Anda di halaman 1dari 37

TUTORIAL KASUS 6

FARMASI

Disusun Oleh:
1. Fallery Setyaprawira W. (1910211041)
2. Salwa Tsabitah A.M. (1910211054)
3. Ayi Nabilah (1910211056)
4. Nden Ajeng Tresnawati (1910211057)
5. Theresia Angelin Hulu (1910211092)
6. Andreifa Fatwa Fadillah (1910211104)
7. Fadhilah Qostholani Augisna (1910211124)
8. Dhia Adhi Perwirawati (1910211125)

Tutor : dr. Sri Wahyuningsih, M.Kes

KELAS TUTORIAL B3

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAKARTA

Tahun Akademik 2019/2020


Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan banyak karunia serta rahmatNya, sehingga makalah Tutorial Kasus 6
“Farmasi“ Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dapat
kami selesaikan.
Adapun makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas kami untuk
melaksanakan Ujian Tengah Semester. Makalah ini memuat materi kasus 3 beserta learning
progressnya.
Demikian makalah ini kami susun. Kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses pembutan laporan ini, kami ucapkan terima kasih. Kami harap makalah ini
dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 01 Desember 2019


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. 1


KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 4
1.2 Maksud dan Tujuan ...................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial ................................................................................................ 5
2.2 Skenario Kasus ............................................................................................. 5
2.3 Terminologi .................................................................................................. 6
2.4 Identifikasi Masalah...................................................................................... 6
2.5 Hipotesa........................................................................................................ 6
2.6 Mekanisme.................................................................................................... 7
2.7 Topik yang Belum Dikuasai ........................................................................ 7
2.8 Learning Issue .............................................................................................. 7
2.9. Overview Case ............................................................................................ 8
2.10 Materi.......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 47
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok FBS (Fundamental Biomedical Science) 1 adalah blok pertama pada semester I
dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Mahasiswa akan mempelajari beberapa ilmu
yang terkait dengan basic science, bagaimana suatu sistem tubuh dibentuk oleh organ,
jaringan, dan unit terkecilnya, yaitu sel.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan kepada tutor yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran di
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang dipaparkan dalam skenario dengan metode analisis
dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Data Tutorial
Tutor : dr. Sri Wahyuningsih, MKes
Ketua : Fallery Setyaprawira W.
Ketua Kasus : Theresia Angelin Hulu
Sekretaris Meja : Fadhilah Qostholani Augisna
Sekretaris Papan : Dhia Adhi Perwirawati
Waktu Tutorial : 1. Senin, 25 November 2019
2. Rabu, 27 November 2019
Peraturan tutorial
1. Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam
2. Izin saat akan keluar ruangan
3. Tidak terlambat datang tutorial
4. Wajib mengerjakan tugas yang diberikan saat tutorial
5. Tenang dan memperhatikan saat tutor memberi pengarahan
6. Selama tutorial berlangsung menjaga sikap dan perkataan

2.2 Skenario Kasus


Tn. X 60 thn menderita penyakit jantug. Dokter memberi obat untuk mencegah dan
menghilangkan nyeri dada akibat penyakit tersebut. Nama generik obat tersebut adalah
Isosorbid dinitrat dengan bentuk sediaan tablet sublingual. Obat tersebut termasuk kategori
obat keras dengan tanda khusus pada kemasannya.
Obat tersebut harus dibeli dengan resep dokter di apotek. Dokter menulis iter 1x pada
kertas resep ; obat diberikan 1 kali sehari untuk 1 bulan, tetapi bisa diambil dalam dua kali
pengambilan sehingga jumlah yang diambil sebanyak 15 tablet. Tn X mengonsumsi obat
tersebut sesuai aturan dan dosis yang ditentukan oleh dokter.
Tn. X berusaha mulai hidup sehat dengan mengurangi makanan berlemak. Temannya
menyarankan agar ia juga mengonsumsi herbal untuk menurunkan kolesterol. Tn X bertanya
apakah herbal sama dengan obat? Apa bedanya herbal, fitofarmaka, dan obat?

2.3Terminologi
1. Obat
2. Generik
3. Tablet
4. Sublingual
5. Resep
6. Iter
7. Herbal
8. Fitofarmaka
9. Dosis

2.4 Identifikasi Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan obat?
2. Apa saja tujuan dari pemberian obat?
3. Apa itu obat generik?
4. Apa saja nama-nama obat?
5. Apa yang dimaksud dengan obat keras?
6. Apa saja kategori obat?
7. Apa yang dimaksud dengan BSO?
8. Apa saja jenis-jenis BSO?
9. Apa ciri-ciri tanda khusus dari setiap kemasan?
10. Apa yang dimaksud dengan resep?
11. Apa saja fungsi dari resep?
12. Bagamaina cara penulisan resep?
13. Apa yang dimaksud dengan dosis?
14. Apa saja fungsi dari dosis?
15. Bagaimana cara perhitungan dosis sesuai aturan?
16. Apa yang dimaksud dengan obat herbal?
17. Apa saja fungsi dari obat herbal?
18. Apakah obat sama dengan herbal?
19. Hubungan obat herbal dengan penurunan kolesterol?
20. Apa perbedaan herbal, fitofarmaka, dan obat?
21. Bagaimana proses hingga obat dapat dipasarkan?
22. Apa saja bahasa latin penulisan resep?

2.5 Hipotesa
1. Bahan kimia yang digunakan untuk diagnosis, pengobatan atau pencegahan penyakit
2. Untuk diagnosis, pencegahan, dan pengobatan
3. Obat esensisal yang tercantum dalam DOEN sesai CPOB dan diuji ulang oleh BPOM
5. Obat yang memiliki efek yang keras dan harus di bawah pengawasan pemerintah
6. Kegunaan, cara penggunaan, cara kerja, UU, khasiat, sumber dan jenis, BSO, proses
fisiologis dan biokimia
8. Padat, Semi Padat, dan Cair
9. Obat keras, obat bebas, obat bebas terbatas, narkotika
10. Petunjuk tertulis untk pembuatan dan pemberian obat
11. Untuk pengambilan dan aturan pakai obat
13. Kuantitaas yang diberikan pada satu waktu seperti jumlah pengobatan tertentu
14. Untuk takaran obat
16. Tanaman berdaun, batang berkayu yang digunakan secara medis
17. Untuk pengobatan
18. Berbeda, obat dari bahan kimia sedangkan herbal dari bahan alami
21. Ada pengujian bertahap

2.6 Mekanisme

Tn. X (60 tahun) penderita penyakit jantung

Diberikan obat oleh dokter

Untuk mencegah dan menghilangkan nyeri dada

Nama generiknya adalah Isosorbid dinitrat

Bentuk sediaan tablet sublingual


Kategori obat keras

Dibeli dengan resep dokter di apotek

Dokter menulis iter 1x

Obat diberikan 1 x sehari


untuk 1 bulan Dua kali pengambilan
sejumlah 15 tablet

Tn. X mengonsumsi obat sesuai aturan dan dosis

Mengonsumsi herbal
Pola Hidup Sehat

Menurunkan kolesterol
Mengurangi makanan berlemak

Apakah perbedaan fitofarmaka, herbal, dan obat?


2.7Topik yang Belum Dikuasai
4. Apa saja nama-nama obat?
7. Apa yang dimaksud dengan BSO?
12. Bagaimana cara penulisan resep?
15. Bagaimana perhitungan dosis yang sesuai dengan aturan?
19. Hubungan obat dengan penuruan kolesterol?
22. Apa saja bahasa latin penulisan resep?

2.8 Learning Issue

1. Obat
 Definisi
 Fungsi
 Penggolongan
 Bentuk Sediaan Obat
 Tanda Khusus
 Uji Kelayakan
 Faktor Pemilihan Obat

2. Resep
 Definisi
 Fungsi
 Bahasa Latin
 Cara Penulisan
 Seni Menulis
 Prinsip Penulisan

3. Dosis
 Definisi
 Macam-macam
 Faktor Yang Memengaruhi
 Alat Penakar
 Perbedaan Dosis Anak dan Dewasa
 Rumus perhitungan

4. Obat Tradisional
 Definisi
 Fungsi
 Macam-macam
 Perbedaan
2.9 Overview Case

Tn. X (60 tahun) penderita penyakit jantung

Diberikan obat oleh dokter

Untuk mencegah dan menghilangkan nyeri dada

Nama generiknya adalah Isosorbid dinitrat

Bentuk sediaan tablet sublingual


Kategori obat keras

Dibeli dengan resep dokter di apotek

Dokter menulis iter 1x

Obat diberikan 1 x sehari


untuk 1 bulan Dua kali pengambilan
sejumlah 15 tablet

Tn. X mengonsumsi obat sesuai aturan dan dosis

Mengonsumsi herbal
Pola Hidup Sehat

Menurunkan kolesterol
Mengurangi makanan berlemak

Apakah perbedaan fitofarmaka, herbal, dan obat?


2.10. Materi

FARMASI

1. Definisi Farmasi
Ilmu mengenai cara membuat, memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat.

2. Istilah-istilah dalam Farmasi


a. Farmakokinetik: perjalanan obat mulai sejak diminum hingga keluar melalui organ
ekskresi di tubuh manusia. Meliputi proses absorbsi atau penyerapan, distribusi atau
penyebaran, metabolisme atau biotransformasi di dalam sel-sel tubuh, dan ekskresi
atau pengeluaran dari tubuh.
b. Farmakodinamik: efek obat terhadap biokimia, fisiologi organ, dan mekanisme
kerjanya di dalam tubuh,; sehingga dapat diketahui efek utama, interaksi obat
terhadap sel tubuh, dan sifat keseluruhannya (spektrum efeknya). Meliputi mula kerja
(saat obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai ECM), puncak kerja (saat
obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam plasma darah), serta lama kerja (yang
dapat memakan waktu hingga beberapa hari).
c. Farmakoterapi: penanganan penyakit melalui penggunaan obat-obatan.
d. Farmakognosi: mempelajari bagian-bagian tanaman atau hewan yang dapat
digunakan untuk obat alami dan telah melewati berbagai macam uji, seperti uji
farmakodinamik, uji toksikologi, dan uji biofarmasetika.
e. Farmakope: buku resmi yang dikeluarkan oleh sebuah negara yang berisi
standarisasi, panduan dan pengujian sediaan obat.
f. Toksikologi: pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan
bagi organisme hidup.

OBAT

1. Definisi Obat
Setiap senyawa kimia yang digunakan untuk diagnosis, pengobatan, atau pencegahan
penyakit atau keadaan abnormal lainnya, atau zat kimia dalam dosis layak yang dapat
memperbaiki fungsi fisiologis tubuh dengan cara mencegah, mengurangi (simptomatis),
menghilangkan, dan menyembuhkan penyakit (kausatif) dan menimbulkan kondisi tertentu,
serta untuk penetapan diagnosis. Kondisi tertentu yang ditimbulkan misalnya membuat
seseorang menjadi infertil, atau melumpuhkan otot rangka dalam pembedahan.

2. Tujuan Pemberian Obat


a. Profilaksis/preventif, diberikan untuk mencegah penyakit atau kelainan tertentu.
Contoh: pemberian DEC (karbamasin sitrat) dan albendazol untuk mencegah
filariasis, serta pada pemberian imuninasi.
b. Terapi, diberikan dengan tujuan untuk menyembuhkan atau mengobati. Contoh:
diapet untuk mengobati diare.
c. Diagnostik, diberikan untuk membantu analisis suatu penyakit. Biasanya untuk
bahan warna fase kontras.
d. Rehabilitasi, obat bertujuan mengoptimalkan kembali fungsi tubuh. Contoh:
seseorang yang terkena penyakit stroke diberikan vitamin B untuk mengoptimalkna
lagi fungsi sarafnya.
e. Promosi tingkat kesehatan, sumber obat bisa dari alam (nabati, hewani, mineral,
dan garam-garam) maupun sintetik.

3. Uji Kelayakan Obat/ Uji Farmakologik


Sebelum obat dicobakan pada manusia, dibutuhkan beberapa tahun ntuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Semuanya diperlukan
untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia.
a. Uji Praklinik : untuk mengetahui apakah obat tersebut menimbulkan efek toksik
pada dosis pengobata, ataukah sudah aman dipakai. Terdiri atas:
1. Sintesis dan screening molecule
2. Sintesis senyawa baru
3. Modifikasi dan rekayasa
4. Farmakokinetik
5. Uji toksisitas, dibagi menjadi 2 yaitu akut dan kronik serta dilakukan pada hewan
dengan dosis letal LD 50 atau LD 100.
i. Uji toksisitas akut, untuk mengetahui nilai LD 50 dan dosis maksimal yang masih
dapat ditoleransi hewan. LD 50 artinya pemberian dosis obat yang menyebabkan
50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati. LD 100 artinya pemberian dosis obat
yang menyebabkan 100 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati. Selain
mengetahui nilai LD, tetapi juga untuk pengamatan gejala toksik dan perubahan
patologik organ pada hewan tsb.
ii. Uji toksisitas jangka panjang, untuk meneliti efek toksik pada hewan coba seyelah
pemberian secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian
seperti pada pasien manusia nantinya. Lama pemberian ini bergantung pada lama
pemakaian nantinya pada pasien.
iii. Uji toksisitas khusus, meliputi penelitian terhadap sistem reproduksi termasuk
teratogenisitas, uji karsinogenisitas, dna mutagenisitas, serta uji ketergantungan.
b. Uji Klinik: untuk menguji manfaat klinis suatu obat, memastikan keamanan,
efektivitas, dan gambaran efek samping yang timbul pada manusia. Terbagi menjadi 4
fase:
1. Fase I: dilakukan ada 20-50 orang sukarelawan sehat, tanpa pembanding dan tidak
tersamar. Bertujuan meneliti keamanan dan tolerabilitasnya, bukan efikasinya,
menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat ditoleransi (sebelum timbul efek
toksik yang tidak dapat diterima), serta meneliti sifat farmakodinamik dan
farmakokinetiknya pada manusia, digunakan untuk meningkatkan ketepatan
pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya
2. Fase II: melihat efek terapi atau farmakologi yang berguna maupun tidak untuk
pengobatan. Dilakukan pada pasien sakit dengan diseleksi ketat sebanyak 100-200
orang. Seleksi ketat dimana tidak boleh dilakukan pada pasien dengan penyakit
penyerta, pasien tidak mendapat terapi lain, serta harus dimonitor secara intensif.
Dilakukan juga uji klinik komparatif (acak dan tersamar ganda) yang
membandingkannya dengan plasebo. Selain itu, bertujuan untuk menetapkan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, dan penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat terutama metabolismenya.
3. Fase III: memastikan obat benar-benar berkhasiat (efikasi) dan mengetahui
kedudukannya dibanding obat standar (efek jika digunakan secara luas dan diberikan
pada dokter yang kurang ahli, efek samping yang belum terlihat, dan dampak
penggunaannya pada pasien yang tidak diseleksi dengan ketat). Dilakukan pada
penderita acak menyerupai kedudukan sebenarnya pada 7500 orang. Jika hasilnya
cukup aman dan efektif, maka dapat diberikan ijin pemasarannya.
4. Fase IV: disebut juga post marketing drug surveilance, yaitu pengamatan terhadap
obat yang dipasarkan. Mengamati pola penggunaan di masyarakat, efek samping,
efektivitas, pemakaian berulang kali jangka panjang, serta masalah penggunaan
berlebihan, penggunaan yang salah (misuse), penyalahgunaan (abuse), kontra
indikasi, dan lainnya. Tujuan lainnya adalah sebagai uji klinik tambahan pelengkap
data sebelum pemasaran akibat registrasi jalur cepat, uji klinik pada populasi pasien
yang belum cukup diteliti pada fase sebelum pemasaran misal pasien anak dan lansia,
serta uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat
terhadap morbiditas dan mortalitas, dengan atau tanpa kelompok pembanding.
Datanya berguna untuk menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
5. Setelah obat dipasarkan dan digunakan secara luas, dapat ditemukan kemungkinan
manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek samping.

4. Nama Obat
a. Nama kimia
Penamaan obat berdasarkan bahan kimia utama yang terkandung di dalamnya.
Contoh: paraaminofenol merupakan nama kimia dari parasetamol.
b. Nama generic
Nama obat yang resmi deitetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN dari WHO
untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Biasanya harganya lebih murah. Contoh
acetaminophen/paracetamol
c. Nama dagang
Nama yang diberikan oleh pedagang atau perusahaan yang memproduksi obat.
Contoh: Paramex, bodrex, panadol.
d. Nama paten
Nama obat yang didaftarkan atas nama pembuat pertama atau yang dikuasakan dan
dijual dalam bungkus asli pabrik yang memproduksinya.contoh paracetamol
e. Obat esensial
Obat yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Berbeda
antardaerah karena masing-masing daerah penyakitnya berbeda. Contoh: obat esensial
di Papua adalah obat untuk malaria.

5. Golongan Obat
a. Obat bebas
Obat yang tidak begitu keras khasiatnya dan dapat dijual bebas
tanpa resep dokter.
Contoh: berbagai macam vitamin, OBH, aspirin, scetosal, minyak
kayu putih.
b. Obat bebas terbatas/golongan W (waarschuwing)
Obat yang penjualannya hanya di apotek atau depot obat yang berizin.
Contoh: Neozep Forte. Harus diberi label peringatan: P. no. X. awas obat keras!
Contoh: yodium tincure, betadin, salep histamine, tablet parasetamol 600
mg.
c. Obat keras / golongan G (Gevaarlijk)
Obat yang seharusnya hanya dapat diperoleh melalui resep dokter.
Efeknya cukup keras.
Contoh: obat sunti, antibiotika, Oleum chenopodii, adrenalin, pil
KMnO4.Golongan ini dikelompokkan menjadi 3:
1. Obat keras (OK), contoh: antibiotika (amfisilin, streptomisin, penisilin).
2. Obat Keras Tertentu (OKT), contoh diazepam.
3. Obat Wajib Apotek, contoh: antalgin.
Obat-obatan ini hanya bisa didapat dengan resep dokter. Obat diberi label tidak boleh
diulang. Obat psikotropik termasuk obat keras tertentu.
d. Narkotika / golongan O.
Obat yang dianggap paling keras karena dapat menyebabkan
ketagihan dan diawasi secara ketat untuk membatasi
penyalahgunaannya. Peraturannya terdapat di UU no. 22 tahun
1997. Dibagi atas:
1. Obat narkotika golongan I, contoh heroin.
2. Obat narkotika golongan II, contoh morfin.
3. Obat narkotika golongan III< contoh kodein.
Penyimpanan obat bius harus dalam lemari tersendiri yang terkunci.
Syarat penjualan obat bius/narkotika:
1. Harus dengan resep dokter dan tidak boleh diberi tanda iter.
2. Tidak boleh m.i (mihi ipsi) atau u.c.(usus cognitus)

6. Bentuk Sediaan Obat


Sediaan yang berisikan satu atau lebih substasnsi aktif dan biasanya dicampur dengan
sejumlah medium yang sesuai untuk formulasi guna mendapatkan produk yang siap pakai
dan aman.
a. Berdasarkan konsistensi bentuk sediaan terdapat 4 macam bentuk, yaitu
1. BSO Padat
Pulvis, pulveres, tablet, tab.salut (gula, film,enteric), tab.lepas lambat, tab.
Effervescent, tab.sublingual. Tab. Bukal, tab. Kunyah, tab. Hisap, kapsul, tab.
Vaginal, suppositoria, ovula, pil, implan.
2. BSO Semi Padat
Salep, cream, jel, pasta, oculenta, linimenta, sabun.
3. BSO Cair
Larutan, eliksir, sirup, suspensi, emulsi, obat tetes, infusa, kolutorium, gargarisma,
lotio, enema, vaginal douche, vaksin, imunoserum, infus i.v., injeksi, inhalasi, aerosol
4. BSO gas: Inhalasi

b. Berdasarkan tujuan terapi /Efek yg diinginkan yaitu :


1. Efek Lokal : topikal, intravaginal, rektal, intranasal, intraokuler, inhalasi /
intrapulmonal
2. Efek Sistemik : oral, sublingual, bukal, parenteral, implantasi s.c., rektal.
EFEK SISTEMIK
1. Oral
Disebut juga cara interal (intran = usus, melibatkan usus).
Tempat pemberian         : mulut
Tempat absorpsi              : mukosa usus (duodenum)
Keuntungan pemberian oral :
a. Mudah dilakukan oleh pasien sendiri
b. Relative aman & murah
c. Aman, jika toksis obat dapat : Dimuntahkan langsung
d. Digunakan emetic / carbo adsorben
e. Murah
f. Pasien dapat melakukan sendiri
g. Tanpa alat khusus
h. Efektif / praktis
Kerugian pemberian pemberian oral :
a. Absorpsi obat tidak teratur & tidak maksimal.
Mis : Tetrasiklin & digoksin ±80%. setelah diabsorpsi, obat melalui hati & mengalami
FPE sehingga BA rendah.
b. Tidak efektif untuk pasien : muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif / gila.
c. Obat dapat merangsang mukosa mulut (mis : aminofilin), dpt diberikan d.c.
d. Obat dapat diuraikan oleh asam lambung sehingga inaktif (mis :benzilpenisilin, insulin,  
oksitosin, hormon steroid
Perkecualian :
Jika pemberian p.o. ditujukan untuk efek lokal di usus, maka obat tidak boleh diabsorpsi
oleh pembuluh darah disepanjang saluran G.I. (con : obat cacing, antibiotika untuk
pengobatan infeksi lambung – usus / digunakan sebelum pembedahan, yakni :
streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa sulfonamid,& zat-zat kontras rontgen untuk
foto lambung-usus).
BSO yg bisa diberikan oral / p.o : tablet, kapsul, larutan, sirup, eliksir, suspensi, gel,
serbuk.

2. Sublingual
Tempat pemberian : obat diletakkan di bawah lidah.
BSO : tablet, troches / lozenges

3. Bukkal
Tempat pemberian : obat diselipkan diantara gusi & pipi.
BSO : tablet, troches / lozenges (tablet hisap).
Keuntungan B & C :
Efek cepat & sempurna karena obat langsung masuk ke peredaran darah besar tanpa
melalui hati dan untuk menghindari kerusakan obat dari saluran cerna
Kerugian B & C :
Jika digunakan terus-menerus, kurang praktis karena merangsang mukosa mulut.
no.B& C absorpsi obat melalui membran mukosa mulut (obat sedikit sekali diabsorpsi
melalui saluran cerna), memberi efek sistemik.

4. Parenteral
Artinya pemberian obat yg tidak melibatkan usus/sal. GI.
Tempat pemberian : selain melalui saluran GI
(melalui injeksi).
Keuntungan  pemberian parenteral :
a. Menghindari obat dirusak / menjadi inaktif dalam saluran G.I
b. Bila obat sedikit diabsorpsi dalam sal. G.I hingga obat tidak cukup untuk
meninggalkan respon
c. Dikehendaki efek obat yg cepat, kuat, & sempurna dalam keadaan gawat
d. Diperoleh kadar obat yg sudah ditentukan (i.v), karena sedikit sekali dosis obat yg
berkurang
e. Dapat diberikan pada pasien yg sulit menelan / tidak suka diberi obat melalui oral.
Kerugian pemberian parenteral :
a. Efek toksiknya sukar dinetralkan bila terjadi kesalahan pemberian obat
b. Karena dikehendaki steril, sediaan injeksi lebih mahal
c. Pasien tidak dapat memakai sendiri, perlu bantuan tenaga ahli & peralatan khusus
(tidak ekonomis)
d. Dibutuhkan cara aseptis, timbul rasa nyeri
e. Ada bahaya penularan hepatitis serum
f. BSO : larutan, suspense
EFEK LOKAL

1. Topikal / Epikutan / Transdermal


Tempat pemberian : permukaan kulit
Keuntungan :  memberi efek lokal, aksinya lama pada tempat yg sakit, sedikit diasorpsi
Jika terjadi absorpsi dapat melalui :
a. Transeluler : menembus sel
b. Difusi : masuk melalui celah sel kelenjar minyak
BSO : ointment, krim, pasta, plester, serbuk, aerosol, lotion, sediaan transdermal
(transdermal patches, discs, solution).

2. Konjungtival
Tempat pemberian : konjungtiva / selaput mata
Cara pemberian : dioleskan pd membran mukosa mata,  efek lokal.
BSO: contact lens insert, ointment.

3. Intraokular
Tempat pemberian : mata
Cara pemberian : diteteskan pd membran mukosa mata, efek lokal.
BSO  : suspensi, larutan.

4. Intra nasal
Tempat pemberian : hidung
Cara pemberian  : diteteskan pd lubang hidung, efek  lokal.
BSO : larutan, semprot, inhalan, salep.

5. Aural / intraselulaer
Tempat pemberian : telinga
Cara pemberian : diteteskan pd lubang telinga efek lokal.
BSO  : suspensi, larutan.

6. Vaginal
Tempat pemberian : vagina
Cara pemberian : dimasukkan ke dalam lubang  vagina,  efek local
BSO : larutan, ointment, busa emulsi, gel, tablet, insert, suppositoria.

7. Rektal
Tempat pemberian : rektum / anus
Tujuan : memperoleh efek local (antihemoroid) & sistemik (asma).
BSO : larutan, ointment, suppositoria,enema.
Keuntungan pemberian rektal :
a. Rectum& colon menyerap banyak obat perrektal (untuk efek sistemik)
menghindari kerusakan obat / obat menjadi tidak aktif karena pengaruh
lingkungan perut& usus.
b. Mudah diberikan untuk pasien muntah, sulit menelan, tidak sadar
c. Obat yg diabsorpsi melalui rectal beredar dalam darah tidak melalui hati sehingga
tidak mengalami detoksikasi / biotransformasi yg mengakibatkan obat terhindar
dari tidak aktif
Kerugian pemberian rektal :
a. Tidak menyenangkan
d. Absorpsi obatnya tidak teratur  dan sukar ditentukan

8. Uretral
Tempat pemberian : uretra
Cara pemberian : dimasukkan ke dalam saluran   kencing, efek local
BSO : larutan, suppositoria

9. Intrarespiratori
Tempat pemberian : paru-paru
Cara pemberian : disemprotkan dgn kanister/inhalasi gas/cairan masuk paru-paru,
efek lokal.
BSO :  aerosol
Keuntungan :
a. Absorpsi cepat
b. Terhindar dari FPE di hati
c. Pada penyakit paru – paru (asma bronchial), obat dapat diberikan langsung pada
bronkus.
Kerugian :
d. Diperlukan alat & metoda khusus yg sulit dikerjakan,
e. Sukar mengatur dosis
f. Obatnya mengiritasi epitel paru-paru

c. Fungsi BSO :
1. Melindungi agar zat aktif tidak rusak oleh udara, kelembaban/cahaya →tablet
salut.
2. Melindungi zat aktif tidak dirusak asam lambung jk digunakan per oral →tablet
salut enterik, tab.sub lingual, tab.buccal.
3. Menutupi / menghilangkan rasa pahit, rasa & bau yg tidak enak dari obat
→kapsul, tablet salut, sirup.
4. Membuat serbuk yg tidak larut / tdk stabil dalam larutan dibuat serbuk yg tidak
larut & terdispersi dalam air (suspensi).
5. Mencampur cairan seperti minyak agar terdispersi dalam larutan air menjadi
emulsi, melindungi rasa & bau tak enak dari minyak (emulsi minyak ikan).
6. Memudahkan penggunaan obat untuk pengobatan setempat shg diperoleh efek
maksimal di tempat yg diobati →TM/ZM, TT, tetes hidung, salep/cream untuk
kulit.
7. Agar obat mudah masuk dalam lubang badan, yaitu :
Rektum →suppositoria, enema.
Vaginal →insert/suppositoria vaginal, douche
Mata →TM,ZM, dll.
8. Mengatur pelepasan obat yg teliti, tepat, aman shg diperoleh efek yg lama &
teratur (tab/kaps SR, CR, Oros). agar obat dapat segera masuk dalam peredaran
darah / jaringan badan (injeksi i.v. ; i.m.)
9. Memperoleh aksi obat yg optimal dalam saluran pernapasan (inhalasi / aerosol)
10. Membuat sediaan obat yg berupa larutan, dimana obatnya larut dalam zat
pembawa yg dinginkan

d. Faktor yg mempengaruhi pemilihan BSO


1. Faktor obat
a. Rasa obat pahit, amis, tidak enak →kapsul, emulsi, dragee.
b. Obat dirusak asam lambung (terutama jika diberikan p.o)→tablet salut enterik,
parenteral, suppositoria, tablet sublingual,tablet buccal.
2. Faktor penderita
a. Bayi & anak →sirup, pulveres (p.o)
b. Tidak sadar/pingsan, tidak kooperatif/gila →parenteral, rektal    (suppositoria,
enema).
c. Tingkat ekonomi →harga tablet/kapsul berbeda dg sirup.
3. Faktor penyakit
a. Gawat/emergency →parenteral, aerosol, nebulizer.
b. Letak penyakit →mis : mata (TT, ZM), telinga (TT).
c. Penyakit kronis & frekuensi pemakaian yg sering →mis: peny. jantung

DOSIS

1. Definisi
Takaran atau jumlah suatu obat yang diberikan kepada seorang penderita dalam satuan
berat (g, mg, mcg) atau satuan volume (L, ml).
2. Macam-macam
a. Dosis Maksimal
Dosis atau takaran optimum dalam rentangan obat yang masih aman diberikan kepada
pasien tanpa menimbulkan keracunan.
b. Dosis Minimal
Dosis atau takaran terkecil yang diberikan kepada penderita dan masih dapat
menyembuhkan serta tidak menimbulkan resistensi pada penderita.
c. Dosis Terapi / Lazim / Medicinal
Dosis tertentu yang diharapkan memberikan efek terapeutik pada penderita.
d. Dosis Toksik
Dosis yang diberikan melebihi dosis maksimum dan dapat menimbulkan keracunan,
namun tidak menyebabkan kematian.
e. Dosis Lethal
Dosis yang melewati dosis toksik dan menimbulkan kematian.
f. Dosis Awal
Disebut juga dengan initial dose ataupun loading dose. Obat-obat tertentu
memerlukan dosis permulaan atau dosis pemeliharaan. Dengan memberikan dosis
permulaan lebih tinggi dari dosis pemeliharaan, misalnya 2 kali, kadar obat yang
dikehendaki dalam darah dapat dicapai lebih awal dan efek terapi akan segera
muncul.
g. Dosis Pemeliharaan
Nama lainnya adalah Maintenance Dose. Sejumlah obat yang diberikan dengan tujuan
untuk menjaga kadar obat dalam tubuh. Dosis ini diberikan selama diperlukan.

3. Faktor yang Memengaruhi Dosis


a. Faktor Obat
Sifat fisika, sifat kimia, toksisitas, bentuk sediaan
b. Cara Pemberian Obat
Oral, Parenteral, Vaginal, Rektal, Uretral, Topikal
c. Faktor Penderita
Umur, Berat Badan, Jenis Kelamin, Ras, Toleransi, dll
d. Interaksi Obat
Fisik, Kimia, Farmakologi
Efek Positif : memperpanjang efek kerja obat
Efek Negatif : menganggu penyerapan obat yang lain

4. Alat Penakar Dosis


a. Sendok Resmi (FI)
b. Sendok Makan (C) ~ 15 ml
c. Sendok The (c.th) ~ 5 ml
1. Wadah Obat Minum
2. Gelas Obat (batasan garis tanda volume)
3. Obat Minum Tetes -> Penetes Baku (1 ml = 20 gtt)

5. Dosis Untuk Anak


Di bidang pediatri dalam menentukan dosis obat untuk terapi sering ditemukan
kesulitan-kesulitan, terutama bila ini menyangkut pengobatan anak prematur, anak baru
lahir, dan juga yang masih bayi. Alasannya ialah karena organ-organ pada penderita ini
masih belum berfungsi secara sempurna, antara lain hepar, ginjal dan susunan saraf pusat.
Tambahan lagi, distribusi cairan tubuh berbeda pada anak kecil dengan orang dewasa,
oleh karena cairan tubuh pada anak secara persentase berat badan juga lebih besar.
Oleh karena fungsi hepar anak yang baru belum sebagaimana semestinya, maka
konjugasi dengan asam glukuronat hampir tidak terjadi. Cadangan glycine untuk
konjugasi sangat terbatas, tetapi kemampuan konjugasi dengan cara asetilasi dan sulfatasi
sudah ada.Fungsi ginjal anak yang baru lahir juga belum sempurna. Ini disebabkan
jaringan ginjal masih mengalami diferensiasi yang mengakibatkan berkurangnya filtrasi
glomerulus. Baru pada umur di atas satu tahun si anak menghasilkan urine dengan
konsentrasi seperti orang dewasa; sampai umur satu tahun ini si anak membutuhkan
empat sampai enam kali air disbanding dengan orang dewasa bila diperhitungkan per
satuan berat badan.
Susunan saraf pusat (SSP) pun belum berkembang sempurna pada anak baru lahir.
Biar pun besarnya otak seorang anak umur satu tahun telah mencapai 2/3 dari besar otak
orang dewasa, tetapi koordinasi SSP dengan susunan saraf autonomic masih belum
sempurna.Mengenai cairan tubuh total, anak yang baru lahir mempunyai 29,7% lebih
cairan tubuh dari orang dewasa, bila dihitung per satuan berat badan. Pada umur 6 bulan
seluruh cairan tubuh masih 20,7% lebih tinggi, dan anak sampai umur 7 tahun pun masih
mempunyai 5,5% lebih cairan tubuh.
Faktor-faktor di atas (di samping faktor-faktor endogen dan eksogen lainnya)
menyebabkan respons terhadap obat berbeda pada anak dengan orang dewasa. Parameter-
parameter perbedaan anak dengan dewasa adalah sebagai berikut :
a. Pola ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi)
1. Perbedaan absorpsi (penyerapan) oleh karena perbedaan relative dari
“kepadatan” sel
2. Perbedaan distibusi oleh karena persentase cairan ekstraselular dan cairan
tubuhtotal relatif lebih tinggi
3. Perbedaan metabolism oleh karena proses enzimatik yang belum sempurna
4. Perbedaan ekskresi oleh karena glomerulus dan tubuli belum berkembang
secara lengkap.
b. Sensitivitas intrinsik yang berlainan terhadap bahan obat, khususnya obat
golongan Narkoba
c. Redistribusi dari zat-zat endogen

Di dalam praktek sehari-hari untuk terapi banyak sekali rumus-rumus yang


dipakai sebagai pendekatan untuk menghitung dosis obat untuk anak. Banyaknya
rumus-rumus yang dipakai (lebih dari 30) adalah merupakan suatu bukti, bahwa pada
hakekatnya tidak satu pun cara perhitungan dapat disebut atau dinyatakan memuaskan
untuk dipakai bagi semua obat. Mungkin ada preferensi salah satu rumus untuk obat
tertentu, tergantung pada distribusi utama dari obat.
Kalau diasumsikan kalkulasi/perhitungan suatu obat untuk seorang anak baru
lahir:
• Berdasarkan LPT 100 mg/m2 (LPT=luar permukaan tubuh)
• Berdasarkan BB 100 mg/kg, (BB = berat badan)
Maka konsentrasi obat akan mencapai persentase yang berbeda dalam cairan ekstra-
cellular, intra-sellular dan cairan tubuh seluruhnya.

CARA MENGHITUNG DOSIS ANAK :

1. UMUR

• dengan Bb anak dalam kg (2n+8)

n = tahun

• BB x dosis terapi

2. LPT anak dalam m^2

LPT Anak
x Dosis dewasa
1,8

6. Cara Perhitungan Dosis


Penentuan dosis atau dosis maksimal (DM) untuk orang dewasa dapat dilihat di buku-
buku referensi atau dapat juga dilihat di farmakope. Namun, untuk anak-anak dosis harus
dihitung dengan menggunakan rumus DM dengan didasarkan pada beberapa indikator :
a. Berdasarkan Berat Badan
1. CLARK (USA)
BB(lbs)
DM anak = x DM dewasa
150

2. THREMICK FIER (GERMAN)


BB(kg)
DM anak = x DM dewasa
70

3. BLACK (BELANDA)
BB(kg)
DM anak = x DM dewasa
62

b. Berdasarkan Umur
1. YOUNG (Anak < 8 tahun)
n
DM anak = x DM dewasa
n+ 12
Catatan : n = umur dalam tahun
2. DILLING (Anak > 8 tahun)
n
DM anak = x DM dewasa
20
Catatan : n = umur dalam tahun

3. FRIED (Anak < 2 tahun)


n
DM anak = x DM dewasa
150
Catatan : n = umur dalam bulan

c. Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh

AUSBERGER.
4 n+20
DM anak = x DM dewasa
150
Perhitungan paling tepat adalah berdasarkan luas permukaan tubuh, tapi paling sering
dipakai adalah berdasarkan umur untuk mencari berat badan karena mudah, yaitu dengan
menggunakan rumus 2n+8 dimana n = umur dalam tahun.

7. Contoh Perhitungan Dosis

R/ Atropin sulfat 0,5 mg


(DM sekali: 1 mg, DM sehari 3 mg)
      Sacchar.lact.    qs
     m.f.pulv. d.t.d. no.X.
     S. t.d.d. Pulv. I
Pro: Rifki (12th)
JAWAB
a. DM sekali pakai untuk anak 12 tahun
DM sekali pakai = (12/20) x 1 mg = 0,6 mg
b. DM untuk sehari  untuk anak 12 tahun
DM sehari = (12/20) x 3 mg = 1,8 mg
RESEP

1. Resep
Permintaan tertulis oleh dokter (umum atau spesialis), dokter gigi, atau dokter hewan
kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat kepada penderita sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.

2. Komponen Resep
a. Superscriptio / Prescriptio
Berisi kap resep (identitas dokter, alamat praktik, no. telp, SIP), nomor resep, tempat
dan tanggal dibuatnya resep, dan tanda R/.
b. Inscriptio
Berisi inti resep, yaitu nama obat, dosis obat, dan komposisi obat yang diberikan.
c. Subscriptio
Berisi cara pembuatan obat dan jumlah obat yang harus dibuat.
d. Signatura
Berisi aturan pemakaian obat (berapa kali sehari, sehabis/sesudah makan, dll), paraf
dokter, dan identitas pasien (nama, umur, alamat).

3. Bahasa Resep
Bahasa yang digunakan yaitu bahasa latin dengan tujuan bahasa latin merupakan bahasa
yang berlaku secara internasional dalam dunia kedokteran, tidak berubah, dan merupakan
bahasa-bahasa atau kode-kode yang dirahasiakan dari pasien yang hanya diketahui oleh
orang-orang dalam lingkup kesehatan.
Berikut adalah daftar dari beberapa kata latin untuk ditulis di resep :
A
1. a, aa = tiap-tiap
2. accur. = seksama
3. add. = tambahkan
4. ad. us. ext. (ad usum externum) = dalam pemakaian luar
5. ad.us int. (ad usum internum) = dalam pemakaian dalam
6. ad. us prop. (ad usum propium) = untuk dipakai sendiri
7. adh. (adhibere) = gunakan
8. applic. (applicatur) = digunakan
9. alt.hor. (alternis horis) = tiap jam
10. apt. (aptus) = cocok
11. a.c. (ante coenam) = sebelum makan
12. aur.dext. (a.d.) (auri dextrae)  = telinga kanan
13. aur.lev. (a.l.) (aur laevae) = telinga kiri
14. aut (aut) = atau
15. aq bisdest (aqua bidestilata) = air suling 2 kali
16. aq comm (aqua communis) = air biasa

B
1. bid. (biduum) = waktu 2 hari
2. b.d..d (bis de die) = dua kali sehari
3. b.d.d.c (bis de die cochlear) = dua kali sehari sekian sendok makan
4. b.in.d (bis in die). = 2 kali sehari
C
1. cito : segera
2. c. (cochlear) = sendok makan (15 ml)
3. c.th (cochlear thea) = sendok teh (5 ml)
4. c.p (cochlear parfum/pulvis) = sendok bubur (8 ml)
5. cochleat (cochleatin) = sendok demi sendok
6. cc = cc / centimeter kubik
7. c.l.q.s. = jumlah secukupnya
8. caps.gel.el. = kapsul gelatin dengan tutup
9. cav = awas
10. caut (caute) = hati hati
11. cer (cera) = malam, lilin
12. col (cola) = menyari
13. conc (concentratus) = pekat
14. consp. (consperge) = taburkan
15. clysm. (clysma) = enema, lavemen
16. cois.comm. (communis) = biasa
D
1. d (dosi/dies/dexter) = takaran/hari/kanan
2. d.c. (durante coenam) = pada waktu makan
3. d.in.dim (da in dimio) = berikan separonya
4. d.in.2plo (da in duplo) = berikan 2 kalinya
5. d.in.3plo (da in triplo) = berikan 3 kalinya
6. d.d (de die) = sehari
7. 4.d.d.c (quarter de die cochlear) = 4 kali sehari sekian sendok makan
8. 5.d.d.c (quinquies de die ccochlear) = 5 kali sehari sekian sendok makan
9. d.s. (da signa) = berikan dan tulis
10. d.s.s.ven (de sub signo veneni) = berikan tanda racun
11. det (detur) = diberikan
12. dim (dimidio) = separuhnya
13. dtd (da tales doses) = berikan sekian takaran
14. dext. (dexter) = kanan
15. dil (dilutus) = diencerkan
16. dim. (dimidius) = separuhnya
17. div.in.p.aeq (divide in partes aequales) = bagilah dalam bagian yang sama

E
1. E.D. (expiration date) = tanggal kadaluarsa
2. e.d (eyes drops) = obat tetes mata
3. emuls =emulsi
4. e.m.p = sesuai dengan yang tertulis
5. ext.ut (externum utendum) = untuk dipakai diluar
F
1. f (fac, fiat, fiant) = buat. Dibuat
2. filtr. (filtra) = saring
3. f.l (flores) = bunga
4. fol (folia) = daun
G
1. g (gramma) = gram
2. gtt. (guttae) = tetes
3. gutt.ad.aur. (guttae ad aures) = tetes telinga
4. gutta. (guttatim) = tetes demi tetes
H
1. h. (hora) = jam
2. h.v (hora vespertina) = malam
3. h.m (hora matutina) = pagi pagi
4. haust (haustus) = diminum sekaligus
5. h.s  (hora somni) = pada waktu mau pergi tidur

I
1. i.c. (inter cibus) = diantara waktu makan
2. i.d. (idem) = sama
3. I.A. (intra arterium) = suntikkan melalui pembuluh darah arteri
4. I.C (intra cutan) = suntikkan melalui lapisan kulit luar
5. I.M. (intra muscular) = suntikkan melalui bagian punggung (lumbal)
6. i.m.m. (in manum medici) = diserahkan dokter
7. I.V. (intra venous) = suntikkan melalui pem.darah vena
8. in. = dalam
9. in.d. = dari hari ke hari
10. inj.subc. = injeksi dibawah kulit/subkutan
11. instill (instilla) = teteskan
12. iter (iteratio/iteretur) = diulang

L
1. liq. (liquid) = cair
2. lot. (lotus) = dicuci
M
1. m (mane, misce) = pagi, campur
2. m.et v. (mane et vaspere) = pagi pagi dan malam
3. m.f (misce fac) = campur buat
4. merid (meridiem) = tengah hari
5. mixt. (mixtura) = campuran
N
1. ne iter (N.I) (ne iteretur) = jangan diulang
2. nedet (n.dt.) (ne detur) = tidak diberikan
3. ne repetatur = ne iter (ne iteretur) = tidak diulang
4. noct (nocte) = tengah malam
O
1. o.u = kedua mata
2. o.s. = mata kiri
3. o.d = mata kanan
4. o.h (omni hora) = tiap jam
5. o.h.c (omni hora cochlear) = tiap jam 1 sendok
6. o.b.h.c (omni bihorio cochlear) = tiap 2 jam 1 sendok
7. o.tr.h.c (omni  trihorio cochlear) = tiap 3 jam 1 sendok makan
8. o.4.h.c (omnibus quatuor horis cochlear) = tiap 4 jam 1 sendok makan
9. o.5.h.c (omnibus quinque horis cochlear) = tiap 5 jam 1 sendok makan
10. o.1/4.h (omni quarta hora) = tiap 1/4 jam
11. o.m. (omni mane) = tiap pagi
12. o.n (omni nocte) = tiap malam
13. opt. (optimus) = sangat baik
P
1. p.d.sing. (pro dosi singulari) = untuk dosis tunggal
2. P.I.M (periculum in mora) = berbahaya bila ditunda
3. part.dol (parte dolente) = pada bagian yang sakit
4. p.r.n. (pro re nata) = kadang kadang jika perlu
5. p.o. (per os) = secara oral
6. pil (pilula) = pil
7. pot. (potio) = minuman/larutan
8. p.c. (post coenam) = stelah makan
9. pulv. (pulvis/pulveratus) = serbuk

Q
1. q. (quantitas) = banyaknya
2. q.s. (quantum satis) = secukupnya
R
1. R., Rp.,Rcp., (recipe) = ambillah
2. rec. (recens) = baru
3. reiter = dibuat ulangan baru
4. repetatur = iteretur = diulang
5. Rep.s (repetatur semel) = diulang sekali
6. Rep.bis (repetatur bis) = diulang 2 kali
S
1. s. (signa) = tanda
2. ss. (semis) = separuh
3. s.d.d.c (semel de die cochlear) = satu kali sehari sekian sendok makan
4. sol.,solut (solutio) = larutan
5. solv. (solve) = larut
6. statim : penting
7. sum. (sume) = untuk diminum
8. sup (super) = atas
T
1. t.d.d (ter de die) =  3 kali sehari
2. t.d.d.c (ter de die cochlear) = 3 kali sehari sekian sendok makan
3. ter in d. (ter in die) = 3 kali sehari
4. ter. (tere) = gosok
5. tct., tinct., tra., () tinctura = tingtur
6. trit (tritus) = gerus
U
1. urgent : penting
2. u.c (usus cognitus) = pemakaian diketahui
3. u.e (usus externus) = dipakai untuk luar
4. u.i (usus internus) = dipakai untuk dalam
5. u.v (usus veterinarius) = pemakaian untuk hewan
V
1. vesp. (vaspere) = malam
2. vit.ov. (vittelum ovi) = kuning telur

4. Jenis Resep
a. Biasa
Jenis resep biasa diberikan pada keadaan normal yang dimana pasien tersebut tidak
diharuskan menerima obat yang telah di resepkan segera. Walau begitu, pengambilan
obat harus sesegera mungkin.

b. Cyto
Jenis resep ini digunakan apabila dalam kondisi mendesak seperti di unit gawat darurat
atau UGD, yang mengharuskan obat diberika segera kepada pasien.
5. Bentuk Resep
a. Asli
Bentuk resep asli adalah kertas resep yang dituliskan langsung oleh dokter yang
menangani pasien tersebut. Ciri-ciri pembeda yang paling terlihat adalah, apabila resep
asli, menggunakan identitas lengkap dokter tersebut,

,
b. Copy
Bentuk resep copy adalah resep yang ditulis ulang oleh pihak apotek demi
kepentingan pasien sebagai contoh apabila pasien disarankan untuk mengulang pengambilan
obat (iter).
Bagian dari copy resep ini adalah
1. Nama dan alamat apotek
2. Nama, APA, dan nomor SIA
3. Nama dan umur pasien
4. Nama dokter penangan pasien
5. Tanggal penulisan resep
6. Tanggal dan nomor ururt pembuatan copy resep
7. Tanda R/
8. Tanda det atau deteur yang menandakan bahwa obat telah diserahkan kepada pasien
9. Tanada ne det atau ne deteura yang menandakan bahwa obat belum diserahkan
kepada pasien
10. Tulisan p.c.c atau pro copy conform yang menandakan bahwa Salinan resep sudah
sesuai dengan resep asli

6. Prinsip
a. Tepat obat
b. Tepat dosis
c. Tepat cara pemberian
d. Tepat bentuk
e. Tepat waktu pemberian

7. Cara membaca dan menulis resep


a. Resep non dtd
Pada bagian inscriptionya, di satuan obat, berisikan satuan obat untuk total semua
sediaan yang disarankan oleh dokter (seperti untuk pasien X membutuhkan sekian mg
untuk 10 pulveres)

b. Resep dtd
Resep ini pada inscriptio dan bagian satuan obat, berisikan satuan obat untuk satu
sediaan (seperti satu pulveres).
c. Resep untuk satu sediaan obat

d. Resep untuk lebih dari satu obat

e. Resep apabila terdapat penggantian pemberian obat paten menjadi obat generik
8. Seni penulisan resep
a. Ad.1 ; Formula magistralis
1. Memahami sifat obat
2. Mengetahui obat tak tercampurkan
3. Trampil menentukan dosis therapy
4. Trampil memilih BSO yang tepat
5. Trampil menentukan waktu atau cara pakai obat
6. Menulis resep jelas dan terbaca
b. Ad.2 Formula specialis
1. Memahami isi, khasiat, kadar obat
2. Mengetahui obat tak tercampurkan
3. Trampil menentukan dosis
4. Trampil menentukan BSO yang tepat
5. Trampil menentukan waktu dan cara penggunaan obat
6. Menulis jelas dan terbaca
7. Memahami penulisan obat dengan nama dagang
—add LOCO—

c. Ad.3 ; Formula Officinalis


i. Mengetahui macam buku resmi
ii. Menulis jelas dan terbaca
iii. Memahami menulis obat standar

OBAT TRADISIONAL
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor :
HK.00.05.4-2411 tang-gal 17 Mei 2004 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan
penandaan obat bahan alam Indonesia. Dalam Keputusan Kepala Badan POM yang dimaksud
dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia.
Selanjutnya disebutkan dalam Keputusan Kepala Badan POM tersebut, berdasarkan cara
pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam
Indonesia dikelompokkan secara berjenjang menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Jamu
2. Obat Herbal Terstandar
3. Fitofarmaka.

1. Definisi
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan
untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

2. Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan secara berjenjang menjadi


tiga kelompok yaitu :
a. Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam
bentuk serbuk seduhan atau cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi
penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini
dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai
tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan
lebih. Golongan ini tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis,
tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun
selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan
keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.
Lain dari fitofarmaka, Jamu bisa diartikan sebagai obat tradisional yang disediakan
secara tradisional, tersedia dalam bentuk seduhan, pil maupun larutan. Pada
umumnya, jamu dibuat berdasarkan resep turun temurund dan tidak melalui proses
seperti fitofarmaka. Jamu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
 Aman
 Klaim khasiat berdasarkan data empiris (pengalaman)
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi.
Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika
bertahan minimal 180 tahun. Inilah yang membedakan dengan fitofarmaka, dimana
pembuktian khasiat tersebut baru sebatas pengalaman, selama belum ada penelitian
ilmiah. Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar atau fitofarmaka
dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan
yang terstandarisasi. Pada saat ini kesadaran akan pentingnya “back to nature”
memang sering hadir dalam produk yang kita gunakan sehari-hari. Saat ini contohnya
kita bisa melihat banyak masyarakat yang kembali ke pengobatan herbal. Banyak
ramuan-ramuan obat tradisional yang secara turun-temurun digunakan oleh
masyarakat untuk pengobatan. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa pengobatan
herbal tidak memiliki efek samping. Logo jamu :

b. Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar (OHT) juga tidak sama dengan fitofarmaka. Obat Herbal
Terstandar (OHT) adalah obat tradisional yang berasal dari ekstrak bahan tumbuhan,
hewan maupun mineral. Perlu dilakukan uji pra-klinik untuk pembuktian ilmiah
mengenai standar kandungan bahan yang berkhasiat, standar pembuatan ekstrak
tanaman obat, standar pembuatan obat yang higienis dan uji toksisitas akut maupun
kronis seperti halnya fitofarmaka.Dalam proses pembuatannya, OHT memerlukan
peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal serta memerlukan tenaga kerja
dengan pengetahuan dan keterampilan pembuatan ekstrak, yang hal tersebut juga
diberlakukan sama pada fitofarmaka. Obat Herbal dapat dikatakan sebagai Obat
Herbal Terstandarisasi bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi.
Indonesia telah meiliki atau memproduksi sendiri OHT dan telah telah beredar di
masyarakat 17 produk OHT, seperti misalnya : diapet®, lelap®, kiranti®, dll. Sebuah
herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji
klinis pada manusia. Logo OHT :

c. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisionalyang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah
dibuktikan melalui uji klinis. Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan
alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM.
RI., 2004 ). Ketiga golongan atau kelompok obat tradisional tersebut di atas,
fitofarmaka menempati level paling atas dari segi kualitas dan keamanan. Hal ini
disebabkan oleh karena fitofarmaka telah melalui proses penelitian yang sangat
panjang serta uji klinis yang detail, pada manusia sehingga fitofarmaka termasuk
dalam jenis golongan obat herbal yang telah memiliki kesetaraan dengan obat, karena
telah memiliki clinical evidence dan siap di resepkan oleh dokter. Obat Herbal dapat
dikatakan sebagai fitofarmaka apabila obat herbal tersebut telah memenuhi kriteria
sebagai berikut :
 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik dan klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi
Hal yang perlu diperhatikan adalah setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat
mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh
menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji klinis hanya
sebagai antikanker, produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan
antidiabetes.
Indonesia pada saat ini telah memproduksi dan beredar di masyarakat sebanyak 5
buah fitofarmaka, seperti Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT Dexa Medica),
Rheumaneer PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros). Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah
di standarisasi.
Pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan karena juga
berasal dari bahan-bahan alami, meskipun demikian jenis sediaan obat ini masih
belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-jamuan dan herba
terstandar. Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif
daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas.
Dengan kata lain fitofarmaka menurut ilmu pengobatan merupakan sediaan jamu-
jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang panjang yang setara dengan obat-
obatan modern yang beredar di masyarakat, diantaranya fitofarmaka telah melewati
standarisasi mutu, baik dalam proses penanaman tanaman obat, panen, pembuatan
simplisis, ekstrak hingga pengemasan produk, sehingga dapat digunakan sesuai
dengan dosis yang efektif dan tepat. Selain itu sediaan fitofarmaka juga telah
melewati beragam pengujian yaitu uji preklinis seperti uji toksisitas, uji efektivitas,
dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap
manusia. Logo fitofarmaka :

Anda mungkin juga menyukai