Disusun oleh:
Narasumber:
dr. Rina La Distia Nora, SpM
Uvea merupakan area yang terdiri dari iris, badan siliaris, dan koroid. Bagian anterior uvea
yaitu iris sampai badan silier. Iris berperan dalam mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
dalam mata. Perdarahan iris terutama oleh arteri ciliaris anterior dan posterior longus. Iris
terbentuk oleh empat lapis yaitu, lapisan limitan anterior (melanosit dan fibroblast), stroma (m.
spinhter pupil dan dilator pupil), lapisan epitel anterior, dan lapisan pigmen posterior. Pada
bagian stromal terdapat persarafan dari iris. Badan silier merupakan perpanjangan dari iris
sampai dengan ora serrata yang berbatasan dengan choroid. Lapisannya terbagi lima yaitu,
lamina supraciliar, stroma (m. ciliar, nervus), epitel berpigmen, epitel tidak berpigmen, dan
membran limitan dalam.1
Bagian posterior uvea berawal dari ora serrata sampai ke nervus optikus. Menempel pada sklera
dengan serat jaringan ikat pada nervus optikus, sklera, pusaran vena, dan pembuluh darah
siliaris. Pada bagian posterior koroid tebalnya 0,22 mm sedangkan anterioirnya 0,1-0,15 mm.
DEFINISI UVEITIS
Uveitis berarti inflamasi pada area uvea saja. Namun pada praktiknya, uveitis ini jarang berdiri
sendiri. Uveitis akan melibatkan struktur seperti retina, vitreous, sklera, dan kornea.2,3
KLASIFIKASI UVEITIS
1. Uveitis anterior
Merupakan inflamasi uvea dari iris sampai ke pars plicata badan siliaris. Dapat dibagi
lagi menjadi iritis, iridocyctitis, cyclitis.2,4
2. Uveitis intermediet
Merupakan inflamasi uvea bagian pars plana dan koroid bagian perifer.1 Gejala dari
uveitis intermediet adalah pengelihatan kabur dan floaters.4 Tandanya berupa vitritis
(tampak sel-sel di vitreous) dan gambaran bola salju yang merupakan kumpulan sel
inflamasi pada bagian inferior vitreous. Eksudasi pada bagian inferior pars plana
disebut sebagai ‘snowbank’ dan kondisi inilah yang disebut pars planitis.2,4
3. Uveitis posterior
Merupakan inflamasi dari koroid (koroiditis). 2,4
4. Panuveitis
1. Akut2. Onset gejalanya mendadak dan durasi kurang dari empat minggu.5
2. Rekuren. Berupa episode uveitis yang berulang.5
3. Kronik2. Onsetnya biasanya tidak bergejala dan terjadi lebih dari 3 bulan atau bahkan
tahunan. Kondisi ini sering terdiagnosis saat peneglihatan sudah mulai berkurang.
4. Remisi. Merupakan tidak adanya gejala uveitis selama 3 bulan.5
Berdasarkan patologinya uveitis diklasifikasikan menjadi. dibagi menjadi suppuratif dan non-
supuratif. Pada uveitis supuratif, infeksi dari pathogen pyogenic seperti staphylococcus atau
streptococcus menyebabkan terjadinya infiltrasi dari sel polimorfonuklear ke jaringan uvea dan
struktur sekitar mata. Akibatnya terjadi nekrosis jaringan uvea dan akumulasi pus pada rongga
yang terdapat di mata.1
Uveitis granulomatosa pada umumnya bersifat kronis, akibat benda asing dapat berupa foreign
body, necrotic tissue, non-pyogenic bacteria, atau parasit. Reaksinya akan menyebabkan
infiltrasi limfosit, plasma, proliferasi sel mononuclear yang akan menjadi epitheloid dan giant
cell yang dapat mengaggregat menjadi nodul. Struktur sekitar dapat mengalami nekrosit dan
menyebabkan fibrosis.1
1. Infeksi
Inflamasi uvea diinduksi oleh invasi organisme tertentu. Dapat berupa infeksi eksogen,
sekunder, dan endogen. Infeksi eksogen adalah mikroorganisme secara langsung masuk
ke mata dari lingkungan luar, misalnya luka tembus, ulserasi kornea, dan post-operasi.2
Infeksi sekunder berarti inflamasi uvea terjadi akibat struktur di sekitarnya, misalnya
konjungtivitis purulent (pneumococcal dan gonococcal), keratitis, skleritis, retinitis,
selulitis orbita dan tromboflebitis orbita.2 Infeksi endogen disebabkan oleh organisme
dari sumber lainnya dalam tubuh menyebar melalui aliran darah.2
Berdasarkan organismenya, uveitis infeksi diklasifikasikan menjadi:
Infeksi bakteri. Ini mungkin menyebabkan granulomata tuberkulosa, lepra,
sifilis, bruselosis, atau pyogen seperti streptococcus, staphylococcus,
pneumococcus, dan gonococcus.2,5-7
Infeksi virus, berhubungan dengan infeksi herpes simplex, herpes zoster, dan
cytomegalovirus (CMV).2,5-7
Uveitis jamur. Kondisi ini jarang terjadi. Dapat disebabkan oleh aspergilosis,
kandidiasis, atau blastomikosis sistemik. Uveitis jamur juga diduga termasuk
sindrom histoplasmosis ocular.2
Uveitis parasit. Juga dikenal toxoplasmosis, toxocariasis, onkosersiasis, dan
amoebiasis. 2,5-7
Uveitis rickettsia dapat terjadi pada daerah yang epidemic thypus.2
2. Alergi
Uveitis alergi merupakan uveitis yang paling sering terjadi. Inflamasi yang terkait
dengan reaksi hipersensitivitas ini masih belum dipahami.2,4,5 Hal ini mungkin terjadi
akibat alergi terhadap mikroba tertentu yang lokasinya di bagian tubuh lain kemudian
membentuk antibodi, sehingga bila terjadi infeksi sekunder, antigen tersebut akan
keluar. Infeksi fokus primer di paru atau nodus limfa dulu sering menjadi penyebab
uveitis.2,4,5
Selain akibat mikroba yang mensensitisasi, uveitis alergi juga dapat menjadi uveitis
anafilaktik dimana disertai dengan reaksi anafilaktik sistemik.2 Uveitis atopik terjadi
akibat adanya allergen atau inhalan tertentu, misalnya pada iritis musiman. Uveitis
autoimun berhubungan dengan penyakit autoimun sistemik, misalnya pada Still’s
3. Toksik
Toksin dapat berupa endotoksin, toksin endokular, dan eksogen. Endotoksin yang
dihasilkan di dalam tubuh memainkan peranan besar. Enditoksin dapat berypa
autotoksin atau dihasilkan oleh mikroba. Uveitis toksik ini nampak pada pasien dengan
konjungtivitis pneumonoccus atau gonococcus dan pada pasien dengan ulkus kornea.
Toksin endokular dihasilkan oleh jaringan mata. Uveitis yang nampak pada pasien buta,
ablation retina lama, dan perdarahan intraocular disebabkan oleh toksin endokular.
Toksin eksogen berupa iritan kimia atau bahan inorganic, atau berasal dari tumbuhan
atau hewan. Obat-obat tertentu seperti miotik dan sitotoksik merupakan contoh dari
toksin eksogen.2
4. Traumatik
Biasanya nampak secara tidak sengaja atau akibat dari luka operasi pada uve.
Mekanismenya dapat berasal dari efek mekanik langsung, efek iritatif dari produk
darah, invasi mikroba, efek bahan kimia, oftalmia simpatis.2,4
5. Berhubungan dengan penyakit sistemik non-infeksi
Penyakit sistemik tertentu dapat menyebabkan uveitis, misalnya sarcoidosis,
polyarteritis nodosa, diabetes melitus, gout, sclerosis diseminata, dan penyakit kulit
seperti psoriasis, dan eritema nodosum.2-7
6. Idiopatik
Definisi
Uveitis anterior adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada bagian depan uvea yaitu mencakup
iris dan badan silier. Namun, pada umumnya, inflamasi yang terjadi pada uveitis anterior dapat
mengenai iris dan badan silier dalam bersamaan. Keadaan ini disebut iridocyclitis. Penyakit ini
umumnya bersifat unilateral dengan onset akut, namun dapat juga bersifat kronis.1
Etiologi
Adapun beberapa penyebab dari uveitis anterior anatara lain akibat infeksi virus herpes simplex
atau varicella-zoster, cytomegalovirus, sarcoidosis, HLA-B27-associated uveitis, dan
tuberculosis.1,8
Gejala yang dapat dialami oleh penderita yaitu berupa nyeri yang menjalar pada persarafan V1,
mata merah, photopobia dan blepharospasme, lakrimasi, penurunan penglihatan. Adapun
penurunan visus disebabkan oleh spasme otot siliaris, kekeruhan kornea, blok pupil oleh
eksudat atau kekeruha vitreus. Tanda yang dapat ditemui yaitu edema palpebra, kongesti
kornea yang dapat terjadi akibat peningkatan TIO, keratic precipitate (KP) yang merupakan
deposit sel dan protein dibelakang kornea, dan kekeruhan kornea posterior. Terdapat beberapa
jenis KP yaitu: mutton fat KP pada iridocyclitis granulomatosa terbentuk oleh makrofag dan
epitheloid; small and medium KP merupakan pathognomonic pada uveitis non-granulomatosa,
red KP dengan deposisi sel darah merah, dan Old KP merupakan tanda uveitis yang sembuh. 1
Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada uveitis anterior mencakup katarak komplikata,
glaukoma sekunder akibat blok pada trabekula meshwork atau pupil, membrane cyclitic yaitu
fibrosis dari eksudat dibelakang lensa, choroditis, edema macula, ablasio retina, papilitis, dan
pthisis bulbi akibat kerusakan badan silier yang menyebabkan terganggunya produksi dari
aqueous humor. 1
Terapi yang diberikan dapat berupa non spesifik yang mencakup: cyclopegic, kortikosteroid,
dan antibiotik broad spectrum. Agen cyclopegic diberikan untuk menurunkan nyeri terutama
pada fase akut, mencegah terbentuknya sinekia dan menghancurkan perlengketan yang telah
terjadi, mengurangi eksudasi dengan menurunkan permeabilitas vaskuler dan menurunkan
tekanan pada arteri ciliary anterior. Kortikosteroid diberikan untuk menghambat respon
inflamasi dan mencegah fibrosis dan penghancuran jaringan oleh sel imun.1
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang paling dari uveitis anterior mencakup konjungtivitis akut dan
glaukoma akut sudut tertutup. Utamanya dalam membedakan adalah penjalaran nyeri, yang
hanya terbatas pada N. V1 pada uveitis anterior sedagkan pada glaukoma dapat menjalar
sampai seluruh N. V. Discharge yang dapat dikeluarkan pada umumnya watery. Pembeda yang
khas adalah terlihat adanya KP pada uveitis. Tekanan intraocular umumnya dalam batas
normal.1
UVEITIS POSTERIOR
Definisi
Uveitis posterior merupakan inflamasi yang terjadi pada koroid (koroiditis). Karena bagian
terluar dari retina bersentuhan dengan koroid dan juga nutrisinya sangat bergantung oleh
koroid, inflamasi ini juga bersamaan dengan retinitis, sehingga lesinya dinamakan
korioretinitis.2-7
Etiologi
Infeksi yang paling sering menyebabkan uveitis posterior adalah T. gondii, M. tuberculosis,
sifilis, virus herpes simplex, virus herpes zoster, cytomegalovirus, dan HIV. Sedangkan untuk
penyebab non-infeksi uveitis posterior disebabkan oleh sarcoidosis, neoplasma, birdshot
choroidopathy, dan koroiditis multifokal.5
Toxoplasmosis
Penemuan yang diharapkan berupa parut korioretina yang inaktif pada posterior orbita,
biasanya pada macula. Lesi putih fokal halus (headlight in fog appearance) terjadi pada
sekitar uveitis dan vitritis granulomatosa lama,3 dapat disertai dengan bintik putih di
sepanjang arteriol (plak Kyrielei), mikroftalmia, nystagmus, dan strabismus.3,5 Pada
proses penyembuhan, batas lesi menjadi lebih tegas disertai pigmentasi perifer.5 Pada
pasien SIDA, CT kepala mungkin menunjukkan adanya lesi cincin putih.3
Diagnosis uveitis posterior akibat toxoplasmosis adalah dengan ELISA atau perangkat
imunofluorosensi untuk IgG atau IgM Toxoplasma.8
Gambar 7. Retinitis pada Toxoplasma kongenital (kiri), Kista T. gondii pada retina yang telah nekrotik (kanan)3
Indikasi tata laksana dari toxoplasmosis adalah penurunan pengelihatan, inflamasi berat
pada vitreous, lesi pada macula atau nervus opticus. Pemberian antibiotic akan
membunuh takizoit di retina, namun tidak mempengaruhi kista. Obat yang digunakan
adalah clyndamocin 300 mgx4/hari, sulfadiazine 2 g dilanjutkan 1 g x 4/hari,
pyrimethamine 75 mg loading dilanjutkan 25 mg/hari, atau alternatif lainnya
trimethropim-sulfametoxazole. Dapat juga diberikan steroid.2
Toxocariasis3,8
Disebabkan oleh infeksi larva 2 dari cacing Toxocara canis anjing. Ditularkan melalui
tanah yang terkontaminasi. Pada mata, biasanya gejalanya unilateral dan lesinya soliter.
Pada infeksi viseral, akan muncul gejala seperti demam, limfadenopati, hepatomegali,
pneumonitis, eosinophilia, dan tidak termasuk mata.3
Cytomegalovirus3
Menyerang bagian posterior menjadi retinitis nekrotik hemoragik yang mengenai
seluruh lapisan retina. Biasanya terjadi pada pasien SIDA (15-46%) yang hitung
CD4nya <50 sel/mm3. Empat puluh persen terjadi bilateral. Gejala yang ditimbulkan
biasanya asimtomatik, namun dapat berupa floaters dan scotoma. Pada oftalmologi
dapat ditemukan adanya brushfire (granular, lembab, putih kekuningan dengan bagian
tepinya seperti terbakar) atau pizza-pie fundus (tebal, nekrotik putih kekuningan,
hemoragik). Tata laksananya adalah dengan menggunakan antiviral, misalnya
Ganciclovir, Foscarnet, dan Cidofovir. Apabila timbul komplikasi ablatio retina, dapat
dilakukan vitrektomi.3
Patologi
1. Koroiditis supuratif
Merupakan inflamasi purulent dari koroid. Biasanya tidak tidak terjadi sendiri, sering
bersamaan dengan endoftalmitis.2,6
2. Koroiditis non-supuratif
Koroiditis merupakan kondisi yang tidak nyeri, biasanya ditandai dengan gejala pengelihatan
yang berhubungan dengan vitreous dan termasuk retina. Oleh karena itu, bercak kecil di perifer
biasanya tanpa gejala dan sudah menjadi bercak yang telah sembuh. Sedangkan untuk lesi yang
berada di bagian sentral akan menghasilkan gejala yang segera disadari. Gejala lainnya
meliputi:2,5
1. Penurunan pengelihatan.2 Biasanya ringan dan bergantung dari vitreous, namun bisa
menjadi parah koroiditis sentralis.
2. Fotopsia2. Ini merupakan sensasi subjektif dimana ada kilatan cahaya akibat kondisi
iritasi sel batang dan kerucut.
3. Bintik hitam yang berterbangan di depan mata. Ini merupakan keluhan yang cukup
sering terjadi akibat adanya kelompok eksudatif di vitreous.2
Biasanya tidak nampak tanda eksternal dan mata tampak tenang. Keratic Precipitate dapat
terlihat di biomikroskopi biasanya berhubungan dengan cyclitis. Pemeriksaan fundus dapat
memperlihatkan:
1. Opasitas vitreous2,3
Koroiditis biasanya pada bagian tengah dan posterior. Hal ini dapat harus, kasar, atau
seperti bola salju.
2. Gambaran bercak pada koroiditis2,3
Pada fase aktif, akan tampak kuning pucat atau area dengan batasan teretentu. Hal ini
terjadi akibat eksudasi dan infiltrasi seluler koroid yang menyembunyikan gambaran
pembuluh darah koroid. Lesi ini dapat menjadi lebih dalam ke pembuluh darah retina.
Gambarannya akan menjadi lebih berawan dan edema.
Pada fase atrofi atau penyembuham, ketika inflamasi aktif surut, area yang terpengaruh
menjadi lebih tampak dibandingkan dengan area normal. Area yang terpengaruh
menampakkan sklera putih di bawah koroid yang atrofi dan kumpulan pigmen hitam
pada bagian perifer lesi. Bercak yang telah sembuh dibedakan dari kondisi degenerative
seperti myopia patologi dan retinitis pigmentosa.2,3
Komplikasi
Uveitis posterior dapat menyebabkan perluasan inflamasi ke bagian uvea anterior, dapat juga
menimbulkan katarak degenerasi vitreous, edema macular, periflebitis retina sekunder dan
ablatio retina.3
Tata Laksana
1. Terapi non-spesifik
2. Trattler W, Kaier PK, Friedman NJ. Chapter 8: Uveitis. In: Review of Ophtalmology.
2nd edition. USA: Elsevier; 2012. p 229-50.
3. Crick RP, Khaw PT. Chapter 28: Uvea. A Textbook of Clinical Ophtalmology. 3rd
edition. USA: World Scientific Publishing; 2003.p 176-86.
5. Carvounis PE. Uveitis. In: Bope ET, Kellerman RD, editors. Conn’s Current Therapy.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p 349-51.
7. Biswas J. Posterior Parasitic Uveitis. In: Yanoff M, Duker JS, editors. Ophtalmology.
4th edition. Philadelphia: Elsevier; 2014. p 744-7.
8. Eva PR, Cunningham Jr ET. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. 18th ed.
USA: McGrawHill Medical; 2011
9. Bowling B. Kankis’s Clinical Ophthalmology. 8th ed. China; Elsevier Saunders; 2016