko edema paru.
d. Sistem hematologi: hiperkoagulasi trombosit dan aktivasi sistem fibrinolisis.
e. Ginjal: penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan proteinuria, peningkatan
kreatinin, dan oliguria.
f. Hepar: peningkatan enzim hepar, nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan
pecahnya kapsula Glisson dengan perdarahan hepar.
g. Sistem endokrin: ketidakseimbangan prostasiklin relatif terhadap tromboksan.
h. Uteroplasenta: penurunan aliran darah rahim, pertumbuhan janin terhambat, dan
oligohidramnion.

25
4. Tatalaksana Terapi
Tujuan utama tatalaksana preeklampsia berat adalah mencegah kejang, perdarahan
intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.
Tatalaksana preeklampsia berat dibagi menjadi perawatan aktif dan perawatan
konservatif ditinjau dari usia kehamilan dan perkembangan gejala-gejala selama
perawatan. Perawatan aktif berarti kehamilan harus segera diterminasi atau diakhiri
bersamaan dengan terapi medisinal, sedangkan perawatan konservatif adalah tetap
mempertahankan kehamilan bersamaan dengan terapi medisina.
a. Tatalaksana terapi medisinal:
1) Hospitalisasi Pasien segera dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap dan
dianjurkan berbaring miring ke satu sisi (kiri). Monitoring tekanan darah dan tanda-
tanda vital lainnya dilakukan setiap 30 menit dan refleks patella setiap jam.
2) Manajemen diet Pasien dianjurkan untuk diet cukup protein, rendah karbohidrat,
lemak, dan garam.
3) Manajemen cairan Pasien diberikan infus dekstrosa 5% yang setiap 1 liternya
diselingi dengan infus Ringer Laktat 500 ml.
4) Pemberian antikonvulsan
Pasien preeklampsia berat diberikan magnesium sulfat untuk mencegah kejang.
Magnesium sulfat bekerja sebagai antagonis reseptor glutamat seperti reseptor
NMDA sehingga mencegah kejang pada preeklampsia. Magnesium sulfat diberikan
pada pasien preeklampsia berat terutama jika terdapat tanda atau gejala impending
eclampsia (tanda atau gejala yang mengarah pada terjadinya eklampsia) seperti
berikut:
a) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg
b) Proteinuria > 2+
c) Gangguan visus
d) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen
e) Muntah-muntah
f) Sindrom HELLP
g) Jumlah trombosit < 100.000 sel/l
h) Kenaikan AST > 2 kali batas atas nilai normal
i) Nyeri kepala yang persisten

26
j) Kadar kreatinin serum > 1,2 mg/dl.
Magnesium sulfat aman digunakan pada wanita hamil. Magnesium sulfat dapat
diberikan secara intravena atau intramuskular dengan efektifitas yang sama.
Dosis magnesium sulfat untuk terapi preeklampsia dan eklampsia dapat dilihat pada
Tabel II. Magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral diekskresikan hampir
seluruhnya melalui ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan
memastikan bahwa terdapat refleks patella, tidak terdapat depresi pernafasan, dan
pengeluaran urin memadai. Syarat-syarat pemberian magnesium sulfat antara lain:
a) Refleks patella normal.
b) Respirasi > 16 kali/menit.
c) Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 ml.
d) Tersedia antidotum kalsium glukonat 10% dalam 10 ml (POGI, 2006).

Diazepam atau fenitoin dapat diberikan sebagai alternatif apabila terjadi refrakter
(kegagalan terapi) atau kontraindikasi terhadap magnesium sulfat. Magnesium sulfat
dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 24 jam pascapersalinan, atau 24
jam setelah kejang terakhir.

BAB III

27
LAPORAN KASUS

3. 1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A
Umur : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku Bangsa : Sasak
Alamat : Selong

Diagnosis Masuk : observasi konvulsi e.c eklampsia DD epilepsi


Diagnosis Akhir : serial epilepsi

3. 2 ANAMNESIS
Pasien dirujuk ke UGD RSUP NTB pada tanggal 15 April 2017 dengan :
Keluhan Utama :
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
- Pasien awalnya dibawa ke puskesmas karena tiba-tiba pingsan di rumah saat sedang
duduk. Setiba di puskesmas, keluarga mengatakan jika pasien tiba-tiba mengalami
kejang sebanyak 2 kali dengan durasi >1 menit (02.00).
- Total kejang sebanyak 4 kali dimana untuk jarak antar kejang <24 jam.
- Menurut suami, saat kejang pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri, seluruh badan
kaku disertai dengan kaki dan tangan yang tampak sedikit menghentak. Mata pasien
tampak melihat keatas, menggigit lidah, namun tidak disertai dengan adanya keluar
busa dari mulut ataupun buang air kecil.
- Pasien mengatakan jika sebelum pingsan kakinya terasa lemas, sakit kepala yang
sudah berlangsung selama 1 bulan (setelah melahirkan), dan nyeri di sekitar tulang
punggung. Mual dan muntah disangkal oleh pasien dan keluarga.
- Pasien ataupun keluarga tidak mengeluhkan adanya perbuahan perilaku pasien
sebelum jengan seperti bicara ngelantur atau penglihatan berkunang-kunang
- Setelah kejang psien langsung sadar tanpa disertai adanya keluhan.
- Ini merupakan keluhan yang pertama kali dialami pasien.
- 1 bulan sebelumnya pasien baru saja melahirkan anak keduanya dengan cara
operasi Caesar.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat anemia saat hamil
- Riwayat kejang sebelumnya tidak ada
- Riwayat kejang saat hamil atau melahirkan sebelumnya tidak ada
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat diabetes melitus tidak ada
- Riwayat asma tidak ada
- Riwayat dyslipidemia tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


28
Kakak pasien pernah mengalami kejang saat kecil.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:


Pasien tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Saat ini pasien sudah melahirkan dan
ini merupakan kelahiran anak ke 2. Pasien tidak memilik riwayat merokok dan tidak pernah
mengkonsumsi alkohol.

Riwayat Pengobatan :
Terapi yang duberikan di RS praya :
- IVFD bolus MgSO4 40%, Maintanance 6 gr MgSO4 40%
- Bolus Diazepam 1 ampul, maintanence 40 m diazepam dalam 500 cc RL

PEMERIKSAAN FISIK (setelah pasien stabil/tidak kejang)

Keadaan umum : Cukup


Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/mnt, reguler
Frekuensi pernafasan : 20 x/mnt, reguler, kuat angkat
Suhu : 37C
Kepala : Normochepali
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-

Leher : tidak ada kelainan, pembesaran (-)


Thorax
Inspeksi : bentuk normal, scar (-), jejas (-), ictus
cordis (-) simetris kiri dan kanan.
Palpasi : gerakan dinding dada simetris,
ketertinggalan gerak (-), ictus cordis (-)

Pulmo
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Cor
Perkusi : redup di ICS IV parasternal line dextra sampai dengan
ICS V midklavikula sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, m(-), g(-)

Abdomen
Inspeksi : distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 12 kali per menit
Perkusi : timpani pada 4 kuadran
Palpasi : nyeri tekan (-), lien dan hepar tidak teraba
Ekstremitas : tidak terdapat edema maupun lesi

29
Pemeriksaan Neurologis
1. GCS : E4V5M6
2. Fungsi Luhur

- Reaksi emosi : stabil


- Intelegensia : baik
- Fungsi bicara : lancar
- Fungsi psikomotor : baik
- Fungsi Psikosensorik : baik

3. Tanda rangsang Meningen:

- Kaku kuduk : (-)


- Kernig : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)
4. Pemeriksaan Nervus Cranialis :

Nervus kranialis Kanan Kiri

N I (Olfaktorius)

-subjektif Baik Baik

-objektif (dg bahan) Baik Baik

N II (Optikus)

-tajam penglihatan >2/60 >2/60

-lapangan pandang normal Normal

-melihat warna normal Normal

-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III (Okulomotorius)

-bola mata orthotropia Orthotropia

-ptosis Tidak ada Tidak ada

-strabismus Tidak ada Tidak ada

-nistagmus Tidak ada Tidak ada

-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada

30
- Bentuk pupil Isokor, Isokor,
- Refleks cahaya langsung/ tidak +/+ +/+
langsung

N IV (Trochlearis)

-gerakan mata ke bawah Normal Normal

-diplopia Tidak ada Tidak ada

N V (Trigeminus)

-Motorik
membuka mulut Normal Normal
menggerakkan rahang Normal Normal
menggigit Normal Normal
mengunyah Normal Normal

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas Normal Normal
Divisi Maksila
*reflex Masseter - -
*sensibilitas Normal Normal
Divisi Mandibula
*sensibilitas Normal Normal

N VI (Abdusen)

-gerakan mata ke lateral + +

-diplopia Tidak ada Tidak ada

N VII (Fasialis)

-raut wajah Normal Normal

-sekresi air mata Normal Normal

-fisura palpebra Normal Normal

-menggerakkan dahi Normal Normal

-menutup mata Normal Normal

-mencibir/bersiul Normal Normal

-memperlihatkan gigi Normal Normal

-sensasi lidah 2/3 depan Normal Normal

-plika nasolabialis Normal Normal

-sudut mulut menurun - -

N VIII (Vestibularis)

31
-suara berbisik Normal Normal

-rinne test Tde Tde

-weber test Tde Tde

-swabach test Tde Tde


*memanjang
*memendek

N IX (Glossofaringeus)

-sensasi lidah 1/3 blkg Tde Tde

-refleks muntah (Gag Rx) + +

N X (Vagus)

-Arkus faring Normal

-uvula Ditengah

-menelan Normal

-artikulasi Jelas

-suara Jelas

-nadi Normal

Refleks muntah +

N XI (Asesorius)

-menoleh ke kanan Normal

-menoleh ke kiri Normal

-mengangkat bahu kanan Normal

-mengangkat bahu kiri Normal

N XII (Hipoglosus)

-kedudukan lidah dalam Ditengah

-kedudukan lidah dijulurkan Ditengah

-tremor -

-fasikulasi -

-atropi -

5. Pemeriksaan Fungsi Motorik

Motorik Superior Inferior

32
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Pergerakan Aktif Aktif Aktif Aktif

Kekuatan 5

Tonus otot Normal

Bentuk otot Normal Normal Normal Normal

6. Sensorik

- Eksteroseptif Nyeri : Normal


Suhu : Tde
Raba halus : Normal
- Propioseptif Rasa sikap : Tde
Nyeri dalam : Tde
- Fungsi kortikal Diskriminasi : Normal
Stereognosis : Tde

7. Sistem Refleks

a. Releks fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2
b. Releks Patologis
Hoffman : (-)/(-)
Trommer : (-)/(-)
Babinsky : (-)/(-)
Chadock : (-)/(-)
Gordon : (-)/(-)
Schaefer : (-)/(-)
Oppenheim : (-)/(-)
Gonda : (-)/(-)
8. Cerebellum

- Gangguan Koordinasi
Tes jari hidung : normal
Tes pronasi-supinasi : normal
Tes tumit : Tde
Tes pegang jari : Tde
- Gangguan keseimbangan
Tes Romberg : Tde

9. Kolumna Vertebralis

- Inspeksi : Bentuk normal, jejas (-), scar (-)


33
- Pergerakan : Normal
- Palpasi : Krepitasi (-)
- Perkusi : Tde
10. Fungsi otonom

miksi : Normal
defekasi : Normal
sekresi keringat : Normal

Diagnosis
Diagnosa klinis : Serial general tonik klonik seizure
Diagnosa topis : Korteks serebri, hemisfer kanan dan kiri
Diagnosa etiologi : Ensefalopaty hipoksia iskemik e.c anemia kronis
DD : eklampsia

Prognosis:
Quo ad vitam : dubia et bonam
Quo ad sanam : dubia et bonam
Quo ad functionam : dubia et bonam

Planning
1. Diagnosis
o CT scan kepala
o EEG
o Urine lengkap
o Darah Lengkap
o Elektrolit
o GDS

2. Terapi
a. Non Medikamentosa
Tirah baring
b. Medikamentosa
Phenitoin 3x100 mg
Asam folat 1x1 tablet
3. Monitoring
o GCS
o Kejang berulang
o Tanda-tanda vital (Tekanan darah, Respirasi, Nadi, Suhu)

4. Edukasi
- Menjelaskan kondisi medis pasien dan penyakit yang diderita oleh pasien
- Menjelaskan tentang rencana dan tujuan pemberian terapi kepada pasien
- Menjelaskan mengenai kemungkinan prognosis pasien sesuai teori
Pemeriksaan Penunjang

34
Hasil Laboratorium
15/04/ 15/04/
Parameter Nilai Normal Parameter Nilai Normal
2017 2017

HGB 11,0 13,0 18,0 [g/dL] GDS 82 80-120 [mgl/dl]

RBC 4,33 4,5 5,5 [10^6/uL] Kreatinin 0,7 0,9-1,3 [mgl/dl]

HCT 34,7 40,0-50,0 [%] Ureum 15 10-50 [mgl/dl]

WBC 8,16 4,0 11,0 [10^3/ L] SGOT 13 <35 [mgl/dl]

EO% 12,3 0-1 [%] SGPT 13 <41 [mgl/dl]

NUT% 45,4 50-70 [%] Na 137 135-146 [mmo/l]

LMPH% 35,8 25-33 [%] Ka 3,7 3,4-5,4 [mmo/l]

MONO% 6,4 3-8 [%] Cl 107 95-108 [mmo/l]

PLT 363 150-400 [10^3/ L] PPT 12,5 11,5-15,5 {detik}

APTT 26,9 28-38 {detik}

Protein Urin -

Hasil Pemeriksaan CT Scan Kepala 15/04/2017

35
Hasil :

Terdapat massa di cavum nasi sinistra

Tak tampak kelainan intracerebri

Hasil Pemeriksaan EEG 17/04/2017

36
37
38
Hasil : sharp wave cerebrotemporal bilateral

FOLLOW UP PASIEN

Hari/Tanggal S O A P

Senin Kejang GCS: E4V5M6 Epilepsy Pasien BPL


Obat pulang :
(-)
Phenitoin 100 mg oral 3x1
17-04-2017 TD: 120/80 mmHg
Asam folat 2x1

Jam 07.00 N: 84x/m reguler kuat


angkat

RR: 20x/menit

T: 360C

BAB IV

39
4.1. PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang perempuan berusia 22 tahun,


didapatkan kejang secara tiba-tiba dengan durasi > 1 menit, saat kejang penderita tidak
sadarkan diri, kejang tonik klonik, mata melirik ke atas, menggigit lidah, setelah kejang
penderita langsung sadarkan diri. Penderita kejang sebanyak 4 kali, jarak antar kejang
kurang dari 24 jam, disela waktu tidak kejang pasien sadarkan diri. Sebelum kejang
penderita mengalami pingsan, kaki terasa lemas, dan sakit kepala. Pasien baru
melahirkan 1 bulan yang lalu.

Pemeriksaan fisik dilakukan setelah penderita stabil, didapatkan penderita sadar


penuh (GCS 4-5-6). Tanda vital masih dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan umum dan pemeriksaan neurologis.

Berdasarkan keterangan pasien yang baru melahirkan 1 bulan yang lalu,


dicurigai kejang yang dialami oleh pasien disebabkan karena eklampsia. Eklampsia
selalu didahului dengan adanya preeklampsia. Berdasarkan anamnesis yang dilakukan
pada pasien, tidak ditemukan adanya riwayat peningkatan darah atau kejang selama
masa kehamilan baik pada kehamilan pertama maupun yang kedua. Pada pemeriksaan
fisik dan penunjang, tidak ditemukan adanya hasil yang mengarah pada eklampsia
seperti peningkatan tekanan darah dan proteinuri. Berdasarkan hal tersebut,
kemungkinan kejang yang disebabkan oleh eklampsia dapat disingkirkan.

Berdasarkan bangkitan kejang yang dialami penderita sebanyak 4 kali tanpa


adanya provokasi dan jarak antar kejang yang kurang dari 24 jam, maka pada pasien ini
belum dapat didiagnosis dengan epilepsy. Dimana untuk definisi operasional epilepsi
sendiri yaitu suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala minimal terdapat
2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu antar
bangkitan kurang dari 24 jam. Namun, untuk saat ini kita belum dapat menyingkirkan
diagnosis epilepsy sehingga perlu dilakukan observasi lebih lanjut dan untuk sementara
pasien didiagnosa dengan serial epilepsy. Dimana serial epilepsy itu sendiri merupakan
suatu kondisi adanya kejang berulang lebih dari satu kali dan diantara kejang tersebut
pasien masih dalam kondisi sadar.

40
Bangkitan kejang pada panderita adalah bangkitan umum tipe tonik klonik.
Dimana gerakan tersebut didahului dengan tonik (tubuh pasien seperti membujur) dan
selanjutnya diikuti dengan klonik (penderita menarik tubuh secarara tiba-tiba). Gerakan
ini dapat dilihat seperti gambar di bawah ini :

Adanya bangkitan kejang yang bersifat general/umum menunjukan bahwa


terdapat keterlibatan dari kedua hemisfer di otak yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan.

Untuk menunjang diagnosis dan mengetahui penyebab kejangnya, dilakukan


beberapa pemeriksaan penunjang. Yang pertama adalah pemeriksaan darah lengkap
dimana didapatkan jumlah leukosit dalam batas normal namun didapatkan sedikit
peningkatan pada komponen leukosit yaitu eosinofil (12,3) dan limfosit (35,8).
Peningkatan eosinofil mengindikasikan adanya infeksi kronis, sedangkan peningkatan
41
limfosit dapat disebabkan oleh berbagai hal salah satunya adalah anemia kronis.
Pemeriksaan kimia darah dan elektrolit dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
kejang akibat gangguan metabolik seperti hipo atau hipernatremi, hipoglikemi atau
hiperglikemi.

Pemeriksaan urine lengkap dilakukan untuk mengetahui apakah pasien


mengalami kejang karena epilepsy serta mencari ada tidaknya focus infeksi pada traktus
urinarius. Hasil yang didapatkan masih dalam batas normal sehingga kemungkinan
kejang akibat eklampsia dapat disingkirkan dan infeksi pada saluran traktus urinasrius
tidak ditemukan.

Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pada otak


yang dapat menyebabkan kejang sperti misalnya perdarhan atau tumor. Pada
pemeriksaan CT scan tidak didapatkan adanya kelainan intraserebri. Namun, pada
kavum nasi didapatkan adanya massa padat. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk
mengetahui massa tersebut, dan mencari ada tidaknya keganasan yang memungkinkan
terjadinya metastasi ke otak yang dapat menyebabkan kejang.

Pemeriksaan EEG dilakukan untuk mengetahui adanya gelombang abnormal


pada otak untuk mengetahui apakah pasien benar-benar mengalami kejang atau gejala
histeria. Pada pemeriksaan yang dilakukan pada pasien diapatkan adanya gelombang
otak yang abnormal.

Penyebab pada kasus ini belum sepenuhnya diketahui karena diperlukan


pemeriksaan penunjang lainnya untuk memastikan etiologi dasarnya. Berdasarkan
anamnesis, pasien memiliki riwayat anemia selama hamil. Anemia sendiri dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pengangkutan oksigen termasuk ke otak.
Berkurangnya oksigen yang dibawa ke otak menyebabkan otak mengalami hipoksia
sehingga terjadi gangguan stabilisasi pada membran sel saraf yang menyebabkan
terjadinya peningkatan Na intraseluler sehingga terjadi depolarisasi yang akhirnya dapat
menyebabkan kejang.

BAB V

PENUTUP

42
5. 1 KESIMPULAN

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/ gejala
minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antara bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. Sedangkan kejang
berulang yang berlangsung kurang dari 24 jam dinamakan serial epilepsi Adapun
etiologi yang dapat menyebabkan bangkitan adalah (1) Idiopatik yaitu tidak terdapat
lesi struktural di otak atau defisit neurologis dan genetik. (2)Kriptogenik seperti
sindrom West, sindrom Lennox Gastaut, dan epilepsi mioklonik. (3) Simtomatis yaitu
bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi strukturan pada otak, misalnya : cedera
kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif. Pada kasus ini
bangkitan kejang dicurigai akibat adanya riwayat anemia kronis pada pasien yang
menyebabkan terjadinya gangguan pada membrane sel saraf di otak.

5.2. REFLEKSI KASUS

Alasan saya memilih kasus ini adalah karena kasus ini cukup menarik bila dilihat dari
perjalanan klinisnya.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

43
1. Harsono, 2011. Terapi Epilepsi. Dalam: Buku Ajar Neurologi Klinis. 2008.
Yogyakarta: UGM University Press (p. 135-57)
2. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at: http://
www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/
3. Fisher S.G; Acevedo C; Arzimanoglou A et.al. A Practical Clinical Definition of
Epilepsi. Epilepsia. 2014: 1-8
4. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Epidemiologi pasien epilepsi di 18 rumah
sakit di Indonesia. 2003 (data primer)
5. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management.
*Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.
6. Commission on Classification and Terminology of the International Leage
Against Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501.
7. Commission on Classification and Terminology of International Leage Against
Epilepsi. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and Epileptic
Syndrome. Epilepsia July-August 1989; 30(4):389-99.
8. Prasad A, et al. 1999. Recent Advances in the Guidlines of Epilepsy Insight from
human and animal studies. Epilepsia.; 40 (10) :1329-1352.
9. Raharjo, T. B. 2007. Risk Factors of Epilepsy on Children Below 6 Years Age.
Semarang: Universitas Diponegoro.
10. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience 2004;
400-408.
11. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J,
Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Voln one. Lippincott
Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.
12. Leppik, IE. Laboratory Tests. In Epilepsi A Comprehensive Textbook/ editors
Jerome Engel JR. Tomothy A Pedley, 2nd ed, Vol I. Lippicott Williams &
Wilkins, 2008, pp: 791-796.
13. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of
Epilepsi in Adults A national Clinical Guideline. SIGN.2003.
14. Wiknjosastro, H.Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat cetakan Ketiga. Jakarta
:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2008

44
45

Anda mungkin juga menyukai