Disusun Oleh :
Ulva Septiana 122011101017
Erdito Muro Suyono 122011101030
Pembimbing:
dr. Bagas Kumoro, Sp. M
dr. Erwanda Fredy, Sp. M
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... . iv
KATA PENGANTAR...................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Mata.......................................................... 2
2.2 Proses Penghantaran Obat Menuju Mata ................................... 5
2.3 Mekanisme Umum Perpindahan Obat pada Mata ........................................ 6
2.4 Faktor Formulasi yang Mempengaruhi Proses Biofarmasetik Sediaan
Optalmik ................................................................................................................ 6
2.5 Obat-Obat yang Mempengaruhi Mata ...................................... 10
BAB 3 KESIMPULAN................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 33
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Efek Obat-Obatan terhadap Konjungtiva dan Kelopak Mata .... 11
Tabel 2.2 Jenis Obat-Obatan dan Efeknya terhadap Kornea .................... 13
Tabel 2.3 Efek Obat pada Lensa .............................................................. 14
Tabel 2.4 Efek Obat-Obatan terhadap Episklera, Sklera dan Uvea .......... 15
Tabel 2.5 Efek Obat-Obatan terhadap Pupil ............................................ 15
Tabel 2.6 Obat-Obatan yang Menyebabkan Myopia ............................... 16
Tabel 2.7 Obat-Obatan yang Berpengaruh terhadap Tekanan Intraokular 16
Tabel 2.8 Rangkuman Efek Obat pada Mata .......................................... 19
Tabel 2.9 Penyebab umum neuropati optik toksik ............................ 20
Tabel 2.10 Karakteristik Neuropati Optik karena Ethambutol ................ 21
Tabel 2.11 Obat yang Mempengaruhi Saraf Optik ................................. 21
Tabel 2.12 Efek Obat Terhadap Otot Ekstra Okular .............................. 31
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan referat dengan judul “Obat-Obatan yang
Berpengaruh pada Mata“ yang disusun dalam tiga minggu ini. Referat yang telah
kami susun ini diharapkan mampu membantu para pembacanya untuk lebih
mengerti mengenai pengaruh obat-obatan pada mata dan dapat
mengaplikasikannya dalam melayani pasien.
Referat dengan judul “Obat-Obatan yang Berpengaruh pada Mata“ ini
kami awali dengan penjelasan mengenai anatomi dan fisiologi. Selain itu kami
sertakan bagaimana proses obat-obatan dapat mempengaruhi mata.
Referat ini kami susun berdasarkan sumber-sumber seperti buku-buku
maupun jurnal-jurnal dari internet. Sumber-sumber untuk menyusun referat ini,
meskipun terbatas jumlahnya dan memiliki banyak kekurangan dalam
penyusunannya namun kami harapkan mampu menjabarkan dan menjelaskan
dengan baik hal-hal penting yang patut untuk diketahui mengenai obat-obatan
yang berpengaruh pada mata.
Demikian referat ini kami susun, apabila terdapat kesalahan kami mohon
maaf dan kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
agar referat ini dapat menjadi lebih baik lagi. Semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi para pembacanya. Amin.
Salam Sejahtera
Penyu
sun
v
BAB I
PENDAHULUAN
Jalur visual anterior rentan terhadap kerusakan dari toksik atau kekurangan
nutrisi. Gangguan ini cenderung diklasifikasikan dalam toksik neuropati/ nutrisi
optik neuropati, yaitu suatu sindrom yang ditandai oleh kerusakan bundel
papillomakular, skotoma pusat, dan pengurangan penglihatan warna. Baik
toksisitas dan gizi buruk, bertindak secara mandiri atau bersama-sama, telah
terlibat dalam patogenesis gangguan ini. Meskipun masalah ini telah
diklasifikasikan sebagai neuropati optik, di sebagian besar kasus, lesi primer
belum benar-benar telah dilokalisasikan ke saraf optik dan mungkin berasal dari
kiasma, retina, atau bahkan traktus optikus.
Mekanisme yang tepat adalah dengan defisit nutrisi yang merusak saraf
optik belum dapat dijelaskan. Meskipun kemungkinan etiologinya multifaktorial,
kebanyakan dokter setuju bahwa pada pasien yang menyalahgunakan etanol,
tembakau, dan gizi buruk adalah penyebab utama dari amblyopia tersebut.
Pendapat lain percaya bahwa kekurangan vitamin tertentu seperti tiamin, B-12,
asam folat, protein dengan kandungan asam amino, atau kombinasi dari ini juga
berperan. Apakah tembakau atau etanol memiliki efek langsung pada saraf optik
masih belum jelas. Mengapa agen tertentu mengandung toksik ke saraf optik,
khususnya bagian yang terdiri dari bundel papillomacular, juga sebagian besar
masih belum dapat ditegakkan. Apakah konfigurasi yang tidak biasa dari suplai
vaskular kepala saraf optik memiliki predisposisi ke akumulasi agen beracun
masih menjadi pertanyaan. Telah dihipotesiskan bahwa sifat chelating dari
etambutol berkontribusi untuk neurotoksisitas, tetapi ini belum
terbukti. Mekanisme neurotoksisitas yang terjadi dari amiodarone antiarrhythmic
masih belum jelas. Para peneliti percaya bahwa itu mungkin berhubungan dengan
lipidosis yang disebabkan oleh obat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
3. Retina, merupakan lapisan yang peka terhadap sinar. Pada seluruh bagian
retina berhubungan dengan badan sel-sel saraf yang serabutnya
membentuk urat saraf optik yang memanjang sampai ke otak. Bagian
yang dilewati urat saraf optik tidak peka terhadap sinar dan daerah ini
disebut bintik buta.
Adanya lensa dan ligamentum pengikatnya menyebabkan rongga bola
mata terbagi dua, yaitu bagian depan yang terletak di depan lensa berisi
carian yang disebut aqueous humor, dan bagian belakang yang terletak di
belakang lensa berisi vitreous humor. Kedua cairan tersebut berfungsi
menjaga lensa agar selalu dalam bentuk yang benar.
b. Kotak mata
Kotak mata pada tengkorak berfungsi melindungi bola mata dari
kerusakan. Selaput transparan yang melapisi kornea dan bagian dalam
kelopak mata disebut konjungtiva. Selaput ini peka terhadap iritasi.
Konjungtiva penuh dengan pembuluh darah dan serabut saraf. Radang
konjungtiva disebut konjungtivitis. Untuk mencegah kekeringan,
konjungtiva dibasahi dengan cairan yang keluar dari kelenjar air mata
(kelenjar lakrimal) yang terdapat di bawah alis. Air mata mengandung
lendir, garam, dan antiseptik dalam jumlah kecil. Air mata berfungsi sebagai
alat pelumas dan pencegah masuknya mikro organisme ke dalam mata.
c. Otot mata
Ada enam otot mata yang berfungsi memegang sklera. Empat di
antaranya disebut otot rektus (rektus inferior, rektus superior, rektus
eksternal, dan rektus internal). Otot rektus berfungsi menggerakkan bola
mata ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Dua lainnya adalah otot obliq
atas (superior) dan otot obliq bawah (inferior).
3
aqueus humor, lensa, dan vitreous humor. Pembiasan terbesar terjadi di kornea.
Bagi mata normal, bayang-bayang benda akan jatuh pada bintik kuning, yaitu
bagian yang paling peka terhadap sinar.
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konus) dan
sel batang (sel basilus). Sel konus berisi pigmen lembayung dan sel batang berisi
pigmen ungu. Kedua macam pigmen akan terurai bila terkena sinar, terutama
pigmen ungu yang terdapat pada sel batang. Oleh karena itu, pigmen pada sel
basilus berfungsi untuk situasi kurang terang, sedangkan pigmen dari sel konus
berfungsi lebih pada suasana terang yaitu untuk membedakan warna, makin ke
tengah maka jumlah sel batang makin berkurang sehingga di daerah bintik kuning
hanya ada sel konus saja.
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu
senyawa protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari,
maka rodopsin akan terurai menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan kembali
pigmen terjadi dalam keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali memerlukan
waktu yang disebut adaptasi gelap (disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu
adaptasi, mata sulit untuk melihat.
Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang
merupakan gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu
sel yang peka terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel
konus tersebut, mata dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel
konus akan menyebabkan buta warna.
Jarak terdekat yang dapat dilihat dengan jelas disebut titik dekat (punctum
proximum). Jarak terjauh saat benda tampak jelas tanpa kontraksi disebut titik jauh
(punctum remotum). Jika kita sangat dekat dengan obyek maka cahaya yang
masuk ke mata tampak seperti kerucut, sedangkan jika kita sangat jauh dari
obyek, maka sudut kerucut cahaya yang masuk sangat kecil sehingga sinar tampak
paralel. Baik sinar dari obyek yang jauh maupun yang dekat harus direfraksikan
(dibiaskan) untuk menghasilkan titik yang tajam pada retina agar obyek terlihat
jelas.Pembiasan cahaya untuk menghasilkan penglihatan yang jelas disebut
pemfokusan.
4
Cahaya dibiaskan jika melewati konjungtiva kornea. Cahaya dari obyek
yang dekat membutuhkan lebih banyak pembiasan untuk pemfokusan
dibandingkan obyek yang jauh. Mata mamalia mampu mengubah derajat
pembiasan dengan cara mengubah bentuk lensa. Cahaya dari obyek yang jauh
difokuskan oleh lensa tipis panjang, sedangkan cahaya dari obyek yang dekat
difokuskan dengan lensa yang tebal dan pendek. Perubahan bentuk lensa ini
akibat kerja otot siliari. Saat melihat dekat, otot siliari berkontraksi sehingga
memendekkan apertura yang mengelilingi lensa. Sebagai akibatnya lensa menebal
dan pendek. Saat melihat jauh, otot siliari relaksasi sehingga apertura yang
mengelilingi lensa membesar dan tegangan ligamen suspensor bertambah. Sebagai
akibatnya ligamen suspensor mendorong lensa sehingga lensa memanjang dan
pipih. Proses pemfokusan obyek pada jarak yang berbeda-berda disebut daya
akomodasi.
5
untuk menyerap. Senyawa membuat mata sangat tahan terhadap zat-zat asing.
Meskipun hambatan-hambatan ini membuat mata terlindungi dari invasi senyawa
asing, patogen dan partikulat yang membahayakan mata, tapi dilain hal ini
merupakan tantangan untuk sistem penghantaran obat melalui mata.
6
Faktor prekorneal yang menyebabkan hilangnya obat adalah :
a. Pergantian air mata yang normal
Air mata mencuci dengan kecepatan kira-kira 16% permenit, kecuali
selama periode tidur atau selama anastesi. Volume normal air mata hanya 7
mikroliter, jadi obat yang menghilang besar.
b. Drainase larutan yang diberikan
Area prekorneal bisa menampung kira-kira 30 mikroliter, termasuk air
mata pada saat mata tidak berkedip. Volume berkurang menjadi 10 mikrolite
r ketika mata berkedip. Oleh karena itu, kelebihan volume yang diberikan
baik tumpahan atau kecepatan saluran dari mata ke saluran nasokrimal
dengan absorpsi ke dalam sirkulasi sistemik. Drainase dari larutan yang
diberikan jauh dari mata adalah penyebab hilannya obat dan karenanya
mempengaruhi aktivitas biologis obat pada mata. Kecepatan drainase
berhubungan dengan volume larutan obat yang diberikan dan peningkatan
seiring dengan meningkatnya volume. Kecepatan drainase dari volume yang
diberikan meningkatkan kecepatan sebanding dengan volume cairan pada
mata lebih dari volume normal lakrimal. Kecepatan drainase100 kali lebih
cepat dari kecepatan absorpsi.
c. Pengikatan protein
Air mata umumnya mengandung 0.7% protein dan level protein meningkat
dengan adanya infeksi atau inflamasi. Tidak seperti darah, dimana
kompleks protein-obat berlanjut ke sirkulasi, air mata digantikan secara
cepat jadi memindahkan kedua bentuk bebas dan terikat dari obat.
d. Absorpsi obat tidak produktif
Setelah pemberian, obat diabsorpsi ke dalam kornea dan konjungtiva. Luas
area konjungtiva 17 kali dari luas kornea dengan 2-30 kali permeabilitas
yang lebih besar terhadap banyak obat. Semua jaringan absorpsi yang lain
dirasakan sebagai kehilangan yang tidak produktif ketika target jaringan
adalah bagian dalam mata.
7
/hidrofilik. Kornea terdiri dari tiga lapisan yaitu epithelium, stroma, dan
endothelium.
a. Epithelium
Studi permeabilitas pada kornea mengindikasikan lapisan paling luar dari
epithelium sebagai yang menentukan penilaian utama barrier (penghalang)
untuk penetrasi untuk obat larut air dan larut lemak. Karena epithelium larut
lemak, porositas yang rendah dan secara relatif tortuositas dan ketebalan tinggi,
penetrasi obat yang cepat harus memiliki koefisien partisi lebih dari
untuk mencapai kecepatan penetrasi. Walaupun epithelium dan endothelium
adalah lipofilik, pengukuran permeabilitas air dari tiap lapisan
mengindikasikan endothelium lebih permeable 2.7 kali dari epithelium.
b. Endhothelium
Penetrasi non elektrolit melalui endothelium terjadi secara utama melalui ruang
intraseluler.
c. Stroma
Stroma pada dasarnya merupakan aseluler, hidrofilik, porositas tinggi,dan
tortuosity yang rendah tapi karena ini merupakan 90% dari ketebalan kornea,
stroma signifikan pada kontribusi keseuruhan terhadap resistensi. Epithelium
sebagai penentu penilaian barrier untuk senyawa hidrofilik dan stroma untuk
senyawa lipofilik. Ketika nilai absolut dibandingkan senyawa lipofilik
ditemukan memiliki koefisien permeabilitas yang lebih besar.
8
2.4.4 Faktor Fisiokimia
Faktor fisiokimia adalah penentu terbesar untuk difusi pasif melintasi
kornea.
a. Koefisien partisi
Koefisien partisi adalah parameter untuk menentukan status yang cepat
daripotensi penetrasi obat ke membran biologis yang berbeda. Korelasi hubung
an koefisien partisi dengan permeabilitas membantu untuk mendesain obat-
obat opthalmik yang permeabilitasnya optimal. Obat yang hidrofilik (log
koefisien partisi < 0), epitheliummemberikan persentase yang besae dari
resistensi ke penetrasi kornea. Untuk obat lipofilik dengan log koefisien partisi
1.6-2.5, stroma berkontribusi dengan persentase yang signifikan terhadap
resistensi. Keseimbangan lipofilik/hidrofilik yang optimal pada struktur
molekul dari penetrant harus dicapai untuk menghasilkan efek penetrasi
yangcepat melalui barrier lipofilik dan hidrofilik di kornea.
b. Kelarutan
Kecepatan penetrasi maksimum dicapai oleh permeating obat ke kornea
adalah faktor multiplikatif dari koefisien permeabilitas dan kelarutan air mata.
Jika kelarutan obat rendah, konsentrasinya pada lapisan air mata perkorneal
mungkin dibatasi dan oleh karena itu kecepatan absorpsi mungkin tidak cukup
tinggi untuk mencapai konsentrasi yang adekuat untuk aktivitas terapetik.
c. Konstanta Ionisasi
pKa dari obat-obat yang dapat terionisasi adalah faktor penting pada
penetrasikorneal. Derajat ionisasi mempengaruhi luas difusi yang melewati
membran. Banyakobat-obatan adalah asam dan basa lemah dan oleh karena itu
sebagian terionisasi pada pHfisiologis. Rata-rata pH air mata adalah 7.2 dan
pKa dari obat sekitar 1 atau 2 dari nilaitersebut, penetrasi kornea akan lebih
karena proporsi yang besar dari dosis yangdiadministrasikan akan dalam
bentuk tidak terionisasi. Bentuk ionisasi dari obat sedikitlarut lemak, jika fraksi
ini terlalu besar, kecepatan penetrasi kornea mungkin tidak cukupuntuk
menghasilkan efek terapeutik pada mata (Malhorta and Majumdar, 2001)
d. Berat Molekul
9
Berat molekul berhubungan dengan kekuatan difusional aktif selama
permeasi korneal. Untuk molekul kecil, koefisien difusi berhubungan terbalik
dengan akar kuadratdari berat molekul. Molekul besar, koefisien difusi
berhubungan terbalik dengan akar pangkat tiga dari berat molekul. Perubahan
berat molekul menunjukkan hubungan terbalik terhadap permeabilitas.
e. Pengikatan Melanin
Kehadiran melanin dapat mengubah disposisi obat mata. Interaksi dengan
pigmen ini dapat mengubah ketersediaan obat bebas di tempat yang
ditargetkan. Sehingga pengikatan melanin akan menurunkan aktivitas
farmakologis. Melanin dalam jaringan okular terdapat pada uvea dan RPE.
Melanin mengikat radikal bebas dan obat dengan elektrostatik dan ikatan
van der waals atau dengan transfer muatan sederhana. Dapat disimpulkan
bahwa semua obat lipofilik mengikat melanin. Obat yang terikat dengan
melanin biasanya tidak bisa berikatan dengan reseptor sehingga memerlukan
pemberian dosis yang lebih besar. Keberadaan melanin dalam koroid dan RPE
mempengaruhi tingkat penyerapan obat ke dalam retina dan vitreous
transscleral atau pemberian obat sistemik.
10
Sulfonamide Lid edema, conjjuntivitis, chemosis, SJS
Gold salts Gold deposit in conjungtiva
Minocycline Bluish discoloration of sclera
Bisphosphonate Nonspesific conjungtivitis
Sildenafil Vconjungtival hemorrage, eye lid and
conjungtival edema, lid ptosis
NSAIDS Subconjungtival hemmorhage
Niacin Lid discoloration, lid edema
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
11
siknifikan dengan jumlah dosis dan lamanya terapi. Pasien dengan dosis
tinggi yaitu >400mg/hari akan menunjukkan kenaikan terjadinya keratopati
tergantung dari durasi terapi. Keratopati dapat berkembang maksimal dan
akan mulai perlahan turun saat dosis dikurangi. Keratopati akan mulai
menghilang antara 3-20 bulan setelah obat dihentikan. Perubahan kornea
karena amiodarone ini bukan merupakan suatu hal yang berbahaya.
darone keratopati
Gambar 2.1 Tingkatan Keratopati akibat Amiodarone
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
12
sensitivitas kornea
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
b. Kortikosteroid
Satu dari gejala yang paling sering ditimbulkan pada penggunaan
kortikosteroid adalah katarak. Penggunaan secara sistemik, pada mata, kulit,
hidung, aerosol atau streoid inhalan semua akan menimbulkan katarak
posterior supkapsular yang tidak akan dapat dibedakan gejala klinisnya dari
penyebab lain termasuk usia. Insidensi terjadinya katarak akibat steroid ini
yaitu sekitar 6,4%-38,7
13
menyebabkan uveitis selalu bersifat reversibel selama 1 minggu setelah obat
dihentikan.
a. Tamsulosin
Tamsulosin merupakan alfa 1a adrenoceptor antagonis yang menyebabkan
sindrom intraoperative floppy iris yang memiliki karakteristik :
1. Iris stroma yang mengombak dan lembek pada irigasi mata,
2. Kecenderungan iris untuk prolaps kearah tepi insisi dan phaco probe,
3. Terjadinya miosis progresif intra operatifmeskipun telah diberikan obat
yang menyebabkan dilatasi pupil.
Miosis pada pupil terjadi karena tamsulosin memblok otor dilator iris.
Blokade ini terjadi karena atrofi dari otot halus dilator iris. Hal ini yang
menjelaskan bahwa pasien tetap mengalami sindrom ini walapun telah
menghentikan pengobatan.
14
Simpatetik menyebabkan pupil berdilatasi dan parsimpatis menyebabkan
sfingter otot pupil dari iris. Obat yang mempengaruhi jalur otonom maka akan
mempengaruhi ukuran dan aktivitas pupil.
15
antipsikotik memiliki efek antikolinergik yang membuat pupil berdilatasi dan
dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup.
a. Kortikosteroid
Steroid yang dikonsumsi pasien baik melalui oral hingga inhalasi memiliki
efek naiknya tekanan intraokular. Pada pasien dengan mengkonsumsi steroid oral,
memiliki peningkatan resiko terjadinya peningkatan TIO sebesar 60%. Onset
peningkatan TIO terjadi setelah 2 minggu dan onset waktu biasanya lebih lama
pada pasien yang mengkonsumsi steroid oral dibanding dengan steroid topikal.
TIO akan kembali normal setelah 2-4 minggu tappering off dosis steroid hingga
berhenti menggunakan steroid.
16
pengelihatan warna yang abnormal, penipisan pembuluh darah retina dan
subnormal electro-retinogram. Risiko toksisitas retina akan menurun jika
dosis hidroksiquinolon kurang dari 6,5mg/kgBB dan lamanya terapi kurang
dari 5 tahun dan fungsi ginjal masih normal.
b. Kontrasepsi Oral
Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko terjadinya lesi pada vaskular
retina, seperti oklusi, trombosis vena dan perdarahan retina. Keberlanjutan terapi
harus didasarkan pada risiko untuk mendapatkan keuntungan rasio.
c. Tamoxifen
Tamoxifen merupakan obat anti estrogen yang digunakan dalam terapi hormon
kanker payudara. Komplikasi pada mata jarang terjadi dan tercatat 0,6% pasien
mengalami katarak, vortex keratopati, neuritis optik dan retinopati. Pada beberapa
literatur, pasien denga retinopati tamoxifen mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis
6-81 g. Sebanyak 12% pasien yang mengkonsumsi tamoxifen dengan dosis 12
mg/hari akan mengalami toksisitas pada retina. Patogenesis adalah dengan
peningkatan akumulasi dari glutamat yang mengarah ke aksonal degenerasi. Kristal
terlihat pada pemeriksaan fundus pada prroses yang lama. Deposit yang luas akan
mengakibatkan edema makula dan gangguan ketajaman visual. Ketajaman visual
dapat meningkat kembali setelah berhenti mengkonsumsi tamoxifen bersama dngan
resolusi makula edema, tetapi deposit pada retina tidak akan pernah kembali.
17
Gambar 2. Fundus pada pasien retinopati tamoxifen
18
adanya optik neuropati, perlu di anamnesis, apakah pasien pernah mengkonsumsi
obat-obatan tersebut.
Neuropati Optik Toksik
Neuropati optik toksik merupakan sindrom yang ditandai oleh kerusakan
papillomakular bundle, defek penglihatan skotoma sentral atau cecosentral dan
defisit pada penglihatan warna atau suatu kondisi yang ditandai oleh gangguan
penglihatan yang disebabkan oleh toksin yang merusak nervus optikus. Walaupun
gejala yang ditemukan dikelompokkan ke dalam neuropati optik, lesi primer bisa
saja ditemukan pada retina, kiasma, atau bahkan traktus optik.
Metanol merupakan alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia
CH3OH, berat molekul 32,04 g/mol. Zat ini bersifat ringan, mudah menguap, tak
berwarna, mudah terbakar, beracun dan berbau khas. Metanol digunakan secara
luas pada industri mobil sebagai larutan pembersih kaca mobil, bahan anti beku,
dan bahan campuran untuk bahan bakar.
Etiologi
Penyebab neuropati optik toksik yang sering diantaranya yaitu konsumsi
metanol (alkohol kayu), glikol etilen, disulfiram, amiodaron, digitalis,
hidroquinolon terhalogenasi, streptomisin, etambutol dan isoniazid, dan antibiotik
seperti sulfonamid, linezolid dan kloramfenikol. Selain yang disebut di atas,
faktor nutrisi juga dapat menjadi penyebab dari neuropati optik toksik dimana
faktor toksik dan nutrisi berperan bersamaan.
Tabel 2.9 Penyebab umum neuropati optik toksik
19
Sumber: Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication
a. Ethambutol
Efek dari ethambutol pada mata yang terpenting adalah retrobulbar
neuritis tetapi untungnya insidensi ini sangatlah jarang. Rangkaian terapi
klinik dapat akut atau kronik dan progresive atau tidak. Insidensi 5-6%
dengan dosis 25mg/kg/haru dan <1% dengan dosis 15mg/kg/hari yang
digunakan selama 2 bulan. Defisiensi pada daya lihat warna merupakan
indikator sensitive terjadinya neuropati optik ethambutol. Terkadang
sensitivitas kontras dapat muncul sebelum terjadinya pada penglihatan warna.
Terapi ethambutol harus dihentikan apabila ada keluhan pada mata berupa
defek lapang pandang, penglihatan warna yang kabur, dan ketajaman
penglihatan yang menurun.
b. Chloramphenicol
Chloramphenicol biasanya digunakan dalam terapi demam tifoid,
meningitis bakterial, dan infeksi anaerobik infeksi. Obat ini akan meimbulkan
neuriti retrobulbar tetapi papil dapat juga terkena. Efek dari chloramphenicol
ini akan perlahan menghilang setlah pasien tidak mengkonsumsinya.
Tabel 2.11 Obat yang Mempengaruhi Saraf Optik
Obat Efek
Ethambutol, Chloramphenicol, Isoniazid, Neuritis optik
Tamoxifen, NSAIDS
Amiodarone, Mthotrexate, Vigabatrine Neuropati/atrofi optik
20
Kortikostreoid, Tetrasiklin, Nitrofurantoin, Hipertensi Intrakranial
Nalidix Acid, Vitamin A, kontraspsi oral
Patogenesis
Pada banyak kasus, penyebab optik neuropati toksik adanya gangguan
suplai pembuluh darah jaringan atau gangguan metabolisme. Konfigurasi yang
tidak biasa dari suplai pembuluh darah ke diskus optikus mungkin menjadi
penyebab berakumulasinya zat toksik, namun hal tersebut masih belum dapat
dibuktikan.
Walaupun etiologinya multifaktorial, seseorang yang mengonsumsi alkohol
dan perokok berat mempunyai risiko yang besar untuk terjadinya optik neuropati
nutrisional karena mereka cenderung menjadi malnutrisi. Penyebab tersering optik
neuropati nutrisional yaitu karena defisiensi vitamin B-kompleks, yaitu vitamin
B1 dan B12.
Alkohol, seperti tembakau memproduksi efek toksik melalui metabolik.
Paparan alkohol dalam tubuh secara kronis dapat menyebabkan defisiensi vitamin
B12 dan asam folat. Seiring berjalannya waktu, defisiensi tersebut mengakibatkan
berakumulasinya formic acid. Formic acid dapat menginhibisi rantai transport
elektron dan fungsi mitokondria, yang mengakibatkan terganggunya produksi ATP
dan mengganggu ATP-dependent axonal transport system.
Mengonsumsi alkohol dan merokok berefek pada fosforilasi oksidatif
mitokondria. Sehingga, optik neuropati toksik sebenarnya yaitu optik neuropati
mitokondrial yang didapat.
Manifestasi Klinis
Gambaran saraf optik biasanya normal, tapi pembuluh darah di peripapiler
melebar dan terdapat perdarahan. Penurunan penglihatan dapat terjadi sebelum
terdapat perubahan pada diskus optikus yang dideteksi oleh OCT. Pada optik
21
neuropati toksik, ketajaman visual dapat bervariasi dari sedikitnya penurunan
visual sampai tidak adanya persepsi cahaya yang jarang terjadi. Kebanyakan
pasien memiliki visus 20/200 atau lebih baik.
Bila pupil dinilai, tidak diharapkan satupun ditemukannya cacat aferen
relatif pupil karena neuropati optik hampir selalu bilateral dan simetris. Namun,
pada kebanyakan pasien, pupil yang bilateral lesu terhadap cahaya. Persepsi
warna harus dinilai karena diskromatopsia adalah fitur konstan dalam kondisi ini.
Pada tahap awal neuropati optik toksik, kebanyakan pasien saraf optiknya
terlihat normal, tetapi dapat terjadi edema optik disk dan hiperemi pada beberapa
intoksikasi, terutama pada keracunan akut. Hilangnya bundel papillomacular dan
berlanjutnya atrofi optik tergantung pada toksin yang bertanggung jawab.
Diagnosis
a. Anamnesis
Banyak penyebab neuropati optik toksik dapat diidentifikasi
melalui anamnesis riwayat pasien. Gejala yang muncul biasanya
progresif. Umumnya pasien datang dengan keluhan hilangnya
penglihatan yang bersifat simetris bilateral tanpa disertai nyeri.
Beberapa pasien awalnya datang dengan keluhan diskromatopsia
terhadap warna tertentu, seperti warna merah yang tidak terlalu terang.
Biasanya melibatkan hanya satu mata pada tahap awal, yang kemudian
memberat dan akhirnya melibatkan mata yang lainnya. Pada neuropati
optik toksik, dari anamnesis dapat diketahui riwayat eksposur zat
toksik atau obat yang dikonsumsi pasien, riwayat keluarga, dan riwayat
konsumsi makanan. Umumnya penderita mempunyai riwayat mendapat
terapi antibiotik atau agen kemoterapi, penyalahgunaan zat atau obat,
atau mengalami eksposur dari limbah industry.
b. Pemeriksaan Fisik
22
Evaluasi sistemik
Pemeriksaan penderita dengan suspek neuropati optik dimulai
dengan evaluasi keadaan sistemik meliputi kesehatan fisik, status
mental, dan tanda vital. Hal ini sangat penting mengingat banyak
penyakit neuropati optik yang dipengaruhi oleh kelainan sistemik
seperti hipertensi, obesitas, hipertiroidisme, dan lain-lain. Pada
penderita neuropati optik toksik, kelainan sistemik perlu disingkirkan
untuk memastikan kausa neuropati optik toksik. Selain itu, kelainan
sistemik seperti diabetes, gagal ginjal, dan penyakit tiroid dapat
meningkatkan kadar zat-zat toksik dalam tubuh.
Pemeriksaan Okuler
Hampir semua penderita neuropati optik dapat diidentifikasi
melalui adanya penurunan tajam penglihatan, defisiensi penglihatan
warna, defek lapangan pandang, defek jalur aferen pupil (RAPD),
dan abnormalitas gambaran nervus optik pada funduskopi. 12-14
1. Tajam Penglihatan
Umumnya tajam penglihatan baik jauh maupun dekat
berkurang pada neuropati optik, meskipun penurunan tajam
penglihatan tersebut bervariasi pada setiap penderita. Pada
neuropati optik toksik penurunan tajam penglihatan dapat bersifat
akut maupun kronik. Pada neuropati optik toksik biasanya
mempunyai tajam penglihatan ≥ 20/400, kecuali toksik oleh
metanol, dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang
berat hingga mencapai kebutaan.
2. Penglihatan Warna
Adanya ketidakseimbangan antara tajam penglihatan yang
baik dan penglihatan warna yang buruk merupakan indikator yang
sangat penting dan sensitif terhadap disfungsi nervus optik. Hal ini
mungkin didasari bahwa nervus optik mengandung banyak akson
sel ganglion yang berasal dari area makula, dan akson-akson ini
mempunyai satu hubungan dengan satu sel cone densitas tinggi
23
pada area makula. Diskromatopsia yang sering terjadi utamanya
melibatkan defek warna merah dan hijau. Teknik yang sederhana
untuk mendeteksi adanya defek penglihatan warna uniokuler yaitu
dengan meminta pasien untuk membandingkan objek warna merah
antara kedua mata.Untuk penilaian yang lebih akurat dapat
digunakan tes pseudoisokromatik Ishihara atau tes Farnsworth-
12-14
Munsell 100-hue.
3. Sensitivitas Kontras
Sensitivitas kontras yang abnormal merupakan tanda lain
dari disfungsi nervus optik. Beberapa pasien dengan neuropati optik
mempunyai tajam penglihatan yang baik, tetapi sensitivitas
kontrasnya menurun. Sensitivitas kontras diuji dengan meminta
pasien untuk mengidentifikasi secara bertahap peningkatan kontras
dengan Arden plate. Tes ini sangat sensitif terhadap hilangnya
penglihatan yang tersembunyi, walaupun tidak spesifik terhadap
penyakit nervus optik. Sensitivitas kontras juga dapat ditentukan
dengan Pelli-Robson chart, dimana huruf yang dibaca, dicetak
dengan kontras berkurang secara bertahap.
4. Pupil
Identifikasi relative afferent pupil defect (RAPD) sangat
membantu untuk menentukan lokasi hilangnya penglihatan pada
nervus optik dan merupakan tanda adanya kelainan asimetris pada
lintasan penglihatan anterior. RAPD dapat dinilai dengan test
swinging flashlight. Pada neuropati optik toksik biasanya defeknya
simetris dan bilateral, maka RAPD tidak selalu dapat ditemukan.
Refleks cahaya pupil biasanya bilateral menurun atau tidak
ditemukan. Pupil sering dilatasi pada penderita yang hampir buta
atau buta total.
5. Lapangan Pandang
Salah satu tanda penting dari neuropati optik adalah adanya
defek lapangan pandang yang ditemukan pada pemeriksaan
24
perimetri baik dengan perimetri statik (Humprey) atau kinetik
(Goldman). Pada neuropati optik toksik defek lapangan pandang
yang paling banyak ditemui berupa defek sentral meliputi ; skotoma
sentral, defek parasentral, dan skotoma cecosentral. Ketiga tipe ini
menunjukkan kelainan terjadi pada bagian sentral dari nervus optik.
Defek lapangan pandang ini cenderung relatif simetris. Selain itu,
defek lapangan pandang sentral juga dapat terjadi pada penderita
dengan kelainan pada makula. Defek bitemporal atau konstriksi
lapangan pandang perifer kadang terjadi, masing-masing pada
penderita yang toksik terhadap etambutol atau amiodarone.
6. Funduskopi
Pada tahap awal neuropati optik toksik, diskus optik biasanya
memberi gambaran yang normal. Edema dan hiperemia pada diskus
optik sering terlihat pada intoksikasi akut. Beratnya penyakit dan
kecepatan perkembangan ke arah atrofi papilomacular bundle dan
temporal diskus optik tergantung pada jenis toksin.
7. Optical Coherence Tomography (OCT)
Saat ini OCT sering digunakan untuk mengukur ketebalan
lapisan serabut saraf terutama pada pasien dengan glaukoma. Selain
itu, OCT ternyata juga dapat menilai perubahan pada neuropati
optik toksik seperti yang disebabkan oleh etambutol. Dari beberapa
penelitian, perubahan dini yang belum dapat di deteksi secara klinis
dengan funduskopi, telah dapat dideteksi dengan OCT. Dengan
menggunakan OCT, kita dapat menilai hilangnya serabut saraf
retina dari nervus optik pada penderita yang diduga mengalami
toksisitas dari obat. Oleh karena itu, OCT merupakan pemeriksaan
obyektif tambahan yang mendukung pemeriksaan lapangan pandang
untuk memonitor pasien yang mendapat pengobatan seperti
etambutol.
Pemeriksaan Penunjang
25
Pemeriksaan Neuroimaging
Walupun pemeriksaan imaging dalam penelitian memberikan
gambaran yang normal pada neuropati optik toksik, pemeriksaan ini
hampir selalu dianjurkan, kecuali jika diagnosis sudah dapat dipastikan.
Pemeriksaan imaging yang paling sering dilakukan adalah Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dari nervus optik dan kiasma optik dengan atau
tanpa penambahan gadolinium. Apabila riwayat medis dari anamnesis
tidak khas sehingga sulit untuk menentukan penyebab dan
mengkorfirmasi diagnosis, maka dibutuhkan pemeriksaan neuroimaging
untuk menyingkirkan penyebab neuropati optik kausa kompresif dan
iskemik, dimana hilangnya penglihatan sentral bilateral dapat juga terjadi
akibat adanya lesi oksipital bilateral. MRI pada nervus optik dan kisma
optik juga dibutuhkan untuk menilai tanda inflamasi dan atau adanya
demielinasi pada neuritis optik.
Pemeriksaan Elektrofisiologi
Secara fisiologis, adanya persepsi dari penglihatan dihasilkan dari
adanya sinyal elektrik yang dihasilkan di retina untuk dialirkan melalui
lintasan penglihatan dan berakhir pada korteks oksipital. Visual evoked
response (VER) merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk mengukur
potensial elektrik yang dihasilkan dari stimulus visual dari retina ke
korteks visual. Pemeriksaan elektrofisiologi ini juga telah digunakan pada
penderita neuropati optik toksik. Adanya hambatan dalam konduksi neural
akan menghasilkan penurunan amplitudo pada VER. Berkurangnya
kecepatan konduksi akan memperpanjang periode laten dari VER.
Penyakit unilateral prekiasma dapat dideteksi secara terpisah dengan
membandingkan respon antara keduanya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan pada penderita yang kita curigai
neuropati optik toksik dan nutrisional mencakup pemeriksaan jumlah sel
darah lengkap dan apusan darah tepi. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan
meliputi kadar folat sel darah merah, VDRL (Venereal Disease Research
26
Laboratory), kadar vitamin, konsentrasi protein serum, kimia darah,
urinalisis, dan skrining kadar logam berat seperti timah, talium, dan
merkuri. Identifikasi toksin yang dicurigai perlu diperiksa dalam darah
dan urine. Pemeriksaan laboratorium ini tergantung pada dugaan yang
diperoleh dari hasil pemeriksan sebelumnya.
Diagnosis banding
a. Neuropati optik nutrisional
Neuropati optik nutrisional dapat didefinisikan sebagai gangguan
penglihatan akibat kerusakan nervus optik yang disebabkan oleh
adanya defisiensi nutrisi. Gambaran klinis dan gejala neuropati
umumnya sama dengan neuropati optik toksik.
Neuropati optik nutrisional terjadi utamanya berhubungan dengan
adanya defisiensi vitamin. Defisiensi tiamin (vitamin B1),
sianokobalamin (vitamin B12), piridoksin (vitamin B6), niacin (vitamin
B3), riboflavin (vitamin B2), dan atau asam folat telah dibuktikan dapat
mengakibatkan terjadinya neuropati optik. Gejala klinik dan
patofisiologi dasar terjadinya penyakit hampir sama dengan neuropati
optik toksik. Umumnya neuropati optik nutrisional bermanifestasi
sebagai neuropati optik retrobulber non-spesifik. Saat ini, terapi yang
dianjurkan terbatas pada pemberian intensif vitamin dosis tinggi dengan
hasil bervariasi pada setiap kasus.
b. Neuropati optik mitokondria
Neuropati optik mitokondria dapatan (inherited), Leber’s
hereditary optic neuropathy (LHON) dan atrofi optik dominan (Kjer’s)
merupakan neuropati optik non-sindrom yang disebabkan oleh adanya
kelainan pada mitokondria. Pada LHON atau atrofi optik Leber terjadi
degenerasi mitokondria sel-sel ganglion retina dan akson-aksonnya
yang diwariskan (dari ibu) yang mengakibatkan hilangnya penglihatan
sentral akut atau subakut. Penyakit ini biasanya mengenai laki-laki
dewasa muda. Kelainan ini tidak tergolong neuropati optik toksik, tetapi
27
dapat diinduksi kejadiannya oleh adanya perubahan lingkungan. Pada
LHON, onset hilangnya penglihatan bersifat akut dan jarang simetris.
Pemeriksaan genetik dibutuhkan pada beberapa kasus.
Adanya lesi kompresif atau infiltratif pada kiasma optik dapat
menjadi salah satu diagnosis banding untuk penyakit neuropati optik
toksik. Oleh karena itu, harus selalu dilakukan pemeriksaan
neuroimaging untuk menyingkirkan kausa ini. Defek lapangan pandang
cecosentral dan bitemporal pada penyakit kiasma optik mirip satu sama
lain dan ada banyak penyebab skotoma sentral dan cecosentral bilateral
yang berasal dari tumor.
c. Neuritis optik akibat demielinasi, inflamasi, atau infeksi
Neuritis optik akibat demielinasi, inflamasi, atau infeksi dapat
terjadi simultan pada kedua mata, dan kadang membingungkan dengan
neuropati optik toksik. Defek lapangan pandang keduanya mirip, tetapi
pada neuritis optik biasanya disertai nyeri dan atau edema diskus optik
lebih dari 90 % penderita. Untuk memastikan biasanya dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal dan pemeriksaan laboratorium khusus
untuk memastikan adanya infeksi sistemik dan inflamasi.
Pada umumnya, analisis gejala dan tanda penyakit dimulai dari
detail anamnesis dan pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang
akan menentukan diagnosis neuritis optik toksik. Sangat bijaksana jika
kita menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan neuroimaging kecuali
diagnosis yang dibuat sudah pasti. MRI dengan kontras dan
dikhususkan pada nervus optik dan kiasma optik merupakan
pemeriksaan optimal pada banyak kasus. Pemeriksaan laboratorium
mengenai level vitamin B12 dan folat dapat dipikirkan jika neuropati
optik toksik dianggap berhubungan juga dengan adanya defisiensi
nutrisi. Selain itu, ketika suatu intoksikasi spesifik disuspek, maka
harus dicoba untuk mengidentifikasi toksin atau metabolit pada cairan
(darah atau urine) atau jaringan penderita.
28
Penatalaksanaan
Terapi neuropati optik toksik tergantung pada agen toksik yang
menyebabkan neuropati optik toksik tersebut. Langkah pertama dalam terapi
neuropati optik toksik karena alkohol adalah menghentikan penggunaan alkohol.
Selain itu, terapi dapat dilakukan dengan hemodialisis dan
metilprednisolon 1000 mg/hari selama 3 hari berturut-turut dan
dilanjutkan dengan prednison 1 mg/kgbb/hari selama 11 hari dan
selanjutnya dosis diturunkan sesuai kondisi klinis. Tujuan hemodialisis
adalah menghilangkan kadar metanol dari tubuh penderita dan untuk
mengeliminasi asam format. Hemodialisis dilakukan bila kadar metanol
dalam darah lebih dari 50mg/dL atau bila pH darah kurang dari 7,35.
Pemberian metilprednisolon dan prednison bertujuan untuk mengurangi
edema papil saraf optik yang terjadi pada fase akut sehingga diharapkan
mencegah terjadinya kebutaan. Terapi medis termasuk suplemen multivitamin
yang dibutuhkan pada neuropati toksik khususnya dengan ambliopia akibat
alkohol-tembakau.
Penderita dengan neuropati optik toksik harus diobservasi setiap 4-6
minggu, dan selanjutnya tergantung pada proses penyembuhannya, umumnya
setiap 6-12 bulan. Tajam penglihatan, pupil, nervus optik, penglihatan warna, dan
lapangan pandang harus dinilai pada setiap kunjungan. Penglihatan akan membaik
secara bertahap lebih dari beberapa minggu, pemulihan penuh membutuhkan
waktu beberapa bulan dan selalu ada risiko defisit penglihatan yang permanen.
Tajam penglihatan biasanya membaik mendahului penglihatan warna,
berkebalikan dengan onset proses penyakit, dimana penglihatan warna biasanya
lebih dahulu memburuk dibanding tajam penglihatan.
Komplikasi
Umumnya penurunan tajam penglihatan pada neuropati optik toksik
bersifat reversibel setelah agen toksik segera dihentikan, akan tetapi sebagian
diantaranya dapat bersifat permanen sehingga komplikasi yang paling ditakutkan
adalah kehilangan daya penglihatan bilateral permanen.
29
Prognosis
Kejadian morbiditas penyakit tergantung pada faktor risiko, etiologi penyebab,
dan lamanya gejala muncul sebelum mendapat terapi. Penderita dengan atrofi
optik yang berat akan mengalami kesulitan dalam perbaikan fungsi visual
dibandingkan dengan penderita yang tidak mempunyai perubahan patologis.
Prognosisnya bervariasi tergantung pada total eksposur sebelum terapi, dan
derajat beratnya hilangnya penglihatan pada saat diagnosis penyakit atau sebelum
mendapat terapi awal.
30
berhubungan dengan menurunnya absorbsi CSF melalui efek pada c GMP di vili
arachnoid. Pasien yang menggunakan retinoid atau tetrasiklin akan menyebabkan
gejala pandangan kabur, diplopia dan sakit kepala akibat terjadinya hipertensi
intrakranial.
31
BAB III
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Bickley, Lynn. 2012. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat
Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Budiono, Saleh, , Moestidjab, Eddyanto. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Mata. Airlangga University Press: Surabaya.
3. Dorland, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
5. Netter, Frank H. 2013. Atlas Anatomi Manusia Edisi 5. Jakarta: Elsevier.
6. Paulsen and Wachske. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Edisi 23
Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Sandhya, MS. Ocular Adverse Effect Of Common Systemic Medication.
Giridha Eye Institute Kochi. 2012;24(1);27-39
8. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9. Snell, Richard. 2012. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
10. Vadlapudi AD, Cholkar K, Dasari, Mitra A. Ocular Drug Delivery.
11. Victor, Eroschenko. 2012. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi
Fungsional. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
12. Yunard A, Nusanti S, Sidik M. Methanol toxic optic neurophaty
(characteristic and evaluation of therapy). Optalmologi Indonesia. Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo: Jakarta; 2016.h. 38-44.
13. World Health Organization. Global status report on alcohol and health
2014.
14. Sharma P. Toxic optic neuropathy. Indian journal ophthalmology. Vol 59.
Banglore; March-April 2011.p.137-41.
15. Triningrat AA, Rahayu NM, Manuaba IB. Visual acuity of methanol
intoxicated patients before and after hemodialysis, methylprednisolone,
33
and prednisone therapy. Jurnal oftalmologi Indonesia. Vol 7. Universitas
Udayana: Bali; Desember 2010.h. 129-32.
16. Park,S., Siegelman., The anatomy and cell biology of the human retina in
duane’s clinical ophthalmolog. Lippincott and William Wilkins.
17. Newman SA, Arnold AC, Friedman DI, Kline LB, Rizzo III JF. BCSC :
Neuro-opthalmology. Section 5. San Francisco, USA : AAO, 2008-2009;
23-28.
18. Schiefer.U, Hart.W, Clinical Neuro Opthalmology : Functional Anatomy
of The Human Visual Pathway. St.Louis.USA:Springer,2007;19-28.
19. Trobe JD. The neurology of vision. Optic Neuropathy. Oxford
University:New York;2011.
20. Liu GT ,Volve NJ ,Galetta SL. Visual loss : Optic neuropathies in Neuro-
ophthalmology, Diagnosis and Management. W.B. Saunders company:
Philadelphia. 2001.p.103-170.
21. Fletcher, EC, Chong V. Retina, in Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology 17th ed., McGraw-Hill co., New York; May 2007.
22. Miller RN, Biousse V, Newman JN, Kerrison BJ. Toxic and deficiency
optic neuropathies in Walsh and Hoyt’s Clinical neuroophthalmology: the
essential.2nd ed. Lippincott Wiliiam and wilkins. Philadelpia ; 2008 : 202-
210.
23. Vaughan & Ashburry et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Alih bahasa : dr.
Brahm U. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2009
24. Alastair & Murray et al. 2014. Oxford handbook of ophthalmology third
edition
25. Adam T. Gerstenblith & Michael P. et al. 2012. The Wills Eye Manual:
office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease
34