Anda di halaman 1dari 35

1

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA


GANGGUAN LAPANG PANDANG

Pembimbing
dr. Yulia Fitriani, Sp. M

Disusun oleh:
Gabriella Cereira Angelina
G4A015080

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

Maret 2017 April 2017


2

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA


GANGGUAN LAPANG PANDANG

Disusun Oleh :
Gabriella Cereira Angelina G4A015080

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Penyakit Mata Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal April 2017

Purwokerto, April 2017

Pembimbing,

dr. Yulia Fitriani, Sp M


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, hidayah
dan inayah-Nya, sehingga presentasi kasus dengan judul Gangguan Lapang Pandang
ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu
Penyakit Mata. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan
penulisan di masa yang akan datang.

Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Yulia Fitriani, Sp. M. selaku dosen pembimbing


2. Dokter-dokter spesialis Mata di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah henti
diberikan kepada penulis
4. Rekan-rekan ko-assisten Bagian Ilmu Penyakit Mata atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Penulis menyadari presentasi kasus ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulisharapkan demi
kesempurnaannya. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini
bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Januari 2017

Penulis
4

I. PENDAHULUAN

Lapang pandang merupakan perluasan perifer dari dunia visual (James,


Chew, & Bron, 2005). Tranquair mengatakan bahwa lapangan pandang bagaikan
sebuah pulau pengelihatan (island of vision) di lautan yang gelap, di mana pulau
terebut merupakan lapangan pandang dan lautan gelap merupakan daerah
sekeliling yang tidak dapat dilihat. Lapang pandang merupakan salah satu
penilaian klinis nervus opticus yang penting bersama empat komponen lain, yaitu
ketajaman penglihatan, penglihatan warna, funduskopi, dan respons pupil
(Ginsberg, 2005).
Lapangan pandang dibagaikan sebuah bukit, di mana ketajaman penglihatan
tertinggi berada di fovea atau puncak bukit yang menurun secara progresif ke
perifer. Pada orang normal, lapang pandang meluas hingga sekitar 50 o ke arah
superior, 60o ke arah nasal, 70o ke arah inferior, dan 50o ke arah temporal. Di sisi
temporal lapang pandang terdapat bintik buta antara 10o dan 20o (Eva & Whitcher,
2009; Kanski, 2003).
Terdapat tiga jenis lapang pandang; lapangan makular yaitu lapangan
pandang yang paling jelas dilihat oleh kedua mata, lapangan binokular yang
dilihat oleh kedua mata secara umumnya dan lapangan monokular yaitu kawasan
yang bisa dilihat oleh salah satu mata saja. Jaringan neural penglihatan terjadi
apabila cahaya yang masuk ke dalam mata sampai ke fotoreseptor di retina.
Setelah itu, transmisi impuls pada nervus optikus kepada kiasma optik. Traktus
optikus, yaitu serabut saraf optik dari kiasma optik, membawa impuls ke lobus
serebral dimana penglihatan diinterpretasikan.
Pada kelainan lapang pandang, dapat terjadi penyempitan dari batas lapang
pandang tersebut atau adanya bintik buta di berbagai macam daerah di lapangan
pandang. Oleh karena kelainan lapang pandang yang besar sekalipun dapat saja
tidak jelas bagi pasien, pemeriksaan lapang pandang sebaiknya dilakukan pada
setiap pemeriksaan oftalmologis (Vorvick, 2011).
Pemeriksaan lapang pandang memiliki tiga tujuan penting, yaitu diagnostic,
follow up, dan memperkirakan fungsi social (Kedar et al., 2011). Terdapat
5

berbagai macam metode pemeriksaan lapang pandang, dari yang sederhana


hingga kompleks dan membutuhkan alat khusus. Antara lain perimetri, dan kisi
kisi Amsler. Pemilihan metode pemeriksaan lapang pandang dapat disesuaikan
kebutuhan. Pemeriksaan tersebut tidak menimbulkan nyeri dan tidak memiliki
risiko (Vorvick, 2011; Pavon, 2002).
6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Jaras Penglihatan Sensorik


Struktur sferis bola mata yang normal berdiameter 25mm. Mata terdiri
daripada tiga lapisan tunika, suatu lensa dan dua jenis cairan kavitas. Bagian
sisi mata dikawal oleh enam jenis otot yang membantu pergerakan bola mata
(Ilyas & Yulianti, 2015). Nervus optikus mengandung lebih dari 1 juta akson
yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan berlanjut sampai di korteks
oksipital. Secara anatomis, nervus optikus dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
intraokular, intraorbital, intrakanalikular dan intra kranial (Fox, 2003).
Nervus opticum tersusun dari serabut-serabut afferent sel-sel ganglion di
stratum optikum dari retina. Lapisan seluler retina yang pertama mengandung
fotoreseptor (batang dan kerucut), dua lapisan yang selanjutnya mengandung
neuron bipolar dan sel sel ganglion (Gambar 2.1) (Baehr & Frotscher, 2012;
Mardjono & Sidharta, 2010).

Gambar 2.1. Lapisan Retina (Goetz, 2007).

Cahaya yang tiba di retina diterima oleh batang dan kerucut sebagai
gelombang cahaya. Gelombang ini mencetuskan impuls yang dihantarkan oleh
serabut-serabut sel di stratum optikum ke otak. Jika cahaya berproyeksi ke
makula, gambaran yang dilihat adalah tajam. Proyeksi cahaya di luar makula
menghasilkan penglihatan yang kabur. Proyeksi suatu benda yang terlihat oleh
7

kedua mata terletak pada tempat di kedua makula secara setangkup. Apabila
proyeksi itu tidak menduduki tempat yang bersifat setangkup, maka akan
terlihat gambaran penglihatan yang kembar (diplopia). Fovea hanya memiliki
sel kerucut, yang berproyeksi ke sel sel bipolar dan lapisan neuronal
berikutnya. Sedangkan bagian retina lainnya mengandung sel batang dan sel
kerucut (Baehr & Frotscher, 2012; Mardjono & Sidharta, 2010).
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di
depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan
tergabung menjadi satu berkas untuk kemudian terpisah lagi dan melanjutkan
perjalanannya ke korpus genikulatum laterale dan kolikulus superior. Tempat
kedua nervi optisi bergabung menjadi satu berkas dinamakan kiasma. Di
serabut-serabut nervus optikus yang mengantarkan impuls visual dari belahan
nasal dari retina menyilang garis tengah. Sedangkan serabut-serabut nervus
optikus yang mengantarkan impuls dari belahan temporal dari retina tetap
pada sisi yang sama. Setelah mengadakan pergabungan tersebut, nervus
optikus melanjutkan perjalanannya menjadi traktus optikus (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Serabut-serabut optik yang bersinaps di korpus genikulatum laterale
merupakan jaras visual, sedangkan yang berakhir di kolikus superior
mengantarkan impuls visual yang membangkitkan refleks optosomatik.
Setelah bersinaps di korpus genikulatum laterale, penghantaran impuls visual
selanjutnya dilaksanakan oleh serabut-serabut genikolokalkarina, yaitu juluran
neuron korpus genikulatum laterale yang menuju ke korteks kalkarinus
(Gambar 2.2) .Korteks tersebut ialah korteks periseptif visual primer (area 17).
Setibanya impuls visual disitu terwujudlah suatu perasaan (sensasi visual
sederhana). Dengan perantaraan korteks area 18 dan 19 perasaan visual itu
mendapat bentuk dan arti, yakni suatu penglihatan (Snell, 2010).
8

Gambar 2.2. Jaras Penglihatan Sensorik (Snell, 2010)

Adanya gangguan pada pembuluh darah juga dapat menyebabkan


gangguan pada foto reseptor dan jaras penglihatan yang berujung pada
gangguan lapang pandang. Vaskularisasi jaras visual di perlihatkan pada
gambar 2.3.
9

Ga
mbar 2.3. Vaskularisasi jaras visual (Walsh, 2011)

Retina mendapat darah dari arteri retina sentralis, yang merupakan


endateri, yaitu arteri yang tidak mempunyai kolateral. Karena itu, lesi pada
retina akibat penyumbatan arteri retina sentralis tidak akan diperbaiki lagi oleh
perdarahan kolateral berbeda dengan diskus (Gambar 2.4). Arteri retina
sentralis adalah cabang dari arteri oftalmika. Pada thrombosis arteri karotis,
pangkal arteri oftalmika dapat ikut tersumbat juga. Gambaran klinik
thrombosis tersebut terdiri dari hemiparesis kontralateral dan buta ipsilateral

Gambar 2.4. Vaskularisasi Diskus (Goetz, 2007)


10

B. Definisi Lapang Pandang


Lapang pandang memetakan perluasan perifer dunia visual sebagai
proyeksi ruang pada area pengelihatan retina (Crick & Khaw, 2003; James,
Chew, & Bron, 2005). Gangguan lapang pandang direpresentasikan ke dalam
3 kategori yaitu monocular, binocular, dan junctional. Gangguan lapang
pandang monocular mencakup hal yang dapat disebabkan oleh lesi pada satu
mata atau nervus opticus. Gangguan lapang pandang binocular mencakup hal
yang dapat disebabkan oleh lesi tunggal atau multiple pada satu atau lebih titik
pada jaras visual. Sedangkan gangguan lapang pandang junctional mencakup
ketiga tipe gangguan lapang padang yang dihasilkan dari lesi pada ikatan N.
opticus dan chiasma opticum atau traktus optikus dan kiasma optikum (Walsh,
2011).

C. Etiologi
Jalur penglihatan merupakan saluran saraf dari retina ke pusat penglihatan
pada lobus oksipital otak. Gangguan pada jalur penglihatan ini dapat
menyebabkan gangguan lapang pandang. Membesarnya bintik buta fisiologik
dapat terlihat pada papil edema, glaucoma, dan myopia progresif.
Penyempitan lapang pandang juga dapat terjadi pada glaucoma, papilitis,
keracunan obat, dan hysteria (Ilyas & Yulianti, 2015). Beberapa etiologi dari
gangguan lapang pandang dijelaskan dalam table 2.1.

Table 2.1 Korelasi Anatomi Klinis dengan Gangguan Penglihatan (Goetz,


2007)
Other Neurological
Anatomical
Visual Phenomena and Medical Possible Etiologies
Location
Findings
Retina Carotid disease, giant
Transient monocular visual cell arteritis, migraine,
Hollenhorst's plaque
loss vasospasm, cardiac
emboli
Acute monocular visual Cherry-red spot, box- Central retinal artery
loss carring occlusion
Retinal hemorrhage,
Subacute monocular visual Central retinal vein
cotton wool spots,
loss occlusion
dilated retinal veins
Subacute monocular visual Vitreous Vitreous hemorrhage
loss opacification
11

Other Neurological
Anatomical
Visual Phenomena and Medical Possible Etiologies
Location
Findings
Central serous
Impaired visual acuity Metamorphopsia chorioretinopathy,
macular degeneration
Ipsilateral visual loss
Optic neuritis,
(decreased acuity,
Optic atrophy, optic ischemic optic
Optic nerve decreased color vision,
disc swelling neuropathy,
central scotoma, altitudinal
compressive lesions
field defect)
Pituitary adenoma,
Bitemporal hemianopsia,
Optic craniopharyngioma,
decreased acuity and color Optic atrophy
chiasm optic glioma,
vision
meningioma, aneurysm
Contralateral relative
Pituitary adenoma,
Contralateral incongruous afferent pupillary
Optic tract craniopharyngioma,
homonymous hemianopia defect, bowtie
aneurysm
optic atrophy
Preserved visual
acuity, intact
pupillary response,
Optic Contralateral homonymous MCA stroke, temporal
decreased OKN to
radiations hemianopia or parietal mass lesion
side of lesion,
sensory loss,
hemiparesis
Contralateral congruous
homonymous hemianopia
(with or without macular PCA stroke, migraine,
Occipital sparing), quadrantic field Usually isolated Alzheimer's,
lobe defect, homonymous deficits hypertensive
hemianopic central encephalopathy
scotoma, cortical blindness
(if bilateral)
Association Cerebral Lingual and fusiform
cortex hemiachromatopsia gyri lesion
Left occipital lobe and
Alexia without agraphia splenium of corpus
callosum lesion
Bilateral medial
Visual agnosia,
occipitotemporal
prosopagnosia
lesions
Defective motion Lateral
perception occipitotemporal lesion
(Brodmann area 39)
12

Other Neurological
Anatomical
Visual Phenomena and Medical Possible Etiologies
Location
Findings
Auditory and tactile
Left hemifield visual
neglect in left Right parietal lesion
neglect
hemifield
Balint's syndrome (optic
Bilateral
ataxia, simultanagnosia,
occipitoparietal lesions
ocular apraxia)
Temporo-occipital
Palinopsia
lesion(s)

D. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan biasanya adalah hilangnya penglihatan yang sering disebut
fenomena negative seperti penglihatan kabur atau mendung. Fenomena
positif juga mungkin dikatakan pasien seperti silau atau cahaya berwarna
(fotopsia), garis bergerigi, halusinasi visual (Goetz, 2007).
Pasien mungkin memiliki gejala subjektif dan dapat mendeskripsikan
gangguan lapang pandang (skotoma) terutama jika onset akut atau sub
akut. Hal ini terutama terjadi pada gangguan pada retina seperti pelepasan
retina atau age related macular (ARM) ketika pasien mendeksripsikan
gangguan sebagai lebih gelap dibandingkan pemandangan sekeitarnya
(scotoma positif). Pasien dengan perubahan macula menunjukkan
perubahan ireguler dari retina yang dideskripsikan sebagai distorsi
pengelihatan sentral yang terkait dengan scotoma positif. Hal ini dapat
dinilai dengan kisi kisi amsler. Pada beberapa kasus yang mempengaruhi
jalur dari N. opticus menuju korteks pengelihatan gangguan lapang
pandang sering diabaikan atau diterima sebagai bagian yang hilang dari
pemandangan sekitar (Walsh, 2011). Berikut pernyataan yang sering
dikeluhkan pasien.
a. Pasien mengatakan hidung tampak tertutup kabut bulat sedangkan
sekitarnya jelas. Ini menunjukkan scotoma sentral yang bersifat positif.
Keadaan ini sering terjadi pada retinopati serosa sentralis
13

b. Pasien mengatakan ujung hidung hilang seperti terhapus sedangkan


sekitarnya tampak jelas. Ini menunjukkan scotoma sentral yang
bersifat negatif. Keadaan ini sering terjadi pada neuritis retrobulbaris
c. Pasien mengatakan bagian baah hidung tampak kabur sedangkan
bagian atas hidung tampak lebih jelas. Ini menunjukkan adanya
hemianopia altitudinal inferior. Keadaan ini sering terjadi pada
neuropati optic iskemik anterior akut.

Gambar 2.5 gangguan penglihatan yang dilihat oleh pasien

Lokasi dari gangguan penglihatan juga sangat penting. Gangguan


monocular mungkin mengenai satu mata atau N. opticus, sedangkan
gangguan binokuler mungkin mengenai komponen di belakangnya. Deficit
neurologis lain dapat ditanyakan seperti gangguan sensorik dan motoric
yang mungkin menjelaskan adanya gangguan pada salah satu hemisfer.
Kondisi medis lain seperi hipertensi, Diabetes Melitus (DM) penting
ditanyakan sebagai factor predisposisi dari penyakit vascular. Keluhan
penyerta lain seperti hypopituitari (gejala amenorea, penurunan libido, dan
impotensi) atau hipersekresi hipofisis (galaktore dan akromegali) mungkin
menyebabkan penekanan pada kiasma (Goetz, 2007).
2. Pemeriksaan fisik
14

Keadaan umum diperiksa untuk melihat penyebab dari pasien. Tanda


vital beberapa menunjukkan adanya tekanan darah tinggi. Pada gangguan
lapang pandang, dilakukan penilaian klinis nervus opticus dengan
memeriksa ketajaman penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna,
funduskopi, dan respons pupil. Diperiksa tanda tanda neeurologis jika
terdapat kecurigaan kelainan di otak. Pemeriksaan lapang pandang dibahas
pada poin selanjutnya (Ginsberg, 2005).
3. Pemeriksaan penunjang
Tujuan dari berbagai pemeriksaan medis yang dilakukan adalah
untuk mengkonfirmasi atau menyingkirkn diagnosis berdasarkan fakta.
Pemeriksaan perimetri yang menggambarkan adanya gangguan pada
lapang pandang bukan merupakan akhir pemeriksaan, namun untuk
kebanyakan ahli, hasil pemeriksaan dapat menunjukkan lokasi lesi (Walsh,
2011).
Langkah selanjutnya adalah untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan dan diferensial diagnosisnya. Pemeriksaan anjutan dapat erupa
magnetic resonance image (MRI), laju endap darah (LED) dan C-reactive
protein (CRP) dapat menunjukkan adanya arteritis cranial. Jika diduga
terdapat penyakit carotis, Computed Tomography (CT) angiogram
mungkin lebih dianjurkan (Walsh, 2011). Pemeriksaan penunjang
berdasarkan lokasinya dijelaskan pada table 2.2.
Pemeriksaan retina dann jaras visual dapat diperiksa secara lebih
objektif dengan metode elektronik, yaitu (Crick & Khaw, 2003):
a. Electro-oculography (EOG)
b. Electro-retinography (ERG dan PERG)
c. Visually evoked response (VER)

Tabel 2.2 Pemeriksaan Penunjang berdasarkan sindrom (Walsh, 2011)


Fluid and Neuropsy-
Electrophy-
Syndrome Neuroimaging Tissue chological Other Tests
siology
Analysis Tests
Retina MRA: carotid Abnormal Elevated ESR N/A Vascular
occlusion, electroretinogra in giant cell occlusion on
stenosis, or m if arteritis fluorescein
dissection photoreceptors angiography
are affected
Thromboembolic
source on cardiac
echography,
15

Fluid and Neuropsy-


Electrophy-
Syndrome Neuroimaging Tissue chological Other Tests
siology
Analysis Tests
carotid
ultrasound, or
formal
angiography
MRI with
gadolinium
and fat Visual evoked
Elevated ESR
saturation, potentials:
in giant cell
coronal views: decreased
Optic nerve arteritis. CSF N/A N/A
optic nerve amplitude or
pleocytosis if
enlargement or increased
inflammatory
enhancement, latency
or compressive
mass lesion
MRI with
CSF
gadolinium,
pleocytosis if
thin coronal
inflammatory,
and sagittal
endocrine
cuts through
Optic studies
sella: chiasmal N/A N/A N/A
chiasm showing
enlargement or
evidence of
enhancement,
hypopituitaris
or sellar
m or hormone
compressive
hypersecretion
mass
MRI:
Optic tract compressive N/A N/A N/A N/A
mass
Lateral
MRI:
geniculate N/A N/A N/A N/A
infarction
body
MRI:
infarction or Thromboembolic
Deficits in
tumor source on cardiac
Optic spatial
N/A N/A echography or
radiations MRA: carotid ability and
carotid
or MCA attention
ultrasound
occlusion
MRI:
infarction or
tumor Thromboembolic
Occipital
MRA: N/A N/A N/A source on cardiac
lobe
posterior echography
circulation
occlusion
Higher MRI: N/A N/A Deficits in Thromboembolic
cortical infarction or color source on cardiac
areas tumor perception echography
16

Fluid and Neuropsy-


Electrophy-
Syndrome Neuroimaging Tissue chological Other Tests
siology
Analysis Tests
or object or
face
recognition
Epileptiform
discharges on
Visual MRI:
EEG if
hallucinatio infarction or N/A N/A N/A
hallucinations
ns tumor
are due to
seizures
Epileptiform
Other
MRI: discharges if
positive
infarction or positive N/A N/A N/A
visual
tumor phenomena are
phenomena
due to seizures

CSF, cerebrospinal fluid; EEG, electroencephalogram; ESR, erythrocyte


sedimentation rate; MRA, magnetic resonance angiography; MRI, magnetic
resonance imaging; N/A, not applicable.

E. Pemeriksaan Lapangan Pandang


Lapang pandang memetakan perluasan perifer dunia visual sebagai
proyeksi ruang pada area pengelihatan retina. Tiap lapang pandang dapat
direpresentasikan sebagai satu seri kontur atau isopter, mendemonstrasikan
kemampuan untuk melihat satu target dengan ukuran dan kecerahan tertentu.
Lapang pandang tidak rata, daerah pusat mata dapat mendeteki objek yang
jauh lebih kecil dibandingkan perifer. Sinar yang datang dari tempat fiksasi
jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang datang dari
sekitarnya jatuh di bagian perifer retina. Hal ini menghasilkan bukit
pengelihatan di mana objek yang dilihat dengan detail terbaik berada di
puncak bukit (fovea) (gambar 2.6). Lapangan pandang yang normal
mempunyai bentuk tertentu, dan tidak sama ke semua arah. Seseorang dapat
melihat ke lateral sampai sudut 90-100 derajat dari titik fiksasi, ke medial 60
derajat, ke atas 50-60 derajat dan ke bawah 60-75 derajat (Crick & Khaw,
2003; James, Chew, & Bron, 2005).
17

Gambar 2.6. Bukit Pengelihatan (James, Chew, & Bron, 2005)

Di sisi temporal lapang pandang terletak bintik buta. Ini berhubungan


dengan papil saraf optic di mana tidak terdapat fotoreseptor. Lapang pandang
dapat diperiksa dengan berbagai cara, yaitu (James, Chew, & Bron, 2005):
1. Uji konfrontasi
Pemeriksaan lapangan pandang (visual field) yang sederhana dapat
dilakukan dengan jalan membandingkan lapang pandang pasien dengan
pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan metode konfrontasi dari
Donder. Teknik pemeriksaan tes konfrontasi adalah dengan cara pasien
duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1
meter (Gambar. 2.7) (Ginsberg, 2005). Bila mata kanan yang hendak
diperiksa lebih dahulu, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya
dengan tangannya atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata
kanannya. Pasien diminta untuk memfiksasi pandangannya pada mata kiri
pemeriksa (Ilyas & Yulianti, 2015).
Suatu benda digerakkan secara tangensial dari atau ke tengah lapang
pandang dalam empat kuadran (setiap mata diperiksa terpisah). Pasien
memfiksasi pandangannya pada pupil pemeriksa dan diminta mengatakan
batas persepsi dari benda yang digerakkan. Pin berwarna merah digunakan
untuk memeriksa defek neurologis atau area kecil defek lapang pandang
(scotoma) yang disebabkan oleh penyakit retina atau neuropati optic
(James, Chew, & Bron, 2005).
Warna merah merupakan yang paling sensitive terhadap lesi saraf
optic. Skotoma relatif dapat dideteksi ketika target tidak menghilang
sepenuhnya dari lapang pandang, tetapi warnanya menghilang. Lesi yang
terletak di posterior kiasma optikus seringkali terdeteksi dengan stimulus
18

yang lebih besar seperti jari yang bergerak, atau kemampuan mnghitung
jari pada empat kuadran lapang pandang (Ginsberg, 2005).
Kemudian pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antar pemeriksa dan pasien. Gerakan dilakukan dari arah luar
ke dalam. Jika pasien sudah melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus
memberi tanda dan dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa. Bila
terjadi gangguan lapang pandang, maka pemeriksa akan lebih dahulu
melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua
arah (atas, bawah, nasal, temporal). Pemeriksaan dilakukan pada masing-
masing mata. Dengan latihan, dapat diidentifikasi scotoma sentral.
Scotoma adalah daerah fokal dalam lapang pandang dengan sensitivitas
yang berkurang, dikelilingi oleh area yang lebih sensitive (James, Chew, &
Bron, 2005 ;Lumbantobing, 2010).
Pin berkepala putih ukuran 3 mm lebih akurat digunakan untuk
menguji skotoma hemianopsia dan arcuata. Skotoma arkuata biasanya
ditemukan pada pasien glaukoma dengan bentuk lebih besar pada bagian
nasal ke arah superior (Crick & Khaw, 2003).
Bila pasien tidak dapat melihat jari pemeriksa sedangkan pemeriksa
sudah dapat melihatnya, maka hal ini berarti bahwa lapang pandang pasien
menyempit. Kedua mata diperiksa secara tersendiri dan lapang pandang
tiap mata dapat memperlihatkan bentuk yang khas untuk tipe lesi pada
susunan nervus optikus (Ilyas & Yulianti, 2015).

Gambar 2.7. Uji konfrontasi (Ginsberg, 2005)


19

Serabut serabut saraf penglihatan mempertahankan hubugan spesial


yang kasar satu sama lain, dan merefleksikan asalnya di retina. Fakta ini
dan penyilangan parsial jaras pada kiasma optikum menghasilkan pola
katakteristik gangguan lapang pandang dan sangat berguna dalam
menentukan letak lesi (Ginsberg, 2005)
2.
Kampimeter
Kampimeter atau biasa disebut tangent screen adalah alat pengukur
atau pemetaan lapang pandang terutama daerah sentral atau paracentral
(Ilyas & Yulianti, 2015). Papan hitam layar (Bjerrum screen) (Gambar 2.8)
yang diletakkan di depan penderita pada jarak 1 atau 2 meter, dan sebagai
benda penguji (test object) digunakan bundaran kecil berdiameter 1
sampai 3 mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda penguji
digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat tempat
pasien mulia melihat benda penguji. Dengan demikian diperoleh gambaran
kampus penglihatan (Lumbantobing, 2010).

Gambar 2.8.Tangent /Bjerrum screen (Anonim, 2016)

3. Perimeter
Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya
pada bidang meridiannya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan
keadaan sewaktu pemeriksaan sama dengan kampimeter. Alat ini
berbentuk setengah bola dengan jari jari 30 cm, dan pada pusat parabola
20

ini mata penderita diletakkan untuk diperiksa. Batas lapang pandang


perifer 90 derajat temporal, 70 derajat inferior, 50 derajat nasal, dan 60
derajat superior. Dikenal 2 bentuk perimetri yaitu (Ilyas & Yulianti, 2015;
Lumbantobing, 2010):
a. Perimeter kinetik
Yang disebut juga perimeter isoptik dan topografik, di mana
pemeriksaan dilakukan dengan objek digerakkan dari daerah tidak
terlihat menjadi terlihat oleh pasien. Contoh dari perimeter ini adalah
perimeter Goldmann (gambar 2.9) ( (Crick & Khaw, 2003).

Gambar 2.9. perimeter Goldmann (Crick & Khaw, 2003)

b. Perimeter statik
Atau perimeter profil dan perimeter curve differential treshold, di
mana pemeriksaan dengan tidak menggerakkan objek akan tetapi
dengan menaikkan intensitas objek sehingga terlihat oleh pasien.
Contoh dari perimeter jenis ini adalah Friedmann Visual Field
Analyser MkI (semi-automated) dan Modern (automated) static
perimeter seperti Octopus, Zeiss-Humphrey (Gambar 2.10)
21

Gambar 2.10. perimeter Zeiss- Humprey (Crick & Khaw, 2003)

4. Kisi kisi Amsler (Amsler Grid)


Kisi kisi Amsler dipakai untuk menguji lapangan pandang sentral 20
derajat. Kisi kisi (gambar 2.11) diamati oleh masing masing mata secara
terpisah pada jarak baca normal (33 cm) dan dengan memakai kacamata
baca jika pasien memang memakainya. Alat ini paling sering digunakan
untuk menguji makula. Mata yang satu dibandingkan dengan mata yang
sebelahnya. Sebuah skotoma atau daerah yang tak terlihat, sentral ataupun
paracentral dapat menunjukkan penyakit makula atau N. opticus (Eva &
Whitcher, 2009).

Gambar 2.11. kisi kisi Amsler (Madge et al., 2007)

Gangguan pada makula dapat memberikan hasil seperti (Madge et al.,


2007):
22

a. Garis garis yang menunjukkan distorsi bergelombang atau


metamorfopsia disebabkan karena gangguan pada susunan anatomis
dari fotoreseptor di makula. Hal ini dapat menunjukkan edema makula
atau cairan submakula, penyakit vascular retina seperti exudative age
related maculopathy. Metamofopsia juga dapat terjadi pada penyakit
macular lain atau lebih jauh ke belakang jaras visual.
b. Kaburnya garis kisi disebabkan penyakit makula yang menyebabkan
berkurangnya densitas fotoreseptor. Hal ini menyebabkan
berkurangnya resolusi gambar dan kaburnya penglihatan.

F. Analisis Lapangan Pandang dalam Menentukan Lokasi Lesi di Jaras


Visual
Jika terdapat lesi pada jaras visual, akan muncul gejala gangguan
penglihatan yaitu pada lapang pandang atau medan penglihatan. Jaras sensori
visual dapat dibagi menjadi beberapa wilayah berdasarkan polanya. Daerah
preretinal mengandung barrier anatomis terhadap fokus normal cahaya ke
retina. Jaras visual anterior terdiri dari sel ganglion retina, nervus opticus,
chiasma opticum, dan tractus opticus. Jaras visual posterior terdiri dari
radiation optica hingga korteks visual. Lesi di jaras visual anterior akan
mengakibatkan defek pada satu mata, sedangkan lesi pada jaras visual
posterior akan menyebabkan defek binokuler (Eva & Whitcher, 2009).
Sebaiknya digunakan isopter multiple (objek pemeriksaan dengan
berbagai ukuran) untuk mengevaluasi defek secara menyeluruh. Defek lapang
pandang dengan suatu batas melandai (sloping) adalah defek lapang pandang
lebih besar dengan objek pemeriksaan yang lebih kecil atau berwarna daripada
dengan yang putih. Hal ini menandakan adanya edema atau penekanan
(kompresi). Sedangkan lesi vascular atau iskemik cenderung mengasilkan
defek lapang pandang dengan batas curam, yaitu defek berukuran sama tanpa
memandang ukuran atau warna objek pemeriksaan yang digunakan (Eva &
Whitcher, 2009).
Penyamarataan lain yang penting adalah bahwa semakin kongruen defek
lapang pandang homonim, yaitu semakin mirip ukuran, bentuk, dan lokasi
defek pada lapang pandang terkait di kedua mata), semakin posterior letak lesi
di jaras penglihatan. Lesi di lobus oksipital cenderung menyebabkan defek
23

identic di masing masing lapangan pandang, sedangkan lesi di traktus optikus


menyebabkan defek lapang pandang homonim yang inkongruen (tidak serupa)
(Eva & Whitcher, 2009). Sebelum menganalisis letak lesi berdasarkan defek
yang terjadi terdapat beberapa istilah yang wajib kita ketahui, yaitu (Ilyas &
Yulianti, 2015)
1. Hemianopsia bitemporal
Hilangnya setengah lapang pandang temporal kedua mata, merupakan
tanda khusus kelainan khiasma optic. Dapat juga akibat meningitis basal,
kelainan sfenoid, dan trauma kiasma
2. Hemianopsia binasal
Defek lapang pandang setengah nasal dapat terjadi akibat tekanan bagian
temporal kiasma optic kedua mata atau atrofi papil saraf optic sekunder
akibat tekanan intracranial yang meninggi.
3. Hemianopsia heteronym
Hemianopsia bersilang yang dapat binasal atau bitemporal
4. Hemianopsia homonym
Hilangnya lapang pandang pada sjsj yang sama pada kedua matan yang
dapat terlihat pada sisi temporal.
5. Hemianopsia altitudinal
Hilangnya lapang pandang sebagian atas atau bawah. Bila binokuler
terlihat pada optik neuropati, sedang bila binokuler dapat akibat kerusakan
kedua mata pada saraf optic, kiasma, dan kelainan korteks.

Selain hemianopsia klasik dan kuadranopsia , gangguan lapang pandang


lain dan fenomen terkaita yang dapat terdeteksi pada pemeriksaan adalah
sebagai berikut (Ginsberg, 2005; Ilyas & Yulianti, 2015):
a. Scotoma busur (arcuate) yang dapat terlihat pada glaucoma, iskemia papil
saraf optic, dan oklusi arteri retina central
b. Skotoma sentral
Yaitu hilangnya penglihatan sentral yang umumnya berhubungan dengan
penurunan ketajaman penglihatan, dan merupakan karakteristik penyakit
nervus optikus dan penyakit macula retina contohnya retinitis sentral.
c. Perluasan bintik buta fisiologis
Yang terlihat dengan pembengkakan diskus optikus (edema papil) yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intracranial dan umumnya yang
terjadi tajam penglihatan masih baik.
d. Macular sparing
24

Adalag daerah macula (sentral yang masih baik pada pasien dengan
hemianopsia homonym dan dapat disebabkan oleh lesi korteks visual
yang tidak mengenai kutub oksipital yang merupakan representasi daerah
macula.
e. Pengelihatan seperti terowongan (tunnel vision)
hilangnya lapang pandang perifer dengan dipertahankannya daerah sentral
yang disebabkan oleh beberapa penyebab, antara lain penyakit
oftalmologi, yaitu glaukoma kronik sederhana, retinitis pigmentosa, dan
penyakit korteks, yaitu hemianopia homonim bilateral dengan makula
yang masih baik (macular sparing).
f. Hilangnya lapang pandang perifer dengan dipertahankannya daerah sentral
yang dapat penyebabnya antara lain :
1) Penyakit oftalmologi, contohnnya glaucoma kronik
2) Penyakit retina, contohnya retinitis pigmentoa
3) Penyakit korteks contohnya hemianospia homonym bilateral dengan
macula yang masih baik (macular sparing)
Akan tetapi secara umum, hal ini merupakan fenomena yang
fungsional atau yang disimulasi pada pasien tanpa penyakit neurologis
maupun oftalmologis. Dalam hal ini, lapang pandang yang baik tidak
akan meluas pada jarak pandang yang lebih jauh. Seperti yang
diperkirakan dalam hokum geometri.
g. Inatensi visual
Dapat terdeteksi dengan memberikan pasien stimulus secara simultan
di kedua separuh lapang pandang, ketika kedua mata pasien terbuka.
Stimulus yang kontra lateral dari lokasi hemisfer serebri yang terkena
kelainan (biasanya hemisfer non dominan) akan tidak terlihat bahkan pada
lesi parieto-oksipital ringan yang tidak terlalu luas ntuk menyebabkan
defek lapang pandang hemianopsia.

Seperti telah diketahui sebelumnya letak lesi akan mempengaruhi defek


lapang pandang pada setiap pasien. Analisis lapangan pandang dalam
menentukan letak lesi dalam jaras visual dijelaskan sebagai berikut:
1. Nervus opticus
Lesi pada nervus optikus akan menyebabkan hilangnya penglihatan
monokular atau disebut anopsia pada mata yang disarafinya. Hal ini
disebabkan karena penyumbatan arteri centralis retina yang mendarahi
retina tanpa kolateral, ataupun arteri karotis interna yang akan bercabang
25

menjadi arteri oftalmika yang kemudian menjadi arteri centralis retina.


Kebutaan tersebut terjadi tiba-tiba dan disebut amaurosis fugax (Mardjono
& Sidharta, 2010).
Tampilan klinis khas yang mengisyaratkan adanya penyakit N.
opticus adalah defek pupil aferen, pengelihatan warna yang buruk, dan
perubahan pada diskus optikus. Edema diskus optikus terutama terjadi
pada penyakit yang mengenai bagian anterior nervus opticus, peningkatan
tekanan intracranial, dan kompresi nervus opticus intraorbital. Edema
diskus optikus penting pada diagnosis neuropati optik iskemik anterior
yang harus ada pada stadium akut agar diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan klinis. Oklusi vena sentralis retina, hipotoni ocular, dan
peradangan intraocular dapat menyebabkan edema diskus optikus sehingga
memberi kesan salah adanya penyakit Nervus opticus (Eva & Whitcher,
2009)
Atrofi optic adalah suatu respons nonspesifik terhadap kerusakan N.
opticus oleh sebab apapun. Karena N. opticus terdiri atas akson akson sel
ganglion retina, atrofi optic dapat terjadi akibat penyakit primer misalnya
retinitis pigmentosa atau oklusi Aa. Centralis retina. Ekskavasio caput
nervi optici umumnya merupakan tanda neuropati optic glaukomatosa,
tetapi ini dapat terjadi pada neuropati optic jenis apapun. Pemucatan
segmental dan atenuasi pembuluh darah retina sering timbul sebagai
neuropati optic iskemik anterior. Neuropati optic herediter biasanya
menimbulkan pemucatan diskus segmental temporal bilateral disertai
dengan hilangnya akson, khususnya akson papilomakular. Eksudat
peripapiler yang menyertai edema diskus optikus disebabkan adanya
papilitis, neuropati iskemik, atau papil edema. Tanda penting lain yang
muncul sebelum edema diskus adalah atrofi dan gliosis peripapilar, lipatan
lipatan korioretina, dan membrane limitans interna yang mengeriput.
Berikut klasifikasi etiologi pada penyakit N. opticus (Eva & Whitcher,
2009) :
a. Peradangan (neuritis optic)
1) Etiologi
No. Penyebab Contoh
1. Demielinatif - Idiopatik
26

(penyebab paling - Sclerosis multiple


sering) - Neuromielitis optika (penyakit Devic
2. Diperantarai imun - Neuritis optic pasca virus (morbili, mumps,
cacar air, influenza, mononucleosis
infeksiosa)
- Neuritis optic pascaimunisasi
- Ensefalomielitis diseminata akut
- Polineuropati idiopatik akut (Sindrom
Guillan Barre)
- Lupus Eritematosis Sistemik
3. Infeksi langsung - Herpes zoster
- Sifilis
- Tuberculosis
- Crytococcosis
- Cytomegalovirus
4. Neuropati optic - Sarcoidosis
granulomatosa - Idiopatik
5. Penyakit peradangan - Peradangan intraokuler
sekitar - Penyakit orbita
- Penyakit sinus
- Penyakit intracranial (meningitis,
ensefalitis)

2) Epidemiologi
Pada dewasa, neuritis optic demielinatif biasanya bersifat unilateral
dan banyak mengenai wanita (3;1) dengan awitan terbanyak pada
decade ketiga dan keempat. Penyakit ini hingga 85% dilaporkan
berkaitan dengan sclerosis multiple dan bergantung pada beberapa
factor di antaranya jenis kelamin, asal ras, dan lama follow up.
Anak anak lebih sering terkena pada kedua mata dan menimbulkan
papillitis, tetapi risiko perburukan menuju sclerosis multiple lebih
kecil pada anak kecil.
3) Diagnosis
Pada penyebab idiopatik, hilang penglihatan biasanya bersifat
subakut berkisar antara 2-7 hari. Penglihatan warna dan sensitivitas
kontras juga terganggu, nyeri dan diperburuk dengan gerakan mata.
Hampir semua defek lapang pandang dapat terjadi, tapi paling
sering dilaporkan adalah scotoma sentral bentuk sirkular, difus.
Perluasan scotoma ke perifer mengarahkan kecurigaan kea rah
kompresi. Reflex cahaya pupil melambat, dan dapat terjadi papilitis
(35% pasien)
27

i. Hyperemia diskus opticus


ii. Pelebaran vena vena besar
iii. Pengaburan batas diskus
iv. Pengisian cawan fisiologis (filling the physiologic cup)
v. Edema caput Nn. Optici
vi. Kadang terdapat eksudat dan edema retina di berkas
papilomakular.
Pada penyebab sclerosis multiple, khasnya adalah suatu
penyakit demielinasi pada SSP yang sering kambuh dan remisi.
Penyebabnya tidak diketahui. Yang khas pada penyakit ini adalah
lesinya yerjadi pada waktu yang berlainan dan di lokasi yang tidak
berbatasan dengan system saraf. Tandanya dapat berupa diplopia,
nystagmus, pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer
yang dapat diperjelas dengan anggiografi fluorescein. Selain
gangguan mata, mungkin ditemukan tanda pyramidal, ataksia,
inkoordinasi tungkai dan tremor, disartria, gangguan BAB atau
BAK, sensorik, khususnya paresthesia.
Pada anak, dapat ditemukan neuritis pasca infeksi virus atau
imunisasi 1-2 minggu setelahnya. Gejala klinisnya mirip dengan
neuritis optic demielinatif idiopatik.
4) Diagnosis banding
Iskemik otak neuropati (tidak sakit, scotoma altitudinal), edema
papil akut, hipertensi berat dan toksik neuropati (Ilyas & Yulianti,
2015) .
5) Terapi
a) Steroid
Intravena : methylprednisolone 1 gr/hari 3 hari
Ora l : prednisolone tappering off
b) Antibiotic
c) Vitamin C
6) Prognosis
Tanpa terapi, penglihatan secara khas mulai membaik dalam 2-3
minggu. Neuritis optic unilateral biasanya sembuh spontan dalam
4-6 minggu. Pada 90% kasus visus >20/40 asalkan tidak ada
episode neuritis lanjut.
b. Vascular (neuropati optic iskemik)
1) Klasifikasi
No. Penyebab Contoh
1. Neuropati iskemik anteruir
28

nonarteritik
2. Arteritis sel raksasa (Neuropati
iskemik anteruir arteritik)
3. Vasculitis sistemik Lupus eritematosus sistemik
Sindrom antibody
Anti-fosfolipid
Poliarteritis nodosa
Vasculitis Churg Strauss
Sindrom Sjogren
Takayasu disease
4. Migraine
5. Defek koagulasi herediter Defisiensi protein C
Defisiensi protein S
Defisiensi antitrombin III
Resistensi protein C teraktivasi
(mutasi factor V Leiden)
6. Papilopati diabetic
7. Neuropati radio optica
8. Kehilangan darah masif akut Contoh : perdarahan ulkus
peptikum

2) Diagnosis
Neuropati optic iskemik anterior ditandai dengan edema
diskus pucat, yang disertai dengan hilangnya penglihatan secara
akut, sering ditemukan satu atau dua bercak perdarahan peripapilar.
Kelainan ini disebabkan oleh infark N. opticus retrolaminar akibat
penyumbatan atau penurunan perfusi A. ciliaris posterior brevis.
Penyakit ini biasanya didahului oleh adanya kelainan darah atau
pembuluh darah seperti hipertensi, diabetes mellitus, atau
vasculitis.
3) Terapi
Penyebab nya hars diatasi terlebih dahulu. Kemudian bisa
dilaksanakan terapi bedah, radioterapi, atau oksigen hiperbarik.
c. Peningkatan tekanan intracranial (papilledema)
1) Etiologi
Massa intracranial Tumor serebral, abses, hematoma
subdural
Malformasi arteriovena
Perdarahan subarachnoid
Meningitis atau ensefalitis
Hydrocephalus didapat
Pseudotumor serebri
Oklusi sinus vena serebral
Pseudotumor serebri sekunder Oklusi sinus vena serebral
Pseudotumor serebri sekunder
29

Hipertensi intracranial idiopatik


Tumor spinal
Polineuropati idiopatik akut Sindrom Guillan Barre
Mukopolisakaridosis
Kraniosinostosis

2) Diagnosis
Secara definisi, papilledema adlaah kongesti diskus optikus
akibat peningkatan tekanan intrakranial sehingga kelainan ini
ditandai dengan peningkatan intrakranial. Trias peningkatan
tekanan intrakranial adalah nyeri kepala, muntah proyektil, dan
papilledema.
Papilledema akut kemungkinan terjadi aakibat oeningkatan
tekanan intrakranial yang cepat atau bermakna, terdapat perdarahan
dan bercak cutton-wool di diskus optikus dan sekitarnya, yang
menandai suatu dekompensasi vascular dan aksonal disertai risiko
kerusakan nervus oticus dan defek lapang pandang. Mungkin
terdapat edema peripapiller, eksudat retina, dan lipatan koroid.
Pada papilledema kronik, kemungkinanbesar terjadi akibat
peningkatan tekanan intrakranial moderate yang berkepanjangan.
Secara perlahan diskus yang meninggi dan hiperemis menjadi putih
keabuan sebagai akibat gliosis astrositik dan atrofi neuron dengan
konstriksi sekunder pembuluh darah retina.
3) Terapi
Terapi papilledema harus diarahkan langsung pada penyebab yang
mendasarinya.
d. Kompresi nervus opticus
1) Etiologi
Penyakit intrakranial Meningioma, adenoma hipofisis
kraniofaringioma, aneurisma karotis
interna supraklinoid, karsinomatosis
meningeal, meningitis basalis
Penyakit orbita Neoplasma orbita, abses orbita
Meningioma selubung N. opticus
2) Diagnosis
Edema diskus jarang terjadi. Untuk mengecek fungsi N. II
dilakukan reflex pupil aferen. Untuk memastikan diperluka CT dan
MRI.
3) Terapi didasarkan pada penyebabnya
30

e. Nutrisional dan toksik


1) Etiologi
Defisiensi vitamin Defisiensi vitamin B12, defisiensi vitamin B1
(thiamin), defisiensi folat
Amblyopia alcohol-tembakau
Logam berat Timah, thalium, arsen
Obat-obatan Ethambutol, isoniazid, rifampin, dll.
Bahan kimiawi Methanol
Etilen glikol

2) Diagnosis
Tampilan klinis neuropati toksik atau nutrisional yang biasa
ditemukan adalah penurunan penglihatan progresif subakut yang
simetris, disertai dengan defek lapang pandang sentral, buruknya
penglihatan warna, dan pemucatan bagian temporal diskus.
Anamnesis menjadi penting dalam kasus ini.
3) Terapi
Terapi bergantung pada penyebabnya.

f. Trauma
1) Etiologi
a) Trauma N. opticus langsung
b) Trauma N. opticus tidak langsung
c) Avulsi N. opticus
2) Diagnosis dan terapi
Diagnosis didasarkan pada adanya tanda klinis kerusakan N. II.
Terapi untuk trauma berupa tindakan bedah. Sedangkan untuk
avulsi N. opticus tidak ada terapi yang efektif.
g. Atrofi optic herediter
h. Ilfiltrasi neoplastic
i. Kelainan nervus opticus
j. Neuropati optic glaukomatosa
k. Atrofi optic akibat penyakit retina
2. Kiasma opticum
Lesi pada bagian lateral khiasma optikum akan
menyebabkan hemianopsia binasal , sedangkan lesi pada bagian medial
kiasma akan menghilangkan medan penglihatan temporal yang
disebut hemianopsia bitemporal. Kelainan seperti ini banyak disebabkan
oleh lesi khiasma, seperti tumor dan kista intrasellar, erosi dari processus
clinoid seperti yang terjadi dengan tumor atau aneurisma dorsal dari sella
31

tursica, kalsifikasi di antara atau di atas sella tursika seperti yang terjadi
dengan kista dan aneurisma kraniofaringioma, dan juga pada meningioma
suprasellar. Juga dapat disebabkan oleh trauma dan tumor pada regio
khiasma. Hemianopsia bitemporal bisa didapatkan pada
kista suprasellar.Bisa juga ditemukan pada pasien dengan tumor pituitari
tapi bersifat predominan parasentral.Pada adenoma pituitari juga bisa
terkadi kebutaan atau anopsia pada salah satu mata dan hemianopsia
temporal pada mata yang lainnya.Lesi pada traktus optikus akan
menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral . Serabut-serabut dari
retina pada bagian temporal akan rusak, bersamaan dengan serabut dari
bagian nasal retina mata yang lain yang bersilangan. Lesi pada radiasio
optika bagian medial akan menyebabkan quadroanopsia inferior homonim
kontralateral (no.7), sedangkan lesi pada serabut lateralnya akan
menyebabkan quadroanopsia superior homonim kontralateral.
Quadroanopsia atau kuadranopia biasanya terjadi pada lesi yang terdapat
pada bagian temporo-parietal. Lesi pada bagian posterior radiasio optika
akan mengakibatkan hemianopsia homonim yang sama dan sebangun
dengan mengecualikan penglihatan makular (no.5).
3. Lesi retrokiasma
Lesi pada lobus occipital dapat menyebabkan gangguan lapang
pandang terkait perubahan beberapa atau semua dari tiga bagian anatomi
yaitu
a. Radiatiooptica
b. Korteks visual primer
c. Korteks visual sekunder.
Permukaan medial dari lobus occipital dibatasi anterior oleh sulcus
parietoocipital, yang bersinggungan dengan bagian anterior dari fisura
calcarinus yang membagi lobus occipital menjadi bagian superior dan
inferior.
32

Gambar 2.12. representasi dari lapang pandang primer pada korteks


striatum . biru menunjukkan representasi binokuler dan hijau
menunjukkan representasi monokuler (Walsh, 2011)
33

III.KESIMPULAN

1. Lapang pandang merupakan perluasan perifer dari dunia visual yang


diibaratkan sebagai bukit penglihatan.
2. Lapang pandang dapat diperiksa menggunakan berbagai metode seperti uji
konfrontasi, kampimeter, perimeter, dan kisi kisi Amsler.
3. Gangguan lapang pandang dapat menunjukkan letak lesi pada jaras visual dan
membantu menegakkan diagnosis dari gangguan penglihatan.
4. Terapi dan prognosis pada gangguan lapang pandang sangat bergantung pada
lokasi, onset, dan etiologi dari penyebab gangguan lapang pandang.
34

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2016, Desember 17). Barnell. Retrieved Maret 4, 2017, from Tangent
Screen: https://www.bernell.com/category/972

Ari, B. (2011, Maret 17). Nervus Optikus. Retrieved April 4, 2017, from Nervus
Optikus: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/01/nervus-
optikus_files-of-drsmed.pdfCogan

Baehr, M., & Frotscher, M. (2012). Diagnosis Topik Neurologi Duus. Edisi 4.
Jakarta : EGC.

Crick, R. P., & Khaw, P. T. (2003). A text Book of Clinical Ophtalmology. 3rd
Edition. Singapore: World Scientific.

Eva, P. R., & Whitcher, J. P. (2009). Vaughan & Asbury : Oftalmologi Umum.
Edisi ke-17. Jakarta: EGC.

Fox, S. T. (2003). Sensory Physiology. In Fox Human Physiology. 8th Edition.


Oxford England: McGraw Hill Company.

Ginsberg, L. (2005). Neurologi : Lecture Notes. Edisi kedelapan. Jakarta:


Erlangga.

Goetz, C. G. (2007). Textbook of Clinical Neurology. 3rd Edition. New York:


Saunders.

Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2015). Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

James, B., Chew, C., & Bron, A. (2005). Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi
kesembilan. Jakarta : Erlangga.

Kedar, S., Ghate, D., & Cobert, J. J. (2011). Visual Fields in Neuro-Ophtalmology.
Indian Journal Ophtalmology. 59(1), 103-109.

Lumbantobing, S. M. (2010). Saraf Otak : Dalam Neurologi Klinik Pemeriksaan


Fisik dan Mental. Jakarta: Penerbit FKUI.

Madge, S. N., Kersey, J. W., Hawker, M. J., & Lamont, M. (2007). Clinical
Techniques in Ophthalmology. New York: Elsevier.

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2010). Saraf Otak dan Patologinya dalam
Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Snell, R. S. (2010). Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. New York: Lippincott


William & Willkins.
35

Walsh, T. J. (2011). Visual Fields : Examination and Interpretation. London:


Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai