Anda di halaman 1dari 35

REFERAT ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG,

TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER

REFLUKS LARINGOFARING (RLF)

Disusun oleh :

Rachel Adelia Putri – 01073190038

Marcel Ezra Setiawan – 01073190088

Pembimbing:

dr. Niken Ageng Rizki, Sp. THT-KL

Penguji :

dr. Indah Saraswati, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG,

TENGGOROK, BEDAH KEPALA DAN LEHER

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE 29 JUNI – 11 JULI 2020

TANGERANG

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 3


BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 4

2.1 Anatomi .......................................................................................................... 4

2.1.1 Faring ....................................................................................................... 4


2.1.2 Laring ...................................................................................................... 6
2.1.2 Esofagus ................................................................................................... 7
2.2 Definisi ............................................................................................................ 8
2.3 Epidemiologi.................................................................................................... 9

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko ............................................................................. 9


2.5 Patofisiolgi ....................................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................... 12
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 13
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................................. 17
2.9 Algoritma Penanganan Laringopharyngeal Reflux ...................................... 18
2.10 Komplikasi .................................................................................................. 19
2.11 Prognosis...................................................................................................... 19
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 21

2
BAB I

PENDAHULUAN

Refluks Laringofaring (RLF) adalah suatu kondisi inflamasi pada membran


mukosa yang disebabkan oleh refluks isi lambung sehingga terjadi kontak dengan
mukosa laringofaring. RLF terjadi pada 3-40% pasien yang datang ke departemen
THT-KL dan 55% diantaranya datang dengan keluhan suara serak. 71-79% pada pasien
dengan RLF mengeluhkan gejala yang tidak spesifik seperti batuk persisten, rasa ingin
membebaskan tenggorokan (throat clearing), dan rasa serak. 1 Prevalensi RLF pada
populasi Yunani ditemukan sebesar 18,8% yang secara statistik ditemukan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua jenis kelamin (p>0,05). 2 Penelitian lain
menyatakan adanya peningkatan kejadian RLFD sebanyak 4% per tahun, dan Altman
et al melaporkan peningkatan pasien ke departemen THT dikarekana RLF meningkat
sebanyak 500% dari tahun 1990-2001.
Refluks Laringofaring (RLF) dinyatakan memiliki keterlibatan pada etiologi
terjadinya kelainan pada laring yaitu laringitis, stenosis subglotik, karsinoma laring,
granuloma, dan nodul vokal. 3 Pada praktis klinis, RLF sering tidak dikenali karena
merupakan “silent reflux” disertai dengan protokol diagnostik yang inadekuat,
sehingga umumnya tatalaksana yang tepat selalu tertunda. Paien dengan RLF dapat
menanggung beban penderitaan yang cukup berat dan panjang jika praktisi tidak dapat
menegakkan diagnosis karena gejala yang tidak spesifik. 4

Maka dari itu, diagnosa dan tatalaksana RLF secara cepat dan tepat sangat
penting untuk menjaga kualitas hidup pasien dan mencegah berkembangnya penyakit
di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa. Pada referat ini akan dibahas
mengenai anatomi, fisiologi, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari RLF.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Faring

Faring merupakan tabung yang terdiri dari fibromuskular yang membentuk


bagian atas dari saluran napas dan saluran makanan, berukuran 12.5-14 cm, dan
dimulai dari dasar tengkorak sampai ke esofagus. Faring memiliki lebar 3.5 cm yang
nantinya akan menyempit menjadi 1.5 cm pada pharyngo-oesophageal junction yaitu
bagian tersempit dari saluran pencernaan selain appendiks. Lapisan yang terdapat pada
faring dimulai dari yang ter dalam hingga ke luar, yaitu membran mukosa, aponeurosis
fascia faringobasilar, muscular coat, buccopharyngeal fascia. Kemudian, terdapat
jaringan limfoid yang beragregasi pada beberapa tempat membentuk massa sepanjang
lapisan subepitel faring yang disebut sebagai Waldeyer’s ring (terdiri dari tonsil
nasofaringeal atau adenoid, tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba pada fossa
Rosenmuller), pharyngeal band lateral, nodul pada dinding posterior faring.

Faring berhubungan dengan hidung melalui koana, bagian depan berhubungan


dengan mulut melalui ismus orofaring, sedangkan bagian bawahnya berhubungan
dengan laring melalui aditus laring dan berlanjut ke esofagus.

Secara anatomis, faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring,
dan laringofaring / hipofaring. Nasofaring yang terdiri dari epitel kolumner bertingkat
dan dibatasi oleh fossa Rosenmuller pada dinding lateral. Tempat ini merupakan
tempat paling sering terjadinya karsinoma. Kemudian, orofaring/mesofaring memiliki
batas superior berupa palatum durum, batas inferior adalah bagian superior dari tulang
hyoid, batas anterior adalah inlet orofaringeal dan pangkal lidah, batas posterior

4
dibentuk oleh otot- otot konstriktor superior dan media dan mukosa faring. Struktur
pada rongga orofaring yaitu, dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil, serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum.
Sedangkan, hipofaring/laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring yang
berada di belakang dan sebagian di samping laring. Bagian atas hipofaring berbatasan
dengan bidang yang dibentuk oleh tulang hyoid dan dinding posterior faring, batas
bawahnya adalah batas inferior dari kartilago tiroidea, kemudian hipofaring dilanjutkan
menjadi esofagus. Di bawah hipofaring, sejajar dengan kartilago krikoid, otot
cricopharyngeus membentuk UES (Upper Esophangeal Sphincter). Otot ini
mengalami kontraksi tonik selama istirahat dan relaksasi saat menelan untuk
memungkinkan bolus makanan masuk ke esofagus.

Gambar 1. Regio Faring

Faring mendapatkan perdarahan dari cabang arteri carotis eksterna (cabang


faring asenden dan fasial) dan dari cabang arteri maksilaris interna, yaitu cabang arteri
palatina superior. Lalu, persarafan faring terdiri dari sensorik dan motorik yang berasal

5
dari pleksus faring. Pleksus ini dibentuk dari cabang nervus vagus, cabang nervus
glossofaringeal, dan serabut saraf simpatis. Dari faring yang ekstensif ini keluar
cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang langsung
dipersarafi oleh nervus glossofaringea

2.1.2 Laring

Laring memiliki bentuk seperti kotak triangular yang tersusun atas 3 kartilago
berpasangan dan 3 kartilago tidak berpasangan, serta merupakan suatu penghubung
antara faring dan trakea. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago
epiglotis, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kurniculata, dan kartilago
tiroid. Tiga kartilago yang tidak memiliki pasangan adalah kartilago tiroid, krikoid, dan
epiglottis. Epiglotis merupakan tulang rawan yang berbentuk seperti daun dengan
fungsi sebagai katup untuk mencegah terjadinya aspirasi makanan dan isi oropharynx
ke saluran pernafasan. 3

Kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan beberapa
tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan
dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan,
kontraksi otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas. Sedangkan pada
keadaan diam, maka otot- otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu
menggerakan lidah.3

Pada laring terdapat pita suara asli (plika vokalis) dan pita suara palsu (plika
ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima glotis, dan
bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli. Plika vokalis
dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu: vestibulum
laring/supraglotik (di atas plika ventrikularis), glotik, dan infraglotik (di bawah plika
vokalis).3

6
2.1.3. Esofagus
2.1.3.1 Anatomui Esofagus

Esofagus atau tuba muskularis berawal dari area terbawah laringofaring,


lalu melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) yang sejajar pada
vertebra torakal 10 dan membuka ke arah lambung (setinggi vertebra torakal
XI). Selain itu, esofagus merupakan bagian dari saluran cerna yang
menghubungkan hipofaring dengan lambung yang bagian proksimalnya
disebut introitus esofagus (terletak setinggi batas bawah kartilago krikoid dan
setinggi vertebrae servikal 6).3
Struktur dinding esofagus terdiri dari tiga lapis, yaitu mukosa,
submukosa, dan otot. Mukosa tersusun dari epitel skuamosa dengan lapisan atas
lamina propria dan mukosa otot. Submukosa terbuat dari jaringan elastis dan
fibrosa yang merupakan lapisan terkuat dari dinding esofagus. Otot esofagus
tersusun dari otot sirkuler (sisi dalam) dan otot longitudinal (sisi luar). Sepertiga
atas susunan otot esophagus terdiri dari otot lurik dan dua pertiga bawah terdiri
dari otot polos.3
Sfingter atas esofagus (upper esophageal spinchter/UES) merupkan
sekumpulan otot di bagian atas esofagus yang terbentuk dari otot
krikofaringeus, otot konstriktor faring inferior, dan serabut dari dinding
esofagus. Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter), digunakan
ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah. Sedangkan, sfingter
esofagus bawah (lower esophageal spinchter/LES) adalah sekumpulan otot
pada akhir bawah dari esofagus yang berbatasan langsung dengan gaster yang
tidak memiliki lapisan serosa. Saat LES menutup, asam dan isi gaster dapat
dicegah agar tidak naik kembali ke esofagus.3

7
Gambar 2 Anatomi Esofagus

Gambar 3 UES dan LES


2.1.3.2 Fisiologi Menelan

1. Fase Oral (Sadar)


Pada fase ini terjadi pembentukan bolus makanan melalui proses
mekanik yaitu proses mengunyah makanan disertai dengan
pencampuran air liur. Bolus kemudian akan bergerak dari rongga mulut

8
akibat kontraksi otot intrinsik lidah dan bolus terdorong ke posterior
bersamaan dengan terjadinya penutupan nasofaring. Selanjutnya, terjadi
kontraksi otot palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup
dan diikuti oleh kontraksi otot palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut.6
2. Fase Faringeal (Tidak Sadar)

Pada fase ini, faring dan laring bergerak ke atas karena kontraksi
dari otot stilofaring, otot salfingofaring, otot tirohioid dan otot
palatofaring. Aliran udara ke laring terhenti pada proses ini karena
refleks yang menghambat pernapasan yang menyebabkan bolus
makanan tidak masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya, bolus
makanan akan bergerak kearah esofagus karena valekula dan sinus
piriformis berada dalam keadaan lurus.6
3. Fase esofageal

Fase esofageal merupakan fase perpindahan bolus makanan dari


esofagus ke lambung. Adanya bolus makanan pada akhir fase faringeal
akan merangsang terjadinya relaksasi otot krikofaring sehingga bolus
makanan dapat masuk ke esofagus. Setelah makanan lewat, sfingter
tersebut akan berkontraksi lebih kuat melebihi tonus introitus esofagus
pada waktu istirahat, sehingga menjaga makanan tidak kembali ke
faring. Selanjutnya bolus makanan akan terdorong ke distal oleh
gerakan peristalik esofagus. Pada umumnya, tekanan pada sfingter
esofagus lebih tinggi dari lambung saat kondisi istirahat sehingga
menjaga agar isi lambung tidak naik ke esofagus. Dengan adanya bolus
makanan pada fase esofagal, sfingter tersebut akan terbuka sehingga
makanan dapat terdorong ke lambung.6

9
2.2 Definisi

Refluks Laringofaring (RLF)) atau yang juga dikenal sebagai extra-esophageal reflux,
supraesophageal reflux, atau silent reflux merupakan suatu kondisi adanya aliran balik
dari isi gastroduodenum ke saluran cerna bagian atas yaitu esophagus dan
laringofaring. Penyakit refluks ini mengacu pada reaksi peradangan pada membran
mukosa pada faring, laring, dan organ pernapasan yang terkait. 5
2.3 Epidemiologi

RLF umumnya sering terdiagnosis pada 10% pasien yang datang ke poli rawat
jalan, dan 50% pada pasien dengan keluhan gangguan suara. 6 Pada negara barat,
insiden terjadinya RLF mencapai 10-15%. Prevalensi RLF pada populasi Yunani
ditemukan sebesar 18,8% yang secara statistik ditemukan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua jenis kelamin (p>0,05). 2 Pada penelitian kohort yang
dilakukan pada 100 pasien tanpa riwayat keluhan suara, sebanyak 35% memiliki gejala
RLF dan 64% dari mereka ditemukan adanya temuan RLF pada pemeriksaan
laringoskopik. Pada penelitian kohort tersebut, pasien RLF paling umum ditemukan
pada pasien dengan neoplasia laring (88%) dan muscle tension dysphonia (70%). 7
2.4 Faktor Risiko dan Etiologi

Pada penelitian yang dilakukan di eropa, umur dinyatakan tidak menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya RLF (p value = 0,08). Pada penelitian ini didapati bahwa
jenis kelamin laki-laki memiliki faktor risiko atas kejadian RLF. Individu dengan BMI
yang tinggi dan obesitas cenderung memiliki angka kejadian lebih tinggi terkena RLF.
Faktor risiko lainnya yaitu berupa individu dengan hiatal hernia, kehamilan, alkohol,
invidivu dengan GERD erosif, dan individu dengan barret esofagus. 8 Upper
eosophageal sphincter (UES) mempunyai peran penting dalam terjadinya RLF.
Adanya relaksasi yang bersifat prematur pada UES pada saat terjadinya reflux
menyebabkan kejadian RLF. Relaksasi ini akan menyebabkan isi dari sistem
gastroduodenal akan bersentuhan dengan mukosa laring dan faring yang mendorong
terjadinya proses inflamasi, disrupsi epitel, dan perubahan sensitivitas. Penurunan

10
tekanan UES dapat disebabkan oleh hiatus hernia, diet lemak dan produk susu,
tembakau, alkohol, obat tertentu (nitrat, dopamin, teofilin). Pengosongan isi lambung
yang terlambat karena adanya obstruksi, diet tinggi lemak, dan alkohol juga dapat
mendorong terjadinya RLF. Gangguan motilitas esofagus oleh penyakit
neuromuskular, penurunan resistensi mukosa akibat radioterapi, hipersekresi pepsin
akibat stress psikososial dan pola diet, dan penurunan salivasi juga menjadi etiologi
terjadinya RLF. Kelainan ini umum juga terjadi karena adanya peningkatan tekanan
intraabdominal karena kehamilan, obesitas, binge-eating, minuman berkarbonasi. 7
2.5 Patofisiologi

Pada keadaan fisiologis, esofagus sudah diperlengkapi untuk menangani


eksposur terhadap konten gaster yang bersifat asam. Esofagus memiliki tiga tingkatan
dalam sistem pertahanan imun yaitu lower oesophageal sphincter (LES), oesophageal
peristalsis, dan innate eosophageal tissue resistance. Ketiga mekanisme defens
tersebut bekerja sama untuk memproteksi esofagus. Kompetensi LES didukung oleh
otot diafragma, cardiac angle, tekanan abdominal yang cukup itnggi. Tekanan LES
juga diegulasi oleh mekanisme hormonal dan berhubungan dengan respon alkalinisasi
konten gastrik. Peristalsis primer akan menghapuskan mayoritas bolus esofagus bagian
distal. Sementara peristalsis sekunder akan terjadi untuk merespon terhadap residual
bolus ataupun refluks dan membantu kinerja pembersihan dengan mengaktivasi sistem
buffer menggunakan saliva. Saliva bekerja sebagai antasid dalam tubuh manusia,
dimana produksinya akan meningkat jika ada stimulasi ketika terjadi peningkatan zat-
zat bersifat asam. Lapisan esofagus juga memiliki innate tissue resistance terhadap
kejadian refluks fisiologis. Lapisan mukus tersebut mencegah adanya penetrasi
molekul besar seperti pepsin. Epitel pada esofagus juga memiliki kemampuan untuk
memblokir asam dan pepsin dengan sel membran & intracellular bridge. Adanya
regulasi carbonic anhydrase III pada mukosa esofagus juga meningkatkan kemampuan
mukosa untuk menetralisir keadaan yang asam dengan mensekresi bikarbonat. Pada
keadaan RLF yang terjadi adalah sangat kontras, didapati kerusakan pada sistem

11
proteksi laring yang menyebabkan kerusakan mukosa. Laring tidak lagi diproteksi oleh
bikarbonat, saliva / buffer, dan peristalsis.7
Terdapat dua yang dapat menjelaskan mekanisme patofisiologi terjadinya RLF:
1. Mekanisme langsung (direct)
Penyebab dan patologi utama penyebab LPR berhubungan dengan
disfungsi katup atas esofagus (hiatus hernia, penyakit neuromuskular,
laringektomi, diet makanan berlemak). Ketika katup atas esofagus berelaksasi
secara abnormal atau memiliki tekanan yang rendah, hal ini akan memicu
refluks dan menyebabkan isi refluks kontak dengan segmen laringofaringeal.
Asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada mukosa laring. mekanisme primer.
2. Mekanisme tidak langsung (indirect)

Mekanisme tidak langsung melibatkan struktur lain seperti esophagus,


dimana asam lambung pada bagian distal dapat menyebabkan kerusakan
mukosa atau silia yang dapat mebabkan stasis mukus, stimulasi refleks vagal,
yang kemudian dapat menimbulkan bronkokonstriksi (chronic throat clearing
atau berdehem dan batuk). Penumpukan mukus dapat menimbulkan sensasi
post nasal drip. Selanjutnya, mekanisme berdehem dan laringospasme dapat
menyebabkan edema dari pita suara, ulserasi pada daerah yang mengalami
kontak, dan terbentuknya granuloma. Spasme laring muncul dengan gambaran
seperti dicekik dan batuk karena sensitivitas dari ujung persarafan laring
diregulasi oleh peradangan lokal. Semua hal ini dapat memunculkan
manifestasi klinis berupa suara parau, rasa mengganjal di tenggorokan, dan
radang tenggorokan. 7

12
Komponen-komponen yang terlibat dalam pathogenesis terjadinya RLF:
1. Sawar refluks
Sawar refluks atau physiological barriers pada saluran cerna bagian atas adalah
lower esophageal sphincter (LES), sistem peristaltik, saliva, dan upper
esophageal sphincter (UES). Ketika mekanisme proteksi ini mengalami
disregulasi dan kerusakan, jaringan laring dan faring akan terpapar dengan isi
lambung yang menyebabkan terjadinya kerusakan epitel, disfungsi silia, proses
inflamasi dan gangguan sensitivitas. Selain itu, pada pasien RLF umumnya
tidak didapati adanya regulasi dan fungsi enzim carbonic anhydrase III. 9
2. Asam
Kerusakan jaringan pada faring terjadi akibat penurunan pH secara drastis dari
pH netral faring yaitu 7 menjadi pH yang asam yaitu 1,5 – 2 yang disebabkan
oleh paparan komponen refluks yaitu pepsin, bile salt, dan enzim pankreas. 10

3 refluks pada laring saja cukup untuk menimbulkan kerusakan pada faring. 3
3. Pepsin

Pada pasien RLF, didapati adanya komponen refluks non-asam yang juga
berasosiasi dengan proses inflamasi. Komponen refluks seperti pepsin dan bile
salts didapati juga dapat menyebabkan kerusakan mukosa melalui monitor pH.
Pepsin teraktivasi oleh asam terutama pada lingkungan dengan pH rendah.
Pepsin yang masuk ke dalam laring memiliki pH 7.4. Pepsin akan bekerja
dengan optimal pada pH 2. Pepsin pada pH 7.4 akan berada pada bentuk stabil
dan tidak akan diaktivasi kembali setelah berada dalam pH 7. Dengan rata-rata
pH 6.8, laring dapat menyimpan pepsin dalam bentuk stabil. Namun, sewaktu-
waktu pepsin dapat teraktivasi saat pH mukosa laring menurun akibat terpapar
asam akibat refluks atau ion hidrogen dari sumber apapun, termasuk dari
makanan. 3

13
Secara epidemiologi, RLF ditemukan lebih sering pada pasien dengan
rinosinusitis kronik. Pasien dengan refluks gastroesofageal dinyatakan memiliki risiko
2,3 kali lebih besar atas kejadian rinosinusitis kronik. Mekanisme pertama melibatkan
refluks nasofaring, yaitu adanya eksposur langsung antara nasofaring dan asam
lambung, yang menghasilkan inflamasi dan kerusakan sistem pembersihan mukosa.
Kontak asam dan pepsin secara langsung dari RLF dengan jaringan sinonasal dapat
menginisiasi inflamasi kronik yang ditemukan pada pasien rinosinusitis. Refluks juga
dapat menginduksi terjadinya respon otonom pada jaringan sinonasal yang
menyebabkan peningkatan produksi mukus dan kongesti pada hidung. 11

2.6 Manifestasi Klinis


Menurut American Bronchoesophageal Association, gejala yang paling umum
pada RLF adalah throat clearing (98%), batuk yang persisten (97%), Globus
Pharyngeus (95%), dan suara serak atau disfonia (95%).11 - 13 Globus Pharyngeus
adalah adanya sensasi benjolan atau benda asing pada tenggorok namun tidak disertai
dengan nyeri. Beberapa gejala yang tidak spesifik pada pasien RLF yang berhubungan
dengan kondisi nasal yaitu alergi dan postnasal drip.14,15 Beberapa penelitian
mengungkatkan adanya hubungan antara RLF dengan gangguan penghidu, perasa dan
halitosis.16,17. Para peneliti juga mendapatkan beberapa kasus pasien RLF dilaporkan
berhubungan dengan otitis media, tinitus hingga vertigo perifer.18 - 20
RLF dan GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease) memiliki gejala – gejala
yang serupa sehingga terkadang membuat adanya kekeliruan dalam mendiagnosis.
Gejala pasien dengan GERD yang paling umum yaitu heartburn (lebih dari 75%
pasien),21 sedangkan pada pasien dengan RLF yang mengalami heartburn
presentasenya dibawah 40%.12, 22 Suara serak atau disfonia sangat umum pada pasien
dengan RLF, sedangkan pasien dengan GERD jarang bahkan tidak pernah
mengeluhkan suara serak.23 Pada pasien dengan RLF, reflux terjadi sepanjang hari dan
bisa terjadi saat pasien pada posisi berdiri atau tegak. Pasien dengan GERD, reflux
seringkali terjadi pada malam hari atau saat pasien dengan posisi supinasi.12, 22, 23

14
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Kuesioner Indeks Gejala Refluks
Kuesioner Indeks Gejala Refluks (Tabel 1) merupakan kuesioner yang dapat
digunakan dalam membantu mendiagnosis RLF.24,25 Kuesioner ini berisikan 9
pertanyaan tentang gejala yang muncul dalam 1 bulan terakhir dengan disertai skala
tingkat keparahan dari gejala tersebut. Nilai 0 merepresentasikan tidak adanya gejala
hingga nilai 5 yang mepresentasikan gejala yang sangat menggnggu. Nilai maksimum
45, dan pasien dengan nilai RSI diatas 13 sudah dapat di diagnosis RLF.25

Tabel 1 Kuesioner Indeks Gejala Refluks (IGR)

Disfungis silier pada epitel pernapasan menyebabkan terjadinya penumpukan lendir.


Penumpukan ini menyebabkan adanya sensasi post nasal drip dan mendehem.31 Iritasi
akibat dari material - material refluks secara langsung dapat menyebabkan batuk dan

15
rasa tercekik (spasme laring) karena adanya sensitivitas pada ujung persarafan laring
yang diregulasi oleh peradangan pada area tersebut. Faktor faktor tersebut yang
menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan seperti edema pita suara, ulkus dan
granuloma. Perubahan – perubahan jaringan yang terjadi berhubungan dengan
terjadinya suara yang serak, sensasi mengganjal saat menelan (globus pharyngeus) dan
nyeri pada tenggorokan.28 Mekanisme refleks vagal yang diaktivasi di esofagus distal
oleh material refluks, menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, batuk kronis dah
mendehem berulang.

2.7.2 Laringoskopi
Pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi dapat digunakan dalam melihat
adanya tanda – tanda iritasi pada laring pada pasien dengan RLF. Tanda – tanda iritasi
laring yaitu ventricular obliteration, edema vocal fold, subglotis yang edema (meneba
dan kemerahan), dan edema lokalis pada laring posterior yaitu dinding faring,
arytenoids, dan interarytenoid area.26 Iritasi laring tidak sepenuhnya menandakan
seorang pasien mengalami RLF. Beberapa hal yang dapat menyebabkan iritasi laring
yang bukan berasal dari reflux yaitu alergi, merokok hingga penggunaan suara secara
berlebihan.28 Tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis RLF berdasarkan hasil dari
laparoskopi saja.15,28,29
2.7.3 Skor Temuan Refluks
STR atau Skor Temuan Refluks merupakan kuisioner yang berisikan 8 hal yang
menilai tingkat keparahan tanda – tanda inflamasi berdasarkan pemeriksaan
laparoskopi. STR mengevaluasi beberapa bagian yaiut :
1. Edema Subglottik
2. Obliterasi Ventrikel
3. Eritem
4. Edema lipatal Vokal
5. Edema Laring secara keseluruhan

16
6. Hipertrofi Komisura Posterior
7. Granulasi atau Granuloma
8. Produksi mukus yang berlebih di laring.
STR memiliki skor paling rendah 0 dan skor paling tinggi yaitu 26. Penelitian
mengungkapkan pada pasien yang telah terdiagnosa RLF, 95% pasien memiliki skor
STR diatas 7.30

17
Temuan Nilai

1. Edema Sublotik 0 = Tidak ditemukan


2 = Ditemukan

2. Obliterasi Ventrikel 2 = Sebagian


4 = Seluruh

3. Eritem 2 = Arytenoid
4 = Difus

4. Edema Lipatan Vokal 1 = Ringan


2 = Sedang
3 = Berat
4 = Polipoid

5. Edema Laring secara keseluruhan 1 = Ringan


2 = Sedang
3 = Berat
4 = Obstruksi
6. Hipertrofi Komisura Posterior 1 = Ringan
2 = Sedang
3 = Berat
4 = Obstruksi
7. Granulasi atau Granuloma 0 = Tidak ditemukan
2 = Ditemukan

8. Produksi mukus yang berlebih 0 = Tidak ditemukan


2 = Ditemukan

Tabel 2 Skor Temuan Refluks

18
2.7.4 Pemeriksaan Ambulatory pH 24 jam

Pemeriksaan Ambulatory pH 24 jam dapat dipertimbangkan sebagai


pemeriksaan pasien RLF. Pemeriksaan ini menggunakan dua buah elektroda
dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan
0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus. Pemeriksaan ini merupakan standar baku emas
dalam mendiagnosa RLF walaupun sensitivitas dari pemeriksaan ini hanya 50 – 60%.
Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah adanya false negatif yang diperngaruhi karena
adanya modifikasi diet.31

2.7.5 Pemeriksaan Oral Salivary Pepsin Test


Oral salivary pepsin test atau peptest adalah alat pendeteksi pepsin melalui
saliva. Peptest merupakan metode non-invasif yang dapat digunakan untuk
menentukan ada tidaknya RLF. Alat tes ini cukup sederhana, murah dan mudah untuk
diulang yang dapat meminimalkan pengobatan empiris dan tes yang invasif untuk
mendiagnosis RLF walaupun dibutuhkan pemeriksaan lainnya untuk penegakan
diagnosis RLF. Cara dari peptest adalah dengan menggunakan 3-5 sampel air liur pada
3 waktu tertentu (umumnya siang hari) dan memasukan kedalam tabung yang
disediakan, setelah itu akan dilakukan pengecekan pepsin menggunakan monoclonal
human pepsin antibody dan mengukur konsentrasi pepsin pada air liur hal ini juga
penting untuk menentukan derajat keparahan dari refluks yang terjadi. Pepsin
merupakan salah satu enzim pencernaan yang diproduksi oleh lambung, sehingga
ketika pepsin terdeteksi pada air liur maka dapat dijelaskan bahwa terjadi refluks dari
isi lambung sampai dengan saluran cerna bagian atas.32

19
2.8 Penalataksanaan
Diagnosis dan terapi yang tepat dan efektif pada pasien RLF dapat mencegah
terjadinya batuk yang kronik hingga ulcer pada pita suara. Kondisi – kondisi ini
berhubungan dengan asma, bronkitis kronik, rhinitis kronik, sinusitis dan otitis
media.33
2.8.1 Medikamentosa
Terapi obat – obatan dapat digunakan dalam mengobatai RLF. PPI atau Proton
Pump Inhibitor menjadi obat yang utama dalam mengobati RLF. Pemberian PPI juga
menurunkan kerusakan yang dihasilkan dari proses aktivitas enzim pepsin. 59 Terdapat
5 jenis PPI yaitu, omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole,
danrabeprazole. Beberapa penelitian mengukapkan bahwa rabeprazole memiliki
potensi kerja yang cepat, esomeprazole paling ampuh dalam menurunkan kadar asam,
sementara itu lansoprazole, omeprazole dan pantoprazole memiliki efektifitas yang
sama dalam menurunkan kadar asam. Dosis yang digunakan dalam pemberian yaitu
omeprazole 2x20 mg, lansoprazole 2x30 mg, pantoprazole 2x40 mg, rabeprazole 2x20
mg, dan esomeprazole 2x40 mg. Obat – obat yang paling umum dipakai adalah
lansoprazole dan omeprazole. Pasien disarankan untuk menggunakan PPI paling
minimal 3 bulan dengan pemberian 2 kali dalam sehari (sebelum sarapan dan makan
malam), diberikan 30 – 60 menit sebelum makan. Jangka waktu pemberian yang
panjang ini sangat penting karena pada periode ini mekanisme obat menstimulasi
proton pump. Bila dalam 3 bulan tidak terdapat perbaikan, terapi dilanjutkan sampai 6
bulan atau dilakukan pemeriksaan lain seperti monitoring pH, manometri atau
pemeriksaan barium.60 – 62 Pasien dengan RLF diterapi secara agresif, termasuk dalam
pemberian PPI dengan dosis tinggi dan dalam waktu yang lama.22,48,52 Menurut Federal
Drug Administration (FDA), omeprazole dan lansoprazole aman digunakan pada anak-
anak kecuali anak usia di bawah 1 tahun. Omeprazole (0,7-3,5 mg/kgBB/hari) dan
lansoprazole (1,4 mg/kgBB/hari) memiliki keamanan jangka pendek dan panjang, yaitu
6 bulan untuk lansoprazole dan sampai 2 tahun untuk omeprazole.63

20
Reseptor H2 Blocker dijadikan alternatif dalam tatalaksana RLF. Pemberian
reseptor H2 bloker, diberikan terutama pada pasien yang mengalami gejala RLF yang
tetap muncul pada malam hari walaupun pasien sudah diberikan PPI dua kali dalam
sehari. Gejala ini disebabkan oleh mekanisme Nocturnal Acid Breakthroug (NAB)
yaitu keadaan deimana pH pada intragastrik berada dibawah < 4 dan terjadi selama
malam hari. Reseptor H2 bloker diberikan pada malam hari. Selain itu, obat ini juga
digunakan dalam pengobatan jangka panjang RLF. Obat – obatan reseptor h2 blocker
yang dipakai antara lain cimetidine (2x400 mg), ranitidine (2x150 mg), famotidine
(2x20 mg) dan nizatidine (2x150 mg).64
Prokinetik, dan mucosal cytoprotectants (sucralfate) menghasilkan keuntungan
dalam terapi RLF. Penggunaan sukralfat dinilai dapat mengurangi kerusakan mukosa
dan mengurangi aktivitas pepsin.12,48,49 Neuromodulator dapat menjadi pilihan
pengobatan pada pasien yang tidak berhasil diterapi menggunakan obat – obatan acid
supression dan terutama pada pasien dengan laryngeal sensitivity (neuropati).12, 50 - 52
Pemberian obat – obatan prokinetik seperti metoclopramide dan domperidone
digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung dan menekan produksi asam
lambung yang dinilai bermanfaat pada pasien dengan RLF.66
2.8.2 Non Medikamentosa
2.8.2.1 Diet RLF
Pasien disarankan untuk mengkonsumsi makanan lebih awal atau sekurang –
kurangnya 2 jam sebelum tidur. Pasien dengan RLF disarankan untuk tidak meminum
kopi dalam jumlah banyak atau minuman bersoda karena diliai dapat mempengaruhi
keasaman dan dapat menyebabkan reflux.34,35 Makanan pedas dinilai dapat mengiritasi
mukosa esofagus bagian bawah yang dapat menyebabkan terjadinya rasa panas atau
terbakar pada dada. Makanan berlemak dan cokelat diketahui dapat memperpanjang
waktu pengosongan lambung.36 Sehingga disarankan pasien menghindari diet tinggi
lemak untuk mempercepat pengosongan lambung. Pasien disarankan mengurangi diet
tinggi kalori karena berhubungan dengan memanjangnya waktu pengosongan lambung

21
sehingga asam lambung yang terlalu lama ada di lambung dapat memperburuk gejala
– gejala reflux.37
2.8.2.2 Modifikasi Gaya Hidup
Selain modifikasi diet, pasien harus merubah gaya hidup yang lain seperti
meninggalkan kebiasaan merokok karena rokok memproduksi asam.12 Rokok juga
berhubungan dengan adanya retensi asam yang pada akhirnya dapat melambatkan
pembersihan asam pada esofagus. Perokok memiliki angka insiden gejala reflux yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan perokok.38, 39 Konsumsi minuman
beralkohol memiliki hubungan yang sangat kuat dengan munculnya gejala reflux yang
disebabkan karena asam. Wine dan beer dapat menyebabkan munculnya gejala reflux
walaupun dalam jumlah yang sedikit.40 - 43 Obesitas memiliki hubungan yang kuat
dengan acid reflux. Penurunan berat badan memiliki dampak yang signinfikan dalam
menurunkan gejala reflux pada pasien dengan RLF dan GERD. Sebaliknya,
peningkatan berat badan dapat memperburuk gejala refluks yang dialami.44, 45 Pasien
disarankan aktif berpartisipasi dalam berolahraga sekurang – kurangnya 30 menit
setiap hari sebagai pertahanan dalam melawan gejala refluks. Pasien yang kurang aktif
secara fisik memiliki resiko yang tinggi terhadap menjadi kan gejala refluks menjadi
semaki buruk.46, 47
2.8.3 Pembedahan
Pembedahan menjadi pilihan terakhir untuk terapi pasien dengan RLF.
Pembedahan hanya dilakukan ketika pasien sudah diterapi dengan PPI namun tidak
mencapai pemulihan total dari gejala – gejala RLF. Teknik pembedahan yang
dilakukan adalah Laparoscopic Antireflux Surgery.12,53 Teknik ini dilakukan dengan
membuat fundus lambung (bagian atas) ditarik dari belakang dan ditempatkan sekitar
esofagus bagian distal. Fundus lambung kemudian dijahit di depan esofagus bagian
distal untuk memperkuat fungsi penutupan sfingter esofagus bagian bawah dan
menyempitkan hiatus esofagus.66

22
2.9 Algoritma Penanganan Laringopharyngeal Reflux
Berikut merupakan algoritma tatalaksana penanganan Laringopharyngeal
Reflux :54

Gambar 5 Algoritma Tatalaksana Penanganan RLF


2.10 Komplikasi
Misdiagnosis dan penanganan yang tidak tepat atau kurang efektif
menyebabkan munculnya komplikasi RLF. Iritasi dalam jangka waktu yang lama dapat

23
merubah jaringan – jaringan laring dan faring sehingga meningkatkan resiko keganasan
pada laring atau faring. Obstruksi jalan napas menjadi salah satu komplikasi yang
cukup serius ketika RLF menyebabkan adanya laringospasme, stenosis subglotis atau
glotis, hingga karsinoma laring.
Iritasi saluran pernapasan karena RLF yang tidak diselesaikan dapat memicu
munculnya gangguan bronkopulmoner seperti asma, bronkitis, laringitis berulang,
hingga pneumonia. Kualitas hidup pasien dengan RLF yang kronik cenderung
berkurang dalam jangka waktu yang panjang hingga ditemukannya gangguan mental
seperti depresi.55,56

2.11 Prognosis
Diagnosis yang cepat dan tepat disertai penanganan yang optimal pada pasien
RLF menghasilkan prognosis yang lebih baik. Terapi yang agresif dalam jangka waktu
yang lama yaitu 3 – 4 bulan dinilai dapat menghasilkan prognosis yang baik dan
mengurangi resiko komplikasi yang terjadi. Gejala yang tidak spesifik menjadi faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis. Hal ini dapat berdampak buruk
karena keterlambatan pengobatan yang berujung pada progresivitas penyakit yang
semakin buruk.57
Peran fasilitas kesehatan primer sangat besar dalam penegakan diagnosis dan
tatalaksana awal pada pasien dengan RLF tanpa perlu merujuk ke fasilitas kesehatan
tingkat lanjut.58 Gangguan mental yang terjadi seperti depresi dan ansietas
menyebabkan kualitas hidup pasien dengan RLF yang semakin menurun dan
menyebabkan prognosis semakin buruk.56

24
BAB III

KESIMPULAN

Refluks Laringofaring (RLF) merupakan keadaan dimana terjadi aliran balik isi
lambung ke bagian laring dan faring yang akhirnya menyebabkan terjadinya kontak
antar isi lambung dan saluran pencernaan bagian atas dan dapat menimbulkan penyakit
oral, faring, dan laring. Angka kejadian RLF bervariasi, namun diperkirakan i 10-15%
RLF merupakan varian utama manifestasi ekstraesofagus pada Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD). RLF merupakan proses multifaktorial yang terjadi akibat
gabungan dari: peningkatkan asam lambung, disfungsi katup esofageal atas dab bawah,
iritasi berulang, inflamasi dan kerusakan mukosa, mikroaspirasi, dsb.
Manifestasi klinis gejala yang paling umum pada RLF adalah throat clearing
atau mendehem (98%), batuk yang persisten (97%), Globus Pharyngeus atau rasa
menganjal di tenggorokan saat menelan (95%), dan suara serak atau disfonia (95%).
Beberapa manifestasi klinis yang tidak spesifik pada RLF adalah hidung tersumbat,
postnasal drip, gangguan penghidu, gangguan pengecap rasa dan Halitosis hingga
Heartburn. Diagnosis RLF ditegakkan melalui gejala klinis dengan bantuan kuisioner
Indeks Gejala Refluks, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yaitu
laringoskopi (dengan acuan Skor Temuan Refluks) untuk tahap awal. Gold standard
diagnosis pada RLF adalah pemeriksaan ambulatory pH 24 jam, namun hal ini sering
tidak tersedia di fasilitas kesehatan primer. Penanganan RLF dimulai dengan
tatalaksana non-medikamentosa, yang mencakup: penurunan berat badan, pola makan,
perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik. Tatalaksana dilanjutkan dengan terapi
medikamentosa dengan PPI sebagai drug-of-choice, atau dengan alternatif lain seperti:
Reseptor H2 bloker, mucosal cytoprotectant, neuromodulator hingga prokinetik.
Tatalaksana surgikal yaitu laparoscopic antireflux surgery digunakan sebagai lini
akhir. RLF yang didiagnosa dini dan tangani dengan adekuat jarang menimbulkan
komplikasi berat, sebaliknya jika tidak ditangani dengan baik maka akan muncul

25
komplikasi. Tatalaksana yang adekuat dapat meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan morbiditas hingga mortalitas.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Lechien JR, Saussez S, Harmegnies B, Finck C, Burns JA. Laryngopharyngeal


Reflux and Voice Disorders: A Multifactorial Model of Etiology and
Pathophysiology. J Voice. 2017;1–20.

2. Spantideas N, Drosou E, Bougea A, Assimakopoulos D. Laryngopharyngeal


reflux disease in the Greek general population, prevalence and risk factors.
BMC Ear, Nose Throat Disord. 2015;15:1–7

3. Campagnolo AM, Priston J, Thoen RH, Medeiros T, Assunção AR.


Laryngopharyngeal reflux: Diagnosis, treatment, and latest research. Int Arch
Otorhinolaryngol. 2014;18(2):184–91

4. Sirin S, Öz F. Laryngopharyngeal reflux concept: what is known and what


should we focus on? Braz J Otorhinolaryngol. 2019; 85(2):133–35

5. Salihefendic N, Zildzic M, Cabric E. Laryngopharyngeal Reflux Disease -


LPRD. Med Arch (Sarajevo, Bosnia Herzegovina). 2017.

6. Chiba T. Laryngopharyngeal reflux disease (LPRD) –Review article. Med Res


Arch. 2017:1–14

7. Rees CJ, Belafsky PC. Laryngopharyngeal reflux: Current concepts in


pathophysiology, diagnosis, and treatment. Int J Speech Lang Pathol.
2008;10(4):245–53

8. Saru̧ M, Ayanoglu Aksoy E, Vardereli E, et al. Risk factors for


laryngopharyngeal reXux. Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology. 2012;269:1189–
94

9. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. J Am Med


Assoc. 2005; 294(12):1534–40

10. Johnston N, Yan JC, Hoekzema CR, et al. Pepsin promotes proliferation of

27
laryngeal and pharyngeal epithelial cells. Laryngoscope. 2012;122(6):1317–25

11. Koufman JA. Laryngopharyngeal reflux is different from classic gas-


troesophageal reflux disease. Ear Nose Throat J 2002;81(9 Suppl 2):7–9.

12. Franco RA Jr. Laryngopharyngeal reflux. In: UpToDate, Kunins L (Ed),


UpToDate, Waltham, MA. Accessed March 30, 2018.

13. Gelardi M, Ciprandi G. Focus on gastroesophageal reflux (GER) and


laryngopharyngeal reflux (LPR): new pragmatic insights in clinical practice. J
Biol Regul Homeost Agents 2018;32(1 Suppl. 2):41–7.

14. Vaezi MF, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE. Laryngeal signs and symptoms
and gastroesophageal reflux disease (GERD): a critical assessment of cause and
effect association. Clin Gastroenterol Hepa- tol 2003;1(5):333–44.

15. Qadeer MA, Swoger J, Milstein C, et al. Correlation between symp- toms and
laryngeal signs in laryngopharyngeal reflux. Laryngoscope 2005;115(11):1947–
52.

16. Emre Dinc M, Dalgic A, Avincsal MO, Ulusoy S, Celik A, Develioglu ON. An
assessment of olfactory function in patients with laryngo- pharyngeal reflux
disease. Acta Otolaryngol 2017;137(1):71–7.

17. Altundag A, Cayonu M, Salihoglu M, et al. Laryngopharyngeal reflux has


negative effects on taste and smell functions. Otolaryngol Head Neck Surg
2016;155(1):117–121.

18. Viliušytė E, Macaitytė R, Vaitkus A, Rastenytė D. Associations be- tween


peripheral vertigo and gastroesophageal reflux disease. Med Hypotheses
2015;85(3):333–5

28
19. Miura MS, Mascaro M, Rosenfeld RM. Association between otitis media and
gastroesophageal reflux: a systematic review. Otolaryn- gol Head Neck Surg
2012;146(3):345–52.

20. Górecka-Tuteja A, Jastrzębska I, Składzień J, Fyderek K. Laryngopha- ryngeal


reflux in children with chronic otitis media with effusion. J Neurogastroenterol
Motil 2016;22(3):452–8.

21. J Dent, J Brun, A Fendrick, et al. An evidence-based appraisal of re- flux disease
management--the Genval Workshop Report. Gut 1999, 44 Suppl 2:S1–16

22. Koufman JA, Aviv JE, Casiano RR, Shaw GY. Laryngopharyngeal reflux:
position statement of the committee on speech, voice, and swal- lowing
disorders of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Otolaryngol Head Neck Surg 2002;127(1):32–5.

23. Hanson DG, Jiang JJ. Diagnosis and management of chronic laryngi- tis
associated with reflux. Am J Med 2000;108 Suppl 4a:112S–9S

24. Nunes HS, Pinto JA, Zavanela AR, Cavallini AF, Freitas GS, Garcia FE.
Comparison between the reflux finding score and the reflux symp- tom index in
the practice of otorhinolaryngology. Int Arch Otorhino- laryngol
2016;20(3):218–21.

25. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. Validity and reliability of the reflux
symptom index (RSI). J Voice 2002;16(2):274–77.

26. Ylitalo R, Lindestad PA, Ramel S. Symptoms, laryngeal findings, and 24-hour
pH monitoring in patients with suspected gastroesopha- go-pharyngeal reflux.
Laryngoscope 2001;111(10):1735–41.

29
27. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and man- agement
of gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol 2013;108(3):308–28;
quiz 329.

28. Book DT, Rhee JS, Toohill RJ, Smith TL. Perspectives in laryngopha- ryngeal
reflux: an international survey. Laryngoscope 2002;112(8 Pt 1):1399–406.

29. Branski RC, Bhattacharyya N, Shapiro J. The reliability of the assess- ment of
endoscopic laryngeal findings associated with laryngopha- ryngeal reflux
disease. Laryngoscope 2002;112(6):1019–24.

30. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability of the reflux
finding score (RFS). Laryngoscope 2001;111(8):1313–17.

31. Vaezi MF. New Tests for the Evaluation of Laryngopharyngeal Reflux.
Gastroenterol Hepatol (N Y). 2013 Feb;9(2):115–7.
32. Barona-Lleó L, Duval C, Barona-de Guzmán R. Salivary Pepsin Test: Useful
and Simple Tool for the Laryngopharyngeal Reflux Diagnosis. Acta
Otorrinolaringol Esp [Internet]. 2018 Mar 1;69(2):110–3.

33. Kuo CL, Chen YT, Shiao AS, Lien CF, Wang SJ. Acid reflux and head and neck
cancer risk: A nationwide registry over 13 years. Auris Na- sus Larynx
2015;42(5):401–5.

34. Lillemoe KD, Johnson LF, Harmon JW. Role of the components of the
gastroduodenal contents in experimental acid esophagitis. Surgery
1982;92(2):276–84.

35. Fass R, Quan SF, O’Connor GT, Ervin A, Iber C. Predictors of heart- burn
during sleep in a large prospective cohort study. Chest 2005;127(5):1658–66.

30
36 El-Serag HB, Satia JA, Rabeneck L. Dietary intake and the risk of gastro-
oesophageal reflux disease: a cross sectional study in volun- teers. Gut
2005;54(1):11–7.

37. Fox M, Barr C, Nolan S, Lomer M, Anggiansah A, Wong T. The effects of


dietary fat and calorie density on esophageal acid exposure and reflux
symptoms. Clin Gastroenterol Hepatol 2007;5(4):439-–44.

38. Watanabe Y, Fujiwara Y, Shiba M, et al. Cigarette smoking and alco- hol
consumption associated with gastro-oesophageal reflux disease in Japanese
men. Scand J Gastroenterol 2003;38(8):807–11

39. Kahrilas PJ, Gupta RR. The effect of cigarette smoking on salivation and
esophageal acid clearance. J Lab Clin Med 1989;114(4):431–38

40. Pehl C, Wendl B, Pfeiffer A. White wine and beer induce gastro-oe- sophageal
reflux in patients with reflux disease. Aliment Pharmacol Ther
2006;23(11):1581–86.

41. Pehl C, Wendl B, Pfeiffer A, Schmidt T, Kaess H. Low-proof alcoholic


beverages and gastroesophageal reflux. Dig Dis Sci 1993;38(1):93–6.

42. Vitale GC, Cheadle WG, Patel B, Sadek SA, Michel ME, Cuschieri A. The
effect of alcohol on nocturnal gastroesophageal reflux. JAMA
1987;258(15):2077–79.

43. Pehl C, Pfeiffer A, Wendl B, Kaess H. Different effects of white and red wine
on lower esophageal sphincter pressure and gastroesoph- ageal reflux. Scand J
Gastroenterol 1998;33(2):118–22.

31
44. El-Serag HB, Sonnenberg A. Opposing time trends of peptic ulcer and reflux
disease. Gut 1998;43(3):327–33.

45. Ness-Jensen E, Lindam A, Lagergren J, Hveem K. Weight loss and re- duction
in gastroesophageal reflux. A prospective q population-based cohort study:
the HUNT study. Am J Gastroenterol 2013;108(3): 376–82.

46. Nilsson M, Johnsen R, Ye W, Hveem K, Lagergren J. Lifestyle relat- ed risk


factors in the aetiology of gastro-oesophageal reflux. Gut 2004;53(12):1730–
35.

47. Nocon M, Labenz J, Willich SN. Lifestyle factors and symptoms of gastro-
oesophageal reflux - a population-based study. Aliment Phar- macol Ther
2006;23(1):169–74.

48. Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. JAMA


2005;294(12):1534–40.

49. McGlashan JA, Johnstone LM, Sykes J, Strugala V, Dettmar PW. The value of
a liquid alginate suspension (Gaviscon Advance) in the management of
laryngopharyngeal reflux. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009;266(2):243–51.

50. Cobeta I, Pacheco A, Mora E. The role of the larynx in chronic cough. Acta
Otorrinolaringol Esp 2013;64(5):363–8

51. Norris BK, Schweinfurth JM. Management of recurrent laryn- geal sensory
neuropathic symptoms. Ann Otol Rhinol Laryngol 2010;119(3):188–91.

52. Halum SL, Sycamore DL, McRae BR. A new treatment option for la- ryngeal
sensory neuropathy. Laryngoscope 2009;119(9):1844–7

32
53. Swoger J, Ponsky J, Hicks DM. et al. Surgical fundoplication in laryn-
gopharyngeal reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a controlled
study. Clin Gastroenterol Hepatol 2006;4(4):433–41.

54. Kuo C. Laryngopharyngeal Reflux: An Update. Archives of


Otorhinolaryngology-Head & Neck Surgery. 2019;3(1).
55. Close LG. Laryngopharyngeal Manifestations of Reflux: Diagnosis and
Therapy. Eur J Gastroenterol Hepatol,2002 Sep;14 Suppl 1: S23–7.
56. Gregory N. Postma, M.D. and Stacey L. Halum, M.D. Laryngeal and
pharyngeal complications of gastroesophageal reflux disease. Gastroint Motil.
2006.
57. Campagnolo AM, Priston J, Thoen RH, Medeiros T, Assunção AR.
Laryngopharyngeal Reflux: Diagnosis, treatment, and Latest Research. Vol. 18,
International Archives of Otorhinolaryngology. Fundacao
Otorrinolaringologia; 2014. p. 184 –91.
58. Salihefendic N, Zildzic M, Cabric E. Laryngopharyngeal Reflux Disease
LPRD. MedArch. 2017; 71(3) p.215 – 8.
59. Dobhan R, Castell D O. Normal and abnormal proximal esophageal acid
exposure: results of ambulatory dual-probe pH monitoring. Amj
Gastroenterol. 1993;88:25–9.
60. Bove M J, Rosen C. Diagnosis and management of laryngopharyngeal reflux
disease. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2006;14:116 – 123.
61. Ford C. Evaluation and Management of Laryngopharyngeal Reflux. JAMA.
2005;294(12):1534.
62. Lechien JR, Mouawad F, Barillari MR, et al. Treatment of laryngopharyngeal
reflux disease: A systematic review. World J Clin Cases. 2019;7(19):2995 –
3011.

33
63. Stavroulaki P. Diagnostic and management problems of laryngopharyngeal
reflux disease in children. International journal of pediatric
otorhinolaryngology. 2005; 70; 579–90.
64. Xue S., Katz P., Banerjee P., Tutuian R., Castell D. Bedtime H2 blockers
improve nocturnal gastric acid control in GERD patients on proton pump
inhibitors. Aliment Pharmacol Ther 2001; 15: 1351–56
65. Muderris T, GokLam PK, Ng ML, Cheung TK, et al. Rabeprazole is effective
in treating laryngopharyngeal reflux in a randomized placebo-controlled trial.
Clin Gastroenterol Hepatol. 2010;8(9):770–6.
66. Sjamsuhidjat R, Jong Wd. Esofagus dan diafragma. Buku ajar ilmu bedah. Edisi
revisi. Jakarta-Indonesia. Penerbit buku kedokteran EGC, 1997. Hal: 681–3.

34
35

Anda mungkin juga menyukai