Anda di halaman 1dari 8

1.

Tiazid (Benzotiadiazid)
Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung banyak ion
klorida, efek yang sangat berbeda dengan senyawa induknya yaitu benzen disulfonamid.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa benzotiadiazid berefek langsung terhadap
transpor Na+ dan Cl- di tubuli ginjal, tepatnya pada tubulus distal (Vigen, 2011).
Beberapa obat yang termasuk ke dalam golongan obat-obatan diuretik tiazid dan diuretik
analog tiazid, antara lain hidroklorotiazid (HCT), klorotiazid, hidroflumetazid,
bendroflumetazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon,
indapamid, metolazon (Nafrialdi, 2009).
a

Farmakodinamik
Selain dengan filtrasi glomerular, diuretik tiazid terutama diekskresikan secara
aktif ke dalam lumen tubulus melalui sistem transpor anion yang terlokalisir di tubulus
proksimal. Dari sebelah luminal terjadi penghambatan absorpsi Na+ dan Cl- di sel-sel
epitel tubuli distal hulu (efek saluretik). Selain itu, ion-ion Mg 2+ dan K+ juga
diekskresikan lebih banyak (Vigen, 2011).
Pertukaran (Na+/K+) yang terjadi di tubulus distal hilir bertanggung jawab untuk
ekskresi K+. Selanjutnya ion Na+ diabsorpsi dari lumen dan sebaliknya ion K +
dieksresi. Makin tinggi kadar Na+ di dalam urin yang tiba di tubulus distal hilir, makin
besar pertukaran (Na+/K+) dan juga makin banyak kehilangan K+. Efek diuretik tidak
berubah apabila ada asidosis atau alkalosis (tidak bergantung pada pH). Berlawanan
dengan diuretik kuat, diuretik tiazid mengurangi filtrasi glomerular yang disebabkan
oleh kenaikan tekanan hidrostatik, intratubular yang menyebabkan pengurangan

tekanan filtrasi yang efektif (Schmitz et al, 2009).


Farmakokinetik
Diabsorpsi dengan baik dalam gastrointestinal. Dengan suatu proses aktif, tiazid
diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini
besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari badan. Hidroklorotiazid
memiliki kakuatan ikat protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid.
Waktu paruh tiazid lebih panjang dibandingkan diuretik loop. Untuk alasan ini, tiazid
harus diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia (berkemiih di malam hari).
Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon mempunyai masa kerja yang lebih
panjang karena ekskresinya lebih lambat. Klortiazid dalam badan tidak mengalami

perubahan metabolik, sedangkan politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan (Kee,


2006).
Indikasi
1 Hipertensi
Tiazid merupakan salah satu obat penting pada pengobatan hipertensi, baik

sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan obat hipertensi lain. Selain
sebagai diuretik, tiazid memberi efek antik hipertensi berdasarkan efek penurunan
2

resistensi pembuluh darah (Nafrialdi, 2009).


Gagal jantung
Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan edema akibat gagal
jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila dikombinasikan dengan diuretik
hemat kalsium pada pasien yang juga mendapat pengobatan digitalis untuk
mencegah timbulnya hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi
digitalis. Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid untuk edema akibat
penyakit hati dan ginjal kronis. Pemberian tiazid pada pasien gagal jantung atau
hipertensi yang disertai gangguan fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati
sekali, karena obat ini dapat memperberat gangguan fungsi ginjal akibat
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan hilangnya natrium, klorida, dan

kalium dalam jumlah banyak (Nafrialdi, 2009).


Pengobatan jangka panjang edema kronik
Obat ini hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup untuk
mempertahankan berat badan tanpa edema. Pasien jangan terlalu dibatasi makan

garam (Nafrialdi, 2009).


Diabetes insipidus
Golongan tiazid juga digunakan untuk pengobatan diabetes insipidus
terutama yang bersifat nefrogenik. Untuk diabetes insipidus tipe sentral, tiazid
masih mempunyai manfaat, walaupun bukan merupakan obat pilihan (Nafrialdi,

2009).
Hiperkalsiuria
Pasien dengan batu kalsium pada saluran kemih mendapat manfaat dari
pengobatan tiazid, karena obat ini dapat mengurangi ekskresi kalsium ke saluran

kemih sehingga mengurangi risiko pembentukan batu (Nafrialdi, 2009).


Kontraindikasi

Diuretik tiazid dikontraindikasikan untuk gangguan fungsi ginjal yang berat


disertai anuria, gangguan fungsi hati yang berat, hipersensitivitas (alergi) terhadap
e

sulfonamid dan antidiabetik oral tipe sulfonilurea (Schmitz et al, 2009).


Efek Samping Obat
Beberapa efek samping penggunaan diuretik tiazid, antara lain (Schmitz et al,
2009):
1 Hipokalemia. Efek samping yang sangat sering terjadi pada terapi jangka
panjang dengan diuretik yaitu 25-40% kasus. Jika hal ini terjadi, perlu diberikan
substitusi K+; sebaiknya juga diberikan suatu kombinasi diuretik tiazid dengan
diuretik hemat kalium seperti amilorid, triamteren atau spironolakton (Schmitz
2

et al, 2009).
Hipomagnesemia dan hiperkalsemia akibat penghambatan ekskresi Ca2+

3
4

tubular.
Alkalosis metabolik, hipokloremia
Toleransi glukosa yang berkurang dapat bermanifestasi diabetes melitus pada

kondisi metabolik pradiabetes.


Gangguan metabolisme lemak, kenaikan kadar trigliserid serum dan kadar
kolesterol serum; kenaikan LDL, HDL tidak berubah atau turun; setelah kurang

lebih 6 minggu akan menjadi manifestasi (Schmitz et al, 2009).


Hiperurisemia disebabkan oleh penghambatan kompetitif sekresi asam urat,
yang berlangsung melalui sistem transpor anion di tubulus proksimal seperti juga
eliminasi diuretik tiazid. Setelah kurang lebih 7-10 hari kenaikan asam urat

serum akan mencolok (Schmitz et al, 2009).


Interaksi Obat
Indometasin dan NSAID lain dapat mengurangi efek diuretik tiazid karena kedua
obat ini menghambat sistesis prostaglandin vasodilator di ginjal, sehingga
menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Probenesid menghambat
sekresi tiazid ke dalam lumen tubulus. Akibatnya efektivitas tiazid berkurang
(Nafraldi, 2009).
Penggunaan dengan digoksin akan menimbulkan efek yang serius, tiazid dapat
menyebabkan hipokalemia yang menguatkan kerja digoksin dan dapat terjadi
keracunan digitalis Hipokalemia yang terjadi akibat pemberian tiazid dapat
meningkatkan risiko aritmia oleh digitalis dan obat antiaritmia, sehingga pemantauan
kadar kalium sangat penting pada pasien yang juga mendapat digitalis atau
antiaritmia. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan diare, muntah-

muntah atau anoreksia harus segera diatasi karena dapat memperbesar bahaya
intoksikasi digitalis (Kee, 2006).
Kombinasi tetap tiazid dengan KCl tidak digunakan lagi karena menimbulkan
iritasi lokal di usus halus. Tiazid menghambat ekskresi litium sehingga kadar litium
dalam darah dapat meningkat (Nafrialdi, 2009).

2. Inhibitor Karbonik Anhidrase (CAI)


a. Farmakokinetik
Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi
dalam sel yang banyak mengandung enzim, terutama pada sel korteks ginjal. Obat
penghambat karbonik anhidrase tidak dapat masuk ke dalam eritrosit sehingga
efeknya terbatas pada sel korteks ginjal saja. Asetazolamid juga tidak
dimetabolisme oleh tubuh dan diekskresi secara utuh melalui urin (Nafrialdi, 2009).
Absorbsinya melalui saluran cerna, distribusi dalam darah selama 2 jam,
tidak dimetabolisme, dan ekskresi melalui ginjal (Lachman, 2008).
b. Farmakodinamik
Efek diuresisnya berdasarkan penghalangan enzim karboanhidrase yang
mengkatalis reaksi berikut:
CO2 + H2O

H2CO3

H+ + HCO3+

Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H + lagi
untuk ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K,
bikarbonat, dan air. Obat ini dapat digunakan sebagai obat antiepilepsi. Resorpsinya
baik dan mulai bekerja 1-3 jam dan bertahan selama 10 jam. Waktu paruhnya
dalam plasma adalah 3-6 jam dan diekskresikan lewat urin secara utuh. Obat
patennya

adalah

Miamox.

Yang termasuk golongan

diuretik

ini

adalah

asetazolamid, diklorofenamid, dan meatzolamid (Lachman, 2008).


Bertambahnya ekskresi bikarbonat dalam urin menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik. Cara kerja asetazolamid adalah dengan meningkatkan ekskresi
bikarbonat dan kation. Hal ini mengakibatkan besarnya efek diuresis bergantung
pada ion tersebut dalam plasma. Dalam cairan bola mata banyak terdapat enzim

karbonik anhidrase dan bikarbonat sehingga pemberian asetazolamid dapat berguna


untuk penderita glaukoma (Nafrialdi, 2009).
c. Efek Samping Obat
Asetazolamid jarang menimbulkan intoksikasi, namun pada pemberian dosis
tinggi secara terus-menerus dapat menimbulkan parestesia dan kantuk terusmenerus. Asetazolamid juga dapat mempermudah terbentuknya batu ginjal karena
mengurangi ekskresi sitrat. Asetazolamid dapat menyebabkan disorientasi mental
pada penderita sirosis hepatis. Hal ini mungin disebabkan oleh amoniak yang
biasanya diekskresi ke dalam urin masuk ke dalam darah karena tidak ada H + yang
terbentuk dalam sel tubuli, sehingga hati tidak mampu mengubah amoniak yang
terlalu banyak menjadi urea dan amoniak inilah yang menyebabkan terjadinya
disorientasi mental. Efek yang ditimbulkan tersebut membuat asetazolamid
dikontraindikasikan pada sirosis hepatis (Nafrialdi, 2009).
Azetazolamid mempermudah pembentukkan batu

ginjal

karena

berkurangnya ekskresi sitrat,kadar kalsium tidak berubah atau meninggi.


Reaksi alergi yang jarang terjadi berupa demam,reaksi kulit,depresi sumsum
tulang dan lesi renal mirip reaksi terhadap sulfanamid (Nafrialdi, 2009).
d. Interaksi
Karbonik anhidrase jika berinteraksi dengan tetrasiklin

akan

meningkatkan azotemia pada penderita gagal ginjal (Siswandono, 2008).


e. Indikasi
Penggunaan asetazolamid yang utama ialah untuk menurunkan tekanan
intraokular pada penyakit glaukoma. Asetazolamid juga berguna mengatasi paralisis
periodik bahkan yang disertai hipokalemia dan efektif untuk mengurangi gejala
acute mountain sickness (Nafrialdi, 2009).
f. Kontraindikasi
Intoksikasi asetazolamid jarang terjadi. Pada dosis tinggi dapat timbul
parestesia

dan

kantuk

yang

terus-menerus.

Asetazolamid

mempermudah

pembentukan batu ginjal karena berkurangnya ekskresi sitrat, kadar kalsium dalam
urin tidak berubah atau meningkat. Asetazolamid sebaiknya tidak diberikan selama
kehamilan, kerena pada hewan cobra obat ini dapat menimbulkan efek teratogenik
(Nafrialdi, 2009).
Asetazolamid dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas
sulfonamid dan ibu hamil selama kehamilan trimester pertama. Selain itu pasien

dengan sirosis hati juga dikontraindikasikan karena dapat menyebabkan disorientasi


mental (Deglin, 2007).
g. Sediaan
Azetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk
pemberian oral. Dosis antara 250-500 mg per kali,dosis untuk chronic simple
glaucoma yaitu 250-1000 mg per hari. Natrium Azetazolamid untuk pemberian
parenteral hendaknya diberkan satu kali sehari,kecuali bila dimaksudkan untuk
menimbulkan asidosis metabolic maka obat diberikan setiap 8 jam. Dosis
dewasa untuk acute mountain sickness yaitu 2 kali sehari 250 mg,dimulai 34 hari sebelum mencapai ketinggian.Dosis untuk paralisis periodic yaitu 250750 mg sehari dibagi 2 atau 3

dosis. Diklorofenamid dalam tablet 50

mg,efek optimal dicapai dengan dosis awal 200 mg sehari,serta metazolamid


dalam tablet 25 mg dan 50 mg dan dosis 100-300 mg sehari,tidak terdapat
dipasar. (Lachman, 2008).
3. Diuretik Osmotik
a. Farmakokinetik
Diuretik osmotik mempunyai berat molekul rendah, tidak mengalami
metabolisme di dalam tubuh, secara pasif disaring melalui kapsula Bowman ginjal
dan tidak diabsorbsi kembali oleh tubulus renalis (Siswandono, 2008).
b. Farmakodinamik
Diuretik osmotik adalah natriuretik yang dapat meningkatkan ekskresi
natrium dan air. Diuretik ini bekerja berdasarkan perbedaan tekanan osmosa.
Terdapat empat syarat diuretik osmotik, yaitu dapat difiltrasi secara bebas oleh
glomerulus, tidak atau hanya sedikit direabsorpsi oleh sel tubuli ginjal, secara
farmakologis merupakan zat yang inert, dan umumnya resisten terhadap perubahan
metabolik. Sifat-sifat tersebut memungkinkan diuretik osmotik dapat diberikan
dalam jumlah besar ( Nafriadi, 2009).
Pada sistem ginjal diuretik osmotik bekerja membatasi reabsobsi air terutama
pada segmen dimana nefron sangat permeabel terhadap air, yaitu tubulus proksimal
dan ansa henle desenden (Sulistia, 2005).
c. Efek Samping Obat
Pemberian larutan manitol hipertonis yang berlebihan akan meningkatkan
osmolaritas cairan ekstrasel, sehingga secara tidak diharapkan akan terjadi
penambahan jumlah cairan ekstrasel dan berbahaya bagi penderita payah jantung.

Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan reaksi hipersensitif. Urea lebih


bersifat iritatif terhadap jaringan dan dapat menimbulkan trombosis atau nyeri bila
terjadi ekstravasasi. Gliserin dimetabolisme dalam tubuh dan dapat menyebabkan
hiperglikemia dan glukosuria. Pemberian diuretik osmotik sering menimbulkan
sakit kepala, mual, dan muntah (Sunaryo, 2007).
d. Interaksi
Pada diuretik osmotik dan kemungkinan diuretik lainnya apabila dipakai
bersama dengan antikoagulan oral akan menurunkan efek antikoagulan akibat
konsentrasi faktor-faktor pembekuan. Sedangkan bila dipakai bersama dengan
tetrasiklin dapat meningkatkan azotemia pada penderita gagal ginjal, hal ini juga
memungkinkan terjadi pada semua diuretik lainnya (Sunaryo, 2007).
e. Indikasi
Manitol antara lain digunakan untuk (Nafrialdi, 2009):
1 Profilaksi gagal ginjal akut
2 Menurunkan tekanan maupun volume cairan intraokular
3 Menurunkan tekanan atau volume cairan serebrospinal
4 Pengobatan sindrom disekuilibrium pada hemodialis
f. Kontraindikasi
Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria atau pada
keadaan oliguria yang tidak responsif dengan percobaan, kongesti atau edema paru
yang berat, dehidrasi hebat, dan perdarahan intrakranial kecuali bila akan dilakukan
kraniotomi. Infus manitol harus segera dihentikan apabila terdapat tanda-tanda
gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah jantung, atau kongestif paru. Urea
tidak boleh diberikan pada gangguan fungsi hati berat karena ada risiko terjadinya
peningkatan kadar amoniak. Manitol dan urea dikontraindikasikan pada perdarahan
serebral aktif (Nafrialdi, 2009).
g. Sediaan
Manitol diberikan melalui infus intravena dengan larutan 20%. Dosis dewasa
berkisar antara 50-1 g (250-5 mL) dengan kecepatan infus 30-50 mL/jam. Untuk
mengurangi edema otak diberikan 0,25-2 g/kgBB selama 30-60 menit (Nafrialdi,
2009).
DAPUS :

Nafrialdi. 2009. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran

Universitas

Jenderal Soedirman
Vigen, Rebecca, Rick A, Robert F. 2011. Thiazides Diuretics in The Treatment of
Nephrolithiasis. Journal of International Urology and Nephrology Vol.43 pp 813-819
Schmitz, G., Hans Lepper., Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta:
EGC
Kee, L. joyce & Evelyn R. Hayes. 2006. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta: EGC
Lachman, Leon dkk. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: Universitas Indonesia
Press
Siswandono, Soekardjo, B. 2008. Kimia Medicine Jilid 3. Surabaya: Airlangga University Press
Deglin, Judith H. 2007. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC
Sulistia, dkk. 2005. Farmakologi dan Terapi Edisi 4 . Jakarta: Penerbit Gaya Baru.
Sunaryo. 2007. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI.

Anda mungkin juga menyukai