Anda di halaman 1dari 12

RINOSINUSITIS PADA ANAK

I. DEFINISI

Definisi Rinosinusitis pada anak secara klinis adalah suatu peradangan pada hidung
dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala salah satunya yaitu hidung
tersumbat atau obstruksi dan adanya cairan pada hidung (cairan menetes pada hidung bagian
anterior atau posterior), kemudian nyeri atau rasa tertekan pada wajah, batuk dan lainnya.1
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis.2

II. EPIDEMIOLOGI

Rinosinusitis akut merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak. Rata-
rata anak mengalami 6-8 episode infeksi saluran nafas atas per tahun dan diperkirakan 5-10%
infeksi saluran nafas atas akan menimbulkan rinosinusitis.3 Di Amerika Serikat, kejadian
tahunan pada rinosinusitis oleh virus diperkirakan mencapai 6 sampai 8 episode pada anak-
anak sedangkan pada dewasa sekitar 2 sampai 3 episode.4

Dalam analisis terbaru masalah Telinga Hidung Tenggorokan pada kelompok anak
yang menggunakan data dari praktik umum di Belanda yaitu dari tahun 2002 sampai 2008,
Uijen dan beberapa peneliti lainnya melaporkan tingkat insiden yaitu 18 kasus sinusitis per
1000 anak berusia 12-17 tahun per tahunnya dan 2 kasus per 1000 anak pada mereka yang
berusia 0-4 tahun. Pada anak usia 5-14 tahun, Uijen et al mengamati turunnya kejadian dari 7
kasus per 1.000 anak di tahun 2002 menjadi 4 per 1000 di tahun 2008.1 Dari Respiratory
Surveillance Program, diperoleh data demografik mengenai rinosinusitis paling banyak
ditemukan secara berturut-turut pada etnis kulit putih, Afrika, Amerika, Spanyol dan Asia.5

III. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Rinosinusitis dapat disebabkan oleh proses infeksi ataupun non infeksi. Proses infeksi
yang paling sering adalah infeksi virus. Infeksi virus yang berat atau berlangsung lama dapat
menyebabkan masuknya infeksi lain yaitu infeksi bakteri. Selain itu, pada kondisi kondisi
khusus yaitu dengan gangguan imunologi, sinusitis dapat juga disebabkan oleh jamur atau
infeksi bakteri yang lebih berat. Penyebab sinusitis non infeksi adalah proses alergi. Pada

1
anak dengan pilek atau rinitis alergi mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk menderita
sinusitis. Terutama anak dengan pilek alergi bersifat menetap (persisten).6

Konsensus tahun 2004 membagi Rinosinusitis menjadi Akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.2
Organisme yang sering ditemukan pada Rinosinusitis anak, biasanya sama seperti yang
ditemukan pada otitis media seperti Streptococcus pneumoniae, Staplyllococcus pyogenes,
Haemoplylus influenzae dan Moraxella catharalis. Pada kasus kronis, Staplyllococcus
pnemonial, Streptococcus haemolyticus dan bakteri anaerob sering ditemukan.7 Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan
adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya.2

IV. ANATOMI SINUS PARANASAL

Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengeliling rongga hidung. Ada
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung. 2

Secara Embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Umumnya, sinus-sinus ini mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh mukoperiosteum yang berisi udara dan
berhubungan dengan cavum nasi melalui apertura yang relatif kecil.2,5

2
Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal

1. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml saat dewasa.2 Membran mukosa sinus maksila dipersarafi oleh
nervus alveolaris superior, nervus orbitalis dan nervus infraorbitalis. Hal ini
menyebabkan nyeri dapat dirasakan pada rahang bagian atas disertai nyeri pada gigi
geligi. Sinus maksila bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus
semilunaris. Disebabkan sinus etmoid anterior dan sinus frontal bermuara ke dalam
infundibulum, dilanjutkan ke hiatus semilunaris sehingga penyebaran infeksi dari
sinus-sinus tersebut ke sinus maksila cukup besar.8

Gambar 2. Kondisi pada sinusitis maksila

3
2. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal terbagi dua yaitu
kanan dan kiri, dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar kedaerah ini. Membran
mukosa sinus ini dipersarafi oleh nervus supra orbitalis yang juga mempersarafi dahi
dan kulit kepala. Hal ini yang menyebakan nyeri oleh karena inflamasi mukosa akan
terlokalisir di daerah tersebut.2,8

Gambar 3. Sinus frontal kiri dan kanan yang membentuk segitiga pada os
frontal

Gambar 4. Pertumbuhan sinus frontal dan maksila9

3. Sinus Etmoid
Struktur utama yang membentuk dasar anatomi tulang wajah dan sinus adalah tulang
etmoid. Sel-sel etmoid bagian anterior, bersama dengan sinus frontal dan sinus
maksila saling terhubung dengan hidung melalui daerah anatomis yang disebut
sebagai kompleks Ostio-Meatal (KOM). Membrana mukosa dipersarafi oleh nervus
etmoidalis anterior dan posterior.5,8

4
4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak di dalam os sfenoid dibelakang sinus etmoid posterior dan
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Membran mukosa pada sinus
ini dipersarafi oleh nervus etmoidalis posterior.8

V. PATOFISIOLOGI

Tiga faktor utama berperan pada fisiologi sinus paranasal adalah ostium yang terbuka,
silia yang berfungsi efektif dan pengeluaran sekret yang normal. Retensi sekret dalam sinus
paranasal dapat diakibatkan oleh obstruksi ostium, penurunan jumlah atau fungsi silia atau
produksi yang berlebihan atau berubahnya viskositas sekret, diikuti dengan infeksi sekunder
sehingga terjadi peradangan mukosa sinus paranasal. Mukus juga mengandung susbstansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. 2,7
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Kegagalan transport mukus dan
menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi
rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa
hidung khususnya Kompleks Ostiomeatal (KOM).2
Secara skematik, patofisiologi rinosinusitis adalah apabila organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula- mula
terbentuk cairan serosa. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non- bacterial yang
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.2,5
Faktor paling sering yang menyebabkan terjadinya sinusitis adalah ISPA yang
disebabkan oleh virus. Bagaimana infeksi virus dapat menyebabkan sinusitis masih belum
jelas, namun diperkirakan respon peradangan terhadap virus menyebabkan tertutupnya sinus,
pertukaran oksigen menjadi terganggu, sehingga memicu tumbuhnya bakteri dan timbul
infeksi. Gerakan silia pada mukosa sinus menjadi sangat terganggu sehingga timbul
penumpukan sekret dan penebalan mukosa sinus.7

5
Menurut berbagai penelitian, pada anak bakteri utama yang ditemukan adalah M.
Catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak
menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk
pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri mengambil
alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi
semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes
dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan
peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat
ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus.5,10

VI. DIAGNOSIS

Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-
gejala yang ada pada rinosinusitis pada anak, mengingat patofisiologi rinosinusitis yang
kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi
atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap. Beberapa keluhan atau gejala yang terjadi pada anak yang dapat
diperoleh melalui anamnesis adalah keluhan yang sering ditemukan adalah batuk yang
berulang, pilek dengan cairan hidung yang berwarna kuning kehijauan, sehingga juga sering
menyebabkan hidung tersumbat. Gejala infeksi respiratorik atas tidak sembuh sampai lebih
dari 7 hari. Nyeri kepala dan nyeri di daerah muka yang menjalar ke graham atas (geligi).
Kadang pendengaran menurun dan penciuman serta sensorik wajah berkurang. Demam
ditemukan pada kurang dari 30% kasus. Napas atau mulut yang berbau dapat ditemui.1
Diagnosis sinusitis berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Tabel 1 menunjukkan gejala sinusitis pada penelitian Wald dan kawan-kawan tahun 1961,
Said pada tahun 1988 dan Arruda dan kawan-kawan tahun 1990.7

6
Tabel 1. Gejala klinis sinusitis7
Pemeriksaan Fisik
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis seperti udem konka, hiperemis, sekret (nasal drip), deviasi septum,
tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung. Sedangkan, pada rinosinusitis akut dapat ditemukan, mukosa edema dan
hiperemis. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksilla dan etmoid
anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).
Pada anak, sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.1

Pemeriksaan Penunjang
Prosedur penunjang diagnostik untuk sinusitis akut meliputi transiluminasi,
ultrasonografi, foto polos sinus paranasalis, Ct Scan dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Banyak penulis yang menyatakan bahwa transiluminasi tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis sinusitis pada anak, demikian juga pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi
digunakan hanya untuk mengevaluasi sinus maksila dan itupun hanya memiliki hasil minimal
dalam menegakkan diagnosis.7
Pemeriksaan foto polos ini merupakan pemeriksaan standar utama untuk sinusitis.
Kekurangan foto polos adalah sering ditemukan hasil positif dan negatif palsu. Tiga jenis
proyeksi yang digunakan untuk diagnosis sinusitis dengan pemeriksaan foto polos yaitu
waters position untuk evaluasi sinus maksila dan frontal, caldwell position untuk evaluasi
sinus etmoidalis, dan proyeksi lateral untuk evaluasi ukuran adenoid, masa di nasofaring dan
kelainan di sfenoid.7

7
Gambar 5. foto polos pasien dengan penebalan mukosa polipoid di sinus maksila kanan
dengan kista retensi mukosa di sebelah kiri pada posisi Waters.11

Penggunaan ct scan untuk diagnosis sinusitis pada anak sangat membantu, terutama
sinusitis kronis. Hasil yang didapat menggambarkan keadaan sinus dan kompleks
osteomeatal. Penggunaan MRI sangat baik untuk mengetahui kelainan soft tissue dari sinus
paranasal, namun terbatas dalam pencitraan kelainan tulang, sehingga MRI tidak dapat
mengevaluasi sinusitis akut maupun kronis.7

Gambar 6. CT Scan pasien sinusitis maksilaris sinistra11

8
Gambar 7. MRI pasien dengan sinusitis etmoid bilateral11

VII. PENATALAKSANAAN

Terapi medikamentosa
Pada sinusitis akut, diberikan amoksisilin (40 mg/kgbb/hari) yang merupakan first
line drug, namun jika tidak ada perbaikan dalan 48-72 jam, dapat diberikan yaitu kombinasi
amoxicilin dengan asam klavulanat dengan dosis 25-40 mg/kg BB/hari di bagi dalam 2 dosis.
Hal ini disebabkan oleh beberapa kuman seperti Moraxela kataralis dan Haemofilus
Influenza telah resisten terhadap amoxicilin dan diberikan sebaiknya selama 10-14 hari. Pada
kasus sinusitis kronis, antibiotik diberikan selama 4-6 minggu sebelum diputuskan untuk
pembedahan. Dosis amoksisilin dapat ditingkatkan sampai 90 mg/kgbb/hari.7
Dekongestan dapat diberikan pada rinosinusitis akut baik secara lokal atau sistemik
dengan tujuan untuk membuka ostium sinus. Dekongestan sistemik dapat diberikan
Pseudoefedrin dengan dosis 4mg/kg BB/ hari. Pemberian dekongestan lokal seperti Efedrin
harus dihentikan setelah 3 - 5 hari pemakaian untuk menghindari efek rebound (rinitis medika
mentosa).1,5,7
Steroid topikal dianjurkan pada sinusitis kronis. Steroid akan mengurangi edem dan
inflamasi hidung sehingga dapat memperbaiki drainase sinus. Untuk steroid oral, dianjurkan
pemberiannya dalam jangka pendek mengingat efek samping yang mungkin timbul.7
Tindakan pembedahan untuk pasien yang tidak responsif dengan terapi
medikamentosa yang maksimal, tindakan bedah perlu dilakukan. Indikasi bedah apabila
ditemukan perluasan infeksi intrakranial seperti meningitis, nekrosis dinding sinus disertai
pembentukan fistel, pembentukan mukokel, selulitis orbita dengan abses dan keluarnya sekret

9
terus menerus yang tidak membaik dengan terapi konservatif. Beberapa tindakan
pembedahan pada sinusitis antara lain adenoidektomi, irigasi dan drainase, septoplasti, andral
lavage, dan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS).4,7

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.


Komplikasi berat biasanya terjadi pada rinosinusitus akut atau kronis dengan eksaserbasi
akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Beberapa faktor yang diduga sebagai
penyebab terjadinya komplikasi antara lain karena: 3,1,11
1) Terapi yang tidak adekuat
2) Daya tahan tubuh yang rendah
3) Virulensi kuman dan penanganan tindakan operatif (yang seharusnya) terlambat dilakukan.
Komplikasi yang biasanya terjadi adalah:3,1,11
1. Kelainan orbita
Abses periorbita merupakan salah satu komplikasi dari rinosinusitis baik akut ataupun
kronis. Beberapa faktor sangat berperan pada penyebab penyebaran rinosinusitis ke orbita.
Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak
sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis
akut ataupun kronik. Hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti anatomi antara
sinus paranasal dan orbita, kekebalan tubuh yang menurun terutama pasien dengan
imunodefisiensi, serta faktor lingkungan seperti kebersihan, musim, ataupun alergen.
Keterlibatan sinus paranasal yang menimbulkan komplikasi orbita pada anak-anak terutama
disebabkan oleh infeksi pada sinus etmoid.

2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis
sinus kavernosus.
3. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Paling sering timbul adalah akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak.
4. Kelainan paru
Adanya kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum rinosinusitisnya disembuhkan.

10
IX. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.
Semakin cepat maka prognosisnya semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang
baik.1,11

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokken WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, et al. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology. 2012;50:March. Pages 3-16.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Sinus paranasal. Sinusitis.
Dalam; Soetjipto D, Mangunkusumo E, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VII(7). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012. Halaman 122-28.
3. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Management of Sinusitis and
Committee on Quality Improvement. Clinical Pratice Guideline: Management of
Sinusitis. Pediatrics. 2001;108:September. Pages 798-808. 2001.
4. Clement PAR, Vlaminck s. Rhinosinusitis in children. Department of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery, St. Jan General Hospital, Bruges. 2007. Page 60.
5. Brook I. Sinusitis Epidemiology. Sinusitis: from microbiology to management. New
York; 2006. Page 1-10.
6. Santoso BB. Sinusitis pada anak, mungkinkah?. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017.
Diakses pada tanggal 05 Juli 2017 dari: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/sinusitis-pada-anak-mungkinkah
7. Rinaldi, Helmi M. Lubis, Ridwan M. Daulay, Panggabean G. Sinusitis pada anak.
Sari pediatri. 2006;74:Maret. Halaman 244-48.
8. Snell R. Anatomi klinik: untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. EGC. Jakarta.2012.
9. Pernas F. Pediatric chronic rhinosinusitis. Department of otolaryngology Texas
medical branch. 2009.
10. Porth CM. Essentials of Pathophysiology. Fourth edition. Philadephia; 2006. Pages
854-76.

11. Ramanan RV. Sinusitis Imaging. Department of Radiology, The Apollo Heart Centre,
India. 2016. Diakses pada tanggal 07 Juli 2017 dari:
http://emedicine.medscape.com/article/384649-overview#a2

12

Anda mungkin juga menyukai