Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi

Patofisiologi konjungtivits dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi ataupun


etiologinya. Konjungtiva berada pada lokasi yang mengharuskannya terpapar
banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu. Beberapa
mekanisme mata dalam melindungi permukaan mata dari substansi luar dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Pada film air mata, unsur airnya mengencerkan
materi infeksi, kemudian mukus menangkap debris dan bekerja dengan memompa
dan mengalirkan air mata dengan pelpebra secara tetap menghanyutkan air mata ke
duktus lakrimalis (Vaughn, 2010; Lang, 2000).
Air mata mengandung substansi antimikroba termasuk salah satunya
lisozim. Dengan adanya agen perusak, maka menyebabkan terjadinya cedera pada
epitel konjungtiva yang diikuti dengan edema epitel sebagai bentuk manifestasi
klinis peradangan, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau granuloma.
Mungkin pula terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi
lapis limfoid stroma (pembentukan folikel). Lalu, sel-sel radang bermigrasi dari
stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel kemudian bergabung
dengan fibrin dan mukus dari sel goblet, membentuk eksudat konjungtiva yang
menyebabkan perlengketan tepian palpebra saat bangun tidur (Artini, 2011).
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh konjungtiva menyebabkan munculnya hiperemis yang tampak paling
nyata pada forniks dan berkurang ke arah limbus. Pada hiperemis konjungtiva ini
biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi papila yang sering disertai
sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas, atau gatal. Sensasi ini merangsang
sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh darah yang hiperemis
dan menambah jumlah air mata. Jika klien mengeluh sakit pada iris atau badan
siliar, hal tersebut menandakan jika kornea juga terkena dampak konjungtivitis
(Azari, 2013).
Jaringan permukaan mata dikolonisasi oleh beberapa flora normal seperti
streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Pada konjungtivits
bakterial, adanya perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada
jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan
pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran
dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah. Penggunaan antibiotik topikal
jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada
jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik. Mekanisme pertahanan primer
terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan
mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal dari
perdarahan konjungtiva, lisozim, dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air
mata dan juga lewat mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya
gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan
infeksi pada konjungtiva (Haq, 2013).
Pada konjungtivitis viral, ketika tiap beberapa detik palpebra menutup
memberi perlindungan bagi sklera dan konjungtiva berupa sekret dan pembersihan
dari benda asing, menjadi kesempatan kecil bagi virus untuk dapat masuk ke dalam
sel, terlebih ketika terjadi jejas misalnya abrasi inokulasi langsung yang mungkin
dapat terjadi saat pemeriksaan oftalmologi atau dari kontaminasi lingkungan (Ilyas,
2011). Pada sebagian besar kasus, replikasi biasanya terlokalisasi dan menyebabkan
inflamasi misalnya konjungtivitis. Virus memiliki genom asam nukleat single atau
double stranded yang dilingkupi kapsid dengan atau tanpa amplop diluarnya. Asam
nukleat dapat berupa RNA atauDNA yang dibutuhkan untuk melakukan transkripsi
menghasilkan enzim atau protein yang dibutuhkan unuk bereplikasi. Pada
permukaan kapsid terdapat ligan yang berfungsi untuk menempel pada sel host
sehingga menjadi jalan masuk virus ke dalam sel. Pada virus yang memiliki amplop
yang melingkupi kapsid, sejenis glikoprotein terekspresikan di permukaan yang
berfungsi melindungi virus dari antibodi. Namun virus yang memiliki amplop lebih
rentan terhadap pajanan dunia luar seperti sinar UV. Sebaliknya pada virus yang
hanya memiliki kapsid seperti adenovirus, mereka dapat bertahan lebih lama di luar
tubuh.
Tipe reaksi immunologi yang didapatkan pada konjungtivitis alergi berupa
reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah
tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Imunoglobulin
E (IgE) mempunyai afinitas yang kuat terhadap sel mast, dan cross-link 2 IgE oleh
antigen akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
mengeluarkan mediator-mediator inflamasi di antaranya histamin, triptase,
chymase, heparin, chondroitin sulfat, prostaglandin, thromboxane, and leukotriene.
Mediator-mediator ini bersama dengan faktor-faktor kemotaksis akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan migrasi sel neutrophil dan
eosinophil. Ini merupakan reaksi alergi yang paling sering pada mata (Ono, 2005).

Prognosis
Prognosis pada kasus konjungtivitis baik viral, alergika, ataupun bacterial
cukup baik jika penanganan dilakukan dengan baik pula, walaupun pada kejadian
konjungtivitis viral perlu diperhatikan keganasannya agar tidak menular. Namun,
walaupun prognosis cukup baik pada kasus ini, perlu kewaspadaan khusus terhadap
kemungkinan penyakit-penyakit lain yang lebih parah yang menyertakan
konjungtivitis sebagai salah satu manifestasi klinis (Sheikh, 2001).
Azari, A. A., & Barney, N. P. (2013). Conjunctivitis: a systematic
review of diagnosis and treatment. Jama, 310(16), 1721-1730.

Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. 2011. Pemeriksaan Dasar Mata. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Sheikh A & Hurwitz B. 2001. Topical antibiotics for acute bacterial conjunctivitis:
a systematic review. Br J General Prac.; 51: 473–477.

Haq, A., Wardak, H., & Kraskian, N. 2013. Infective conjunctivitis–its


pathogenesis, management and complications. In Common Eye Infections. InTech.
Ilyas S, Yulianti SR. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Lang GK. Opthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme Stuttgart;2000.
P.535-41.67-113.
Ono, S. J., & Abelson, M. B. (2005). Allergic conjunctivitis: update on
pathophysiology and prospects for future treatment. Journal of Allergy and Clinical
Immunology, 115(1), 118-122.
Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika. 2000.

Anda mungkin juga menyukai