Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Iktiosis merupakan penyakit yang terjadi oleh karena adanya gangguan pada keratinisasi
kulit. Penyakit ini bukanlah penyakit yang sering terjadi sehingga masyarakat awam mungkin
masih merasa asing bila mendengar atau bahkan melihat penyakit ini. Penyakit ini perlu
dibedakan dengan penyakit harlequin. Pada penyakit harlequin, bayi akan segera mati dalam
beberapa jam setelah kelahiran, namun pada iktiosis, bayi masih dapat bertahan hidup.
Iktiosis dapat menyebabkan cukup banyak komplikasi sehingga perlu dilakukan
penanganan yang intensif untuk menurunkan angka mortalitasnya. Orangtua yang melihat
anaknya menderita iktiosis tentunya akan terheran-heran dan mungkin akan panic melihat
kondisi anaknya. Peran dokter di sini adalah untuk menjelaskan dan mengedukasi orangtua
mengenai apa itu iktiosis dan bagaimana pengobatanya, serta akibat yang akan terjadi bila si
anak tidak diberikan perawatan yang baik.
Iktiosis dapat diobati dan dan dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan antenatal care
yang baik dan benar. Oleh karena itu, dokter juga harus dapat meyakinkan calon orangtua
mengenai pentingnya perawatan antenatal. Sebagai dokter, kita harus dapat melakukan
penanganan awal yang baik untuk mencegah komplikasi yang lebih berat. Iktiosis dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Pada tulisan kali ini, jenis iktiosis yang akan lebih
dibahas adalah iktiosis lamellar.

EPIDEMIOLOGI
Kasus ini jarang ditemukan dengan insidens 1 anak tiap 300.000 kelahiran hidup. Tidak
terdapat perbedaan insidens antara laki-laki dan perempuan, tidak ada kecenderungan terhadap
etnis tertentu dan insidens meningkat bila terdapat hubungan konsanguinitas (Johnson, 2005).
ETIOLOGI
Etiologi penyakit ini disebabkan adanya mutasi gen TGM 1 yang mengkode enzim
transglutaminase (Tgase 1). Beberapa peneliti menyatakan, mutasi pada IL terjadi pada lokus gen
2q33-35, 14q11.2, 19p12-q12 dan dipengaruhi adanya konsanguinitas. Pada NCIE, mutasi terjadi

pada lokus gen 3p21, 17p13.1, sedangkan pada tipe intermediat (non lamelar non eritroderma)
mutasi terjadi pada lokus gen 19p13.1-p13 (Lefevre, 2004).
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal stratum korneum merupakan produk akhir dari diferensiasi
epidermis, komposisi ini terdiri dari korneosit yang kaya protein dan dilingkupi matriks
interselular yang kaya lipid. Integritas antara membran sel dan matriks interselular diumpamakan
seperti batu bata dan adukan semen (bricks & mortar) pada suatu bangunan. Lapisan ini
berfungsi sebagai penghalang keluarnya cairan tubuh. Adanya mutasi gen Transglutaminase 1 (TGM
1) yang mengkode enzim TGase 1 menyebabkan gangguan integritas lapisan ini sehingga
fungsinya terganggu dan terjadi peningkatan keluarnya cairan tubuh yang berakibat dehidrasi.
Iktiosis lamelar merupakan kelainan kulit dengan kerusakan kornifikasi yang berat, umumnya
bayi lahir kurang bulan . Pada pasien ini sejak lahir kulit dilapisi membran transparan yang
tegang, mengkilat dan mengelupas pada usia 1014 hari. Pengelupasan tersebut meninggalkan
fisura dangkal maupun dalam dan erosi kulit sehingga dapat terjadi invasi kuman serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Orkwis, 2012).

MANIFESTASI KLINIS
Iktiosis lamellar merupakan penyakit bawaan yang akan segera terlihat saat lahir. Pada
penyakit ini terdapat keterlibatan seluruh permukaan kulit (James et al, 2011). Pada sebagian
besar kasus, penyakit ini disertai dengan membrane kolodion, atau disebut juga collodion baby.
Membrane kolodion ini segera muncul saat baru lahir dan kemudian mengelupas dalam 2-3
minggu pertama kehidupannya. Membrane kolodion ini memberikan tampakan kulit yang tebal
dan mengkilat seperti diolesi dengan vaselin atau seperti kertas film (Bangal et al, 2014).
Setelah mengelupas, kulit akan tampak bersisik dengan warna coklat keabuan (James et
al, 2011). Kulit yang tampak bersisik ini akan tampak paling luas pada ektremitas bagian bawah.
Gejala lain yang menyertai iktiosis lamellar adalah gangguan pada membrane mukosa dan bibir
yang seringkali memberikan tampakan bibir seperti ikan. Kebotakan juga sering terjadi. Terjadi
juga gangguan pada kelenjar keringat oleh karena hyperkeratosis yang terjadi. Selain itu,

ektropion juga ditemukan pada penderita dengan iktiosis lamellar. Akibatnya, penderita akan
kesulitan dalam menutup matanya (Wolff et al, 2008).
Berikut adalah contoh gambaran iktiosis lamellar

(Ramar et al, 2014)

Berikut adalah gambaran bayi dengan membrane kolodion

(james et al, 2011)

Bayi dengan penyakit ini juga sangat rentan mengalami gangguan keseimbangan
elektrolit dan gangguan dalam pengaturan suhu tubuh (Bangal et al, 2014). Riketsia juga dapat
terjadi pada penderita iktiosis lamellar. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa faktor meliputi
sedikitnya sinar matahari yang dapat menembus kulit oleh karena adanya hyperkeratosis,
kurangnya paparan sinar matahari sebagai upaya untuk mencegah intoleransi panas, kurangnya
sintesis vitamin D pada kulit oleh karena adanya gangguan keratinisasi kulit, dan mungkin masih
banyak faktor lainnya lagi (Rajput et al, 2014).

Hal lain yang dapat terjadi pada penderita dengan iktiosis lamellar adalah penurunan
produksi saliva. Penurunan produksi saliva ini dapat menyebabkan sedikit kesulitan dalam
pergerakan lidah dan juga dapat berkontribusi dalam terjadinya keterlambatan bicara. Penurunan
produksi saliva ini terjadi oleh karena adanya mutasi pada TGM1 (transglutaminase 1) yang
berperan penting dalam produksi saliva.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Di dalam menegakkan diagnosis iktiosis lamellar, maka harus dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Di dalam anamnesis, selain keluhan utama pasien
yang didapat dari heteroanamnesis, harus digali lebih lanjut mengenai riwayat perinatal orangtua.
Beberapa hal yang harus digali adalah riwayat ibu dalam menggunakan obat saat mengandung si
anak, riwayat kelahiran anak, riwayat prematuritas anak, dan masih banyak lagi. Riwayat
perawatan antenatal yang telah dilakukan ibu juga perlu digali. Beberapa keluhan tidak spesifik,
seperti misalnya keterlambatan bicara juga dapat dilakukan. Riwayat penyakit yang sama pada
keluarga juga sangat penting untuk digali, bahkan sebaiknya dibuat pedigree untuk memudahkan
mengetahui riwayat penyakit dalam keluarga oleh karena penyakit ini merupakan penyakit
terkait autosomal resesif (Sari dan trisniartami, 2012). Berikut contoh pedigree dari salah seorang
pasien yang terkena iktiosis lamellar:

(Sari dan trisniartami, 2012)


4

Pemeriksaan fisik dilakukan seperti pemeriksaan fisik pada umumnya. Inspeksi harus
dilakukan dengan seksama. Pemeriksaan kulit penting untuk dilakukan. Alopesia juga harus
dilihat. Pemeriksaan fisik umum lainnya sebaiknya tetap dilakukan. Selain pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang juga tidak kalah pentingnya. Pada pemeriksaan histopatologik akan
ditemukan tampakan hiperkeratotik ortokeratosis dengan akantosis. Terlihat jelas penebalan pada
stratum korneum. Berikut adalah contoh gambaran histopatologik iktiosis lamelar
(Wolff et al, 2008)

KLASIFIKASI
Berikut merupakan klasifikiasi dari iktiosis (Akiyama M, 2011):
-

Iktiosis vulgaris: ditandai dengan skala kulit yang ringan dan mengalami kekeringan.
Epidermiolitik iktiosis: ditandai oleh karakteristik sisik tebal dan gelap dan sering

berduri, kulit juga dapat melepuh dan mudah mengalami trauma.


Iktiosis eritroderma kongenital: ditandai dengankulit merah dan sisik yang halus.
Iktiosis iktiosis: tejadi penebalan atau kulit bersisik yang terlokalisasi pada daerah

tertentu seperti telapak tangan dan kaki.


Iktiosis lamellar: biasanya kulit gelap, skala besar seperti pelat yang menutupi kulit pada
sebagian tubuh.

TATALAKSANA
Penatalaksanaan iktiosis lamellar dapat berupa farmakologi maupun non-farmakologi.
A. Farmakologi
Gangguan ini tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu pengobatan diarahkan untuk
meminimalisir gejala yang timbul.

Emolien harus diterapkan pada saat mandi atau setelah mandi, stratum korneum dapat
menyerap air dan emolien yang bersifat heavy seperti petrolatum jelly (Vaseline) atau salep
dengan air dalam minyak seperti eucerin harus diterapkan pada saat kulit masih dalam keadaan
basah (Orkwis HK, 2014).
Asam alpha-hydroxy seperti asam laktat dapat digunakan untuk mengurangi adhesi
korneosit dan dapat mengurangi ketebalan epidermis, sedangkan krim urea dapat melembutkan
sisik. Asam salisilat dalam kombinasi dengan propilen glikol membantu dalam menghilangkan
warna yang gelap. Perawatan harus dilakukan ketika menggunakan salisilat topikal di daerah
yang luas, terutama anak-anak karena terdapat laporan keracunan salisilat sistemik. Asam
retinoat topikal dapat menurunkan penebalan. Antiseptik dan antimikroba dapat dilakukan untuk
mengontrol bau (Orkwis HK, 2014).
Terapi baru yang telah menyebabkan perbaikan klinis adalah Locobase krim lipid yang
merupakan 5% asam laktat dan 20% propilen glikol dalam basis krim lipofilik; topikal Nacetylcysteine yang memiliki efek antiproliferatif; tazarotene topikal 0,05%, retinoid reseptor
selektif, dan kalsipotriol, turunan sintesis dari vitamin D-3 (Bassoti A, et al, 2011; Davila SP, et
al, 2014).
1. Asam Alpha Hidroxyl
Agen ini mengurangi ketebalan epidermis dan mengurangi adhesi dari koreosit.
- Ammonium laktat: mengurangi gatal dan membantu penyembuhan kulit seperti kulit
gatal, luka ringan, dan iritasi kulit ringan. Formulasinya adalah 12% amonium laktat
dalam basis yang mengandung propilen glikol.
2. Retinoid topikal
Agen ini digunakan untuk mengurangi kekompakan sel epitel folikel dan merangsang
aktifitas mitosis.
- Tretinoin topikal: menghambat pembentukan mikrokomedo dan menghilangkan lesi.
- Tazarotene: gel topikal 0,05%. Ini adalah prodrug retinoid yang metabolit aktif
memodulasi diferensiasi dan proliferasi jaringan epitel; mungkin juga memiliki sifat
anti-inflamasi dan imunomodulator. Pastikan kulit kering sebelum menerapkan gel.
3. Retinoid sistemik
Agen ini menghambat fungsi kelenjar sebaseus dan keratinisasi.
- Isotretinoin: merupakan agen oral yang mengobati berbagai kondisi dermatologis
yang serius. Ini adalah isomer 13-cis sintetis alami tretinoin (asam -retinoic trans).
Kedua agen secara struktural berhubungan dengan vitamin A. Isotretinoin
6

menurunkan ukuran kelenjar sebaceous dan produksi sebum. Ini dapat menghambat
diferensiasi kelenjar sebaceous dan keratinisasi abnormal.
B. Non-Farmakologi
Beberapa hal yang dapat dilakukan ialah (Sigurdsson H, et al, 2014).
- Bedah
Tindakan operasi terkadang diperlukan untuk ektropion yang parah, hal ini biasa
-

dilakukan dengan cangkok kulit.


Konsultasi
Konsultasi dengan bagian kulit untuk evaluasi dan pengobatan kulit. Konsultasi
dengan dokter bagian mata untuk evaluasi dan pengelolaan ektropion sejak lahir.
Konsultasi dengan konselor genetika mengenai resiko hal ini terjadi pada anak-anak

selanjutnya.
Aktifitas
Pada iktiosis lamellar dapat terjadi intoleransi panas, namun dengan konseling yang
tepat, aktifitas dari penderita tidak perlu dibatasi.

KOMPLIKASI dan PROGNOSIS


Pasien memiliki rentang umur hidup yang normal, pada bentuk yang parah jarang
membaik seiring usia dan masalah psikologis yang disebabkan oleh efek kosmetik dan depresi.
Oleh karena itu, terapi seumur hidup sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup (Sari
S dan Trisniartami S, 2012).
Pengobatan jangka panjang yang dilakukan dilaporkan memberi efek samping pada
penderita. Toksisitas salisilat telah dilaporkan dengan penyerapan sistemik asam salisilat topikal
pada anak-anak. Sebuah kasus asidosis laktat telah dilaporkan dengan tanda-tanda klinis
iritabilitas, agitasi, myoklonia, kesulitan berjalan (Orkwis HK, 2014)
Bayi dengan iktiosis lamellar biasanya dapat mengembangkan infeksi, dehidrasi, dan
masalah pernafasan. Indivisu yang terkena mungkin juga mengalami alopecia, kuku abnormal
(nail dystrophy), menurunnya kemampuan untuk berkeringat (hipohidrosis), peningkatan
sensitivitas terhadap panas, dan penebalan kulit pada telapak tangan dan telapak kaki
(keratoderma) (Sari S dan Trisniartami S, 2012).

KESIMPULAN
Iktiosis merupakan penyakit yang terjadi oleh karena adanya gangguan pada keratinisasi
kulit. Penyakit ini merupakan penyakit yang jarang ditemukan dengan insidens 1 anak tiap
300.000 kelahiran hidup. Penyakit ini disebabkan adanya mutasi gen TGM 1 yang mengkode
enzim transglutaminase (Tgase 1) yang menyebabkan gangguan integritas lapisan antara
membran sel dan matriks interselular sehingga fungsinya sebagai penghalang keluarnya cairan
tubuh terganggu dan terjadi peningkatan keluarnya cairan tubuh. Gejala penyakit ini akan segera
terlihat saat lahir. Pada penyakit ini terdapat keterlibatan seluruh permukaan kulit. Dalam
menegakkan diagnosis iktiosis lamellar, harus dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pengobatan yang tepat secara farmakologi dan non-farmakologi akan
membantu memperbaiki kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Akiyama M. Updated Molecular Genetics and Pathogenesis of Ichthyoses. Nagoya Journal Med.
2011.
Bangal, VB., Gangapurwala, S., Gavhane, S. dan Gupta, K. (2014), International Journal of
Biomedical And Advance Research, Rare Case Report- Neonatal Lamellar Ichthyosis in
Newborn - Collodian Baby [internet], 5(2), 120-122. Avaible From:
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/33098105/17._665-2890-1-PB.pdf?
AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1432970533&Signature=7O
bbgQcy1wtzE4w9CdTZbx%2BvK7o%3D [diakses tanggal 30 Mei 2015]
Bassotti A, Moreno S, Criado E. Successful treatment with topical N-acetylcysteine in urea in
five children with congenital lamellar ichthyosis. Pediatr Dermatol. Jul-Aug
2011;28(4):451-5. [Medline].

Davila-Seijo P, Flrez A, Davila-Pousa C, No N, Ferreira C, De la Torre C. Topical Nacetylcysteine for the treatment of lamellar ichthyosis: an improved formula. Pediatr
Dermatol. May-Jun 2014;31(3):395-7. [Medline].
James, W., Berger, T., Elston, D (2011) Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology 11th
ed. Elsevier: USA.
Johnson BC, Honig P. Congenital disease (Genodermatoses). Dalam: Elder DE, Elenitsas R,
Johnson BL, Murphy GF, penyunting. Levers Histopathology of the skin. Edisi ke-9.
Philadelphia: William & Wilkins; 2005.h.139-41.
Lefvre C, Bouadjar B, Karaduman A, dkk. Mutations in ichthyin a new gen on chromosome
5q33 in a new form of autosomal recessive congenital ichthyosis. Hum Mol Genet 2004;
13:2473-82.
Orkwis HK. Lamellar Ichthyosis Treatment & Management. Medscape Journal. 2014.
Rajput, UC., Kulkarni, S., dan Wagh, SS. (2012), Scholars Journal of Medical Case Reports,
Rickets secondary to lamellar ichthyosis in two Indian male siblings in a family [internet],
2(7), 487-489. Avaible From: http://saspjournals.com/wpcontent/uploads/2014/07/SJMCR-27487-489.pdf [diakses tanggal 30 Mei 2015]
Ramar, K. et al (2014), Hindawi Journal, Oral Manifestation of Autosomal Recessive
Congenital Ichthyosis in a 2-Year-Old Patient [internet], 2014(1), 1-4. Avaible From:
http://downloads.hindawi.com/journals/crid/2014/483293.pdf [diakses tanggal 30 Mei
2015].
Sari M, Trisniartami S. Diagnosis Iktiosis Lamelar. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin.
2012; Vol. 24 No. 1.
Sigurdsson H, Baldursson BT. Inverting Sutures With Systemic Retinoids and Lubrication Can
Correct Ectropion in Ichthyosis. Ophthal Plast Reconstr Surg. Sep 11 2014;[Medline].
Wolf, K. et al (2008) Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed .McGrawHill: United
States.

Anda mungkin juga menyukai