Anda di halaman 1dari 63

TUTORIAL KASUS 3

GLAUKOMA SUDUT TERTUTUP AKUT


SPESIAL SENSORI SISTEM (SSS)

Disusun Oleh:
Anggreani Christabella S (1610211140)
Kamila Nursyahla (1910211004)
Aisha Padma Taqia N (1910211012)
Ammara Aisyah (1910211021)
Zighri Fahroni (1910211049)
Nden Ajeng Tresnawati (1910211057)
Laksmiwati Nabila (1910211060)
Theresia Angelin Hulu (1910211092)
Rania Azaria (1910211113)
Nadila Puspita Ningrum (1910211119)
Muhammad Rizki Akbar (1910211144)

Tutor: Cut Fauziah, M.Biomed

KELAS TUTORIAL B1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
VETERAN JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan banyak karunia serta rahmatNya, sehingga makalah Tutorial Kasus
4 “Otitis Media Supuratif Kronik“ blok Spesial Sensory Sistem (SSS) Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dapat kami selesaikan.
Adapun makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas kami untuk
melaksanakan Ujian Akhir Semester. Makalah ini memuat materi kasus 3 mengenai
glaukoma sudut tertutup akut dari Overview Case, Basic Science, Clinical Science, dan
Patofisiologi beserta learning progressnya.
Demikian makalah ini kami susun. Kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses pembutan laporan ini, kami ucapkan terima kasih. Kami harap makalah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.

Penyusun

Jakarta, 20 Mei 2020


CASE 4 – OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK – SSS

DATA TUTORIAL
Tutor : Cut Fauziah, M.Biomed
Ketua : Zighri Fahroni
Ketua Kasus : Aisha Padma Taqia Nariswari
Sekretaris Layar : Nadila Puspita Ningrum
Waktu Tutorial : 1. Senin, 27 April 2020
2. Rabu, 29 April 2020
KASUS TUTORIAL
Minggu ke 3 : Ada apa dengan mataku??

Seorang laki-laki, berusia 64 tahun datang ke klinik mata dengan keluhan kedua mata merah,
sakit dan penglihatan buram sejak 3 hari yang lalu. Awalnya mata kanannya terasa sakit,
merah serta penglihatan tiba-tiba menjadi buram. Namun selama 3 hari itu ia hanya menetesi
matanya dengan tetes mata yang dibeli di warung namun tidak ada perbaikan. Pasien juga
mengeluh kepalanya terasa pusing, perut terasa mual dan disertai muntah.

Dua hari kemudian (1 hari sebelum ke klinik) mata kirinya mengalami hal yang serupa, tiba-
tiba menjadi merah, terasa sangat nyeri dan penglihatan juga menjadi buram. Pasien mengaku
nyeri di kedua matanya berkurang bila beristirahat sebentar. Ia menyangkal adanya demam.
Pasien merasa silau bila melihat cahaya dan melihat lingkaran berwarna seperti pelangi di
sekitar lampu. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat penyakit serupa sebelumnya tidak ada,
Riwayat kencing manis tidak ada, Riwayat darah tinggi tidak ada. Di keluarga tidak ada yang
mengalami keluhan sama seperti pasien. Pasien mengaku sering membeli sendiri obat tetes
mata untuk mata merah tanpa resep dokter di apotek dekat rumah.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 64 x/menit
Suhu : Afebris
Nafas : 18 x/menit

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik


THT : Tidak ditemukan kelainan
Leher : KGB tidak membesar
Thorak : Paru dan Jantung dalam batas normal
Abdomen :Perut tidak tampak membesar, hepar dan lien tidak teraba, perkusi
.timpani, bising usus normal
Ekstremitas : Perfusi baik, akral hangat
Status Opthalmologikus

Pasien di diagnosis oleh dokter Glaukoma Akut Primer bilateral. Dokter menyarankan pasien
untuk dirawat namun pasien ini menolak untuk dirawat. Pasien diberikan terapi oleh dokter
pilokarpin 2 %, asetazolamid, aspar K, asam mefenamat dan timolol maleat 0,5%. Jika mata
sudah tenang dan tekanan intraokuler turun, pasien dipersiapkan untuk iridektomi perifer.
II. MEKANISME
Laki-laki 64 tahun

KU : Kedua mata merah, sakit dan penglihatan buram sejak


3 hari yang lalu

RPS : Mata merah, penglihatan buram, nyeri berkurang bila


istirahat, mual, muntah, pusing, silau cahaya melihat pelangi
sekitar lampu

RPD : -

RPK : -

RPSos : -

RPO : Menggunakan obat tetes mata dari warung

Pemeriksaan ditemukan abnormalitas pada :

Visus : turun

Konjungtiva : Hiperemis, injeksi siliar

Kornea : keruh dan edema

Pupil : melebar, refleks cahaya menurun

Pemeriksaan funduskopi diskus optikus : tampak merah dan


bengkak

Pemeriksaan tonometry : ada kelainan tekanan intraokuler

Diagnosis : Gaukoma Akut Bilateral Sudut Tertutup

Tata Laksana :

1. Diberikan obat : Pilokarpin 2%, Asetazolamid,


Aspar K, Asam Mefenamat, Timolol Maleat 0,5%
2. Iridektomi
III. BASIC SCIENCE
A. EMBRIOLOGI
1. Komponen Embriologi

 Ektoderm Permukaan : Membentuk lensa, kelenjar lakrimal, epitel


kornea, dan kelenjar-kelenjar adneksa serta epidermis palpebral

 Crista Neuralis : Membentuk keratosit kornea, endotel kornea dan


anyaman trabekula, stroma, iris dan koroid, musculus siliaris,
fibroblas sklera, vitreus, dan meninges nervus opticus

 Ektoderm Neural : Menghasilkan vesikel optik dan cawan optik


sehingga membentuk retina dan epitel berpigmen retina dan tidak
berpigmen

 Mesoderm : Berkontribusi membentuk vitreus, otot-otot palpebral


dan ekstraokular, serta endotel vascular orbita dan ocular

2. Tahapan Embriologi

 Mata berkembang dari vesikel optic. Pada kisaran 2 minggu tepian


sulcus neuralis menebal membentuk plica neuralis. Pada usia 4
minggu plica neuralis berinvaginasi membentuk cekungan (
bagian dalam disebut vesikel optic, bagian luar disebut lempeng
lensa)
 Vesikel optic membentuk mangkuk optic, lempeng lensa
membentuk cawan optic yang kemudian mengalami
perkembangan menjadi bola berongga. Bola berongga tersebut
nantinya akan mengalami invaginasi sehingga terlepas,
membentuk bola mata.

 Pada usia 6 minggu terbentuk tangkai optic yang memiliki celah


berupa fissure opticum dari perkembangan mesenkim mesoderm.
Di dalamnya terdapat canal hyaloid yang berperan dalam
pembentukan vaskuler. Sebelum tangkai optic menutup, akan
terisi nervus opticus pada usia 7 minggu.

 Pada usia 7 minggu canal hyaloid akan mengalami


perkembangan, yang pada usia 2-8 bulan akan mengalami atrofi
sempurna.
B. HISTOLOGI
PALPEBRA
T : Tarsus C :
Konjungtiva M : M.
Orbicularis Occuli S :
Kelopak Mata TG :
Kelenjar Tarsal F :
Folikel Rambut

KELENJAR LAKRIMAL

A : Asinus Tubuloalveolar
V : Pembuluh Darah
D : Ductus Intralobularis dan Interlobularis
M : Sel Mioepitelia

KORNEA
E : Epitel Skuamosa
Berlapis Tanpa
Lapisan Tanduk

S : Stroma

EN : Endotel
BADAN SILIAR
CSJ : Limbus -> Pertemuan antara kornea dan
sklera
SVS : Sinus venosa sklera ( Kanal Schlemm)
S : Sklera
C : Konjungtiva
CM : Musculus Siliaris
CZ : Zonula Siliaris
CP : Processus Siliaris
PC : Bilik Posterior
VC : Vitreous humor
AC : Bilik Anterior
L : Lensa

LENSA
LC : Kapsul Lensa
LE : Epitel Selapis Kolumnar
IRIS
AC : Bilik Mata Anterior
PC : Bilik Mata Posterior
PE : Epitel Berpigmen
SPM : M. Sphincter Pupil
DPM : M. Dilator Pupil
P : Pupil

SKLERA, KOROID, RETINA


S : Sklera
C : Koroid
B : Membran Bruch
RETINA PARS OPTIC
PL : Epitel Berpigmen
RCL : Sel Batang dan Kerucut
OLL : Membran Limitans Eksterna
OPL : Lapisan Pleksiform Luar
INL : Lapisan Inti Dalam
IPL : Lapisan Pleksiform Dalam
GL : Lapisan Ganglion
NFL : Lapisan Saraf
ILL : Membran Limitans Interna

C. ANATOMI
1. ANATOMI BULBUS OCULI
TUNIKA FIBROSA
 Sklera : Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan
kornea merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata.
 Kornea : selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata
sebelah depan.
 Camera Oculli Anterior (COA) : ruang yang berada diantara
kornea dan iris yang berisi cairan berna aqueous humor
TUNIKA VASKULOSA
 Badan siliaris : struktur melingkar yang menonjol ke dalam
mata. Menjembatani kamera oculli anterior dan kamera oculli
posterior, dan berjalan dari taji sklera sampai ke ora serrata.
Berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor bersama dengan
processus siliaris. Terdiri dari :
 M. Siliaris
 Procesuss siliaris
o Koroid : lapisan yang paling banyak mengandung pembuluh
darah dan sel-sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam.
Fungsi : Berpigmen untuk mencegah pembuyaran berkas sinar
di mata. Mengandung pembuluh darah yang memeri makan
retina.
o Iris : permukaan pipih dengan aperture bulat yang terletak
ditengah pupil. Fungsi utama iris : mengendalikan cahaya yang
masuk ke dalam mata. Didalam stroma iris terdapat :
 Spichinter pupillae : kontriksi/memperkecil celah pupil
 Dilator pupillae : dilatasi/memperbesar celah pupil
TUNIKA NERVOSA
 Retina : merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan
koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan:
 Epitel Pigmen Retina, lapisan paling luar dari retina
yang bersingungan dengan koroid
 Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri
atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan
sel kerucut.
 Membran limitan eksterna yang merupakan membrane
ilusi
 Lapisan nucleus luar merupakan susunan lapis nukleus
sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular
dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.
 Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan
merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel
bipolar dan sel horizontal
 Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar,
sel horizontal dan sel Muller Lapis ini mendapat
metabolisme dari arteri retina sentral
 Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular
merupakan tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin
dengan sel ganglion
 Lapisan sel ganglion yang merupakan lapis badan sel
daripada neuron kedua.
 Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion
menuju ke arah saraf optik: Di dalam lapisan-lapisan ini
terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
 Membran limitan interna, merupakan membran hialin
antara retina dan badan kaca.
SEGMEN MATA : ANTERIOR DAN POSTERIOR
Cairan aqueous humor membawa nutrien bagi kornea dan lensa yang
avaskular.
1. Dihasilkan dengan kecepatan 5mL/hari oleh prosessus silia dalam badan
siliaris.
2. Cairan akan menuju Camera Oculi Posterior (COP).
3. Menuju COA melewati pupil.
4. Masuk ke trabekula meshwork dengan 3 lap. (corneoscleral, uveal, dan
juxtacanalicular).
5. M
e
n
u
j
u

s
i
n
u
s vena sklera (SVS/kanal Schlemm) dan masuk ke darah.
OPTHALMICA
 Arteria lacrimalis : menyuplai glandula lacrimalis, musculii
ciliaris anterior, lateral palpebra
 Arteria centralis retinae : sumbatan pemb. Darah
menyebabkan kebutaan
 Arteria ciliares posterior longae & breves : menyuplai
struktur dalam bulbus oculi
 Arteria supraorbitalis : menyuplai regio frontalis dan scalp
 Arteria ethmoidalis post. : menyuplai cellulae ethmoidales
dan cavitas nasi
 Arteria ethmoidalis anterior : menyuplai septum dan dinding
lateral
 Arteria palpebrae mediales : menyuplai medial palpebra
superior dan inferior
 Arteria dorsalis nasi : menyuplai permukaan atas hidung
 Arteria supratrochlearis : menyuplai dahi
2. NERVUS OPTHALMICUS
 NERVUS LACRIMALIS
Cabang terkecil
Serabut parasympathicum dan sympathicum untuk distribusi ke gl.
lakrimalis
 NERVUS FRONTALIS
Cabang terbesar
Terbagi menjadi 2 cabang : nervus supratrochlearis dan supraorbitalis
 NERVUS NASOCILIARIS
Terbagi menjadi : nervi ciliares longi, nervus ethmoidales post., nervus
infratrochlearis, dan
nervus ethmoidalis
anterior

D. FISIOLOGI
1. Refraksi
Refraksi mata adalah perubahan jalannya cahaya yang diakibatkan oleh media
refrakta mata. Refraksi dibutuhkan agar berkas sinar cahaya dapat terfokuskan ke
retina. Refraksi terjadi ketika berkas berpindah dari suatu medium yang mempunyai
kepadatan berbeda. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan densitas
yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat.
2. Media Refraksi
Alat-alat refraksi mata (media refraksi) terdiri dari permukaan kornea, aqueous
humor, permukaan anterior dan posterior lensa, serta vitreous humor.

- Kornea: struktur pertama yang dilewati oleh sinar, berperan paling besar dalam
kemmapuan refraktif total mata
- Aqueous humor: menjaga tekanan intraocular, menyediakan nutrisi untuk kornea
yang avaskular dan lensa
- Lensa: memfokuskan cahaya ke retina, berakomodasi untuk menyesuaikan
kekuatan lensa
- Vitreous humor: refraksi dari cahaya konvergen (menyebarkan melalui vitreous ke
arah retina)

3. Aqueous Humor
Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan.
Fungsi dari aqueous humor adalah mempertahankan tekanan intraokuli, menyediakan
zat-zat (glukosa, oksigen, dan elektrolit) untuk keperluan metabolik pada kornea yang
avaskular dan lensa, dan mengekskresikan hasil-hasil atau produk metabolik (laktat,
piruvat, dan karbondioksida).

 Pembentukan aqueous humor:


Aqueous humor dibuat oleh corpus cilaris dengan cara difusi dan transpor aktif
mengalir melalui pupil utk mengisi ruang anterior bola mata. Aqueous humor
direabsorpsi oleh Canal of Schlemm yaitu vena - vena antara iris dan cornea.
Aqueous humor diproduksi dengan kecepatan 2-3 mikroliter/menit dan
mengisi COA sebanyak 250 mikroliter serta COP sebanyak 60 mikroliter.
 Aliran keluar aqueous humor

4. Tekanan Intraokular
Tekanan intraokular adalah suatu tekanan pada bola mata yang diakibatkan
dari adanya kecepatan produksi aqueous humor, tahanan terhadap aliran keluarnya
dari mata, dan tekanan vena episklera. TIO merupakan parameter penting dalam
diagnosis dan tindak lanjut glaukoma.
IV. CLINICAL SCIENCE

GLAUKOMA AKUT PRIMER BILATERAL

A. DEFINISI
Berasal dari kata Yunani “Glaukos” = hijau kebiruan, yg memberikan kesan warna tsb
pada pupil penderita glaukoma.
●Glaukoma = neuropati optik kronik yg ditandai oleh pencekungan diskus optikus
dan pengecilan lapang pandang
●Biasanya disertai peningkatan tekanan intraokular

B. ETIOLOGI
Etiologi secara Umum :
-Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliaris
-Berkurangnya pengeluaran cairan mata didaerah sudut bilik mata atau celah pupil

C. EPIDEMIOLOGI
●Merupakan penyakit kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak
●Di indonesia, 3% menderita glaukoma
●Biasanya pada umur >40tahun
●Hampir seluruh penderita tidak menyadari bahwa mereka glaukoma

D. FAKTOR RESIKO
●Terdapat riwayat glaukoma dalam keluarga
●Terdapat penyakit hipertensi
●Terdapat penyakit diabetes melitus
●Pengobatan dengan steroid lama
●Tekanan intraokuler tinggi
●Miopia
●Usia diatas 40th

E. KLASIFIKASI
1. Glaukoma Primer
Etiologinya tidak pasti, namun diduga faktor genetik berperan didalamnya.
2. Glaukoma Sekunder
Peningkatan tekanan intraokular terjadi sebagai manifestasi dari penyakit mata
lain
3. Glaukoma Kongenital
4. Glaukoma Absolut
F. INTERPRETASI KASUS
Seorang Laki-laki berusia 64 tahun datang ke klinik dengan,
●KU:Kedua mata merah,sakit dan penglihatan buram sejak 3 hari lalu.
●RPS:
➢Kepala terasa pusing,mual dan menyebabkan muntah
➢Merasa silau dan melihat lingkaran seperti pelangi pada lampu
●RPD:Tidak memiliki riwayat trauma, Tidak memiliki riwayat kencing manis dan
darah tinggi pasien, pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik.
●RPK : Keluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama
●RPO: Pasien mengaku sering membeli sendiri obat tetes mata untuk mata merah
tanpa resep dokter di apotek dekat rumah.

1. HIPOTESIS
●1. Glaukoma Sudut Tertutup Akut
●2. Keratitis
●3. Uveitis
●4. Endoftalmitis

2. PEMERIKSAAN FISIK
3. STATUS OPTHALMOLOGIKUS

4. DIAGNOSIS AKHIR
●Glaukoma Sudut Tertutup Akut
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan lainnya, ditemukan gejala mata merah,
penglihatan buram, nyeri, dapat melihat lingkaran pelangi pada cahaya lampu,
yang mana tanda-tanda pemeriksaan opthalmologi yaitu visus turun, COA
dangkal dan pada tonometri dimana mata kanan dan kiri memiliki nilai >24
mmHg yang menandakan pasti terjadinya Glaukoma
G. PATOFISIOLOGI
H. KOMPLIKASI
 Sinekia anterior : Apabila terapi tertunda, iris perifer dapat melekat ke jalinan
trabekular (sinekiaanterior), sehingga menimbulkan sumbatan ireversibel
sudut kamera anterior dan menghambat aliran aqueous humor keluar.
 Kerusakan saraf optikus : Bola mata normal memiliki kisaran tekanan antara
10- 20 mmHg sedangkan penderita glaukoma memiliki tekanan mata yang
lebih dari normal bahkan terkadang dapat mencapai 50– 60 mmHg pada
keadaan akut.
 Kebutaan : Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan semakin
rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadi
kebutaan.
I. TATA LAKSANA
1. Pilokarpin 2% tetes mata
 Termasuk obat kolinergik (obat yang kerjanya serupa rangsang saraf
parasimpatis).
 Pilokarpin termasuk golongan alkaloid tumbuhan ataupun alkaloid muskarinik
kerja-langsung.
 Mekanisme Kerja:
 Agonis penuh pada reseptor muskarinik dan Agonis parsial pada reseptor
nikotinik
 Efek:
 Mengaktifkan reseptor M, sampai M3 di semua jaringan perifer
 Pemberian pada penderita kecurigaan kadar kalium rendah akibat
sistemik diuretik lain dandigoksin harus hati-hati
 Indikasi:
 Hanya Pilokarpin HCL/Pilokarpin Nitrat yang digunakan sebagai
obat tetes mata dengan kadar 0,5% -3%
 Dosis: 1 tetes sampai enam kali sehari; kira-kira sepanjang 1/2 inci gel
dimasukkan dalam cul-de-sac konjungtiva inferior sebelum tidur.
 Stimulan muskarinik dan inhibitor kolinesterase mengurangi TIO
 Agonis muskarinik yang diteteskan ke dalam kantong konjungtiva -> kontraksi
otot polos sfingter iris (menyebabkan miosis) dan otot siliaris (menyebabkan
akomodasi) -> iris tertarik menjauhi sudut kamera anterior -> anyaman
trabekular di pangkal otot siliaris membuka -> mempermudah mengalirnya
keluar aqueous humor melalui kanalis Schlemm -> drainase kamera anterior
 Penggunaannya tidak efektif pada serangan yang sudah lebih dari 1-2 jam. Hal
ini karena muskulus sfingter pupil sudah mengalami iskemik sehingga tidak
dapat berespon terhadap pilokarpin.

2. Asetazolamid
 Asetazolamid adalah suatu diuretik yang efek utamanya adalah karbonat
anhidrase inhibitor.
 Mekanisme Kerja:
o Mengurangi sekresi aqueous humor karena tidak adanya HCOȝ
o Inhibisis dehidrasi H2CO3 dan hidrasi CO3 di tubulus kontortus proksimal
o Efek:
o Mengurangi reabsorpsi HCO3-, menimbulkan diuresis swasirna , asidosis
metabolik hiperkloremik mengurangi pH tubuh, menurunkan tekanan
intraokuler.
o Efek sampingnya adalah hipokalemia yang berakibat tetani, mengantuk,
parastesia, batu ginjal, depresi pada orangtua. Sehingga diberikan suplemen
aspar K untuk menghindari hipokalemi
 Tersedia dalam:
o Oral: Tablet 125 mg dan 250mg
o Parenteral: Bubuk 500mg untuk injeksi
 Dosis dapat diberikan ampul 500 mg intramuskular atau intravena untuk
waktu singkat bila pasien tidak bisa menerima per oral
 Dalam cairan bola mata banyak enzim karbonik anhidrase dan bikarbonat.
Pemberian asetazolamid oral maupun parenteral, mengurangi pembentukan
cairan bola mata disertai penurunan tekanan intraokuler sehingga
asetazolamid berguna dalam pengobatan glaukoma. Efek ini mungkin
disebabkan oleh penghambatan terhadap karbonik anhidrase.
 Efek ini berguna dalam penanganan glaukoma, yang menyebabkannya
menjadi indikasi tersering pemakaian inhibitor karbonat anhidrase.
 Tersedia obat topikal yang mengurangi tekanan intraokuler tanpa
menimbulkan efek pada ginjal atau sistemik (dorzolamid, brinzolamid).

3. Aspar-K
 Aspar-K termasuk obat yang mengandung kalium l-aspatate sebagai bahan
aktif yang biasa digunakan untuk mengatasi hipokalemia.
 Digunakan untuk membantu meningkatkan kadar ion kalium dalam darah
yang kurang / hipokalemia.
 Tersedia dalam:
o Oral: Tablet 300mg

4. Asam mefenamat
 Merupakan OAINS/NSAID
 Bersifat sebagai antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik
 Mekanisme Kerja: Inhibitor pada COX-1 dan COX-2 (Non Selektif)
 Efek:
o Terikat sangat kuat pada protein plasma dengan demikian interaksi
terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan
o Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia
dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.
 Tersedia dalam:
o Oral: Tablet 250mg
5. Timolol maleat 0,5%
 Termasuk obat antagonis adrenoreseptor β (β blocker) dan Timolol sendiri
menghambat pada reseptor β1 dan β2.
 Mekanisme Kerja: Mengurangi sekresi aqueous humor dari epitel silia
 Efek: Obat ini memiliki efek hipotensi okulus yang sangat baik jika diberikan
secara topikal ke mata.
 Dosis: 1 tetes larutan 0,25% atau 0,5% di setiap mata, satu atau dua kali sehari
bila perlu. Satu tetes gel sekali sehari.
 Tersedia dalam tablet 5mg dan 20 mg: Tetes mata 0,25% dan 0,5%
 Timolol topikal elektif untuk pengobatan glaukoma.
 β bloker mengurangi tekanan intraokuler, dengan mengurangi produksi
aqueous humor oleh badan siliaris. Lamanya efek lebih dari 7 jam.
 Absorpsi sistemik dapat terjadi dan menimbulkan perlambatan denyut jantung.
Oleh karena itu sediaan ini harus digunakan dengan hati-hati pada penderita
asma, blok jantung atau gagal jantung.
 Timolol lebih disukai dibanding pilokarpin oleh penderita karena tidak
menimbulkan miosis maupun spasme akomodasi sehingga tidak mengganggu
penglihatan.

6. Iridektomi Perifer
 Jika tekanan intraokulus telah terkontrol dan bahaya kehilangan penglihatan
telah lewat, pasien dapat dipersiapkan untuk bedah korektif (iridektomi).
 Definisi: Pemotongan sebagian iris sehingga terbentuk lubang yang
menghubungkan Bilik Mata Belakang dan Bilik Mata Depan
 Jenis:
i. Laser
ii. Operatif

7. Non-farmakologi (Edukasi)
 Emosi (bingung dan takut) dapat menimbulkan serangan akut
 Membaca dekat yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan
menimbulkan serangan pada glaukoma dengan blok pupil
 Pemakaian simpatomimetik yang melebar pupil berbahaya
J. PROGNOSIS
Prognosis baik apabila glaukoma akut cepat terdeteksi dan mendapat terapi yang
sesegera mungkin. Sering diagnosa dibuat pada stadium lanjut, dimana lapangan
pandang telah hilang secara progresif, iris menjadi atrofi dan midriasis pupil telah
menetap. Penanganan episode akut yang terlambat akan menyebabkan sinekia sudut
tertutup permanen dan bahkan menyebabkan kebutaan permanen dalam 2-3 hari.

V. DIAGNOSIS BANDING
A. KERATITIS
1. DEFINISI
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Biasanya diklasifikasian
menjadi keratitis superfisial dan keratitis profunda atau interstisial
2. ETIOLOGI
- Infeksi : karena mikroorganisme
- Non infeksi : karena proses autoimun
3. EPIDEMIOLOGI
- Penyebab kebutaan ke 5 di dunia (WHO)
- Di negara berkembang, insidesi berkisar 5,9-20,7 per 100.000 orang
tiap tahun.
4. FAKTOR PREDISPOSISI
- Pemakaian kontak lensa
- Kontaminasi obat tetes
- Imunocompremised
- Trauma mata
5. GEJALA KLINIS
- Mata merah
- Nyeri
- Fotofobi
- Gangguan penglihatan
- Hiperlakrimasi

6. KLASIFIKASI
- Lokasi : superfisial dan profunda
- Etiologi : infeksi (bakteri, virus, jamur) dan non infeksi
7. DIAGNOSIS
- Anamnesis :
Riwayat trauma
Riwayat penyakit kornea
Riwayat penyakit autoimun
Obat kortikosteroid dalam jangka waktu lama
- Px Fisik :
Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan Struktur mata (slit lamp)
Sensibilitas kornea
- Px Penunjang :
Kultur bakteri
Kerokan kornea + KOH
Kerokan dari lesi epitel
8. TATA LAKSANA
- Bakteri : antibiotic spektrum luas
- Virus : Debridement epithelial, Acyclovir oral 800mg, dan Terapi
bedah
- Jamur : Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml
B. UVEITIS
1. Definisi

Uveitis adalah peradangan pada uvea. Istilah uveitis menunjukkan suatu peradangan
pada iris (iritis, iridosiklitis), badan siliar (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau
pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun dalam prakteknya, istilah ini turut
mencakup peradangan pada retina (retinitis), pembuluh-pembuluh retina (vaskulitis retina)
dan nervus optikus intraocular (papilitis). Uveitis juga dapat melibatkan kornea
(keratouveitis) atau sclera (sclerouveitis).

2. Epidemiologi

Uveitis biasanya terjadi pada umur 20-50 tahun dan menyumbang 10-20% kasus
kebutaan. Uveitis umumnya terjadi di negara berkembang daripada di negara-negara maju,
hal ini terjadi karena sebagian besar prevalensi yang lebih besar dari infeksi yang dapat
mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan TBC (Eva, Whitcher, 2007). Sebagian
besar pasien uveitis menunjukkan variasi dalam hal prevalensi relatif berbagai bentuk
uveitis. Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis intermediate 5-15 %, uveitis
posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff, 2009).

3. Etiologi
1. Uveitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sarkoidosis.
2. Infeksi; bakteri ( Tuberkulosa, Sifilis ), jamur ( Kandidiasis ), virus ( Herpes
simpleks,Herpes Zoster,Cytomegalovirus,Penyakit Koyanagi-Harada,Sindrom Behcet ).
3. Parasit: protozoa dan nematoda (Toksoplasma , Toksokara )
4. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis,oftalmia Simpatika, AIDS
5. Penyakit sistemik : penyakit kolagen, arthritis rheumatoid,sklerosis
multiple,sarkoidosis,penyakit vaskuler
6. Neoplastik : limfoma, sarcoma sel reticulum
4. Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan.
Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan
ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan
pupil kecil serta ireguler. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis:
uveitis non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa
merupakan peradangan pada iris dan korpus siliaris, ditandai dengan adanya infiltrat sel-sel
limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis yang
terjadi karena mekanisme alergi merupakan hasil reaksi hipersensitivitas terhadap antigen
dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen).

Iris, badan siliar, dan koroid memiliki peranan tersendiri. Badan siliar memproduksi
cariran aqous humor untuk memberi nutrisi pada lensa dan kornea. Radang iris dan badan
siliar menyebabkan blood aqueous barrier rusak sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin,
dan sel-sel radang dalam humor aquos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini
tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek Tyndall).
Peradangan pada iris dan badan siliar, menimbulkan hiperemi yang aktif, pembuluh darah
melebar, dan peningkatan pembentukan cairan bertambah. Pelebaran pembuluh darah diikuti
dengan eksudasi, sehingga menyebabkan jaringan iris edema, pucat dan reflex menjadi
lambat sampai terhenti sama sekali. Eksudasi fibrin dan sel radang masuk ke bilik mata
depan, maka aqous humor menjadi keruh dinamakan flare dan sel positif. Bila sel radang
menggumpal dan mengendap di bagian bawah BMD dinamakan hipopion, dan bila
mengendap di endotel kornea dinamakan keratik presipitat. Pada proses peradangan yang
lebih akut, dapat dijumpai hipopion, ataupun hifema (migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal
dengan). Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe
nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules.

Pada sudut BMD cairan aquos humor melalui trabekula masuk ke dalam kanalis
Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih
seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Apabila sel
radang dan fibrin menyumbat sudut BMD, maka aliran keluarnya cairan aquous humor
terhambat kemudian terjadilah glaukoma sekunder. Glaukoma juga bisa terjadi akibat
trabekula yang meradang atau sakit.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan
kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan
endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan
fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian
tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan
tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik
mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor menumpuk di bilik mata belakang
dan akan mendorong iris ke depan sehingga tampak sebagai iris bombe kemudian sudut
kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan
iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur.

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan
terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan
kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka
metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah
lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak
sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang
disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.
Bagan Patofisiologi Uveitis :

Radang akut uvea

Dilatasi pembuluh darah kecil Eksudasi

Eksudasi fibrin dan sel


Edema iris, pucat dan reflex
radang masuk BMD
melambat

Aquos humor keruh (flare and sel)

Busacca nodules

hifema

Koeppe nodules
Hipopion

Keratik presipitat
Sinekia anterior dan
posterior

Seklusi pupil

Iris bombe dan


irregular

Glaucoma sekunder

Katarak
5. Klasifikasi Uveitis
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, etiologis, perjalanan penyakit dan ada tidaknya abses.
1. Klasifikasi anatomis
a. Uveitis anterior
Uveitis anterior adalah peradangan intraocular pada iris dan badan siliaris.
Menurut kriteria the Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) uveitis
anterior diklasifikasikan berdasarkan durasinya, yaitu uveitis anterior akut, uveitis
anterior berulang dengan episode berulang yang dipisahkan oleh periode tidak aktif
tanpa pengobatan ≥ tiga bulan, dan uveitis kronis yang berlanjut dan kambuh dalam
waktu kurang dari tiga bulan setelah penghentian pengobatan. Berdasarkan etiologi
uveitis anterior diklasifikasikan sebagai infeksi (seperti Sifilis, tuberculosis, lepra,
herpes simplek, onkosersiasis), autoimun, keganasan, post trauma, idiopatik, dan
lain-lain.
b) Uveitis intermediet
Uveitis intermediet inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer.
Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis adalah jenis
peradangan intraokuler terbanyak kedua. Uveitis intermediet khasnya bilateral dan
cenderung mengenai pasien pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih
banyak yang terkena dibandingkan wanita. Penyebab uveitis intermediet tidak
diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan sklerosis multipel
berperan pada 10-20% kasus; sifilis dan tuberkulosis (walaupun jarang) harus
disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien. Komplikasi uveitis intermdiet
yang tersering meliputi edema macula kistoid, vaskulitis retina, dan neovaskularisasi
pada diskus optikus.
c) Uveitis posterior
Uveitis posterior terditi dari retinitis, koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis
yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Di seluruh bagian dunia, penyebab
retinitis yang umum pada pasien-pasien imunokompeten adalah toksoplasmosis,
sifilis, dan penyakit Behcet; penyebab koroiditis tersering adalah sarkoidosis,
tuberculosis dan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis
optik) dapat disebabkan oleh salah satu dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi
sklerosis multipel perlu dicurigai, khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah
dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain :
limfoma intraokuler, sindrom nekrosis retina akut, oftalmia simpatika, dan sindrom
“titik putih” seperti multiple evanescent white dot syndrome (MEWDS) atau
epiteliopati plakoid posterior multifocal akut (AMPPE).
Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa gejala.
Penyakit pada segmen posterior mata yang cenderung menimbulkan kebutaan
mendadak yaitu retinokoriditis toksoplasmik, sindrom nekrosis retina akut, dan
endoftalmitis bacterial. Kebanyakan penyebab uveitis posterior lainnya mempunyai
onset yang lebih samar.
d) Panuveitis
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti
retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH, oftalmia
simpatika, penyakit Behcet, dan sarkoidosis. Diagnosis panuveitis ditegakkan bila
terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior.

Gambar 2.5 Klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi

2. Klasifikasi etiologis
a. Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar tubuh
b. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
- Infeksi, yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus (herpes
zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm (toksokariasis)
- Uveitis spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari bentuk lain
(sindrom uveitis Fuch)
- Uveitis non-spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam
kelompok di atas.
3. Klasifikasi berdasarkan perjalanan penyakit
Inflamasi dibagi kepada fase akut dan fase kronik. Fase akut dimodulasi oleh
mediator kimiawi seperti histamin, serotonin, kinin, plasmin, komplemen, leukotriene
dan prostaglandin. Yang pertama dari fase akut dimediasi oleh histamin dan serotonin
yang menyebabkan otot berkontraksi dan berlokalisasi, permeabilitas vaskular
meningkat dan terjadi ekstravasasi cairan dan leukosit keluar dari pembuluh darah. Fase
kedua respon inflamasi akut dimediasi oleh kinin,prostaglandin dan leukotriene.
Prostaglandin yang ada di iris bersifat antagonis dengan substansia vasokonstriktor dan
memblok aktifitas epinefrin dengan menginhibisi adenilsiklase. Selain itu, ia juga
memecahkan Blood Aquous Barrier, lalu menyebabkan peningkatan aliran darah di
mata dan meningkatkan tekanan intraokular.
Pada fase kronik inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu granulomatosa atau
nongranulomatosa.
a. Uveitis akut ; gejala klinik yang terjadi secara mendadak dan menetap sampai tiga
bulan
b. Uveitis kronik : Uveitis yang menetap hingga lebih dari tiga bulan dan bersifat
asimtomatik, dengan relaps dibawah tiga bulan setelah terapi dihentikan.
c. Uveitis rekurens : Episodenya berulang dengan periode inaktivasi tanpa terapi lebih
dari tiga bulan.
1. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya abses :
a. Purulen
Endoftalmitis, panoftalmitis
b. Non-purulen
1) Non granulomatous
Infiltrat dominan sel plasma dan limfosit pada koroid
2) Granulomatous
Infiltrat dominan sel epiteloid dan makrofag pada koroid
G. Gejala klinis
1. Uveitis anterior
Bentuk yang paling umum dan biasanya unilateral dengan onset akut. Gejala yang khas
meliputi nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, sakit kepala dan lakrimasi.
a. Gejala subyektif
1) Nyeri
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar
bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi nyeri bola mata,
daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri
tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita,
sehingga sulit menentukan derajat nyeri.
2) Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif
terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi
berhubungan erat dengan fotofobia.
3) Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang timbul,
tergantung penyebab, seperti: pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan
badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin dan bisa juga disebabkan oleh
kekeruhan lensa, badan kaca, dan kalsifikasi kornea.

b. Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila
diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1) Hiperemi
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna
ungu( kemerahan sirkumkorneal) merupakan tanda patognomonik dan gejala dini.
Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai pembuluh darah konjungtiva ( injeksi
konjungtiva ) dan sekret yang minimal
2) Perubahan kornea
Keratik presipitat terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata depan
pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya berat dan perbedaan
potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan
juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Baru dan lama : baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih
jernih.
Jenis sel : lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan.
Limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas
tegas, putih. Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis
membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat atau granulomatosa.
Jika kecil dikenal dengan non granulomatosa atau stellata.
Jumlah sel : halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
Keratik presipitat granulomatosa atau non granulomatosa biasanya terdapat di
sebelah inferior, di daerah berbentuk baji yang dikenal sebagai segitiga Arlt.
Sebaliknya keratik presipitat stellate biasanya tersebar rata di seluruh endotel kornea
dan dapat dilihat pada uveitis akibat virus herpes simpleks, herpes
zoster,toksoplasmosis, iridosiklitis heterokromik Fuch, dan sarkoidosis.
3) Kelainan kornea :
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis,
lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan
kornea. Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet
dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan
vesikel pada epitel kornea.
4) Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar
protein, sel, dan fibrin.
5) Iris
a) Hiperemi iris
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak
terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan
dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan
abnormal.
b) Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat
peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat
disertai nyeri.
c) Nodul Koeppe
Penimbunan sel terlokalisasi di pinggir pupil, banyak, menimbul bundar, ukuran
kecil, jernih, warna putih keabuan.
d) Nodul Busacca
Terlihat sebagai benjolan putih pada permukaan depan iris akibat penumpukan
sel. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
e) Nodul Berlin
Tumpukan sel radang pada bilik mata depan
f) Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris
merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis,
lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat
hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi
dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses
hialinisasi dan atrofi jaringan.
g) Sinekia iris
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan.
Sinekia posterior : perlekatan iris dengan kapsul lensa bagian anterior
Sinekia anterior : perlekatan iris dengan endotel kornea
h) Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membra radang pada
pinggir pupil.
a) Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang. Atrofi iris
dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut
disebabkan olch virus, terutama
herpetik.
b) Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata
dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti
pada epitel kornea.
6) Perubahan pada lensa
a) Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada
kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih
keabuan, bulat, menimbul tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa.
b) Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa
menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas. Sinekia posterior yang
menyerupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
c) Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan
proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas
kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya
penyakit.
7) Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa
kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau
bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit, plasma dan makrofag.
8) Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis hipotoni, normal atau hipertoni. Hipotoni timbul
karena sekresi badan siliar berkurang akibat peradangan. Normotensi
menunjukkan berkurangnya peradangan dan perbaikan bilik depan mata.
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut
iridokornea oleh sel radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan
trabekula.

2. Uveitis Intermediet
Disebut siklitis, uveitis perifer atau parsplanitis adalah jenis peradangan intraocular
terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet terpenting adalah adanya peradangan
vitreus. Uveitis intermediet khasnya bilateral dan cenderung mengenai pasien pada
remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak terkena dibanding wanita.
a. Gejala subjektif
Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang kabur dan
floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia.
b. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan yang paling mencolok adalah vitritis seringkali disertai dengan
kondensat vitreus, yang melayang bebas seperti bola salju (snowballs) atau
menyelimuti pars plana dan korpus siliaris seperti gundukan salju ( snowbanking ).
Peradangan bilik mata depan mungkin
hanya minimal tetapi jika sangat jelas , peradangan ini lebih tepat disebut uveitis difus
atau panuveitis.
Penyebab uveitis intermediet tidak diketahui pada sebagian besar pasien , tetapi
sarkoidosis dan sklerosis multiple berperan pada 10-20% kasus ; sifilis dan tuberkulosis
(walaupun jarang) harus disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien.
Komplikasi uveitis intermediet yang tersering meliputi edema makula kistoid,vaskulitis
retina, dan neovaskularisasi pada diskus optik.

3. Uveitis posterior
Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis,koroiditis, vaskulitis retina
dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Gejala yang timbul
umumnya berupa floaters, kehilangan lapang pandang atau scotoma atau penurunan
tajam penglihatan yang mungkin parah. Ablasio retina walaupun jarang paling sering
terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bias traksional,regmatogenosa atau eksudatif.
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat “lalat
berterbangan” atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari ringan sampai berat
yaitu apabila koroiditis mengenai daerah macula. Pada umumnya segmen anterior
bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga sering kali proses
uveitis posterior tidak disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau koroiditis tanpa kompikasi.
Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinokoroiditis, hal yang
sama terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi
yang baru didapatkan tepi lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat
disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathing pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan
disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau koroid. Pada lesi yang
lebih lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana
yang lebih dahulu terkena.

4. Uveitis Difus
Istilah “uveitis difus” menunjukkan suatu kondisi terdapatnya infiltrasi selular
yang kurang lebih merata di segmen anterior maupun posterior. Gambaran yang khas,
berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis, bisa ditemukan dan sering kali memerlukan
tes diagnostic lanjutan. Infeksi tuberkulosis, sarkoidosis, dan sifilis harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien uveitis difus. Penyebab yang lebih jarang antara
lain oftalmia simpatika, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sindrom Behcet,
retinokoroiditis bird-shot dan limfoma intraocular.
Gejala yang timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapang pandang atau
scotoma, atau penurunan tajam penglihatan, yang mungkin parah. Ablasio retina,
walaupun jarang paling sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional,
regmatogenesa atau eksudatif.

H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan pada pasien uveitis ringan dan
pasien dengan riwayat trauma atau pembedahan baru-baru ini atau dengan tanda-tanda
infeksi virus herpes simpleks atau herpes zoster yang jelas. Di lain pihak, pemeriksaan
sebaiknya ditunda pada pasien usia muda hingga pertengahan yang sehat dan
asimptomatik yang mengalami episode pertama iritis atau iridosiklitis unilateral akut
ringan sampai sedang yang cepat berespons terhadap pengobatan kortikosteroid topikal
dan sikloplegik.
Pasien uveitis difus, posterior atau intermediet dengan kelainan granulomatosa,
bilateral,berat dan rekurens harus diperiksa sebagaimana setiap pasien uveitis yang tidak
cepat merespons pada pengobatan standar.
Pemeriksaan sifilis harus mencakup Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) atau
rapid plasma regain (RPR), dan uji antibody anti-Treponema yang lebih spesifik.
Kemungkinan tuberkulosis dan sarkoidosis harus disingkirkan dengan pemeriksaan sinar
X dada dan uji kulit dan konrol untuk anergi seperti campak dan kandida. juga bisa
dilakukan pemeriksaan ANA test untuk menyingkirkan SLE.
Pemeriksaan lain yang boleh dilakukan untuk menegakkan diagnosis antara lain :

1. Flouresence Angiografi ( FA )
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan
komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk intraokular
maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah
edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina,
nervus optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan
retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan
pemeriksaan laboratorium lainnya.

I. Diagnosis banding
Mata merah dengan penurunan tajam penglihatan memiliki diagnosis differensial yang
sangat luas. diantaranya :
1. Konjungtivitis
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, terdapat sekret dan
umumnya tidak disertai rasa sakit, fotofobia atau injeksi silier
2. Keratitis/ keratokonjungtivitis
Penglihatan dapat kabur pada keratitis, ada rasa sakit serta fotofobia. Dibedakan dengan
adanya pewarnaan atau defek pada epitel atau adanya penebalan atau infiltrat pada
stroma
3. Glaukoma akut sudut tertutup
Terdapat pupil yang melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya edema dan
beruap/keruh, tekanan intraokular juga meningkat dan sudut bilik mata depan sempit.
4. Neoplasma
Large-cell lymphoma, retinoblastoma, leukemia dan melanoma maligna bisa
terdiagnosa sebagai uveitis.
J. Komplikasi
1. Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)
Pada uveitis anterior dapat terjadi Sinekia anterior dan posterior. Keduanya bisa
menghambat aliran aqous humor. Sinekia posterior menghambat aliran aquos humor
dari bilik posterior ke bilik anterior. Penupukan cairan ini bersama-sama dengan sel
radang mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor, dan terbentuknya
seklusi pupil serta iris bombe sehingga terjadi glaukoma sekunder sudut tertutup. Untuk
mencegahnya dapat diberikan sikloplegik dan kortikosteroid.
2. Katarak
Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan
penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan gangguan
metabolisme lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi katarak pada mata yang
uveitis lebih kompleks lebih sering menimbulkan komplikasi post operasi jika tidak
dikelola dengan baik. Sehingga dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan
post operasi. Operasi dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi. Penelitian
menunjukkan bahwa phaekoemulsifikasi dengan penanaman IOL pada bilik posterior
dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata
dengan uveitis.
Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini tergantung pada
penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic iridocyclitis operasi berjalan
baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan pada tipe lain (idiopatik, pars planitis,
uveitis associated with sarcoidosis, HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo
arthopathies) menimbulkan masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan
hasil yang baik.
3. Ablasio retina
Jarang terjadi, terjadi akibat dari tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.
4. Neovaskularisasi
5. Komplikasi karena pengobatan
Pengobatan uveitis biasanya dengan kortikosteroid yang dalam waktu jangka lama
dapat menyebabkan timbulnya katarak maupun glaukoma, dan pemberian sistemik juga
dapat menyebabkan fullmoonface, hipertensi, reaksi pada kulit, dan steoforosis. Obat
obat sikloplegik melemahkan akomodasi dan sangan mengganggu saat usia diatas 45
tahun.

K. Penatalaksanaan

1. Penatalaknasaan Diagnosis
Penatalaksanaan secara diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium sesuai
keluhan pasien.
2. Penatalaknasaan Supportif
Terapi uveitis merupakan terapi suportif, seperti kaca mata hitam untuk mengurangi
fotofobia terutama akibat pemberian midriatikum, kompres hangat untuk mengurangi
rasa nyeri sekaligus meningkatkan aliran darah sehingga reabsorbsi sel-sel radang lebih
cepat, steroid dan sikloplegik. Umumnya kortikosteroid dan agen midriatik/sikloplegik
digunakan sebagi terapi utama pada uveitis.
a. Kortikosteroid
Digunakan untuk peradangan anterior
Kontra indikasi pemberian pada pasien dengan defek kornea, trauma tembus, uji
sensibilitas kornea negatif (karena herpes simplek dan herpes zoster) dan TIO
meningkat
Komplikasi : katarak dan glaucoma
Contoh obat : Prednisolon acetat 1%, diberikan 1-2 tetes setiap 1 atau 2 jam
Nama dagang: P-PRED ED MD, Vasama ED MD, Cendo Methasone ED MD, dll.
b. Agen midriatik/Sikloplegik
Untuk menurunkan daya akomodasi, menghambat sinekia, dan menurunkan rasa
tidak nyaman akibat spasme siliaris.
Contoh obat: Homatropin 2-5%, 2-4 kali sehari
Nama dagang: Cendo Tropine ED MD, Homatro ED MD, Scopola ED MD, dll.

Untuk peradangan non infeksi intermediet, posterior, dan difus berespon baik
terhadap penyuntikan triamcinolone acetonide sub-Tenon, biasanya 1 mL (40mg), pada
daerah subtemporal, triamcinolone acetonide intraocular 0,1 mL (4mg), atau
prednisolone oral 0,5-1,5 mg/kg/hari.

Sedangkan untuk peradangan non infeksi berat atau kronik terutama bila disertai
gangguan sistemik digunkan corticosteroid-sparing agent seperti methotrexate,
azathioprine, mycophenolate mofetil, cyclosporine, tacrolimus, cyclophosphamide, atau
chlorambucil.

a. Uveitis anterior akut


Tujuan pengobatan untuk pengembalian atau memperbaiki fungsi penglihatan. Obat
yang bisa diberikan: (12)
1) Midriatikum/sikloplegik
a) Sulfas atropine 1% sehari 3 kali tetes
b) Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
c) Scopalamin 0,2% sehari 3 kali tetes
2) Anti inflamasi
 Dewasa :
- Preparat kortikosteroid:
o Oral : Prednisolon 2 tablet sehari 3 kali
o Subkonjungtiva : hidrokortison 0,3cc
- Preparat non kortikosteroid
 Anak :
- Prenisolon 0,5 mg/kgbb, sehari 3 kali
3) Antibiotic (diberikan bila ada indikasi yang jelas) :
 Dewasa:
- Lokal berupa tetes mata, kadang kadang dikombinasi dengan
preparat steroid
- Subconjungtiva, kadang kadang dikombinasi dengan preparat
steroid
- Peroral :Chloramphenicol sehari 3 kali 2 kapsul
 Anak:
- Chloramphenicol 25mg/kgbb, sehari 3-4 kali
b. Uveitis intermediet
Umumnya membaik denga operasi katarak, tetapi terapi kortikosteroid topikal tetap
dicoba diberikan selama 3-4 minggu untuk megidentifikasi pasien dengan predisposisi
hipertensi okular terinduksi-steroid. (12)
c. uveitis posterior
Obat yang bisa diberikan:
1) Midriatikum/sikloplegik
 Sulfas atropine 1% sehari 3 kali tetes
 Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
2) Tetes/salep mata diberikan sehari 3 kali
 Dexamethasone 1% atau Betamethasone 1%
 Prenisolone 0,5% tetes/salep
Suntikan steroid atau nonsteroid

3. Penatalaksaan Terapeutik
Dilakukan berdasarkan etiologi uveitis seperti:
a. Uveitis pada penyakit persediaan (Juvenil Idiopatik Arthritis)
Pengobatan: kortikosteroid topical, anti-inflamasi nonsteroid, dan
sikloplegik/midriasil. Pada kasus resisten: ditambahkan immunosupresam sistemik
dan immunosupressan non-kortikosteroid, seperti metrotrexate dan mycophenolate
mofetil
b. Uveitis Terinduksi Lensa
Terapi definitif: pengeluaran materi lensa
Terapi pendamping : kortikosteroid, sikloplegik/midriatik, dan obat-obat penurun
tekanan intraocular
c. Histoplasmosis
Menyebabkan neovaskularisasi retina, diterapi secara efektif dengan kortikosteroid
atau fotokoagulasi laser atau keduanya
d. Sistiserkosis
Terapi bedah : Vitrektomi pars plana.
e. Oncosersiasi
Terapi : nodulektomi dan ivermectin dosis tunggal 100 atau 200μg/kg PO.
Pengobatan diulang dalam 6 atau 12 bulan. Terapi topical dengan kortikosteroid dan
sikloplegik.
f. Leptospira
Pengobatan infeksi berat berupa penicillin 1.5 juta unit secara IV setiap 6 jam
selama 10 hari. Infeksi yang tidak terlalu parah bisa diatasi dengan doxycycline 100
mg PO, dua kali sehari selama 7 hari. Kortikosteroid topical dan sikloplegik
ditambah dengan antibiotic untuk meminimalkan komplikasi uveitis.
g. Sifilis
Terapi : kristal penicillin g dalam air, 2-4 unit, yang diberikan secara iv setiap 4 jam
selama 10 hari
h. Toksokariasis Okular
Terapi : suntikan kortikosteroid secara sistemik atau periokular diberikan saat ada
tanta-tanda peradangan intraocular yang nyata
Vitrektomi : pada pasien dengan kekeruhan vitreus yang padat atau traksi preretinal
yang nyata.

4. Penatalaknasaan Komplikasi
a. Sinekia anterior dan posterior
Untuk mencegah dan mengobat sinekia diberikan midriatikum.
b. Glaucoma Sekunder
Merupakan komplikasi tersering. Terapi Glaukoma sekunder berupa terapi
konservatif : Timolol 0,25%-0,5% 1 tetes tiap 12 jam dan Acetazolamid 250mg tiap
6 jam.
Terapi bedah dilakukan bilan tanda-tanda radang sudah hilang tetapi TIO masih
tinggi. Untuk glaucoma sekunder sudut tertutup : iridektomi perifer atau laser
iridektomi, bila telah terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior
Sinekia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi. Untuk Glaukoma sekunder sudut terbuka
: bedah filtrasi

c. Katarak Komplikata
Terapi: pembedahan yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis kataran serta
kemampuan ahli bedah
Contoh tehnik operasi : ECCE, ICCE, SICS, Phaecoimulsification disertai
penambahan IOL atau tidah disesuaikan dengan kondisi pasien.
5. Edukasi
Selain terapi berupa medikasi, perlu juga diberikan edukasi terhadap pasien supaya
proses penyembuhan lebih optimal. Edukasi meliputi istirahat yang cukup, tidak
terlalu banyak aktifitas terlebih aktifitas diluar rumah, menggunakan kacamata
pelindung saat bepergian, dan juga meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan-
makanan bergizi.
6. Monitoring
Follow-up setelah 3-4 hari untuk melihat ada tidaknya penurunan gejala uveitis, visus,
lapang pandang, TIO, dan evaluasi respon terapi.
7. Perjalanan penyakit dan prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis tergantung pada banyak hal, seperti derajat
keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat
perlu waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan
intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan peradangan ringan atau sedang.
Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon pengobatan dibanding
uveitis intermediet, posterior, atau difus. Keterlibatan retina, koroid, atau nevus optikus
cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.

C. ENDOFTALMITIS

Endoftalmitis merupakan peradangan berat dalam bola mata, akibat infeksi setelah trauma
atau bedah atau endogen akibat sepsis.

1. Etiologi
a. Eksogen

Trauma tembus / infeksi sekunder yang berasal dari flora normal kelopak
mata, konjungtiva, dan aparatus lakrimalis ; instrumen /solusio yang
terkontaminasi; lingkungan ruang operasi

b. Endogen

Akibat penybaran bakteri, jamur, ataupun parasit dari dalam tubuh (sistem
peredaran darah). Bakteri : staphylococcus, streptococcus, pseudomonas, bacillus,
dan pneumococcus; Jamur : aspergillus fumingatus, candida albicans.

2. Epidemiologi

✔ Endoftalmitis endogen jarang terjadi dibandingkan endoftalmitis eksogen

✔ Pada endoftalmitis akibat operasi insidensinya tergantung pada tipe operasinya.


Contoh operasi katarak lebih tinggi dibanding jenis operasi mata lain
✔ Penggunaan lensa kontak juga menjadi predisposisi dari penyakit endoftalmitis

3. Gejala klinis

✔ Gejala Subjektif : Penglihatan kabur, mata nyeri, fotofobia, melihat seperti ada
sesuatu yang melayang pada lapang pandang

✔ Gejala Objektif : Mata hyperemia, Hipopion (lapisan berwarna putih) pada COA,
kemosis, kelopak mata bengkak, vitritis.

4. Diagnosis

✔ Anamnesis

Pasien memiliki keluhan utama (gejala subjektif) seperti mata nyeri, fotofobia,
dan penglihatan kabur

✔ Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang

○ Slit Lamp, hasil : kornea edem/keruh, COA keruh, hipopion, ruang vitreus
inflamasi, infiltrat putih halus (fungi)

○ Pemeriksaan USG mata (B-Scan) : hiperekogenisitas vitreus (akibat


inflamasi)

○ Funduskopi : Roth’s spots (lesi eksudatif, hemoragik dengan pusat yang


pucat, pembuluh retina tidak terlihat (bakteri), nodul putih pada
endoftalmitis (fungi),

○ Kultur aqueous / vitreous humor : menggunakan fine neddle → pewarnaan


gram

○ Pemeriksaan penunjang lain sesuai infeksi sistemik, seperti : kultur darah,


kultur urin, ECHO untuk endokarditis infektif, dan USG abdominal

5. Komplikasi
 Panoftalmitis : peradangan supuratif intraokular yang melibatkan rongga mata
hingga lapisan luar bola mata, kapsul tenon dan jaringan bola mata.
 Kehilangan visus permanen
 Perforasi kornea : kelainan kornea yang ditandai dengan infiltrat supuratif
disertai defek, diskontinuitas jaringan pada kornea dari epitel hingga stroma,
 Glaukoma : Suatu keadaan dimana TIO relative cukup besar untuk
menyebabkan kerusakan papil saraf optic dan menyebabkan kelainan lapangan
pandang
6. Pencegahan
 Memberikan antibiotik spektrum luas pada tindakan pre –operatif;
memperhatikan teknik operasi yang aseptik; memberikan injeksi
subkonjungtiva antibiotik serta steroid pad a tindakan post-operatif
 Jika memiliki riwayat operasi katarak, ikuti instruksi dokter untuk kontrol
mata setelah operasi agar meminimalisasi infeksi
 Untuk mencegah endoftalmitis akibat trauma, gunakan pelindung mata saat
bekerja atau aktivitas yang mengancam mata lainnya

7. Tata Laksana
1. Antibiotik sistemik / topikal : gentamicin, ceftazidine, vancomycin, ciprofloxacin.
2. Antifungal sistemik / topikal
3. Anti – inflamasi (Kortikosteroid )
4. Vitrektomi
5. Edukasi

8. Prognosis

Tergantung etiologi, durasi, tipe organism penyebab. Akan tetapi, dengan pengobatan
yang tepat akan menghasilkan prognosis yang baik

VI. FARMAKOLOGI DIAGNOSIS BANDING


ABSORPSI

Jumlah dan kecepatan substansi yang diabsorpsi ditentukan oleh :

1. lamanya waktu obat tersebut berada dalam cul-de-sac dan lapisan air mata

2. Elimininasi melalui drainase nasolakrimal

3. Ikatan obat dengan protein air mata

4. Kemampuan obat untuk difusi melalui konjungtiva dan kornea

Pemberian obat dapat diberikan dalam 3 bentuk formula yaitu bentuk larutan, dimana
substansi obat dilarutkan secara menyeluruh dan memiliki kelebihan berupa penggunaannya
yang mudah dan efek samping yang minimal. Betuk salep merupakan sediaan semi solid
yang mengandung substansi obat yang larut lemak. Formulasi ini dibuat agar dapat mencair
pada suhu tubuh dan menyebar saat mata mengedip

DISTRIBUSI

• Setelah obat di absorpsi oleh kornea atau konjungtiva maka obat akan terakumulasi di
aqueous humor

• Kemudian didistribusikan ke struktur di dalam mata dan ke sistemik melalui jalur


anyaman trabekula

Distribusi obat dimata bergantung pada kemampuan substansi obat untuk berikatan dengan
jaringan

METABOLISME
Badan siliar merupakan sumber utama dari enzim yang akan memetabolisme obat untuk mata
yang bertanggung jawab terhadap dua fase utama reaksi metabolisme untuk memulai proses
detoksifikasi dan eliminasi obat didalam mata. Metabolisme obat dari bentuk aktif menjadi
inaktif atau metabolit dapat terjadi di perikornea, kornea dan aqueous humor.

EKSKRESI

Drainase aqueous humor melalui anyaman trabekula merupakan rute utama untuk ekskresi
obat tetes mata.

• Setelah melalui anyaman trabekula, maka aqueous humor akan memasuki kanalis
schlem

• Selanjutnya memasuki vena episkleral

• Akhirnya akan memasuki sirkulasi sistemik

KESIMPULAN

1. Obat diabsorpsi kedalam mata melalui absorpsi kornea, konjungtiva ataupun sklera

2. Obat masuk kedalam mata melalui sawar darah-aqueous humor dan menuju bilik
mata depan

3. Obat dieliminasi dari mata depan oleh penggantian aqueous humor melalui anyaman
trabekula dan kanal schlem

4. Eliminasi daro bilik mata depan akan menuju sirkulasi sistemik melalui sawar
aqueous humor-darah

5. Obat dari aliran darah dapat menuju bagian posterior mata melalui sawar retina-darah

OBAT SIKLOPEGIK

• Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:

– Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris

– Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.

• Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.

MEKANISME
• Reseptor muskarinik distimulasi oleh lepasnya asetilkolin dari ujung saraf
parasimpatik.

• Setelah terstimulasi, otot siliaris berkontraksi, menarik badan siliaris ke depan. Hal ini
mengurangi ketengangan pada ligament suspensor yang menahan lensa.

• Sehingga lensa menjadi makin konveks yang berarti peningkatan pada data refraksi
untuk membuat akomodasi

• Pada saat sikloplegia, reseptor dari siliaris dihambat sehingga tidak berikatan dengan
asetilkolin dan akomodasi tidak terjadi.

• Otot siliaris tidak berkontraksi juga menyebabkan otot sphincter relaksasi sehingga
terjadi sikloplegia dan midriasis

Non-Medikamentosa
 Berhenti memakai kontak lens
 Jangan menggosok-gosok mata
Tatalaksana
Cefazolin

• Cefazolin termasuk golongan sefalosporin generasi I, dengan cara pemberiannya IV


dan IM
• Sefalosporin termasuk golongan antibiotika betalaktam
• Sefalosporin aktif terhadap bakteri gram negatif ataupun positive, tetapi spektrum
masing-masing derivat bervariasi
• Mekanisme kerja : menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat yaitu
reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel
• Aktivitas AntiMikroba : Aktif terhadap bakteri gram positif dengan keunggulan dari
penisilin aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase.
• Efek samping : diare, sakit perut, muntah, ruam. pusing, kelelahan, gatal-gatal, dan
hepatitis yang bersifat semetara
Vancomycin

Vancomycin merupakan antibiotik glikopeptida untuk pengobatan beberapa


infeksi gram positif, yang disebabkan oleh organisme yang telah resisten dngan
antibiotik lain.
 Vancomycin digunakan juga untuk pengobatan organisme gram positif yang peka
terhadap vancomycin pada pasien yang alergi terhadap penicilllin.
 Vancomycin bersifat bakterisid and mekanisme kerjanya bergantung waktu (time-
dependent) atau tidak tergantung konsentrasi (concentration-independent bacterial
killing)
Mekanisme

aksi untuk vankomisin adalah penghambatan sintesis dinding sel yang rentan dengan
mengikat ujung terminal D - alanyl - D - alanin prekursor dinding sel. Banyak strain dari
Enterococcus memiliki nilai MIC tinggi untuk vankomisin , dan pada bakteri ini, vankomisin
hanya dapat menunjukkan sifat bacteriostatik Efek Samping
Demam, menggigil, mual, dan nyeri diarea suntikan

Tobramycin

 Tobramycin adalah obat golongan antibiotik aminoglikosida yang digunakan


untuk mengobati infeksi akibat bakteri. Misalnya infeksi pada mata, infeksi
saluran kemih, infeksi saluran gastrointestinal, infeksi tulang dan sendi, infeksi
sistem saraf pusat, infeksi saluran pernapasan bawah, dan infeksi kulit.
 Mekanisme kerja :Tobramycin menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesis protein dengan cara yang serupa dengan gentamisin.
 Indikasi : septikemia dan sepsis pada neonatus,meningitis dan infeksi SSp
lainnya,infeksi bilier ,pielonefritis dan prostatitits akut,endokarditis karena
Str.viridans atau Str.faecalis(bersama penisilin),pneumonia nosokomial,terapi
tambahan pada meninghitis karena listeria.
 Efek Samping: gangguan vestibuler dan pendengaran
,nefrotoksisitas,hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang,kolitas karena
antibiotik.
Ceftriaxone

• Ceftriaxone termasuk golongan sefalosporin generasi III, dengan cara pemberiannya


IV dan IM
• Mekanisme kerja : Ceftriaxone berikatan dengan 1 atau lebih penicillin-binding
proteins (PBPs) yang menghambat akhir dari sintesis peptidoglokan dimembrane sel
bakteri, sehingga menghambat biosintesis membran sel yang mengakibatkan kematian
sel bakteri.
• Indikasi : Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap
ceftriaxon, seperti: infeksi saluran nafas,infeksi THT,infeksi saluran kemih,
sepsis,meningitis,infeksi tulang,sendi dan jaringan lunak, infeksi intra abdominal,
infeksi genital (termasuk gonore), profilaksis perioperetif,dan infeksi pada pasien
dengan gangguan pertahanan tubuh.
• Aktivitas AntiMikroba : Golongan ini umumnya kurang efektif dibandingkan dengan
generasi pertama terhadap bakteri gram positif tetapi jauh lebih efektif terhadap
Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase

Clarithromycin

Clarithromycin adalah obat antibiotik makrolid yang digunakan untuk mengobati infeksi
bakteri pada saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan kulit. Dalam mengatasi infeksi,
obat ini bekerja dengan cara menghentikan perkembangbiakan bakteri.

 Mekanisme kerja : Agonis Motilin. Motilin adalah agen kontraktil kuat dari
saluran cerna atas. Antibiotik semisintetik makrolidayang reversibel mengikat ke
situs P dari 50S ribosom subunit organisme rentan dan dapat menghambat sintesis
protein RNA-dependent dengan merangsang disosiasi peptidil t-RNA dari
ribosom, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri.
 Efek samping : Dispepsia, sakit kepala, gangguan indra perasa dan penciuman,
hilangnya warna gigi dan lidah, stomatitis, glossitis, dan sakit kepala
 Indikasi : Infeksi saluran napas bagian atas (seperti: faringitis/tonsillitis yang
disebabkan Staphylococcus pyogenes dan sinusitis maxillary akut yang
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae), infeksi ringan dan sedang pada kulit
dan jaringan lunak, otitis media; terapi tambahan untuk eradikasi Helicobacter
pylori pada tukak duodenum.

Prognosis

 Dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan baik dan tepat dan jika tidak
diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks dan
dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.

Endoftalmitis Tatalaksana

Endoftalmitis diobati dengan antibiotika melalui periokular atau subkonjungtiva.


Antibiotik topikal dan sistemik - ampisilin 2 gram/hari dan kloramfenikol 3 gram/hari.
Adapun pilihan lain antibiotik yang sesuai untuk kausa bila kuman adalah stafilokok :
basitrasin (topikal), metisilin (subkojuntiva dan lV), pnemokok, streptokok : penisilin
G (top, subkonj dan lV).Neiseria : penisilin G (top. Subkonj. dan lV,Pseudomonas :
gentamisin (top. Subkonj. dan lV).

Sikloplegik diberikan 3 kali sehari tetes mata.

Pada kasus yang berat dapat dilakukan Vitrektomivirektomi bertujuan untuk


mengeluarkan organisme beserta produk toksin dan enzim proteolitiknya yang berada
dalam vitreous, meningkatkan distribusi antibiotik dan mengeluarkan membran
siklitik yang terbentuk, yang potensial menimbulkan ablasi, serta mengembalikan
kejernihan vitreous.

Anda mungkin juga menyukai