Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK KEDOKTERAN

BLOK BASIC SCIENCE OF CONTINUITY AND LIFE CYCLE


LAPORAN ANALISIS SPERMA

Disusun Oleh :

Rizky Bayu Lesmana G1A014092

Prisilia Arviani Angela Kalalo G1A014093

Hanna Kalita Mahandhani G1A014094

Rio Taruna Jati G1A014095

Prastika Dica Izwara G1A014096

Dosen Pembimbing
dr. Tri Lestari

KEMENTRIAN RISET DAN TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK KEDOKTERAN
BLOK BASIC SCIENCE OF CONTINUITY AND LIFE CYCLE
LAPORAN ANALISIS SPERMA

Disusun Oleh :

Rizky Bayu Lesmana G1A014092

Prisilia Arviani Angela Kalalo G1A014093

Hanna Kalita Mahandhani G1A014094

Rio Taruna Jati G1A014095

Prastika Dica Izwara G1A014096

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Patologi Klinik


Kedokteran blok Basic Science of Continuity and Life Cycle pada Jurusan
Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, 8 Mei 2017
Dosen Pembimbing,

dr. Tri Lestari

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Analisis Sperma

B. Tanggal Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Senin, 8 Mei 2017 di Laboratorium
Patologi Klinik Lantai 1 Gedung C Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal
Soedirman

C. Tujuan Praktikum
 Mampu melakukan pemeriksaan analisis sperma
 Mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan sperma
 Mampu memahami kepentingan analisis ejakulasi dalam masalah
infertilitas

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemeriksaan Makroskopis Sperma

4
B. Pemeriksaan Mikroskopis Sperma
1. Pemeriksaan estimasi jumlah sperma
Hanya sebagian kecil cairan sperma yang terdiri dari sel sperma,
namun sekitar 95% dari cairan sperma adalah cairan yang dikeluarkan oleh
prostat atau vesikula seminalis. Untuk mengetahui kesehatan sel sperma,
diperlukan analisis cairan sperma. Analisis sperma dilakukan dengan
mengamati cairan sperma dibawah mikroskop. Sperma yang sehat haruslah
cukup banyak, yaitu dalam 1 ml mengandung berkisar 20 juta sel sperma,
berbentuk normal dan bergerak cepat ke depan. Karena terdapat sel selain
sperma maka harus di tentukan estimasi jumlah agar nanti saat pengenceran
tidak keliru dalam mengambil sampel dan larutannya (Lidyana et al, 2013).
2. Motilitas sperma
Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek
fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi
perkembangan normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis.
Menurut WHO tahun 2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi
sebagai berikut (WHO, 2010) :
 Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus
maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.
 Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak
memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil,
ekor/ flagel yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang
bergerak.
 Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali
Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive
motility (PR)≥ 32% atau PR + NP ≥ 40%. Disebut asthenospermia (motilitas
yang tidak sesuai dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi
antisperma (15%), periode abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia
obstruksi duktus parsial, dan varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas
sperma dalam penetrasi ke mukosa servikal (WHO, 2010).

5
3. Morfologi sperma
Sel sperma manusia adalah sel sistem reproduksi utama dari laki-
laki. Sel sperma memiliki jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sel
sperma manusia terdiri atas kepala yang berukuran 5 µm x 3 µm dan ekor
sepanjang 50 µm. Sel sperma pertama kali diteliti oleh seorang murid
dari Antonie van Leeuwenhoek tahun 1677 (Schill et al, 2007).
Sperma berbentuk seperti kecebong, dan terbagi menjadi 3 bagian
yaitu: kepala, leher dan ekor. Kepala berbentuk lonjong agak gepeng berisi
inti (nucleus). Bagian leher menghubungkan kepala dengan bagian tengah.
Sedangkan ekor berfungsi untuk bergerak maju, panjang ekor sekitar 10 kali
bagian kepala (Schill et al, 2007).
Urutan pertumbuhan sperma (spermatogenesis) adalah sebagai
berikut: spermatogonium (membelah 2), spermatosit pertama (membelah
2), spermatosit kedua (membelah 2), spermatid dan tumbuh menjadi
spermatozoa (sperma).Pada pria dewasa normal, proses spermatogenesis
terus berlangsung sepanjang hidup, walaupun kualitas dan kuantitasnya
makin menurun dengan bertambahnya usia (Schill et al, 2007).

Gambar 1.1 Morfologi Sperma (Schill et al, 2006)


Batasan normal adalah > 30 % (WHO) bila kurang dari itu
disebut teratozoospermia, atau dgn ”strict criteria” > 15 % (Kruger). Selain
kuantitas (% yang normal) juga perlu diperhatikan kualitas (bentuk-bentuk
kelainan yang ada) (Schill et al, 2007).

6
Variasi parameter dasar analisa sperma manusia dari yang paling
bervariatif adalah (Schill et al, 2007) :
 Konsentrasi
 Motilitas
 Morfologi.
Adapun faktor yang mempengaruhi daripada perubahan morfologi
adalah fungsi testis, makin banyak kepala normal berarti fungsi tesis baik.
Penelitian Wibisono (1997) mendapatkan korelasi antara bentuk-bentuk
kepala mikro, makro, taper, kelainan bentuk akrosom dan atau gabungannya
berkaitan dengan adanya varikokel (salah satu penyebab infertilitas pada
pria yang terbesar dan dapat dideteksi dan yg dapat diperbaiki).Pria dengan
konsentrasi sperma > 20 juta/ml, tetapi abnormal pada motilitas dan atau
morfologi disebabkan oleh penyebab yang diketahui seperti : varikokel,
infeksi kelenjar aksesori atau kogenital akan mempunyai kemungkinan
kehamilan alami pada pasangan 40 % lebih rendah daripada penyebab yang
tidak diketahui (idiopatik asteno- dan atau teratozoospermia) (Schill et al,
2007).
4. Pemeriksaan elemen bukan sperma
Kehadiran sel non-sperma pada semen dapat mengindikasikan
kerusakan testis (sel germ belum matang), patologi dari duktus eferen
(jumbai silia) atau peradangan pada kelenjar aksesori (leukosit). Jumlah sel
non-sperma pada semen (sel epitel, "round cells" (germ sel dan leukosit)
atau kepala dan ekor sperma terisolasi) dapat diperkirakan fixed wet
preparations dengan menggunakan hemositometer pada cara yang sama
seperti untuk spermatozoa. Namun, semen yang telah diencerkan secara
memadai untuk menghitung spermatozoa biasanya akan terlalu encer untuk
estimasi akurat dari sel non-sperma, kecuali dengan adanya konsentrasi
yang tinggi. Prevalensi round cells relatif terhadap spermatozoa dapat
dinilainya dari slide. Atau, konsentrasinya dapat dinilai selama estimasi sel
peroksidase-positif. Jumlah sel bundar ejakulasi dapat mencerminkan
beratnya kondisi inflamasi atau spermatogenik. Ini diperoleh dengan

7
mengalikan konsentrasi sel bulat oleh volume seluruh ejakulasi (WHO,
2010).
Konsentrasi round cells dihitung relatif terhadap spermatozoa dengan
menilai semen tetap dan apusan bernoda terbuat dari semen murni. Jika N
adalah jumlah round cells dihitung dalam jumlah yang sama dari medan 400
spermatozoa, dan S adalah konsentrasi spermatozoa (106 per ml), maka
konsentrasi (C) dari sel-sel bundar (106 per ml) dapat dihitung dari rumus
C = S × (N / 400) (WHO, 2010).
Jika ada round cells lebih sedikit dibandingkan spermatozoa dalam
sampel (yaitu <400), kesalahan sampling akan melebihi 5%. Dalam hal ini,
aporkan kesalahan sampling untuk jumlah sel dihitung. Jika kurang dari 25
round cells terhitung, laporkan jumlah sel bundar diamati dengan catatan
"Terlalu sedikit untuk penentuan akurat konsentrasi" (WHO, 2010).
5. Pemeriksan hitung jumlah sperma
Pemeriksaan Jumlah Spermatozoa Menghitung jumlah spermatozoa
dapat dilakukan dengan metode hemocytometer biasa menggunakan pipet
Thoma atau dengan modifikasi hemocytometer dengan pengenceran dalam
tabung menggunakan Clinipette (Wibisono,2007).
Larutan yang biasa yang dipergunakan ialah larutan pengencer 5%
Natrium bikarbonat dalam aquadest ditambah dengan formaldehide 1 ml.
Larutan pengencer ini juga bertindak sebagai zat spermisida yang
mematikan spermatozoa, serta merupakan garam fisiologis. Dengan
demikian spermatozoa yang terdapat didalam kamar hitung dapat lebih
cermat dihitung. Jumlah spermatozoa dihitung menurut beberapa cara
(Wibisono,2007):
a. Jumlah Spermatozoa per ml ejakulat.
b. Jumlah Spermatozoa per volume ejakulat.
Namun yang umum dipakai adalah spermatozoa per ml ejakulat.
Bilamana menghendaki perhitungan untuk seluruh ejakulat, tinggal
mengalikan dengan volume ejakulat (Wibisono,2007).
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan jumlah sperma
(Wibisono,2007) :

8
a. Biasanya didapat 70 juta atau lebih banyak spermatozoa per ml
b. Jika jumlah kurang dari 20 juta per ml , ada kemungkinan mati itu
kurang memadai dalam hal fertilitas.
Tetapi kita harus berhati – hati dalam mengambil kesimpulan seperti
itu. Tidak jarang dilihat bahwa hasil pemeriksaan mani berikutnya atau yang
mendahuluinya berbeda jauh. Dapat juga dilakukan pada pemeriksaan
motilitas hanya sedikit sekali spermatozoa kelihatan bergerak aktif
(Wibisono,2007).
6. Vitalitas Sperma
Vitalitas sperma, diestimasikan dengan menilai integritas membran
sel, dapat ditentukan secara rutin pada semua sampel, terutama untuk
sampel dengan spermatozoa progresif motil kurang dari sekitar 40% . Tes
ini dapat memberikan centang pada evaluasi motilitas, karena persentase
sel-sel mati (dalam sampling error) tidak boleh melebihi persentase
spermatozoa imotil. Persentase sel yang normal biasanya melebihi dari sel
motil (WHO, 2010).
Persentase spermatozoa hidup dinilai dengan mengidentifikasi orang-
orang yang memiliki membran sel utuh, dengan metode dye exclusion
ataupun hypotonic swelling. Metode dye exclusion didasarkan pada prinsip
bahwa membran plasma, seperti yang ditemukan di sel non-vital (mati),
memungkinkan masuknya membrane-impermeant stains. Tes
pembengkakan hipoosmotik menduga bahwa hanya sel-sel dengan
membran utuh (sel hidup) akan membengkak dalam solusi hipotonik
(WHO, 2010).

9
Gambar 1.2 Perubahan Morfologi Sperma (WHO, 2010)
Vitalitas sperma harus dinilai sesegera mungkin setelah pencairan sampel
semen, sebaiknya dalam 30 menit, tapi pada beberapa kasus dalam waktu 1 jam
dari ejakulasi, untuk mencegah pengamatan efek merusak dari dehidrasi atau
perubahan suhu pada vitalitas. (WHO, 2010)
a. Metode dye exclusion menggunakan eosin
Metode ini sederhana dan cepat, tapi persiapan basah tidak dapat
disimpan untuk tujuan kontrol kualitas. (WHO, 2010)
b. Mempersiapkan reagen
1. NaCl, 0,9% (w/v): melarutkan 0,9 g NaCl dalam 100 ml air yang
dimurnikan.
2. Eosin Y, 0,5% (w/v): melarutkan 0,5 g Eosin Y (warna indeks 45.380)
dalam 100 ml NaCl 0,9% (WHO, 2010).
c. Langkah Kerja:
1. Campur sampel semen.
2. Keluarkan aliquot dari 5? L dari semen campur dengan 5? L larutan
eosin pada slide mikroskop. Campur dengan ujung pipet, putar-putar
sampel pada slide.
3. Tutup dengan 22 mm x 22 mm coverslip dan biarkan selama 30 detik.
4. Campurkan lagi sampel semen, hapus replikasi aliquot, campur
dengan eosin dan lakukan seperti pada langkah 2 dan 3.
5. Periksa setiap slide, sebaiknya dengan optik negatif-fase kontras

10
(positif-fase kontras membuat kepala merah muda samar sulit untuk
membedakan) di perbesaran 200x atau 400x.
6. Hitung jumlah sel bernoda (mati) dan tak bernoda (hidup) dengan
bantuan counter laboratorium.
7. Evaluasi 200 spermatozoa di setiap ulangan, untuk mencapai
kesalahan pengambilan sampel rendah yang dapat diterima.
8. Hitung rata-rata dan perbedaan dari dua persentase sel penting dari
persiapan ulangan.
9. Tentukan perbedaan yang seminimal mungkin. (Perbedaan yang
minimal bisa dikarenakan kesalahan sampling)
10. Jika perbedaan antara persentase diterima, laporkan persentase
vitalitas rata. Jika perbedaan terlalu tinggi, buat persiapan kedua dari
dua aliquot baru dari semen dan ulangi penilaian.
11. Laporan rata-rata persentase spermatozoa penting untuk seluruh
terdekat jumlah (WHO, 2010).
d. Penilaian
1. Spermatozoa hidup memiliki kepala putih atau merah mudah cerah
dan spermatozoa mati memiliki kepala yang berwarna merah atau
merah muda gelap.

Gambar 1.3 Sperma setelah Pewarnaan (WHO, 2010)


2. Jika noda terbatas hanya bagian dari daerah leher, dan sisanya dari
daerah kepala yang ternoda, ini dianggap sebagai "membran leher
bocor", bukan pertanda kematian sel dan disintegrasi membran total.
Sel-sel ini harus dinilai sebagai hidup.
3. Jika sulit untuk membedakan kepala merah muda pucat bernoda,

11
gunakan nigrosin untuk meningkatkan kontras dari latar belakang.
(WHO, 2010)
4. Batas referensi rendah bagi vitalitas (spermatozoa membran utuh)
adalah 58% (5 sentil, 95% CI 55-63) (WHO, 2010).

12
BAB III
CARA KERJA
A. Alat dan Bahan
1. Alat :
a. Mikroskop
b. Pipet tetes gelas/tabung ukur kaca
c. Objek glass
d. Cover glass
e. Pipet leukosit
f. Bilik hitung Neubauer Improved (NI)
2. Bahan :
a. Semen
b. NaCl fisiologis
c. Aquadest
d. Larutan fikasasi etanol 95% : eter ( 1: 1)
e. Cat Giemsa
f. Eosin 0,5%
g. Larutan Turk

B. Pemeriksaan Makroskopis
1. Warna
Normal : berwarna putih kelabu homogen, kadangkala didapatkan butiran
seperti jeli yang tidak mencair.
Abnormal : Jernih menandakan jumlah sperma sangat sedikit
 Merah kecoklatan  adanya sel darah merah
 Kuning  pada penderita ikterus atau minum vitamin
2. Bau
Normal : bau khas seperti bunga akasia
Abnoramal : bau busuk  infeksi
3. Likuefaksi (mencairnya semen)
Sediaan diamati pada suhu kamar dan dicatat waktu pencairan
Normal : mencair dalam 60 menit, rata-rata ± 15 menit

13
4. Volume
Diukur dengan tabung/gelas ukur dari kaca
Normal : > 1.5 ml
5. Konsistensi
Cara :
a. Sampel diambil dengan pipet atau ujung jarum, kemudian biarkan
menetes
b. Amati benang yang terbentuk dan sisa ampel di ujung pipet/jarum
Normal : benang yang terbentuk < 2 cm atau sisa sampel di ujung
pipet/jarum hanya sedikit
6. pH
Cara :
a. Teteskan sampel pada kertas pH meter
b. Bacalah hasilnya setelah 30 detik dengan membandingkan dengan
kertas standar
Normal : pH 7,2 – 7,8
Abnormal : pH > 7,8  infeksi
pH < 7  pada semen azoospermia, perlu dipikirkan
kemungkinan disgenesis vas deferens, vesika seminal,
atau epididimis.

C. Pemeriksaan Mikroskopis
1. Pemeriksaan estimasi jumlah sperma

Teteskan 1 tetes sperma ke object glass + cover glass

Amati dibawah mikroskop perbesaran 400x cahaya redup

Hitung jumlah sperma pada 3 lapang pandang

14
Ambil rata-rata jumlah sperma, kalikan 106

Tentukan pengenceran

Tabel pengenceran berdasarkan estimasi jumlah sperma


Umlah sperma/lapang pandang
Pengenceran
(juta)

<15 1:5

15-40 1:10

40-200 1:20

>200 1:50

2. Motilitas sperma

Teteskan 1 tetes sperma ke object glass + cover glass

Amati dibawah mikroskop perbesaran 400x cahaya redup

Amati pergerakan sperma pada 4-6 lapang pandang

Tentukan presentase motilitas sperma

𝑷𝑹 + 𝑵𝑷
%𝑴𝒐𝒕𝒊𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒔𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂 = 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑷𝑹 + 𝑵𝑷 + 𝑰𝑴

Keterangan : PR = sperma progresif


NP = sperma non-progresif

15
IM = Sperma immotile

3. Morfologi sperma

Teteskan 1 tetes sperma ke object glass

Buat apusan sperma, keringkan

Fiksasi dengan etanol 95% : eter (1:1), keringkan

Cat dengan Giemsa (30 menit), bilas dengan air bersih

Amati dibawah mikroskop perbesaran 400X, cahaya redup

Amati morfologi sperma (kepala, leher, dan ekor)

4. Pemeriksaan elemen bukan sperma

Teteskan 1 tetes sperma ke object glass + cover glass

Amati dibawah mikroskop perbesaran 400x cahaya redup

Hitung jumlah sel lain dalam 100 sperma

Masukan ke rumus

𝑵𝒙𝑺
𝑪=
𝟏𝟎𝟎

16
Keterangan : C = Jumlah sel lain dalam juta/mL
N = Jumlah sel lain yang dihitung dalam 10 sperma
S = Jumlah sel sperma (bukan estimasi jumlah sperma)

5. Pemeriksaan hitung jumlah sperma

Hisap sperma sampai ke angka 0,5 menggunakan pipet leukosit

Hisap larutan Turk sampai angka 11

Kocok campuran

Letakan bilik hitung dibawah mikroskop

Cari kotak sedang yang biasa digunakan untuk pemeriksaan eritrosit

Tutup dengan cover glass, teteskan larutan ke bilik hitung

Hitung jumlah sperma dalam kotak sedang

Tentukan faktor koreksi, masukan kedalam rumus

Jumlah kotak sedang yang harus dihitung berdasar jumlah sperma


yang ditemukan :
 jumlah sperma dalam 1 kotak sedang < 10 → hitung 25 kotak
 jumlah sperma dalam 1 kotak sedang 10-40 → hitung 10 kotak
 jumlah sperma dalam 1 kotak sedang > 40 → hitung 5 kotak

17
Tabel faktor koreksi
Jumlah kotak sedang yang dihitung
Pengenceran
25 10 5

Faktor koreksi

1:10 10 4 2

1:20 5 2 1

1:50 2 0,8 0,4

𝑹𝒂𝒕𝒂 − 𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒔𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝟏 𝒌𝒐𝒕𝒂𝒌


𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂 = 𝒙 𝟏𝟎𝟔
𝒇𝒂𝒌𝒕𝒐𝒓 𝒓𝒆𝒔𝒊𝒌𝒐

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

19
BAB V
APLIKASI KLINIS

1. Oligozoospermia
Penyebab infertilitas pada pria salah satunya disebabkan adanya
oligozoospermia, yaitu jenis kelainan pada sperma dimana jumlah sperma
sangat sedikit yaitu kurang dari 15 juta buah. Tiga penyebab utama
oligozoospermia yaitu faktor kesehatan, lingkungan dan gaya hidup.
Pembengkakan pada testis atau infeksi dapat mengganggu produksi sperma,
begitu pula dengan adanya paparan logam berat yang dapat menyebabkan
gangguan pada spermatogenesis seorang laki-laki (Agarwal et.al, 2014).
Hal-hal yang dapat mencegah untuk terjadinya oligozoospermia
diantaranya sebagai berikut : menghindari stres, menghindari berendam di air
yang bersuhu > 36⁰C selama lebih dari 15 menit, jangan menggunakan celana
yang terlalu ketat, berhenti merokok, dan mengurangi makan makanan instan
(Cavallini, 2014).
2. Varikokel
Varikokel merupakan pelebaran pleksus pampiniformis di dalam skrotum.
Varikokel serupa dengan varises vena yang dapat terjadi di kaki. Prevalensi
varikokel pada pria peripubertal telah dilaporkan bervariasi anatara 3% dan
43% lebih tinggi dibandingkan penyakit urogenital lainnya.
Dampak yang terjadi jika terdapat varikokel adalah gangguan prosuksi
sperma. Varikokel tidak menimbulkan gejala dan tidak terdeteksi selama
bertahun-tahun beberapa pria baru mengetahui dirinya mengalami varikokel
saat melakukan analisis sperma. Terdapat beberapa gejala yang dapat timbul
pada penyakit ini antara lain : timbulnya rasa sakit/nyeri setelah berolah raga
atau setelah duduk atau berdiri dalam waktu yang lama, perasaan berat atau
menyeret dalam kantung testis, dan teraba seperti masa di skrotum akibat
adnaya dilatasi pembuluh darah vena (Spinneli, 2010). Penanganan varikokel
yaitu dengan meligasi vena spermatika kiri agar tidak berdilatasi abnormal
sehingga suhu di dalam lingkungan skrotum tetap terjaga. Jika suhu testis telah
sesuai maka proses spermatogenesis dapat berjalan dengan normal kembali
(Purnomo, 20011).

20
3. Azoospermia
Azoospermia adalah jenis kelainan pada sperma dimana tidak ditemukan
adanya sel sperma dalam semen yang diejakulasikan seorang laki-laki.
Gangguan ini terjadi akibat adanya penyumbatan di vas deferens sehingga
sperma tidak dapat keluar dan bercampur dengancairan air mani. Penyebab lain
dari azoospermia adalah adanya kelainan genetik sindrom Klinefelter.
Penderita azoospermia tidak semuanya mengalami kemandulan yang
absolut, pada pasien azoospermia dengan spermatogenesis yang normal
kemungkinan untuk memiliki keturunan masih dapat terpenuhi. Program in
vivo fertilization dapat menjadi salah satu alternatif penderita azoospermia yang
ingin memiliki keturunan. Teknik yang digunakan untuk proses pembuatan bayi
in vivo/ bayi tabung adalah teknik intra cytoplasmic sperm injection (ICSI)
melalui biospi testis atau dengan menusukkan jarum ke epididimis (Cavvalini,
2011).

21
BAB VI

KESIMPULAN

 Pemeriksaan estimasi jumlah sperma diperlukan untuk perkiraan jumlah


sperma dalam menentukan tingkat pengenceran. Hasil pemeriksaan motilitas
87,9% (motil) dan morfologi 72,4% menunjukan sperma berada pada batas
normal. Pada saat pemeriksaan jumlah sperma pun didapatkan nilai dibawah
nilai normal yaitu 3,08 x 105 (yang seharusnya ≥ 15). Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa hasil analisis sperma dengan interpretasi ekstrim
oligozoospermia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A., Mulgund, A., Sharma, R., & Sabanegh, E. (2014). Mechanisms of
oligozoospermia: an oxidative stress perspective. Systems biology in
reproductive medicine, 60(4), 206-216.

G Cavallini et al. 2011. Preliminary Study of Letrozole Use for Improving


Spermatogenesis in Non-Obstructive Azoospermia Patients With Normal
Serum FSH. Asian J Androl : 13 (6), 895-897.

Lidyana, Fina, et al. 2013. Laporan Analisis Semen. 2013. Jurnal Universitas
Negeri Jakarta. Vol. 3 (1) : 5-9.

Purnomo. B. Basuki. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto


Schill, wolf-bernhard et al., 2007. Andrology for the Clinician. Springer. Hlm 41
Shambayati, Behdad. 2011. Cytophathology. New York: Oxford University
Press.

Spinelli, C., Di Giacomo, M., Piccolo, R. L., Martin, A., & Messineo, A. (2010).
The role of testicular volume in adolescents with varicocele: the better way
and time of surgical treatment. The Journal of urology, 184(4), 1722-1726.

Wibisono, Herman., 2007. Evaluasi Infertilitas Pria Menuju Program FIV dalam
Fertilisasi In Vitro dalam Praktek Klinik. Puspa Swara. Hal. 42.

WHO. 2010. WHO Laboratory Manual For the Examination and Processing of
Human Semen. 5th ed. Switzerland : WHO.

23

Anda mungkin juga menyukai