Disusun oleh :
Pembimbing:
Penguji :
TANGERANG
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Maka dari itu, diagnosa dan tatalaksana RLF secara cepat dan tepat sangat
penting untuk menjaga kualitas hidup pasien dan mencegah berkembangnya penyakit
di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa. Pada referat ini akan dibahas
mengenai anatomi, fisiologi, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari RLF.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Faring
Secara anatomis, faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring / hipofaring. Nasofaring yang terdiri dari epitel kolumner bertingkat
dan dibatasi oleh fossa Rosenmuller pada dinding lateral. Tempat ini merupakan
tempat paling sering terjadinya karsinoma. Kemudian, orofaring/mesofaring memiliki
batas superior berupa palatum durum, batas inferior adalah bagian superior dari tulang
hyoid, batas anterior adalah inlet orofaringeal dan pangkal lidah, batas posterior
4
dibentuk oleh otot- otot konstriktor superior dan media dan mukosa faring. Struktur
pada rongga orofaring yaitu, dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil, serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
Sedangkan, hipofaring/laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring yang
berada di belakang dan sebagian di samping laring. Bagian atas hipofaring berbatasan
dengan bidang yang dibentuk oleh tulang hyoid dan dinding posterior faring, batas
bawahnya adalah batas inferior dari kartilago tiroidea, kemudian hipofaring dilanjutkan
menjadi esofagus. Di bawah hipofaring, sejajar dengan kartilago krikoid, otot
cricopharyngeus membentuk UES (Upper Esophangeal Sphincter). Otot ini
mengalami kontraksi tonik selama istirahat dan relaksasi saat menelan untuk
memungkinkan bolus makanan masuk ke esofagus.
5
dari pleksus faring. Pleksus ini dibentuk dari cabang nervus vagus, cabang nervus
glossofaringeal, dan serabut saraf simpatis. Dari faring yang ekstensif ini keluar
cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang langsung
dipersarafi oleh nervus glossofaringea
2.1.2 Laring
Laring memiliki bentuk seperti kotak triangular yang tersusun atas 3 kartilago
berpasangan dan 3 kartilago tidak berpasangan, serta merupakan suatu penghubung
antara faring dan trakea. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago
epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kurniculata, dan kartilago
tiroid. Tiga kartilago yang tidak memiliki pasangan adalah kartilago tiroid, krikoid, dan
epiglottis. Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti daun dengan
fungsi sebagai katup untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan dan isi oropharynx
ke saluran pernafasan. 3
Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa
tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan
dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan,
kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas. Sedangkan pada
keadaan diam, maka otot- otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu
menggerakan lidah.3
Pada laring terdapat pita suara asli (plika vokalis) dan pita suara palsu (plika
ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, dan
bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika vokalis
dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu: vestibulum
laring/supraglotik (di atas plika ventrikularis), glotik, dan infraglotik (di bawah plika
vokalis).3
6
2.1.3. Esofagus
2.1.3.1 Anatomui Esofagus
7
Gambar 2 Anatomi Esofagus
8
akibat kontraksi otot intrinsik lidah dan bolus terdorong ke posterior
bersamaan dengan terjadinya penutupan nasofaring. Selanjutnya, terjadi
kontraksi otot palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup
dan diikuti oleh kontraksi otot palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.6
2. Fase Faringeal (Tidak Sadar)
Pada fase ini, faring dan laring bergerak ke atas karena kontraksi
dari otot stilofaring, otot salfingofaring, otot tirohioid dan otot
palatofaring. Aliran udara ke laring terhenti pada proses ini karena
refleks yang menghambat pernapasan yang menyebabkan bolus
makanan tidak masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya, bolus
makanan akan bergerak kearah esofagus karena valekula dan sinus
piriformis berada dalam keadaan lurus.6
3. Fase esofageal
9
2.2 Definisi
Refluks Laringofaring (RLF)) atau yang juga dikenal sebagai extra-esophageal reflux,
supraesophageal reflux, atau silent reflux merupakan suatu kondisi adanya aliran balik
dari isi gastroduodenum ke saluran cerna bagian atas yaitu esophagus dan
laringofaring. Penyakit refluks ini mengacu pada reaksi peradangan pada membran
mukosa pada faring, laring, dan organ pernapasan yang terkait. 5
2.3 Epidemiologi
RLF umumnya sering terdiagnosis pada 10% pasien yang datang ke poli rawat
jalan, dan 50% pada pasien dengan keluhan gangguan suara. 6 Pada negara barat,
insiden terjadinya RLF mencapai 10-15%. Prevalensi RLF pada populasi Yunani
ditemukan sebesar 18,8% yang secara statistik ditemukan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua jenis kelamin (p>0,05). 2 Pada penelitian kohort yang
dilakukan pada 100 pasien tanpa riwayat keluhan suara, sebanyak 35% memiliki gejala
RLF dan 64% dari mereka ditemukan adanya temuan RLF pada pemeriksaan
laringoskopik. Pada penelitian kohort tersebut, pasien RLF paling umum ditemukan
pada pasien dengan neoplasia laring (88%) dan muscle tension dysphonia (70%). 7
2.4 Faktor Risiko dan Etiologi
Pada penelitian yang dilakukan di eropa, umur dinyatakan tidak menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya RLF (p value = 0,08). Pada penelitian ini didapati bahwa
jenis kelamin laki-laki memiliki faktor risiko atas kejadian RLF. Individu dengan BMI
yang tinggi dan obesitas cenderung memiliki angka kejadian lebih tinggi terkena RLF.
Faktor risiko lainnya yaitu berupa individu dengan hiatal hernia, kehamilan, alkohol,
invidivu dengan GERD erosif, dan individu dengan barret esofagus. 8 Upper
eosophageal sphincter (UES) mempunyai peran penting dalam terjadinya RLF.
Adanya relaksasi yang bersifat prematur pada UES pada saat terjadinya reflux
menyebabkan kejadian RLF. Relaksasi ini akan menyebabkan isi dari sistem
gastroduodenal akan bersentuhan dengan mukosa laring dan faring yang mendorong
terjadinya proses inflamasi, disrupsi epitel, dan perubahan sensitivitas. Penurunan
10
tekanan UES dapat disebabkan oleh hiatus hernia, diet lemak dan produk susu,
tembakau, alkohol, obat tertentu (nitrat, dopamin, teofilin). Pengosongan isi lambung
yang terlambat karena adanya obstruksi, diet tinggi lemak, dan alkohol juga dapat
mendorong terjadinya RLF. Gangguan motilitas esofagus oleh penyakit
neuromuskular, penurunan resistensi mukosa akibat radioterapi, hipersekresi pepsin
akibat stress psikososial dan pola diet, dan penurunan salivasi juga menjadi etiologi
terjadinya RLF. Kelainan ini umum juga terjadi karena adanya peningkatan tekanan
intraabdominal karena kehamilan, obesitas, binge-eating, minuman berkarbonasi. 7
2.5 Patofisiologi
11
proteksi laring yang menyebabkan kerusakan mukosa. Laring tidak lagi diproteksi oleh
bikarbonat, saliva / buffer, dan peristalsis.7
Terdapat dua yang dapat menjelaskan mekanisme patofisiologi terjadinya RLF:
1. Mekanisme langsung (direct)
Penyebab dan patologi utama penyebab LPR berhubungan dengan
disfungsi katup atas esofagus (hiatus hernia, penyakit neuromuskular,
laringektomi, diet makanan berlemak). Ketika katup atas esofagus berelaksasi
secara abnormal atau memiliki tekanan yang rendah, hal ini akan memicu
refluks dan menyebabkan isi refluks kontak dengan segmen laringofaringeal.
Asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada mukosa laring. mekanisme primer.
2. Mekanisme tidak langsung (indirect)
12
Komponen-komponen yang terlibat dalam pathogenesis terjadinya RLF:
1. Sawar refluks
Sawar refluks atau physiological barriers pada saluran cerna bagian atas adalah
lower esophageal sphincter (LES), sistem peristaltik, saliva, dan upper
esophageal sphincter (UES). Ketika mekanisme proteksi ini mengalami
disregulasi dan kerusakan, jaringan laring dan faring akan terpapar dengan isi
lambung yang menyebabkan terjadinya kerusakan epitel, disfungsi silia, proses
inflamasi dan gangguan sensitivitas. Selain itu, pada pasien RLF umumnya
tidak didapati adanya regulasi dan fungsi enzim carbonic anhydrase III. 9
2. Asam
Kerusakan jaringan pada faring terjadi akibat penurunan pH secara drastis dari
pH netral faring yaitu 7 menjadi pH yang asam yaitu 1,5 – 2 yang disebabkan
oleh paparan komponen refluks yaitu pepsin, bile salt, dan enzim pankreas. 10
3 refluks pada laring saja cukup untuk menimbulkan kerusakan pada faring. 3
3. Pepsin
Pada pasien RLF, didapati adanya komponen refluks non-asam yang juga
berasosiasi dengan proses inflamasi. Komponen refluks seperti pepsin dan bile
salts didapati juga dapat menyebabkan kerusakan mukosa melalui monitor pH.
Pepsin teraktivasi oleh asam terutama pada lingkungan dengan pH rendah.
Pepsin yang masuk ke dalam laring memiliki pH 7.4. Pepsin akan bekerja
dengan optimal pada pH 2. Pepsin pada pH 7.4 akan berada pada bentuk stabil
dan tidak akan diaktivasi kembali setelah berada dalam pH 7. Dengan rata-rata
pH 6.8, laring dapat menyimpan pepsin dalam bentuk stabil. Namun, sewaktu-
waktu pepsin dapat teraktivasi saat pH mukosa laring menurun akibat terpapar
asam akibat refluks atau ion hidrogen dari sumber apapun, termasuk dari
makanan. 3
13
Secara epidemiologi, RLF ditemukan lebih sering pada pasien dengan
rinosinusitis kronik. Pasien dengan refluks gastroesofageal dinyatakan memiliki risiko
2,3 kali lebih besar atas kejadian rinosinusitis kronik. Mekanisme pertama melibatkan
refluks nasofaring, yaitu adanya eksposur langsung antara nasofaring dan asam
lambung, yang menghasilkan inflamasi dan kerusakan sistem pembersihan mukosa.
Kontak asam dan pepsin secara langsung dari RLF dengan jaringan sinonasal dapat
menginisiasi inflamasi kronik yang ditemukan pada pasien rinosinusitis. Refluks juga
dapat menginduksi terjadinya respon otonom pada jaringan sinonasal yang
menyebabkan peningkatan produksi mukus dan kongesti pada hidung. 11
14
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Kuesioner Indeks Gejala Refluks
Kuesioner Indeks Gejala Refluks (Tabel 1) merupakan kuesioner yang dapat
digunakan dalam membantu mendiagnosis RLF.24,25 Kuesioner ini berisikan 9
pertanyaan tentang gejala yang muncul dalam 1 bulan terakhir dengan disertai skala
tingkat keparahan dari gejala tersebut. Nilai 0 merepresentasikan tidak adanya gejala
hingga nilai 5 yang mepresentasikan gejala yang sangat menggnggu. Nilai maksimum
45, dan pasien dengan nilai RSI diatas 13 sudah dapat di diagnosis RLF.25
15
rasa tercekik (spasme laring) karena adanya sensitivitas pada ujung persarafan laring
yang diregulasi oleh peradangan pada area tersebut. Faktor faktor tersebut yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan seperti edema pita suara, ulkus dan
granuloma. Perubahan – perubahan jaringan yang terjadi berhubungan dengan
terjadinya suara yang serak, sensasi mengganjal saat menelan (globus pharyngeus) dan
nyeri pada tenggorokan.28 Mekanisme refleks vagal yang diaktivasi di esofagus distal
oleh material refluks, menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, batuk kronis dah
mendehem berulang.
2.7.2 Laringoskopi
Pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi dapat digunakan dalam melihat
adanya tanda – tanda iritasi pada laring pada pasien dengan RLF. Tanda – tanda iritasi
laring yaitu ventricular obliteration, edema vocal fold, subglotis yang edema (meneba
dan kemerahan), dan edema lokalis pada laring posterior yaitu dinding faring,
arytenoids, dan interarytenoid area.26 Iritasi laring tidak sepenuhnya menandakan
seorang pasien mengalami RLF. Beberapa hal yang dapat menyebabkan iritasi laring
yang bukan berasal dari reflux yaitu alergi, merokok hingga penggunaan suara secara
berlebihan.28 Tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis RLF berdasarkan hasil dari
laparoskopi saja.15,28,29
2.7.3 Skor Temuan Refluks
STR atau Skor Temuan Refluks merupakan kuisioner yang berisikan 8 hal yang
menilai tingkat keparahan tanda – tanda inflamasi berdasarkan pemeriksaan
laparoskopi. STR mengevaluasi beberapa bagian yaiut :
1. Edema Subglottik
2. Obliterasi Ventrikel
3. Eritem
4. Edema lipatal Vokal
5. Edema Laring secara keseluruhan
16
6. Hipertrofi Komisura Posterior
7. Granulasi atau Granuloma
8. Produksi mukus yang berlebih di laring.
STR memiliki skor paling rendah 0 dan skor paling tinggi yaitu 26. Penelitian
mengungkapkan pada pasien yang telah terdiagnosa RLF, 95% pasien memiliki skor
STR diatas 7.30
17
Temuan Nilai
3. Eritem 2 = Arytenoid
4 = Difus
18
2.7.4 Pemeriksaan Ambulatory pH 24 jam
19
2.8 Penalataksanaan
Diagnosis dan terapi yang tepat dan efektif pada pasien RLF dapat mencegah
terjadinya batuk yang kronik hingga ulcer pada pita suara. Kondisi – kondisi ini
berhubungan dengan asma, bronkitis kronik, rhinitis kronik, sinusitis dan otitis
media.33
2.8.1 Medikamentosa
Terapi obat – obatan dapat digunakan dalam mengobatai RLF. PPI atau Proton
Pump Inhibitor menjadi obat yang utama dalam mengobati RLF. Pemberian PPI juga
menurunkan kerusakan yang dihasilkan dari proses aktivitas enzim pepsin. 59 Terdapat
5 jenis PPI yaitu, omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole,
danrabeprazole. Beberapa penelitian mengukapkan bahwa rabeprazole memiliki
potensi kerja yang cepat, esomeprazole paling ampuh dalam menurunkan kadar asam,
sementara itu lansoprazole, omeprazole dan pantoprazole memiliki efektifitas yang
sama dalam menurunkan kadar asam. Dosis yang digunakan dalam pemberian yaitu
omeprazole 2x20 mg, lansoprazole 2x30 mg, pantoprazole 2x40 mg, rabeprazole 2x20
mg, dan esomeprazole 2x40 mg. Obat – obat yang paling umum dipakai adalah
lansoprazole dan omeprazole. Pasien disarankan untuk menggunakan PPI paling
minimal 3 bulan dengan pemberian 2 kali dalam sehari (sebelum sarapan dan makan
malam), diberikan 30 – 60 menit sebelum makan. Jangka waktu pemberian yang
panjang ini sangat penting karena pada periode ini mekanisme obat menstimulasi
proton pump. Bila dalam 3 bulan tidak terdapat perbaikan, terapi dilanjutkan sampai 6
bulan atau dilakukan pemeriksaan lain seperti monitoring pH, manometri atau
pemeriksaan barium.60 – 62 Pasien dengan RLF diterapi secara agresif, termasuk dalam
pemberian PPI dengan dosis tinggi dan dalam waktu yang lama.22,48,52 Menurut Federal
Drug Administration (FDA), omeprazole dan lansoprazole aman digunakan pada anak-
anak kecuali anak usia di bawah 1 tahun. Omeprazole (0,7-3,5 mg/kgBB/hari) dan
lansoprazole (1,4 mg/kgBB/hari) memiliki keamanan jangka pendek dan panjang, yaitu
6 bulan untuk lansoprazole dan sampai 2 tahun untuk omeprazole.63
20
Reseptor H2 Blocker dijadikan alternatif dalam tatalaksana RLF. Pemberian
reseptor H2 bloker, diberikan terutama pada pasien yang mengalami gejala RLF yang
tetap muncul pada malam hari walaupun pasien sudah diberikan PPI dua kali dalam
sehari. Gejala ini disebabkan oleh mekanisme Nocturnal Acid Breakthroug (NAB)
yaitu keadaan deimana pH pada intragastrik berada dibawah < 4 dan terjadi selama
malam hari. Reseptor H2 bloker diberikan pada malam hari. Selain itu, obat ini juga
digunakan dalam pengobatan jangka panjang RLF. Obat – obatan reseptor h2 blocker
yang dipakai antara lain cimetidine (2x400 mg), ranitidine (2x150 mg), famotidine
(2x20 mg) dan nizatidine (2x150 mg).64
Prokinetik, dan mucosal cytoprotectants (sucralfate) menghasilkan keuntungan
dalam terapi RLF. Penggunaan sukralfat dinilai dapat mengurangi kerusakan mukosa
dan mengurangi aktivitas pepsin.12,48,49 Neuromodulator dapat menjadi pilihan
pengobatan pada pasien yang tidak berhasil diterapi menggunakan obat – obatan acid
supression dan terutama pada pasien dengan laryngeal sensitivity (neuropati).12, 50 - 52
Pemberian obat – obatan prokinetik seperti metoclopramide dan domperidone
digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung dan menekan produksi asam
lambung yang dinilai bermanfaat pada pasien dengan RLF.66
2.8.2 Non Medikamentosa
2.8.2.1 Diet RLF
Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan lebih awal atau sekurang –
kurangnya 2 jam sebelum tidur. Pasien dengan RLF disarankan untuk tidak meminum
kopi dalam jumlah banyak atau minuman bersoda karena diliai dapat mempengaruhi
keasaman dan dapat menyebabkan reflux.34,35 Makanan pedas dinilai dapat mengiritasi
mukosa esofagus bagian bawah yang dapat menyebabkan terjadinya rasa panas atau
terbakar pada dada. Makanan berlemak dan cokelat diketahui dapat memperpanjang
waktu pengosongan lambung.36 Sehingga disarankan pasien menghindari diet tinggi
lemak untuk mempercepat pengosongan lambung. Pasien disarankan mengurangi diet
tinggi kalori karena berhubungan dengan memanjangnya waktu pengosongan lambung
21
sehingga asam lambung yang terlalu lama ada di lambung dapat memperburuk gejala
– gejala reflux.37
2.8.2.2 Modifikasi Gaya Hidup
Selain modifikasi diet, pasien harus merubah gaya hidup yang lain seperti
meninggalkan kebiasaan merokok karena rokok memproduksi asam.12 Rokok juga
berhubungan dengan adanya retensi asam yang pada akhirnya dapat melambatkan
pembersihan asam pada esofagus. Perokok memiliki angka insiden gejala reflux yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan perokok.38, 39 Konsumsi minuman
beralkohol memiliki hubungan yang sangat kuat dengan munculnya gejala reflux yang
disebabkan karena asam. Wine dan beer dapat menyebabkan munculnya gejala reflux
walaupun dalam jumlah yang sedikit.40 - 43 Obesitas memiliki hubungan yang kuat
dengan acid reflux. Penurunan berat badan memiliki dampak yang signinfikan dalam
menurunkan gejala reflux pada pasien dengan RLF dan GERD. Sebaliknya,
peningkatan berat badan dapat memperburuk gejala refluks yang dialami.44, 45 Pasien
disarankan aktif berpartisipasi dalam berolahraga sekurang – kurangnya 30 menit
setiap hari sebagai pertahanan dalam melawan gejala refluks. Pasien yang kurang aktif
secara fisik memiliki resiko yang tinggi terhadap menjadi kan gejala refluks menjadi
semaki buruk.46, 47
2.8.3 Pembedahan
Pembedahan menjadi pilihan terakhir untuk terapi pasien dengan RLF.
Pembedahan hanya dilakukan ketika pasien sudah diterapi dengan PPI namun tidak
mencapai pemulihan total dari gejala – gejala RLF. Teknik pembedahan yang
dilakukan adalah Laparoscopic Antireflux Surgery.12,53 Teknik ini dilakukan dengan
membuat fundus lambung (bagian atas) ditarik dari belakang dan ditempatkan sekitar
esofagus bagian distal. Fundus lambung kemudian dijahit di depan esofagus bagian
distal untuk memperkuat fungsi penutupan sfingter esofagus bagian bawah dan
menyempitkan hiatus esofagus.66
22
2.9 Algoritma Penanganan Laringopharyngeal Reflux
Berikut merupakan algoritma tatalaksana penanganan Laringopharyngeal
Reflux :54
23
merubah jaringan – jaringan laring dan faring sehingga meningkatkan resiko keganasan
pada laring atau faring. Obstruksi jalan napas menjadi salah satu komplikasi yang
cukup serius ketika RLF menyebabkan adanya laringospasme, stenosis subglotis atau
glotis, hingga karsinoma laring.
Iritasi saluran pernapasan karena RLF yang tidak diselesaikan dapat memicu
munculnya gangguan bronkopulmoner seperti asma, bronkitis, laringitis berulang,
hingga pneumonia. Kualitas hidup pasien dengan RLF yang kronik cenderung
berkurang dalam jangka waktu yang panjang hingga ditemukannya gangguan mental
seperti depresi.55,56
2.11 Prognosis
Diagnosis yang cepat dan tepat disertai penanganan yang optimal pada pasien
RLF menghasilkan prognosis yang lebih baik. Terapi yang agresif dalam jangka waktu
yang lama yaitu 3 – 4 bulan dinilai dapat menghasilkan prognosis yang baik dan
mengurangi resiko komplikasi yang terjadi. Gejala yang tidak spesifik menjadi faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis. Hal ini dapat berdampak buruk
karena keterlambatan pengobatan yang berujung pada progresivitas penyakit yang
semakin buruk.57
Peran fasilitas kesehatan primer sangat besar dalam penegakan diagnosis dan
tatalaksana awal pada pasien dengan RLF tanpa perlu merujuk ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut.58 Gangguan mental yang terjadi seperti depresi dan ansietas
menyebabkan kualitas hidup pasien dengan RLF yang semakin menurun dan
menyebabkan prognosis semakin buruk.56
24
BAB III
KESIMPULAN
Refluks Laringofaring (RLF) merupakan keadaan dimana terjadi aliran balik isi
lambung ke bagian laring dan faring yang akhirnya menyebabkan terjadinya kontak
antar isi lambung dan saluran pencernaan bagian atas dan dapat menimbulkan penyakit
oral, faring, dan laring. Angka kejadian RLF bervariasi, namun diperkirakan i 10-15%
RLF merupakan varian utama manifestasi ekstraesofagus pada Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD). RLF merupakan proses multifaktorial yang terjadi akibat
gabungan dari: peningkatkan asam lambung, disfungsi katup esofageal atas dab bawah,
iritasi berulang, inflamasi dan kerusakan mukosa, mikroaspirasi, dsb.
Manifestasi klinis gejala yang paling umum pada RLF adalah throat clearing
atau mendehem (98%), batuk yang persisten (97%), Globus Pharyngeus atau rasa
menganjal di tenggorokan saat menelan (95%), dan suara serak atau disfonia (95%).
Beberapa manifestasi klinis yang tidak spesifik pada RLF adalah hidung tersumbat,
postnasal drip, gangguan penghidu, gangguan pengecap rasa dan Halitosis hingga
Heartburn. Diagnosis RLF ditegakkan melalui gejala klinis dengan bantuan kuisioner
Indeks Gejala Refluks, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yaitu
laringoskopi (dengan acuan Skor Temuan Refluks) untuk tahap awal. Gold standard
diagnosis pada RLF adalah pemeriksaan ambulatory pH 24 jam, namun hal ini sering
tidak tersedia di fasilitas kesehatan primer. Penanganan RLF dimulai dengan
tatalaksana non-medikamentosa, yang mencakup: penurunan berat badan, pola makan,
perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik. Tatalaksana dilanjutkan dengan terapi
medikamentosa dengan PPI sebagai drug-of-choice, atau dengan alternatif lain seperti:
Reseptor H2 bloker, mucosal cytoprotectant, neuromodulator hingga prokinetik.
Tatalaksana surgikal yaitu laparoscopic antireflux surgery digunakan sebagai lini
akhir. RLF yang didiagnosa dini dan tangani dengan adekuat jarang menimbulkan
komplikasi berat, sebaliknya jika tidak ditangani dengan baik maka akan muncul
25
komplikasi. Tatalaksana yang adekuat dapat meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan morbiditas hingga mortalitas.
26
DAFTAR PUSTAKA
10. Johnston N, Yan JC, Hoekzema CR, et al. Pepsin promotes proliferation of
27
laryngeal and pharyngeal epithelial cells. Laryngoscope. 2012;122(6):1317–25
14. Vaezi MF, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE. Laryngeal signs and symptoms
and gastroesophageal reflux disease (GERD): a critical assessment of cause and
effect association. Clin Gastroenterol Hepa- tol 2003;1(5):333–44.
15. Qadeer MA, Swoger J, Milstein C, et al. Correlation between symp- toms and
laryngeal signs in laryngopharyngeal reflux. Laryngoscope 2005;115(11):1947–
52.
16. Emre Dinc M, Dalgic A, Avincsal MO, Ulusoy S, Celik A, Develioglu ON. An
assessment of olfactory function in patients with laryngo- pharyngeal reflux
disease. Acta Otolaryngol 2017;137(1):71–7.
28
19. Miura MS, Mascaro M, Rosenfeld RM. Association between otitis media and
gastroesophageal reflux: a systematic review. Otolaryn- gol Head Neck Surg
2012;146(3):345–52.
21. J Dent, J Brun, A Fendrick, et al. An evidence-based appraisal of re- flux disease
management--the Genval Workshop Report. Gut 1999, 44 Suppl 2:S1–16
22. Koufman JA, Aviv JE, Casiano RR, Shaw GY. Laryngopharyngeal reflux:
position statement of the committee on speech, voice, and swal- lowing
disorders of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Otolaryngol Head Neck Surg 2002;127(1):32–5.
23. Hanson DG, Jiang JJ. Diagnosis and management of chronic laryngi- tis
associated with reflux. Am J Med 2000;108 Suppl 4a:112S–9S
24. Nunes HS, Pinto JA, Zavanela AR, Cavallini AF, Freitas GS, Garcia FE.
Comparison between the reflux finding score and the reflux symp- tom index in
the practice of otorhinolaryngology. Int Arch Otorhino- laryngol
2016;20(3):218–21.
25. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. Validity and reliability of the reflux
symptom index (RSI). J Voice 2002;16(2):274–77.
26. Ylitalo R, Lindestad PA, Ramel S. Symptoms, laryngeal findings, and 24-hour
pH monitoring in patients with suspected gastroesopha- go-pharyngeal reflux.
Laryngoscope 2001;111(10):1735–41.
29
27. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and man- agement
of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2013;108(3):308–28;
quiz 329.
28. Book DT, Rhee JS, Toohill RJ, Smith TL. Perspectives in laryngopha- ryngeal
reflux: an international survey. Laryngoscope 2002;112(8 Pt 1):1399–406.
29. Branski RC, Bhattacharyya N, Shapiro J. The reliability of the assess- ment of
endoscopic laryngeal findings associated with laryngopha- ryngeal reflux
disease. Laryngoscope 2002;112(6):1019–24.
30. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the reflux
finding score (RFS). Laryngoscope 2001;111(8):1313–17.
31. Vaezi MF. New Tests for the Evaluation of Laryngopharyngeal Reflux.
Gastroenterol Hepatol (N Y). 2013 Feb;9(2):115–7.
32. Barona-Lleó L, Duval C, Barona-de Guzmán R. Salivary Pepsin Test: Useful
and Simple Tool for the Laryngopharyngeal Reflux Diagnosis. Acta
Otorrinolaringol Esp [Internet]. 2018 Mar 1;69(2):110–3.
33. Kuo CL, Chen YT, Shiao AS, Lien CF, Wang SJ. Acid reflux and head and neck
cancer risk: A nationwide registry over 13 years. Auris Na- sus Larynx
2015;42(5):401–5.
34. Lillemoe KD, Johnson LF, Harmon JW. Role of the components of the
gastroduodenal contents in experimental acid esophagitis. Surgery
1982;92(2):276–84.
35. Fass R, Quan SF, O’Connor GT, Ervin A, Iber C. Predictors of heart- burn
during sleep in a large prospective cohort study. Chest 2005;127(5):1658–66.
30
36 El-Serag HB, Satia JA, Rabeneck L. Dietary intake and the risk of gastro-
oesophageal reflux disease: a cross sectional study in volun- teers. Gut
2005;54(1):11–7.
38. Watanabe Y, Fujiwara Y, Shiba M, et al. Cigarette smoking and alco- hol
consumption associated with gastro-oesophageal reflux disease in Japanese
men. Scand J Gastroenterol 2003;38(8):807–11
39. Kahrilas PJ, Gupta RR. The effect of cigarette smoking on salivation and
esophageal acid clearance. J Lab Clin Med 1989;114(4):431–38
40. Pehl C, Wendl B, Pfeiffer A. White wine and beer induce gastro-oe- sophageal
reflux in patients with reflux disease. Aliment Pharmacol Ther
2006;23(11):1581–86.
42. Vitale GC, Cheadle WG, Patel B, Sadek SA, Michel ME, Cuschieri A. The
effect of alcohol on nocturnal gastroesophageal reflux. JAMA
1987;258(15):2077–79.
43. Pehl C, Pfeiffer A, Wendl B, Kaess H. Different effects of white and red wine
on lower esophageal sphincter pressure and gastroesoph- ageal reflux. Scand J
Gastroenterol 1998;33(2):118–22.
31
44. El-Serag HB, Sonnenberg A. Opposing time trends of peptic ulcer and reflux
disease. Gut 1998;43(3):327–33.
45. Ness-Jensen E, Lindam A, Lagergren J, Hveem K. Weight loss and re- duction
in gastroesophageal reflux. A prospective q population-based cohort study:
the HUNT study. Am J Gastroenterol 2013;108(3): 376–82.
47. Nocon M, Labenz J, Willich SN. Lifestyle factors and symptoms of gastro-
oesophageal reflux - a population-based study. Aliment Phar- macol Ther
2006;23(1):169–74.
49. McGlashan JA, Johnstone LM, Sykes J, Strugala V, Dettmar PW. The value of
a liquid alginate suspension (Gaviscon Advance) in the management of
laryngopharyngeal reflux. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009;266(2):243–51.
50. Cobeta I, Pacheco A, Mora E. The role of the larynx in chronic cough. Acta
Otorrinolaringol Esp 2013;64(5):363–8
51. Norris BK, Schweinfurth JM. Management of recurrent laryn- geal sensory
neuropathic symptoms. Ann Otol Rhinol Laryngol 2010;119(3):188–91.
52. Halum SL, Sycamore DL, McRae BR. A new treatment option for la- ryngeal
sensory neuropathy. Laryngoscope 2009;119(9):1844–7
32
53. Swoger J, Ponsky J, Hicks DM. et al. Surgical fundoplication in laryn-
gopharyngeal reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a controlled
study. Clin Gastroenterol Hepatol 2006;4(4):433–41.
33
63. Stavroulaki P. Diagnostic and management problems of laryngopharyngeal
reflux disease in children. International journal of pediatric
otorhinolaryngology. 2005; 70; 579–90.
64. Xue S., Katz P., Banerjee P., Tutuian R., Castell D. Bedtime H2 blockers
improve nocturnal gastric acid control in GERD patients on proton pump
inhibitors. Aliment Pharmacol Ther 2001; 15: 1351–56
65. Muderris T, GokLam PK, Ng ML, Cheung TK, et al. Rabeprazole is effective
in treating laryngopharyngeal reflux in a randomized placebo-controlled trial.
Clin Gastroenterol Hepatol. 2010;8(9):770–6.
66. Sjamsuhidjat R, Jong Wd. Esofagus dan diafragma. Buku ajar ilmu bedah. Edisi
revisi. Jakarta-Indonesia. Penerbit buku kedokteran EGC, 1997. Hal: 681–3.
34
35