Anda di halaman 1dari 21

TUGAS REFERAT

THT-KL

EPISTAKSIS

PEMBIMBING:
dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL

OLEH:
Komang Septian Trisna Jaya
H1A012028

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang maha Esa, hanya karena karunia –
Nya saya dapat menyelesaikan Referat Epistaksis ini. Latar belakang dibuatnya referat ini
adalah untuk memenuhi tugas dari bagian THT dan juga untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai perdarahan pada telinga yang merupakan kasus kegawatdaruratan yang cukup
sering ditemui. Besar harapan saya agar kiranya referat ini dapat membantu kita memahami
lebih dalam mengenai Epistaksis. Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang membantu saya dalam menyelesaikan referat ini dan mohon maaf jika masih terdapat
banyak kekurangan pada referat ini.

Mataram, 04 Maret 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATAR PENGANTAR .............................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 4
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG .................................. 5
BAB III EPISTAKSIS .............................................................................. 12
BAB IV PENUTUP .................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………..…21

3
BAB I

PENDAHULUAN

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga
bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang
juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari
arteri sphenopalatina.(1)
Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung yang dapat timbul spontan
tanpa dapat ditelusuri sebabnya, dan kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma.. Pada
umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior.
Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis
anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoid posterior. Epistaksis bukanlah suatu penyakit melainkan suatu tanda atau gejala.
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering.(1,2)
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.
Kelainan lokal misalnya trauma,kelainan anatomi,kelainan pembuluh darah,infeksi lokal,
benda asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan
hormonal dan kelainan kongenital.(2)
Walau pada umumnya epistaksis dapat berhenti sendiri, namun perdarahan hidung
merupakan masalah yang sangat lazim. Perdarahan yang terjadi mungkin banyak, bisa juga
sedikit sehin gga penderita merasa ketakutan dan merasa perlu memanggil dokter. Maka dari
itu tiap dokter harus siap menangani kasus seperti ini.

4
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

2. 1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan kavum nasi yang dibagi menjadi
cavum nasi dextra dan sinistra oleh septum nasi.

2.1.1. Hidung Luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah:2,4
1. Pangkal hidung ( bridge )
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )
Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 2,4
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis.
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :1,2
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi.

5
Gambar 2.1. Anatomi Tulang Hidung1
2.1.2. Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian
anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1,2

- Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.1,2
- Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari : lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatine. Bagian tulang rawan terdiri dari: kartilago septum (lamina
kuadrangularis), dan kolumela. 1,2
-
Kavum nasi1,2
a. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
b. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap

6
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n.
olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
c. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina
perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
d. Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka
media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
e. Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.
f. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

7
Gambar 2.2. Anatomi Hidung Dalam1
2.1.3. Pendarahan Hidung2

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris


interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.


Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina,
a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut dengan
pleksus Kiessselbach (Little’s area). pleksus Kiessselbach letaknya superficial dan
mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis, terutama pada
anak-anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vesibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.

8
Gambar 2.3. Vaskularisasi hidung1

2.1.4. Persarafan Hidung2


a. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
b. Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
c. Saraf otonom
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu:
- Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan
ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut
post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n.
petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n.
petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam
kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion
sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang palatine mayor ke
pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan

9
mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat
sedikit mempengaruhi kelenjar.
- Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis
mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis
didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju
mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan
kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi
jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls
sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan
berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
d. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

2. 2 Fisiologi Hidung
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, indra penghidu (olfactory), untuk resonansi suara,
refleks nasal dan turut membantu proses bicara.2,3,6
2.2.1. Fungsi respirasi2,3,6
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.Udara yang di
hirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan udara inspirasi oleh palut
lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang
melalui hidung di atur sehingga berkisar 37°C. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir.

10
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan refleks bersin.
2.2.2. Fungsi penghidu2,3,6
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dnegan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu ondra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan,
seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
2.2.3. Fungsi fonetik 2,3,6
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole
turun untuk aliran udara.
2.2.4. Reflex Nasal 2,3,6

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
reflex bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.

11
BAB III
EPISTAKSIS

3. 1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 %
dapat berhenti sendiri.5
3. 2 Epidemiologi
Epistaksis sering dijumpai pada anak dan angka kejadian epistaksis menurun
setelah pubertas. Epistaksis atau perdarahan dari hidung, dijumpai pada 60% dari
populasi umum, insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50
tahun.7 Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2- 10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.5
3. 3 Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan karena kelainan lokal
pada hidung maupun kelainan sistemik.2, 8
3. 3. 1 Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya seperti mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau
sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam
atau trauma pembedahan. Epistaksis juga sering terjadi karena adanya
spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu
sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang
mengalami pembengkakan.
b. Kelainan pembuluh darah lokal

12
Sering congenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-
selnya lebih sedikit.
c. Infeksi Lokal
Epistaksis bisa terjadi karena infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis atau lepra.
d. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease). Pasien ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau
bahkan di traktus gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.
e. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan
epistaksis berat.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya perubahan udara atau tekanan atmosfir. Epistaksis ringan sering
terjadi pada seseorang yang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin
atau kering. Atau disebabkan adanya zat kimia di tempat industry yang
menyebabkan mukosa hidung kering.

3. 3. 2 Sistemik
a. Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP,
diskrasia darah, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan
fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan
epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik.
c. Infeksi sistemik, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza,
morbili, demam tifoid.
d. Gangguan endokrin
13
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis,
kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari
hidung menyertai fase menstruasi.
3. 4 Patofisiologi
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan
lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi
jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai
perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan
gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area
yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh
iskemia lokal atau trauma.
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
- Epistaksis anterior. Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai
terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada
lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis
dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero
superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan
konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada
tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara
inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik
lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.
- Epistaksis posterior, dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien
dengan penyakit kardiovaskuler. 81% epistaksis posterior berasal dari dinding
nasal lateral.

3. 5 Diagnosis
Pada sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Bila tidak dijumpai kehilangan darah yang
berat, tidak ada kecurigaan faktor sistemik dan lokasi perdarahan anterior telah dapat
ditentukan, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Perlu diingat bahwa
14
seringkali penyebab perdarahan ringan berulang merupakan idiopatik. Namun, pada
pasien yang sumber perdarahan atau kelainan lokal tidak jelas dapat dinyatakan
idiopatik hanya jika pendekatan untuk mencari kelainan primer telah dilakukan dan
tidak didapati kelainan.7
Pada anamnesis harus ditanyakan tentang awal terjadinya perdarahan, riwayat
perdarahan sebelumnya, penyakit penyerta, pemakaian obat-obatan seperti aspirin
atau warfarin, serta riwayat kelainan darah atau leukemia dalam keluarga.
Kebanyakan perdarahan dari hidung diakibatkan oleh trauma ringan pada septum
nasal anterior, oleh karena itu anamnesis harus mencakup kemungkinan tersebut.
Riwayat perdarahan hidung berulang yang sering, disertai mudah memar, atau
perdarahan lainnya memberikan kecurigaan terhadap penyebab sistemik dan
dianjurkan penjajakan hematologis.7
Pada pemeriksaan fisis, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan
memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung harus
diperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab perdarahan. Lampu
kepala atau cermin kepala, dan spekulum nasal sebaiknya digunakan untuk visualisasi
yang optimal. Jika pasien mengalami trauma nasal, perhatikan adanya septal
hematoma, yang tampak berupa masa hitam kebiruan pada septum anterior memenuhi
kavum nasal. Terkadang dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasi. Jika
tidak dijumpai sumber perdarahan namun dijumpai darah yang mengalir di
tenggorokan, kemungkinan asal perdarahan dari daerah posterior.7
Perhatikan apakah terdapat hemangioma atau teleangiektasia pada kulit, yang
dapat juga dijumpai dalam kavum nasal. Jaundice, petekie, purpura, limfadenopati,
dan hepatosplenomegali dapat mengarahkan pada gangguan perdarahan. Pucat,
takikardi, irama gallop, atau perubahan ortostatik tanda vital dapat menunjukkan
kehilangan darah yang signifikan. Tekanan darah yang tinggi, meskipun jarang, dapat
menyebabkan epistaksis.7
Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari
bagian posterior atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau
tumor.5
Pada sebagian besar kasus, perdarahan hidung pertama kali ataupun yang tidak
sering berulang, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium jika disertai dengan
adanya riwayat trauma. Jika dicurigai kehilangan darah yang bermakna, leukemia
15
ataupun keganasan, perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Jika dicurigai adanya
koagulopati, dilakukan pemeriksaan darah lengkap, prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), dan waktu perdarahan. Pemeriksaan radiografi
dapat memperlihatkan sinusitis akut, fraktur, atau keganasan pada sinus.7

3. 6 Tatalaksana

Terapi epistaksis ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum, mencari dan


menghentikan sumber perdarahan serta mencegah berulangnya perdarahan. Survei primer
harus diperhatikan terlebih dahulu, seperti keadaan umum, nadi, pernapasan serta tekanan
darah. Bila ada kelainan, atasi misalnya dengan pemasangan infus, membersihkan jalan
napas yang tersumbat oleh darah atau bekuan darah. Untuk menghentikan perdarahan,
harus dicari sumbernya, setidaknya menentukan perdarahan anterior atau posterior.2,5,7,8

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, namun bila keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Biarkan darah
keluar dari hidung agar dapat dimonitor. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak.2,8

Pasang tampon sementara dengan kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1:5000
– 1: 10.000 dan pantocain atau lidocain 2 – 4 % dimasukkan dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri, dibiarkan selama 10-15 menit.
Setelah terjadi vasokontriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian
anterior atau posterior.2,5,8

3. 6. 1 Perdarahan anterior

Posisikan pasien agak duduk tegak condong ke depan, posisi kepala terangkat,
namun tidak hiperekstensi. Lakukan penekanan langsung pada kedua cuping
hidung dengan menggunakan jari ke arah septum selama 10-15 menit. Biasanya
perdarahan akan segera berhenti, terutama pada anak-anak.2,8

16
Gambar 3.1 Metode Trotter

Apabila sumber perdarahan terlihat, dipertimbangkan untuk prosedur


kauterisasi dengan Nitras Argenti (AgNO3 ) 25-30% atau dengan asam
triklorasetat 10%. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena
dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter atau laser.2,5

Jika dengan kauterisasi tidak berhenti, pasang tampon anterior sebanyak 2-4
buah dengan pelumas vaselin atau salep antibiotic selama 2x24 jam sembari
melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab epistaksis. Setelah 2
hari, tampon dikeluarkan untuk mencegah infeksi pada hidung. Jika perdarahan
belum selesai pasang tampon baru.

3. 6. 2 Perdarahan posterior

Pada epistaksis posterior, dilakukan pemasangan tampon Bellocq (tampon


posterior). Tampon ini juga diindikasikan apabila tampon anterior tidak dapat
menghentikan perdarahan. Tampon Bellocq berbentuk kubus/bulat dengan
diameter 3 cm dan terbuat dari kasa. Pada tampon terikat 3 utas benang, dua utas
di satu sisi dan satu buah di sisi berlawanan. Kontraindikasi tampon posterior
adalah trauma fasial.2,8 Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian
dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali
diperkenalkan oleh Bellocq.5

Cara pemasangan tampon Bellocq adalah2,8

- Pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang


dimasukkan ke lubang hidung hingga tampak orofaring, lalu tarik

17
keluar mulut. Pada ujung kateter diikatkan 2 benang tampon bellocq
tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung hingga dua utas
benang tersebut tampak dan dapat ditarik.
- Dorong tampon dengan bantuan jari telunjuk agar dapat melewati
palatum mole ke nasofaring.
- Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke kavum
nasi.
- Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior, agar tampon yang berada
di nasofaring tetap di tempatnya.
- Benang lain yang keluar dari mulut diikat secara longgar pada pipi
pasien, setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui benang ini.
- Jika perdarahan berat, dapat digunakan dua kateter masing-masing di
kavum nasi kanan dan kiri. Epistaksis posterior dapat mengakibatkan
perdarahan massif, sehingga syok hipovolemik bila tidak ditangani
segera.

Alteratif pengganti tampon Bellocq adalah menggunakan kateter folley


dengan balon. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar
hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan
10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga
balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada
palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan
pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi
dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan
pemasangan tampon posterior.5

Semakin meningkatnya pemakaian endoskopi, akhir-akhir ini juga


dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan
panduan endoskopi.

18
3. 7 Komplikasi dan Pencegahan
Komplikasi dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah
mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik.2
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah
yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan
infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau
transfusi darah.2
Agar epistaksis tidak terulang kembali, pada edukasi pasien diminta untuk
tidak menggoyang-goyangkan atau mengosok-gosok hidung dan tetap menjaga letak
kepala agar lebih tinggi dari jantung.8

19
BAB IV

PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Epistaksis terbanyak dijumpai pada anak usia 2- 10 tahun dan
orang tua usia diatas 50 tahun. Penyebab epistaksis dapat spontan tanpa diketahui
penyebabnya, kadang jelas disebabkan karena trauma atau karena kelainan lokal pada
hidung maupun kelainan sistemik. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan
yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari
Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis
posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Pada
sebagian besar kasus, penyebab epistaksis sudah dapat ditentukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Prinsip penatalaksanaan epistaksis ditujukan untuk
memperbaiki keadaan umum, mencari dan menghentikan sumber perdarahan serta
mencegah berulangnya perdarahan. Pemasangan tampon dan kauterisasi dilakukan
sesuai dengan lokasi perdarahan hidung bagian anterior maupun posterior.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam, Philadelphia :
WB Saunders, 1990. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
2. Iskandar N, Supardi EA. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi
Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 131-35.
3. Ballenger. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Binarupa Aksara.
1997.
4. Seely S, Tate. Anatomy and Physiology, Sixth Edition, The McGraw−Hill companies.
2004.
5. Munir D, Haryono Y, Rambe A. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 39. No
3. FK USU. 2006.
6. El GH, Peng P. Anatomi dan Fisiologi; dalam buku: Ilmu THT Esensial Edisi kelima.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.5-11
7. Lubis B, Saragih R. Tatalaksana Epistaksis Berulang pada Anak. Sari Pediatri. Vol.9. No
2. 2007.
8. Tanto C, Liwang F, Hanifati S. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: Media
Aesculapius, 2014. 371-73.

21

Anda mungkin juga menyukai